Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN SECARA TEORITIS PADA KASUS


HISPRUNG

DOSEN PENGAMPU : LILY MARLENI S.KEP.,M.KES

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 8

NAMA : SRI MARGARETHA


SUCI PUTRI RAMADANI
TARA SELVI
TASYA RAHMASARI
PRODI : D3 KEPERAWATAN / SMT 4

SEKOLAH TINGGI ILMU SITI KHADIJAH PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “ MAKALAH LAPORAN PENDAHULUAN
DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS HISPRUNG”. Dalam makalah ini penulis
merangkum apa-apa saja pemeriksaan laboratorium yang dilakukan selama hamil dan kegunaannya.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyususnan makalah ini penulis memiliki keterbatasan,
sehingga jika pembaca menemukan kekurangan atau kekeliruan dengan hati terbuka penulis
menerima salam dan kritik yang membangun.

Akhirnya, penulis ucapkan selamat membaca, semoga kita dapat memanfaatkan makalah ini
bersama-sama, dengan dasar itikad baik untuk mengimplementasikannya dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.

Palembang, 22 juli 2021

Penulis

DAFTAR ISI

2
Halaman Sampul……………………………………………………………………………....1
Kata Pengantar………………………………………………………………………………...2
Daftar Isi……………………………………………………………………………………....3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….5
A. Latar Belakang……………………………………………………………………..5
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...…..6
BAB II LAPORAN PENDAHULUAN…………………………………………………......7
1. Definisi…………………………………………………………………….......…...7
2. Anatomi Fisiologi…………………………………………………………………..8
3. Etiologi……………………………………………………………………………13
4. Manifestasi Klinis…………………………………………………………………13
5. Patofisiologi…………………………………………………………………….....14
6. Komplikasi…………………………………………………………………….......14
7. Pemeriksaan Diagnostik……………………………………………………….….15
8. Penatalaksanaan…………………………………………………………………...15
ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS……………………………………….17
1. Pengkajian…………………………………………………………………………17
2. Diagnosa…………………………………………………………………………..18
3. Intervensi………………………………………………………………………….19
4. Implementasi………………………………………………………………………21
5. Evaluasi……………………………………………………………………………21
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….22
A. Kesimpulan………………………………………………………………………..22
B. Saran……………………………………………………………………………....22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..23

DAFTAR GAMBAR

3
Gambar 1. Rektum dan saluran anal (anal canal)………………………………………..8

Gambar 2. Muskulus spinkter ani externa: pandangan sisi penrineum…………………..9

Gambar 3. Saraf pada perineum (laki laki)………………………………………………10

Gambar 4. Pleksus autonomik intrinsik pada usus……………………………………….11

BAB I
PENDAHULUAN
4
A.    LATAR BELAKANG

Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan


pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang
yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah penyebab
obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling
sering pada neonatus.

Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak
terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal
tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara
spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses
secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang
tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat
menyebabkan dilatasi usus proksimal.

Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada
tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya
penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan
Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh
gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.

Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung di Indonesia
tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah
penduduk Indonesia 200 juta dan tingkay kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap
tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung.

Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih
banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit hisprung terjadi pada
bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat
bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.
5
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan
mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan
konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan
faktor lingkungan.

Oleh karena itu, penyakit hisprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang
dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri
anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan
colostomi.

B.     RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah meliputi :
1. Apa itu hisprung
2. Apa etiologi hisprung
4. Apa manifestasi klinik hisprung
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik hisprung
6. Bagaimana penatalaksanaan hisprung
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan hisprung

BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
( HISPRUNG )

6
1. Definisi Hisprung

Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini


merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi,
karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai
persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya
sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-
beda untuk setiap individu.

Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis
pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah, 1997 : 138).

Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi


mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 :
507).

2. Anatomi Fisiologi Hisprung

Anatomi Anorektal

7
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3
bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal
terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum
reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior.(1)

Gambar 1. Rektum dan saluran anal (anal canal). (6)

Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu
masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan
internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna
terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan.(1)

8
Gambar 2. Muskulus spinkter ani externa: pandangan sisi penrineum. (6)

Persarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis
(n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini membentuk
pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus
pudendalis mensarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak
mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus
(parasimpatis). Kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus
pelvik (saraf parasimpatis).(1)

9
Gambar 3. Saraf pada perineum (laki laki).(6)

Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :

1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal


2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ketiga-tiga


pleksus tersebut.(1)

10
Gambar 4. Pleksus autonomik intrinsik pada usus.(6)

Fungsi Saluran Anal

Pubo-rektal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas penutupan
saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan menimbulkan regangan pada
sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus )
maka diperlukan kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and
sling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat
mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan yang lain.

11
Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat. Kontinensia adalah
kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada waktu dan tempat yang diinginkan.
Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4
tahapan:

 Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum,
seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks
gastrokolik.
 Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex, yakni upaya
anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara involunter.
 Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter. Relaksasi
yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan kontraksi
spinkter itu sendiri.
 Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara volunter
dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi. (1)

12
3.      Etiologi Hisprung

Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke
dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk
berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.

Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.

Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon sigmoid
dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.

a.    Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.


b.     Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi
kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.

4.      Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala setelah bayi lahir
a.       Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)
b.      Muntah berwarna hijau
c.       Distensi abdomen, konstipasi.
d.      Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran tinja / pengeluaran gas
yang banyak.

Karena gejala tidak jelas. Gejala pada anak yang lebih besar  waktu lahir.
a.       Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir
b.      Distensi abdomen bertambah
c.       Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling
d.      Terganggu tumbang karena sering diare.
e.       Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.
f.       Perut besar dan membuncit.

13
5.      Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer


dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic
hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan
tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus
dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega
Colon ( Betz, Cecily & Sowden).

