Anda di halaman 1dari 43

1.

PENDAHULUAN

Dalam arti luas Farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat
proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa tersebut disebut obat, dan
lebih menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat. Karena itu
dikatakan farmakologi merupakan seni menimbang (the art of weighing). Tanpa pengetahuan farma
kologi yang baik, seorang dokter dapat merupakan sumber bencana bagi pasien karena tidak ada
obat yang aman secara murni. Hanya dengan penggunaan yang cermat, obat akan bermanfaat tanpa
efek samping tidak diinginkan yang terlalu mengganggu. Selain itu, pengetahuan mengenai efek
samping obat memampukan dokter mengenal tanda dan gejala yang disebabkan obat. Hampir tidak
ada gejala dari demam, gatal, sampal syok anafilaktik, yang tidak terjadi dengan obat. Jadi obat
selain bermanfaat dalam pengobatan penyakit, juga merupakan penyebab penyakit. Menurut suatu
survel di Amerika Serikat, sekitar 5% pasien masuk rumah sakit akibat obat. Rasio fatalitas kasus
akibat obat di rumah sakit bervariasi antara 2-12%. Efek samping obat meningkat sejalan dengan
jumlah obat yang diminum. Melihat fakta tersebut, pentingnya pengetahuan obat bagi seorang
dokter tidak dapat diragukan.

Obat didefinisikan sebagal senyawa yang di gunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis
penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya membuat seseorang infertil,
atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan.

Farmakologi sebagai ilmu berbeda dari ilmu lain secara umum pada keterkaitannya yang erat dengan
ilmu dasar maupun ilmu klinik. Sangat sulit mengerti farmakologi tanpa pengetahuan tentang
fisiologi tubuh, biokimia, dan patogenesis penyakit dan ilmu kedokteran klinik. Jadi, farmakologi
ialah ilmu yang mengintegrasikan ilmu kedokteran dasar, dan menjembatani ilmu preklinik dan ilmu
klinik. Mahasiswa yang belajar farmakologi mendapat bayangan yang lebih jelas mengenai
keterkaitan antara ilmu kedokteran dasar yang telah mereka dapat dan yang akan didapat, karena
farmakologi terkalt dengan hampir semua ilmu kedokteran lainnya termasuk ilmu gizi.

Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan Farmasi, yaitu ilmu mengenai cara membuat,
menformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat. Farmakognosi termasuk ilmu farmasi yang
menyangkut cara pengenalan tanaman dan bahan-bahan lain sebagai sumber obat dari alam. Ilmu
farmasi sejauh yang diperlukan untuk praktek dokter masuk dalam kurikulum fakultas kedokteran,
sedangkan farmakognosi tidak.

Farmakologi terutama terfokus pada 2 sub disiplin, yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik.
Farmakokinetik ialah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu absorpsi,
distribusi, biotransformasi, dan ekskresi. Subdisiplin farmakologi ini erat sekall hubungannya dengan
ilmu kimia dan biokimia. Farmakodinamik menyangkut pengaruh obat terhadap sel hidup, organ
atau makhluk, secara keseluruhan erat berhubungan dengan fisiologi, biokimia, dan patologi.
Farmakodinamik maupun farmakokinetik obat diteliti terlebih dahulu pada hewan sebelum diteliti
pada manusia dan disebut sebagai farmakologi eksperimental.

Ditinjau dari sel yang menjadi target kerja obat, kita dapat membagi obat dalam 2 kelompok besar
yaitu obat farmakodinamik dan obat kemoterapeutik. Obat farmakodinamik bekerja meningkatkan
atau menghambat fungsi suatu organ. Obat kemoterapeutik tidak bekerja pada organ tubuh tetapi
pada agen penyebab penyakit misalnya, kuman, virus, jamur, atau sel kanker, lebih terkait dengan
mikrobiologi dan parasitologi.

