Anda di halaman 1dari 26

BAB I

1. Pendahuluan 1. Latar Belakang

2. Perumusan Masalah a. Bagaimana postur pekerja pada bagian batching di warehouse 3 PT. Sari Husada ? b. Apakah postur pekerja bagian batching sudah aman berdasarkan metode REBA? c. Bagaimana postur kerja bagian batching yang aman berdasarkan metode REBA? d. Apakah kegiatan batching di warehouse 3 menimbulkan resiko penyakit atau cedera pada pekerja ? e. Bagaimana rekomendasi perbaikan untuk meminimalkan penyakit akibat kerja?

3. Batasan Masalah Untuk memperjelas serta membatasi ruang lingkup permasalahan sehingga menghasilkan uraian yang sistematis, maka penulis merasa perlu membuat batasan masalah yaitu: a. Pengamatan ini hanya menganalisis tingkat resiko cedera pada pekerja dengan menggunakan metode REBA. b. Lokasi pengamatan adalah di Departement Rantai Pasok (Supply chance) khususnya di gudang 33 PT. Sari Husada 2. c. Waktu pengamatan adalah pada tanggal 22 Januari sampai dengan 22 Februari 2012.

4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan tugas khusus ini adalah : a. Menganalisa postur pekerja bagian batching di gudang 3.

b. Memberikan suatu usulan perbaikan metode kerja yang membuat postur kerja menjadi ergonomis terhadap kategori pekerjaan bagian .. yang memiliki resiko postur kerja tinggi dan sangat tinggi c. Mengetahui adanya keluhan sakit akibat kerja yang dialami oleh pekerja bagian

5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penulisan tugas khusus ini adalah : a. Hasil pengamatan dapat dijadikan sebagai masukan pekerja untuk menentukan postur kerja yang baik dan benar sehingga mengurangi terjadinya muskuloskeletal. b. Hasil penngamatan dapat dijadikan sebagai masukan bagi perusahaan agar tempat dan kondisi lingkungan kerja dibuat menjadi se-ergonomi mungkin, sehingga kenyamananpun tercapai. c. Hasil usulan perbaikan dapat dipakai untuk pekerja sehingga mencegah terjadinya penyakit akibat kerja dan menambah nilai produktivitas bagi perusahaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetian Ergonomi Istilah ergonomi atau biasa pula dikenal dengan human factors mulai dicetuskan pada tahun 1949, akan tetapi aktivitas yang berkenaan dengannya telah bermunculan puluhan tahun sebelumnya. Ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu Ergos (kerja) dan Nomos (hukum alam) dan dapat didefisinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain perancangan. Ergonomi berkenaan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja. (Nurmianto, 2003) Menurut Sutalaksana (1999), untuk menciptakan hasil yang optimal dalam penerapan ergonomi diperlukan informasi yang lengkap mengenai kemampuan manusia dengan segala keterbatasanya. Salah satu usaha untuk mendapatkan informasi-informasi ini, telah dilakukan penyelidikan. Penyelidikan tersebut dilakukan menurut empat kelompok besar, yaitu : 1. Penyelidikan tentang display. Penyelidikan tentang display adalah bagian lingkungan yang

mengkomunikasikan keadaanya kepada manusia. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui berapa kecepatan sepeda motor yang sedang dikemudikan, maka dengan melihat jarum speedometer tersebut kita akan mengetahui kecepatan sepeda motor. 2. Penyelidikan mengenai hasil kerja manusia dan proses pengendalianya. Dalam hal ini diselidiki tentang aktivitas-aktivitas manusia ketika bekerja dan kemudian mempelajari cara mengukur dari setiap aktivitas tersebut. Dimana penyelidikan ini banyak berhubungan dengan Biomekanika. 3. Penyelidikan mengenai tempat kerja. Agar didapat tempat kerja yang baik, yaitu sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan manusia, maka ukuran tempat kerja tersebut harus sesuai dengan dimensi tubuh manusia. Hal ini berkaitan dengan ergonomi anthropometri 4. Penyelidikan mengenai lingkungan fisik Yang dimaksud dengan lingkungan fisik adalah meliputi ruangan dan fasilitasfasilitas yang biasa digunakan oleh manusia, serta kondisi lingkungan kerja, yang

keduanya banyak mempengaruhi tingkah laku manusia. Berdasarkan dengan bidang-bidang penyelidikan tersebut, maka melibatkan sejumlah disiplin dalam ilmu ergonomi yaitu : a. Anatomi dan fisiologi : struktur dan fungsi pada manusia. b. Anthropometri : ukuran-ukuran tubuh manusia. c. Fisiologi psikologi : sistem saraf otak. d. Psikologi eksperimen : perilaku manusia.

