PENERAPAN ILMU
FARMAKOEPIDEMIOLOGI DI ERA
Oleh
FARMA
NIM.202106036
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Peran Tenaga Farmasis
dalam penerapan ilmu Farmakoepidemiologi di Era Pandemi dan Era 4.0".
Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa. Tidak lupa juga dalam kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing dan teman-teman serta bantuan dari berbagai pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat dapat bermanfaat khususnya untuk diri kita
sendiri, umumnya kepada para pembaca makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari
pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Farmakoepidemiologi muncul pada awal 1960 saat kekhawatiran tentang efek samping obat
muncul pada masyarakat sehingga mendorong terbentuknya metodedalam mempelajari keamaan
terapi obat (Storm dan Kimmel, 2008). Pada tahun 1960 FDA (Federal Drug Administration) mulai
mengumpulkan laporan efek samping obat, mengarah kepada pembentukan program pemantauan
obat berbasis rumah sakit. Sistem ini dikembangkan lebih lanjut, dan farmakoepidemiolgi diusulkan
menjadi disiplin ilmu baru yang mendukung sistem ini. Pada saat yang sama, di Eropa farmasi klinis
melakukan penelitian tentang penggunaan obat baru. Awalnya penelitian penggunaan obat di
fokuskan terhadap pemasaran, distribusi, resep dan penggunaan obat dalam masyarakat dengan
penekanan khusus pada dampak medis, sosial, dan ekonomi yang dihasilkan. Selama bertahun-
tahun database mengenai peresepan obat telah berkembang. Farmakoepidemiologi sangat
berperan dalam pengambilan keputusan terapi yang paling tepat untuk pasien. Hal mendasar yang
menjadi tantangan dalam pengembangan farmakoepidemiologi adalah kurangnya sumber daya
praktisi yang berkemampuan akibat ketiadaan edukasi yang memadai.
BAB II
ISI
2.1 FARMAKOLOGI
Farmakologi berasal dari kata pharmacon (obat) dan logos (ilmu pengetahuan). Farmakologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada sistem biologis.
Farmakologi dapat dirumuskan sebagai kajian terhadap bahan-bahan yang berinteraksi dengan
sistem kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui pengikatan molekul-molekul regulator
yang mengaktifkan atau menghambat proses-proses tubuh yang normal (Betran G.Katzung). Ilmu
yang mempelajari mengenai obat, mencakup sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik, komponen, efek
fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan
penggunaan obat (Farmakologi dan Terapi UI). Dengan demikian, farmakologi merupakan ilmu
pengetahuan yang sangat luas cakupannya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa
bagian dari farmakologi ini telah berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam ruang lingkup
yang lebih sempit, tetapi tidak terlepas sama sekali dari farmakologi, misalnya farmakologi klinik,
farmasi, toksikologi, dan lain. Umumnya, para ahli farmakologi menggabungkan antar farmakologi
kedokteran atau farmakologi media (ilmu yang berkaitan dengan diagosis, pencegahan, dan
pengobatan penyakit) dengan toksikologi (ilmu yang mempelajari efek-efek yang tidak diinginkan
dari suatu obat dan zat kimia lain). Sejarah farmakologi dibagi menjadi 2 periode yaitu periode kuno
dan periode modern. Periode kuna (sebelum tahun 1700) ditandai dengan observasi empirik
penggunaan obat dapat dilihat di Materia Medika. Catatan tertuan dijumpai pada pengobatan Cina
dan Mesir. Claudius Galen (129-200 A.D), orang pertama yang mengenalkan bahwa teori dan
pengalaman empirik berkontribusi seimbang dalam penggunanaan obat. Theophrastus von
Hohenhein (1493-1541A.D), atau Paracelcus : All things are poison, nothing is without poison; the
dose alone causes a thing not to be poison.” Johann Jacob Wepfer (1620-1695) the firstto verify by
animal experimentation assertions about pharmacological ortoxicological action. Periode modern
dimulai pada abad 18-19, mulai dilakukan penelitian eksperimental tentang perkembangan obat,
tempat dan cara kerja obat, pada tingkat organ dan jaringan. Rudolf Buchhei. (1820-1879)
mendirikan thefirst institute of Pharmacologu di the University of Dorpat (Tartu, Estonia) in1847
pharmacology as an independent scientific discipline. OswaldSchmiedeberg (1838-1921), bersama
seorang internist, Bernard Naunyn (1839-1925).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari 3 kata dasar yaitu epi yang berarti pada
atau tentang, demos yang berati penduduk dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penduduk. Epidemiologi didefinisikan juga
sebagai Ilmu yang mempelajari tentang Frekuensi dan Distribusi (Penyebaran) serta Determinat
masalah kesehatan pada sekelompok orang/masyarakat serta Determinannya (Faktor – factor yang
Mempengaruhinya). Suatu ilmu yang awalnya mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan
pada penyakit infeksi menular. Tapi dalam perkembangannya hingga saat ini masalah yang dihadapi
penduduk tidakhanya penyakit menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular, penyakit
degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Oleh karena itu,
epidemiologi telah menjangkau hal tersebut.
