Anda di halaman 1dari 37

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ergonomi


Ergonomi berasal dari bahasa Yunani

yaitu ergon (kerja) dan nomos

(norma/hukum) atau yang berarti ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum


kerja. Dengan demikian ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk
menserasikan peralatan, mesin, sistem, organisasi dan lingkungan pada kemampuan,
kebolehan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan
yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi
tingginya (Manuaba, 2000; Palilingan,2013).
Ergonomi sebagai disiplin ilmu bersifat multidisiplin di mana terintegrasi
dengan elemen elemen fisiologis, psikologis, anatomi, higiene, teknologi dan
prakteknya (Manuaba, 1992a). Sasaran penelitian ergonomi ialah manusia pada
saat bekerja dan lingkungan pekerjaannya.

Ilmu-ilmu terapan yang banyak

berhubungan dengan fungsi tubuh manusia adalah anatomi, fisiolog, kinesiologi


(mekanika

pergerakan

manusia)

dan biomekanika

(analisis

sistem gerakan

kerangka otot manusia). Ilmu ilmu ini akan memberikan modal dasar untuk
mengatasi masalah postur dan pergerakan manusia di tempat dan ruang kerjanya.
Di samping

itu, hal yang vital pada penerapan

ilmiah ergonomi

adalah

antropometri (kalibrasi pada tubuh manusia). Dalam hal ini mempelahari tentang
pengukuran tubuh manusia untuk merumuskan perbedaan ukuran /dimensi pada

10

setiap individu atau pada kelompok yang sejenis. Data antropometri biasanya
dipakai apabila mendesain atau memodifikai alat/produk (anonim, 2005).
Peralatan dan lingkungan kerja yang tidak ergonomis akan berdampak
negatif

bagi

memungkinkan

pekerja, disamping
terjadi kecelakaan,

tidak

aman

menimbulkan

dan

tidak

nyaman

akan

penyakit akibat kerja dan

rendahnya produktivitas kerja. Dalam kaitannya dengan dampak negatif yang


ditimbulkan, upaya yang harus dilakukan adalah dengan menyesuaikan pekerjaan
terhadap manusia, dan bila karena alasan teknis atau ekonomis tidak mungkin
dilakukan, maka baru diarahkan manusia menyesuaikan terhadap pekerjaannya,
melalui proses seleksi, latihan dan adaptasi (Manuaba, 1992a; Palilingan dkk,
2012a).
Dalam berbagai aspek pekerjaan baik industri besar, menengah maupun kecil
perlu diterapkan ilmu ergonomi, guna mengatasi kasus-kasus yang sering terjadi
pada buruh maupun perusahaan itu sendiri. Dengan upaya ergonomi, kelelahan
kerja dalam segala bentuknya seperti adanya pekerjaan yang monoton, kerja fisik
dan mental yang berat dan berlangsung lama, mikrolimat yang buruk, masalah
psikologi dan bekerja dengan perasaan sakit, kurang energi dan adanya penyakit
dan segala macam beban tambahan yang tidak perlu bisa kita hindari, sehingga
segala kemampuan, kebolehan dan batasan seseorang hanya ditujukan kepada
pekerjaan pokok yang menjadi tugasnya.

Dengan demikian,

pemikiran dan

konsep konsep yang mendasar perlu dipertimbangkan sejak awal, agar tidak
menjadi masalah yang fatal di masa yang akan datang. Hal ini dapat tercapai
apabila terjadi kesesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya. Semboyan yang

11

digunakan dalam ergonomi adalah Sesuaikan pekerjaan dengan pekerjanya dan


sesuaikan pekerja dengan pekerjaannya (Fitting the Task to the Person and Fitting
The Person To The Task) (Manuaba,1992b).
2.1.1 Tujuan dan Prinsip Ergonomi
Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penerapan ilmu ergonomi adalah
sebagai berikut (Tarwaka, 2011; Palilingan dkk, 2012a):
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan
cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,
mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
b. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial
dan mengkoordinasi kerja secara tepat, guna meningkatkan jaminan sosial
baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.
c. Menciptakan keseimbangan rasional antara aspek teknis, ekonomis, dan
antropologis dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas
kerja dan kualitas hidup yang tinggi.
Memahami prinsip ergonomi akan mempermudah evaluasi setiap tugas atau
pekerjaan meskipun ilmu pengetahuan dalam ergonomi terus mengalami kemajuan
dan teknologi yang digunakan dalam pekerjaan tersebut terus berubah. Prinsip
ergonomi adalah pedoman dalam menerapkan ergonomi di tempat kerja. Menurut
Baiduri (2003) terdapat beberapa prinsip ergonomi, yaitu : bekerja dalam posisi atau
postur normal; mengurangi beban berlebihan; menempatkan peralatan agar selalu
berada dalam jangkauan; bekerja sesuai dengan ketinggian dimensi tubuh;
mengurangi

gerakan berulang dan berlebihan;

minimalisasi

gerakan statis;

12

minimalisasikan titik beban; mencakup jarak ruang; menciptakan lingkungan kerja


yang nyaman; melakukan gerakan, olah raga, dan peregangan saat bekerja; membuat
agar display dan control mudah dimengerti dan mengurangi stres.
Ergonomi

memberikan

peranan

penting

dalam

meningkatkan

faktor

keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya desain suatu sistem kerja untuk
mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia, desain
stasiun kerja untuk alat peraga visual. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin
kesehatan kerja sehingga produktivitas dapat ditingkatkan (Srihartati, 2009).
Sedangkan Manuaba (1998), lebih terperinci mengatakan manfaat penerapan
ergonomi antara lain adalah pekerjaan lebih cepat selesai; resiko pekerjaan lebih
kecil; resiko penyakit akibat kerja kecil; kelelahan berkurang;rasa sakit berkurang.
Beberapa perbaikan ergonomi yang telah dilakukan oleh para ahli di luar negeri,
terbukti bahwa dengan penerapan ergonomi mampu memberikan keuntungan secara
ekonomi, meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kerja. Malah telah sampai
pada simpulan good ergonomic is good economic (Hendrick, 2002). Maksudnya
adalah, apabila ergonomi dapat diterapkan dengan baik dan benar akan dapat
memberikan keuntungan ekonomi yang lebih baik.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa ergonomi dapat memberikan kontribusi
pada banyak hal dalam rangka mencapai tujuan yang positif. Menyapu jalan dengan
alat bantu yang ergonomis dapat berperan dalam mengurangi beban kerja, keluhan
muskuloskeletal dan kelelahan. Perancangan alat dan proses kerja

hendaknya

mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan adalah yang paling utama. seperti


aplikasi ergonomi dalam proses perancangan peralatan kerja untuk penggunaan sapu

13

lidi bertangkai harus dibuat sesuai dengan keperluan dan antropometri pemakainya.
Dalam aplikasinya perlu didasari oleh teknlogi tepat guna yaitu ekonomi, ergonomi,
teknik, sosial budaya, tidak boros energi dan tidak merusak lingkungan (Manuaba,
2003).
2.1.2 Konsep Keseimbangan dalam Ergonomi
Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk
menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan
segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa
pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan
tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai
performansi kerja yang tinggi. Dengan kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh
terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload). Karena
keduanya, baik underload dan overoad akan menyebabkan

stress. Konsep

keseimbangan antara kapasitas kerja dengan tuntutan tugas tersebut dapat dilihat
pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.1 Bagan Konsep Dasar Dalam Ergonomi, Sumber : (Manuaba, 2000).

