Anda di halaman 1dari 149

FARMAKOEPIDEMIOLOGI

REFERENSI
1. Eisenberg,J.H at al (1994) : Pharmacoeconomics :
Economics Evaluation of Pharmaceuticals, John Wiley
& Sons, Chichester.
2. Sackett,D.I, at al (1991) : Clinical Epidemiology : Basic
Science for Clinical Epidemiology, Epidemiology
Resources: Massachusetts.
3. Strom, B.L (1994) : Pharmacoepidemiology, 2nd
ed, John Wiley & Sons, Chichester.
I. PENDAHULUAN

1. Definisi Farmakoepidemiologi
Farmakoepidemiologi terdiri
komponen yaitu farmako dan epidemiologi. dari
dua
Epidemiologi sendiri berasal dari
Yunanibahasa
: epi = pada/diantara; demos =
penduduk/rakyat/masyarakat; logos =
ilmu/doktrin, sehingga epidemiologi berarti ilmu
pada penduduk. Jadi menurut asal katanya
epidemiologi berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari pemecahan masalah yang terjadi pada
penduduk /masyarakat.
Epidemiologi, sebagai ilmu diagnosa kesehatan
masyarakat, terus berkembang dari pengalaman
menghadapi sepak terjang penyakit sebagai
fenomena massa. Ketika wabah penyakit menular
melanda bangsa-bangsa di dunia, epidemiologi
diartikan sebagai ilmu tentang epidemi (wabah).
Untuk mengatasi suatu wabah yang tengah
berkecamuk, perlu diketahui bagaimana menjalarnya
wabah tersebut dengan mengamati siapa-siapa yang
terserang, dimana wabah menyerang, dan berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk menyerang
sejumlah tertentu
Definisi yang lebih operasional yaitu epidemiologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang distribusi
dan determinan penyakit serta berbagai masalah
kesehatan di dalam masyarakat yang aplikasinya
ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.

Sedangkan kata farmako atau farmakon berarti


obat, dengan demikian sesuai peranannya
masa pada itu,farmakoepidemiologi dirumuskan
sebagai ilmu tentang obat yang digunakan untuk
mengatasi wabah.
Farmakoepidemiologi dapat pula diartikan
sebagai ilmu tentang obat yang digunakan untuk
mencari pemecahan masalah yang terjadi pada
penduduk /masyarakat.
Sebagai cabang ilmu terapan, secara sederhana
farmakoepidemiologi didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari tentang penggunaan dan efek
obat terhadap penyakit dan status kesehatan pada
masyarakat.
Dalam farmakoepidemiologi dibutuhkan
teknik epidemiologi dalam mempelajari efek
obat
manusia. pada
Terutama dalam menentukan rancangan
penelitian suatu efek obat sebelum obat tersebut
dilepaskan ke pasaran.
Dalam hal ini ilmu Farmakoepidemiologi
merupakan jembatan antara ilmu epidemiologi
dan farmakologi klinik

Sebelum membahas lebih lanjut tentang


farmakoepidemiologi, maka perlu diketahui
terlebih dahulu apa tujuan epidemiologi
sendiri.
Berdasarkan dari definisi-definisi tentang
farmakoepidemiologi tersebut, tersirat
beberapa tujuan epidemiologi, yaitu :
a.Menjelaskan sifat dan penyebab masalah
kesehatan;
b. Menemukan / merencanakan pemecahan
masalah serta mengevaluasi aktivitas
pelaksanaannya;
c. Mempelajari riwayat alamiah suatu penyakit atau
masalah kesehatan, petunjuk bagi
upaya pencegahan dan mekanisme pengendalian;
d. Mempelajari penyebab / faktor risiko
suatu penyakit / masalah kesehatan;
e. Mengembangkan sistem pengendalian
dan pemberantasan penyakit.
II. RUANG LINGKUP dan PERSPEKTIF
FARMAKOEPIDEMIOLOGI
1. Ruang Lingkup Farmakoepidemiologi
Ruang lingkup farmakoepidemiolgi berbeda dengan
farmakologi klinik.
Farmakologi klinik mempelajari efek obat pada
manusia, sedangkan farmakoepidemiologi lebih
menitikberatkan pada optimalisasi terapi tersebut
pada manusia, dengan pertimbangan rasio resiko-
keuntungan (risk-benefit ratio) dan pada akhirnya
menggunakan pertimbangan ekonomi.
Sejauh ini Farmakoepidemiologi lebih terfokus pada
Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan/ROTD (Adverse
Drug Reaction).
Penelitian di Columbia pada tahun 2006
menunjukkan bahwa 25,3% dari 91 pasien yang
masuk ke IGD merupakan pasien yang melakukan
swamedikasi dan mengalami ROTD. ROTD yang
terbanyak adalah urtikaria, diikuti oleh hipoglikemia,
gastritis dan anafilaksi. Obat yang paling banyak
menimbulkan ROTD adalah antibiotik dan analgetik.
Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi
ROTD rata-rata 78,1 USD.
Penelitian terbaru di Italia ternyata menunjukkan
bahwa 5.0% dari 17.083 pasien di rumah sakit
mengalami ROTD. ROTD yang paling banyak
dialami oleh pasien adalah keluhan di saluran
pencernaan diikuti oleh gangguan kardiovaskuler,
alergi, nyeri kepala, gangguan keseimbangan
elektrolit dan gangguan psikiatri. Kejadian ini dialami
oleh pasien di rumah sakit dimana banyak tenaga
medis yang bisa mengawasi kondisi pasien.
Dari berbagai penelitian mengenai ROTD, ada 2
tipe ROTD :
1. ROTD tipe A
ROTD tipe ini muncul jika reaksi atas obat sudah
sering muncul, dapat diprediksi dan tergantung
pada dosis. Efek dari ROTD tipe A ini tidak begitu
serius.
2. ROTD tipe B
ROTD tipe B muncul jika reaksi atas obat tersebut
jarang terjadi, tidak dapat diprediksi, tidak
tergantung pada dosis dan berakibat fatal.
ROTD tipe A dapatmuncul pada seseorang yang
mendapat lebih dari 3 obat dan seseorang yang
mempunyai kemampuan metabolisme berbeda
dengan individu normal, terutama jika mendapat obat
dengan indeks terapi sempit. Kadar obat dengan
indeks terapi sempit ini dapat melebihi batas normal
dalam darah apabila seseorang mempunyai
kemampuan metabolisme yang lemah.
2. Perspektif Farmakoepidemiologi
Saat ini obat berkembang sangat cepat.
Penemuan obat baru mengalami peningkatan
dengan semakin banyak obat yang
ditemukan
bekerja pada molekul target yang terkecil.
Thaledomide yang diindikasikan sebagai analgetik,
ditarik karena menimbulkan teratogenik pada wanita
hamil yang berakibat cacadnya bayi yang dilahirkan
(Phocomelia).
Ada beberapa obat yang baru saja ditemukan
kemudian ditarik lagi dari peredaran setelah
beberapa bulan-beberapa tahun beredar karena
ditemukannya efek yang tidak menyenangkan dari
obat tersebut di masyarakat. (FDA, 2006)
Contoh :
- Supofen 1985 – 1987
- Temafloxacin 1992 - 1992
- Fenfluramine 1979 – 1980
- Alosetron 2000 – 2000
- Rapacuronium 1999 – 2001
-Rofecoxib (vioxx) 1999 – 2004
Kenyataan ini juga menimbulkan semakin
banyaknya uji klinik yang dilakukan terhadap obat-
obat baru tersebut untuk menguji efikasi, keamanan
dan sisi ekonomi agar pasien benar-benar
mendapat efek terapi yang maksimal, efek samping
minimal dan keuntungan dari sisi biaya.
Seorang farmasis harus mampu menilai obat
secara arif baik dari sisi efikasi, keamanan dan
ekonominya. Oleh karena itu seorang farmasis harus
menguasai ilmu farmakoepidemiologi sehingga bisa
mengetahui bagaimana metode yang tepat untuk
merencanakan penelitian terhadap suatu obat baik dari
sisi efikasi, keamanan dan ekonominya. Penelitian
farmakoekonomi di negara maju sudah menjadi
prioritas utama untuk memasukkan suatu obat dalam
sistem asuransi.
Perkembangan patient oriented dan
asuhan kefarmasian menuntut farmasis untuk
memberikan
pelayanan yang sepenuhnya kepada pasien,
sehingga ilmu farmakoepidemiologi dan
farmakoekonomi sangat diperlukan untuk meninjau
suatu obat dari sisi efikasi, keamanan dan
ekonominya.
Saat ini sedang berkembang tentang Evidence
Based Medicine (EBM = Pengobatan berdasarkan
bukti terkini). EBM adalah kemampuan seseorang
untuk menggabungkan bukti terkini dari suatu
pengobatan dengan kemampuan klinisnya dalam
praktek kefarmasian.
Kemampuan farmasis dalam menerapkan EBM akan
menurunkan kejadian ROTD dan mencegah
terjadinya medication error.
Seorang farmasis dituntut untuk
memperbaharui
selalu pengetahuannya mengenai obat
dengan menerapkan EBM, maka pengetahuan
mengenaifarmakoepidemiologi juga harus
ditingkatkan.
Tujuan utama dari farmakoepidemiologi adalah
mendapatkan informasi terbaru untuk melindungi
kesehatan masyarakat serta meningkatkan
penggunaan obat yang aman dan efektif.
Penelitian farmakoepidemiologi sangat berpotensi
dilakukan di Indonesia. Kemudahan akses informasi
obat baru, obat tradisional dan alternatif pengobatan
oleh masyarakat mendukung untuk mewujudkan
penelitian farmakoepidemiologi. Penelitian ROTD
akibat penggunaan vaksin, penggunaan alat
kesehatan dan penggunaan obat pada masa
kehamilan sudah diawali di barat, namun
negara
belum di Indonesia.
Beberapa penyakit dengan insidensi cukup tinggi di
Indonesia seperti kanker, membutuhkan penelitian
farmakoepidemiologi untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien kanker.
III. RANCANGAN EKSPERIMENTAL DALAM
EPIDEMIOLOGI

