Anda di halaman 1dari 19

Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan  hidayah-Nya

sehingga dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan sebagaiman mestinya. Salam

dan shalawat semoga tetap tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-

sahabatnya, dan kepada umatnya hingga akhir zaman.

Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan  kegigihan

dan keikhlasannya membimbing kami sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit

apa yang sebelumnya kami tidak ketahui. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan yang

telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini kami buat dengan sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan dalam

penulisan makalah ini, kami berharap dan memohon saran serta kritikan dari pembaca demi

kesempurnaan makalah ini ke depannya. Semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita

semua.

                                                                          Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................. 2

Daftar isi......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

      Latar Belakang..................................................................................... 4


      Rumusan Masalah.................................................................................5
     Tujuan Makalah.................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

     Sejarah Perkembangan Obat............................................................... 6


     Farmakologi Obat ?.............................................................................. 7
     Farmakokinetik?................................................................................... 8
     Farmakodinamik?................................................................................ 15

BAB III PENUTUP

    Kesimpulan.......................................................................................... 19
   Saran................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 20

2
BAB I

PENDAHULUAN

       Latar Belakang

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.

Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara
membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat. Farmakologi terutama
terfokus pada dua sub, yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.

Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang farmasis dapat menjadi suatu
masalah untuk bagi pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan
penggunaan yang cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang
tidak mengganggu.

Menurut suatu survey di Amerika Serikat, sekitar 5% pasien masuk rumah sakit akibat
obat. Rasio fatalitas kasus akibat obat di rumah sakit bervariasi antara 2-12%. Efek samping
obat meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diminum. Melihat fakta tersebut,
pentingnya pengetahuan farmakologi bagi seorang farmasis.

Dalam makalah ini akan dibahas secara umum mengenai farmakologi (farmakokinetik
dan farmakodinamik) serta hal-hal lain yang berkaitan dengan materi ini.

3
        Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah perkembangan obat?

2.      Apa itu farmakologi?

3.      Apa itu farmakokinetik?

4.      Apa itu farmakodinamik?

     Tujuan Makalah

Setelah terselesaikannya makalah ini, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi

pembaca terlebih pada masalah farmakologi di mana farmakologi ini sangat penting untuk

dikuasai oleh seorang farmasis dan ahli medis lainnya

4
BAB II

PEMBAHASAN

Perkembangan Sejarah Obat

Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis
layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit berikut gejalanya.

Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman.
Dengan cara mencoba-coba, secara empiris, m terdahulu mendapatkan pengalaman dengan
berbagai macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini
secara turun-temurun disimpan dan dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan
rakyat seperti pengobatan tradisional jamu di Indonesia.

Namun, tidak semua obat memulai riwayatnya sebagai obat anti penyakit, ada pula yang
pada awalnya digunakan sebagai alat ilmu sihir, kosmetika, atau racun untuk membunuh
musuh. Misalnya, strychnine dan kurare mulanya digunakan sebagai racun panah penduduk
pribumi Afrika dan Amerika Selatan. Contoh yang lebih baru ialah obat kanker nitrogen-
mustard yang semula digunakan sebagai gas racun (mustard gas) pada perang dunia
pertama.

Obat nabati ini digunakan sebagai rebusan atau ekstrak dengan aktivitas dan efek yang
sering kali berbeda-beda tergantung dari asal tana,an dan cara pembuatannya. Kondisi ini
dianggap kurang memuaskan sehingga lambat laun para ahli kimia mulai mencoba
mengisolasi zat-zat aktif yang terkandung di dalamnya. Hasil percobaan mereka adalah
serangkaian zat kimia, yang terkenal di antaranya adalah efedrin dari tanaman Ma Huang
(Ephedra vulgaris), kinin dari kulit pohon kina, atropine dari Atropa belladonna, morfin dari
candu (Papaver somniferum), dan digoksin dari Digitalis lanata, dan masih banyak lagi.

Pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis mulai tampak kemajuannya dengan
ditemukannya obat-obat termashyur, yaitu salvarsan dan aspirin sebagai pelopor yang
kemudian disusul oleh sejumlah obat lain. Pendobrakan sejati baru tercapai dengan
penemuan dan penggunaan kemoterapeutika sulfanilamide (1935) dan penisilin (1940).
5
Sejak tahun 1945, ilmu kimia, fisika, dan kedokteran berkembang pesat dan hal ini
menguntungkan sekali bagi penelitian sistematis obat-obat baru. Menurut taksiran, lebih
kurang 80% dari semua obat yang kini digunakan secara klinis merupakan penemuan dari
tiga dasawarsa terakhir.

