02 ETIOLOGI 06 DIAGNOSIS
03 EPIDEMIOLOGI 07 PENATALAKSANAAN
04 PATOFISIOLOGI
01 DEFINISI
Dermatologic Drug
Reaction
Reaksi tubuh yang tidak diinginkan yang terjadi setelah
pemberian obat dan bukan merupakan efek farmakodinamik
yang diinginkan
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom (DRESS Syndrome) atau sindroma
DRESS adalah kumpulan gejala dan merupakan reaksi idiosinkratik yang terjadi pada pemberian
obat dalam dosis terapi, yang ditandai adanya erupsi eritematous, demam, kelainan hematologi
terutama adanya eosinofilia dan adanya keterlibatan organ dalam seperti: limfadenopati, hepatitis,
pneumonitis, miokarditis, nefritis.
Istilah sindroma DRESS lebih sering digunakan karena dinilai dapat lebih menggambarkan apa
yang terjadi pada penderita. Beberapa ahli kadang menyebut sindroma DRESS berdasarkan obat
penyebabnya seperti sindroma hipersensitivitas antikonvulsan (Anticonvulsant Hypersensitivity
Syndrome), sindroma hipersensitivitas allopurinol (Allopurinol Hypersensitivity Syndrome).
Erupsi obat alergi atau sering disebut erupsi obat merupakan reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang
terjadi sebagai akibat pemberian obat secara sistemik. Erupsi obat banyak dilaporkan dalam kehidupan sehari-hari
karena reaksi pada kulit gampang terlihat oleh mata meskipun gejalanya ringan, sedangkan reaksi pada organ lain
seringkali tidak disadari. Erupsi eksantematosa (disebut juga morbiliformis atau makulopapular) merupakan
manifestasi klinis tersering dari erupsi obat, dengan insiden > 10 kasus / 1000 penduduk.
Erupsi makulopapular serta beberapa penyakit lain yang lebih berat antara lain sindrom hipersensitivitas obat, acute
generalized exanthematous pustulosis (AGEP), sindrom steven johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik
(NET) merupakan reaksi yang diperantarai oleh sel T dan termasuk ke dalam reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Hanya beberapa golongan obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi
atau erupsi obat. Belum diketahui jelas mengapa hanya pada sebagian orang menimbulkan manifestasi klinis.
Penurunan sistem imun seseorang serta peranan faktor genetik, mempengaruhi risiko terjadinya erupsi
obat.Penyebab erupsi obat terbanyak antara lain penisilin dan derivatnya (ampisilin, amoksisilin, kloksasilin),
sulfonamida (kotrimoksasol), golongan analgetik-antipiretik (asam salisilat, metamezol, metampirin dan
parasetamol).
03 EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi Dermatologic drug reaction akibat obat di Indonesia
umumnya, dan di Propinsi Jawa Timur, khususnya masih sangat terbatas.
Penelitian yang dilakukan oleh EastInnis dkk. (2009) menunjukkan bahwa angka
kematian pada kasus Dermatologic drug reaction akibat obat kurang lebih
sebesar 3,9%, dengan penyebab kematian tersering adalah sepsis, gangguan
elektrolit, dan pneumonia
Berdasarkan penelitian 3 tahun
berturut-turut sebesar 136 Kelompok usia terbanyak
(0,91%) adalah 30-4- tahun (22,07%)
Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat) Pada tipe 1 ini terjadi beberapa fase yaitu:
Kompleks obat-IgE berikatan pada sel mast dengan Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan
pelepasan histamin dan mediator inflamasi. Waktu untuk pembetukan IgE
untuk bereaksi ialah menit hingga jam setelah Fase aktivitasi, yaitu paparan ulang antigen
paparan obat. spesifik akibatnya sel mast/basophil
Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang mengeluarkan granul yang menimbulkan reaksi
disertai kejang laring. Bila dosertai edema laring Fase efektor, yaitu fase terjadinya respon imun
keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien yang komleks akibat penglepasan mediator.
sangat sulit bernafas
Urtikaria
Angioedema
Pingsan dan hipotensi
Tipe II
Terjadi oleh terbentuknya IgM/IgG oleh pajanan antigen. Antibodi itu dapat mengaktifkan sel-sel reseptornya (FegR).
Umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinophilia, dan granulositopenia. Neftritisial interstisial
dapat juga dari reaksi tipe ini.
Pengawasan diet : Salah satu terapi non- Penghindaran alergen : Pada orang dewasa,
farmakologis yang penting dalam dermatitis dermatitis atopik sering dikaitkan dengan konsumsi
atopik adalah diet dan nutrisi. Makanan makanan yang bersifat alergen, yang sensitasinya
dianggap sebagai “akar” dari timbulnya mungkin terjadi pada awal kehidupan, seperti susu,
dermatitis atopik. Banyak mengkonsumsi telur atau gandum. Namun literatur yang
makanan cepat saji mungkin dapat mengasosiasikan antara alergi makanan dan dermatitis
meningkatkan prevalensi kejadian atopik masih sedikit. Walaupun menghindari alergen
dermatitis atopik. makanan dapat mengurangi keparahan gejala, bukti
yang tersedia tidak menunjukkan apakah penghindaran
akan mengubah perkembangan patologis dari
dermatitis atopik.