A.Clinical Trial dan Community Trial

Secara garis besar penelitian epidemiologi


dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu : 1). penelitian
observasional dan 2). penelitian eksperimental.
Penelitian observasional adalah penelitian
epidemiologi dimana peneliti hanya mengamati dan
tidak melakukan intervensi / tidak memberikan
perlakuan kepada subyek penelitian. Sebagai
contoh: suatu hipotesis bahwa ibu-ibu perokok
(exposure) maka bayi
yang dilahirkan mempunyai risiko yang lebih besar
untuk mendapat cacat bawaan (outcome) dari pada
yang tidak merokok. Dalam hal ini merokok atau
tidak ditentukan oleh si ibu bukan oleh peneliti.
Penelitian eksperimental yaitu penelitian
epidemiologi di mana peneliti melakukan
intervensi/peneliti dengan sengaja memberikan
suatu perlakuan kepada subyek penelitian.
Perlakuan adalah yang kita anggap sebagai
penyebab. Intervensi / perlakuan yang dilakukan
meliputi usaha aktif untuk mengubah determinan
penyakit melalui proses terapi atau proses yang
lainnya.
Selanjutnya kita mengamati timbulnya akibat yang
kita harapkan.
Pada epidemiologi eksperimental seperti tersebut
di atas, peneliti dengan sengaja memberikan perlakuan
atau dapat juga dengan sengaja tidak memberikan
perlakuan kepada subyek penelitian. Berdasarkan
modus pengontrolan situasi penelitian, eksperimen
dibagi menjadi 2 jenis, yaitu 1). Eksperimen murni
(menggunakan proses randomisasi) dan 2).
Eksperimen semu / eksperimen kuasi (tidak
menggunakan proses randomisasi).
Berikut rancangan penelitian
epidemiologi eksperimental :
1. Clinical Trial (Uji Klinik).
Uji Klinik adalah rancangan penelitian
epidemiologi eksperimen yang digunakan untuk
mengkaji suatu cara pencegahan penyakit atau upaya
pengobatan. Subyek penelitian biasanya terbagi
menjadi 2 kelompok (dapat lebih dari 2 kelompok) yaitu
kelompok treatment (intervensi / perlakuan)
kelompok dan kontrol (tanpa perlakuan), kemudian
hasilnya dinilai dengan cara membandingkan outcome
yang terdapat di dalam kelompok-kelompok tadi. Untuk
menguji adanya hubungan sebab akibat digunakan uji
statistik.
2. Community Trial (Uji Komunitas).
Uji Komunitas adalah rancangan penelitian
epidemiologi eksperimen di mana intervensi
dialokasikan kepada komunitas, bukan kepada
individu-individu. Hal itu disebabkan karena tidak
mungkin atau tidak praktis untuk dilakukan kpd
individu. Intervensi dpt juga dilakukan kpd kelompok
yg lebih kecil dari komunitas, ( rumah tangga, buruh
pabrik, anak sekolah dsb). Proses penelitian secara
garis besar sama dengan rancangan Uji Klinik.
Akurasi epidemiologi eksperimental dipengaruhi
oleh dua hal, yaitu :

a. Validitas / Ketepatan : suatu ukuran untuk


menyatakan keabsahan penelitian. Ketidak validan
penelitian dapat disebabkan oleh kesalahan yg
sifatnya sistematik, yaitu adanya confounding factor,
misklasifikasi, dan kesalahan seleksi.
b. Reliabilitas / Presisi / Ketelitian : yaitu
reprodusibililitas hasil penelitian atau tingkat
kesamaan hasil penelitian jika penelitian tersebut di
ulang-ulang. Ketidakreliabelan suatu penelitian
dapat disebabkan oleh kesalahan yg bersifat
random.
B. Konsep Dasar Uji Klinis

Dinamakan Uji Klinis karena penelitian


ekperimen dilakukan di klinik. Uji klinis ditujukan
untuk mencari obat yang lebih efisien atau
menentukan efektivitas obat baru yang telah berhasil
dengan baik pada percobaan hewan. Penelitian ini
dilakukan dengan membandingkan hasil obat yang
diberikan pada sekelompok penderita dengan
kelompok lain yang mendapatkan obat lain atau
plasebo sebagai kontrol dengan maksud untuk
menentukan apakah obat yang diuji coba itu lebih
efisien dibandingkan dengan obat yang telah ada
atau
obat yang diuji coba efektif untuk menyembuhkan
penyakit yang diteliti.
Pengumpulan subjek studi didasarkan pada
penderita yang datang ke rumah sakit untuk berobat
dan sesuai dengan kriteria penelitian yang telah
ditentukan.
Penderita tersebut dipilih secara random, dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Kedua kelompok tersebut
kemudian diberi pengobatan dan hasilnya
dibandingkan dengan perhitungan statistik yang
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menarik kesimpulan.
Penelitian dapat dilakukan pada orang sehat atau
orang sakit disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Contoh :
Keadaan awal : 1.sakit; 2. sehat
Intervensi : 1a. mengubah perjalanan penyakit
1b. mencegah lebih parah
2. pencegahan
Hasil : 1a. perbaikan / sembuh
1b. Tidak lebih parah
2. sehat
Disamping pengobatan dan pencegahan, uji klinis
dapatjuga digunakan untuk uji diagnosis,
penjelasan atau metodologi (prosedur tetap)
yang baru.
1. Ciri-Ciri Uji Klinis
Secara garis besar, penelitian uji klinis memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Uji klinis merupakan studi kasus;
b.Dilakukan dengan rancangan eksperimen;
c. Menguji hipotesis spesifik;
d. Menggunakan kelompok kontrol;
e. Intervensi dilakukan secara aktif dan terencana
oleh peneliti;
f. Alokasi kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dilakukan dengan cara random.

2. Keuntungan dan Kerugian


Rancangan Eksperimental

a. Keuntungan
1). Uji Klinis dapat digunakan untuk mencari
efisiensi dan efektivitas obat atau prosedur
pengobatan.
2). Penelitian dengan eksperimen digunakan
sebagai penelitian lanjutan setelah keberhasilan pada
percobaan hewan sebelum obat atau prosedur
pengobatan digunakan secara luas.
3). Dengan uji klinis, peneliti dapat
mengendalikan intervensi yang diberikan.

b. Kerugian
1). Tidak semua masalah dapat dilakukan
dengan penelitian uji klinis karena adanya hambatan
dalam faktor etis.
2). Sering kesulitan dalam menentukan waktu
yang tepat dalam melaksanakan uji klinis.
IV. APLIKASI FARMAKOEPIDEMIOLOGI
A.Konsep Epidemiologi
Untuk mempelajari tentang epidemiologi, maka
perlu diketahui lebih dulu tentang konsep “sehat”
dan “sakit”, karena kedua konsep tersebut berkaitan
erat dengan epidemiologi dalam hal pencegahan
dan pemberantasan penyakit. Konsep sehat juga
merupakan hal yang penting untuk diketahui karena
para ahli epidemiologi saat ini memperhatikan juga
fungsi organ tubuh yang normal.
Misalnya :
a. Perubahan tekanan darahpada orangnormal
setelah melakukan aktivitas fisik;
b. Perbedaan kadar kolesterol darah pada orang
normal berdasarkan perbedaan umur dan jenis
kelamin;
c. Pertumbuhan dan perkembangan normal pada
berbagai suku bangsa atau ras dan tingkat sosial
ekonomi.
1. Konsep Sehat
Ada berbagai konsep “sehat” yang ditinjau
berdasarkan sudut pandang yang berbeda,
misalnya :
a.konsep “sehat” dipandang dari sudut fisik secara
individu, dan
b. konsep “sehat” dipandang dari sudt ekologi.
Konsep “sehat” secara fisik dan bersifat individu ialah
“seseorang dikatakan sehat bila semua organ tubuh
dapat berfungsi dalam batas-batas normal sesuai
dengan umur dan jenis kelamin”. Kesulitan
penentuan “normal” masih belum dapat dibakukan.
Konsep “sehat” berdasarkan ekologi ialah
Sehat berarti proses penyesuaian antara individu

dengan lingkungannya.
Proses penyesuaian ini berjalan terus menerus dan
berubah-ubah sesuai dengan perubahan lingkungan
yg mengubah keseimbangan ekologi dan utk
mempertahankan kesehatannya orang dituntut utk
menyesuaikan diri dg lingkungan”.
Karena ada perbedaan dalam sudut pandang
tersebut maka hingga kini belum terdapat batasan
“sehat” yang memuaskan. Konsep sehat
banyak dianut oleh banyak negara yang adalah
tercantum dalam pembukaan konstitusi yang
(1948) : “Health is atage of complete physical, mental
WH
and social welbeing and not merely the absence O of
disease or infirmity”
Menurut UU No.36/2009 tentang Kesehatan, bahwa
“kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomi”
2. Konsep Sakit
Seperti halnya konsep “sehat” maka konsep “sakit”
pun merupakan proses yang dinamis dan bersifat
relatif. Tetapi secara umum terdapat 5 hal utama
yang potensial untuk diukur, yang dikenal dengan
“5D”, yaitu Death, Disease, Disability, Discomfort dan
Dissatisfaction.
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya
interaksi antara “agent” (penyebab penyakit), “host”
(manusia sebagai pejamu) dan “environment”
(lingkungan). Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai
Triad Epidemiology (Trias Penyebab Penyakit).
Agent (Penyebab/Bibit Penyakit)
a. Biotis (unsur hidup), khususnya pada penyakit-
penyakit menular :
1) Bakteri : Salmonella, Meningitis
2)Jamur :Candida,Tiniaalgae,
Hystoplasmosis 3). Metazoa : Arthropoda,
Helminthes
4). Protozoa : Plasmodium, Amoeba
5). Virus : Dengue, Polio,
Measles

b. Abiotis (unsur mati) :


1). Nutrient Agent : kekurangan/kelebihan gizi
(karbohidrat, lemak, protein, mineral dan
vitamin)
2). Chemical Agent : pestisida, obat-obatan,
logam berat, dll.
3). Physical Agent : suhu, kelembaban, panas,
radiasi, kebisingan, dll.
4). Mechanical Agent : pukulan tangan,
benturan, tekanan, dll.
5). Psychis Agent : gangguan psikologis, stres,
5). Psychis Agent : gangguan psikologis,
stres, depresi.
6). Physiologis Agent : gangguan faal
tubuh, kehamilan dan persalinan.
7). Habit Agent : merokok, alkohol,
narkoba, dll 8). Hormone Agent : hipertiroid,
DM, dll
9). Genetic Agent : kelainan genetika

Host (Pejamu)

Pejamu adalah keadaan manusia yang sedemikian


rupa sehingga menjadi faktor risiko untuk terjadinya
penyakit.
1). Genetik : penyakit herediter seperti hemophilia,
sickle cell anemia, gangguan glukosa 6 fosfatase.
2). Umur : usia lanjut mempunyai risiko untuk
terkena karsionoma, penyakit jantung, dll;
3). Jenis kelamin : penyakit kelenjar gondok,
reumatoid astritis (cenderung terjadi pada wanita),
penyakit jantung dan hipertensi (menyerang laki-laki);
4).Keadaan fisiologi : kehamilan dan
persalinan terjadinya berbagai penyakit, seperti
memudahkan
keracunan kehamilan, aemia, dan psikosis
pascapartum;
5). Status kesehatan termasuk status gizi;
6). Keadaan imunitas dan respon imunitas;
7). Kebiasaan hidup dan kehidupan sosial;
8). Pekerjaan, dll

Environment (Lingkungan)

Faktor lingkungan sangat menentukan dalam


hubungan interaksi antara penjamu dengan faktor
agent. Lingkungan dapat dibagi dalam 3 bagian
utama :

1. Lingkungan Biologis (fauna


dan flora disekitar kita), bersifat
biotik :
a. Mikroorganisme penyebab penyakit
b. Reservoir penyakit infeksi (binatang, tumbuhan);
c. Vektor pembawa penyakit;
d.Tumbuhan dan binatang sebagai sumber bahan
makanan, obat dll.