2.3 FARMAKOEPIDEMIOLOGI
Farmakoepidemiologi mulai berkembang sekitar tahun 1960 ketika obat golongan hipnotik, yaitu
thalidomide menyebabkan efek teratogenik pada sebagian endemik. Berawal dari kejadian tersebut
dibentuk suatu studi untuk mengetahui hubungan antara obat dengan pengaruh klinisnya agar
dapat menghindari efek samping yang merugikan. Sehingga menginisiasi beberapa negara di Eropa
untuk membentuk suatu badan yaitu International Society for Pharmacoepidemiology (ISPE) tahun
1989.
Menurut Brian L. Strom, farmakoepidemiologi dapat diartikan sebagai suatu studi yang
mempelajari manfaat serta efek dari suatu obat pada populasi. Para praktisi kesehatan pun
merasakan kebermanfaatan yang signifikan mengenai ilmu ini, dilihat dari pentingnya peran dalam
meningkatkan kualitas hidup lintas populasi. Farmakoepidemilogi terdiri dari beberapa kata yaitu
pharmacon, epi, demos, dan logos yang berarti ilmu yang mempelajari mengenai efek suatu obat
terhadap suatu populasi. Farmakoepidemiologi bisa dibilang jembatan yang menghubungkan
Farmakologi klinik dan epidemiologi, Farmakoepidemiologi berkonsentrasi pada dampak/ outcome
klinis terapi seperti memahami efek obatyang bermanfaat dan tidak dikehendaki, efek klinis
interaksi antar obat, dan efekketidakpatuhan medis.Farmakoepidemiologi sangat berperan dalam
pengambilan keputusan terapiyang paling tepat untuk pasien. Hal mendasar yang menjadi
tantangan dalam pengembangan farmakoepidemiologi adalah kurangnya sumber daya praktisi
yang berkemampuan akibat ketiadaan edukasi yang memadai.
Pada abad ke-20 farmakoepidemiologi bergeser dari yang sepenuhnya berfokus terhadap efek
samping obat dan studi hubungan resiko, termasuk hasil klinis lain dan aspekekonomi kesehatan
terhadap penggunaan narkoba, sehingga mengurangi perbedaan antara farmakoepidemiologi dan
penelitian penggunaan obat.
Sejak wabah Covid-19 menjadi pandemi global, masalah ketersediaan APD (Alat pelindung
Diri) bagi tenaga medis untuk menangani pasien terjangkit virus turut menjadi sorotan. Kondisi ini
pula yang dihadapi industri Farmasi dan alat kesehatan (alkes) dalam memenuhi kebutuhan APD
bagi tenaga medis. Tak hanya kelangkaan dan sulit didapat, harga alkes dan APD pun sempat
melambung tinggi.
Merespon hal tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam
Indonesia (DPP IKA UII) bekerjasama dengan Direktorat Pengembangan Karier dan Alumni (DPKA)
UII menggelar acara Ngobrol Bareng Alumni UII secara daring bertemakan “Industri Farmasi di
masa Pandemi, antara Kemanusiaan dan Persaingan Usaha,” pada Minggu (17/5). Kegiatan ini
menghadirkan Komisioner Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha, Dr. Drs. Chandra Setiawan
M.M., Ph.D. dan Hady Anshory T., S.SI, M.Sc., Apt., dosen Farmasi UII.
