Anda di halaman 1dari 33

Farmakoterapi Gangguan Sistem Saraf, Kulit dan THT

“ Dermatologic Drug Reaction “


Kelompok 2 (S1-6B)
Aidil Fitrah Syah (1801043)
Cindy Patika Sari (1801049)
Ira Fazira (1801056)
Mutiara Septiani (1801062)
Resky Pertiwi (1801069)
Zamora Melindrawita (1801081)
Tengku Yuni Atika S. (1901123)

Dosen Pengampu : apt. Dra. Syilfia Hasti, M.Farm

Program Studi S1 Farmasi


Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau
Yayasan Univ Riau
2021
POKOK BAHASAN

01 DEFINISI 05 MANIFESTASI KLINIK

02 ETIOLOGI 06 DIAGNOSIS

03 EPIDEMIOLOGI 07 PENATALAKSANAAN

04 PATOFISIOLOGI
01 DEFINISI
Dermatologic Drug
Reaction
 Reaksi tubuh yang tidak diinginkan yang terjadi setelah
pemberian obat dan bukan merupakan efek farmakodinamik
yang diinginkan

 Reaksi simpang obat dengan manifestasi kelainan kulit dapat


bervariasi mulai dari eritema singkat hingga bentuk berat
yang mengancam jiwa yang dikenal dengan erupsi obat berat
(Severe Cutaneus Adverse Drug Reactions/SCAR) yang
meliputi Stevens–Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN), Acute Generalized Exanthematous
Pustulosis (AGEP) dan Drug Reaction with Eosinophilia and
Systemic Symptoms Syndrome (DRESS).
02 ETIOLOGI
 Efek samping obat dapat berupa gangguan fungsi organ atau perubahan pada kulit yang dikenal
sebagai erupsi obat atau drug eruption. Bentuk erupsi obat yang paling sering didapatkan yaitu
gambaran eksanthema (makulopapular-morbiliformis).

 Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom (DRESS Syndrome) atau sindroma
DRESS adalah kumpulan gejala dan merupakan reaksi idiosinkratik yang terjadi pada pemberian
obat dalam dosis terapi, yang ditandai adanya erupsi eritematous, demam, kelainan hematologi
terutama adanya eosinofilia dan adanya keterlibatan organ dalam seperti: limfadenopati, hepatitis,
pneumonitis, miokarditis, nefritis.

 Istilah sindroma DRESS lebih sering digunakan karena dinilai dapat lebih menggambarkan apa
yang terjadi pada penderita. Beberapa ahli kadang menyebut sindroma DRESS berdasarkan obat
penyebabnya seperti sindroma hipersensitivitas antikonvulsan (Anticonvulsant Hypersensitivity
Syndrome), sindroma hipersensitivitas allopurinol (Allopurinol Hypersensitivity Syndrome).
 Erupsi obat alergi atau sering disebut erupsi obat merupakan reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang
terjadi sebagai akibat pemberian obat secara sistemik. Erupsi obat banyak dilaporkan dalam kehidupan sehari-hari
karena reaksi pada kulit gampang terlihat oleh mata meskipun gejalanya ringan, sedangkan reaksi pada organ lain
seringkali tidak disadari. Erupsi eksantematosa (disebut juga morbiliformis atau makulopapular) merupakan
manifestasi klinis tersering dari erupsi obat, dengan insiden > 10 kasus / 1000 penduduk.

 Erupsi makulopapular serta beberapa penyakit lain yang lebih berat antara lain sindrom hipersensitivitas obat, acute
generalized exanthematous pustulosis (AGEP), sindrom steven johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik
(NET) merupakan reaksi yang diperantarai oleh sel T dan termasuk ke dalam reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Hanya beberapa golongan obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi
atau erupsi obat. Belum diketahui jelas mengapa hanya pada sebagian orang menimbulkan manifestasi klinis.

