KAJIAN PUSTAKA
pergerakan
manusia)
dan biomekanika
(analisis
sistem gerakan
kerangka otot manusia). Ilmu ilmu ini akan memberikan modal dasar untuk
mengatasi masalah postur dan pergerakan manusia di tempat dan ruang kerjanya.
Di samping
ilmiah ergonomi
adalah
antropometri (kalibrasi pada tubuh manusia). Dalam hal ini mempelahari tentang
pengukuran tubuh manusia untuk merumuskan perbedaan ukuran /dimensi pada
10
setiap individu atau pada kelompok yang sejenis. Data antropometri biasanya
dipakai apabila mendesain atau memodifikai alat/produk (anonim, 2005).
Peralatan dan lingkungan kerja yang tidak ergonomis akan berdampak
negatif
bagi
memungkinkan
pekerja, disamping
terjadi kecelakaan,
tidak
aman
menimbulkan
dan
tidak
nyaman
akan
Dengan demikian,
pemikiran dan
konsep konsep yang mendasar perlu dipertimbangkan sejak awal, agar tidak
menjadi masalah yang fatal di masa yang akan datang. Hal ini dapat tercapai
apabila terjadi kesesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya. Semboyan yang
11
minimalisasi
gerakan statis;
12
memberikan
peranan
penting
dalam
meningkatkan
faktor
keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya desain suatu sistem kerja untuk
mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia, desain
stasiun kerja untuk alat peraga visual. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin
kesehatan kerja sehingga produktivitas dapat ditingkatkan (Srihartati, 2009).
Sedangkan Manuaba (1998), lebih terperinci mengatakan manfaat penerapan
ergonomi antara lain adalah pekerjaan lebih cepat selesai; resiko pekerjaan lebih
kecil; resiko penyakit akibat kerja kecil; kelelahan berkurang;rasa sakit berkurang.
Beberapa perbaikan ergonomi yang telah dilakukan oleh para ahli di luar negeri,
terbukti bahwa dengan penerapan ergonomi mampu memberikan keuntungan secara
ekonomi, meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kerja. Malah telah sampai
pada simpulan good ergonomic is good economic (Hendrick, 2002). Maksudnya
adalah, apabila ergonomi dapat diterapkan dengan baik dan benar akan dapat
memberikan keuntungan ekonomi yang lebih baik.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa ergonomi dapat memberikan kontribusi
pada banyak hal dalam rangka mencapai tujuan yang positif. Menyapu jalan dengan
alat bantu yang ergonomis dapat berperan dalam mengurangi beban kerja, keluhan
muskuloskeletal dan kelelahan. Perancangan alat dan proses kerja
hendaknya
13
lidi bertangkai harus dibuat sesuai dengan keperluan dan antropometri pemakainya.
Dalam aplikasinya perlu didasari oleh teknlogi tepat guna yaitu ekonomi, ergonomi,
teknik, sosial budaya, tidak boros energi dan tidak merusak lingkungan (Manuaba,
2003).
2.1.2 Konsep Keseimbangan dalam Ergonomi
Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk
menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan
segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa
pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan
tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai
performansi kerja yang tinggi. Dengan kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh
terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload). Karena
keduanya, baik underload dan overoad akan menyebabkan
stress. Konsep
keseimbangan antara kapasitas kerja dengan tuntutan tugas tersebut dapat dilihat
pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.1 Bagan Konsep Dasar Dalam Ergonomi, Sumber : (Manuaba, 2000).
14
adalah
holistik, memanfaatkan berbagai ilmu/disiplin yang terlibat dan harus ada partisipasi
sejak fase perencanaan, dari konsumen atau mereka yang terlibat dengan
permasalahan yang akan ditangani atau yang akan mungkin timbul (Manuaba,2004;
2005). Seperti yang diungkapkan oleh Sutjana, dkk (1996),
bahwa penerapan
ergonomi sebaiknya dilakukan secara sistemik, dikaji melalui lintas disiplin ilmu
(interdisipliner) dan holistik serta menggunakan pendekatan partisipatori, agar semua
15
komponen yang ada dapat diajak atau dilibatkan berpartisipasi sejak perencanaan
sampai tahap pelaksanaan maupun dalam evaluasinya sehingga mereka akan
mengetahui keberhasilan atau kegagalan dan serta bersama-sama mencari solusinya
serta mereka akan merasa ikut memiliki.