Probiotik : Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bakteri probiotik secara signifikan
mengurangi kejadian dermatitis atopik pada anak-anak. Namun, hasilnya tidak signifikan
(secara statistik) pada anak-anak dengan keluarga yang memiliki riwayat dermatitis atopik.
Pemilihan bahan baju : Penderita dermatitis atopik sebaiknya tidak memakai pakaian yang
terlalu tebal, bahan wol atau yang kasar karena dapat mengiritasi kulit.
Penyesuaian iklim dan temperatur : Iklim dan sinar matahari (radiasi ultraviolet) dapat
mempengaruhi aktivitas dermatitis atopik.
Pengawasan mandi : Mandi secara teratur dapat melembabkan kulit dan melepaskan krusta.
Mandi berendam 1-2 kali sehari selama beberapa menit dalam air hangat (jangan terlalu panas)
dengan pembersih kulit (skin cleaner) yang mengandung pelembab sangat bermanfaat
Fototerapi : Pada pasien dermatitis atopik yang ekstensif dan refrakter, fototerapi
menggunakan UVA, UVB atau kombinasi psoralen dengan UVA dapat menjadi pilihan.
Namun demikian, fototerapi dapat menyebabkan penuaan dini pada kulit dan meningkatkan
risiko kanker kulit dalam jangka panjang sehingga harus diresepkan dengan hati-hati.
Pemakaian pelembab : Pelembab adalah senyawa yang terdiri dari beberapa komponen, diaplikasikan
eksternal dan bertujuan mempertahankan intergritas kulit dan penampilan. Pelembab harus dioleskan
segera setelah mandi, minimal 2 kali sehari walaupun tidak ada keluhan dermatitis atopik.
Balut basah : Terapi balut basah dapat meningkatkan penetrasi transepidermal kortikosteroid topikal. Balut
basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal, terutama untuk
lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap pengobatan biasa. Balut basah juga dapat berfungsi
sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga mempercepat penyembuhan lesi.
Penanggulangan stress : Dermatitis atopik adalah penyakit yang rawan kambuh karena dicetuskan oleh
stress. Kekuatan stres tergantung pada persepsi individu, peringkat subjektif, dan sejauh mana peristiwa
stres. Namun, efek yang sebenarnya dari stres pada DA kurang dipahami karena kurangnya metode untuk
mengukur stres secara objektif. Stres dapat berinteraksi dengan jalur kekebalan tubuh dengan bekerja pada
sistem saraf pusat dan dengan demikian mempengaruhi sistem endokrin
Edukasi pasien : Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan DA, yaitu perawatan kulit yang
benar dan menghindari penyebab.10 Edukasi pengetahuan tentang penyakit khususnya pada pasien muda
dan orang tua mereka akan menyebabkan kepatuhan yang lebih tinggi serta stabilitas psikologis.
Pendidikan pasien juga memberikan kontribusi signifikan untuk meningkatkan kualitas hidup
Tindakan non - farmakologis untuk bayi dan anak-anak meliputi:
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy Handbook, Ninth
Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.
Dubey AK, Prabhu S, Shankar PR, Subish P, Mishra P, Dermatological adverse drugs reactions due to systemic
medications- a review of literature. J Pakistan Assoc Dermatol. 2006;16:28-38
East-Innis AD, Thompson DS. Cutaneous drug reactions in patients admitted to dermatology unit at the
University Hospital of the West Indies, Kingston, Jamaica. West Indian Med J. 2009;58(3):227-30
Hamzah, M. Erupsi Obak Alergik. Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010; 17: hal. 154-159.
James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the skin: Clinical Dermatology. 10 th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company; 2006.
Daftar Pustaka
Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Mahapatra S, Keshri U Pd. Adverse cutaneous drugs reactions in a tertiary care center patients: a prospective
analysis. J App Pharm Sci. 2012;2(12). Diakses dari http://www.japsonline.com pada tanggal 27 maret
2021.
Svensson CK, Cowen EW, Gaspari A A. Cutaneous drug reactions. Pharmacol Rev.2000;53:357-79
Tetsuo SHIOHARA,Yoko KANO, Ryo TAKAHASHI. Current Concepts on the Diagnosis and Pathogenesis of
Drug-induced Hypersensitivity Syndrome. JMAJ 52(5). Japanese Dermatological Association : 2012;
Vol.52(5): 347–352
Uetrecht, J., Naisbitt, D. J. Idiosyncratic Adverse Drug Reaction: Current Concepts. Pharmacol Rev.
2013;65:779-808
THANKS
Do you have any questions?