Farmakoterapi yang berhubungan dengan penggunaan obat di klinik sekarang telah berkembang
menjadi disiplin farmakologi klinik, yang mempelajari secara mendalam farmakodinamik dan
farmakokinetik obat pada manusia sehat maupun sakit. Farmakologi klinik ialah ilmu obat pada
manusia, secara umum lebih erat keterkaitannya dengan farmakokinetik obat. Ilmu farmakologi
klinik baru berkembang dalam beberapa dekade terakhir ini. ini berkaitan dengan kemajuan di
bidang bioanalisis dalam mendeteksi obat/zat endogen pada kadar sampai nanogram. Penelitian ini
banyak menjawab teka-teki variabilitas efek obat antar indi vidu dan ras, dan memungkinkan
digunakannya obat yang relatif lebih toksik secara lebih aman. Untuk lebih aman mempelajari
farmakologi klinik diperlukan penge tahuan farmakologi dasar dan pengetahuan klinik yang
mendalam. Farmakologi dasar yang lebih Fakaria obat dan farmako menekankan mekanisme kerja
Skankan men xinetiknya secara umum, sebagai dasar annya dalam klinik tanpa penekanan pada
peng pengguna gunaannya secara rinci, diajarkan pada mahasiswa di tingkat III, sedangkan
farmakologi klinik seyogianya diintegrasikan di bidang klinik masing-masing.

logl, yang mempelajari efek racun Toksikologl, yang dari zat kimia, mencakup yang digunakan dalam
industri, rumah tangga dan pertanian, tidak dapat dilepaskan dari farmakologi.

Dalam bab ini akan dibahas secara umum mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik, dan hal
lain yang berlaku umum. Farmakodinamik dan farmakokinetik masing-masing obat dapat ditemu kan
pada bab obat bersangkutan. Selain itu, juga akan dibahas beberapa istilah farmakologi, regu lasi
obat, dan pengembangan obat.

2. FARMAKOKINETIK

Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat.
Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni proses absorpal (A), distribusi (D), metabolisme

Wz, [08/03/2022 16:53]

(M) dan ekskresi (E). Metabolisme atau biotrans formasi, dan ekskresi bentuk utuh atau berha aktif,
merupakan proses oliminasi obat.

2.1. ABSORPSI
Absorpsi merupakan proses masuknya oba dari tempat pemberian ke dalam darah. Berjan tung pada
cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rektum),
kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang ter penting adalah cara pemberian obat per on dengan cara ini
tempat absorpsi utama adalah halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni
200 m² (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili).

Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak, karena luas
permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat,
misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena kava superior dan tidak melalul
vena porta, maka obat yang diberikan sublingual ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama
oleh hat.

Pada pemberian obat melalui rektal, misal nya untuk pasien yang tidak sadar atau muntah, hanya
50% darah dari rektum yang melalui vena porta, sehingga eliminasi lintas pertama oleh had juga
hanya 50%. Akan tetapi, absorpsi obat me lalui mukosa rektum seringkalil tidak teratur dan tidak
lengkap, dan banyak obat menyebabkan iritasi mukosa rektum.

Absorpsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier absorpsi adalah membran sel
epitel saluran cerna, yang sepert semua membran sel di tubuh kita, menpe halnya semua kan lipid
bilayer. Dengan demikian, agar dapa melintasi membran sel tersebut, molekul obal harus
mempunyai kelarutan lemak (setelah ter lebih dulu larut dalam air). Kecepatan difusi ber banding
lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat (selain dengan perbedaan kadar oba lintas
membran, yang merupakan driving force proses difusi, dan dengan luasnya area permuka an
membran tempat difusi).

Kebanyakan obat merupakan elektrolit lemah yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam air.
elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya. Derajat lonisasi obat bergantung pada
konstanta ionisasi obat (pKa) dan pada pH larutan di mana obat berada

Wz, [08/03/2022 17:01]

Asam adalah donor proton: HAHA

Konstante ionisasi

Ka
[HA]

HA

pka

=pH + log

[A]

[A]

pH

= pka + log

[HA]

Derajat fonisasi =

[HAJ

[Nonion]

barier membran (lipid)


Basa lemah adalah akseptor proton: B+H+BH'

[BH]

Derajat ionisasl -

[B]

10-p

Kedua kompartemen dalam gambar di atas: jika pHnya berbeda, maka derajat ionisasinya berbeda,
dan ini menyebabkan kadar total obatnya berbeda di kedua kompartemen tersebut. Perbeda an
distribusi akibat perbedaan pH ini disebut pH partition hypothesis. Misalnya suatu asam lemah
dengan pka = 4.4 (lihat Gambar 1-2).