2. Lingkungan Fisik, bersifat abiotik :

a. Geografi;
b. Keadaan musim;
c. Udara, air;
d. Keadaan tanah;
e. Zat kimia, polusi, dll
3. Lingkungan Sosial Ekonomi
a.Pekerjaan : pekerjaan yang berhubungan dengan
zat kimia (pestisida) atau zat fisika (zat radioaktif) atau
zat karsinogenik (asbes)
b.Urbanisasi : kepadatan penduduk, munculnya
daerah kumuh, perumahan, pendidikan dan sampah
yang mencemari air minum dan lingkungan
c.Perkembangan ekonomi : peningkatan ekonomi
rakyat dapat mengubah pola konsumsi (makanan
berkolesterol banyak), tingkat ekonomi rendah, muncul
kekurangan gizi, dll.
d. Bencana alam : mengubah sistem ekologi.
B. Peranan Farmakoepidemiologi Dalam
Kesehatan Masyarakat
Tujuan utama dari farmakoepidemiologi adalah
mendapatkan informasi terbaru untuk
kesehatan masyarakat serta meningkatkan
melindungi
penggunaan obat yang aman dan efektif. Untuk
menunjang tujuan utama
dari farmakoepidemiologi ini perlu dilakukan
beberapa tahap pengujian obat untuk mencapai
efektivitas dan efikasinya. Tahap pengujian
tersebut antara lain :
1. Uji Klinik tahap 1
Uji ini dilakukan setelah obat
persyaratan pada uji farmakodinamik, farmakokinetik
dan toksikologi baik in vivo maupun in vitro yang
biasanya dilakukan pada hewan. Tahap ini dilakukan
pada subjek yang sehat. Kecuali pada obat tertentu,
misalnya kanker, uji tahap 1 dilakukan pada penderita
kanker.
2. Uji Klinik tahap 2
Uji ini dilakukan pada subjek sehat atau pasien,
tergantung pada indikasi obat. Tujuan dari uji ini
adalah untuk mencari profil farmakokinetik,
farmakodinamik dan dosis untuk diujikan pada tahap
selanjutnya.
3. Uji Klinik tahap 3
Uji ini dilakukan untuk mengetahui efek terapi
dari obat dibandingkan dengan obat lain atau plasebo.
Pada tahap ini, rancangan penelitian yang dianjurkan
adalah uji klinik acak (random) untuk menghindari
munculnya variabel atau faktor yang bisa mengganggu
proses penelitian.
Setelah ketiga uji klinik tersebut dilakukan dan
hasilnya baik, maka tahap berikutnya adalah :
a. Registrasi obat oleh pabrik
pembuat obat. Informasi yang diperoleh dari uji
klinik tahap 1 – 3 adalah informasi efikasi obat,
yaitu efek obat yang muncul pada kondisi uji klinik
sudah ditentukan selama penelitian. Namun informasi
mengenai efektivitas obat, yaitu efek obat yang muncul
pada kondisi sesungguhnya di lapangan, sangat
terbatas. Sehingga ilmu farmakoepidemiologi
diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai
efektivitas obat. Kondisi ketika obat dipasarkan dengan
kondisi ketika dilakukan uji klinik sangat berbeda.
b. Dilakukan pola peresepan oleh dokter
penggunaan dan secara rasional dalam usaha
obat
memonitor penggunaan obat di pasaran.
rasionalisasi Jika penggunan obat kurang baik,
muncul biayaefeknya
obat yang lebih besar akibat kurang
efektifnya obat yang diresepkan.
c. Melakukan penelitian penggunaan obat yang
meliputi pemasaran, distribusi, peresepan, dan
penggunaan obat di komunitas dengan luaran pada
kondisi fisik dan sosial pasien serta faktor biaya.
d. Melakukan penelitian efek obat yang
menguntungkan.
Setelah obat diminum oleh pasien, sedikitnya ada 4
efek obat yang dapat muncul :
1). Efek yang tidak menguntungkan dan tidak dapat
diantisipasi (katagori ROTD tipe B). Contohnya efek
penggunaan Kloramfenikol yang menimbulkan
anemia aplastika.
2). Efektidak menyenangkan yang dapat
diantisipasi (kategori ROTD tipe A dan tipe B).
Contohnya efek emetik akibat mengkonsumsi
Metoprolol.
3). Efek menguntungkan yang tidak dapat
diantisipasi. Contohnya
penggunaan Asetosal dalam
mengurangi kejadian miokard infark.
4). Efek menguntungkan yang dapat
diantisipasi.
Efek yang
diinginkan dengan mengkonsumsi obat termasuk
dalam kategori ini.
Beberapa contoh penelitian farmakoepidemiologi
mengenai efek obat antara lain :
1. Perlunya penurunan dosis Gentamisin pada
kasus gagal ginjal.
2. Ampisilin bukan merupakan obat pilihan untuk otitis
media karena munculnya resistensi di berbagai
wilayah.
3. Dosis harian Ibuprofen yang tidak optimal pada
kasus rematoid arthritis dan osteoarthritis.
4. Perlunya penyesuaian dosis Diazepam pada
pasien anak-anak.
Dari berbagai keterbatasan uji klinik inilah maka perlu
dilakukan studi Farmakoepidemiologi untuk
mengetahui efektivitas obat pada kondisi yang ada di
masyarakat, antara lain :
1. Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi
timbulnya gangguan kesehatan/penyakit dalam
suatu masyarakattertentu dalam usaha mencari
data utk penanggulangan serta pencegahannya.
2. Menyiapkan data/informasi untuk keperluan
program kesehatan dengan menilai status
kesehatan
masyarakatdalam
serta memberikan gambaran tentang
kelompok penduduk yang terancam.
3. Membantu menilai beberapa hasil
program kesehatan.
4. Mengembangkan metodologi dlm
menganalisa penyakit serta cara mengatasinya,
baik penyakit perorangan (tetapi dianalisis
dalam kelompok) maupun Kejadian Luar Biasa
(KLB) / wabah dalam masyarakat.
5. Mempelajari tentang penelusuran ROTD,
tindakan untuk mengatasi ROTD,
mempelajari dan mencegah ROTD serta
permasalahan lain yang berhubungan dengan
obat, yang tujuannya adalah :
a. Meningkatkan pelayanan dan keselamatan
pasien
b.
Meningkatkan kesehatan dan keselamatan
masyarakat terutama yang berhubungan dengan
penggunaan obat.
c. Memberikan kontribusi terhadap analisis
keuntungan, risiko, efektivitas penggunaan obat.
d. Meningkatkan penggunaan obat yang
dan
rasional
efektif ditinjau dari segi biaya (cost-
effectiveness).
V. STRATEGI PENGAMBILAN SAMPEL

A.Definisi Populasi dan Sampel

Dalam suatu penelitian, maka seorang peneliti


perlu menentukan dulu siapa populasi dan
sampel dari penelitiannya.
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian
atau individu yang akan diteliti yang sesuai
dengan kriteria penelitian yang ditetapkan.
Sampel adalah sebagian dari populasi yang
dipilih dengan prosedur tertentu.
Dalam penelitian epidemiologi dikenal istilah
populasi target. Populasi target adalah populasi
dimana kesimpulan penelitian akan dibuat
berdasarkan kondisi populasi tersebut.
Populasi target akan dipersempit menjadi
populasi yang akan menjadi target observasi.
Populasi akan dipersempit lagi menjadi
sampel, sebagai pasien yang akan diobservasi.

Terjadinya kesalahan dapat diawali dari


metode pemilihan sampel.
Kesalahan bisa diatasi dengan menghitung
kemungkinan kesalahan yang terjadi secara
statistik, namun ada juga kesalahan sistematik
yang tidak bisa dihitung sehingga diperlukan
pertimbangan tertentu.

Kesalahan sistematik bisa diatasi dengan


menggunakan proses seleksi random dimana
setiap anggota dari populasi mempunyai
kesempatan yang sama utk menjadi sampel.
B. Syarat-Syarat Sampel

Dalam pengambilan sampel dari populasi, ada


beberapa syarat-syarat sampel agar dapat
mewakili populasi yg tersedia, yaitu :

1.Harus Representatif
Sampel yang representatif
adalah sampel yang dapat mewakili populasi
yang ada.
Oleh karena itu, pengambilan sampel harus
direncanakan dan jangan asal mengambil.
Misalnya kita akan menguji efek obat
antihipertensi terhadap pasien hipertensi.
Hipertensi itu bisa menyerang pada siapa saja ,
tanpa membedakan kelompok jenis kelamin,
usia maupun pendidikan, sehingga ketika
mengambil sampel yang dapat mewakili
populasi maka semua pasien hipertensi dalam
setiap kelompok tersebut diambil menjadi
sampel.
2. Sampel harus cukup banyak

Sebenarnya tidak ada pedoman


umum yang digunakan untuk menentukan
besarnya sampel untuk suatu penelitian.
Tetapi ada pendapat (Polit &
Hungler) bahwa semakin besar sampel
semakin baik dan representatif hasil yg
diperoleh.
itu, Oleh karena
semakin besar sampel, semakin
representatif hasil penelitian sehingga
semakin mengurangi angka kesalahan.
C. Penentuan Besarnya Sampel

Dalam menetukan ukuran sampel minimal,


bisa dilakukan melalui 2 cara, yaitu :