14

2.1.3 Pendekatan Ergonomi Holistik dan Teknologi Tepat Guna


Untuk mampu meningkatkan kualitas hidup, faktor manusia di dalam seluruh sistem
kerja dari hulu sampai hilir dari pusat produksi sampai ke jaringan kerja yang ada
harus diberdayakan, sehingga mampu memberikan kinerja yang maksimal dan
optimal. Agar tercapainya maksud tersebut harus dilakukan suatu pendekatan yang
mampu memikirkan masalah dari segala lini kehidupan secara holistik dan
berkesinambungan.

Salah satu pendekatan

yang dapat dilaksanakan

adalah

pendekatan ergonomi secara menyeluruh yang terdiri dari pendekatan ergonomi


secara holistik dan dikaji secara SHIP (Manuaba, 2004; 2005a; 2005b). Pendekatan
ergonomi holistik adalah salah satu pendekatan di mana teknologi yang akan
digunakan harus dikaji secara komprehensip melalui 6 kriteria yaitu secara teknis,
ekonomis, ergonomis dan sosiobudaya bisa dipertanggung jawabkan, hemat akan
energi dan tidak merusak lingkungan.
Dalam penerapan teknologi tepat guna tersebut proses harus di analisis
dengan pendekatan SHIP yang berarti bahwa setiap pemecahan masalah dianalisis
dengan cara bersistem, melibatkan berbagai sistem

terkait bersama-sama atau

holistik, memanfaatkan berbagai ilmu/disiplin yang terlibat dan harus ada partisipasi
sejak fase perencanaan, dari konsumen atau mereka yang terlibat dengan
permasalahan yang akan ditangani atau yang akan mungkin timbul (Manuaba,2004;
2005). Seperti yang diungkapkan oleh Sutjana, dkk (1996),

bahwa penerapan

ergonomi sebaiknya dilakukan secara sistemik, dikaji melalui lintas disiplin ilmu
(interdisipliner) dan holistik serta menggunakan pendekatan partisipatori, agar semua

15

komponen yang ada dapat diajak atau dilibatkan berpartisipasi sejak perencanaan
sampai tahap pelaksanaan maupun dalam evaluasinya sehingga mereka akan
mengetahui keberhasilan atau kegagalan dan serta bersama-sama mencari solusinya
serta mereka akan merasa ikut memiliki.
Bahwa setiap intervensi yang dilaksanakan yaitu meredesain peralatan kerja
dalam hal ini sapu lidi bertangkai ergonomis, haruslah dikaji secara komprehensip
melalui 6 kriteria tersebut. Didalam pengkajian tersebut tentu ada trade-off antara
satu kriteria dengan lainnya, dengan acuan bahwa teknologi yang paling sedikit
menimbulkan resiko dan paling banyak menimbulkan benefit merupakan pilihan
akhir (Manuaba, 2005b).
2.2 Aplikasi Antropometri dalam Desain
Aspek-aspek ergonomi dalam suatu proses rancang bangun fasilitas kerja adalah
merupakan suatu faktor penting dalam menunjang peningkatan pelayanan jasa
produksi. Hal tersebut tidak akan terlepas dari pembahasan mengenai ukuran
anthropometri tubuh manusia maupun penerapan data-data antropometri manusia.
Istilah antropometri berasal dari kata anthro yang berarti manusia dan metri
yang berarti ukuran. Antropometri adalah studi tentang dimensi tubuh manusia
(Pulat, 1992). Antropometri merupakan suatu ilmu yang secara khusus mempelajari
tentang pengukuran tubuh manusia guna merumuskan perbedaan-perbedaan ukuran
pada tiap individu ataupun kelompok dan lain sebagainya. Setiap manusia berbeda
dalam berbagai macam dimensi ukuran seperti kebutuhan, motivasi, intelegensia,
imajinasi, usia, pendidikan, jenis kelamin, kekuatan, bentuk dan ukuran tubuh dan

16

lain sebagainya. Antropometri digunakan sebagai bahan pertimbangan ergonomis


dalam proses perancangan/ alat kerja (stasiun kerja) dalam sistem kerja yang akan
memerlukan interaksi manusia.
Dengan memiliki data antropometri yang tepat maka seorang perancang fasilitas
stasiun kerja akan mampu menyesuaikan bentuk dan geometris ukuran dari desain
fasilitas stasiun kerjanya dengan bentuk maupun ukuran segmen segmen bagian
tubuh yang nantinya akan mengoperasikan fasilitas stasiun kerja. Data anthropometri
dapat diaplikasikan dalam beberapa hal, antara lain (Wignjosoebroto, 2003): a).
Perancangan areal kerja, b). Perancangan peralatan kerja seperti mesin, perkakas dan
sebagainya, c). Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi/meja
komputer, dan lain-lain. d). Perancangan lingkungan kerja fisik. Data antropometri
dapat dimanfaatkan untuk menetapkan dimensi ukuran produk yang akan dirancang
dan disesuaikan dengan dimensi tubuh manusia yang akan menggunakannya. Dalam
kaitan ini maka desain fasilitas stasiun kerja harus mampu mengakomodasikan
dimensi tubuh dari populasi terbesar yang akan menggunakan fasilitas stasiun kerja
hasil desainnya tersebut. Data antropometri yang meyajikan data ukuran dari
berbagai macam anggota tubuh manusia dalam percentile tertentu akan sangat besar
manfaatnya pada saat suatu desain fasilitas stasiun kerja akan dibuat.
2.2.1 Dimensi Antropometri
Informasi tentang berbagai macam anggota tubuh yang perlu diukur dalam
aplikasi antropometri untuk desain fasilitas stasiun kerja dapat dilihat pada gambar
2.2 di bawah ini (Wignjosoebroto, 2003):

17

Gambar 2.2

Data Antropometri Yang Diperlukan Untuk Perancangan Produk

Keterangan gambar 2.2 di atas, yaitu:


1 : Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai hingga ujung kepala).
2 : Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak.
3 : Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak.
4 : Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus).
5 : Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam
gambar tidak ditunjukkan).
6 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk (di ukur dari alas tempat duduk pantat sampai
dengan kepala).
7 : Tinggi mata dalam posisi duduk.
8 : Tinggi bahu dalam posisi duduk.
9 : Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus).
10 : Tebal atau lebar paha.
11 : Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan. ujung lutut.
12 : Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari
lutut betis.
13 : Tinggi lutut yang bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk.
14 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang di ukur dari lantai sampai dengan paha.
15 : Lebar dari bahu (bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk).
16 : Lebar pinggul ataupun pantat.
17 : Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan dalam
gambar).
18 : Lebar perut.
19 : Panjang siku yang di ukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi
siku tegak lurus.
20 : Lebar kepala.
21 : Panjang tangan di ukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari.
22 : Lebar telapak tangan.