1. Konsep dasar Ergonomi Untuk dapat mempermudah pemahaman terhadap ergonomi, kita dapat menggunakan konsep umum dari cara berfikir yang rasional yang biasa kita gunakan. Mengadopsi istilah (5W + 1H) dapat mempermudah kita berfikir secara sistematis di dalam memahami dan menerapkan ergonomi (Tarwaka, dkk, 2004). a. What is ergonomics? Istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ergosberarti kerja dan nomos berarti aturan atau hukum. Jadi secara ringkas ergonomi adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. b. Why is ergonomics ? Setiap aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan, apabila tidak dilakukan secara ergonomis akan mengakibatkan ketidaknyamanan, biaya tinggi, kecelakaan dan penyakit akibat kerja meningkat, performansi menurun yang berakibat pada penurunan efisien dan daya kerja. c. Where is ergonomics? Secara umum penerapan ergonomi dapat dilakukan di lingkungan mana saja. d. When is ergonomics ? Ergonomi dapat diterapkan dimana saja dan kapan saja sehingga kita dapat merasa sehat, aman dan nyaman dalam melakukan aktivitas. e. Who is ergonomics ? Setiap komponen masyarakat baik masyarakat pekerja maupun masyarakat sosial dalam upaya menciptakan kesehatan, kenyamanan, keselamatan dan produktivitas kerja yang setingi-tingginya. f. How is ergonomics applied ? Untuk dapat menerapkan ergonomi secara benar dan tepat, maka kita harus mempelajari dan memahami ergonomi secara detail

2. Tujuan dan Pentingnya Ergonomi Tujuan ergonomi adalah untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pada suatu perusahaan atau organisasi. Ergonomi memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya desain suatu sistem kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka manusia dan desain stasiun kerja untuk alat peraga visual. Hal itu untuk mengurangi ketidaknyamanan visual dan postur kerja, desain suatu perkakas kerja (handtools) untuk mengurangi kelelahan kerja, desain suatu peletakan instrumen dan sistem pengendali agar didapat optimasi dalam proses transfer informasi dengan dihasilkannya suatu respon yang cepat dengan meminimumkan resiko kesalahan serta supaya didapatkan optimasi, efisiensi kerja dan hilangnya resiko kesehatan akibat metode kerja yang kurang tepat. Ergonomi dapat berperan pula sebagai desain pekerjaan pada suatu organisasi, misalnya penentuan jumlah jam istirahat, pemilihan jadwal pergantian waktu kerja (shift kerja), meningkatkan variasi pekerjaan dan lainlain. Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun (desain) ataupun rancang ulang yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi dan juga anatomy, psysiology dan industrial medicine (Luopajarvi,1990). Secara umum tujuan dari penerapan ilmu ergonomi adalah (Tarwaka,2004) : 1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasaan kerja. 2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatkan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif. 3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek, yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kerja dan kualitas hidup yang tinggi. Berdasarkan penjabaran di atas dari berbagai sumber, maka dapat disimpulkan baha ruang lingkup dari ergonomi berfokus pada perancangan tugas, peralatan, area kerja, dan sistem kerja yang disesuaikan dengan kapasitas pekerja (mempertimbangkan keterbatasan fisik pekerja) yang bertujuan untuk menciptakan efesiensi serta kenyamanan dalam bekerja dan mencegah dari kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja..

Pertimbangan ergonomi yang terkait dengan postur kerja dapat membantu mendapatkan postur kerja yang nyaman dan aman bagi para pekerja, baik dalam kondisi postur kerja berdiri, duduk, angkat maupun angkut. Beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan postur kerja tertentu yang terkadang tidak nyaman. Kondisi kerja seperti itu memaksa pekerja selalu berada pada postur kerja yang tidak alami dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan mengakibatkan pekerja cepat lelah, adanya keluhan sakit pada bagian tubuh, cacat produk bahkan cacat tubuh. Untuk menghindari postur kerja yang demikian, pertimbangan-pertimbangan ergonomis antara lain (Nurmianto,1998) : 1. Mengurangi keharusan pekerja untuk bekerja dengan postur kerja membungkuk dengan frekuensi kegiatan yang sering atau dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengatasi hal ini maka stasiun kerja harus dirancang terutama sekali dengan memperhatikan fasilitas kerja seperti meja, kursi, dan lain-lain yang sesuai dengan data anthropometri agar pekerja dapat menjaga postur kerjanya tetap tegak dan normal. Ketentuan ini terutama sekali ditekankan bilamana pekerjaan harus dilaksanakan dengan postur berdiri. 2. Pekerja tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum. Pengaturan postur kerja dalam hal ini dilakukan dalam jarak jangkauan normal (konsep/prinsip ekonomi gerakan). Disamping itu pengaturan ini bisa memberikan postur kerja yang nyaman. Untuk hal-hal tertentu pekerja harus mampu dan cukup leluasa mengatur tubuhnya agar memperoleh postur kerja yang lebih leluasa dalam bergerak. 3. Pekerja tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu yang lama, dengan kepala, leher,dada, atau kaki berada dalam postur kerja miring. 4. Operator tidak seharusnya dipaksa bekerja dalam frekuensi atau periode waktu yang lama dengan tangan atau lengan berada dalam posisi diatas level siku yang normal.

