miologi
Pendahuluan
apt. Tiara Tri Agustini,
M.Farm
Definisi Farmakoepidemiologi
Kata Farmakoepidemiologi berasal dari kata “Pharmacon”
(Obat), “Epi” (Pada), “Demos” (Penduduk) dan “logos” (Ilmu).
Farmakoepidemiologi didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang penggunaan obat dan efek sampingnya
pada sejumlah besar manusia serta menerapkan ilmu
tersebut untuk memecahkan masalah tersebut.
Farmakoepidemiologi juga di gunakan sebagai aplikasi,
metode, latar belakang dan pengetahuan epidemiologik
untuk mempelajari penggunaan dan efek samping obat
dalam suatu populasi manusia.
Definisi Menurut Ahli
Strom B.L Farmakoepidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penggunaan
obat dan efeknya pada sejumlah besar manusia.
Porta dan Hartzema Farmakoepidemiologi sebagi aplikasi latar belakang, metode dan
pengetahuan epidemiologik untuk mempelajari penggunaan dan efek obat dalam
populasi manusia.
Spitzer Studi tentang obat sebagai penentu kesehatan dan penyakit pada populasi
umum tak terseleksi.
Dunia kefarmasian memerlukan penelitian epidemiologi terutama yang
berhubungan dengan masalah obat.
Ilmu ini dikenal dengan farmakoepidemiologi dimana mempelajari
tentang perkembangan obat ditinjau dari sisi efikasi, keamanan dan
ekonominya. Singkatnya, ilmu farmakoepidemiologi ini mempelajari
tentang efek obat pada sejumlah besar manusia.
Bedanya dengan farmakologi klinik apa?
Dari segi ruang lingkup.
Farmakologi klinik mempelajari efek obat pada
manusia, sedangkan farmakoepidemiologi lebih
menitikberatkan pada optimalisasi terapi tersebut
pada pada manusia, dengan pertimbangan rasio
resiko-keuntungan (risk-benefit ratio) dan pada
akhirnya menggunakan pertimbangan ekonomi.
Apa yang dimaksud
dengan epidemiologi?
Ilmu yang mempelajari tentang angka kejadian suatu
penyakit dan penyebab timbulnya penyakit tersebut pada
kelompok orang yang berbeda. Informasi yang diperoleh
dari ilmu ini akan digunakan untuk merencanakan,
mengevaluasi strategi untuk mencegah suatu penyakit serta
sebagai standar penatalaksanaan pasien yang menderita
penyakit tersebut. Tugas lain dari epidemiologi adalah
meneliti insiden dari suatu penyakit tertentu dalam suatu
waktu, sehingga bisa digunakan untuk merencanakan
strategi dalam menghadapi kasus tersebut.
Kaitannya dengan farmakoepidemiologi
apa??
Dalam farmakoepidemiologi dibutuhkan Teknik
epidemiologi dalam mempelajari efek obat pada manusia.
Terutama dalam menentukan rancangan penelitian suatu
efek obat sebelum obat tersebut dilepaskan ke pasaran.
Sehingga ilmu farmakoepidemiologi ini merupakan
jembatan antara ilmu epidemiologi dan farmakologi
klinik.
Ruang Lingkup
Sejauh ini Farmakoepidemiologi lebih terfokus pada Adverse Drug Reaction (reaksi obat yang
tidak diinginkan/ROTD).Penelitia di Italia ternyata menunjukkan bahwa 5 % dari 17.083 pasien
dirumah sakit mengalami ROTD, ROTD paling banyak dialami oleh pasien adalah keluhan di
saluran pencernaan diikuti oleh gangguan kardiovaskuler, alergi, nyeri kepala, gangguan
kesetimbangan elektrolit dan gangguan psikiatri. Kejadian ini dialamu oleh pasien dirumah sakit
dimana banyak tenaga medis yang bisa mengawasi kondisi pasien.
Penelitian lain yang dilakukan di Colombia, menunjukkan bahwa 25,3 % dari 91 pasien
yang masuk ke bagian gawat darurat merupakan pasien yang melakukan swamedikasi
dan mengalami mengalami ROTD. ROTD yang terbanyak adalah urtikaria, diikuti oleh
hipoglikemia, gastritis, dan anafilaksis. Obat yang paling banyak menimbulkan ROTD
adalah antibiotic dan analgetic (penghilang rasa nyeri). Sedangkan biaya yang
dikeluarkan untuk mengatasi ROTD rata-rata 78,1 USD.
