MAKALAH
Disusun:
Apriana Rohman S 07023232
FARMAKOLOGI OBAT
(FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK)
OLEH
1.
2.
3.
4.
5.
6.
ST. MARHAMAH
ABULKHAIR ABDULLAH
ADE IRMADWIARTI FIRMANSYAH
AGUS SALIM
AHMAD ZAKIR
MUHAMMAD AKBAR SYAMSUL
JURUSAN FARMASI
SAMATA-GOWA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan
sebagaiman mestinya. Salam dan shalawat semoga tetap tercurah kepada
rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-sahabatnya, dan kepada umatnya
hingga akhir zaman.
Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan
kegigihan dan keikhlasannya membimbing kami sehingga kami bisa mengetahui
sedikit demi sedikit apa yang sebelumnya kami tidak ketahui. Juga tak lupa
teman-teman seperjuangan yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini.
Makalah ini kami buat dengan sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan
dalam penulisan makalah ini, kami berharap dan memohon saran serta kritikan
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini ke depannya. Semoga makalah
kami dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................. i
Daftar isi........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
Latar Belakang....................................................................... 1
Rumusan Masalah................................................................... 1
Tujuan Makalah...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.
E.
A.
B.
Kesimpulan.......................................................................... 24
Saran................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
1.
2.
3.
4.
Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah perkembangan obat?
Apa itu farmakologi?
Apa itu farmakokinetik?
Apa itu farmakodinamik?
C.
Tujuan Makalah
Setelah terselesaikannya makalah ini, semoga makalah ini dapat memberi
manfaat bagi pembaca terlebih pada masalah farmakologi di mana farmakologi
ini sangat penting untuk dikuasai oleh seorang farmasis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dengan
cara
mencoba-coba,
secara
empiris,
terdahulu
para ahli kimia mulai mencoba mengisolasi zat-zat aktif yang terkandung di
dalamnya. Hasil percobaan mereka adalah serangkaian zat kimia, yang terkenal
di antaranya adalah efedrin dari tanaman Ma Huang (Ephedra vulgaris), kinin
dari kulit pohon kina, atropine dari Atropa belladonna, morfin dari candu
(Papaver somniferum), dan digoksin dari Digitalis lanata, dan masih banyak lagi.
Pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis mulai tampak
kemajuannya dengan ditemukannya obat-obat termashyur, yaitu salvarsan dan
aspirin sebagai pelopor yang kemudian disusul oleh sejumlah obat lain.
Pendobrakan
sejati
baru
tercapai
dengan
penemuan
dan
penggunaan
B.
Farmakologi Obat
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa
terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya
disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan
risiko penggunaan obat.
Farmakologi
atau
ilmu
khasiat
obat
adalah
ilmu
yang
mempelajari
C.
Farmakokinetik Obat
Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses dan kebanyakan
proses sangat rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi yang dibagi
dalam tiga fase:
1.
2.
3.
Fase farmaseutik;
Fase farmakokinetik; dan
Fase farmakodinamik.
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan
tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.
Invasi
Absorpsi
Distribusi
Eliminasi
Metabolisme
Ekskresi
Absorpsi
Umumnya penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui
filtrasi, difusi, atau transport aktif.
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah
saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Pemakaian topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal
pada penyakit kulit, dapat disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau
adstringensia, pemakaian bronkholitika dalam bentuk aerosol, penyuntikan
anestetika lokal ke dalam jaringan dan pemakaian lokal sitostatika ke dalam
kandung kemih.
Keuntungannya pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih
rendah sedangkan keburukannya ialah bahaya alergi yang umumnya lebih besar.
Pemakaian parenteral. Penyuntikan intravasal (kebanyakan intravena)
a.
b.
c.
Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama dipakai jika faktor waktu yang sangat
penting, misalnya dalam keadaan darurat serta pada pembiusan intravena.
Keburukannya, jika dibandingkan dengan cara pemberian lain, selain biaya
tinggi dan beban pasien (ketakutan akan penyuntikan) juga risiko yang tinggi.