Postur duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal ini dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang operator yang bekerja dalam postur duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara potensial lebih produktif. Sedangkan posttur berdirimerupakan sikap siaga baik fisik maupun mental,

sehingga aktifitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat dan teliti. Berdiri lebih melelahkan daripada duduk dan energi yang dikeluarkan lebih banyak 10-15% dibandingkan duduk (Nurmianto, 1998). Beberapa masalah berkenaan dengan postur kerja yang sering terjadi sebagai berikut (Santoso, 2004) : 1. Hindari kepala dan leher yang mendongak 2. Hindari tungkai yang menukik 3. Hindari tungkai kaki pada posisi terangkat 4. Hindari postur memutar atau asimetris 5. Sediakan sandaran bangku yang cukup di setiap bangku Kerja seseorang dihasilkan dari tugas pekerjaan, rancangan tempat kerja dan karakteristik individu seperti ukuran dan bentuk tubuh. Pertimbangan untuk semua komponen dibutuhkan analisis postur dan perancangan tempat kerja.

3. Konsep Keseimbangan Dalam Ergonomi Konsep keseimbangan antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja tersebut dapat diilustrasikan pada gambar 2.1.
Material Characteristics Task/work place characteristics Personal capacity Physicoogical capacity

TAKS DEMAND
Organizational characteristics Environmental characteristics Performance 1. quality 2. Fatique 3. Accident 4. Discomfort 5. Diseasse 6. Stress

WORK CAPACITY
Pysicological capacity Biomechanical capacity

Gambar 2.1 Konsep Dasar Keseimbangan Dalam Ergonomi (Sumber :Manuaba, 2000 dalam Tarwaka, dkk 2004: 8 ) 1) Kemampuan Kerja (Work Capacity)

a. Personal Capacity (Karakteristik Pribadi); meliputi faktor jenis kelamin, usia, pendidikan, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial, agama dan kepercayaan b. Physicologocal Capaicity (Kemampuan Fisiologis); meliputi kemampuan dan daya tahan cardio-vaskuler, syaraf otot, dan panca indera. c. Biomechanical Capacity (Kemampuan Biomekanik) berkaitan dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon dan jalinan tulang.

2) Tuntutan Tugas (Task Demand) a. Task and Material haracteristic (Karakteristik tugas dan material): ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja. b. Organization Characteristic: berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, shift kerja,cuti dan libur. c. Environmental Characteristic; berkaitan dengan teman setugas, kondisi lingkungan kerja fisik, norma, adat kebiasaan dan sosio budaya.

3) Performansi (Performance) a. Bila rasio tuntutan tugas (Task Demand) > Kpasitas kerja (Work Capacity), maka hasil akhirnya berupa: ketidaknyamanan overstress,kelelahan,

kecelakaan, cidera, rasa sakit dan tidak produktif. b. Bila rasio tuntutan tugas (Task Demand) < Kapasitas kerja (Work Capacity), maka hasil akhirnya berupa: undertress, kebosanan, kejemuan, kelesuan, sakit dan tidak produktif. c. Agar penampilan menjadi optimal maka perlu adanya keseimbangan dinamis (task demand = Work capacity) sehingga tercapai kondisi lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan produktif.

4. Prinsip Ergonomi Ergonomi berfokus kepada desain dari suatu sistem dimana manusia bekerja. Semua sistem kerja tersebut terdiri atas komponen manusia, komponen mesin, dan lingkungan yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Fungsi dasar dari ergonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia akan desain kerja yang memberikan keselamatan dan efisiensi kerja bagi manusia yang bekerja di dalamnya (Bridger, 2003).

Dalam upaya menciptakan suatu kondisi kerja yang aman dan nyaman, maka diperlukan interaksi yang baik dari ketiga komponen yang telah disebutkan di atas, yaitu manusia, mesin, dan lingkungan kerja. Dalam ergonomi, manusia merupakan komponen paling utama yang harus diperhatikan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, karena manusia dalam hal ini yang menjadi operator dari pekerjaannya. Ini berarti hal yang diperbaiki adalah mengenai workstation yang akan menyesuaikan pekerjaannya. Sebagai contoh, dsain pembuatan kursi kerja berkisar antara 43-50 cm (Oborne, 1995). Kursi kerja yang didesain dengan menambahkan sandaran punggung (backrest) dilakukan dengan tujuan agar memberikan kesempatan relaksasi pada otot punggung secara berkala. Contoh lainnya adalah mengenai desain meja kerja. Tinggi meja kerja disarankan untuk pekerjaan berat adalah sekitar 75-90 cm dari lantai (untuk pria) dan 70-85 cm dari lantai (untuk wanita), untuk pekerjaan ringan bekisar antara 90-95 cm dari lantai (untuk pria) dan 85-90 cm dari lantai (untuk wanita), serta pekerjaan yang membutuhkan ketelitian berkisar 100-110 cm dari lantai (untuk pria) dan 95-105 cm dari lantai (untuk wanita)(Kroemer, 1997).

5. Postur dan Pergerakan Pekerja 1) Postur Kerja Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja sebaiknya postur dilakuakan secara alamiah sehingga dapat meminimalisasi timbulnya cidera muskuloskeletal. Kenyamanan tercipta bila pekerja telah melakukan postur kerja yang baik dan aman. Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat bekerja ( Tarwaka, 2004 ). Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat bekerja. Pergerakan organ tubuh tersebut meliputi (Tayyari, 1997): 1. Flexion, yaitu gerakan dimana sudut antara dua tulang terjadi pengurangan. 2. Extension, yaitu gerakan merentangkan (stretching) dimana terjadi peningkatan sudut antara dua tulang. 3. Abduction, yaitu pergerakan menyamping menjauhi dari sumbu tengah (the median plane) tubuh. 4. Adduction, yaitu pergerakan ke arah sumbu tengah tubuh (the median plane). 5. Rotation, yaitu pergerakan perputaran bagian atas lengan atau kaki depan.

