Anda di halaman 1dari 35

TUGAS MATERI

ERGONOMI & PRODUKTIVITAS KERJA

Disusun Oleh :

Nama : Sekar Putri Tri Harmantri


Nim : 144011926052
Prodi : D3 Keperawatan/SMT 4

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


SITI KHADIJAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
Ergonomi

Pengertian Ergonomi

Ergonomi berasal dari dua kata Yunani yaitu ”Ergon” dan

”Nomos” yang berarti kerja dan aturan. Ergonomi adalah ilmu

interdisipliner yang mempelajari interaksi antara manusia dan objek

yang digunakan serta kondisi lingkungan. Ergonomi adalah ilmu,

teknologi dan seni yang berupaya meserasikan alat, cara dan

lingkungan kerja terhadap kemampuan dan batasan manusia untuk

terwujudnya kondisi lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan

efisien demi tercapainya produktivitas yang setinggi-tingginya

(Manuaba, 2003a). Hal ini dapat tercapai jika terjadi kesesuaian antara

pekerja dengan pekerjaannya Fitting the Task to the Person and Fitting

The Person To The Task (Manuaba,1992).

Ilmu ergonomi telah ada dalam budaya Yunani Kuno terlihat dari

bukti yang menunjukkan bahwa peradaban hellenic di abad 5 SM

menggunakan prinsip-prinsip ergonomi dalam pekerjaan, desain alat-

alat yang digunakan dan tempat kerja. Contoh lain bisa ditemukan

dalam deskripsi Hippocrates bagaimana pekerjaan yang dilakukan

dokter bedah harus dirancang sedemikian rupa dan bagaimana dia

menggunakan peralatan juga harus diatur. Hal ini juga ada pada catatan
arkeologi dari awal dinasti Mesir membuat peralatan, perlengkapan

rumah tangga, yang digambarkan menerapkan prinsip-prinsip

ergonomi.

Menurut Manuaba (2003b) manfaat penerapan ergonomi adalah

pekerjaan bisa cepat selesai, risiko kecelakaan kerja lebih

kecil/berkurang, man-days/hours tidak banyak yang hilang, risiko

penyakit akibat kerja lebih kecil/berkurang, gairah/kepuasan kerja lebih

tinggi/meningkat, biaya ekstra untuk kecelakaan/penyakit akibat kerja

bisa ditekan, absensi/tidak masuk kerja rendah, kelelahan berkurang,

rasa sakit lebih kecil/berkurang dan produktivitas kerja meningkat.

Ergonomi berperan dalam faktor keselamatan dan kesehatan kerja,

seperti desain suatu peralatan kerja untuk mengurangi keluhan

muskuloskeletal dan kelelahan. Dalam ergonomi tuntutan tugas dengan

kapasitas kerja harus seimbang sehingga dicapai performansi kerja yang

tinggi, jika tugas terlalu rendah (underload) atau terlalu berlebihan

(overload) akan menyebabkan stress.

Menurut Tarwaka et al (2004) tujuan penerapan ergonomi antara

lain

1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, dengan meniadakan

beban kerja tambahan (fisik dan mental), mencegah penyakit akibat

kerja, dan meningkatkan kepuasan kerja


2. Meningkatkan kesejahteraan sosial dengan jalan meningkatkan

kualitas kontak sesama pekerja, pengorganisasian yang lebih baik

dan menghidupkan sistem kebersamaan dalam tempat kerja

3. Berkontribusi di dalam keseimbangan rasional antara aspek-aspek

teknik, ekonomi, antropologi dan budaya dari sistem manusia-

mesin untuk tujuan meningkatkan efisiensi sistem manusia-mesin.

Menurut Hendrick (2001) beberapa dampak positif dari ergonomi

yaitu “good ergonomic is good economic” artinya penerapan ergonomi

yang baik akan berdampak pada perekonomian yang baik, selain itu

berdampak positif pada produktivitas dan kenyamanan. Sehingga

dengan meningkatnya pertumbuhan perekonomian akan

menciptakankan kualitas hidup yang lebih baik (Kanawaty, 1992).

2.1.2 Pendekatan Ergonomi Total

Pendekatan yang menangani suatu masalah secara menyeluruh

dalam ergonomi dikenal dengan pendekatan Ergonomi Total yang

terdiri dari konsep Teknologi Tepat Guna (apropriate technologi) dan

SHIP yang dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan

(Manuaba, 2004; 2005).

Teknologi Tepat Guna adalah suatu pendekatan di mana teknologi

yang akan digunakan harus dikaji secara komprehensip melalui enam

kriteria yaitu teknis, ekonomis, ergonomis dan sosio budaya bisa

dipertanggung jawabkan, hemat energi dan tidak merusak lingkungan.


Dalam penerapannya keseluruhan proses harus dianalisis dengan SHIP

yang berarti bahwa setiap pemecahan masalah dianalisis dengan cara

bersistem, melibatkan berbagai sistem terkait bersama-sama atau

holistik, memanfaatkan berbagai ilmu atau disiplin yang terlibat dan

harus ada partisipasi sejak fase perencanaan, dari konsumen atau

mereka yang terlibat dengan permasalahan yang akan ditangani atau

yang akan mungkin timbul (Manuaba, 2005).

Seperti yang diungkapkan oleh Sutjana, et al (2009) bahwa

penerapan ergonomi sebaiknya dilakukan secara sistemik, dikaji

melalui lintas disiplin ilmu (interdisipliner) dan holistik serta

menggunakan pendekatan partisipatori, agar semua komponen yang

ada dapat diajak atau dilibatkan berpartisipasi sejak perencanaan sampai

tahap pelaksanaan maupun dalam evaluasinya sehingga mereka akan

mengetahui keberhasilan atau kegagalan dan serta bersama-sama

mencari solusinya serta mereka akan merasa ikut memiliki. Didalam

pengkajian tersebut tentu ada “trade-off” antara satu kriteria dengan

lainnya, dengan acuan bahwa teknologi yang paling sedikit

menimbulkan resiko dan paling banyak menimbulkan benefit

merupakan pilihan akhir (Manuaba, 2005).