18

23 : Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar kesamping kiri kanan (tidak
ditunjukkan dalam gambar).
24 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak.
25 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak.
26 : Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan di ukur dari bahu sampai dengan
ujung jari tangan.

2.2.2 Antropometri Telapak Tangan


Pengukuran dimensi struktur tangan yang biasa diambil dalam perancangan
produk maupun

fasilitas

dapat

dilihat pada

Gambar

2.3

di bawah

ini:

(Wignjosoebroto, 2003):

Gambar 2.3

Antropometri Telapak Tangan.

Keterangan:
1. Panjang tangan (A)
2. Panjang telapak tangan (B)
3. Lebar tangan sampai ibu jari (C)
4. Lebar tangan sampai matakarpal (D)
5. Ketebalan tangan sampai matakarpal (E)
6. Lingkar tangan sampai telunjuk (F)
7. Lingkar tangan sampai ibu jari (G)
8. Diameter Genggaman (17)

Secara statistik sudah diperlihatkan bahwa data hasil pengukuran tubuh manusia
pada berbagai populasi akan terdistribusi dalam grafik sedemikian rupa sehingga
data-data yang bernilai kurang lebih sama akan terkumpul di bagian tengah grafik.

19

Sedangkan data-data dengan nilai penyimpangan yang ekstrim akan terletak pada
ujung-ujung grafik. Seperti pada Gambar 2.4 dibawah ini: (Wignjosoebroto, 2003):

Gambar 2.4 Kurva Distribusi Normal Dengan Data Antropometri 95-th percentile
Kurva terdistribusi normal seperti gambar di atas menggambarkan batas
kemaknaan pada tingkat kepercayaan 95% dengan nilai = 1,645. Penetapan data
antropometri memerlukan nilai rerata dan simpangan baku dari data pengamatan
yang berdistribusi normal dan suatu nilai yang menyatakan persentase tertentu dari
sekelompok data nilai tersebut. Nilai itulah yang disebut percentile seperti pada
Tabel 2.1 dibawah ini (Wignjosoebroto, 2003):
Tabel 2.1
Macam Percentile dan Cara Perhitungan dalam Distribusi Normal
Percentile
1 St
2.5 th
5 th
10 th
50 th
90 th
95 th
97.5 th
99 th

Perhitungan
X - 2.325 x
X 1.96
x
X 1.645 x
X 1.28
x
X
X + 1.28
x
X + 1.645 x
X + 1.96
x
X + 2.325 x

20

Persentil menunjukkan jumlah bagian per seratus orang dari suatu populasi yang
memiliki ukuran tubuh tertentu. Tujuan penelitian, dimana sebuah populasi dibagibagi berdasarkan kategori-kategori dengan jumlah keseluruhan 100% dan diurutkan
mulai dari populasi terkecil hingga terbesar berkaitan dengan beberapa pengukuran
tubuh tertentu. Sebagai contoh bila dikatakan persentil ke-95 dari suatu pengukuran
tinggi badan berarti bahwa hanya 5% data merupakan data tinggi badan yang bernilai
lebih besar dari suatu populasi dan 95% populasi merupakan data tinggi badan yang
bernilai sama atau lebih rendah pada populasi tersebut.
Menurut Panero dan Zelnik (2003), persentil ke-50 memberi gambaran yang
mendekati nilai rata-rata dari suatu kelompok tertentu. Suatu kesalahan yang serius
pada penerapan suatu data adalah dengan mengasumsikan bahwa setiap ukuran pada
persentil ke-50 mewakili pengukuran manusia rata-rata pada umumnya, sehingga
sering digunakan sebagai pedoman perancangan. Kesalahpahaman yang terjadi
dengan asumsi tersebut mengaburkan pengertian atas makna 50% dari kelompok.
Sebenarnya tidak ada yang dapat disebut manusia rata-rata.
Ada dua hal penting yang harus selalu diingat bila menggunakan persentil.
Pertama, suatu persentil anthropometri dari tiap individu hanya berlaku untuk satu
data dimensi tubuh saja. Kedua, tidak dapat dikatakan seseorang memiliki persentil
yang sama, ke-95, atau ke-90 atau ke-5, untuk keseluruhan dimensi. Tidak ada orang
dengan keseluruhan dimensi tubuhnya mempunyai nilai persentil yang sama, karena
seseorang dengan persentil ke-50 untuk data tinggi badannya, memiliki persentil 40
untuk data tinggi lututnya, atau persentil ke-60 untuk data panjang lengannya.

21

2.2.3 Aplikasi Data Antropometri dalam Perancangan Produk


Penggunaan

data antropometri

dalam penentuan

ukuran

produk harus

mempertimbangkan prinsip-prinsip di bawah ini agar produk yang dirancang bisa


sesuai dengan ukuran tubuh pengguna (Wignjosoebroto, 2003) yaitu :
1) Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran ekstrim. Rancangan
produk dibuat agar bisa memenuhi 2 sasaran produk, yaitu :
a. Sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim.
b. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas
dari populasi yang ada), Agar dapat memenuhi sasaran pokok tersebut maka
ukuran diaplikasikan, yaitu:
a) Dimensi jarak ruangan (clearance dimensions), yaitu dimensi yang
diperlukan untuk menentukan minimum ruang (space) yang diperlukan
orang untuk dengan leluasa melaksanakan aktivitas dalam sebuah stasiun
kerja baik pada saat mengoperasikan maupun harus melakukan perawatan
dari fasilitas kerja (mesin dan peralatan) yang ada. Jarak ruangan (clearance)
dalam hal ini dirancang dengan menetapkan dimensi ukuran tubuh yang
terbesar

dari populasi

pemakai

yang diharapkan.

Dalam

hal ini

menggunakan persentil terbesar (95th atau 97.5th percentile) dari populasi.


b) Dimensi jarak jangkauan (reach dimension), yaitu dimensi yang diperlukan
untuk menentukan maksimum ukuran yang harus ditetapkan agar mayoritas
populasi akan mampu menjangkau dan mengoperasikan peralatan kerja
(tombol kendali, keyboard, dan sebagainya) secara mudah dan tidak
memerlukan usaha (effort) yang terlalu memaksa. Disini jarak jangkauan

22

akan ditetapkan berdasarkan ukuran tubuh terkecil (lower percentile) dari


populasi pemakai yang diharapkan dan biasanya memakai ukuran 2.5th atau
5th percentile.
2) Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran
tertentu (adjustable). Produk dirancang dengan ukuran yang dapat diubah-ubah
sehingga cukup fleksibel untuk dioperasikan oleh setiap orang. Mendapatkan
rancangan yang fleksibel maka data antropometri yang umum diaplikasikan
adalah dalam rentang nilai 5-th sampai dengan 95-th.
3) Prinsip perancangan

produk

dengan ukuran

rata-rata

Produk

dirancang

berdasarkan pada ukuran rata-rata tubuh manusia atau dalam rentang 50-th
percentile.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam melakukan desain atau redesain dalam
proses perancangan produk dan stasiun kerja haruslah berpedoman pada aplikasi data
antropometri pemakainya