6. Pronation, yaitu perputaran bagian tengah (menuju ke dalam) dari anggota tubuh. 7. Supination, yaitu perputaran ke arah samping (menuju ke luar) dari anggota tubuh. Pembagian postur kerja dalam ergonomi didasarkan atas posisi tubuh dan pergerakan. Berdasarkan posisi tubuh, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari (Bridger, 2003) : 1. Postur Netral (Neutral Posture), yaitu postur dimana seluruh bagian tubuh berada pada posisi yang sewajarnya atau seharusnya dan kontraksi otot tidak berlebihan sehingga bagian organ tubuh, saraf jaringan lunak dan tulang tidak mengalami pergeseran, penekanan, ataupun kontraksi yang berlebih. 2. Postur Janggal (Awkward Posture), yaitu postur dimana posisi tubuh (tungkai, sendi dan punggung) secara signifikan menyimpang dari posisi netral pada saat melakukan suatu aktivitas yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh manusia untuk melawan beban dalam jangka waktu lama. Postur janggal akan menyebabkan stress mekanik pada otot, ligamen, dan persendian ssehingga menyebabkan rasa sakit pada otot rangka. Selain itu, postur janggal membutuhkan energi yang lebih besar pada beberapa bagian otot, sehingga meningkatkan kerja jantung dan paru-paru untuk

menghasilkan energi. Semakin lama bekerja dengan postur janggal, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi tersebut, sehingga dampak kerusakan otot rangka yang ditimbulkan semakin kuat. Beberapa bentuk postur janggal antara lain : a. Postur janggal pada tulang belakang 1. Membungkuk (bent forward), yaitu punggung dan dada lebih condong ke depan membentuk 20 terhadap garis vertikal. 2. Berputar (twisted), yaitu posisi tubuh yang berputar ke kanan dan dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan beberapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan 3. Miring (bent sideway), yaitu setiap deviasi bidang median tubuh dari garis vertikal tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk. Terjadi fleksi pada bagian tubuh, biasanya ke depan atau ke samping.

Gambar Sumber : lontar.ui.ac.id Selain itu, terdapat postur janggal pada tulang punggung saat mengangkat seperti pada gambar berikut ini

Gambar Sumber : Bridger, 2003 b. Postur janggal pada tangan dan pergelangan tangan (kiri dan kanan) Faktor resiko pada tangan dan pergelangan tangan adalah melakukan pekerjaan dengan posisi memegang benda dengan cara mencubit (pinch grip), tekanan pada jari terhadap objek (finger press), menggenggam dengan kuat (power grip), posisi pergelangan tangan yang fleksi dan ekstensi dengan sudut 45 , serta posisi pergelangan tangan yang deviasi selama lebih dari 10 detik dan frekuensi > 30/ menit (Humantech, 1989).

Gambar Postur Janggal Tangan dan Pergelangan Tangan Sumber : Humantech, 1995

Gambar Sumber : http://anatomystudybuddy.wordpress.com

c. Postur janggal pada bahu (kiri dan kanan) Postur bahu yang merupakan kator resiko adalah melakukan pekerjaan lengan atas membentuk sudut 45 ke arah samping atau ke arah depan terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari atau sama dengan 2 kali per menit dan beban 45 kg (Humantech, 1995).

Lengan ke samping depan Gambar Postur Janggal Bahu Sumber : Humantech, 1995

Lengan debelakang badan

d. Postur Janggal Pada Lengan Bawah (Kiri dan Kanan) Postur lengan bawah yang menjadi faktor resiko adalah posisi siku sebesar 135 dan jika menggunakan gerakan penuh dalam bekerja (Humantech, 1995).

Gambar Postur Janggal Lengan Bawah Sumber : Humantech, 1995

e. Postur Janggal Pada Leher Postur leher yang menjadi faktor resiko adalah melakukan pekerjaan (membengkokkan leher 20 terhadap vertikal), menekukkan kepala atau menoleh ke samping kiri atau kanan, serta menengadah (Humantech, 1995).

Gambat Postur Janggal Leher Sumber : Humantech, 1995

f. Postur janggal Pada Kaki 1. Jongkok (squatting0, yaitu posisi tubuh dimana perut menemel pada paha dimana terjadi fleksi maksimal pada daerah lutut, pangkal paha, dan tulang lumbal. 2. Berlutut (kneeling), yaitu posisi tubuh dimana sendi lutut menekuk, permukan lutut menyentuh lantai dan berat tubuh bertumpu pada lutut dan jari-jari kaki. 3. Berdirir pada satu kaki (stand on one leg), yaitu posisi tubuh dimana tubuh bertumpu pada satu kaki.