2.1.3 Task

1. Peralatan Kerja

Dalam melakukan pekerjaannya pekerja dihadapkan pada

peralatan kerja yang akan mendukung aktivitas kerjanya. Peralatan


kerja yang digunakan harus memperhatikan kesesuaian dengan

antropometri penggunanya, hal ini dilakukan agar dalam

melakukan pekerjaannya pekerja merasa aman dan nyaman saat

bekerja.

Pada pembatik cap peralatan kerja yang digunakan salah

satunya adalah meja kerja yang digunakan untuk menempatkan

kain batik yang akan diberikan pola dengan motif tertentu. Meja

batik yang digunakan berukuran panjang 110 cm, lebar 80 cm dan

tinggi 80 cm, seperti pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Meja Pembatik cap

Pada sikap kerja berdiri hal yang perlu diperhatikan adalah

tinggi landasan bidang kerjanya, pada meja batik tinggi landasan

bidang kerjanya harus disesuaikan dengan tinggi siku berdiri

pekerja. Bidang kerja terlalu tinggi, bahu dan anggota tubuh


bagian atas sering terangkat sehingga mempercepat timbulnya rasa

lelah, terjadi ketegangan otot di daerah bahu. Jika terlalu rendah

badan membungkuk, muncul postural stress pada tulang belakang

dan otot-ototnya.

2. Sikap Kerja

Sikap kerja adalah sikap tubuh manusia saat berinteraksi

dengan alat/peralatan kerja. Sikap kerja yang baik adalah sikap

kerja yang memungkinkan pekerja melakukan pekerjaannya

dengan efektif dan dengan usaha otot seminimal mungkin.

Menurut Bridger (2003), sikap kerja yang dilakukan pekerja

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

a. Karakteristik pekerja (subjek) meliputi umur, jenis kelamin,

antropometri, berat badan, kesegaran jasmani, pergerakan

sendi, penglihatan dan ketangkasan.

b. Tuntutan jenis pekerjaan (task) meliputi posisi tubuh, siklus

waktu kerja, periode istirahat, urut – urutan pekerjaan.

c. Rancangan luasan kerja (work space) meliputi ukuran

peralatan yang digunakan, ukuran bahan yang dikerjakan,

rancangan peralatan, ukuran luasan kerja.

d. Lingkungan kerja (environment) meliputi intensitas

penerangan, suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan

udara, kebisingan, debu, dan vibrasi.


Pada pekerja pembatik cap sikap kerja dilakukan dengan

sikap berdiri mulai pukul 08.00 WIB – 16.00 WIB. Sikap kerja

berdiri dalam jangka waktu lama memicu adanya penumpukan

darah pada tungkai bawah. Posisi dan sikap kerja para pekerja saat

melakukan aktivitas ditempat kerja berpengaruh terhadap respon

fisiologis pekerja tersebut. Sikap kerja yang tidak alamiah/

fisiologis merupakan penyebab munculnya berbagai gangguan

pada sistem muskuloskeletal (Manuaba, 1998).

Sikap kerja berhubungan dengan tinggi landasan kerja

seseorang yang melakukan pekerjaan manual, maka sikap kerjanya

sangat ditentukan oleh tinggi bidang kerja. Menurut Kroemer dan

Grandjean (2000) bahwa untuk pekerjaan yang memerlukan

ketelitian landasan kerja adalah 5 – 10 cm di atas tinggi siku pada

posisi berdiri, untuk pekerjaan yang sering memerlukan ruangan

untuk peralatan landasan kerja adalah 5 – 10 cm di bawah tinggi

siku pada posisi berdiri, sedangkan untuk pekerjaan yang

memerlukan penekanan dengan kuat, tinggi landasan kerja adalah

10 – 15 cm di bawah tinggi siku pada posisi berdiri

2.1.4 Organisasi Kerja

Pembatik cap bekerja bekerja selama 8 jam setiap harinya selama 6

hari kerja. Jam kerja optimal manusia adalah 8 jam/hari. Toleransi yang

diijinkan adalah 1 jam lembur sesudah 8 jam kerja. Dengan catatan bahwa

selama 8 jam kerja tersebut ada 2 atau lebih rehat dan 1 makan siang
(Manuaba, 2005). Beban kerja fisik yang terlalu berat dan dilakukan di

dalam waktu yang lama, mikroklimat yang tidak memadai, status nutrisi

yang buruk dan adanya penyakit atau rasa sakit karena sikap paksa juga

merupakan sumber munculnya keluhan muskuloskeletal, kelelahan,

kebosanan, ketidaknyaman dan ketidakpuasan kerja dalam bekerja.

Memberi waktu istirahat aktif dapat meningkatkan dan mempertahankan

prestasi kerja (Grandjean, 2000).

Pada pembatik cap dalam memberikan pola pada kain dilakukan

dengan mengambil kain polos dalam jumlah yang cukup banyak dan

diletakkan di sisi samping pekerja untuk memudahkan dalam menjangkau

kain tersebut. Sehingga tidak ada istirahat aktif yang dapat dilakukan

pembatik. Istirahat sejenak sangat diperlukan sebagai kebutuhan fisiologis

jika kinerja dan efisiensi ingin dipertahankan (Kroemer dan Grandjean,

2000). Pulat (1992) menyarankan pekerja di lingkungan industri

melakukan istirahat aktif beberapa kali selama waktu kerja, sebagai ganti

istirahat yang diambil sekali. Secara keseluruhan istirahat sejenak

cenderung meningkatkan output.