Pemakaian oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena
bentuk obat yang cocok dapat relatif mudah diproduksi dan di samping itu,
kebanyakan pasien lebih menyukai pemakaian ini. Akan tetapi pemakaian obat
secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar diabsorpsi melalui saluran
cerna (strofantin dan tubokurarin) atau iritasi mukosa lambung. Untuk kasus
terakhir dibutuhkan pembuatan bentuk obat dengan penyalut yang tahan
terhadap cairan lambung.
Pemakaian rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus yang
tidak mutlak diperlukan kadar dalam darah tertentu dan juga tidak terdapat
keadaan darurat. Hal ini disebabkan oleh kuosien absorpsi sangat berbeda dan
kebanyakan juga sangat rendah.
Karena itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya
pemakaian rektal analgetika dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil
bermanfaat. Di samping itu, pada pasien yang cenderung muntah atau
lambungnya terganggu, lebih disukai pemakaian rektal sejauh tidak dibutuhkan
2.
pemberian parenteral.
Distribusi
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut
bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah
terhadap jaringan, bahan obat mencoba untuk meninggalkan pembuluh darah
dan terdistribusi dalam organisme keseluruhan. Penetrasi dari pembuluh darah
ke dalam jaringan dan dengan demikian distribusinya, seperti halnya absorpsi,
bergantung pada banyak peubah.
Berdasarkan fungsinya, organisme dapat dibagi dalam ruang distribusi yang
berbeda (kompartemen):
a.
b.
a.
b.
c.
Air plasma;
Ruang usus; dan
Cairan plasma
Cairan transsel
Ruang ekstrasel
Ruang usus
Ruang intrasel
Cairan intrasel
Komponen sel padat
Cairan transsel.
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan
lemah (ikatan hidrofobik, van der Waals, hidrogen, dan ionic). Ada beberapa
macam protein plasma:
a.
b.
c.
d.
lambung. Juga bahan ini sebagian direabsorpsi dalam usus halus (sirkulasi
enterogaster).
Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi ialah yang
disebut
pengikatan
Metabolisme
Pada dasarnya setiap obat merupakan zat asing bagi tubuh yang tidak
diinginkan karena obat dapat merusak sel dan mengganggu fungsinya. Oleh
karena itu, tubuh akan berupaya merombak zat asing ini menjadi metabolit yang
tidak aktif lagi dan sekaligus bersifat lebih hidrofil agar memudahkan proses
ekskresinya oleh ginjal.
Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan hanya dalam jumlah yang
sangat rendah terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru,
limpa, otot, kulit, atau dalam darah.
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi, lalu diangkut melalui sistem
pembuluh darah (vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah
lambung-usus ke hati. Dengan pemberian sublingual, intrapulmonal, transkutan,
parenteral, atau rektal (sebagian), sistem porta ini dan hati akan dapat dihindari.
Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran lambung-usus seluruh atau sebagian
obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan apda umumnya hasil
perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif lagi. Maka proses ini
disebut proses detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada pula obat yang khasiat
farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi
metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat disebut biotransformasi.
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.
Dengan perubahan ini, obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif tapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi
toksik.
Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I
terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah oabt menjadi lebih
polar dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif. Sedangkan
reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi dengan substrat endogen: asam
glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi
sangat polar. Dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami
reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan
reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar seperti gugus
hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfhidril, dan sebagainya untuk dapat bereaksi
dengan substrat endogen pada reaksi fase II. Karena itu, obat yang sudah
mempunyai gugus-gugus tersebut dapat langsung bereaksi dengan substrat
endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar untuk
langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II lebih dulu.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome
P450 (CYP) yang disebut juga enzim mono-oksigenase atau MFO (mixed-function
oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom) hati.
4.
Ekskresi
Seperti
halnya
metabolisme,
ekskresi
suatu
obat
dan
metabolitnya
c.
D.
Farmakodinamik Obat
Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan
fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat
ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan
mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi.
Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan
berguna dalam sintesis obat baru.
1.
2.
3.
4.
Senyawa yang bekerja tidak spesifik. Zat berkhasiat ini mempunyai ciri:
Tidak bereaksi dengan reseptor spesifik;
Karena bekerja hanya pada dosis yang relatif besar;
Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda; dan
Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi yang tidak terlalu besar.