Sedangkan berdasarkan pergerakan postur kerja dalam ergonomi terdiri dari : 1) Postur Statis, yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar tubuh tidak aktif atau hanya sedikit sekali terjadi pergerakan. Postur satis dalam jangka waktu lama sehingga otot berkontraksi secara terus-menerus dan

dapt menyebabkan tekanan atau stress pada bagian tubuh (Bridger, 2003). Pergerakan otot statis menyebabkan aliran darah ke otot berkurang dan glikogen otot diubah menjadi asam laktat yang mengakibatkan rasa lelah (Humantech, 1995). Berikut ini contoh postur statis, yaitu : a. Berdiri, yaitu kepala, punggung dan kaki tegak lurus sejajar dengan sumbu vertikal. b. Duduk, yaitu pantat menyentuh suatu permukaan dan terjadi fleksi pada lutut 90 . Posisi duduk memerlukan lebih sedkit energi daripada berdiri, karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki (Nurmianto, 2004). Pada posisi duduk, jaringan lunak pada tulang punggung antara anterior dan posterior tertekan sehingga menyebabkan kesakitan (Bridger, 1995). Selain itu, sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang (Nurmianto, 2004). c. Berbaring, yaitu kepala, punggung dan kaki sejajar dengan sumbu horizontal.

2) Postur dinamis, yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar anggota tubuh bergerak. Jenisnya adalah : a. Carrying, yaitu aktivitas mengangkat beban sambil berjalan. b. Pulling, yaitu tarikan pada benda agar benda bergerak. c. Ushing, yaitu memindahkan benda dengan memberikan gaya agar benda berpindah. 2) Frekuensi Postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan yang sering dapat mengakibatkan tubuh kekurangan suplai darah, asam laktat yang terakumulasi, inflamasi, tekanan pada otot, dan trauma mekanis. Frekuensi terjadinya postur janggal terkait dengan terjadinya repetitive motion dalam melakukan pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terusmenerus tanpa melakukan relaksasi (Bridger, 2003). Secara umum, semakin banyak pengulangan gerakan dalam suatu aktivitas kerja, maka akan mengakibatkan keluhan otot semakin besar. Pekerjaan yang dilakukan secara repetitif dalam jangka waktu lama maka akan meningkatkan resiko MSDs apalagi bila ditambah dengan gaya atau beban dan postur janggal (OHSCO, 2007)

3) Durasi Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor resiko. Durasi dapat dlihat sebagai menit-menit dari jam kerja/hari pekerja terpajan resiko. Durasi juga dapat dilihat sebagai pajanan faktor resiko atau karakteristik pekerjaan berdasarkan faktor resikonya. Secara umum, semakin besar pajanan durasi pada faktor resiko, semakin besar pula tingkat esikonya. Durasi diklasifikasikan sebagai berikut (Kroemer & Grandjean, 1997) : a. Durasi singkat : < 1 jam/hari b. Durasi sedang : 1-2 jam/hari c. Durasi lama : > 2 jam Pada posisi kerja statis yang membutuhkan 50% dari kekuatan maksimum tidak dapat bertahan lebih dari satu menit, jika kekuatan digunakan kurang dari 20% kekuatan maksimum maka konsentrasi akan berlangsung terus untuk

beberapa waktu. Sedangkan untuk durasi aktivitas dinamis selama 4 menit atau kurang seseorang dapat bekerja dengan intensitas sama dengan kapasitas aerobik sebelum beristirahat.

4) Force atau beban Force merupakan usaha yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan. Pekerjaan yang menuntut penggunaan tenaga besar, maka akan memberikan beban pada otot, tendon, ligamen, dan sendi. Objek merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Beban maksimum yang diperolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23-25 kg. Bentuk dan ukuran objek juga ikut mempengaruhi hal tersebut. Ukuran objek harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh. Lebar objek yang besar yang dapat membebani otot pundak/bahu adalah lebih dari 300-400. Cara menangani beban yang baik yaitu, (Sumamur, 1989) : 1. Pegangan harus tepat. Memegan diusahakan dengan penuh dan memegangdengan hanya beberapa jari dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari dan pergelangan tangan. 2. Lengan harus berada di dekat tubuh dengan posisi lurus. Fleksi pada lengan untuk mengangkat dan membawa menyebabkan ketegangan otot statis pada lengan yang melelahkan.

3. Punggung harus diluruskan. Posisi deviasi punggung membebani tulang belakang. Untuk menghindari punggung membungkuk, mula-mula lutut harus bengkok (fleksi) sehingga tubuh tetap berada pada posisi dengan punggung lurus. 4. Posisi leher tegak sehingga seluruh tulang belakang diluruskan. 5. Posisi kaki dibuat sedemikian rupa agar mampu mengimbangi momentum yang terjadi dalam posisi mengangkat dan menurunkan. Kedua kaki ditempatkan untuk membantu mendorong tubuh. 6. Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak mungkin otot tulang belakang yang lebih lemah dibebaskan dari pembebanan. 7. Beban yang ditangani diusahakan berada sedekat mungkin terhadap garis vertikalatau pusat gravitasi tubuh. Posisi tubuh yang menahan beban cenderung mengikuti beban sedangkan posisi tubuh yang menjauhi pusat gravitasi t ubuh lebih beresiko MSDs.

Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada sudut tajam dan tidak dingin atau panas saat diangkat.mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan otot jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari. Semakin berat objek yang ditangani, tenaga yang dibutuhkan akan meningkat. Dapat disimpulkan, semakin besar gaya yang dikeluarkan untuk menangani suatu objek, maka semakin tinggi resiko terkait dengan gangguan otot rangka apabila hal tersebut dilakukan dengan postur yang salah dan berat objek melampaui batas maksimum yang diperbolehkan (Kumar, 1996). Pajanan terkait MSDs tersebut tidak hanya disebabkan oleh salah satu faktor saja, melalaikanadanya keterkaitan atau gabungan dari berbagai faktor resiko ergonomi yang ada serta faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya. Gangguan terhadap muskulosketal tersebut akan timbul semakin cepat apabila suatu aktivitas kerja yang dilakukan dengan postur yang tidak tepat dengan beban yang berat dan dilakukan secara repetitif dalam janga waktu yang cukup lama (Kumar, 1996).

B. Sistem Kerangka Otot 1. Sistem kerangka otot manusia Sistem kerangka otot manusia melibatkan bagian-bagian tubuh yang berkolaborasi untuk mengahsilkan gerakan yang akan dilakukan oleh organ tubuh yaitu tulang. Otot terdiri atas sel-sel berbentuk serat yang panjang dan lembut, bersifat dapat mengencang (contraction) ke satu arah ada otot sukarela (voluntary muscles) yang menyediakan gerakan sukarela asal mendapat perintah, ada otot non sukarela (involuntary muscles) yang bergerak terus tanpa diperintah, ada otot lembut yang membentuk organ internal dan ada pula otot yang khas untuk jantung yaitu otot kardiak cardiac muscles). Otot tidak melekat pada tulang, melainkan ujung- ujungnya saja yang berubah menjadi serat kolagen (collagen fibres) dan membundel lagi jadi urat daging dan olehnya otot diletakkan pada tulang. Apabila otot itu mengencang, serat otott akan mengkerut sampai separuh panjang awal otot dan rentag gerakan otot itu akan bergantung pada panjangnya masing-masing serat (Suyatno, 1985).

2. Kerja Otot Statis dan Dinamis Pada kerja otot dinamis, kerutan dan pengenduran suatu otot terjadi silih berganti sedangkan pada kerja otot statis suatu otot menetap berkontraksi untuk suatu periode waktu secara kontinyu. Untuk kerja otot dinamis, energi kerja adalah hasil perkalian diantara selisih panjang ototsebelum dan pada keadaan maksimum kontraksi dengan besarnya kekuatan. Pada pekerjaan statis, panjang otot tetap dan seolah-olah tidak kelihatan kerja luar sehingga energi tidak bisa diperhitungkan dari besarnya kekuatan (Sumamur, 1984). Sistem kerangka otot manusia melibatkan bagian-bagian tubuh yang berkolaborasi untuk mengahsilkan gerakan yang akan dilakukan oleh organ tubuh yaitu tulang. Otot terdiri atas sel-sel berbentuk serat yang panjang dan lembut, bersifat dapat mengencang (contraction) ke satu arah ada otot sukarela (voluntary muscles) yang menyediakan gerakan sukarela asal mendapat perintah, ada otot non sukarela (involuntary muscles) yang bergerak terus tanpa diperintah, ada otot lembut yang membentuk organ internal dan ada pula otot yang khas untuk jantung yaitu otot kardiak cardiac muscles). Otot tidak melekat pada tulang, melainkan ujungujungnya saja yang berubah menjadi serat kolagen (collagen fibres) dan membundel lagi jadi urat daging dan olehnya otot diletakkan pada tulang. Apabila otot itu mengencang,

serat otott akan mengkerut sampai separuh panjang awal otot dan rentang gerakan otot itu akan bergantung pada panjangnya masing-masing serat (Suyatno, 1985).

3. Keluhan Musculosketal Keluhan Musculosketal adalah keluhan pada bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament dan tendon. Keluhan dan kerusakan inilah yang dinamakan dengan keluhan muskulosketal disorders (MDSS) atau keluhan pada sistem muskulosketal. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu (Tarwaka, 2004) : a. Keluhan sementara (reversible) Yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan. b. Keluhan menetap (persistent) Yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut. Salah satu faktor yang menyebabkan keluhan muskulosketal adalah sikap kerja yang tidak alamiah. Di Indonesia, postur kerja yang tidak alami ini lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja maupun tingkah laku pekerja itu sendiri. Postur kerja yang tidak alami tersebut juga dapat disebabkan oleh hal-hal berikut (Nurmianto, 1998) : 1. Peregangan otot yang berlebihan Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dikeluhkan oleh para pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengarahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengarahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal. 2. Aktivitas Berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus seperti pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkut dan sebagainya. Keluhan otot

terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.

3. Sikap kerja tidak alamiah Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan kerja. 4. Faktor Penyebab Sekunder terjadi keluhan muskolosketal, antara lain : a. Tekanan Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari npegangan alat dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap. b. Getaran Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri pada otot. c. Mikroklimat Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunya kekuatan otot. Demikia juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi pasokan energ yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme

karbohidra terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot.