 Penurunan sistem imun seseorang serta peranan faktor genetik, mempengaruhi risiko terjadinya erupsi
obat.Penyebab erupsi obat terbanyak antara lain penisilin dan derivatnya (ampisilin, amoksisilin, kloksasilin),
sulfonamida (kotrimoksasol), golongan analgetik-antipiretik (asam salisilat, metamezol, metampirin dan
parasetamol).
03 EPIDEMIOLOGI
 Data epidemiologi Dermatologic drug reaction akibat obat di Indonesia
umumnya, dan di Propinsi Jawa Timur, khususnya masih sangat terbatas.

 Pada suatu penelitian didapatkan angka kejadian Dermatologic drug reaction


akibat obat sebesar 2,15% dari seluruh pasien di bagian kulit. Angka kejadian
Dermatologic drug reaction akibat obat dibagian rawat inap menunjukkan
adanya variasi dengan kisaran 1-3% hingga 10-15%.

 Penelitian yang dilakukan oleh EastInnis dkk. (2009) menunjukkan bahwa angka
kematian pada kasus Dermatologic drug reaction akibat obat kurang lebih
sebesar 3,9%, dengan penyebab kematian tersering adalah sepsis, gangguan
elektrolit, dan pneumonia
Berdasarkan penelitian 3 tahun
berturut-turut sebesar 136 Kelompok usia terbanyak
(0,91%) adalah 30-4- tahun (22,07%)

Manifestasi terbanyak adalah


Perempuan lebih beresiko dan akibat FDE (27,94%) dan Obat
banyak yang terkena dari pada penyebab terbanyak : pct,
laki-laki dengan rasio 1,061:1 asmef,kotrimoksazol, antitbc,
karbamazepin
04 PATOFISIOLOGI
Hiperpigmentasi yang diinduksi
obat mungkin terkait dengan
peningkatan melanin (misalnya,
hidantoin), deposisi langsung
Reaksi obat eksantematosa termasuk ruam (misalnya, perak, merkuri,
makulopapular dan sindrom hipersensitivitas tetrasiklin, dan antimalaria), atau
obat. Reaksi urtikaria termasuk urtikaria, mekanisme lain (misalnya,
angioedema, dan serum reaksi seperti
penyakit. Reaksi melepuh termasuk Fixed
fluorourasil)
drug eruption (FDE), sindrom Stevens- Reaksi fotosensitifitas yang diinduksi obat
Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik. dapat berupa fototoksik (reaksi
Erupsi pustular termasuk reaksi obat nonimunologis) atau fotoalergi (reaksi
acneiform dan pustulosis exanthematous imunologis). Pengobatan yang terkait dengan
umum akut (AGEP) fototoksisitas termasuk amiodarone,
tetracyclines, sulfonamides, psoralens,
andcoal tar. Penyebab umum reaksi fotoalergi
termasuk sulfonamida, sulfonilurea, tiazid,
obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID),
klorokuin, dan karbamazepin
 Dermatitis kontak adalah peradangan kulit yang disebabkan oleh iritan atau
pemeka alergi. Pada dermatitis kontak alergi (ACD), zat antigenik memicu
respons imunologis, terkadang beberapa hari kemudian. Dermatitis kontak
iritan (ICD) disebabkan oleh bahan organik yang biasanya menghasilkan
reaksi dalam beberapa jam setelah terpapar.

 Dermatitis popok (ruam popok) adalah dermatitis inflamasi akut pada


bokong, genitalia, dan daerah perineum. Ini adalah jenis dermatitis kontak
akibat kontak langsung dengan feses dan kelembapan kulit dalam lingkungan
tertutup.

 Dermatitis atopik adalah suatu kondisi peradangan dengan mekanisme


genetik, lingkungan, dan imunologis. Neuropeptida, iritasi, atau garukan
yang disebabkan pruritus dapat menyebabkan pelepasan sitokin proinflamasi
dari keratinosit.
MANIFESTASI
05 KLINIK
Diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan
jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs yaitu Tipe 1 – 4.

Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat) Pada tipe 1 ini terjadi beberapa fase yaitu:
Kompleks obat-IgE berikatan pada sel mast dengan  Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan
pelepasan histamin dan mediator inflamasi. Waktu untuk pembetukan IgE
untuk bereaksi ialah menit hingga jam setelah  Fase aktivitasi, yaitu paparan ulang antigen
paparan obat. spesifik akibatnya sel mast/basophil
 Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang mengeluarkan granul yang menimbulkan reaksi
disertai kejang laring. Bila dosertai edema laring  Fase efektor, yaitu fase terjadinya respon imun
keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien yang komleks akibat penglepasan mediator.
sangat sulit bernafas
 Urtikaria
 Angioedema
 Pingsan dan hipotensi
Tipe II
 Terjadi oleh terbentuknya IgM/IgG oleh pajanan antigen. Antibodi itu dapat mengaktifkan sel-sel reseptornya (FegR).
 Umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinophilia, dan granulositopenia. Neftritisial interstisial
dapat juga dari reaksi tipe ini.

Tipe III Tipe IV


 Antibodi yang berperan ialah IgM dan IgG. Kompleks ini  Delayed Type Hypersensitvity (DTH) tidak ada peranan
mengaktifkan pertahanan tubuh dengan penglepasan komplemen. antibody reaksi terjadi karena respon sel T yang telah
1. Urtikaria. angioedema, eritema. Makulopapula, eritema multiforme disensitasi oleh antigen tertentu.
disertai pruritus
 Berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk,
2. Demam infiltrate paru, dan efusi paru. Obat yang menyebabkan
3. Kelainan sendi, artalgia dan efusi sendi reaksi ini yaitu nitrofurantoin, nefritis interstisial,
ensefalomielitis dan hepatitis terdapat reaksi alergi obat.
4. Limfadenopati
5. Lain-lain: kejang perut, mual, neuritis optic, glomerulonephritis,
 Dermatitis paling sering terjadi. Gejala baru timbul
sindrom lupus eritmatosus sistemik dan gejala vaskulitis lain. bethaun-tahun setelah sensitisasi. Contoh pemakian obat
topical (silfa, penisili/antihitamin). Bila pasien sensitif,
 Gejala timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi jika belum
gejala dapat muncul 18-24 jam setelah obat dioleskan.
pernah gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.
06 DIAGNOSIS
- Tanda dan gejala (onset, perkembangan,
Riwayat pasien yang jangka waktu, lokasi lesi Deskripsi, gejala
komprehensif yang muncul, dan kejadian sebelumnya)
penting untuk - Urgensi (tingkat keparahan, luas, dan
mendapatkan
luasnya keterlibatan kulit; tanda Reaksi
informasi berikut:
sistemik / umum atau kondisi penyakit)
- Riwayat pengobatan (korelasi temporal,
paparan sebelumnya, dan tanpa resep
produk)
- Perbedaan diagnosa
Diagnosis ferensial Pengujian fotopatch Baru-baru ini, para
termasuk. Kesulitan Uji tempel obat. Tes ini alat dalam peneliti
Hitung darah
diagnostik muncul bila seringkali positif diagnosis mengembangkan
lengkap dengan
ada presentasi atipikal terkadang dengan pustula. dermatitis kontak indeks prognostik
diferensial, laju
dari reaksi obat tetap. Pengamatan ini gabungan,
endap darah,
menunjukkan bahwa SCORTEN, untuk
urinalisasi, dan
paparan kontak terhadap menilai tingkat
panel kimia darah,
obat atau obat yang keparahan penyakit
guaiac feses untu
bereaksi silang. darah tinja, dan
pemeriksaan
serologis
Diagnosis SSJ 90% dibuat berdasarkan gambaran klinis, yaitu
didapatkannya trias kelainan pada kulit, mukosa, dan mata.1
A Anamnesis ditujukan untuk mengetahui faktor penyebab,
dimana faktor penyebab tersering adalah obat.