Bahwa setiap intervensi yang dilaksanakan yaitu meredesain peralatan kerja
dalam hal ini sapu lidi bertangkai ergonomis, haruslah dikaji secara komprehensip
melalui 6 kriteria tersebut. Didalam pengkajian tersebut tentu ada trade-off antara
satu kriteria dengan lainnya, dengan acuan bahwa teknologi yang paling sedikit
menimbulkan resiko dan paling banyak menimbulkan benefit merupakan pilihan
akhir (Manuaba, 2005b).
2.2 Aplikasi Antropometri dalam Desain
Aspek-aspek ergonomi dalam suatu proses rancang bangun fasilitas kerja adalah
merupakan suatu faktor penting dalam menunjang peningkatan pelayanan jasa
produksi. Hal tersebut tidak akan terlepas dari pembahasan mengenai ukuran
anthropometri tubuh manusia maupun penerapan data-data antropometri manusia.
Istilah antropometri berasal dari kata anthro yang berarti manusia dan metri
yang berarti ukuran. Antropometri adalah studi tentang dimensi tubuh manusia
(Pulat, 1992). Antropometri merupakan suatu ilmu yang secara khusus mempelajari
tentang pengukuran tubuh manusia guna merumuskan perbedaan-perbedaan ukuran
pada tiap individu ataupun kelompok dan lain sebagainya. Setiap manusia berbeda
dalam berbagai macam dimensi ukuran seperti kebutuhan, motivasi, intelegensia,
imajinasi, usia, pendidikan, jenis kelamin, kekuatan, bentuk dan ukuran tubuh dan
16
17
Gambar 2.2
18
23 : Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar kesamping kiri kanan (tidak
ditunjukkan dalam gambar).
24 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak.
25 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak.
26 : Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan di ukur dari bahu sampai dengan
ujung jari tangan.
fasilitas
dapat
dilihat pada
Gambar
2.3
di bawah
ini:
(Wignjosoebroto, 2003):
Gambar 2.3
Keterangan:
1. Panjang tangan (A)
2. Panjang telapak tangan (B)
3. Lebar tangan sampai ibu jari (C)
4. Lebar tangan sampai matakarpal (D)
5. Ketebalan tangan sampai matakarpal (E)
6. Lingkar tangan sampai telunjuk (F)
7. Lingkar tangan sampai ibu jari (G)
8. Diameter Genggaman (17)
Secara statistik sudah diperlihatkan bahwa data hasil pengukuran tubuh manusia
pada berbagai populasi akan terdistribusi dalam grafik sedemikian rupa sehingga
data-data yang bernilai kurang lebih sama akan terkumpul di bagian tengah grafik.
19
Sedangkan data-data dengan nilai penyimpangan yang ekstrim akan terletak pada
ujung-ujung grafik. Seperti pada Gambar 2.4 dibawah ini: (Wignjosoebroto, 2003):
Gambar 2.4 Kurva Distribusi Normal Dengan Data Antropometri 95-th percentile
Kurva terdistribusi normal seperti gambar di atas menggambarkan batas
kemaknaan pada tingkat kepercayaan 95% dengan nilai = 1,645. Penetapan data
antropometri memerlukan nilai rerata dan simpangan baku dari data pengamatan
yang berdistribusi normal dan suatu nilai yang menyatakan persentase tertentu dari
sekelompok data nilai tersebut. Nilai itulah yang disebut percentile seperti pada
Tabel 2.1 dibawah ini (Wignjosoebroto, 2003):
Tabel 2.1
Macam Percentile dan Cara Perhitungan dalam Distribusi Normal
Percentile
1 St
2.5 th
5 th
10 th
50 th
90 th
95 th
97.5 th
99 th
Perhitungan
X - 2.325 x
X 1.96
x
X 1.645 x
X 1.28
x
X
X + 1.28
x
X + 1.645 x
X + 1.96
x
X + 2.325 x
20
Persentil menunjukkan jumlah bagian per seratus orang dari suatu populasi yang
memiliki ukuran tubuh tertentu. Tujuan penelitian, dimana sebuah populasi dibagibagi berdasarkan kategori-kategori dengan jumlah keseluruhan 100% dan diurutkan
mulai dari populasi terkecil hingga terbesar berkaitan dengan beberapa pengukuran
tubuh tertentu. Sebagai contoh bila dikatakan persentil ke-95 dari suatu pengukuran
tinggi badan berarti bahwa hanya 5% data merupakan data tinggi badan yang bernilai
lebih besar dari suatu populasi dan 95% populasi merupakan data tinggi badan yang
bernilai sama atau lebih rendah pada populasi tersebut.