Perlu adanya perbaikan organisasi kerja berupa penentuan jumlah

kain yang diambil dalam durasi waktu tertentu, agar pembatik memiliki

jeda waktu untuk beristirahat secara aktif. Perbaikan organisasi kerja dapat

dilakukan agar tercipta kondisi kerja yang efektif, nyaman, aman, sehat,

dan efisien (ENASE), dengan pemanfaatan fungsional tubuh manusia

secara optimal sehingga dihasilkan produktivitas kerja yang optimal


dengan tetap memperhatikan kualitas hidup pekerja. Tingkat kualitas

hidup pekerja yang rendah akan mempengaruhi secara langsung tingkat

produktivitas kerja (Manuaba, 2006b).

2.1.5 Lingkungan Kerja

Kondisi lingkungan yang nyaman nyaman sangat diperlukan

manusia untuk mengoptimalkan produktivitas kerjanya. Pada pembatik

cap yang bekerja didalam ruangan mikrolimat ruangan menjadi penunjang

agar dapat melakukan aktivitasnya dengan nyaman. Temperatur yang baik

untuk pekerja berkisar antara (18,3-21,3)oC sedangkan untuk pekerja berat

biasanya digunakan suhu yang lebih rendah yaitu (12,8-15,6)o C.

Sedangkan kelembaban relatif di satu ruangan tidak boleh kurang dari

30% atau antara 40 – 60% di musim panas, yang merupakan kelembaban

relatif yang memberi suasana nyaman di ruangan tersebut (Manuaba,

2004).

Menurut Sedarmayanti (1996), bahwa temperatur yang terlampau

dingin akan mengakibatkan gairah kerja menurun. Sedangkan temperatur

yang terlampau panas, dapat mengakibatkan timbulnya kelelahan tubuh

yang lebih cepat dan dalam bekerja cenderung membuat banyak

kesalahan.

2.2 Pilates Exercise

2.2.1 Pengertian Exercise

Pilates exercise adalah salah satu jenis latihan low impact yang

menggunakan metode perenggangan (stretching) dan penguatan


(strengthening) yang bertujuan meningkatkan daya tahan, kekuatan, dan

fleksibilitas otot pelvis, abdominal, dan vertebra untuk stabilisasi tubuh

baik pada posisi diam maupun bergerak (Kloubec, 2010).

Pilates exercise prinsipnya sama dengan latihan core stability

exercise. Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas postur

(aktivasi otot – otot core stability) diantaranya quadratus lumborum,

multifidus, tranversus abdominalis, rectus abdominalis, intra abdominal

pressure dll. Latihan ini merupakan kemampuan untuk mengontrol posisi

dan gerakan pada bagian pusat tubuh terutama otot yang letaknya lebih

dalam (deep muscle) pada abdomen, yang terkoneksi dengan spine, pelvic,

shoulder. Pilates memiliki enam prinsip pokok yaitu centering, control,

flow, breath, precision dan concentration (Ogle dan Marguerite, 2011).

1. Centering (Berpusat), gerakan dari inti menuju keluar, dimana pusat

latihan dalam latihan pilates ini berpusat untuk memperkuat otot inti

bagian dalam dan melindungi tulang punggung terhadap cedera

sebagai dasar menciptakan tubuh yang kuat setiap melakukan

berbagai gerakan untuk aktivitas sehari-hari. Semua latihan berpusat

diperut seperti otot tranversus abdominis, obliques internus, otot

multifidus, otot diafragma dan otot fundus pelvic.

2. Control (Pengendalian), membutuhkan kontrol pikiran, jiwa agar

tidak memberikan efek kelelahan. Selain itu juga dibutuhkan

kemampuan untuk mengontrol alat dan gerak tubuh yang digunakan.

Pilates banyak melakukan gerakan-gerakan melawan gravitasi,


membuat tubuh menguat secara bertahap. Semakin lambat melakukan

gerakan dengan pengendalian yang besar, maka akan semakin kuat

dan koordinasi juga akan baik.

3. Flow (Mengalir), dilakukan mengalir secara kontinyu, tidak sebatas

itu didalam pilates juga terdapat prinsip mengalirkan tenaga kedalam

alat bantu.

4. Breath (Nafas), mengatur pernafasan sangatlah penting, teknik

pernafasan yang benar akan membantu dalam memperlancar sirkulasi

darah dan menjadi salah satu bagian keberhasilan dalam menjalani

latihan di setiap gerakan. Teknik pernafasan dalam pilates ini yaitu

dengan menggunakan pernafasan diafragma, pernafasan diafragma

memungkinkan seseorang untuk menghirup oksigen lebih banyak,

sehingga oksigen yang masuk kedalam sistem tubuh lebih banyak.

Pernafasan ini meningkatkan metabolisme, mengurangi ketegangan

tubuh, meningkatkan aliran darah dan membakar lemak lebih banyak

(Widayati, 2011).

5. Precision (Presisi), melakukan gerakan dari awal sampai akhir

dengan benar dan teratur.

6. Concentration (Konsentrasi), merupakan bentuk dari fokus dalam

setiap gerakan dan tidak berpikiran lainnya. Tidak membiarkan

pikiran kosong selama melakukan gerakan.


2.3 Kesesuaian Peralatan Kerja dengan Antropometri

Antropometri berasal dari kata anthro yang berarti “manusia” dan

metri yang berarti “ukuran”. Antropometri adalah cabang ilmu yang

berhubungan dengan ukuran tubuh manusia: terutama yang

berhubungan dengan pengukuran ukuran tubuh, bentuk, kekuatan dan

kapasitas kerja (Pheasant, 2003b). Menurut Openshaw et al (2006)

Ketika merancang produk penting untuk diingat bahwa ukuran dan

bentuk masing-masing individu berbeda.