   Farmakologi Obat

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.

Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat
dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi,
dan nasibnya dalam organisme hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan
tubuh manusia khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit, disebut
farmakologi klinis. Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa bagian, yaitu farmakognosi,
biofarmasi, farmakokinetik, farmakodinamik, toksikologi, dan farmakoterapi.

Farmakologi sebagai ilmu berbeda dari ilmu lain secara umum pada keterkaitannya yang
erat dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik.

Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara
membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat.

Farmakologi terutama terfokus pada dua sub, yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik.
Farmakokinetik ialah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu
absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi. Sub farmakologi ini erat sekali
hubungannya dengan ilmu kimia dan biokimia. Farmakodinamik menyangkut pengaruh obat
terhadap sel hidup, organ atau makhluk, secara keseluruhan erat berhubungan dengan
fisiologi, biokimia, dan patologi. Farmakokinetik maupun farmakodinamik obat diteliti
terlebih dahulu pada hewan sebelum diteliti pada manusia dan disebut sebagai farmakologi
eksperimental.

6
   Farmakokinetik Obat

Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses dan kebanyakan proses
sangat rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga fase:

1.  Fase farmaseutik;


2.  Fase farmakokinetik; dan
3.  Fase farmakodinamik.

Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap
obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit,
farmakokinetik khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan
metabolitnya da dalam darah dan jarigan sebagai fungsi dari waktu.

Dalam fase farmakokinetik termasuk bagian proses invasi dan proses eliminasi (evasi). Yang
dimaksud dengan invasi ialah proses-proses yang berlangsung pada pengambilan suatu
bahan obat ke dalam organisme (absorpsi, distribusi), sedangkan eliminasi merupakan
proses-proses yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme
(metabolisme, ekskresi).

1.    Absorpsi
Umumnya penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui filtrasi,
difusi, atau transport aktif.
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.

Pemakaian topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal pada penyakit kulit,
dapat disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau adstringensia, pemakaian
bronkholitika dalam bentuk aerosol, penyuntikan anestetika lokal ke dalam jaringan dan
pemakaian lokal sitostatika ke dalam kandung kemih.
Keuntungannya pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih rendah sedangkan
keburukannya ialah bahaya alergi yang umumnya lebih besar.

7
Pemakaian parenteral. Penyuntikan intravasal (kebanyakan intravena) termasuk juga infuse
ditandai oleh:
a.     Dapat diatur dosis yang tepat dan ketersediaan hayati umumnya sebesar 100%. Hanya
dalam hal-hal khusus terjadi adsorpsi sebagian bahan obat pada peralatan infuse dank
arena itu mengakibatkan penurunan ketersediaan hayati.
b.     Akibat pengenceran yang cepat dalam darah dan akibat kapasitas daparnya yang besar
maka persyaratan larutan yang menyangkut isotoni dan isohidri lebih rendah
dibandingkan dengan penyuntikan subkutan.
c.     Bahan obat mencapai tempat kerja dengan sangat cepat.

Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama dipakai jika faktor waktu yang sangat
penting, misalnya dalam keadaan darurat serta pada pembiusan intravena.

Keburukannya, jika dibandingkan dengan cara pemberian lain, selain biaya tinggi dan beban
pasien (ketakutan akan penyuntikan) juga risiko yang tinggi.
Pemakaian oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang
cocok dapat relatif mudah diproduksi dan di samping itu, kebanyakan pasien lebih menyukai
pemakaian ini. Akan tetapi pemakaian obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang
sukar diabsorpsi melalui saluran cerna (strofantin dan tubokurarin) atau iritasi mukosa
lambung. Untuk kasus terakhir dibutuhkan pembuatan bentuk obat dengan penyalut yang
tahan terhadap cairan lambung.

Pemakaian rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus yang tidak mutlak
diperlukan kadar dalam darah tertentu dan juga tidak terdapat keadaan darurat. Hal ini
disebabkan oleh kuosien absorpsi sangat berbeda dan kebanyakan juga sangat rendah.
Karena itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya pemakaian rektal
analgetika dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil bermanfaat. Di samping itu, pada
pasien yang cenderung muntah atau lambungnya terganggu, lebih disukai pemakaian rektal
sejauh tidak dibutuhkan pemberian parenteral.