1.Cara Statistik
Cara ini dengan menggunakan rumus statistik
tertentu yang bervariasi, bergantung pada
indikator yang akan diteliti, alat analisis statistik
yang digunakan, teknik sampling yg digunakan, dll.
RUMUS :
N. X2.
P. Q
n =

d2. (N-1)
n = Perkiraan jumlah + X2. P. Q
sampel
N = Perkiraan besar populasi
Keterangan
X2 = dengan : dk = 1, taraf
kesalahan 1%, 5%, 10%
P = Perkiraan proporsi, jika tidak
diketahui dianggap 50% (0,5)
Q == 1 – P (100%
Tingkat - 50%yang
kesalahan ataudipilih
1 – 0,5(d ==
2. Cara non statistik
Cara ini menggunakan asumsi tertentu,
biasanya :
a.Mengikuti pendapat pakar statistik tentang
ukuran sampel.
Contoh :
1) Jika besar populasi > 1000, maka sampel
bisa diambil 10% - 20%
2) Jika besar populasi < 1000, maka sampel
bisa diambil 20 – 30%
b. Adanya keterbatasan sumber daya, biaya,
tenaga, waktu
Selama cara ini memenuhi syarat validitasnya,
mk bisa digunakan para peneliti., bahkan paling
sering digunakan.
VI. PERESEPAN
A.Penggunaan Obat Yang Rasional
1. Pengertian
Kriteria penggunaan obat yang rasional
dalam konteks biomedis mencakup :
a. Tepat indikasi;
b. Tepat obat ( benar, manjur, aman, cocok
bagi pasien, harga sesuai);
c. Tepat dosis;
d. Tepat pasien;
e. Dispensing benar;
f. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan
Untuk memenuhi kriteria tersebut, dokter penulis
resep harus mengikuti proses baku penulisan,
dimulai dengan diagnosis untuk menetapkan
masalah yang memerlukan intervensi, kemudian
sasaran terapi harus ditetapkan.
Penggunaan obat yang rasional, mensyaratkan
bahwa pasien menerima obat-obatan yang sesuai
pada kebutuhan klinik mereka, dalam dosis yang
memenuhi kebutuhan individu mereka sendiri, untuk
suatu periode waktu yang memadai, dan pada harga
terendah untuk mereka dan masyarakatnya.
2. Contoh Penggunaan Obat yang Tidak
Rasional
Penggunaan obat yg tidak rasional dapat terjadi di
tempat pelayanan kefarmasian (rumah sakit, apotik)
maupun di masyarakat. Hal ini mencakup penulisan
obat yg tidak perlu, obat yang salah, tidak efektif,
atau obat yg tidak aman, obat yg efektif dan tersedia
namun kurang digunakan, dan obat yg digunakan
secara tidak benar.
a. Obat yang tidak diperlukan
- Penggunaan antibiotika pada anak-anak
yg menderita infeksi saluran napas atas ringan.
- Penggunaan antimikroba atau antidiare sebagai
pengganti oralit untuk anak-anak dengan diare akut.
b. Obat yang salah
- Penggunaan antibiotika untuk gejala
penyakit
DB;
-Penggunaan penisilin spektrum sempit untuk
anak-anak dengan faringitis streptokokus.
- Penggunaan tetrasiklin sebagai profilaksis untuk
demam rematik.
c. Obat yang tidak efektif dan
Obat dengan kemanjuran yang meragukan
- Penggunaan yang berlebihan dan tidak
perlu sediaan multivitamin atau tonikum.
d. Obat yang tidak aman
Kemungkinan reaksi merugikan melebihi efek
terapinya.
-Penggunaan steroid anabolik untuk pertumbuhan
dan merangsang nafsu makan anak-anak atau atlet.
e. Obat efektif yang tersedia kurang digunakan
-Penulisan oralit hanya bagi sebagian kecil anak-
anak dengan diare akut dalam suatu daerah.
f. Penggunaan obat yang tidak benar
- Sediaan injeksi umumnya digunakan berlebihan.
-Penggunaan antibiotika untuk pasien, hanya untuk
satu atau dua hari suplai, yang seharusnya penuh
selama terapi.
3. Dampak Merugikan dari Penggunaan Obat
yang Tidak Rasional
Penggunaan obat yang tidak
tepat dapat mengakibatkan efek merugikan pada
biaya perawatan kesehatan, demikian juga mutu
terapiobat dan perawatan medik serta
meningkatnya
kemungkinan reaksi merugikan dan kepercayaan
pasien yang tidak tepat pada obat.
a. Dampak pada mutu terapi obat dan
perawatan medik.
Praktik penulisan resep yang tidak tepat,
secara baik
langsung maupun tidak, akan
membahayakan mutu perawatan pasien dan secara
negatif mempengaruhi hasil pengobatan.
- Penggunaan oralit yang kurang untuk diare akut
dapat menghalangi sasaran pengobatan (dehidrasi,
kematian).
Kemungkinan reaksi obat merugikan
meningkat apabila obat ditulis tanpa guna.
- Penyalahgunaan produk injeksi menyebabkan syok
anafilaktik yang tinggi.
- Penggunaan antibiotika dan obat kemoterapi yang
berlebih atau kurang dosis, menimbulkan resistensi
bakteri atau parasit malaria.
b. Dampak pada biaya
Pengunaan obat yg berlebihan, menyebabkan
pembelanjaan sediaan obat yang berlebihan dan
penghamburan sumber finansial, baik oleh pasien
maupun sistem pelayanan kesehatan.
Pemborosan anggaran di beberapa RS dalam
pembiayaan obat - obat non esensial , seperti
multivitamin atau obat batuk, yang seharusnya dapat
untuk pembiayaan obat-obat yang lebih esensial dan
vital, seperti antibiotika atau vaksin. Penggunaan obat
yang kurang atau tidak tepat juga dapat menghasilkan
biaya berlebihan karena kemungkinan perpanjangan
penyakit dan hospitalisasi pada akhirnya.
c. Dampak psikologis
Penulisan obat berlebihan mengomunikasikan pada
pasien bahwa mereka membutuhkan obat utk setiap
dan semua kondisi, bahkan untuk kondisi yg
sepelepun, akibatnya pasien mengandalkan diri pada
obat dan kepercayaan ini meningkatkan permintaan
obat.
4. Berbagai Faktor, Mendasari Penggunaan Obat
yang Tidak Rasional
a. Sistem pelayanan kesehatan
Berbagai faktor yang mempengaruhi sistem
pelayanan kesehatan di RS antara lain suplai yg
tidak dapat diandalkan, kekurangan obat, obat ED,
ketersediaan obat-obat yg tidak tepat; formularium
yg tidak akomodatif dan tidak pernah direvisi
sehingga tidak digunakan oleh staf medik; IFRS yg
tidak melaksanakan fungsi
yg seharusnya; beroperasinya apotik swasta di dalam
RS pemerintah yg tidak di bawah kendali IFRS, dan
PFT yang tidak berfungsi. Semua faktor tersebut
menyebabkan pengendalian dan pengelolaan obat di
RS tidak terlaksana, mengakibatkan penggunaan obat
yg irasional.
b. Dokter penulis resep
Kurangnya edukasi berkelanjutan tentang obat di
RS kurang berfungsinya PFT, sehingga sistem
karena
formularium tidak dikenal. Juga dokter kurang
menerima informasi obat yg obyektif karena
kurangnya apoteker untuk menangani SIO di RS.
c. Apoteker
Peranan Apoteker dalam proses penggunaan obat
yang rasional antara lain : membantu dokter dalam
menyeleksi obat terbaik; menginterpretasi resep;
menyediakan dan menyampaikan informasi obat kpd
nakes lain; memberi KIE dan konseling obat kpd
pasien.
d. Pasien dan Masyarakat
Terutama disebabkan oleh kepatuhan pasien
terhadap pengobatan, hal ini dipengaruhi oleh banyak
faktor : kepercayaan kultural, sikap komunikasi dokter
penulis resep dan apoteker, waktu yg terbatas utk
konsultasi, dll.
B. Seleksi Obat Esensial
1. Obat Esensial
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling
dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup
upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi,
yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan
kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
2. Kriteria pemilihan/seleksi obat esensial
Prioritas harus diberikan pada obat-bat yang telah
terbukti manjur dan aman, supaya memenuhi
kebutuhan banyak orang. Duplikasi obat dan bentuk
sediaan yang tidak perlu harus dihindari.
Hanya obat-obat dengan data ilmiah yang cukup,
tersedia dari uji coba klinik terkendali dan studi
epidemiologi serta bukti unjuk kerja pada
penggunaan umum dalam berbagai rumah sakit telah
diperoleh, harus diseleksi. Produk obat yang baru
dipasarkan dapat termasuk hanya jika produk
tersebut mempunyai keuntungan nyata atas produk
yang sekarang digunakan.
Pemilihan obat esensial didasrkan atas kriteria
berikut :
a. Memiliki rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio)
yang paling menguntungkan penderita.
b.Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan
bioavailabilitas;
c. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan;
d.Praktis dalam penggunaan dan penyerahan
yang disesuaikan dengan tenaga, sarana dan fasilitas
kesehatan;
e.Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan
penerimaan oleh penderita;
f.Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio)
yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak
langsung;
g. Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki
efek terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan pada :
-Obat yang paling banyak diketahui berdasarkan
data ilmiah;
-Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui
paling menguntungkan;
- Obat yang stabilitasnya lebih baik;
- Mudah diperoleh;
- Obat yang telah dikenal.
h. Obat jadi kombinasi tetap,harusmemenuhi
kriteria berikut :
- Obat hanya bermanfaat bagi penderita dlm bentuk
kombinasi tetap;
- Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan
keamanan yg lebih tinggi dari pada masing-masing
komponen;
- Perbandingan dosis komponen kombinasi
tetap
merupakan perbandingan tepat utk sebagian besar
penderita yg memerlukan kombinasi tsb;
- Kombinasi tetap harus meingkatkan rasio manfaat-
biaya (benefit-cost ratio);
- Utk antibiotik kombinasi tetap hrs dpt
mencegah/mengurangi terjadinya resisitensi dan efek
merugikan lainnya.
3. Penerapan konsep obat esensial
Penerapankonsep obat esensial dilakukan
melalui DOEN, Pedoman Pengobatan,
Rumah
FormulariumSakit, Formularium Spesialistik
Informatorium Obat Nasional dan Indonesia yang
merupakan komponen saling terkait untuk mencapai
peningkatan ketersediaan dan suplai obat serta
kerasionalan penggunaan obat.
a. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
DOEN merupakan daftar obat terpilih yg paling
dibutuhkan dan yg diupayakan tersedia di unit yankes
sesuai dg fungsi dan tingkatnya.
Bentuk sediaan, kekuatan dan besar kemasan