Untuk merencanakan tempat kerja dan perlengkapannya

diperlukan ukuran-ukuran tubuh yang menjamin sikap tubuh paling

alamiah dan memungkinkan dilakukannya gerakan-gerakan yang

dibutuhkan. Agar tinggi optimum ini dapat diterapkan, maka perlu

diukur tinggi siku yaitu jarak vertikal dari lantai ke siku dengan

keadaan lengan bawah mendatar dan lengan atas vertikal. Dalam

mendesai meja kerja beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain

1. Tinggi Meja Kerja

Kriteria : tinggi permukaan atas meja dibuat setinggi siku dan

disesuaikan dengan sikap tubuh pada waktu bekerja.

2. Tebal Daun Meja

Kriteria : tebal daun meja dibuat sedemikian rupa sehingga dapat

memberikan kebebasan bergerak pada kaki


3. Permukaan Meja

Kriteria : rata dan tidak menyilaukan

4. Lebar Meja

Diukur dari pemakai kearah depan

Kriteria : tidak melebihi jarak jangkauan tangan

2.3.1 Antropometri Dalam Desain

Data antropometri dapat dimanfaatkan untuk menetapkan dimensi

ukuran produk yang akan dirancang dan disesuaikan dengan dimensi

tubuh manusia yang akan menggunakannya. Desain fasilitas stasiun kerja

harus mampu mengakomodasikan dimensi tubuh dari populasi terbesar

yang akan menggunakan fasilitas stasiun kerja hasil desainnya tersebut.

Informasi tentang berbagai macam anggota tubuh yang perlu diukur

dalam aplikasi antropometri untuk desain fasilitas stasiun kerja dapat

dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Aplikasi Ukuran tubuh (Wignjosoebroto, 2008)


Keterangan
1 : Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai hingga ujung
kepala).
2 : Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak.
3 : Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak.
4 : Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus).
5 : Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak
(dalam
gambar tidak ditunjukkan).
6 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk pantat
sampai dengan kepala).
7 : Tinggi mata dalam posisi duduk.
8 : Tinggi bahu dalam posisi duduk.
9 : Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus).
10 : Tebal atau lebar paha.
11 : Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan. ujung lutut.
12 : Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan bagian belakang
dari
lutut betis.
13 : Tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk.
14 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang di ukur dari lantai sampai dengan
paha.
15 : Lebar dari bahu (bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk).
16 : Lebar pinggul ataupun pantat.
17 : Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan
dalam gambar).
18 : Lebar perut.
19 : Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam
posisi siku tegak lurus.
20 : Lebar kepala.
21 : Panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari.
22 : Lebar telapak tangan.
23 : Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar kesamping kiri kanan
(tidak ditunjukkan dalam gambar).
24 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak.
25 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak.
26 : Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan di ukur dari bahu sampai
dengan ujung jari tangan.

Distribusi normal dapat diformulasikan berdasarkan rata-rata dan

simpangan bakunya dari data yang ada, dari nilai tersebut maka persentil

dapat ditetapkan sesuai dengan tabel probabilitas distribusi normal.

Persentil yang dimaksudkan adalah suatu nilai yang menunjukkan


persentase tertentu dari orang yang memiliki ukuran pada satu di bawah

nilai tersebut (Wignjosoebroto, 2008). Pemakaian nilai-nilai persentil

yang umum digunakan dalamn perhitungan antropometri adalah sebagai

berikut:

Tabel 2.1 Persentil dan Cara Perhitungan Dalam Distribusi Normal


PERSENTIL PERHITUNGAN
1-st X – 2,325 σ x
2.5-th X – 1,96 σ x
5-th X – 1,645 σ x
10-th X – 1,28 σ x
50-th X
90-th X + 1,28 σ x
95-th X + 1,645 σ x
97.5-th X + 1,96 σ x
99-th X + 2,325 σ x

2.4 Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal berupa ketegangan otot, rasa nyeri, dan

kelelahan terutama terjadi pada otot-otot kepala, leher, bahu, pinggang,

tangan, jari tangan, pergelangan tangan, dan mata (Hakala et al., 2010).

Muskuloskeletal Disorders (MSDs) merupakan kumpulan kondisi patologis

yang dapat mempengaruhi fungsi normal dari sistem muskuloskeletal yang

didalamnya mencakup sistem saraf, tendon, otot dan struktur penunjang.

Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh aktivitas saat melakukan kerja,

sikap kerja serta kondisi pekerjaan (NIOSH, 1997).

Selain itu stasiun kerja yang tidak sesuai antropometri pekerja dapat

menimbulkan sikap kerja yang tidak alamiah sehingga berpotensi

menimbulkan penyakit akibat kerja (Manuaba, 2006a). Pemakaian yang


berulang berpotensi menimbulkan terjadinya sikap kerja tidak alamiah diikuti

dengan meningkatnya beban kerja tambahan, risiko kecelakaan kerja, dan

keluhan muskuloskeletal (Ratu, 2013). Penerapan sikap kerja yang ergonomis

membantu dalam mencegah segala keluhan atau cedera pada sistem tubuh.

Tubuh yang bekerja dengan kapasitas kerja yang optimal meningkatkan

produktivitas. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi

dua, yaitu :

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada

saat otot menerima beban statis, namun segera hilang apabila

pemberian beban dihentikan

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap,

walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan namun pada otot

masih terus berlanjut

2.4.1 Faktor penyebab keluhan sistem muskuloskeletal

Menurut Peter Vi dalam Tarwaka (2011) terdapat beberapa faktor

yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal

antara lain sbb :

1. Peregangan otot yang berlebihan, peregangan otot yang berlebihan

ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui

kekuatan maksimum otot.

2. Aktivitas berulang, keluhan otot terjadi karena otot menerima

tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh

kesempatan untuk relaksasi.