2.3 Sikap Kerja


Sikap kerja adalah sikap tubuh (posture) manusia saat berinteraksi dengan
alat/peralatan kerja. Sikap kerja yang baik adalah sikap kerja yang memungkinkan
melaksanakan pekerjaan dengan efektif dan dengan usaha otot yang sedikit. Secara
mendasar sikap tubuh dalam keadaan tidak melakukan gerakan atau pekerjaan adalah
sikap berdiri, berbaring, berjongkok dan duduk (Pheasant, 1991). Posisi dan sikap
kerja para pekerja saat melakukan aktivitas ditempat kerja berpengaruh terhadap
respon fisiologis pekerja tersebut. Sikap kerja yang tidak alamiah/ fisiologis

23

merupakan penyebab munculnya berbagai gangguan pada sistem muskuloskeletal


(Manuaba, 1998). Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diketahui kriteria sikap
kerja yang ideal dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan antara lain adalah
sebagai berikut (Pheasant, 1991; Palilingan dkk, 2012b) :
1) Otot yang bekerja secara statis sangat sedikit.
2) Dalam melakukan tugas dengan memakai tangan dilakukan secara mudah dan
alamiah.
3) Sikap kerja yang berubah ubah atau dinamis lebih baik daripada sikap kerja
statis rileks.
4) Sikap kerja statis rileks lebih baik daripada sikap kerja statis tegang
Menurut Pheasant (1991), ada tujuh prinsip dasar dalam mengatasi sikap tubuh
selama bekerja adalah sebagai berikut:
1) Cegah inklinasi ke depan pada leher dan kepala.
2) Cegah inklinasi ke depan pada tubuh.
3) Cegah penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat.
4) Cegah pemutaran badan dalam sikap asimetris (terpilin).
5) Persendian hendaknya dalam rentangan sepertiga dari gerakan maksimum.
6) Jika menggunakan tenaga otot, hendaknya dalam posisi yang mengakibatkan
kekuatan maksimal.
Kasus yang paling umum berkaitan dengan sikap kerja pada saat melakukan
aktivitas sehari hari adalah sebagai berikut: (Pheasant, 1991).
1) Inklinasi ke depan pada leher dan kepala, karena medan display terlalu rendah
atau objek terlalu kecil.

24

2) Sikap kerja membungkuk, karena medan kerja yang terlalu rendah dan objek
diluar jangkauan.
3) Sikap asimetris (terpilin) yang mengakibatkan terjadinya perbedaan beban
pada kedua sisi tulang belakang.
4) Sikap kerja yang salah dapat mengakibatkan postural deformitas pada tubuh
antara lain: lordosis, khiposis dan skoliosis.
Selanjutnya menurut Bridger (1995), sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
1) Karakteristik pekerja (subjek): umur, jenis kelamin, antropometri, berat
badan, kesegaran jasmani, pergerakan sendi, penglihatan serta ketangkasan.
2) Tuntutan jenis pekerjaan (task): posisi tubuh, siklus waktu kerja, periode
istirahat, urut urutan pekerjaan.
3) Rancangan luasan kerja (work space): ukuran peralatan yang digunakan,
ukuran bahan yang dikerjakan, rancangan peralatan, ukuran luasan kerja
4) Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan,
kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu, dan vibrasi.
Sikap kerja hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga tidak
menimbulkan sikap paksa yang melampaui kemampuan fisiologis tubuh (Cumming,
2003). Sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat memegang, mengangkat, dan
mengangkut, dan berdiri terlalu lama atau karena ketidaksesuaian antara alat kerja
dengan ukuran tubuh pekerja (Dempsey,

2003; Hutagalung, 2008). Dalam

hubungannya dengan sikap kerja penyapu jalan, prinsip prinsip dasar tersebut
haruslah dipertimbangkan untuk memperbaiki sikap kerja penyapu jalan yang tidak

25

alamiah sehingga untuk memperbaiki sikap kerja tersebut faktor kondisi alat kerja
yang memungkinkan untuk diperbaiki. Dengan perbaikan alat kerja diharapkan sikap
kerja penyapu jalan akan sesuai dengan prinsip prinsip dasar sikap kerja yang baik.
2.4 Beban Kerja
Dalam menghadapi dan mengerjakan suatu pekerjaan berarti tubuh pekerja
akan menerima beban dari luar tubuhnya. Beban tersebut dapat berupa beban fisik
maupun beban mental. Dalam ergonomi setiap beban kerja yang diterima oleh
seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan
kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Secara umum
Menurut Adiputra (2002), Beban kerja (work load) merupakan faktor stressor tubuh
yang dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu:
1) External load ( Stressor) adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja.
Yang termasuk beban kerja external adalah tugas (task) itu sendiri, oraganisasi
dan lingkungan kerja. Tugas tugas yang dilakukan baik bersifat fisik seperti ;
sarana kerja, kondisi kerja dan sikap kerja, maupun bersifat mental seperti
kompleksitas atau sulit tidaknya pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi
pekerja. Organisasi mencakup lamanya waktu kerja, proses kerja dan sistem kerja.
Lingkungan kerja seperti panas lingkungan, intensitas penerangan, kelembaban
dan lain lain.
2) Internal load (strain) adalah beban kerja yang berasal dari dalam tubuh pekerja
yang berkaitan erat dengan adanya harapan, keinginan, kepuasan, taboo dan lain
lain.

26

Kriteria penilaian beban kerja yang dapat dipakai (Rodahl, 1989), yaitu:
a. Kriteria objektif, yang dapat diukur dan dilakukan oleh pihak lain yang meliputi
reaksi fisiologis, reaksi psikologis/ perubahan tindak tanduk;
b.

Kriteria

subjektif yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai

pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan yang
menggangu, rasa sakit atau pengalaman lain yang dirasakan.
Beban kerja pada proses kerja penyapu jalan dapat berupa beban kerja yang
berasal dari faktor eksternal dan dapat juga berasa dari faktor internal. Untuk itu
dalam penilaiannya ada dua kriteria yang dapat dipakai : (a) kriteria objektif, yang
dapat diukur meliputi: reaksi fisiologis. (b) kriteria subjektif, yang dilakukan oleh
orang yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang
dirasakan sebagai kelelahan yang mengganggu, rasa sakit atau pengalaman lain yang
dirasakan.
2.4.1 Penilaian Beban Kerja Fisik
Kerja fisik adalah kerja yang memerlukan energi pada otot manusia yang akan
berfungsi sebagai sumber tenaga. Selama kerja fisik berlangsung, maka konsumsi
energi merupakan faktor utama yang dijadikan tolak ukur penentu berat/ringannya
suatu pekerjaan. Setiap aktivitas kerja fisik yang dilakukan akan mengakibatkan
terjadinya suatu perubahan fungsi faal pada organ tubuh manusia (fisiologis). Kerja
fisik akan mengeluarkan energi yang berhubugan erat dengan kebutuhan atau
konsumsi energi. Menurut Astrand dan Rodahl (1989) bahwa penilaian beban kerja
fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif yaitu metode penilaian
langsung dan tidak langsung.