yang tercantum dalam DOEN adalah mengikat.
b. Pedoman Pengobatan
Pedoman Pengobatan disusun secara sistematik
untuk membantu dokter dalam menegakkan
diagnosis dan pengobatan yang optimal untuk suatu
penyakit tertentu. Pedoman Pengobatan memuat
informasi penyakit, terutama penyakit yang umum
terjadi dan keluhan-keluhannya serta informasi
tentang obatnya meliputi kekuatan, dosis dan lama
pengobatan.
c. Formularium Rumah Sakit (FRS)
FRS merupakan daftar obat yang disepakati
beserta informasinya yang harus diterapkan di Rumah
Sakit. FRS disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi
(PFT)/Komite Farmasi dan Terapi (KFT) Rumah Sakit
berdasarkan DOEN dan disempurnakan dengan
mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara
ilmiah dibutuhkan untuk pelayanan di RS tersebut.
d. Formularium Spesialistik
Formularium Spesialistik merupakan suatu buku
yang berisi informasi lengkap obat-obat yang
paling
dibutuhkan oleh dokter spesialis bidang
tertentu, untuk pengelolaan pasien dg indikasi penyakit
tertentu. Formularium Spesialistikdisusun
meningkatkan ketaatan para dokter spesialis RS
untuk
terhadap FRS yang selama ini masih sangat rendah.
e. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI)
IONI berisi informasi obat yang beredar dan disajikan
secara ringkas dan sangat relevan dengan
dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya.
kebutuhan
Informasi obat yang disajikan meliputi indikasi, efek
samping, dosis, cara penggunaan dan informasi lain
yang penting bagi penderita.
f. Jaga mutu
Jaga mutu obat menyeluruh yang meliputi tahap
pengembangan produk, CPOB, monitoring mutu obat
pada rantai distribusi dan penggunaannya,
merupakan elemen penting dalam penerapan konsep
obat esensial. Maka diperlukan obat
yang pengelolaan efektif untuk menjamin obat
denganketersediaan
jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi
standar mutu. Untuk meningkatkan penggunaan obat
yang rasional, penggunaan obat esensial pada unit
pelayanan kesehatan harus disesuaikan dengan
pedoman pengobatan yang telah ditetapkan.
C. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
1. Definisi
Program evaluasi obat di
lingkungan pelayanan kesehatan adalah suatu proses
jaminan mutupenggunaan
yang terstruktur, dilaksanakan terus
menerus, dan diotorisasi, ditujukan untuk memastikan
bahwa obat-obatan digunakan dengan tepat, aman
dan efektif.
2. Pemilihan obat yang akan dievaluasi
Obat-obatyang dievaluasi harusdipilih
berdasarkan satu atau lebih alasan berikut :
a. Obat diketahui atau dicurigai
Reaksi merugikan atau berinteraksi dengan obat lain,
makanan dan prosedur diagnostik yang menimbulkan
suatu risiko kesehatan yang signifikan.
b.Obat digunakan pada pengobatan pasien yang
mungkin berisiko tinggi untuk ROM, (misalnya pasien
lanjut usia, pasien rusak ginjal atau hati).
c.Obat adalah salah satu yang paling sering ditulis
atau mahal.
d.Obat kemungkinan besar toksis atau menyebabkan
ketidaknyamanan pada dosis terapi normal.
e. Obat paling efektif apabila digunakan pada suatu
cara khusus.
f. Obat sedang dalam evaluasi formularium untuk
penambahan atau penghapusan atau untuk
dipertahankan.
g. Obat yang paling mungkin berbahaya pada pasien
jika salah penggunaan atau penyalahgunaan
(misalnya, antikoagulan).
h. Obat telah dipilih, melalui kebijakan (RS atau
sarana pelayanan kesehatan yang lain) untuk
dievaluasi.
3. Tanggung jawab Apoteker dalam program
EPO
Tanggung jawab apoteker dalam suatu program
EPO mencakup hal berikut :
a. Bekerja sama dengan staf medis dan dengan
yang lain, mengadakan koordinasi harian program
EPO.
b. menetapkan
Menyediakan data
obatkuantitatif
yang akan penggunaan obat untuk
dievaluasi (data
konsumtif terakhir).
c. Menyiapkan konsep kriteria penggunaan
obat/standar dengan bekerja sama dengan staf
Medik dan lain-lain untuk disetujui oleh Tim EPO, PFT,
dan ketua Komite Medik.
d. Mengumpulkan data penggunaan obatyang akan
dievaluasi dan mengkaji order obat, profil pengobatan
pasien, terhadap kriteria penggunaan obat yang telah
ditetapkan.
e. Menginterpretasikan dan melaporkan temuan
evaluasi kepada Tim EPO, dan memformulasi
rekomendasi tindakan perbaikan yang akan diusulkan
Tim EPO ke pimpinan RS.
f. Berpartisipasi dalam program tindakan perbaikan,
misalnya dalam edukasi untuk memperbaiki temuan
evaluasi.
g. Memantau keefektifan tindakan perbaikan dan
membuat laporan tertulis tentang hasil pemantauan
tersebut.
Sifat kualitatif EPO harus ditonjolkan dan difokuskan
pada kerasionalan penggunaan obat. (Obat yang tepat
dengan dosis yang dikonsumsi tepat, kepada pasien
yang tepat, pada waktu yang tepat, dan melalui rute
yang tepat).
EPO adalah suatu program jaminan mutu untuk
terapi obat. EPO mempunyai kemungkinan, tidak saja
mencapai terapi obat yang optimal, tetapi juga
memaksimalkan peranan profesional sebagai apoteker
klinik.
Kesimpulannya, program EPO ini digunakan untuk
a. Mengidentifikasi masalah;
b. Menetapkan prioritas;
c. Mengkaji penyebab dan lingkup;
d. Bertindak untuk solusi masalah;
e. Memantau efektivitas tindakan perbaikan.
Sepanjang jalan mulai dari identifikasi sampai pada
solusi masalah, ada rangkaian kesatuan pilihan yang
tersedia bagi apoteker klinik dalam perencanaan
untuk dan pemeliharaan penggunaan obat yang
optimal.
VII. EFEK SAMPING OBAT (ESO)
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk
menyebabkan efek samping (ESO), karena seperti
halnya efek farmakologik, efek samping obat juga
merupakan hasil interaksi antara molekul obat
dengan sistem biologik tubuh. Risiko ESO tidak
dapat dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan
dan dikurangi seminimal mungkin dengan
mengetahui kondisi yang mendorong terjadinya efek
samping, mengetahui sifat obat, serta mengetahui
cara pemakaiannya yang tepat.
A.Reaksi Obat Merugikan (ROM)
Reaksi merugikan dapat membatasi potensi terapi
suatu obat. ROM dapat terjadi setiap waktu obat
digunakan. Utk memastikan apakah gejala seorang
pasien adalah berkaitan dengan obat, Apoteker yg
terlibat dlm pemantauan ROM harus mempunyai
pengetahuan patofisiologi, uji laboratorium, dan
farmakoterapi. Selain itu, Apoteker harus mampu
untuk memperoleh informasi secara langsung dari
pasien, dari dokter pasien, keluarga, dan dari kartu
pengobatan pasien.
Jika ROM dicurigai, apoteker perlu memahami
farmakologi, interaksi, dan efek samping obat yang
dicurigai. Informasi ini akan memungkinkan apoteker
membuat suatu keputusan terapi yang rasional
tentang pengkajian, signifikansi, dan manajemen
ROM.
ROM adalah penyebab kesakitan dan kematian yg
signifikan, namun diperkirakan setengah dari semua
ROM dapat dihindari, utk itu peranan apoteker sangat
diperlukan, disebabkan kedalaman pengetahuan
mereka pd bidang farmakologi, farmakoterapi,
farmakokinetik, toksikologi, dan peranan mereka dlm
menyeleksi, mendispensing, dan memantau terapi
obat.
Definisi ROM
Menurut FDA, ROM adalah setiap kejadian
merugikan yang berkaitan dengan penggunaan suatu
obat pada manusia, termasuk hal berikut : Suatu
kejadian merugikan yang terjadi pada waktu
penggunaan suatu obat dalam praktik profesional;
kejadian merugikan yang terjadi lewat dosis obat,
apakah kecelakaan atau disengaja; kejadian
merugikan yang terjadi dari penyalahgunaan obat;
kejadian merugikan yang terjadi dari penghentian
obat; dan setiap kegagalan yang signifikan dari kerja
farmakologis yang diharapkan.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka efek samping
obat (ESO) sebetulnya identik dengan reaksi obat yang
merugikan (ROM).
Contoh pelaporan sebagian kasus ESO :
Diagnosis Obat yg dicurigai ESO
TBC Paru Rifampisin Ikterus
Leukemia Asetosal tablet Hematemesis
Gagal ginjal Ampisilin Ruam kulit
Tipoid Kloramfenikol Depresi sumsm
Meningitis INH, Luminal Ikterus
Difteri dan Eritromisin Hematemesis
Ensefalitis
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ROM
Seorang pasien mengalami suatu reaksi
merugikan terhadap suatu obat, bergantung pada
dosis dan durasi, toksisitas yang melekat pada suatu
zat, berbagai faktor penentu dari pasien sendiri
seperti umur, jenis kelamin, genetik, kepatuhan
dengan regimen obat, penyakit yang bersamaan, dan
jumlah total jenis obat digunakan.
a.Dosis obat yang diberikan, untuk sebagian
besar, menentukan apakah seorang pasien akan
mengalami toksisitas.
Perubahan dalam proses farmakokinetika pada pasien
tertentu, dapat menyebabkan konsentrasi tinggi yang
abnormal dari obat, pada tempat reseptor dan
mengakibatkan efek yang berlebihan.
Contoh : pemberian dosis normal dari antibiotika
aminoglikosida pada pasien dengan laju filtrasi
glomerular yang telah berkurang, ada kemungkinan
terjadi akumulasi obat dengan akibat toksisitas ginjal.
b. Jenis obat, obat dengan indeks terapi sempit atau
dengan multi efek farmakologi adalah lebih cenderung
menyebabkan ROM.
Contoh : Amfoterisin B yg mempunyai indeks terapi
Sempit ini sangat toksik dan menyebabkan ROM (rasa
dingin, demam , mual) dibandingkan Asetaminofen yg
mempunyai indeks terapi besar yg jarang mengahsilkan
ROM.
c. Umur, merupakan farktor yg penting dari respon
terhadap obat sehingga da[at mempengaruhi timbulnya
ROM.
Contoh: terjadinya grey baby syndrome pada bayi
prematur yg menerima profilaksis
dimana Kloramfenikol, laju kematian lebih tinggi
menerima antibiotika
daripadalain.
yg
d. Genetik, faktorketurunan telah ditunjukkan
mempengaruhi individu thd peningkatan toksisitas
Obat, seperti Isoniazid.
Contoh lain : pasien yang kekurangan enzim glukosa-
6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dapat mengalami