Seperti halnya pada pembatik cap pekerjaan mengecap batik

dilakukan secara berulang-ulang untuk membentuk suatu pola

tertentu diatas kain hal ini dilakukan selama 8 jam kerja. Menurut

Hignett dan Atamney (2000) penggunaan otot berisiko apabila

diindikasikan melakukan gerakan statis lebih dari 1 menit atau

gerakan yang dilakukan berulang-ulang sebanyak 4x atau lebih dalam

satu menit. Sehingga perlu diatur waktu-waktu istirahat khusus agar

kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan

dalam batas-batas toleransi untuk mencegah terjadinya kelelahan,

penurunan kemampuan fisik dan memberi kesempatan tubuh untuk

melakukan pemulihan atau penyegaran (Tarwaka et al, 2004).

3. Sikap kerja tidak alamiah

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan

posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah,

misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu

membungkuk, kepala terangkat dsb. Semakin jauh posisi bagian

tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko

terjadinya keluhan muskuloskeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini

umumnya karena tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak

sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Kroemer dan

Grandjean, 2000).

Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi

otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat
dengan durasi pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot

kemungkinan terjadi apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka

peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang

dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke

otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai

akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan

timbulnya rasa nyeri otot (Kroemer dan Grandjean, 2000).

Pada pembatik cap sikap paksa ini terjadi akibat

ketidaksesuaian tinggi landasan kerja dengan tinggi siku berdiri

pekerja, hal ini menyebabkan sikap paksa pekerja cenderung

membungkuk selama melakukan pekerjaannya, seperti pada Gambar

2.3 dan 2.4

Gambar 2.3 Sikap Kerja Pembatik


Gambar 2.4 Sikap Kerja Pembatik

Suatu pekerjaan apabila terlalu tinggi dari pemakainya akan

menyebabkan bahu lebih sering terangkat sehingga timbul rasa sakit

di daerah leher, sedangkan apabila terlalu rendah akan menyebabkan

punggung menjadi membungkuk yang menyebabkan timbul rasa sakit

di pinggang (Kroemer dan Grandjean, 2000).

1. Faktor penyebab sekunder berupa tekanan (terjadinya tekanan

langsung pada jaringan otot yang lunak), getaran (getaran

dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot

bertambah) dan mikrolimat (paparan suhu dingin yang

berlebihan) dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan

kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban,


sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot

(Pulat, 1992).

2. Penyebab kombinasi, risiko akan semakin meningkat apabila

dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa

faktor risiko dalam waktu yang bersamaan. Selain faktor-

faktor tersebut,beberapa faktor - faktor individu seperti umur,

jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan

fisik dan ukuran tubuh juga menjadi penyebab terjadinya

keluhan otot skeletal (Tarwaka, 2011)

2.4.2 Penilaian Keluhan Muskuloskeletal

Terdapat beberapa metode penilaian yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi potensi bahaya pada pekerjaan yang berisiko MSD

yaitu dengan metode REBA (Rapid Entire body assesment) dan

penilaian subjektif terhadap tingkat keparahan pada sistem

muskuloskeletal dengan metode nordic body map.

1. Metode REBA, memungkinkan dilakukan suatu analisis secara

bersama dari posisi yang terjadi pada anggota tubuh bagian atas

(lengan, lengan bawah, dan pergelangan tangan), badan, leher

dan kaki. Rapid Entire Body Assessment (REBA) adalah suatu

metode yang dirancang oleh Hignett dan Atamney (2000) untuk

menganalisis pekerjaan berdasarkan postur kerja. Metode ini

digunakan untuk mengevaluasi aktivitas dengan menilai postur


kerja sehingga diketahui risiko gangguan tubuh secara

keseluruhan. Evaluasi pekerjaan dilakukan dengan memberikan

nilai (score) pada 5 aktivitas level yang berbeda. Skor akhir

REBA dihasilkan untuk memberikan sebuah indikasi tingkat

risiko dan tingkat keutamaan dari sebuah tindakan yang harus

diambil.

2. Metode Nordic Body Map

Dalam penerapannya metode nordic body map,

menggunakan gambar tubuh manusia yang dibagi menjadi 28

bagian otot pada sistem muskuloskeltal pada kedua sisi tubuh.

Penilaian dengan menggunakan nordic body map dapat

dilakukan dengan 2 cara yaitu (Tarwaka, 2014):

a. Menggunakan skala nominal yang memberikan dua

pilihan yaitu ya apabila merasakan keluhan

muskuloskeletal pada bagian tubuh yang ditanyakan dan

tidak apabila tidak merasakan keluhan pada bagian tubuh

yang ditanyakan.

b. Menggunakan skala ordinal, dimana penilaian dilakukan

dengan menggunakan skoring 0-3, yang menunjukan

tingkat keluhan yang dirasakan. Berikut adalah contoh

tingkat keparahan pada masing-masing skor tersebut:

1) Skor 0 = Tidak ada keluhan /kenyerian pada otot-

otot atau tidak ada rasa sakit sama sekali yang


dirasakan oleh pekerja selama melakukan

pekerjaaan (tidak sakit)

2) Skor 1 = Dirasakan sedikit adanya keluhan atau

kenyerian pada bagian otot, tetapi belum

mengganggu pekerjaan (agak sakit)

3) Skor 2 = Responden merasakan adanya

keluhan/kenyerian atau sakit pada bagian otot

dan sudah mengganggu pekerjaan, tetapi rasa

kenyeriaan segera hilang setelah dilakukan

istirahat dari pekerjaan (sakit).

4) Skor 3 = Responden merasakan keluhan sangat

sakit atau sangat nyeri pada bagian otot dan

kenyerian tidak segera hilang meskipun telah

beristirahat yang lama atau bahkan diperlukan

obat pereda nyeri otot (sangat sakit).