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan


dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara
B umum. Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah
tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman dan uji resistensi
dari darah dan tempat lesi serta pemeriksaan histopatologi biopsi
kulit.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan,


leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat
peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
circulating immune complex. 12 Pada pemeriksaan histopatologi
dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau
menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan
endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis
superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan
endapan IgM, IgA, C3 dan fibrin
07 PENATALAKSANAAN
“ Terapi Farmakologi “
Dermatitis Popok

Ruam popok kandida (jamur) Pada ruam popok


harus diobati dengan agen inflamasi yang parah,
antijamur topikal dan kortikosteroid topikal
kemudian ditutup dengan potensi sangat rendah
produk penghalang. Imidazol (hidrokortison 0,5% –
adalah pengobatan pilihan, 1%) dapat digunakan
agen antijamur harus untuk waktu yang
dihentikan setelah ruam singkat (1–2 minggu)
mereda dan produk
penghalang dilanjutkan.
 Kortikosteroid topikal adalah pengobatan pilihan.
 Agen potensi rendah (mis., hidrokortison 1%) cocok untuk wajah, dan produk
dengan potensi sedang (mis., betametason valerat 0,1%) dapat digunakan untuk
tubuh.
 Untuk terapi perawatan dengan durasi lebih lama, kortikosteroid potensi rendah
direkomendasikan. Gunakan kekuatan sedang dan kortikosteroid potensi tinggi
untuk penanganan eksaserbasi jangka pendek. Cadangan agen ultra-tinggi dan
potensi tinggi (misalnya, betametason dipropionat 0,05% dan clobetasone
propionate 0,05%) untuk pengobatan jangka pendek (1-2 minggu) dari lesi
lichenifikasi pada orang dewasa. Setelah lesi membaik secara signifikan,
gunakan kortikosteroid potensi rendah untuk pemeliharaan bila diperlukan.
 Hindari berfluorinasi kuat kortikosteroid pada wajah, genitalia, dan area
intertriginous dan pada bayi.
 Imunomodulator topikal tacrolimus (Protopic) dan pimekrolimus (Elidel)
menghambat kalsineurin, yang biasanya memulai aktivasi sel-T. Kedua agen itu
disetujui untuk dermatitis atopik pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih
tua dari usia. Bisa jadi digunakan pada semua bagian tubuh untuk waktu yang
lama tanpa menimbulkan efek samping yang diinduksi kortikosteroid.
 Salep Tacrolimus 0,03% (untuk atopik sedang sampai berat dermatitis pada
pasien usia 2 dan lebih tua) dan 0,1% (untuk usia 16 dan lebih tua) diterapkan
dua kali sehari.
 Krim Pimecrolimus 1% dioleskan dua kali sehari untuk atopik ringan sampai
sedang dermatitis pada pasien yang lebih tua dari usia. Efek samping yang
paling umum adalah sementara terbakar di situs aplikasi.
 Kedua obat tersebut direkomendasikan sebagai pengobatan lini kedua karena
kekhawatiran tentang kemungkinan risiko kanker. Untuk alasan ini, pelindung
sinar matahari faktor (SPF) 30 atau lebih tinggi direkomendasikan pada semua
area kulit yang terbuka.
 Sediaan tar batubara mengurangi gatal dan peradangan kulit dan tersedia
sebagai tar batubara mentah (1% –3%) atau detergen minuman keras carbonis
(5% –20%). Mereka telah digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid
topikal, sebagai tambahan untuk memungkinkan penggunaan yang efektif
kekuatan kortikosteroid yang lebih rendah, dan dalam hubungannya dengan
terapi sinar ultraviolet. Pasien dapat mengoleskan produk pada waktu tidur dan
mencucinya di pagi hari. Faktor membatasi penggunaan tar batubara termasuk
baunya yang kuat dan pewarnaan pakaian. Sediaan tar batubara tidak boleh
digunakan pada lesi yang mengalir secara akut, yang dapat menyebabkan rasa
perih dan iritasi.
 Terapi sistemik yang telah digunakan (tetapi tidak disetujui FDA) untuk
dermatitis atopik termasuk kortikosteroid, siklosporin, interferon-γ, azatioprin,
metotreksat, mycophenolate mofetil, IVIG, dan pengubah respons biologis
“ Terapi Non-Farmakologi “
Terapi non-farmakologi mungkin masih ada yang menjadi kontroversi karena penelitiannya
masih menunjukkan 2 sisi yaitu menguntungkan ataupun tidak berpengaruh. Terapi non-
farmakologi mencakup (Ashariani, 2015) :