8
2.   Distribusi

Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut bersama aliran
darah dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan
obat mencoba untuk meninggalkan pembuluh darah dan terdistribusi dalam organisme
keseluruhan. Penetrasi dari pembuluh darah ke dalam jaringan dan dengan demikian
distribusinya, seperti halnya absorpsi, bergantung pada banyak peubah.
Berdasarkan fungsinya, organisme dapat dibagi dalam ruang distribusi yang berbeda
(kompartemen):
a.  Ruang intrasel dan
b.  Ruang ekstrasel. (Lihat gambar 2)
Dalam ruang intrasel (sekitar 75% dari bobot badan) termasuk cairan intrasel dan
komponen sel yang padat. Ruang ektrasel (sekitar 22% dari bobot badan) dibagi lagi atas:
a.  Air plasma;
b.  Ruang usus; dan
c.  Cairan plasma

Sering kali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan,
misalnya rintangan darah-otak (cerebro-spinal barrier), terikatnya obat pada protein darah
atau jaringan dan lemak.

Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah (ikatan
hidrofobik, van der Waals, hidrogen, dan ionic). Ada beberapa macam protein plasma:
a.  Albumin: mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya steroid) serta
bilirubin dan asam-asam lemak.
b.  α-glikoprotein: mengikat obat-obat biasa.
c.  CBG (corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid.
d. SSBG (sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormon kelamin.

Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Kompleks
obat-protein terdisosiasi dengan sangat cepat (t½ ~ a20 milidetik). Obat bebas akan keluar

9
ke jaringan (dengan cara yang sama seperti cara masuknya) ke tempat kerja obat, ke
jaringan tempat depotnya, ke hati (di mana obat mengalami metabolisme menjadi
metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah) dan ke ginjal (di
mana obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin).

Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di cairan usus) sedangkan obat
yang larut lemak akan berdifusi melintasi membran sel dan masuk ke dalam sel tetapi
karena perbedaan pH di dalam sel (pH = 7) dan di luar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam
lebih banyak di luar sel dan obat-obat basa lebih banyak di dalam sel.

Proses distribusi khusus yang harus dipertimbangkan ialah saluran cerna. Senyawa yang
diekskresi dengan empedu ke dalam usus 12 jari, sebagian atau seluruhnya dapat
direabsorpsi dalam bagian usus yang lebih dalam (sirkulasi enterohepatik). Telah dibuktikan
penetrasi senyawa basa dari darah ka dalam lambung. Juga bahan ini sebagian direabsorpsi
dalam usus halus (sirkulasi enterogaster).

Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi ialah yang  disebut pengarahan obat
(drug targetting), artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja yang
diinginkan. Efek samping sering terjadi justru karena bahan obat selain bereaksi dengan
struktur tubuh yang diinginkan, ia bereaksi juga dengan struktur yang lain. Pengarahan obat
merangsang suatu sistem pembawa yang sesuai yang memungkinkan satu transport yang
selektif ke dalam jaringan yang dituju dan dengan demikian memungkinkan kekhasan kerja
yang diinginkan.

Sebagai pembawa yang mungkin ialah makromolekul tubuh sendiri maupun makromolekul
sintetik atau sel-sel tubuh misalnya eritrosit. Contoh yang sangat menarik ialah pengikatan
kovalen sitostatika kepada antibodi antitumor. Walaupun keberhasilan praktis dengan
sistem demikian sampai sekarang malah mengecewakan, tetapi harapan berkembang
bahwa melalui penambahan antibodi monoklon yang makin banyak tersedia, maka
keefektifan dapat diperbaiki.

10
3.  Metabolisme

Pada dasarnya setiap obat merupakan zat asing bagi tubuh yang tidak diinginkan karena
obat dapat merusak sel dan mengganggu fungsinya. Oleh karena itu, tubuh akan berupaya
merombak zat asing ini menjadi metabolit yang tidak aktif lagi dan sekaligus bersifat lebih
hidrofil agar memudahkan proses ekskresinya oleh ginjal.
Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah
terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limpa, otot, kulit, atau
dalam darah.

Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi, lalu diangkut melalui sistem pembuluh
darah (vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah lambung-usus ke hati.
Dengan pemberian sublingual, intrapulmonal, transkutan, parenteral, atau rektal (sebagian),
sistem porta ini dan hati akan dapat dihindari. Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran
lambung-usus seluruh atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis
dan apda umumnya hasil perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif lagi.
Maka proses ini disebut proses detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada pula obat yang khasiat
farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi metabolisme
dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat disebut bio-transformasi.

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar
(larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini, obat
aktif umumnya diubah menjadi inaktif tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika
asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik.
Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari
oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah oabt menjadi lebih polar dengan akibat
menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi
konyugasi dengan substrat endogen: asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam
amino, dan hasilnya menjadi sangat polar. Dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat

11
dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti
dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar seperti gugus hidroksil,
gugus amino, karboksil, sulfhidril, dan sebagainya untuk dapat bereaksi dengan substrat
endogen pada reaksi fase II. Karena itu, obat yang sudah mempunyai gugus-gugus tersebut
dapat langsung bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat
juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi
fase II lebih dulu.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (CYP)
yang disebut juga enzim mono-oksigenase atau MFO (mixed-function oxidase) dalam
endoplasmic reticulum (mikrosom) hati.

4.   Ekskresi

Seperti halnya metabolisme, ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan


penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi bergantung
kepada sifat fisikokimia (bobot molekul, hatga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang
diekskresi.
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air
seni disebut ekskresi. Selain itu ada pula beberapa cara lain, yaitu:
a.  Kulit, bersama keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian).
b.  Paru-paru, melalui pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti alkohol,
paraldehida, dan anastetika (kloroform, halotan, siklopropan).
c.   Empedu, ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya
fenolftalein (pencahar).
Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di
tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami
kematangan pada usia 6-12 bulan dan setelah dewasa menurun 1% per tahun.

Filtrasi glumerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus protein. Jadi semua obat
akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah.

12
Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter
membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di
membran sel epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan
konyugat dan P-gp untuk kation organik dan zat netral. Dengan demikian terjadi kompetisi
antara asam-asam organik maupun antara basa-basa organik untuk disekresi.

Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang larut lemak.
Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk
mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa.
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Lain halnya
dengan pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung, pengurangan fungsi ginjal dapat
dihitung berdasarkan pengurangan kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis obat
pada gangguan ginjal dapat dihitung.

13
Farmakodinamik Obat

Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi
obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti
efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa
serta spektrum efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini
merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan
komponen makromolekul fungsional, hal ini mencakup dua konsep penting. Pertama, obat
dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi
baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Tujuan pokok percobaan farmakologi adalah penjelasan terhadap pertanyaan, apakah
senyawa yang diuji merupakan obat yang bekerja spesifik atau tidak spesifik.

Senyawa yang bekerja tidak spesifik.


Zat berkhasiat ini mempunyai ciri:
1.  Tidak bereaksi dengan reseptor spesifik;
2.  Karena bekerja hanya pada dosis yang relatif besar;
3.  Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda; dan
4.  Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi yang tidak terlalu besar.

Dalam kebanyakan hal, khasiatnya berhubungan dengan sifat lipofilnya. Oleh karena itu,
perbedaan kerjanya dapat dijelaskan dengan koefifien distribusi yang berbeda.
Kemungkinan besar kerja senyawa demikian menyangkut interaksi dengan struktur lipofil
organisme, khususnya struktur membran dalam hal ini fungsi struktur diubah. Yang
termasuk dalam obat yang bekerja tidak spesifik antara lain, anestetika inhalasi, demikian
juga zat desinfektan.

14
Senyawa dengan kerja spesifik.

Senyawa golongan ini bekerja melalui interaksi dengan reseptor spesifik. Efeknya sangat
bergantung pada struktur kimia dan dengan demikian bergantung kepada bentuknya,
besarnya, dan pengaturan stereokimia molekul. Selain itu, bergantung juga pada gugus
fungsinya serta distribusi elektronnya. Senyawa demikian berkhasiat dalam konsentrasi yang
lebih kecil daripada senyawa yang bekerja tidak spesifik. Bahkan perubahan yang sangat
kecil pada struktur kimianya dapat sangat mempengaruhi khasiat farmakologinya. Senyawa
yang berkaitan dengan reseptor yang sama memiliki banyak unsur struktur yang umum yang
disebut gugus farmakofor, dalam tata susun ruang yang sesuai.
Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat dalam tubuh manusia, akan tetapi
mengenai mekanisme kerjanya belum banyak dipahami dengan baik.
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Secara fisis, misalnya anestetika terbang, laksansia, dan diuretika osmotis. Aktivitas
anestetika inhalasi berhubungan langsung dengan sifat lipofilnya. Obat ini diperkirakan
melarut dalam lapisan lemak dari membran sel yang karena ini berubah demikian rupa
hingga transport normal dari oksigen dan zat-zat gizi terganggu dan aktivitas sel terhambat.
Akibatnya adalah hilangnya perasaan. Pencahar osmotis (magnesium dan natrium sulfat)
lambat sekali diresorpsi usus dan melalui proses osmosis menarik air dan sekitarnya.
Volume isi usus bertambah besar dan dengan demikian merupakan rangsangan mekanis
atas dinding usus untuk memicu peristaltic dan mengeluarkan isinya.