Gambar 1-2 menunjukkan bahwa absorpsi asam lemah sangat baik dalam lambung per area
absorpsi, tetapi secara keseluruhan masih tetap lebih baik dalam usus halus karena luasnya area
absorpsi di usus halus dibandingkan di lambung.

Ini disebut persamaan Henderson-Hasselbaich.

Difusi pasif mengikuti hukum Fick: hanya bentuk nonion (NI) yang mempunyai kelarutan lemak yang
dapat berdifusi, sedangkan bentuk lon (1) tidak dapat berdifusi karena tidak mempunyai kelarutan
lemak.

Wz, [08/03/2022 17:02]

Di samping itu ada transporter untuk zat-zat

makanan
. Transporter oligopeptida: untuk peptida kecil.

Transporter asam amino: untuk asam-asam

amino dan obat-obat yang mirip (-dopa, metildopa) • Transporter nukleotida: untuk berbagal nukleo
tida dan obat-obat yang mirip (5-FU)

• Transporter nukleosida: untuk berbagai

nukleosida

ting

maka

(3) tubulus ginjal di membran basolateral (untuk uptake OATP, OAT & OCT) dan di membran luminal
(untuk sekresi P-gp & MRP)

(4) sawar darah otak P-gp dan MRP di membran luminal sel endotel pembuluh darah kapiler otak
untuk mengeluarkan obat hidrofobik yang masuk otak (menunjang fungsi sawar darah otak)

(5) sawar darah dengan cairan serebrospinal idem, di membran luminal sel epitel koroid

(6) sawar uri

LP-gp untuk menunjang

(7) sawar darah testes fungsi sawar


(8)

membran sel kanker: P-gp mengeluarkan obat antikanker dari sel kanker sehingga menye babkan sel
kanker tersebut resisten terhadap pengobatan

msar

marta

• Transporter glukosa untuk glukosa & mono sakarida lain

Transporter membran terdapat dalam pid bilayer dari membran sel di berbagal organ berikut:

1-2

(1) dinding usus (usus halus & usus besar): untuk absorpsi (QATP) dan ekskresi (P-gp & MRP)

(2) hati & saluran empedu di membran baso lateral atau sinuscidal (untuk uptaker: OATP OAT &
OCT) dan membran kanalıkular bilier (untuk sekres: P-gp & MRP)

Karena berbagai transporter ini (terutama P-gp juga OATP) mempunya substrat, pengham bat dan
penginduksi, maka dapat terjadi interaksi obat yang berkaitan dengan transporternya. Seba gai
contoh

Wz, [08/03/2022 17:04]

Farmakologi dan Teri


nyakan AINS), penisilin dan derivatnya (diebs dlazepam site).

(1) Kuinidin atau verapamil adalah substrat dan penghambat P-gp, sedangkan digoksin adalah.
substrat P-gp, maka pemberian bersama digoksin dengan kuinidin atau verapamil akan
meningkatkan kadar plasma digoksin, karena hambatan P-gp di usus dan ginjal.

(2) Kuinidin adalah substrat dan penghambat P-gp. jika diberikan bersama loperamid yang meru
pakan substrat P-gp maka kadar loperamid dalam otak meningkat, karena hambatan P-gp di sawar
darah otak, sehingga terjadi depresi pernapasan.

(3) Jus grapefruit, jeruk, apel adalah penghambat OATP, jika diberikan bersama feksofenadin yang
merupakan substrat OATP, maka bio availabilitas feksofenadin akan menurun karena hambatan
OATP di usus.