Menurut Panero dan Zelnik (2003), persentil ke-50 memberi gambaran yang
mendekati nilai rata-rata dari suatu kelompok tertentu. Suatu kesalahan yang serius
pada penerapan suatu data adalah dengan mengasumsikan bahwa setiap ukuran pada
persentil ke-50 mewakili pengukuran manusia rata-rata pada umumnya, sehingga
sering digunakan sebagai pedoman perancangan. Kesalahpahaman yang terjadi
dengan asumsi tersebut mengaburkan pengertian atas makna 50% dari kelompok.
Sebenarnya tidak ada yang dapat disebut manusia rata-rata.
Ada dua hal penting yang harus selalu diingat bila menggunakan persentil.
Pertama, suatu persentil anthropometri dari tiap individu hanya berlaku untuk satu
data dimensi tubuh saja. Kedua, tidak dapat dikatakan seseorang memiliki persentil
yang sama, ke-95, atau ke-90 atau ke-5, untuk keseluruhan dimensi. Tidak ada orang
dengan keseluruhan dimensi tubuhnya mempunyai nilai persentil yang sama, karena
seseorang dengan persentil ke-50 untuk data tinggi badannya, memiliki persentil 40
untuk data tinggi lututnya, atau persentil ke-60 untuk data panjang lengannya.
21
data antropometri
dalam penentuan
ukuran
produk harus
dari populasi
pemakai
yang diharapkan.
Dalam
hal ini
22
produk
dengan ukuran
rata-rata
Produk
dirancang
berdasarkan pada ukuran rata-rata tubuh manusia atau dalam rentang 50-th
percentile.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam melakukan desain atau redesain dalam
proses perancangan produk dan stasiun kerja haruslah berpedoman pada aplikasi data
antropometri pemakainya
23
24
2) Sikap kerja membungkuk, karena medan kerja yang terlalu rendah dan objek
diluar jangkauan.
3) Sikap asimetris (terpilin) yang mengakibatkan terjadinya perbedaan beban
pada kedua sisi tulang belakang.
4) Sikap kerja yang salah dapat mengakibatkan postural deformitas pada tubuh
antara lain: lordosis, khiposis dan skoliosis.
Selanjutnya menurut Bridger (1995), sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
1) Karakteristik pekerja (subjek): umur, jenis kelamin, antropometri, berat
badan, kesegaran jasmani, pergerakan sendi, penglihatan serta ketangkasan.
2) Tuntutan jenis pekerjaan (task): posisi tubuh, siklus waktu kerja, periode
istirahat, urut urutan pekerjaan.
3) Rancangan luasan kerja (work space): ukuran peralatan yang digunakan,
ukuran bahan yang dikerjakan, rancangan peralatan, ukuran luasan kerja
4) Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan,
kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu, dan vibrasi.