2.  Secara kimiawi, misalnya antasida lambung dan zat-zat chelasi (chelator). Antasida,
seperti natrium bikarbonat, aluminium, dan magnesium hidroksida dapat mengikat
kelebihan asam lambung melalui reaksi netralisasi kimiawi. Zat-zat chelasi mengikat ion-ion
logam berat pada molekulnya dengan suatu ikatan kimiawi khusus. Kompleks yang
terbentuk tidak toksis lagi dan mudah diekskresikan oleh ginjal. Contohnya adalah
dimerkaprol (BAL), natrium edetat (EDTA), dan penisilamin (dimetilsistein) yang digunakan
sebagai obat rematik.

15
3.  Melalui proses metabolisme pelbagai cara, misalnya antibiotika yang mengganggu
pembentukan dinding sel kuman, sintesa protein, atau metabolisme asam nukleinat. Begitu
pula antimikroba mencegah pembelahan inti sel dan diuretika yang menghambat atau
menstimulir proses filtrasi contoh lain adalah probenesid, suatu obat encok yang dapat
menyaingi penisilin dan derivatnya (antara lain amoksisilin) pada sekresi tubuler, sehingga
ekskresinya diperlambat dan efeknya diperpanjang.

4. Secara kompetisi (saingan), di mana dapat dibedakan dua jenis, yakni kompetisi untuk
reseptor spesifik atau untuk enzim.
Ikatan antara obat denga reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion,
hidrogen, hidrofobik, van der Waals), mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang
terjadi ikatan kovalen.
Yang dimaksud dengan reseptor adalah makromolekul (biopolimer) khas atau bagiannya
dalam organisme, yakni tempat aktif biologi, tempat obat terikat. Persyaratan untuk
interaksi obat-reseptor adalah pembentukan kompleks obat-reseptor. Apakah kompleks ini
terbentuk dan seberapa besar terbentuknya bergantung pada afinitas obat terhadap
reseptor. Kemampuan suatu obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan dengan demikian
efek, setelah membentuk kompleks dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Aktivitas
intrinsik menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh masing-masing senyawa.
Secara farmakodinamik dapat dibedakan dua jenis antagonisme farmakodinamik, yakni:

1.  Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama tetapi pada
sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang
dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan
pemberian adrenalin.

2.  Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor yang sama
(antagonisme antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya, efek histamin yang

16
dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang
menduduki reseptor yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.

3. Antagonisme kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan
agonis secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan
demikian hambatan efek agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai
akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih
tinggi untuk memperoleh efej yang sama.

4. Antagonism nonkompetitif. Hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak


dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai
akan berkurang tetapi afinitas terhadap reseptornya tidak berubah.

17
BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman.
Dengan cara mencoba-coba, secara empiris, m terdahulu mendapatkan pengalaman dengan
berbagai macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini
secara turun-temurun disimpan dan dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan
rakyat seperti pengobatan tradisional jamu di Indonesia.

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.

Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap
obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit,
farmakokinetik khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan
metabolitnya dalam darah dan jarigan sebagai fungsi dari waktu.

Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek
utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini
merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

B. Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kesalahan pada
makalah ini mohon dimaklumi dan kami sangat membutuhkan saran atau kritikan demi
perbaikan makalah kami ke depannya. Terima kasih

18
DAFTAR PUSTAKA

Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat Edisi 5. Bandung: Penerbit ITB.

Syarif, Amir, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Tjay, Tan Hoan, dkk. Obat-Obat Penting Edisi 6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 3

Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1

Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 4

Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1

Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5

19

Anda mungkin juga menyukai