Setelah dilakukan skoring kemudian dihitung total skor


keluhan muskuloskeletal yang kemudian dicocokkan dengan
klasifikasi seperti pada Tabel 2.2 (Tarwaka, 2014):
Tabel 2.2 Klasifikasi Nordic Body Map

Skor Keluhan Tingkat Kategori


Tindakan perbaikan
Individu Risiko Risiko

0-20 0 Belum diperlukan


Rendah perbaikan
Mungkin diperlukan
21-41 1 Sedang tindakan perbaikan
Diperlukan tindakan
42-62 2 Tinggi perbaikan
Diperlukan tindakan
Sangat menyeluruh sesegera
63-84 3 tinggi
mungkin
Sumber : Tarwaka (2014)

2.5 Kelelahan

Kelelahan merupakan perasaan lelah, rasa tidak suka untuk

melakukan suatu aktivitas dan keengganan untuk melanjutkannya (Vries

et al, 2003). Sedangkan menurut Williamson et al (2011) kelelahan adalah

penurunan kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan

dorongan biologis untuk memulihkan diri. Kelelahan biasanya

menunjukkan kondisi yang berbeda pada setiap individu, suatu perasaan

yang bersifat subjektif tetapi semuanya bermuara pada kehilangan

efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh.

Proses terjadinya kelelahan otot menurut teori kimia akibat

berkurangnya cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme

sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot. Setiap hari manusia melakukan

berbagai macam kegiatan, untuk melaksanakan kegiatan tersebut

diperlukan energi yang diperoleh dari proses metabolisme dalam otot,

yaitu proses - proses kimia yang mengubah sari – sari makanan menjadi
dua bentuk yaitu kerja mekanis dan panas. Adiputra (2003) mengatakan

bahwa terjadinya kelelahan pada pekerja adalah adanya organ tubuh

secara terus menerus menerima beban kerja eksternal dengan tanpa

kesempatan istirahat atau mendapat beban kerja yang melewati

kapasitasnya.

Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar

terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai alarm

tubuh yang mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat.

Kelelahan dapat berupa kelelahan fisik atau psikologis. Kelelahan fisik

disebabkan karena bahan – bahan laktat hasil metabolisme, sedangkan

kelelahan psikis lebih ke arah bagaimana keserasian hubungan perorangan

antar tenaga kerja ke atas, mendatar maupun kebawah.

2.5.1 Faktor penyebab kelelahan

Menurut Nurmianto (2003) terdapat beberapa faktor penyebab

kelelahan antara lain sebagai berikut

1. Kondisi kerja monoton, pada pembatik pekerjaan yang dilakukan

berdiri statis dalam waktu yang lama menebabkan kondisi monoton.

Sikap statis dapat membatasi nutrisi dan oksigen yang masuk dan

juga pembuangan metabolisme, sehingga postur statis sangat tidak

dianjurkan untuk dilakukan. Kondisi ini memberikan peningkatan

beban pada otot dan tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran

darah yang membawa nutrisi dan oksigen serta pengangkutan


metabolisme pada otot terhalang sehingga terjadi penumpukan asam

laktat pada otot. Pada pembatik berdiri untuk waktu yang lama

menyebabkan nyeri pada kaki, kelelahan otot secara umum dan

sakit pada punggung.

Jika otot melakukan pekerjaannya secara berulang tidak ada

waktu yang cukup yang diberikan untuk relaksasi, tanpa istirahat

ketegangan dan kelelahan dapat terakumulasi menghasilkan

kerusakan jaringan. Hal ini disebabkan oleh akumulasi asam laktat

didalam otot. Dengan demikian pekerjaan yang mengharuskan

melakukan kegiatan berulang, gerakan yang kasar dan kuat

termasuk yang berisiko tinggi (Bridger, 2003).

2. Beban kerja dan lama kerja baik fisik maupun mental

3. Keadaan lingkungan kerja seperti cuaca kerja, intensitas penerangan

dan intensitas kebisingan

4. Keadaan jiwa pekerja, seperti tanggung jawab, kekhawatiran,

konflik antara individu

5. Penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi

2.5.2 Cara mengukur Kelelahan

Menurut Kroemer dan Grandjean (2000) terdapat beberapa

metode pengukuran tingkat kelelahan yang dapat dilakukan antara lain

pengukuran kualitas dan kuantitas kerja, uji hilangnya kerlipan (flicker-

fussion test), pengukuran tingkat kelelahan secara subjektif


menggunakan kuesioner 30 item kelelahan dan uji psikomotor

(Psycomotor test).

Salah satu pengukuran kelelahan kerja yang dapat digunakan

adalah kuesioner 30 item kelelahan yang berisi 30 item pertanyaan yang

terdiri dari 10 pertanyaan tentang pelemahan kegiatan ( pertanyan 1-

10), 10 pertanyaan tentang pelemahan motivasi (11- 20) dan 10

pertanyaan tentang gambaran kelelahan fisik (21-30).