27

Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur energi yang dikeluarkan


melalui asupan oksigen selama bekerja. Semakin berat beban kerja akan semakin
banyak energi yang diperlukan atau dikonsumsi. Metode ini sangat akurat akan tetapi
diperlukan peralatan

yang cukup mahal. Sedangkan metode pengukuran tidak

langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama bekerja. Kecepatan denyut
jantung memiliki hubungan yang sangat erat dengan aktivitas fungsi faal manusia.
Menurut Kroemer dan Granjean (2000) menjelaskan
pendekatan

untuk mengetahui

berat

ringannya

beban

bahwa salah satu

kerja adalah

dengan

menghitung denyut nadi kerja, konsumsi oksigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu
inti tubuh. Pada batas tertentu ventiasi paru, denyut jantung dan suhu tubuh
mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang
dilakukan. Kategori berat ringannya beban kerja dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.2
Tingkat Beban Kerja Menurut Keluaran Energi
Konsumsi
Tingkat beban Kerja

oksigen

Ventilasi paru
(l/min)

(l/min)

Suhu

Denyut

Rektal

jantung

( C)

(denyut/min)

Beban kerja ringan

0,5 - 1,0

11 - 20

37,5

75 - 100

Beban kerja sedang

1,0 - 1,5

21 - 31

37,5 38

100 125

Beban kerja berat

1,5 - 2,0

31 - 43

38 38,5

125 150

Beban kerja sangat berat

2,0 - 2,5

43 - 56

38,5 39

150 175

Beban kerja berat sekali

2,5 - 4,0

60 - 100

> 39

> 175

Sumber: Kroemer dan Grandjean, 2000


Berat ringannya beban kerja yang diterima oleh seorang tenaga kerja dapat
digunakan untuk menentukan berapa lama seorang tenaga kerja dapat melakukan

28

aktivitas pekerjaannya

sesuai dengan kemampuan

atau kapasitas kerja yang

bersangkutan. Dimana semakin berat beban kerja, maka akan semakin pendek waktu
kerja seseorang untuk bekerja dan disertai peningkatan kelelahan dan gangguan
fisiologis.
2.4.2 Penilaian Beban Kerja Melalui Pengukuran Denyut Jantung
Penilaian beban kerja dengan mengukur peningkatan denyut nadi dilaksanakan
saat bekerja atau segera setelah selesai bekerja. Pengukuran denyut jantung selama
bekerja merupakan suatu metode untuk menilai cardiovasculair strain. Salah satu
peralatan yang dapat digunakan adalah dengan rangsangan Electro Cardio Graph
(ECG). Apabila peralatan tersebut tidak tersedia, maka dapat dicatat secara manual
memakai stopwatch dengan metode 10 denyut (Kilbon, 1992). Dengan metode ini
dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut :

Denyut Nadi (denyut/menit)

10 denyut
x60
Waktu perhitungan

...(1)

Mengukur peningkatan denyut nadi dengan metode sepuluh denyut adalah mengukur
denyut nadi secara palpasi pada arteri radialis dengan menghitung waktu untuk
sepuluh denyut nadi (stopwatch ditekan start saat denyutan satu dan ditekan stop
pada denyutan

kesebelas).

Selain metode 10 denyut, dapat juga dilakukan

penghitungan denyut nadi dengan metode 15 detik atau 30 detik. Penggunaan nadi
kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja mempunyai beberapa keuntungan.
Selain mudah, cepat dan murah juga tidak diperlukan peralatan yang mahal serta
hasilnya cukup reliabel. Disamping itu tidak terlalu menggangu proses kerja dan

29

tidak menyakiti orang yang diperiksa. Kepekaan denyut nadi terhadap perubahan
pembebanan yang diterima tubuh cukup tinggi (Tarwaka, 2011).
Menurut Grandjean (2000), beban kerja fisik tidak hanya ditentukan oleh jumlah
kalori yang dikonsumsi, tetapi juga ditentukan oleh jumlah otot yang terlibat dan
beban statis yang diterima serta tekanan panas dari lingkungan kerjanya yang dapat
meningkatkan denyut nadi. Berdasarkan hal tersebut maka denyut nadi lebih mudah
dan dapat digunakan untuk menghitung indeks beban kerja. Denyut nadi yang
dihitung untuk mengestimasi beban kerja fisik terdiri dari beberapa jenis yaitu:
1). Denyut nadi istirahat adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai.
2). Denyut nadi kerja adalah rereta denyut nadi selama bekerja
3). Nadi kerja adalah selisih antara denyut nadi kerja dengan denyut nadi istirahat.
Selanjutnya, Menurut Grandjean (2000) untuk mengevaluasi beban kerja caranya
adalah dengan membandingkan nilai rerata denyut nadi kerja dari seluruh jam kerja
dengan rentangan denyut nadi seperti pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.3
Katagori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Kerja
No.

Katagori Beban Kerja

Denyut Nadi Kerja (denyut per


menit)

Sangat Ringan = istirahat

60 70

Ringan

75 100

Sedang

100 125

Berat

125 150

Sangat Berat

150 175

Luar Biasa beratnya (ekstrim)

Sumber : Grandjean (2000).

> 175

30

Dengan demikian penilaian beban kerja pada proses kerja penyapu jalan pada
penggunaan sapu lidi lama dengan sapu lidi ergonomis dapat dilihat dari variabel
denyut nadi kerja. Melalui aplikasi ergonomi dapat diukur perubahan beban kerjanya
dilihat dari perubahan denyut nadi kerja setelah perbaikan.
2.4.3 Usaha Usaha Menurunkan Beban Kerja
Menurut Hutagalung (2008), Faktor faktor yang harus menjadi perhatian
adalah :
1) Status nutrisi yaitu jumlah kalori yang diperlukan, kualitas gizi, saat
pemberian yang tepat, frekuensi yang tepat, selera, kemauan, kemampuan
ekonomis yang bersangkutan.
2) Pemanfaatan tenaga otot yaitu dengan masih dipakainya tenaga manusia
sebagai alat angkut, maka cara angkat angkut barang dan besarnya kemasan
yang boleh dibawa harus benar benar serasi dengan kemampuan, kebolehan
dan batasan manusia (Manuaba, 1998).
3) Posisi tubuh yang salah atau tidak alamiah, apalagi didalam sikap paksa jelas
akan mengurangi produktivitas seseorang.
4) Kondisi lingkungan yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk bisa
bekerja secara optimal dan produktif.
5) Jam kerja manusia adalah 8jam/hari yang masih bisa ditoleransi ialah 1 jam
lebur setelah 8 jam kerja/hari, dengan catatan bahwa selama 8 jam kerja
tersebut terdapat 2 kali istirahat dan 1 kali makan siang.
6) Kondisi sosial seperti rasa harga diri, motivasi dan kepuasan kerja merupakan
keharusan untuk adanya partisipasi karyawan didalam upaya pencapaian