anemia hemolitik (rentang hidup eritrosit pendek) yang
amat sangat pada pemaparan obat oksidan, seperti
Dapsone, Sulfapiridin atau Primakuin.
e. Kepatuhan pasien, kepatuhan pasien yang buruk
dapat mengakibatkan dosis obat berlebihan atau
penggunaan obat melebihi suatu periode waktu yang
wajar.
f. Penyakit lain yang diderita pasien, dapat
mengubah fungsi normal tubuh, akibatnya
Farmakokinetika dan farmakodinamika beberapa obat
juga berubah. Perubahan patologik dalam tubuh dapat
menyebabkan sistem organ tertentu menjadi labih
sensitif tehadap kerja farmakologi suatu obat.
Contoh : suatu obat antimuskarinik dapat ditoleransi
baik oleh laki-laki muda sehat, tetapi dapat
menyebabkan penimbunan (retensi) urin pada laki-laki
tua dengan hipertropi prostatik (pembesaran prostat).
g. Multi terapi obat, dapat menyebabkan reaksi
merugikan atau berinteraksi yang menyebabkan reaksi
tersebut.
Akibat ROM
1. Meningkatnya angka kesakitan dan kematian
2. Peningkatan ekonomi pasien, karena masuk
rumah
sakit, meningkatnya waktu tinggal di RS dan
pengobatan komplikasi.
ROM dapat digolongkan atas beberapa sub-golongan :
1. Reaksi yg terjadi dg frekuensi yg cukup, seperti
diharapkan, diantisipasi, an barangkali
dapat dicegah.
2. Reaksi yg terjadi sangat jarang dan diketahui
sebagai idiosinkratik atau reaksi hipersensitivitas
3. Reaksi yg sebelumnya belum diuraikan /dijelaskan.
Pencegahan dan Meminimalkan ROM
1. Antisipasi dengan pemantauan pasien
Contoh : obat yg menyebabkan anemia hemolitik
pada pasien yg kekurangan enzim G6PD. Pd
kondisi ini perlu ditapis utk kerja G6PD sebelum
pemberian suatu obat yg kemungkinan
menyebabkan ROM.
2. Antisipasi pengurangan dosis
Misal : pasien dengan fungsi ginjalnya yg rusak
baik disebabkan karena penyakit atau usia lanjut, harus
menerima dosis yg dikurangi.
3. Pemantauan kadar serum
Pemantauan yg tepat kadar serum,
asasmenggunakan
farmakokinetik dasar, akan mencegah banyak
ROM yg disebabkan oleh kadar di luar rentang terapi.
Contoh obat ini : Teofilin, antikonvulsan, antiaritmia,
asetosal dan aminoglikosida.
4. Pemantauan kerja farmakologi
ROM berkaitan dg banyak obat yg merupakan
perpanjangan dari sifat farmakologi obat tersebut.
Contoh : diuretika, diberikan utk meningkatkan
pengeluaran garam dan air, tetapi dpt menyebabkan
kehabisan elektrolit dan dehidrasi.
Warfarin diberikan sebagai antikoagulan tetapi dapat
menyebabkan perdarahan.
5. Meminimalkan ROM yang tidak dapat dicegah
Bila terjadi reaksi idiosinkratik atau gejala yg tidak
biasa dihubungkan dg pemberian obat, dosis dapat
dikurangi atau dihentikan.
Reaksi juga dapat diperkecil dg pemebrian antidotum
atau zat-zat untuk membalikan efek sebelum memulai
terapi.
Contoh : penderita yg alergi suatu obat, dapat diberikan
difenhidramin, epineprin dan kortikosteroid.
Peranan Apoteker dalam ROM
1. Tanggung jawab memberi pelayanan profesional
Terhadap pasien penerima obat yang ditulis dokter
maupun pasien dengan swamedikasi. Apoteker lebih
memahami tentang farmakoterapi, farmakokinetik,
farmakodinamik, toksikologi, interaksi, efek samping
dibanding dengan tenaga kesehatan lain.
2. Evaluasi obat baru
Apoteker berpartisipasi langsung dlm mengevaluasi
obat baru untuk memastikan bahwa zat yg paling
efektif dan paling murah tercantum dalam formaulrium
RS. Apoteker bertanggung jawab utk mengadakan
prosedur terdokumentasi utk rekaman dan pelaporan
ROM.
3. Edukasi masyarakat.
Apoteker berperan aktif dalam edukasi masyarakat,
mengenai penggunaan obat yg aman dan efektif
melalui komunikasi verbal maupun tertulis.
Apoteker juga ikut berpartisipasi dalam program
surveilan pasca pemasaran dan pemantauan untuk
pencegahan penyakit yang diimbas obat.
4. Kepemimpinan
Apoteker harus menggunakan kepemimpinan
dalam pengadaan, pemeliharaan dan evaluasi terus
menerus program ROM serta harus memperoleh
pengesahan formal atau persetujuan terhadap
program demikian, melalui PFT, Komite Medik dan
pimpinan RS.
B. MEDICATION ERROR
VIII. ASPEK EKONOMI DARI PENGGUNAAN OBAT
Biaya obat akibat penggunaan obat baru,
obat yang tidak rasional dan biaya akibat
efek samping
obat merupakan bahan penelitian dalam
farmakoekonomi saat ini.Peningkatan biaya
pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan
esensial khususnya biaya obat, menimbulkan beban
tersendiri bagi pemerintah. Di beberapa negara
termasuk Indonesia (terutama di RS besar) sudah
menerapkan pedoman pengobatan yang harus
dipatuhi oleh para tenaga kesehatan, agar dapat
menekan biaya penggunaan obat.
Sebelum suatu obat dimasukkan dalam pedoman
pengobatan, perlu dilakukan penelitian
farmakoekonomi yang hasilnya akan didukung perlu
tidaknya suatu obat dalam pedoman pengobatan
tersebut.
Analisis Farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah evaluasi ekonomi
terhadap penggunaan obat atau intervensi lain dlm
pelayanan kefarmasian.
Contoh penelitian farmakoekonomi adalah
estimasi biaya pengobatan, kualitas hidup pasien
dan luaran yang dapat digunakan sebagai tolok
ukur analisis farmakoekonomi.
Uji klinik tahap 3 dpt digunakan utk mengetahui
pengaruh biaya dr suatu obat baru, misalnya dilihat
dr lama rawat inap di RS.
Dalam analisis farmakoekonomi perlu ditentukan
terlebih dahulu komponen biaya yg akan diteliti.
Biaya ada beberapa macam, yaitu :
1. Biaya langsung medis : biaya obat, biaya RS;
2. Biaya langsung non medis : biaya transport ke
RS, biaya hidup keluarga slm menunggu di RS;
3. Biaya tak langsung medis : biaya utk mengatasi efek
samping;
4. Biaya tak langsung non medis : hilangnya
produktivitas karena sakit, karena kecacatan akibat
sakit.
Biaya tersebut dapat dilihat dari sudut
RS, pandang
sudut pandang pasien dan sudut pandang
pembayar, misalnya asuransi.
Sudut pandang RS meliputi biaya langsung medis,
sedangkan sudut pandang pasien meliputi biaya
langsung dan tidak langsung medis dan non medis.
Ada empat tipe analisis farmakoekonomi, yaitu :
1. Cost Minimization Analysis (CMA)
CMA merupakan analisis farmakoekonomi yang
memberikan gambaran biaya mengenai perbedaan
perlakuan, perbedaan obat, dan dapat juga perbedaan
biaya akibat penggunaan peresepan generik dan paten.
2. Cost Benefit Analysis (CBA)
CBA merupakan analisis farmakoekonomi yang
membandingkan biaya dengan keuntungan yang
diperoleh dari suatu terapi. Penilaian CBA berdasarkan
Cost Benefit Ratio (CBR). Jika CBR lebih kecil dari 1,
maka biaya lebih kecil dari keuntungan terapi. Dengan
nilai CBR kurang dari 1, maka suatu obat atau intervensi
dapat direkomendasikan sebagai pedoman pengobatan.
Sebaliknya, jika CBR lebih dari 1, maka biaya lebih
besar dari pengobatan dan suatu obat atau intervensi
tidak dapat direkomendasikan.
Untuk menghitung CBR dibutuhkan data seperti biaya
obat atau intervensi, efektivitas obat atau intervensi
dan angka kejadian pertahun (insidensi).
3. Cost Effectiveness Analysis (CEA).
CEA merupakan analysis farmakoekonomi yang
membandingkan biaya dan efektivitas dari obat atau
intervensi yang berbeda. Biaya dapat ditentukan
apakah termasuk dalam biaya medis, non medis baik
langsung maupun tidak langsung.
Efektivitas dalam hal ini dilihat dari faktor terukur seperti
apakah suatu penyakit sembuh atau tidak sembuh,
apakah penyakit komplikasi dapat dicegah atau tidak
dan tahun yang dibutuhkan untuk menyelamatkan
kehidupan (life year safe).
Nilai dari CEA diperoleh dari Cost Effectiveness Ratio
(CER).
Penelitian CEA dilakukan di Brasil (2002) untuk
membedakan diuretik, beta-bloker, ACE inhibitor dan
Ca antagonists pada pasien hipertensi dengan TD >
160/95 mm Hg.
4. Cost Utility Analysis (CUA)
CUA merupakan analisis farmakoekonomi yang
Hampir sama dengan CEA. Namun dibutuhkan data
kualitas hidup pasien dan berapa lama survival pasien
(tahun) sebagai luaran dari utiliti atau fungsi.
Contoh dari CUA adalah penelitian mengenai CUA
dari program pengendalian hipertensi yang
dilakukan di Israel tahun 2009. Setelah 20 tahun
program tersebut dilaksanakan, ternyata dapat
mengurangi kejadian infark miokard akut dan angina
pektoris tidak stabil , stroke, gagal ginjal erminal.
Namun ada model analisis biaya dengan
menggunakan pendekatan Partial Inredient Aproach
untuk menaksir biaya pelayanan ke
sehatan esensial. Biaya yang ditaksir adalah biaya
total ( full cost) keadaan sistem kesehatan saat ini.
Biaya-biaya tersebut meliputi :
1. Biaya langsung (Direck Cost / Intervension Cost) :
biaya obat / bahan / reagen juga gaji tenaga
kesehatan.
2. Biaya tak langsung (Overhead Cost / Programme
Cost ) : biaya pemeliharaan, biaya utilities,
manajemen / supervisi, staf gedung, biaya program
KIE, pelatihan.
3. Capital Cost (Infrastruktur) : fasilitas / gedung,
peralatan lebih dari satu tahun, kendaraan.
III. APLIKASI FARMAKOEPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya farmakoepidemiologi bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan penduduk. Untuk dapat
meningkatkan derajat kesehatan tersebut maka perlu
mengenal lebih dahulu, penyakit-penyakit apa saja terutama
penyakit menular yang sangat mempengaruhi populasi
penduduk, sehingga dengan demikian akan dapat dilakukan
cara pencegahan maupun mengatasinya dengan pemberian
obat-obat yang tepat dan rasional. Untuk menegakkan
diagnosis, harus dilakukan bermacam-maca pemeriksaan
seperti :uji makroskopis (cacing), mikroskopis, pemeriksaan
laboratorium seperti : uji bakteriologi (penyakit bakteri); uji
aglutinasi (kolera); uji difusi gel-uji fiksasi komplemen-uji
immunofluoresens (cacar air); pemeriksaan serologi / darah
(dengue, DBD, demam chikungunya), dll.
A. Penyakit Bakterial