Dalam kebanyakan hal, khasiatnya berhubungan dengan sifat lipofilnya. Oleh
karena itu, perbedaan kerjanya dapat dijelaskan dengan koefifien distribusi yang
berbeda. Kemungkinan besar kerja senyawa demikian menyangkut interaksi
dengan struktur lipofil organisme, khususnya struktur membran dalam hal ini
fungsi struktur diubah. Yang termasuk dalam obat yang bekerja tidak spesifik
antara lain, anestetika inhalasi, demikian juga zat desinfektan.
Senyawa dengan kerja spesifik. Senyawa golongan ini bekerja melalui
interaksi dengan reseptor spesifik. Efeknya sangat bergantung pada struktur
kimia dan dengan demikian bergantung kepada bentuknya, besarnya, dan
pengaturan stereokimia molekul. Selain itu, bergantung juga pada gugus
fungsinya serta distribusi elektronnya. Senyawa demikian berkhasiat dalam
konsentrasi yang lebih kecil daripada senyawa yang bekerja tidak spesifik.
Bahkan perubahan yang sangat kecil pada struktur kimianya dapat sangat
mempengaruhi
khasiat
farmakologinya.
Senyawa
yang
berkaitan
dengan
reseptor yang sama memiliki banyak unsur struktur yang umum yang disebut
gugus farmakofor, dalam tata susun ruang yang sesuai.
Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat dalam tubuh manusia,
akan tetapi mengenai mekanisme kerjanya belum banyak dipahami dengan baik.
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai
berikut:
1.
2.
3.
pembentukan
dinding
sel
kuman,
sintesa
protein,
atau
dengan
reseptor
disebut
aktivitas
intrinsik.
Aktivitas
intrinsik
farmakodinamik
dapat
dibedakan
dua
jenis
antagonisme
farmakodinamik, yakni:
1.
2.
yang
dilepaskan
tubuh
sewaktu
terjadi
syok
anafilaktik
dapat
Dengan
demikian
hambatan
efek
agonis
dapat
diatasi
dengan
meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama.
Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efej yang
sama.
Antagonism
nonkompetitif.
Hambatan
efek
agonis
oleh
antagonis
E.
Kajian Al-Quran
QS. An-Nahl ayat 11:
(#q6=s?
Yys9$#
@t79$$/
(#qKG3s?ur
,ys9$# NFRr&ur tbqHs>s?
terdapat
tanda
(kebesaran
Tuhan)
bagi
orang-orang
yang
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari
tanaman.
Dengan
cara
mencoba-coba,
secara
empiris,
terdahulu
mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi.
Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan
berguna dalam sintesis obat baru.
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat
kesalahan pada makalah ini mohon dimaklumi dan kami sangat membutuhkan
saran atau kritikan demi perbaikan makalah kami ke depannya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat Edisi 5. Bandung: Penerbit ITB.
Syarif, Amir, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Tjay, Tan Hoan, dkk. Obat-Obat Penting Edisi 6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3-4
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 4
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1
Ibid, hal. 1
Ibid, hal. 1
Ibid, hal. 19
Ibid, hal. 19
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 24
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 20
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 25
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 8
Ibid, hal. 8
Ibid, hal. 8
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 34
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 29-30
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 12
Ibid, hal. 12
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 52
Ibid, hal. 52
Ibid, hal. 52
Ibid, hal. 52
A. LATAR BELAKANG
Farmakologi adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia
khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa tersebut disebut obat, dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari mafaat dan resiko penggunaan obat (Setiawati, 2007).
Farmakologi terutama terfokus pada dua subdisiplin, yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik.
Farmakokinetik adalah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu absorpsi,
distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.
Kesuksesan dari terapi obat adalah sangat tergantung pada pilihan produk obat dan obat dan pada
desain pengaturan dosis. Pilihan produk obat dan obat, misalnya, intermediete release (ini sediaan
konvensional seperti tablet, kapsul, dsb) vs modified release (seperti transdermal), ini berdasar
pada karakteristik pasien dan farmakokinetika obat. Dengan merancang pengaturan dosis
mencoba untuk mencapai konsentrasi spesifik obat pada reseptor untuk menghasilkan respon
optimal dengan efek samping yang minimal. Variasi individu di dalam farmakokinetika dan
farmakodinamik membuat desain pengaturan dosis menjadi sulit. Oleh karena itu, aplikasi
farmakokinetika untuk desain pengaturan dosis harus diatur dengan benar pada evaluasi klinis
pasien dan pemantauan.