31

produktivitas yang setinggi-tingginya. Cara kerja dan sistem manajemen


sangat perlu diperhatikan.
7) Komunikasi dan informasi yang berjalan dua arah jelas merupakan satu
keharusan dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui
adanya rasa ikut memiliki untuk kemudian menjadi ikut bertanggug jawab.
8) Dalam interaksi manusia mesin, rangsangan melalui display dan reaksi
melalui kontrol harus benar benar diatur sedemikian rupa sehingga mudah
dikerjakan tanpa adanya beban mental atau fisik yag berlebihan (Manuaba,
1998).
2.5 Keluhan Muskuloskeletal
Setiap manusia bekerja, terlepas dari jenis pekerjaan yang dilakukan maka otot
otot tubuh pasti akan berkonstraksi dan relaksasi secara bergantian. Hal itu terjadi
sebagai akibat dari aktivitas anggota gerak dalam menjaga posisi tubuh agar stabil
atau gerakan tertentu dalam pelaksanaan tugas. Semakin banyak gerakan yang
berlawanan dengan kaidah faal yang dilakukan, semakin banyak energi yang
digunakan. Semakin banyak sikap tubuh melawan sikap netral tubuh semakin banyak
otot otot bekerja (Kroemer dan Grandjean, 2000).
Keluhan pada sistem muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian bagian otot
rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai
sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu
yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen
dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang diistilahkan dengan keluhan

32

musculoskeletal disorders atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean 2000)


Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1) Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pemberian beban dihentikan.
2) Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut.
Keluhan muskuloskeletal pada umumnya terjadi karena konstraksi otot yang
berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi
pembebanan yang panjang. Sebaliknya keluhan otot kemungkinan tidak terjadi
apabila konstraksi otot hanya berkisar antara 15 20 % dari kekuatan otot
maksimum. Namun apabila konstraksi otot melebihi 20 % maka peredaran darah ke
otot berkurang menurut tingkat konstraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga
yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat
terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan
timbulnya rasa nyeri otot (Grandjean, 2000).
2.5.1 Faktor Penyebab Keluhan pada Sistem Muskuloskeletal
Menurut Peter (2000), menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal antara lain sebagai berikut:
1) Peregangan otot yang berlebihan;
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh
pekerja dimana aktivitas kerjannya menuntut pengerahan tenaga yang besar

33

seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang


berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga
yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa
sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot,
bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.
2) Aktivitas yang berulang;
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus
seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, menyapu jalan, angkat
angkut dan lain lain. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan
akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk
relaksasi.
3) Sikap kerja tidak alamiah ;
Sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian bagian tubuh bergerak
menjauhi posisi alamiah, misalnya kepala menunduk atau terangkat,
pergerakan tangan terangkat,

punggung membungkuk dan lain lain.

Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat grafitasi tubuh, maka semakin
tinggi pula resiko terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal. Sikap kerja
tidak alamiah pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja
dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
4) Faktor penyebab sekunder; Adanya penyebab sekunder seperti: tekanan
(terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak), getaran (getaran
dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan konstraksi otot bertambah) dan
mikrolimat (paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan

34

kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi


lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot (Pulat,
1992).
5) Penyebab kombinasi ; Resiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin
meningkat apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada
beberapa faktor resiko dalam waktu yang bersamaan, misalnya pekerja harus
melakukan aktivitas angkat angkut dibawah tekanan panas matahari seperti
pada pekerja bangunan.
Disamping kelima faktor penyebab terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal,
beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, aktivitas fisik dan ukuran tubuh juga menjadi penyebab
terjadinya keluhan otot skeletal. (Nala 1994; Pujiani, 2011) menyatakan bahwa sikap
kerja yang tidak alamiah menimbulkan konstraksi otot secara statis pada sejumlah
besar sistem otot tubuh manusia dan konstraksi otot statis dapat mengakibatkan: (1)
tenaga atau energi yang diperlukan lebih tinggi dalam usaha yang sama; (2) denyut
nadi meningkat lebih tinggi; (3) cepat merasa lelah dan (4) setelah bekerja, otot
memerlukan waktu pemulihan yang lebih lama.
Keluhan muskuloskeletal dapat terjadi pada hampir semua jenis pekerjaan baik
dalam kategori ringan, sedang, berat maupun sangat berat. Beberapa istilah yang
sering digunakan untuk mengelompokkan keluhan ini adalah : (1) cumulative trauma
disorders (CTDs); (2) repetitive trauma injuries (RSIs); (3) repeated motion
disorders; dan (4) overuse syndromes (Beynon et al. 1998 dalam Sutajaya, 1998).
Untuk itu perlu dilakukan pengkajian pada proses kerja penyapu jalan yang tidak

35

ergonomik yang dilihat dari keluhan muskuloskeletal yang ditimbulkan. Menurut


(Merwe 1998 dalam Susila 2002) beberapa jenis keluhan muskuloskeletal adalah
sebagai berikut:
1) De Quervains tenosynositis adalah gangguan pada tendo yang diakibatkan
oleh gerakan abduksi dan ekstensi ibu jari tangan dan terjadi pada pekerja
yang pekerjaannya memerlukan kekuatan untuk memegang dan memutar.
2) Carpal tunnel syndrome (CTS) yaitu gangguan yang terjadi akibat dari
terjepitnya nervus medianus yang lewat pergelangan tangan
3) Tendonitis yaitu peradangan pada tendo yang terjadi pada pekerja yang
bekerja secara repetitif.
4) Tendosynovitis yaitu peradangan pada selaput synovial yang terjadi pada
pekerja yang bekerja secara repetitif.
5) Rotator cuff tendoitis dan bursitis yaitu gangguan pada otot bahu karena
adanya peradangan pada otot supraspinatus yang diakibatkan oleh pekerjaan
berat yang dilakukan secara berulang ulang.
6) Thorachic outlet syndrome yaitu gangguan yang terjadi karena tertekannya
saraf dan pembuluh darah yang ada pada tulang Vertebrae cervicalis 5 8
dan Vertebrae thoracalis 1. Tandanya adalah terjadi kesemutan pada lengan
dan jari tangan, rasa nyeri pada leher dan otot otot agak lemas.
7) Wrist ganglion yaitu hermiasi pada selaput sendi atau tendo dan dapat
berbentuk kista yang berisi cairan.
8) Trigger finger yaitu peradangan pada tendo dan membran karena terjadi
vasokontriksi sehingga gerakan menjadi terbatas.

36

2.5.2 Pengukuran Keluhan Muskuloskeletal Secara Subjektif


Keluhan otot yang terjadi pada organ tubuh tertentu dapat ditelusuri dengan
menggunakan beberapa alat ukur ergonomi mulai dari alat yang sederhana hingga
menggunakan

peralatan

komputer.