1. Antraks
Penyakit antraks (anthrax) adalah penyakit zoonosis yang
tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan
subtropis.
Penyebab penyakit akut yang banyak menimbulkan
kematian
adalah ini
Bacillus anthracis yang dapat menyerang manusia
maupun hewan.
Penularan antraks
Di dalam tanah, kuman antraks membentuk spora yang tahan
terhadap suhu tinggi sinar matahari, tahan kekeringan,
dan
tahan terhadap desinfektan. Spora tetap hidup selama
bertahun-tahun di dalam tanah, di dalam air, diantara rambut
hewan (wol), dan kulit. Antraks ditularkan secara langsung,
masuk ke dalam kulit yang
luka atau lecet, atau melalui folikel rambut. Penderita akan
mengalami antraks kulit. Spora yang berada di tanah yang
tertelan atau terhirup melalui udara pernapasan dapat
menyebabkan infeksi antraks.Karena itu penyakit antraks sering
diderita oleh pekerja rumah potong hewan, pengolah kulit hewan,
petani dan peternak serta dokter/perawat hewan.
Antraks usus (intestinal anthrax) terjadi karena makan daging
mentah berasal dari hewan yang sakit antraks, atau tertelan
spora anthrax yang mencemari makanan atau minuman.
Antraks paru (wool sorter disease) terjadi bila spora antraks
terhirup melalui udara pernapasan.
Diagnosa
* Antraks kulit. Penderita menunjukkan tanda khas pada
kulit berupa terbentuknya pustula maglina. Mula-mula kulit
melepuh berisi cairan, kemudian jaringan kulit mengalami nekrosis
yang berwarna hitam, yang disebut eschar.
*Antraks usus. Penderita mengalami radang usus dengan gejala
klinis, berupa diare berdarah yang banyak menyebabkan
kematian.
•Antraks paru. Kuman antraks dapat menyebar ke organ-organ
lain sehingga menimbulkan komplikasi. Penyebaran ke selaput
otak menimbulkan meningitis hemoragik.
2. Demam Tifoid
Penyakit infeksi usus yang disebut juga sebagai Tifus
abdominalis atau Typhoid Fever ini desebabkan oleh kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C.
Penularan demam tifoid
Terjadi melalui makanan atau minuman yang
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi yang terdapat di
dalam air, es, debu maupun benda lainnya.
Diagnosa
Ditentukan melalui tiga dasar diagnosis, yaitu berdasar
diagnosis klinis, diagnosis mikrobiologis, dan diagnosis
serologis.
Diagnosis klinis. Gambaran klinis klasik berdasarkan pada
gejala yang terjadi pada minggu pertama, kedua, ketiga dan ke
empat.
• Minggu pertama. Demam tinggi lebih dari 40 C, nadi
lemah, denyut nadi 80 – 100 per menit.
• Minggu kedua. Suhu badan tetap tinggi,
penderita mengalami delirium, lidah tampak kering mengkilat,
denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa teraba.
•Minggu ketiga. Keadaan penderita membaik jika suhu
menurun, gejala dan keluhan berkurang. Sebaliknya kesehatan
memburuk jika masih terjadi delirium, stupor, pergerakan otot
yang terjadi terus menerus, terjadi inkontinensia urine dan alvi.
Tekanan perut meningkat, terjadi meteorismus/flatulen dan
disertai nyeri perut. Penderita mengalami kolaps akhirnya
meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi miokardial toksik.
•Minggu keempat. Penderita yang keadaannya membaik akan
mengalami penyembuhan.
Diagnosis mikrobiologis. Metode ini paling baik karena
spesifik sifatnya. Pada minggu pertama dan kedua biakan darah
dan biakan sumsum tulang menunjukka hasil positif, sedangkan
pada minggu ketiga dan keempat hasil biakan tinja dan biakan
urin menunjukkan hasil positif kuat.
Diagnosis serologis. Tujuannya untuk memantau antibodi
terhadap antigen, dengan menggunakan uji aglutinasi Widal. Jika
titer aglutinin 1/200 atau terjadi kenaikan titer lebih dari 4 kali,
menunjukkan bahwa demam tifoid sedang berlangsung akut.
Penderita demam tifoid umumnya juga
menunjukkan gambaran hemoglobin yang rendah dan leukopeni.
3. Disentri Basiler (Sigelosis)
Adalah infeksi usus besar oleh kuman Shigella, yang hanya
menimbulkan kerusakan di usus. S.dysenteriae atau S.shigae,
merupakan penyebab disenteri paling ganas karena membentuk
endotoksin, sering menimbulkan epidemi hebat di daerah tropis
dan subtropis.
Penularan shigelosis
Tejadi karena faktor kebersihan dan higiene yang buruk
Adanya tinja penderita yang menjadi sumber infeksi, dan adanya
lalat dan serangga sebagai vektor penular penyakit ini. Penularan
terjadi dari manusia penderita ke orang lain.
Diagnosa
Berdasarkan gejala penyakit. Penderita mengalami demam
tinggi mendadak disertai nyeri perut, mual dan muntah. Beberap
jam kemudian terjadi diare yang mencapai 20 – 24 kali dalam
waktu 24 jam. Mula-mula tinja mengandung sedikit darah dan
lendir, lama –lama hanya berbentuk darah dan lendir. Pada
infeksi berat (fulminant type) penderita mengalami kolaps dg
demam tinggi, menggigil, muntah, suhu tubuh menurun, toksemia
berat akhirnya meninggal.
Diagnosis melalui pemeriksaan protoskopi menunjukkan
adanya radang mukosa usus yang difus, membengkak dan
tertutup eksudat. Biakan tinja penderita ( hapusan rektum )
dilakukan uji fermentasi dan pemeriksaan mikroskopis
menentukan diagnosis sigelosis. Pemeriksaan serologis dengan
mengukur kenaikan titer antibodi spesies Shigella dapat
membantu menentukan diagnosis sigelosis.
4. Kolera
Merupakan penyakit menular yang sering menimbulkan
epidemi dan pendemi di banyak negara, dengan meninggalkan
korban meninggal dunia sangat besar. Penyakit diare akut ini
disebabkan oleh kuman Vibrio cholerae atau Vibrio comma yang
menghasilkan enterotoksin yang sangat toksik.
Penularan kolera
Indonesia termasuk daerah endemik kolera. Epidemi kolera
sering terjadi pada saat sejumlah besar manusia berkumpul.
Kuman vibrio ditularkan secara langsung melalui tinja atau
muntahan penderita, atau secara tidak langsung
ditularkan oleh serangga (lalat dan lipas).
Diagnosa
Masa inkubasi 3-6 hari, diikuti gejala diare akut banyak
sampai 1 liter/jam, berupa tinja lunak diikuti tinja cair mirip air
cucian beras yang berbau amis. Akibatnya penderita dengan
cepat mengalami dehidrasi, tidak dapat kencing (anuri) dan
kolaps, syok, nadi cepat, tekanan darah menurun dengan cepat.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal ginjal.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya kuman
vibrio pada biakan tinja maupun muntahan penderita.
Pemeriksaan serologis dengan uji aglutinasi menunjukkan
hasil positif, sedangkan pemeriksaan serum darah memberi
gambaran terjadinya hipokalemia.
5. Tuberkulosis
Termasuk penyakit zoonosis, karena dapat
hewan ditularkan
misalnya sapi dari
ke manusia. Penyebabnya adalah
Mycobacterium tuberculosis.
Penularan tuberkulosis
Kuman tuberkulosis umumnya ditularkan dari
manusia penderita
ke orang lain melalui udara pernafasan. Selain itu
tuberkulosis usus dapat terjadi jika tertular kuman TBC melalui air
susu sapi penderita tuberkulosis. Kuman ini juga dapat menular
melalui inokulasi kulit. Setelah masuk ke dalam tubuh, kuman akan
menyebar ke paru-paru, lalu bersama darah dan limfe menyebar
ke berbagai organ viseral lainnya.
Gejala klinis
Tergantung pada jenis organ yang terinfeksi kuman ini.
Infeksi paru-paru (tuberkulosis paru) akan menimbulkan gejala
batuk-batuk kronis yang berdahak kadang-kadang berdarah
(hemoptisis). Tetapi sering penderita tidak menunjukkan gejala
klinis atau keluhan yang nyata selama bertahun-tahun
(asimtomatis).
Gejala umum TBC adalah anoreksi dan penurunan berat
badan, rasa letih dan lesu, demam dan sering
Pada TBC kulit, kelainan berupa ulkus atau papul yang
kedinginan.
berkembang menjadi pustula berwarna gelap.
TBC milier adalah tuberkulosis yang menyerang berbagai
organ tubuh, yang dijumpai pada bayi atau penderita berusia
lanjut yang daya tahan tubuhnya rendah.
B. Penyakit Virus
1. Demam Chikungunya
Disebabkan oleh virus chikungunya, menimbulkan gejala
mirip demam dengue tetapi jarang menyebabkan perdarahan.
Penderita mengeluh nyeri hebat pada tulang-tulangnya (break-
bone fever), sehingga penyakit ini dimasyarakat dikenal sebagai flu
tulang.
Penyebaran chikungunya
Virus chikungunya tersebar luas di Afrika, Asia Selatan dan
Asia Tenggara. Vektor utama penularnya adalah nyamuk Aedes
agypti sedangkan sumber penularan adalah manusia dan primata.
Gejala klinis
Demamnya mirip demam dengue, namun lebih
ringan
Keluhan utama adalah atralgia yang merasakan nyeri pada
tulang-tulang. Selain itu pembuluh konjungtiva mata penderita
tampak nyata, dan disertai demam mendadak selama 2 – 3
hari.
Pemeriksaan serum penderita pada uji hemaglutinasi
inhibisi atau uji netralisasi menunjukkan tingginya titer antibodi
terhadap virus chikungunya.
2. Dengue dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Adalah penyakit virus yang tersebar luas di seluruh dunia
terutama di daerah tropis. Penderitanya terutama anak-anak
berusia dibawah 15 tahun, tetapi sekarang banyak juga orang
dewasa terserang penyakit virus ini. Sumber penularan utama
adalah manusia dan primata, sedang penularrannya adalah
Nyamuk Aedes.
Penularan demam dengue
Demam dengue di Indonesia endemis baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Di daerah perkotaan vektor
penular utamanya adalah nyamuk Aedes aegypti sedang di
daerah urban Aedes albopictus. Namun sering terjadi kedua
spesies nyamuk tersebut terdapat bersama-sama pada satu
daerah (semi-urban). Hewan primata di daerah kawasan hutan
dapat bertindak sebagai sumber infeksi penularan.
Gejala klinis
Masa inkubasi berlangsung sekitar 4-5 hari. Gejala awal
yang berlangsung 1-5 hari tidak spesifik, berupa demam ringan,
sakit kepala dan malaise. Demam yang terjadi mendadak dalam
waktu 2-7 hari turun menjadi suhu normal. Gejala lain yang dapat
terjadi berupa anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan sendi.
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Manifestasi DBD berupa perdarahan umumnya timbul pada
hari kedua terjadinya demam.
Perdarahan pada kulit mudah dilihat jika dilakukan uji
turniket. Perdarahan juga mudah terjadi pada waktu
dilakukan pungsi vena. Bentuk perdarahan dapat berupa
petekia, purpura, epistaksis dan kadang-kadang juga terjadi
perdarahan gusi, hematemesis dan melena. Keluhan nyeri
perut yang hebat menunjukkan akan terjadinya perdarahan
gastrointestinal dan syok. Pada awal terjadinya demam,
penderita menunjukkan adanya hematomegali yang biasanya
diikuti syok yang terjadi pada hari ke-3 sejak sakitnya
penderita. Pada pemeriksaan darah menunjukkan trombosit
yang rendah (kuarang dari
100.000 per ml). Hematokrit > 20% pada pemeriksaan
yang kedua, dan kadar hemoglobin Sahli > 20%.
3. Flu Burung
Flu burung disebabkan oleh virus Avian influenza (AI) tipe
A. Subtipe H5N1 virus influenza ini dapat menular dari unggas
ke hewan mamalia, misalnya kuda dan babi dan juga dapat
menular ke manusia. Bagian luar virus terdapat tonjolan-tonjolan
yang memberi sifat-sifat khas virus influenza.
Penyebaran flu burung
Sumber penularan virus AI adalah unggas (ayam, burung,
itik). Kuda dan babi juga dapat menjadi sumber infeksi AI karena
hewan-hewan tersebut merupakan hospes reservoir. Penularan
virus terjadi melalui udara yang mengandung bahan infektif
dalam bentuk titik ludah (droplet) pada waktu penderita batuk
atau bersin-bersin.
Gejala klinis flu burung
Sesudah melewati masa inkubasi selama 1 – 3 hari,
penderita akan mengalami demam menggigil, sakit kepala,
malaise, lemah badan, nyeri otot, fotopobi, dan konjungtiva
merah. Komplikasi dapat terjadi berupa bronkitis, sisitis, batuk
berdahak dan pneumonia disertai batuk darah. Diagnosis flu
burung ditetapkan jika dapat ditemukan virus penyebabnya
melalui biakan atas hapusan tenggorok. Sebagai pendukung
diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan serologi misalnya uji
inhibisis hemaglutinasi dan uji fiksasi komplemen.
4. Hepatitis Viral
Hepatitis pada manusia yang disebabkan oleh virus
hepatitis. Terdapat 3 jenis virus penyebabnya, yaitu virus
hepatitis A (VHA), virus hepatitis B (VHB) dan virus hepatitis C
(VHC).
VHA stabil pada pH 3,0 dan penyimpanan dengan pendinginan
pada suhu minus 20 C selama 20 tahun, serta tidak dirusak oleh
eter, tahan terhadap sinar uv, desinfektan, pemanasan 60 C
selama 20 jam. VHA menjadi tidak aktif oleh formalin,
glutaraldehid dan larutan hipoklorit.
Penyebaran hepatitis viral
VHA ditularkan dari penderita ke orang lain lewat jalur fekal-
oral, sedangkan VHB ditularkan secara parenteral (melalui
suntikan) dan melalui kontak seksual.
Diagnosis klinis hepatitis
Masa inkubasi dapat lama sekitar 120 hari atau pendek
kurang dari 45 hari. Pada hepatitis dengan masa inkubasi kurang
dari 45 hari, gejala-gejala timbul mendadak berupa demam,
malaise, anoreksia, mual dan ikterus.
Pada hepatitis dengan masa inkubasi panjang, gejala klinis
umumnya ringan dan terjadi perlahan-lahan tanpa
demam. disertai
Pemeriksaan darah menunjukkan fungsi hati terganggu dengan
SGPT dan SGOT meningkat, alkali fosfatase dan bilirubin serum
meningkat. IgG dan IgM meningkat dan TTT (Thymol Tubidity
Test) menunjukkan hasil positif. Pada masa inkubasi dan pada
fase awal penyakit, virus VHA sudah berada di dalam darah dan
tinja penderita. Pemeriksaan urin penderita menunjukkan
bilirubin yang meningkat dan protein positif.
5. Herpes Simpleks
Herpes simpleks disebabkan oleh virus herpes simplex
(VHS). Terdapat 2 tipe VHS, yaitu VHS tipe 1 yang menyerang
selubung saraf trigeminus atau ganglion saraf,
Dan VHS tipe 2 yang menyebabkan kerusakan pada daerah
vulvovaginal.
Penularan herpes simpleks
Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan
herpes simpleks. Infeksi primer terjadi pada anak berumur di
bawah lima tahun (balita), terutama yang berasal dari keluarga
miskin pada populasi padat penduduk.
Penularan primer terjadi melalui droplet titik ludah dan
cairan rongga mulut, melalui sekret konjungtiva dan dengan
kontak langsung secara genital melalui jalan lahir pada waktu
berlangsung proses persalinan.
Penularan sekunder terjadi akibat provokasi atau
rangsangan penyakit-penyakit demam, alergi, trauma mekanik
atau psikis dan paparan sinar matahari yang berlebihan.
Herpes Zoster
Herpes zoster atau Shingles adalah jenis herpes lain,
merupakan penyakit menular sporadik, tidak tergantung musim,
hanya menginfekis orang dewasa. Penyebabnya adalah Virus
Varicella-Zoster (VVZ).
Gejala klinis herpes
VHS tipe 1 menimbulkan gejala-gejala klinis antara lain :
faringitis, gingivostomatitis, herpes labiales, herpesfebralis atau
herpes fasialis, herpetik keratokonjungtivitis.
VHS tipe 2 menunjukkan gambaran klinis : herpes genitalis
atau herpes vulvovaginitis.
VVZ menimbulkan demam dan malaise, penderita kemudian
akan mengeluh nyeri hebat pada daerah sebaran akar-akar saraf
terutama di daerah iga disertai timbulnya kelompok-kelompok
vesikel.
Untuk menentukan virus penyebabnya, dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Untuk VHS dilakukan pemeriksaan sitologi atas
jaringan yang mengalami kerusakan. Pemeriksaan serologi
dengan uji serologi netralisasi untuk menentukan adanya
antibodi (IgG dan IgM) atau penentuan tipe antigen dengan
menggunakan antibodi monoklonal.
Untuk VVZ dilakukan pemeriksan hapusan vesikel akan
menemukan sel raksasa multi inti (multinuclear giant cell) dan
badan inklusi (nuclear inclusion body). Pemeriksaan atas cairan
serebrospinal menunjukkan tekanan meningkat, sedangkan
pemeriksaan mikroskopis menunjukkan adanya monosit.
Pemeriksaan serologi dengan uji fiksasi komplemen atau ELISA
menunjukkan terjadinya peningkatan titer antibodi IgG dan IgM
yang spesifik.
6. HIV / AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus
penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yang
merupakan masalah kesehatan global disemua negara. Spesies
HIV-1 dan HIV-2 yang berasal dari primata merupakan penyebab
infeksi HIV pada manusia.
Penyebaran HIV / AIDS
HIV / AIDS ditularkan melalui : darah penderita, (misalnya
waktu tranfusi darah atau penggunaan alat suntik yang
bersama-sama),
dipakai hubungan seksual (homoseksual,
heteroseksual), waktu proses persalinan dari ibu penderita HIV /
AIDS ke anak yang dilahirkannyya.
Gejala klinis HIV / AIDS
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi
4 golongan, yaitu :
a. Penderita asimtomatik, tanpa gejala,yang terjadi pada masa
inkubasi antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya.
b. Persistent Generalized Lymphadenopathy (PGL) dengan
gejala limfadenopati umum.
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah,
demam dan gangguan sistemimun atau kekebalan.
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS
dengan gejala klinis yang berat berupa diare kronis,
pneumonitis interstisial,
hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang
disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya
Sarkoma Kaposi. Penderita akhirnya akibat
meninggal komplikasi penyakit infeksi sekunder.
Gejala klinis khas HIV adalah :
a. HIV stadium 1 : asimtomatis atau terjadi PGL
b. HIV stadium 2 : berat badan menurun > 10%, ulkus atau jamur
di mulut, menderita herpes zoster 5 tahun terakhir, sinusitis
rekuren.
c. HIV stadium 3 : berat badan menurun > 10%, diare
kronis dengan sebab tak jelas lebih dari 1 bulan.
d. HIV stadium 4 : berat badan menurun > 10%, gejala
infeksi pneumosistosis, TBC, kriptokokosis, herpes zoster dan
infeksi lainnya sebagai komplikasi turunnya sistem immun
(AIDS). Untuk menentukan diagnosis pasti HIV / AIDS
, virus penyebabnya dapat diisolasi dari limfosit darah tepi
atau dari sumsum tulang penderita.
Menurut kriteria WHO, gejala klinis AIDS untuk penderita dewasa
meliputi minimum 2 gejala major dan 1 gejala minor.
Gejala major adalah :
(a). Berat badan menurun > 10%, (b). Diare kronis > 1 bulan
(c). Demam > 1 bulan.
Gejala minor adalah :
(a). Batuk > 1 bulan, (b). Pruritus dermatitis menyeluruh, (c).
infeksi umum rekuren mis. herpes zoster / simpleks, (d).
Limpadenopati generalisata, (e). Kandidiasis mulut dan
orofaring, (f). Ibu penderita AIDS (kriteria tambahan
untuk AIDS anak).
Untuk membantu diagnosa, dilakukan uji serologi untuk
menentukan antibodi terhadap HIV dengan uji ELISA, uji
immunofluoresens, radioimmunoprecipitin assay.