Dengan suntikan intramuskular atau sub kutan, obat langsung masuk interstisium jaringan otot alau
kulit → pembuluh darah kapiler →→ darah sistemik. Dinding pembuluh darah kapiler yang terdiri
dari satu lapis sel endotel memiliki celah antar sel yang cukup besar untuk melewatkan obat yang
kebanyakan mempunyai berat molekul antara 100 dan 1000. Obat yang larut lemak masuk ke dalam
darah kapiler dengan melintasi membran sel endotel secara difusi pasif. Hanya obat yang larut air
masuk darah melalui celah antar sel endotel bersama air, dengan kecepatan yang berbanding
terbalik dengan besar molekulnya. Protein dan makromolekul lain masuk darah melalui limfe.

2.2. DISTRIBUSI

Dalam darah, obat akan diikat oleh protein. plasma dengan berbagai ikatan lemah (ikatan hidrofobik,
van der Waals, hidrogen dan ionik). Ada beberapa macam protein plasma:

Albumin: mengikat obat-obat asam dan obat obat netral (misalnya steroid) serta bilirubin dan asam-
asam lemak. Albumin mempunyai 2 tempat ikatan, yakni:
Site I mengikat warfarin, fenilbutazon, fenitoin, asam valproat, tolbutamid, sulfonamid, dan bilirubin
(disebut warfarin site).

Site Il mengikat diazepam dan benzodiazepin lainnya, dan asam-asam karboksilat (keba

Asam-asam lomak mempunyai tempat yang khusus pada albumin.

a-glikoprotein (a-acid glycoprotein) mer ikat obat-obat basa CBG (corticosteroid-binding globulin) kh

mengikat kortikosteroid SSBG (sex steroid-binding globulin) Wh mengikat hormon kelamin. .

Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Kompleks obat-
protein terdisosiasi dengan sangat cepat - 20 milidetik). Obat bebas akan ke luar k jaringan (dengan
cara yang sama seperti cara masuknya, lihat di atas): ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat
depotnya, ke hati (di mana oba mengalami metabolisme menjadi metabolit yang dikeluarkan melalui
empedu atau masuk kembal ke darah), dan ke ginjal (di mana obat/ meta bolitnya diekskresi ke
dalam urin).

Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di cairan interstisial), sedangkan obat
yang larut lemak akan berdifusi melintasi membran sel dan masuk ke dalam sel, tetapi karena
perbedaan pH di dalam sel (pH= 7) dan di luar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam lebih banyak di
luar sel dan obat-obat basa lebih banyak di dalam sel.

Contoh akumulasi obat dalam jaringan adalah kuinakrin dalam hati, DDT dalam jaringan lemak, Pb
dalam tulang, digoksin dalam otot tung dan otot skelet, dan klorpromazin dalam otak

Oleh karena ikatan obat dengan protein plasma merupakan ikatan yang reversibel:

Obat + Protein Obat-Protein, maka jika obat bebas telah ke luar ke jaringan, obat yang terikat
protein akan menjadi bebas sehingga distribusi berjalan terus sampai habis.
Ikatan dengan protein plasma ini kuat untuk obat yang lipofilik dan lemah untuk obat yang hidrofilik.
Ikatan dengan protein plasma ini ter utama penting untuk obat-obat yang lipofilik agar dapat dibawa
oleh darah ke seluruh tubuh karena obat lipofilik jika tidak terikat protein akan segera berdifusi ke
luar dari pembuluh darah (melintasi membran sel endotel).

Wz, [08/03/2022 17:06]

Volume distribusi (Vd) adalah volume di mana obat terdistribusi dalam kadar plasma:

FD C

Vd - (F= bioavailabilitas; D= dosis obat; C= kadar obat dalam plasma)

Jadi Vd bukanlah volume anatomis yang sebenar nya, tapi hanya volume semu yang
menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh. Kadar plasma yang tinggi menunjukkan obat
terkonsentrasi dalam darah sehingga Vd-nya kecil. Sebaliknya kadar plasma yang kecil menunjukkan
obat tersebar luas dalam tubuh atau terakumulasi di jaringan se hingga Vd-nya besar.