Pengukuran

subjektif

merupakan

cara

pengumpulan data menggunakan catatan harian, wawancara dan kuesioner (David,


2005). Untuk menilai keluhan muskuloskeletal pada pekerja penyapu jalan dapat
digunakan kuesioner Nordic Body Map.
Metode Nordic Body Map merupakan metode penilaian yang sangat subjektif
artinya keberhasilan aplikasi metode ini sangat tergantung dari kondisi dan situasi
yang dialami pekerja pada saat dilakukannya penelitian dan juga tergantung dari
keahlian dan pengalaman observer yang bersangkutan. Kuesioner Nordic Body Map
ini telah secara luas digunakan oleh para ahli ergonomi untuk menilai tingkat
keparahan gangguan pada sistem muskuloskeletal dan mempunyai validitas dan
reabilitas yang cukup (Tarwaka, 2011).
Pekerjaan penyapuan jalan, sikap tubuh pekerja lebih banyak berdiri dengan
kepala serta punggung membungkuk

ke depan. Otot tangan dan kaki selalu

mempertahankan sikap tubuh agar tetap seimbang berdiri dengan stabil. Tangan kiri
mengimbanginya dengan memegang serokan serta tangan kanan memegang sapu
lidi. Gerakan kaki, lengan dan tangan termasuk relatif tinggi. Dengan gerakan seperti
itu akan berakibat terjadinya keluhan keluhan otot otot tubuh, khususnya otot
lengan dan tangan, bahu, punggung, pingang serta otot kaki.
Dalam aplikasinya metode Nordic Body Map menggunakan lembar kerja berupa
peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, mudah dipahami,

37

murah dan memerlukan waktu yang sangat singkat 5 menit per individu. Observer
dapat langsung mewawancarai atau menanyakan kepada responden otot otot
skeletal bagian mana saja yang mengalami gangguan/nyeri atau sakit dengan
menunjuk langsung pada setiap otot skeletal sesuai yang tercantum dalam lembar
kerja kuesioner Nordic Body Map. Kuesioner Nordic Body Map meliputi 28 bagian
otot otot skeletal pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri. Dimulai dari anggota tubuh
bagian atas yaitu otot leher sampai dengan otot pada kaki. Melalui kuesioner ini akan
dapat diketahui bagian bagian otot mana saja yang mengalami gangguan kenyerian
atau keluhan dari tingkat rendah (tidak ada keluhan/cedera) sampai dengan keluhan
tingkat tinggi (keluhan sangat sakit) (Tarwaka, 2011; Palilingan dkk, 2012b).
Pengukuran gangguan otot skeletal dengan kuesioner Nordic Body Map
digunakan untuk menilai tingkat keparahan gangguan otot skeletal individu dalam
kelompok kerja yang cukup banyak atau kelompok sampel yang mereprensentasikan
populasi secara keseluruhan. Jika metode ini dilakukan hanya untuk beberapa pekerja
didalam kelompok populasi kerja yang besar, maka hasilnya tidak akan valid dan
reliabel.
Penilaian dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map dapat dilakukan
dengan berbagai cara; misalnya dengan menggunakan 2 jawaban sederhana yaitu Ya
(adanya keluhan atau rasa sakit pada otot skeletal) dan Tidak (tidak ada keluhan atau
tidak ada rasa sakit pada otot skeletal ). Tetapi lebih utama untuk menggunakan
desain penelitian dengan skoring ( misalnya; 4 skala Likert). Apabila menggunakan
skala Likert maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional
yang jelas dan mudah dipahami oleh responden (Tarwaka, 2011).

38

Selanjutnya setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian kuesioner maka


langkah berikutnya adalah menghitung total skor individu dari seluruh otot skeletal
(28 bagian otot skeletal) yang diobservasi. Pada desain 4 skala Likert akan diperoleh
skor individu terendah adalah sebesar 28 dan skor tertinggi adalah 112. Langkah
terakhir dari metode ini adalah melakukan upaya perbaikan pada pekerjaan maupun
sikap kerja, jika diperoleh hasil tingkat keparahan pada otot skeletal yang tinggi.
Tindakan perbaikan yang harus dilakukan tentunya sangat bergantung dari resiko
otot skeletal mana yang mengalami adanya gangguan. Hal ini dapat dilakukan
dengan melihat presentase jumlah skor pada setiap bagian otot skeletal dan kategori
tingkat resiko. Tabel 2.4 di bawah ini merupakan pedoman sederhana yang dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi tingkat resiko otot skeletal.
Tabel 2.4
Klasifikasi Tingkat Resiko Otot Skeletal Berdasarkan Total Skor Individu
Skala

Total skor

Tingkat

Likert

individu

resiko

28 49

Rendah

Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan

50 - 70

Sedang

Mungkin diperlukan tindakan dikemudian hari

71 91

Tinggi

Diperlukan tindakan segera

92 - 112

Sangat tinggi

Diperlukan tindakan menyeluruh sesegera mungkin

Tindakan perbaikan

Sumber : Tarwaka, 2011


2.6 Kelelahan Kerja
Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda beda dari setiap
individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan
kapasitas

kerja serta ketahanan

tubuh.

Kelelahan

adalah

suatu

mekanisme

perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi

39

pemulihan setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Keluhan
subjektif merupakan tanda personal yang menyatakan adanya suatu kelelahan yang
dialami seseorang akibat beban kerja yang membebaninya karena interaksi seseorang
dengan jenis pekerjaan, rancangan tempat kerja, dan atau peralatan kerja, termasuk
sikap kerjanya (Bridger, 1995; Suardana, 2001).
Menurut Kroemer dan Grandjean (2000) kelelahan merupakan suatu keadaan
yang tercermin dari gejala perubahan psikologis

berupa kelambanan aktivitas

motorik dan respirasi, adanya perasaan sakit, berat pada bola mata, pelemahan
motivasi, penurunan aktivitas yang akan mempengaruhi aktivitas fisik dan mental.
Adiputra (2003) mengatakan bahwa terjadinya kelelahan pada pekerja adalah adanya
organ tubuh secara terus menerus menerima beban kerja eksternal dengan tanpa
kesempatan istirahat atau mendapat beban kerja yang melewati kapasitasnya.
Sedangkan Manuaba (1998) berpendapat bahwa kelelahan dapat terjadi karena
adanya lingkungan kerja yang terlalu panas.
Secara fisiologis terdapat dua macam kelelahan dalam (Guyton dan Hall, 1996)
dan Sumamur (1995) yaitu: kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot
adalah keadaan dimana otot mengalami kelelahan akibat ketegangan

yang

berlebihan, terlihat dari beberapa gejala tremor pada otot atau perasan nyeri yang
terdapat pada otot, penurunan tenaga, gerakan otot yang lebih lambat dan juga
koordinasi otot menurun. Kelelahan umum adalah gejala berkurangnya kemampuan
untuk bekerja, terjadinya kekacauan pikiran, respirasi, lelah seluruh badan, terkadang
juga perasaan sakit dan berat pada mata. Pulat (1992) mengemukakan secara umum
gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat

40

melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila ratarata beban kerja melebihi 30 40 dari tenaga aerobik maksimal. Berikut ini adalah
gambar skema taksonomi dari kelelahan yaitu sebagai berikut : (Astrand dan Rodahl,
K. 1989; Tarwaka, 2011).