Sikap kerja hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga tidak
menimbulkan sikap paksa yang melampaui kemampuan fisiologis tubuh (Cumming,
2003). Sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat memegang, mengangkat, dan
mengangkut, dan berdiri terlalu lama atau karena ketidaksesuaian antara alat kerja
dengan ukuran tubuh pekerja (Dempsey,
hubungannya dengan sikap kerja penyapu jalan, prinsip prinsip dasar tersebut
haruslah dipertimbangkan untuk memperbaiki sikap kerja penyapu jalan yang tidak
25
alamiah sehingga untuk memperbaiki sikap kerja tersebut faktor kondisi alat kerja
yang memungkinkan untuk diperbaiki. Dengan perbaikan alat kerja diharapkan sikap
kerja penyapu jalan akan sesuai dengan prinsip prinsip dasar sikap kerja yang baik.
2.4 Beban Kerja
Dalam menghadapi dan mengerjakan suatu pekerjaan berarti tubuh pekerja
akan menerima beban dari luar tubuhnya. Beban tersebut dapat berupa beban fisik
maupun beban mental. Dalam ergonomi setiap beban kerja yang diterima oleh
seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan
kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Secara umum
Menurut Adiputra (2002), Beban kerja (work load) merupakan faktor stressor tubuh
yang dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu:
1) External load ( Stressor) adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja.
Yang termasuk beban kerja external adalah tugas (task) itu sendiri, oraganisasi
dan lingkungan kerja. Tugas tugas yang dilakukan baik bersifat fisik seperti ;
sarana kerja, kondisi kerja dan sikap kerja, maupun bersifat mental seperti
kompleksitas atau sulit tidaknya pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi
pekerja. Organisasi mencakup lamanya waktu kerja, proses kerja dan sistem kerja.
Lingkungan kerja seperti panas lingkungan, intensitas penerangan, kelembaban
dan lain lain.
2) Internal load (strain) adalah beban kerja yang berasal dari dalam tubuh pekerja
yang berkaitan erat dengan adanya harapan, keinginan, kepuasan, taboo dan lain
lain.
26
Kriteria penilaian beban kerja yang dapat dipakai (Rodahl, 1989), yaitu:
a. Kriteria objektif, yang dapat diukur dan dilakukan oleh pihak lain yang meliputi
reaksi fisiologis, reaksi psikologis/ perubahan tindak tanduk;
b.
Kriteria
pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan yang
menggangu, rasa sakit atau pengalaman lain yang dirasakan.
Beban kerja pada proses kerja penyapu jalan dapat berupa beban kerja yang
berasal dari faktor eksternal dan dapat juga berasa dari faktor internal. Untuk itu
dalam penilaiannya ada dua kriteria yang dapat dipakai : (a) kriteria objektif, yang
dapat diukur meliputi: reaksi fisiologis. (b) kriteria subjektif, yang dilakukan oleh
orang yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang
dirasakan sebagai kelelahan yang mengganggu, rasa sakit atau pengalaman lain yang
dirasakan.
2.4.1 Penilaian Beban Kerja Fisik
Kerja fisik adalah kerja yang memerlukan energi pada otot manusia yang akan
berfungsi sebagai sumber tenaga. Selama kerja fisik berlangsung, maka konsumsi
energi merupakan faktor utama yang dijadikan tolak ukur penentu berat/ringannya
suatu pekerjaan. Setiap aktivitas kerja fisik yang dilakukan akan mengakibatkan
terjadinya suatu perubahan fungsi faal pada organ tubuh manusia (fisiologis). Kerja
fisik akan mengeluarkan energi yang berhubugan erat dengan kebutuhan atau
konsumsi energi. Menurut Astrand dan Rodahl (1989) bahwa penilaian beban kerja
fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif yaitu metode penilaian
langsung dan tidak langsung.
27
langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama bekerja. Kecepatan denyut
jantung memiliki hubungan yang sangat erat dengan aktivitas fungsi faal manusia.