5. Kelelahan Pada dasarnya kelelahan menggambarkan tiga fenomena yaitu perasaan lelah, perubahan fisiologis tubuh dan pengurangan keemampan elakukan kerja. Kelelahan merupakan suatu pertanda yang bersifat sebagai pengaman yang memberitahukan tubuh bahwa kerja yang dilakukan telah melewati batas maksimal kemampuannya. Kelelahan pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang mudah dipulihkan dengan beristirahat. Tetapi jika dibiarkan terus menerus akan berakibat buruk dan dapat menimbulkan penyakit akibat kerja (Barnes, 1980). Kelelahan otot yang merupakan suatu penurunan kapasitas otot dalam bekerja akibat konstraksi tulang. Otot yang lelah akan menunjukkan kurangnya kekuatan, bertambahnya waktu kontraksi dan relaksasi, berkurangnya koordinasi serta otot menjadi gemetar (Sumamur, 1990).

4. Metode Penilaian Postur Kerja Penilaian postur kerja diperlukan ketika didapati bahwa postur kerja pekerja memiliki resiko yang menimbulkan cedera musculosketal yang diketahui secara visual atau melaluikeluhan dari pekerja itu sendiri. Dengan adanya penilaian dan analisis perbaikan postur kerja, diharapkan dapat diterapkan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko cedera musculosketal yang dialami pekerja. A. OWAS (Ovako Working Posture Analysis System) OWAS (Ovako Working Posture Analysis System) merupakan metode analisis sikap kerja yang mendefinisikan pergerakan bagian tubuh punggung, lengan, kaki dan beban berat yang diangkat. Masing-masing anggota tubuh tersebut diklasifikasikan menjadi sikap kerja. Berikut ini merupakan klasifikasi sikap bagian tubuh yang diamati untuk dianalisa (Karhu, 1981): 1. Sikap lengan (kedua lengan berada di bawah bahu, satu lengan berada pada atau di atas bahu, kedua lengan pada atau di atas bahu). 2. Sikap punggung (lurus, membungkuk, memutar atau miring ke samping, membungkuk & memutar atau membungkuk ke depan dan menyamping).

3. Sikap kaki (duduk, berdiri bertumpu pada kedua kaki lurus, berdiri bertumpu pada satu kaki lurus, berdiri bertumpu pada kedua kaki dengan lutut ditekuk, berdiri bertumpu pada satu kaki dengan lutut ditekuk, berlutut pada satu atau kedua lutut, berjalan). 4. Berat beban (< 10 kg, 10-20 kg, >20 kg).

B. RULA (Rapid Upper Limb Assessment) Rapid Upper Limb Assessment (RULA) merupakan suatu metode penelitian untuk menginvestigasi gangguan pada anggota badan bagian atas. Metode ini dirancang oleh Lynn Mc Atamney yang menyediakan sebuah perhitungan tingkat beban musculosketal di dalam sebuah pekerjaan yang memiliki resiko pada bagian tubuh dari perut hingga leher atau anggota badan bagian atas (Mc Atamney, 1993). Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penetapan penilaian postur leher, punggung dan lengan atas. Setiap pergerakan di beri skor yang telah ditetapkan. Rula dikembangkan sebagai suatu metode untuk mendeteksi postur kerja yang merupakan faktor resiko. Metode didesain untuk menilai para pekerja dan mengetahui beban musculosketal yang kemungkinan menimbulkan gangguan pada anggota badan atas. Metode ini menggunakan diagram dari postur tubuh dan tiga tabel skor dalam menetapkan evaluasi faktor resiko. Faktor resiko yang telah diinvestigasi dijelaskan oleh McPhee sebagai faktor beban eksternal yaitu (McPhee, 1987) : a. Jumlah pergerakan b. Kerja otot statik c. Tenaga/kekuatan d. Penentuan postur kerja oleh peralatan e. Waktu kerja tanpa istirahat Dalam usaha untuk penilaian 4 faktor beban eksternal (jumlah gerakan, kerja otot statis, tenaga kekuatan dan postur), RULA dikembangkan untuk (Mc Atamney, 1993) : 1. Memberikan sebuah metode penyaringan suatu populasi kerja dengan cepat, yang berhubungan dengan kerja yang beresiko yang menyebabkan gangguan pada anggota badan bagian atas.

2. Mengidentifikasi usaha otot yang berhubungan dengan postir kerja, penggunaan tenaga dan kerja yang berulang-ulang yang dapat menimbulkan kelelahan otot. 3. Memberikan hasil yang dapat digabungkan dengan sebuah metode penilaian ergonomi yaitu epidomiologi, fisik, mental, lingkungan dan faktor organisasi.

Pengembangan dari RULA terdiri atas tiga tahapan yaitu : 1. Mengidentifikasi postur kerja 2. Sistem pemberian skor 3. Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada tingkat resiko yang ada dan dibutuhkan untuk mendorong penilaian yang melebihi detai berkaitan dengan analisis yang didapat.

Ada empat hal yang menjadi aplikasi utama dari RULA, yaitu untuk : 1. Mengukur resiko musculosketal, biasanya sebagai bagian dari perbaikan yang lebih luas dari ergonomi. 2. Membandingkan beban musculosketal antara rancangan stasiun kerja yang sekarang dengan yang telah dimodifikasi. 3. Mengevaluasi keluaran misalnya produktivitas atau kesesuaian penggunaan peralatan 4. Melatih pekerja tentang beban musculosketal yang diakibatkan perbedaan postur kerja.