Misalnya:

Vd fenilbutazon 0.1 L/kg = 5 L/50 kg, berarti

obat ini terkonsentrasi dalam darah Vd kafein 0.6 L/kg = 36 L/50 kg, berarti obat

ini tersebar dalam cairan tubuh total Vd digoksin 7 L/kg 350 L/50 kg, berarti obat .

ini terakumulasi dalam jaringan.

Sawar darah otak (blood-brain barrier) meru pakan sawar antara darah dan otak: sel-sel endo tel
pembuluh darah kapiler di otak membentuk tight-junction (tidak ada lagi celah di antara sel-sel
endotel tersebut) dan pembuluh darah kapiler ini dibalut oleh tangan-tangan astrosit otak yang
merupakan berlapis-lapis membran sel. Dengan demikian hanya obat larut baik dalam lemak yang
dapat melintasi sawar darah otak. Akan tetapi obat larut lemak yang merupakan substrat P-gp atau
MRP akan dikeluarkan oleh P-gp atau MRP yang terdapat pada membran sel endotel pembuluh.
kapiler otak (sawar darah otak). Dengan demikian P-gp menunjang fungsi sawar darah otak untuk
melindungi otak dari obat yang efeknya merugikan. Contohnya loperamid, obat ini larut lemak tapi
juga substrat P-gp maka tidak masuk otak.

Sawar uri (placental barrier) terdiri dari satu lapis sel epitel vili dan satu lapis sel endotel kapiler dari
fetus, jadi mirip sawar saluran cerna. Karena itu obat yang dapat diabsorpsi melalui pemberian oral
juga dapat masuk fetus melalui sawar uri. P. gp pada sawar uri, seperti halnya pada sawar darah
otak, juga berfungsi untuk menunjang fungsi sawar untuk melindungi fetus dari obat yang efek nya
merugikan.

Interaksi pergeseran protein. Obat-obat asam akan bersaing untuk berikatan dengan albumin di

tempat ikatan yang sama (antar obat-obat yang mengikat site I atau antar obat-obat yang mengikat
site II), dan obat-obat basa akan bersaing untuk berikatan dengan a-glikoprotein, Karena tempat
ikatan pada protein plasma tersebut terbatas, maka obat yang pada dosis terapi telah menye babkan
jenuhnya ikatan akan menggeser obat lain yang terikat pada tempat ikatan yang sama sehingga obat
yang tergeser ini akan lebih banyak yang bebas. Selanjutnya obat yang bebas ini akan ke luar dari
pembuluh darah dan menimbulkan efek farmakologik atau dieliminasi dari tubuh. Inter aksi
pergeseran protein akan bermakna secara klinik jika obat yang digeser memenuhi 3 syarat berikut

Ikatan protein tinggi 85 %, sehingga kadar obat bebas rendah, akibatnya pergeseran sedikit saja
sudah meningkatkan jumlah obat bebas secara bermakna (puluhan persen).

Volume distribusi kecil (< 0.15 L/kg), sehingga peningkatan jumlah obat bebas tidak habis
terdistribusi (yang terjadi jika Vd-nya luas) tapi memberikan peningkatan kadar plasma yang cukup
bermakna. Obat-obat yang mempunyai Vd yang kecil adalah obat-obat asam karena penyebarannya
lebih banyak di luar sel (lihat di atas).

. Margin of safety (batas keamanan) sempit, sehingga peningkatan kadar plasma yang relatif kecil
sudah bermakna secara klinik.

Yang memenuhi syarat sebagai obat peng geser adalah obat-obat yang pada kadar terapi telah
menjenuhkan tempat ikatannya pada protein, misalnya fenilbutazon, asam valproat dan sulfona mid
untuk albumin site 1, ibuprofen dan ketoprofen untuk albumin site II, sedangkan asam salisilat dan
naproksen untuk albumin site I maupun site II.

Sebagai contoh: fenilbutazon adalah obat asam yang pada dosis terapi telah menjenuhkan ikatan
pada site I albumin plasma. Jika diberikan bersama warfarin, yang juga obat asam dan juga terikat
pada sife 1 albumin plasma (99%), maka fenilbutazon akan menggeser warfarin dari ikatan nya
dengan albumin, dan warfarin bebas yang meningkat (Vd 0.14 L/kg) akan menimbulkan per darahan.