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi
dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses
terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal
terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut
melebar ( Price, S & Wilson ).

6.      Komplikasi
a.       Gawat pernapasan (akut)
b.      Enterokolitis (akut)
c.       Striktura ani (pasca bedah)
d.      Inkontinensia (jangka panjang)
a.       Obstruksi usus
b.      Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
c.       Konstipasi

7.   Pemeriksaan Diagnostik
a.      Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap and
mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
14
b.      Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah narkos.
Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
c.       Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini klhas
terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
d.      Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.
e.       Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
f.      Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
g.       Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
h.      Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan eksterna.

8.      Penatalaksanaan

Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop atau
double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali
normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut :
a.      Prosedur Duhamel : Penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya
dibelakang usus aganglionik.
b.      Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan
saluran anal yang dibatasi.
c.       Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang
bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
d.      Intervensi bedah

Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami obstruksi.
Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat dicapai dengan
prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi di dahului oleh suatu
kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua.
1)      Persiapan prabedah
a)      Lavase kolon
b)      Antibiotika
c)      Infuse intravena
d)     Tuba nasogastrik
e)      Perawatan prabedah rutin
f)       Pelaksanaan pasca bedah
15
g)      Perawatan luka kolostomi
h)     Perawatan kolostomi
i)      Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan suhu
j)    Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima. Orangtua harus
belajar bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi. Observasi apa yang perlu
dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan bagaimana memakaikan kantong
kolostomi.

ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TORITIS PADA KASUS


HISPRUNG

1.      Pengkajian
16
a.      Informasi identitas/data dasar
meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, tanggal pengkajian, pemberi
informasi.
b.     Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan
pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen,
kembung, muntah.
c.      Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir,
distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya
klien mengatasi masalah tersebut.
d.      Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan, persalinan
dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
e.       Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.
f.       Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan
rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
g.      Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita
Hirschsprung.
h.      Riwayat social
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam mempertahankan
hubungan dengan orang lain.
i.        Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
j.        Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.

Pemeriksaan Fisik
a.      Sistem integument

17
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat capilary
refil, warna kulit, edema kulit.
b.      Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
c.       Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal,
frekuensi denyut nadi / apikal.
d.      Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
e.       Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya
kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan
karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.

2.      Diagnosa Keperawatan


Pre operasi
a.       Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya
dorong.
b.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat.
c.       Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
d.      Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
Post operasi
a.       Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
b.      Nyeri b/d insisi pembedahan
c.       Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi.

3.      Intervensi Keperawatan


Pre operasi
a.      Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.

18
Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria defekasi normal, tidak
distensi abdomen.
Intervensi :
1)      Monitor cairan yang keluar dari kolostomi.
Rasional : Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana selanjutnya
2)      Pantau jumlah cairan kolostomi.
Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk penggantian cairan
3)      Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.
Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi terganggu.

b.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet sesuai
kebutuhan secara parenteal atau per oral.
Intervensi :
1)      Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
2)      Pantau pemasukan makanan selama perawatan.
Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400 kalori
3)      Pantau atau timbang berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan

c.       Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.


Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami dehidrasi, turgor
kulit normal.
Intervensi :
1)      Monitor tanda-tanda dehidrasi.
Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya
2)      Monitor cairan yang masuk dan keluar.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
3)      Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi

d.      Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.


19
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis, tidak
mengalami gangguan pola tidur.
Intervensi :
1)      Kaji terhadap tanda nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
2)      Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
3)      Kolaborsi dengan dokter pemberian obat analgesik sesuai program.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf pusat

Post operasi
a.      Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
Tujuan :memberikan perawatan perbaikan kulit setelah dilakukan operasi
1)      kaji insisi pembedahan, bengkak dan drainage.
2)      Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
3)      Oleskan krim jika perlu.

b.      Nyeri b/d insisi pembedahan


Tujuan :Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis, tidak
mengalami gangguan pola tidur.
1)      Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
2)      Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung dansentuhan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
3)      Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila dimungkinkan.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf pusat

c.      Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi.


Tujuan : pengetahuan keluarga pasien tentang cara menangani kebutuhan irigasi,
pembedahan dan perawatan kolostomi tambah adekuat.
Intervensi :
1)      Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi yang dialami perawatan di rumah dan pengobatan.

20
2)      Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan dan perhatian tentang
irigasi rectal dan perawatan ostomi.
3)      Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.
4)      Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi misalnya bagaimana
dilakukan irigasi dan kolostomi.
5)      Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan lakukan supervisi saat orang tua
melakukan perawatan ostomi.

4. Implementasi
Implementasi yang penulis laksanakan sesuai dengan klien yang di lakukan selama
2x24 jam,yaitu pada diagnosa resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake yag tidak adekuat, Kekurangan cairan tubuh berhubungan
muntah dan diare, Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi
abdomen.

5. Evaluasi

Pre operasi Hirschsprung


a.       Pola eliminasi berfungsi normal
b.      Kebutuhan nutrisi terpenuhi
c.       Kebutuhan cairan dapat terpenuhi
d.      Nyeri pada abdomen teratasi
Post operasi Hirschsprung
a.       Integritas kulit lebih baik
b.      Nyeri berkurang atau hilang
c.       Pengetahuan meningkat tentang perawatan pembedahan terutama pembedahan kolon

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
21
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik
masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan anak
dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang
mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan menimbulkan
masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus
difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk
tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara
pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi
kemungkinan yang terjadi.

B.     SARAN
Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang
penyakit hsaprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3.
Jakarta : EGC.

22
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd),


Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta :
EGC.

Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^. Jakarta : EGC

Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 . Jakarta :
FKUI .

Mansjoer , Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran .Edisi Ke-3 . Jakarta : Media Aesulapius
FKUI

23

Anda mungkin juga menyukai