Menurut Hady Anshory, pentingnya mempertimbangkan kualitas produk bagi pelaku usaha
yang menjual antiseptik, desinfektan khususnya hand sanitizer. Meskipun adanya regulasi khusus
selama pandemi Covid-19 yang memperbolehkan pembuatan handsinitizer dengan mengikuti
formula yang dirilis oleh World Health Organization (WHO), namun kenyataannya orang berlomba-
lomba membuat handsinitizer sendiri dengan bahan-bahan seadanya. Kemudian mengambil
kesempatan dengan menjual produk tersebut tanpa melewati proses pemeriksaan quality dan
safety sehingga dapat menimbulkan suatu masalah jika penggunaannya tidak sesuai aturan.
Dijelaskan Chandra Setiawan, komposisi pasar obat-obatan berdasarkan jenis obat dibagi
menjadi tiga yaitu, Generic, Branded Generic & Patent, dan OTC. Dari ketiga jenis obat-obatan ini,
Branded Generic & Patent adalah jenis obat yang terbilang mahal sehingga dapat menghabiskan
jatah dari asuransi yang dimiliki oleh pasien.
Selain itu penyebab dari mahalnya harga obat bahwa Industri Farmasi Indonesia masih
belum bisa memenuhi kebutuhan obat-obatannya sendiri, sehingga sebagian besar dari bahan baku
obat-obatan 90-95% diimpor. Ditambah lagi beberapa biaya mengenai pajak berganda melalui jalur
distribusi obat dan beberapa biaya lainnya.
“Bahan baku untuk obat obatan 90-95% diimport, termasuk masker bahan bakunya diimport
dari China dan India. Sehingga harga obat automatically mahal ditambah lagi biaya distribusi dan
biaya PPN 10%. Selain itu adanya ketegori obat generik bermerek dagang, yang hakikatnya obat
generic tetapi dijual dengan keuntungan tinggi dan tidak terkena aturan HET (Harga Eceran
Tertinggi) generik dan mahalnya obat paten,” jelasnya.
Ia juga menegaskan pentingnya peningkatan peran apoteker dan penegakan kode etik dokter yang
mewajibkan menuliskan resep nama obat generic, juga pengadaan obat di instalasi Rumah Sakit Swasta.
Salain itu, dengan menghindari penguasaan impor secara dominan oleh pelaku usaha tertentu juga
penting mempertimbangkan sinergi dengan pemerintah yang memiliki keterkaitan dengan
pembentukan harga obat dengan tujuan mengurangi biaya produksi obat, dengan tujuan mencegah
mahalnya harga obat. (HA/RS)
Industri 4.0 adalah pola mengubah cara hidup, bekerja, berhubungan satu sama lain pada
berbagai bidang. untuk menghadapi era tersebut, maka diperlukan peningkatan kualitas sumber
daya manusia khususnya tenaga kesehatan. Indonesia memiliki keragaman hayati yang bisa di
manfaatkan sebagai bahan baku dari biofarmasi. namun demikian, industri perlu terus melakukan
riset untuk pengembangan inovasinya.
Revolusi industri 4.0 telah merubah berbagai pola perilaku masyarakat dalam memanfaatkan
teknologi untuk mendapatkan beragam kemudahan. penggunaan plat form digital saat ini pun telah
merambah pada pemenuhan dalam layanan kesehatan. perkembangan teknologi dan internet
telah mempengaruhi interaksi pasien dengan petugas kesehatan.
Sektor kesehatan merupakan sektor yang mendapat pengaruh kuat dalam perkembangan era
revolusi industri 4.0 karena pemanfaatan teknologi untuk memantau status kesehatan seseorang
atau status kepatuhan pasien mengkonsumsi obat yang diresepkan sangat membantu tenaga
kesehatan dan farmasi untuk mencapai tujuan terapi pasien. oleh karena itu para petugas
kesehatan termasuk para apoteker harus memahami betul karakteristik masyarakat yang akan di
layani. jangan sampai semua gagap dalam memberikan layanan kefarmasian yang berbasis digital.
Biodiversitas Indonesia terbesar di dunia, ada kunyit, temu lawak, kayu manis, tapi kita mulai cari
yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. kemuadian ada lagi bioactive fraction atau fraksi – fraksi
yang mempunyai kemampuan biologi pada indikasi kesehatan tertentu. kementrian perindustrian terus
melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing industri dengan melaksanakan berbagai
program dan kebijakan strategis yang memperkuat struktur sektor nya. dengan memasuki era industri
4.0 saat ini, transformasi ke arah teknologi digital di nilai akan menciptakan nilai tambah tinggi di dalam
negeri.