Apabila digunakan skoring dengan skala likert, maka setiap skor

atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang jelas dan

mudah dipahami oleh responden. Dibawah ini adalah contoh desain

penilaian kelelahan subjektif dengan 4 skala likert, dimana skor 0 (tidak

pernah merasakan), skor 1 (kadang-kadang merasakan), skor 2 (sering

merasakan), skor 3 sering kali merasakan. Selanjutnya terdapat

klasifikasi tingkat dan kategori kelelahan subjektif berdasarkan skor

individu yang diperoleh sebagai pada Tabel 2.3

Tabel.2.3 Skor kuesioner 30 item kelelahan

Total skor Tingkat Kategori Tindakan perbaikan


individu kelelahan kelelahan
0 – 21 0 Rendah Belum diperlukan adanya
tindakan perbaikan
22 – 44 1 Sedang Mungkin diperlukan tindakan
dikemudian hari
45 – 67 2 Tinggi Diperlukan tindakan segera
68 – 90 3 Sangat Diperlukan tindakan
Tinggi menyeluruh sesegera mungkin
2.6 Produktivitas

2.6.1 Pengertian Produktivitas

Produktivitas adalah suatu perbandingan antara luaran (output) dan

masukan (input) per satuan waktu. Manuaba (2004) menyatakan bahwa

produktivitas dapat ditingkatkan melalui pendayagunaan seoptimal

mungkin sumber daya manusia atau mengalihkan teknologi tepat

guna, disamping upaya mengefisienkan kemampuan melalui

penggunaan alat, cara kerja, dan lingkungan yang serasi.

2.6.2 Pengukuran produktivitas

Produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dan

masukan (input) per satuan waktu (time). Pengukuran produktivitas

dapat digunakan untuk menilai sejauh mana perbandingan antara total

keluaran dengan total masukan per satuan waktu (Kanawaty, 1992).

Pengukuran produktivitas secara umum dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu:

1. Produktivitas total merupakan perbandingan antara total keluaran

(output) dengan total masukan per satuan waktu. Hal ini semua

faktor masukan terhadap total keluaran diperhitungkan.

2. Produktivitas parsial merupakan perbandingan dari keluaran

dengan satu jenis masukan (input) seperti upah tenaga kerja, bahan

energi, beban kerja, skor keluhan sujebtif dan lain-lain.

Produktivitas dihitung secara parsial dari sudut pandang ergonomi.


Menurut Manuaba (2000), secara umum produktivitas dapat

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Luaran (output)

Produktivitas =

Masukan (input) x Waktu (time)

Dalam hal ini, output adalah berupa rerata hasil kerja (jumlah kain batik

yang di cap). Sedangkan input adalah kelelahan yang diterima oleh

tenaga kerja selama bekerja.

2.6.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Produktivitas

Banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja baik yang

berhubungan dengan tenaga kerja maupun yang berhubungan dengan

lingkungan tempat kerja. Manuaba (2003b) dan Pheasant (2003a)

menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja

adalah sebagai berikut:

1. Tenaga kerja seperti umur, gizi, kondisi fisik, keterampilan dan

psikologis pekerja.

2. Peralatan kerja seperti alat, sarana kerja, mesin-mesin dan lain-lain.

3. Lingkungan kerja seperti kebisingan, getaran, suhu, kelembaban,

debu dan lain-lain.

Manuaba (2005) menyatakan usaha-usaha yang harus dilakukan

dalam perbaikan produktivitas kerja untuk pencapaian tujuan ergonomi


dilakukan dengan memperhatikan delapan aspek ergonomi adalah sebagai

berikut:

1. Status nutrisi yang memadai sebagai sumber energi seorang

pekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

2. Aplikasi tenaga otot secara optimal dan efisien untuk menekan

stress pekerja sampai batas minimum.

3. Sikap tubuh yang diterapkan dalam sikap kerja dengan

memperhatikan situasi pembebanan terhadap tubuh, jenis

pekerjaan dan ruang lingkungan pekerjaan.

4. Kondisi lingkungan kerja untuk mencegah beban yang

berlebihan terhadap fisik dan mental.

5. Kondisi yang berkaitan dengan waktu atau yang berkaitan

dengan pola kerja, waktu kerja dan waktu istirahat.

6. Kondisi informasi untuk menunjukkan penampilan

(performance) kerja secara puas dan luas.

7. Kondisi sosial untuk meningkatkan kualitas interaksi antar

pekerja. Tugas yang dilakukan sudah menjadi upaya kerja karena

dilakukan dengan cara nyaman dapat menyokong kehidupan

yang sejahtera bagi karyawan.

8. Interaksi manusia dengan mesin dengan proporsi pembagian

tugas pekerjaan yang tepat antara manusia dengan mesin/alat.

Oleh karena produktivitas kerja merupakan rasio keluaran (output)

terhadap masukan (input), maka peningkatan produktivitas kerja dapat


dilakukan dengan mengubah baik masukan maupun keluaran. Menurut

Sedarmayanti (1996), produktivitas kerja dikatakan meningkat apabila:

1. Volume/kuantitas keluaran bertambah besar, tanpa mengubah

jumlah masukan.

2. Volume/kuantitas keluaran tidak bertambah, akan tetapi

masukannya berkurang.

3. Volume kuantitas keluaran bertambah besar sedangkan

masukannya berkurang.

4. Jumlah masukan bertambah, asalkan volume/kuantitas keluaran

bertambah berlipat ganda.

2.7. Pengaruh Pilates Exercise Terhadap Penurunan Keluhan Subjektif

dan Peningkatan Produktivitas Kerja

Pilates exercise merupakan suatu upaya preventif yang dapat

diterapkan untuk mempersiapkan otot-otot sebelum melakukan

aktivitasnya sehingga dapat meminimalkan risiko terjadinya keluhan

msukuloskeletal dan cidera pada otot. Pilates exercise melatih kembali

tubuh, meningkatkan kekuatan dan kelenturan, meningkatkan

keseimbangan, postur, alignment dan mengontrol otot. Pada akhirnya

seseorang menjadi lebih handal dalam mengatur kegiatan sehari-hari

secara lebih efisien dan efektif dengan kemungkinan cedera yang lebih

kecil. Dengan pilates exercise, tubuh bekerja secara keseluruhan,

menjaga stabilitas tubuh, keseimbangan, alignment yang benar, kontrol


otot yang baik dan pernafasan yang benar akan tetap terjaga saat

sejumlah otot sedang bekerja (Pohlman, 2005).