Dari berbagai penelitian, dapat disimpulkan ada 2 tipe ROTD :
Tipe A
Muncul jika reaksi atas obat sudah sering muncul, dapat diprediksikan dan tergantung pada dosis. Efek
dari ROTD tipe A ini tidak begitu serius.
Contohnya dapat muncul pada seseorang yang mendapat lebih dari 3 obat dan seorang yang mempunyai
kemampuan metabolisme berbeda dengan individu normal, terutama jika mendapat obat indeks terapi
sempit.
Tipe B
Muncul jika reaksi atas obat tersebut jarang terjadi, tidak dapat diprediksikan, tidak tergantung pada
dosis dan berakibat fatal.
Contohnya pada kasus idiosinkrasi dan kasus kelainan genetic, seperti pada kkasus defisiensi glukosa 6
fosfat dehydrogenase.
Sejarah perkembangan
farmakoepidemiologi
Seperti yang kita ketahui, bahwa perkembangan obat sangat cepat. Penemuan obat baru mengalami
peningkatan dengan semakin banyak ditemukan obat yang bekerja pada molekul target yang
terkecil. Agen biologis seperti anti TNFa semakin banyak di teliti.
Indonesia sebaiknya mengembangkan PV di bidang obat atau pengobatan tradisional atau alternative
dan juga bidang kosmetik.
Salah satu alat untuk menelusuri kejadian ADR dari suatu obat dengan menggunakan algoritma
Naranjo (untuk mendeteksi apakah suatu obat menimbulkan ROTD atau tidak yang terdiri dari 10
pertanyaan).
Score :
Skala probabilitas NARANJO:
Total Skor Kategori
9+ : Sangat Mungkin/Highly probable
5 – 8 : Mungkin/Probable
1 - 4 : Cukup mungkin/Possible
0- : Ragu-ragu/Doubtful
C. Perkembangan Farmakoepidemiologi
Tujuan utama dari Farmakoepidemiologi adalah mendapatkan informasi terbaru untuk melindungi Kesehatan
masyarakat serta meningkatkan penggunaan obat yang aman dan efektif. Untuk menunjang tujuan ini, perlu dilakukan
tahap pengujian obat untuk mencapai efektivitas dan efikasinya.
1. Uji Klinik tahap 1
Dilakukan setelah obat memenuhi persyaratan pada uji farmakodinamik, farmakokinetik dan toksikologi baik in vivo
maupun in vitro yang biasanya dilakukan pada hewan. Tahap ini dilakukan pada subyek penelitian yang sehat. Kecuali
pada obat tertentu, misalnya kanker.
2. Uji Klinik tahap 2
Dilakukan pada subyek sehat atau pasien, tergantung pada indikasi obat. Tujuan uji ini adalah untuk mencari profil
farmakokinetik, farmakodinamika, dan dosis untuk diujikan pada tahap selanjutnya.
3. Uji Klinik tahap 3
Dilakukan untuk mengetahui efek terapi dari obat dibandingkan dengan obat lain atau placebo. Pada tahap ini,
rancangan penelitian yang yang dianjurkan adalah uji klinik acak (randomized clinical trial = RCT) untuk
menghindari munculnya variable atau factor bias.
Jika hasil ketiga uji ini baik => registrasi obat oleh pabrik pembuat obat.
Kenapa masih perlu ilmu farmakoepidemiologi??
Setelah dilakukan uji klinik, informasi mengenai efektivitas obat yaitu efek
obat yang muncul pada kondisi sesungguhnya di lapangan, sangat terbatas.
Kondisi saat obat dipasarkan dengan kondisi Ketika dilakukan uji klinik
sangan berbeda.
Jumlah pasien pada uji klinik terbatas, sedangkan kondisi realita digunakan
oleh ribuan pasien tanpa dilakukan monitoring ROTD.
Waktu uji klinik terbatas, biasanya terkait dana penelitian.
Subjek penelitian pada uji klinik diseleksi terlebih dahulu secara ketat
shingga memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kenyataan dilapangan
bagaimana?
Kondisi realita yang sulit untuk dipantau :
Efektivitas dan ROTD tidak terpantau baik.
Kemungkinan muncul interaksi obat.
Permasalahan dosis dan luaran terapi
Kepatuhan pasien terkait minum obat (dosis, frekuensi, interval, dll)