Pengawasan diet : Salah satu terapi non- Penghindaran alergen : Pada orang dewasa,
farmakologis yang penting dalam dermatitis dermatitis atopik sering dikaitkan dengan konsumsi
atopik adalah diet dan nutrisi. Makanan makanan yang bersifat alergen, yang sensitasinya
dianggap sebagai “akar” dari timbulnya mungkin terjadi pada awal kehidupan, seperti susu,
dermatitis atopik. Banyak mengkonsumsi telur atau gandum. Namun literatur yang
makanan cepat saji mungkin dapat mengasosiasikan antara alergi makanan dan dermatitis
meningkatkan prevalensi kejadian atopik masih sedikit. Walaupun menghindari alergen
dermatitis atopik. makanan dapat mengurangi keparahan gejala, bukti
yang tersedia tidak menunjukkan apakah penghindaran
akan mengubah perkembangan patologis dari
dermatitis atopik.
 Probiotik : Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bakteri probiotik secara signifikan
mengurangi kejadian dermatitis atopik pada anak-anak. Namun, hasilnya tidak signifikan
(secara statistik) pada anak-anak dengan keluarga yang memiliki riwayat dermatitis atopik.
 Pemilihan bahan baju : Penderita dermatitis atopik sebaiknya tidak memakai pakaian yang
terlalu tebal, bahan wol atau yang kasar karena dapat mengiritasi kulit.
 Penyesuaian iklim dan temperatur : Iklim dan sinar matahari (radiasi ultraviolet) dapat
mempengaruhi aktivitas dermatitis atopik.
 Pengawasan mandi : Mandi secara teratur dapat melembabkan kulit dan melepaskan krusta.
Mandi berendam 1-2 kali sehari selama beberapa menit dalam air hangat (jangan terlalu panas)
dengan pembersih kulit (skin cleaner) yang mengandung pelembab sangat bermanfaat
 Fototerapi : Pada pasien dermatitis atopik yang ekstensif dan refrakter, fototerapi
menggunakan UVA, UVB atau kombinasi psoralen dengan UVA dapat menjadi pilihan.
Namun demikian, fototerapi dapat menyebabkan penuaan dini pada kulit dan meningkatkan
risiko kanker kulit dalam jangka panjang sehingga harus diresepkan dengan hati-hati.
 Pemakaian pelembab : Pelembab adalah senyawa yang terdiri dari beberapa komponen, diaplikasikan
eksternal dan bertujuan mempertahankan intergritas kulit dan penampilan. Pelembab harus dioleskan
segera setelah mandi, minimal 2 kali sehari walaupun tidak ada keluhan dermatitis atopik.
 Balut basah : Terapi balut basah dapat meningkatkan penetrasi transepidermal kortikosteroid topikal. Balut
basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal, terutama untuk
lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap pengobatan biasa. Balut basah juga dapat berfungsi
sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga mempercepat penyembuhan lesi.
 Penanggulangan stress : Dermatitis atopik adalah penyakit yang rawan kambuh karena dicetuskan oleh
stress. Kekuatan stres tergantung pada persepsi individu, peringkat subjektif, dan sejauh mana peristiwa
stres. Namun, efek yang sebenarnya dari stres pada DA kurang dipahami karena kurangnya metode untuk
mengukur stres secara objektif. Stres dapat berinteraksi dengan jalur kekebalan tubuh dengan bekerja pada
sistem saraf pusat dan dengan demikian mempengaruhi sistem endokrin
 Edukasi pasien : Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan DA, yaitu perawatan kulit yang
benar dan menghindari penyebab.10 Edukasi pengetahuan tentang penyakit khususnya pada pasien muda
dan orang tua mereka akan menyebabkan kepatuhan yang lebih tinggi serta stabilitas psikologis.
Pendidikan pasien juga memberikan kontribusi signifikan untuk meningkatkan kualitas hidup
Tindakan non - farmakologis untuk bayi dan anak-anak meliputi:

• Oleskan pelembab sesering mungkin sepanjang hari


• Mandi air hangat
• Oleskan pelumas / pelembab segera setelah mandi
• Gunakan pembersih nonsoap (yang netral hingga ph rendah, hipoalergenik, pewangi
• Gratis)
• Gunakan terapi balutan basah (dengan atau tanpa kortikosteroid topikal) selama flare-up untuk
• Pasien dengan penyakit sedang sampai berat. Bungkus basah melibatkan pengaplikasian lembab
• Perban elastis tubular dan balutan oklusif pada tungkai untuk meningkatkan kulit
• Hidrasi dan absorpsi emolien dan kortikosteroid topikal.
• Jaga agar kuku jari tetap pendek
• Pilih pakaian yang terbuat dari kain katun lembut
• Pertimbangkan antihistamin oral yang menenangkan untuk mengurangi garukan di malam hari
• Jaga agar anak tetap dingin; hindari situasi yang menyebabkan kepanasan
• Belajar mengenali infeksi kulit dan segera mencari pengobatan
• Identifikasi dan hilangkan iritan dan alergen
Daftar Pustaka
Ashariani, S. 2015. Tatalaksana Non-Farmakologi pada Dermatitis Atopik. J Agromed Unila

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy Handbook, Ninth
Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.

Dubey AK, Prabhu S, Shankar PR, Subish P, Mishra P, Dermatological adverse drugs reactions due to systemic
medications- a review of literature. J Pakistan Assoc Dermatol. 2006;16:28-38

East-Innis AD, Thompson DS. Cutaneous drug reactions in patients admitted to dermatology unit at the
University Hospital of the West Indies, Kingston, Jamaica. West Indian Med J. 2009;58(3):227-30

Hamzah, M. Erupsi Obak Alergik. Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010; 17: hal. 154-159.

James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the skin: Clinical Dermatology. 10 th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company; 2006.
Daftar Pustaka
Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC

Leiferman KM. Dermatologic Drug Reactions. Philadelphia: WB Saunders Company; 2004

Mahapatra S, Keshri U Pd. Adverse cutaneous drugs reactions in a tertiary care center patients: a prospective
analysis. J App Pharm Sci. 2012;2(12). Diakses dari http://www.japsonline.com pada tanggal 27 maret
2021.

Stern, R. S. Exanthematous Drug Eruptions. N Engl J Med. 2012;366:2492- 501.

Svensson CK, Cowen EW, Gaspari A A. Cutaneous drug reactions. Pharmacol Rev.2000;53:357-79

Tetsuo SHIOHARA,Yoko KANO, Ryo TAKAHASHI. Current Concepts on the Diagnosis and Pathogenesis of
Drug-induced Hypersensitivity Syndrome. JMAJ 52(5). Japanese Dermatological Association : 2012;
Vol.52(5): 347–352

Uetrecht, J., Naisbitt, D. J. Idiosyncratic Adverse Drug Reaction: Current Concepts. Pharmacol Rev.
2013;65:779-808
THANKS
Do you have any questions?

CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo, including


icons by Flaticon and infographics & images by Freepik

Anda mungkin juga menyukai