Teraktivasinya core muscle juga akan meningkatkan stabilitas

tulang belakang, karena core muscle yang aktif akan meningkatkan

tekanan intra abdominal dan hal tersebut akan membentuk abdominal

brace yang akan meningkatkan stabilitas dari tulang belakang (Kisner

dan Colby, 2007). Stabilitas tulang belakang yang baik akan lebih

memudahkan seseorang dalam melakukan aktivitas fungsional dan

mengurangi resiko cidera karena imbalance muscle.

Pada pembatik cap dengan sikap kerja cenderung membungkuk

dengan karakteristik pekerjaan yang monoton dan repetitif menyebabkan

adanya imbalance muscle. Hal ini karena kelompok otot yang lebih

dominan bekerja pada otot-otot punggung bawah dan kelompok otot

perut sebagai kelompok otot antagonis menjadi lemah. Otot-otot perut

adalah salah satu otot inti tubuh. Kekuatan otot-otot perut dibutuhkan

agar seluruh batang tubuh akan stabil dan kuat (Dillah, 2014). Sehingga

perlu dilakukan pelatihan penguatan otot-otot perut untuk

menyeimbangakan antara kerja otot-otot perut dan pinggang sehingga

mencegah terjadinya postur yang buruk dan mencegah sakit pinggang.

Selain itu, pada latihan pilates otot dirangsang oleh banyak serabut

saraf dan serabut saraf memerintah beberapa serabut otot (disebut motor

unit terdiri dari ± 150 serabut otot). Latihan pilates juga meningkatkan
jumlah butiran darah, Hb, dan cadangan alkali sehingga total whole

blood (darah beredar) meningkat 20%, sirkulasi darah ke otot meningkat

1-4 cc/100 gram otot menjadi 30 cc/100 gram otot. Sehingga suplai

nutrisi dan oksigen pada otot tercukupi, maka tidak terjadi penumpukan

asam laktat pada otot, nyeri pada otot akan hilang dan otot lebih siap

untuk melakukan aktivitasnya. Menurut Kibler, 2006 salah satu manfaat

latihan pada core muscle adalah pemperpanjang otot dan mencegah

ketidak seimbangan kerja otot

Metode pilates exercise lebih menekankan pada kualitas bukan

kuantitas, sehingga dalam pilates jarang dilakukan pengulangan gerakan,

cukup dengan melakukan gerakan yang benar, teliti dan konsentrasi, akan

didapatkan hasil yang diinginkan dalam waktu yang relatif singkat

(Powers, 2004).

Pemberian pilates exercise sebagai upaya preventif dapat

mengurangi risiko terjadiya cidera muskuloskeletal pada pembatik cap.

Gangguan kesehatan bersifat kumulatif yang makin lama akan bertambah

berat sehingga akan mengganggu kesehatan dan berakhir pada

menurunnya produktivitas kerja.

2.9. Pengaruh Perbaikan Meja Batik Terhadap Penurunan Keluhan

Subjektif dan Peningkatan Produktivitas

Pada pembatik penambahan ketinggian meja sebesar 8 cm

dengan tujuan agar terjadi perbaikan sikap tubuh pembatik saat bekerja.
Menurut Manuaba, (2006b), stasiun kerja yang tidak sesuai

antropometri pekerja dapat menimbulkan sikap kerja yang tidak

alamiah sehingga berpotensi menimbulkan penyakit akibat kerja.

Penelitian yang dilakukan Astono (2002), mengenai hubungan

kesesuaian tinggi meja dengan kelelahan pada sikap kerja berdiri

menunjukkan dari total 115 pekerja, sebanyak 45,9% mengalami

kelelahan kerja. Penelitian lain yang dilakukan Rasna et al (2014)

mengenai modifikasi gebotan berorientasi ergonomi pada petani wanita

perontok padi diperoleh penurunan keluhan muskuloskeletal sebesar

44,53 %, menurunkan kelelahan sebesar 28.57% , menurunkan beban

kerja sebesar 42,3% dan meningkatkan produktivitas sebesar 83%.

Penyesuaian peralatan kerja dengan antropometri pengguna diperlukan

untuk menciptakan kondisi kerja yang efektif,nyaman,aman, sehat dan

efisien sehingga tercapainya produktivitas kerja yang tinggi.

2.9. Pengaruh Perbaikan Organisasi Kerja Terhadap Penurunan

Keluhan Subjektif dan Peningkatan Produktivitas kerja

Perbaikan organisasi kerja berupa mengatur jumlah kain yang

diambil untuk diberikan pola sebanyak 4 lembar setiap 1 jam dengan

jarak 1,5 meter merupakan salah satu penerapan istirahat aktif yang

tidak disadari pekerja. Hal ini dimaksudkan agar terjadi gerakan secara

aktif untuk mengurangi munculnya akumulasi keluhan subjektif berupa

keluhan muskuloskeletal dan kelelahan kerja serta memberi kesempatan


tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran, serta memberi

kesempatan waktu untuk melakukan kontak sosial setelah pembebanan.

Pemulihan energi sangat penting diperhatikan karena selama proses

kerja terjadi kelelahan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

pemulihan energi adalah istirahat.

Istirahat aktif perlu diterapkan setiap satu jam kerja, karena

istirahat aktif memiliki kelebihan dapat meningkatkan produktivitas dan

mengurangi kelelahan otot (Kroemer dan Grandjean, 2000). Penelitian

Manuaba (1998), pada pabrik gula di Jawa dan pabrik rokok Sampoerna

Denpasar, dalam menghadapi lingkungan panas dan akumulasi

kelelahan diberikan istirahat pendek 10-15 menit di pagi dan sore hari,

dan minum segelas teh manis setiap jam sehingga produktivitas

meningkat.

Anda mungkin juga menyukai