7. S A R S
SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang dikenal
juga sebagai pneumonia atipik, adalahinfeksi
saluran napas akut yang diduga disebabkan oleh Coronavirus
atau disebut juga Corona virus pneumonia (CVP).
CVP merupakan strain baru virus Corona yang mirip dengan
virus Corona pada sapi. Selain itu SARS juga terkait dengan
virus baru lain yang menimbulkan demam dan metapneumovirus
yang berasal dari famili virus yang sering menyebabkan
gangguan napas pada anak.
Penyebaran SARS
Epidemi SARS pertama kali di Cina (Nopember 2002) lalu
menyebarke beberapa negara lain. Virus SARS menyebar
melalui kontak langsung dengan bahan infektif penderita
misalnya dahak dan cairan tubuh penderita SARS melalui udara.
Perawat dan tenaga medis merupakan kelompok berisiko tinggi
tertular SARS, juga orang-orang yang bekerja menangani
publik secara langsung seperti
pegawai migrasi, polisi, karyawan biro perjalanan.
Gejala klinis SARS
Gejala awal SARS berupa demam di atas 38 C disertai
menggigil, rasa sakit diseluruh badan dan malaise. Sesudah 3 –
7 hari penderita menyembuh atau penyakit berjalan progresif.
SARS yang progresif menimbulkan batuk kering, gangguan
napas, napas pendek sehingga kadang-kadang membutuhkan
bantuan pernafasan secara mekanik.
Diagnosis SARS
Sebagai landasan diagnosis adalah gejala klinis. Untuk
menentukan diagnosis pasti SARS dilakukan pemeriksaan
laboratorium virologi dengan mengirim sampel bahan infektif
penderita ke Center for Disease Control di USA atau Canada.
C. Penyakit Protozoa
1. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang masih
menjadi masalah kesehatan dunia. Lebih dari 1 miliar orang
hidup di daerah endemis malaria, terutama di daerah tropis yang
terletak antara 40 Lintang Selatan dan 60 Lintang Utara. Setiap
tahun sekitar 2,5 juta orang meninggal karena malaria, terutama
anak-anak balita.
Penyebab malaria
Malaria pada manusia disebabkan oleh empat jenis
Plasmodium, yaitu Plasmodium vivax, Pl. falciparum, Pl.
malariae dan Pl. ovale. Keempat jenis plasmodium tersebut
menimbulkan malaria yang berbeda pola demam maupun gejala
kliniknya.

Anda mungkin juga menyukai