Gambar 2.5 Skema Taksonomi Kelelahan


2.6.1 Faktor Terjadinya Kelelahan
Proses terjadinya kelelahan otot menurut teori kimia akibat berkurangnya
cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme sebagai penyebab hilangnya
efisiensi otot. Setiap hari manusia selalu terlibat dengan kegiatan kegiatan, baik itu
bekerja bergerak yang memerlukan energi. Kemampuan manusia untuk melakukan
berbagai macam kegiatan tersebut tergantung pada struktur fisik tubuh yang terdiri
dari struktur fisik tubuh yang terdiri dari struktur tulang manusia dan sistem otot.
Untuk melaksanakan kegiatan- kegiatan tersebut diperlukan energi yang diperoleh
dari proses metabolisme dalam otot, yaitu proses proses kimia yang mengubah sari

41

sari makanan menjadi dua bentuk yaitu kerja mekanis dan panas. Pada saat otot
berkonstraksi (saat melakukan pekerjaan), maka terjadi reaksi kimia didalam otot itu
sendiri. Dalam bentuk yang sederhana proses terjadinya kelelahan otot dapat dilihat
pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.6. Proses Mekanisme Terjadinya Kelelahan Otot


Sumber : (balai hiperkes dan keselamatan kerja, 2012).
Kelelahan sesungguhnya merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar
terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai alarm tubuh yang
mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat. Mekanisme ini diatur oleh
sistem saraf pusat yang dapat mempercepat impuls yang terjadi di sistem aktivasi
oleh sistem saraf simpatis dan memperlambat impuls yang terjadi di sistem inhibisi
oleh sistem saraf parasimpatis. Menurunnya kemampuan dan ketahanan tubuh akan
mengakibatkan menurunnya efisiensi dan kapasitas kerja. Kelelahan bisa merupakan
kelelahan fisik maupun psikologis. Kelelahan fisik disebabkan adanya bahan bahan
laktat hasil metabolisme, sedangkan kelelahan psikis lebih ke arah bagaimana
keserasian hubungan perorangan antar tenaga kerja ke atas, mendatar maupun

42

kebawah. Lingkugan kerja yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan kelalahan


psikologis yang dapat dirasakan kelelahan tersebut pada awal awal bekerja dimana
secara fisik sebenarnya belum lelah. Untuk itu maka perlu dibina suasana lingkungan
kerja yang harmonis, menyenangkan sehingga menimbulkan semangat kerja yang
tinggi.
Menurut Grandjean, (2000) ; Sedarmayanti (1996) menyatakan bahwa kelelahan
yang berlanjut dapat menyebabkan kelelahan kronis dengan gejala yaitu : (1)
terjadinya penurunan kestabilan fisik, (2) kebugaran berkurang, (3) gerakan lamban
dan cenderung diam, (4) malas bekerja atau beraktivitas, (5) adanya rasa sakit yang
semakin meningkat. Kelelahan yang berlanjut dapat menimbulkan efek psikologi
juga yang ditandai dengan gejala gejala berikut: (1) meningkatnya kejengkelan
(tidak toleran), (2) kecenderungan ke arah depresi (kebingungan yang tidak bermotif)
dan kelelahan umum dalam perjuangan dan malas akan pekerjaan. Disamping itu
kelelahan juga menyebabkan gangguan psikosomatik yang ditandai dengan sakit
kepala, pening kepala, mengantuk, jantung berdebar debar, keluarnya keringat
dingin,nafsu makan berkurang atau hilang dan adanya gangguan pencernaan
(Pheasant 1991).
2.6.2 Langkah langkah Mengatasi Kelelahan
Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor yang sangat kompleks dan saling
mengkait antara faktor satu dengan yang lain. Yang terpenting adalah bagaimana
menanggani setiap kelelahan yang muncul agar tidak menjadi kronis. Agar dapat
menangani kelelahan dengan tepat, maka harus mengetahui apa yang menjadi
penyebab terjadinya kelelahan. Berikut ini adalah uraian secara skematis antara

43

faktor penyebab terjadinya kelelahan, resiko dan cara menangani kelelahan seperti
pada gambar dibawah ini : (Tarwaka, 2011).

Gambar 2.7 Penyebab Kelelahan, Cara Mengatasi dan Manajemen Resiko Kelelahan
Kelelahan biasanya terjadi pada akhir jam kerja yang disebabkan oleh karena
berbagai faktor seperti pekerjaan yang monoton, kerja otot statis, alat dan sarana
kerja yang tidak sesuai dengan antropometri pemakainya, stasiun kerja yang tidak
ergonomis, sikap paksa dan pengaturan waktu kerja istirahat yang tidak tepat.

44

2.6.3 Pengukuran Kelelahan Secara Subjektif


Secara subjektif kelelahan dapat diukur dengan menggunakan 30 item kelelahan
dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang dengan empat skala
Likert. Meliputi pertanyaan no 110 menunjukkan melemahnya kegiatan, sedangkan
pertanyaan nomor 1120 menunjukkan melemahnya motivasi dan pertanyaan nomor
2130 memberikan gambaran dari kelelahan fisik.
Pengukuran kelelahan dengan menggunakan kuesioner dapat digunakan untuk
menilai tingkat keparahan kelelahan individu dalam kelompok kerja yang cukup
banyak atau kelompok sampel yang dapat mereprensentasikan populasi secara
keseluruhan. Jika metode ini dilakukan hanya untuk beberapa orang pekerja di dalam
kelompok populasi kerja yang besar, maka hasilnya tidak akan valid dan reliabel
(Yoshitake,1971; Adiputra, 2003; Tarwaka, 2011).
Penilaian dengan menggunakan kuesioner kelelahan dapat dilakukan dengan
berbagai cara; misalnya dengan menggunakan 2 jawaban sederhana yaitu Ya (adanya
kelelahan) dan Tidak (tidak ada kelelahan). Tetapi lebih utama untuk menggunakan
desain penelitian dengan skoring ( misalnya; 4 skala Likert).
Apabila menggunakan skala Likert maka setiap skor atau nilai haruslah
mempunyai definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden.
Contoh desain skala Likert, dimana: skor 1 (tidak pernah merasakan), skor 2 (kadang
kadang merasakan), skor 3 ( sering merasakan) dan skor 4 (sering sekali
merasakan). Setelah dilakukan skoring dan pengisian kuesioner akan diperoleh skor
individu terendah adalah sebesar 30 dan skor individu tertinggi adalah 120. Berikut

45

ini adalah pedoman sederhana untuk menentukan klasifikasi tingkat kelelahan


subjektif yaitu :
Tabel 2.5
Klasifikasi Tingkat Kelelahan Subjektif Berdasarkan Total Skor Individu
Tingkat

Total skor

Klasifikasi

kelelahan

individu

Kelelahan

30 - 52

Rendah

Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan

53 - 75

Sedang

Mungkin diperlukan tindakan dikemudian hari

76 - 98

Tinggi

Diperlukan tindakan segera

99 - 120

Sangat

Diperlukan tindakan menyeluruh sesegera

tinggi

mungkin

Sumber : Tarwaka, 2011

Tindakan perbaikan

Anda mungkin juga menyukai