Pemanfaatan teknologi dan kecerdasan digital mulai dari proses produksi dan distribusi ke tingkat
konsumen, tentu akan memberikan peluang baru guna dapat meningkatkan daya saing industri dengan
adanya perubahan selera konsumen dan perubahan gaya hidup kementrian perindustrian juga tengah
memfokuskan pengembangan pendidikan vokasi industri yang berbasis kompetensi.
Pengunaan bioteknologi dalam industri obat – obatan dan farmasi adalah perkembangan yang
paling berpengaruh di dunia teknologi di abad ke 21. dalam upaya untuk memahami biologi,
memberantas penyakit dan menjaga kesehatan dan kekuatan, biteknologi telah mencapai tingkat yang
sangat tinggi dalam usaha menemukan rahasia kehidupan serta memanipulasi kehidupan.
Perkembangan industri farmasi yang menggunakan teknologi nano saat ini sudah tumbuh
demikian pesat. nano teknologi merupakan teknologi yang memungkinkan sebuah benda di pecah
dalam skala nano meter atau satu per semiliar meter dan merupakan salah satu teknlogi yang di sebut –
sebut mampu mendorong pertumbuhan industri dan ekonomi di segala bidang. di dunia farmasi, nano
teknologi berperan dalam meningkatkan kualitas produksi dan keamanan.
Para siswa mampu bersaing secara global, karena memasuki era revolusi industri 4.0. digitalisasi
sudah sangat merebak, sehingga di butuhkan kompetensi yang link dan match dengan dunia indsutri.
perkembangan industri farmasi saat ini menjadi salah satu faktor utama untuk mendorong para siswa
agar mampu melebarkan sayap dan menjadi sumber daya manusia yang kompetitif di era revolusi
industri 4.0 saat ini. Selain pendidikan, diharapkan siswa juga mengembangkan diri dengan berbagai
keterampilan. Setiap orang memiliki passion yang seharusnya dapat dikelola dengan tepat untuk saling
berkolaborasi dan memperbanyaknya serta inovasi yang dapat saling membangun agar perindustrian
farmasi jauh lebih baik lagi dan hindari dari saling berkompetisi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu yang mempelajari mengenai obat, mencakup sejarah, sumber, sifat kimiadan fisik,
komponen, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorpsi,distribusi, biotransformasi,
ekskresi dan penggunaan obat (Farmakologi dan Terapi UI)
Farmakoepidemiologi adalah suatu studi cabang ilmu yang menghubungkan disiplin ilmu
epidemiologi dan farmasi klinik bertujuan untuk mendalami efek suatu obat terhadap suatu
populasi.
Farmakoepidemiologi memiliki peran penting atau berhubungan erat dengan Farmakologi
karena efek suatu obat yang diketahui melalui ilmu farmakologi memiliki 2 sifat yaitu efek
farmakologi dan efek samping oleh karena itudengan farmakoepidemiologi dapat diketahui
serta meminimalisir suatu kejadian efek samping obat di populasi serta dapat meningkatkan
penggunaan obat yang tepat (efek yang diinginkan) pada populasi masyarakat atau dengan kata
lain memberikan estimasi terhadap efek obat pada sebuah populasi.
Pentingnya peningkatan peran apoteker dan penegakan kode etik dokter yang mewajibkan
menuliskan resep nama obat generic, juga pengadaan obat di instalasi Rumah Sakit Swasta.
Salain itu, dengan menghindari penguasaan impor secara dominan oleh pelaku usaha tertentu
juga penting mempertimbangkan sinergi dengan pemerintah yang memiliki keterkaitan dengan
pembentukan harga obat dengan tujuan mengurangi biaya produksi obat, dengan tujuan
mencegah mahalnya harga obat.
Nano teknologi merupakan teknologi yang memungkinkan sebuah benda di pecah dalam skala
nano meter atau satu per semiliar meter dan merupakan salah satu teknlogi yang di sebut –
sebut mampu mendorong pertumbuhan industri dan ekonomi di segala bidang. di dunia
farmasi, nano teknologi berperan dalam meningkatkan kualitas produksi dan keamanan.
DAFTAR PUSTAKA
Devi Meilani, Rizky Abdulah Review Artikel: Masa Depan Farmakoepidemiologi Fakultas Farmasi,
Universitas Padjadjaran
https://www.uii.ac.id/peran-industri-farmasi-di-masa-pandemi-covid-19/
https://smkbanisaleh.sch.id/2020/04/06/peran-farmasi-di-era-revolusi-industri-4-0/