Menurut Kroemer dan Granjean (2000) menjelaskan
pendekatan
untuk mengetahui
berat
ringannya
beban
kerja adalah
dengan
menghitung denyut nadi kerja, konsumsi oksigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu
inti tubuh. Pada batas tertentu ventiasi paru, denyut jantung dan suhu tubuh
mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang
dilakukan. Kategori berat ringannya beban kerja dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.2
Tingkat Beban Kerja Menurut Keluaran Energi
Konsumsi
Tingkat beban Kerja
oksigen
Ventilasi paru
(l/min)
(l/min)
Suhu
Denyut
Rektal
jantung
( C)
(denyut/min)
0,5 - 1,0
11 - 20
37,5
75 - 100
1,0 - 1,5
21 - 31
37,5 38
100 125
1,5 - 2,0
31 - 43
38 38,5
125 150
2,0 - 2,5
43 - 56
38,5 39
150 175
2,5 - 4,0
60 - 100
> 39
> 175
28
aktivitas pekerjaannya
bersangkutan. Dimana semakin berat beban kerja, maka akan semakin pendek waktu
kerja seseorang untuk bekerja dan disertai peningkatan kelelahan dan gangguan
fisiologis.
2.4.2 Penilaian Beban Kerja Melalui Pengukuran Denyut Jantung
Penilaian beban kerja dengan mengukur peningkatan denyut nadi dilaksanakan
saat bekerja atau segera setelah selesai bekerja. Pengukuran denyut jantung selama
bekerja merupakan suatu metode untuk menilai cardiovasculair strain. Salah satu
peralatan yang dapat digunakan adalah dengan rangsangan Electro Cardio Graph
(ECG). Apabila peralatan tersebut tidak tersedia, maka dapat dicatat secara manual
memakai stopwatch dengan metode 10 denyut (Kilbon, 1992). Dengan metode ini
dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut :
10 denyut
x60
Waktu perhitungan
...(1)
Mengukur peningkatan denyut nadi dengan metode sepuluh denyut adalah mengukur
denyut nadi secara palpasi pada arteri radialis dengan menghitung waktu untuk
sepuluh denyut nadi (stopwatch ditekan start saat denyutan satu dan ditekan stop
pada denyutan
kesebelas).
penghitungan denyut nadi dengan metode 15 detik atau 30 detik. Penggunaan nadi
kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja mempunyai beberapa keuntungan.
Selain mudah, cepat dan murah juga tidak diperlukan peralatan yang mahal serta
hasilnya cukup reliabel. Disamping itu tidak terlalu menggangu proses kerja dan
29
tidak menyakiti orang yang diperiksa. Kepekaan denyut nadi terhadap perubahan
pembebanan yang diterima tubuh cukup tinggi (Tarwaka, 2011).
Menurut Grandjean (2000), beban kerja fisik tidak hanya ditentukan oleh jumlah
kalori yang dikonsumsi, tetapi juga ditentukan oleh jumlah otot yang terlibat dan
beban statis yang diterima serta tekanan panas dari lingkungan kerjanya yang dapat
meningkatkan denyut nadi. Berdasarkan hal tersebut maka denyut nadi lebih mudah
dan dapat digunakan untuk menghitung indeks beban kerja. Denyut nadi yang
dihitung untuk mengestimasi beban kerja fisik terdiri dari beberapa jenis yaitu:
1). Denyut nadi istirahat adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai.
2). Denyut nadi kerja adalah rereta denyut nadi selama bekerja
3). Nadi kerja adalah selisih antara denyut nadi kerja dengan denyut nadi istirahat.
Selanjutnya, Menurut Grandjean (2000) untuk mengevaluasi beban kerja caranya
adalah dengan membandingkan nilai rerata denyut nadi kerja dari seluruh jam kerja
dengan rentangan denyut nadi seperti pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.3
Katagori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Kerja
No.
60 70
Ringan
75 100
Sedang
100 125
Berat
125 150
Sangat Berat
150 175
> 175
30
Dengan demikian penilaian beban kerja pada proses kerja penyapu jalan pada
penggunaan sapu lidi lama dengan sapu lidi ergonomis dapat dilihat dari variabel
denyut nadi kerja. Melalui aplikasi ergonomi dapat diukur perubahan beban kerjanya
dilihat dari perubahan denyut nadi kerja setelah perbaikan.