C. Quick Exposure Check (QEC) Quick Exposure Check (QEC) merupakan salah satu metode penilaian postur kerja yang digunakan untuk menilai postur kerja pekerja yang berhubungan dengan gangguan otor (work related musculodketal disorders). Metode ini diciptakan oleh Guangyan Li dan PeterBuckle pada tahun 1999. QEC didasarkan kepada riset dan penelitian para praktisi jenis pekerjaan yang beresiko menimbulkan gangguan otot. Penelitian postur kerja dengan menggunakan QEC dilakukan dari dus sisi. Penilaian pertama didasarkan kepada penilaian pengamat (Observers Assesment) dengan mengisi Observers Assesment Checklist dan penilaian

kedua didasarkan kepada penilaian pekerja (Workers Assesment) dengan mengisi Workers Assesment Checklist. QEC menilai gangguan resiko yang terjadi pada bagian punggung (back), bahu atau lengan (shoulder/arm), pergelangan tangan (hand/wrist), dan leher (neck). Selanjutnya menghitung skor penilaian untuk masing-masing bagian tubuh yang dinilai dengan tabel skor penilaian sebagai skor akhir QEC untuk diwujudkan dalam empat tindakan.

D. Rapid Entire Body Assessment (REBA) REBA atau Rapid Entire Body Assessment dikembangkan oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney yang merupakan ergonom dari universitas di Nottingham (University of Nottinghams Institute of Occuptaional Ergonomic). Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Mc Atamney, 2000). Metode ergonomi tersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan faktor coupling yang menimbulkan cidera akibat aktivitas yang berulang ulang. Penilaian postur kerja dengan metode ini dengan cara pemberian skor resiko antara satu sampai lima belas, yang mana skor yang tertinggi menandakan level yang mengakibatkan resiko yang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin (Mc Atamney, 2000). REBA dikembangkan tanpa membutuhkan piranti khusus. Ini memudahkan peneliti untuk dapat dilatih dalam melakukan pemeriksaan dan pengukuran tanpa biaya peralatan tambahan. Pemeriksaan REBA dapat dilakukan di tempat yang terbatas tanpa menggangu pekerja. Pengembangan

REBA terjadi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto, tahap kedua adalah penentuan sudutsudut dari bagian tubuh pekerja, tahap ketiga adalah penentuan berat benda yang diangkat, penentuan coupling, dan penentuan aktivitas pekerja. Dan yang terakhir, tahap keempat adalah perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan. (Luopajarvi, 1990). Dengan didapatnya nilai REBA tersebut dapat diketahui level resiko dan kebutuhan akan tindakan yang perlu dilakukan untuk perbaikan kerja. Faktor postur tubuh yang dinilai dibagi atas dua kelompok utama atau group yaitu group A yang terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri dari batang tubuh (Trunk), leher (Neck), dan kaki (Legs). Sedangkan gup B terdiri atas postur kerja tubuh kanan, kiri dan lengan atas (Upper Arm), lengan bawah (Lower Arm) dan pergelangan tangan (Wirst). Dalam masing-masing grup diberikan penilaian postur tubuh, faktor beban dan pegangan. REBA dapat digunakan ketika penilaian postur kerja diperlukann dan dalam sebuah kegiatan pekerjaan (Lueder, 1996): 1. Keseluruhan bagian badan digunakan 2. Postur tubuh statis, dinamis, cepat berubah, tidak stabil 3. Melakukan pembebanan dan 4. Perubahan dari tempat kerja, dan peralatan. Proses penilaian skor REBA ini terdapat pada gambar

1) Penilaian Skor REBA Pertama-tama nilai range semua pergerakan dari leher (gambar ) sampai dengan pergerakan pergelangan tangan (gambar dengan mencocokkan foto aktivitas dengan gambar yang ada pada form REBA untuk memperoleh skor postur. a. Badan (trunk) Penilaian skor REBA pada bagian badan :

Gambar Tabel Range untuk pergerakan badan Pergerakan Tegak / alamiah 0 - 20 flexion 0 - 20 extention 20-60 flexion 20-60 extention Skor 1 2 3 +1 Jika sambil memutar / memiring ke samping Perubahan Skor

4 >60 flextion Sumber : Mc. Atamney L. 2000

b. Leher (neck) Penilaian skor REBA pada bagian leher :

Gambar

Tabel Skor pergerakan leher Pergerakan 0-20 flexion Skor 1 +1 Jika memutar / miring kesamping Perubahan Skor

>20 flexion atau 2 extension Sumber : Mc. Atamney L. 2000

c. Kaki (Leg) Penilaian skor REBA pada bagian kaki :

Gambar Tabel Untuk posisi dan pergerakan kaki Pergerakan Skor Kaki tertopang, bobot tersebar 1 merata, jalan atau Duduk. Kaki tidak tertopang, bobot 2 tersebar merata /postur tidak stabil Sumber : Mc. Atamney L. 2000 Perubahan Skor +1 Jika memutar /miring kesamping +2 Jika lutut >600 flexion (tidak ketika Kaki tidak tertopang, duduk)

Anda mungkin juga menyukai