Di sinilah imu farmakokinetik berbicara, salah satu disiplin ilmu sebagi tools dalam memprediksi
nasib obat dalam badan meliputi ADME-nya (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi).
Farmakokinetik klinik adalah disiplin ilmu yang menerapkan konsep dan prinsip farmakokinetik
pada manusia, bertujuan untuk merancang aturan dosis secara individual sehingga dapat
mengoptimalkan respon terapeutik obat seraya meminimalkan kemungkinan efek sampingnya.
B. PEMBAHASAN
Pengaruh klinik atau terapeutik suatu obat pada seorang pasien sebenarnya merupakan hasil dari
daya farmakologik obat tersebut, di man hal yang terakhir ini akan sangat tergantung pada kadar
yang bisa dicapai pada tempat kerja obat (reseptor). Sayangnya, pengukuran kadar obat pada
reseptor hampir selalu tidak dimungkinkan. Namun demikian, karena setiap perubahan kadar obat
yang terukur dalam cairan darah secara praktis akan mencerminkan perubahan pada reseptor,
dengan pengukuran kadar obat dalam cairan darah akan bisa diperhitungkan atau diramalkan
tingkat aktifitas farmakologik yang tercapai (Barbour, 2007).
Tinggi rendahnya kadar obat dalam cairan darah merupakan hasil dari besarnya dosis yang
diberikan, dan pengaruh-pengaruh proses-proses alami dalam tubuh mulai dari absorpsi,
distribusi, metabolisme sampai ekskresi obat. Melalui data absoprsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi tersebut mempunyai peran penting dalam aplikasi farmasi klinis, diantaranya adalah
untuk penentuan dosis pemakaian obat, penentuan frekuensi pemakaian obat, penentuan dosis
ganda, penentuan infus intra vena, dan penyesuaian dosis jika terjadi kerusakan renal maupun
hepar.
a. Penentuan dosis pemakaian
Dosis suatu obat diperkirakan dengan tujuan dapat memberikan kadar terapeutik obat yang
diinginkan dalam tubuh. Obat akan memberikan efek terapi jika kadar obat dalam plasma sudah
mencapai area terapi yaitu diatas MEC (minimum effective concentration) dan dibawah MTC
(minimum toxic concentrstion). Penentuan dosis obat ditentukan dari data kadar obat dalam
plasma dengan mencari nilai konsentrasi maksimum obat dalam plasma (C max), waktu yang
diperlukan untuk mencapai C max (t max), dan profil pelepasan obatnya (AUC).
b. Penentuan frekuensi pemberian obat
Obat merupakan senyawa xenobiotika yaitu senyawa yang dalam keadaan normal tidak
diperlukan oleh tubuh. Oleh karena itu obat dalam badan
akan mengalami proses metabolisme dan ekskresi. Akibatnya kadar obat dalam plasma akan
menurun. Penurunan kadar obat dalam plasma akibat metabolisme dan ekskresi akan menjadikan
respon terapi turun. Penentuan kapan seseorang itu harus minum lagi obat dapat ditentukan
dengan melihat nilai t eliminasi obat dan nilai clearance obat.
c. Pengaturan dosis ganda
Banyak obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda untuk memperpanjang aktivitas terapeutik.
Kadar plasma obat ini harus dipertahankan di dalam batas yang sempit untuk mencapai
efektivitas klinik yang maksimal. Secara ideal suatu aturan dosis untuk tiap obat ditetapkan untuk
memberikan kadar plasma yang benar tanpa fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan.
Untuk obat-obat tertentu, seperti antibiotik, dapat ditentukan kadar efektif minimum yang
diinginkan. Obat-obat lain dengan indeks terapi sempit, seperti digoksin dan fenitoin,
memerlukan batasan kadar plasma terapeutik minimum dan konsentrasi plasma non-toksis
maksimum. Dalam memperhitingkan suatu aturan dosis ganda, kadar plasma yang diinginkan
harus dikaitkan dengan suatu respon terapeutik.