2.4.3 Usaha Usaha Menurunkan Beban Kerja
Menurut Hutagalung (2008), Faktor faktor yang harus menjadi perhatian
adalah :
1) Status nutrisi yaitu jumlah kalori yang diperlukan, kualitas gizi, saat
pemberian yang tepat, frekuensi yang tepat, selera, kemauan, kemampuan
ekonomis yang bersangkutan.
2) Pemanfaatan tenaga otot yaitu dengan masih dipakainya tenaga manusia
sebagai alat angkut, maka cara angkat angkut barang dan besarnya kemasan
yang boleh dibawa harus benar benar serasi dengan kemampuan, kebolehan
dan batasan manusia (Manuaba, 1998).
3) Posisi tubuh yang salah atau tidak alamiah, apalagi didalam sikap paksa jelas
akan mengurangi produktivitas seseorang.
4) Kondisi lingkungan yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk bisa
bekerja secara optimal dan produktif.
5) Jam kerja manusia adalah 8jam/hari yang masih bisa ditoleransi ialah 1 jam
lebur setelah 8 jam kerja/hari, dengan catatan bahwa selama 8 jam kerja
tersebut terdapat 2 kali istirahat dan 1 kali makan siang.
6) Kondisi sosial seperti rasa harga diri, motivasi dan kepuasan kerja merupakan
keharusan untuk adanya partisipasi karyawan didalam upaya pencapaian
31
32
33
Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat grafitasi tubuh, maka semakin
tinggi pula resiko terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal. Sikap kerja
tidak alamiah pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja
dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
4) Faktor penyebab sekunder; Adanya penyebab sekunder seperti: tekanan
(terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak), getaran (getaran
dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan konstraksi otot bertambah) dan
mikrolimat (paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan
34
35
36
peralatan
komputer.
Pengukuran
subjektif
merupakan
cara
mempertahankan sikap tubuh agar tetap seimbang berdiri dengan stabil. Tangan kiri
mengimbanginya dengan memegang serokan serta tangan kanan memegang sapu
lidi. Gerakan kaki, lengan dan tangan termasuk relatif tinggi. Dengan gerakan seperti
itu akan berakibat terjadinya keluhan keluhan otot otot tubuh, khususnya otot
lengan dan tangan, bahu, punggung, pingang serta otot kaki.
Dalam aplikasinya metode Nordic Body Map menggunakan lembar kerja berupa
peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, mudah dipahami,
37
murah dan memerlukan waktu yang sangat singkat 5 menit per individu. Observer
dapat langsung mewawancarai atau menanyakan kepada responden otot otot
skeletal bagian mana saja yang mengalami gangguan/nyeri atau sakit dengan
menunjuk langsung pada setiap otot skeletal sesuai yang tercantum dalam lembar
kerja kuesioner Nordic Body Map. Kuesioner Nordic Body Map meliputi 28 bagian
otot otot skeletal pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri. Dimulai dari anggota tubuh
bagian atas yaitu otot leher sampai dengan otot pada kaki. Melalui kuesioner ini akan
dapat diketahui bagian bagian otot mana saja yang mengalami gangguan kenyerian
atau keluhan dari tingkat rendah (tidak ada keluhan/cedera) sampai dengan keluhan
tingkat tinggi (keluhan sangat sakit) (Tarwaka, 2011; Palilingan dkk, 2012b).
Pengukuran gangguan otot skeletal dengan kuesioner Nordic Body Map
digunakan untuk menilai tingkat keparahan gangguan otot skeletal individu dalam
kelompok kerja yang cukup banyak atau kelompok sampel yang mereprensentasikan
populasi secara keseluruhan. Jika metode ini dilakukan hanya untuk beberapa pekerja
didalam kelompok populasi kerja yang besar, maka hasilnya tidak akan valid dan
reliabel.
Penilaian dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map dapat dilakukan
dengan berbagai cara; misalnya dengan menggunakan 2 jawaban sederhana yaitu Ya
(adanya keluhan atau rasa sakit pada otot skeletal) dan Tidak (tidak ada keluhan atau
tidak ada rasa sakit pada otot skeletal ). Tetapi lebih utama untuk menggunakan
desain penelitian dengan skoring ( misalnya; 4 skala Likert). Apabila menggunakan
skala Likert maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional
yang jelas dan mudah dipahami oleh responden (Tarwaka, 2011).
38
Total skor
Tingkat
Likert
individu
resiko
28 49
Rendah
50 - 70
Sedang
71 91
Tinggi
92 - 112
Sangat tinggi
Tindakan perbaikan
tubuh.
Kelelahan
adalah
suatu
mekanisme
perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi
39
pemulihan setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Keluhan
subjektif merupakan tanda personal yang menyatakan adanya suatu kelelahan yang
dialami seseorang akibat beban kerja yang membebaninya karena interaksi seseorang
dengan jenis pekerjaan, rancangan tempat kerja, dan atau peralatan kerja, termasuk
sikap kerjanya (Bridger, 1995; Suardana, 2001).
Menurut Kroemer dan Grandjean (2000) kelelahan merupakan suatu keadaan
yang tercermin dari gejala perubahan psikologis
motorik dan respirasi, adanya perasaan sakit, berat pada bola mata, pelemahan
motivasi, penurunan aktivitas yang akan mempengaruhi aktivitas fisik dan mental.
Adiputra (2003) mengatakan bahwa terjadinya kelelahan pada pekerja adalah adanya
organ tubuh secara terus menerus menerima beban kerja eksternal dengan tanpa
kesempatan istirahat atau mendapat beban kerja yang melewati kapasitasnya.
Sedangkan Manuaba (1998) berpendapat bahwa kelelahan dapat terjadi karena
adanya lingkungan kerja yang terlalu panas.
Secara fisiologis terdapat dua macam kelelahan dalam (Guyton dan Hall, 1996)
dan Sumamur (1995) yaitu: kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot
adalah keadaan dimana otot mengalami kelelahan akibat ketegangan
yang
berlebihan, terlihat dari beberapa gejala tremor pada otot atau perasan nyeri yang
terdapat pada otot, penurunan tenaga, gerakan otot yang lebih lambat dan juga
koordinasi otot menurun. Kelelahan umum adalah gejala berkurangnya kemampuan
untuk bekerja, terjadinya kekacauan pikiran, respirasi, lelah seluruh badan, terkadang
juga perasaan sakit dan berat pada mata. Pulat (1992) mengemukakan secara umum
gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat
40
melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila ratarata beban kerja melebihi 30 40 dari tenaga aerobik maksimal. Berikut ini adalah
gambar skema taksonomi dari kelelahan yaitu sebagai berikut : (Astrand dan Rodahl,
K. 1989; Tarwaka, 2011).
41
sari makanan menjadi dua bentuk yaitu kerja mekanis dan panas. Pada saat otot
berkonstraksi (saat melakukan pekerjaan), maka terjadi reaksi kimia didalam otot itu
sendiri. Dalam bentuk yang sederhana proses terjadinya kelelahan otot dapat dilihat
pada gambar dibawah ini:
42
43
faktor penyebab terjadinya kelelahan, resiko dan cara menangani kelelahan seperti
pada gambar dibawah ini : (Tarwaka, 2011).
Gambar 2.7 Penyebab Kelelahan, Cara Mengatasi dan Manajemen Resiko Kelelahan
Kelelahan biasanya terjadi pada akhir jam kerja yang disebabkan oleh karena
berbagai faktor seperti pekerjaan yang monoton, kerja otot statis, alat dan sarana
kerja yang tidak sesuai dengan antropometri pemakainya, stasiun kerja yang tidak
ergonomis, sikap paksa dan pengaturan waktu kerja istirahat yang tidak tepat.
44
45
Total skor
Klasifikasi
kelelahan
individu
Kelelahan
30 - 52
Rendah
53 - 75
Sedang
76 - 98
Tinggi
99 - 120
Sangat
tinggi
mungkin
Tindakan perbaikan