Untuk memperkirakan kadar obat dalam plasma selama pemberian dosis ganda, parameterparameter farmakokinetik diperoleh dari kurva kadar plasma-waktu yang didapat melalui dosisi
tunggal. Dengan parameter-parameter ini, dan mengetahui tentang ukuran dosis dan jarak waktu
pemberian memungkinkan untuk memperkirakan kurva kadar plasma-waktu yang lengkap atau
kadar plasma pada setiap waktu setelah dimulainya pengaturan dosis (Shargel, 2005).
d. Pengaturan infuse intravena
Pemberian obat secara intravena memberikan beberapa keuntungan diantaranya obat mudah
diberikan ayitu melalui infuse bersama-sama dengan cairan iv, laju infuse dapat dengan mudah
diatur sesuai kebutuhan penderita, dan ketiga adalah infuse konstan mencegah fluktuasi puncak
dan palung kadar obat dalam darah.
Setelah beberapa saat obat akan mencapai konsentrasi tunak yaitu suatu keadaan dimana laju obat
yang meninggalkan tubuh sama dengan laju obat yang
masuk dalam tubuh. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar tunak dalam darah terutama
tergantung pada waktu-paruh eliminasi (Shargel, 2005).
Farmakokinetika berperan dalam pengaturan kecepatan tetesan cairan infus. Jika obat diberikan
dengan laju yang tinggi akan diperoleh kadar tunak yang lebih tinggi tetapi waktu yang
diperlukan untuk mencapai keadaan tunak tetap sama.
e. Penyesuaian dosis
Ginjal merupakan organ yang enting dalam pengaturan kadar cairan tubuh, keseimbangan
elektrolit, dan pembuangan metabolit-metabolit sisa dan obat dari tubuh. Kerusakan atau degerasi
fungsi ginjal akan mempunyai pengaruh pada farmakokinetika obat. Ganguan elektrolit dan
cairan dalam tubuh sehubungan dengan kegagalan ginjal dapat menyebabkan perubahn pada
volume distribusi obat (Shargel, 2005)
Ekskresi ginjal merupakan rute terbesar eliminasi untuk beberapa obat. Obat-obat yang larut
dalam air mempunyai berat molekul rendah atau mengalami biotransformasi secara lambat oleh
hati akan dieliminasi dengan sekresi ginjal.
Sementara itu, proses fabrikasi obat tidak melihat fisiologis pasien secara khusus. Misalnya
fabrikasi paracetamol, dibuat dengan dosis 500 mg dan 250 mg. maka tugas apotekerlah yang
kemudian melakukan penyesuaikan dosis apabila pasiennya mengalami serosis hati. Begitu juga
pada obat-obat yang meiliki rasio ekstraksi renalnya tinggi sementara pasien mengalami gagal
ginjal.
Farmakokinetika sangat berperan penting dalam menentukan penyesuaian dosis ini. Fungsi kerja
ginjal dapat dilihat dari nilai clearance yaitu volume darah yang dapat dibersihkan dari obat
dalam satu satuan waktu. Penyesuaian dosis obat kemudiaan didasarkan atas nilai clerence obat
tesrsebut.
C. KESIMPULAN
1. Famakokinetika atau kinetika obat adalah ilmu yang mempelajari nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat mencakup empat proses yaitu absoprsi, distribusi, metabolism, dan
ekskresi.
2. Melalui data absoprsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi tersebut farmakokinetika
mempunyai peran penting dalam aplikasi farmasi klinis, diantaranya adalah untuk penentuan
dosis pemakaian obat, penentuan frekuensi pemakaian obat, penentuan dosis ganda, penentuan
infus intra vena, dan penyesuaian dosis jika terjadi kerusakan renal maupun hepar.
Daftar Pustaka
Shargel, Leon., Yu, Andrew B. C., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, edisi ke
dua, diterjemahkan oleh Sjamsiah, Surabaya, Airlangga University Press.
Setiawati, Arini., F.D Suryatna., Gan, Sulistia., 2007, Pengantar Farmakologi dalam Farmakologi
dan Terapi, Edisi 5, Gunawan, Sulistia Gan (editor)., Departemen Farmakologik dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.
Barbour, Nancy P., Lipper, Robert A., 2007, Introduction to Biopharmaceutics
and its Role in Drug Development in Biopharmaceutical Application in Drug
Development, Informa Healthcare USA, New York.