Wz, [08/03/2022 17:06]

Fenilbutazon juga akan menggeser tolbutamid dari ikatannya dengan albumin plasma (96%), dan
tolbutamid bebas yang meningkat (Vd 0.12 L/kg) akan menimbulkan hipoglikemia.

Wz, [08/03/2022 17:09]

2.3. METABOLISME BIOTRANSFORMASI

Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom)
dan di cytosol Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik) adalah: dinding usus, ginjal, paru,
darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (lanut lemak) menjadi polar (larut
air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu (lihat di bawah). Dengan perubahan ini obat
aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya
prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik.

Reaksi metabolisme terdiri dari reaksi fase 1 dan reaksi fase II. Reaksi fase 1 terdiri dari oksi dasi,
reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih
aktif atau kurang aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi dengan sub strat
endogen: asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi sangat
polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif Obal dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi
fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase 1, obat dibubuhi
gugus polar seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfhidril, dsb, untuk dapat bereaksi
dengan substrat endogen pada reaksi Fase II. Karena itu obat yang sudah mempunyal gugus-gugus
tersebut dapat langsung bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat
juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase il lebih
dulu.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (CYP), yang
disebut juga enzim mono-oksigenase, atau MFO (mixed-function oxidase), dalam endoplasmic
reticulum (mikrosom) hati. Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif pada manusia, tetapi hanya
beberapa yang penting untuk metabolisme obat. Enzim-enzim tersebut (-70% dari total CYP dalam
hati) adalah:

CYP3A4/5 (-30% dari total CYP dalam hati): memetabolisme -50% obat untuk manusia, jadi
merupakan enzim metabolisme yang terpenting. Isoenzim ini juga terdapat di epitel usus halus (-70%
dari total CYP di usus halus) dan di ginjal.

CYP2D6 (-2-4% dari total CYP dalam ha merupakan CYP yang pertama dikenal dengan nama
debrisoquine hydroxylase, memetabe lisme-15-25% obat.

CYP2C (-20%): CYP2C8/9

dan CYP2C1 (CYP2C8/9 memetabolisme -15% obat) CYP1A1/2 (-12-13%): dulu disebut cytochrome
P448, memetabolisme -5% obat .

CYP2E1 (-6-7%), memetabolisme -2% obat CYP yang terdapat di dinding usus -20-50% de CYP dalam
hati.

Selanjutnya, reaksi fase il yang terpenting adalah glukuronidasi melalui enzim UDP-glukuron
transferase (UGT), yang terutama terjadi dalam mikrosom hati, tetapi juga di jaringan ekstrahepatk
(usus halus, ginjal, paru, kulit). Reaksi konyugasi yang lain (asetilasi, sulfasi, konyugasi dengan glu
tation) terjadi dalam sitosol.

Jika enzim metabolisme mengalami kejenuh an pada kisaran dosis terapi, maka pada pening katan
dosis obat akan terjadi lonjakan kadar obat dalam plasma, yang disebut farmakokinetik non linear.
Sebagai contoh fenitoin untuk epileps, dan aspirin sebagai antiinflamasi.
Interaksi dalam metabolisme obat berupa Induksi atau inhibisi enzim metabolisme, terutama enzim
CYPI Induksi berarti peningkatan sintesis enzim metabolisme pada tingkat transkripsi se hingga
terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersang kutan,
akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat tersebut, berarti terjadi toleransi farmako kinetik.
Karena melibatkan sintesis enzim maka diperlukan waktu pajanan beberapa hari (3 han sampai 1
minggu) sebelum dicapai efek yang mak simal. Induksi dialami oleh semua enzim mik somal, jadi
enzim CYP (kecuali 2D6) dan UGT

Wz, [08/03/2022 17:09]

Inhibisi enzim metabolisme: hambatan ter jadi secara langsung, dengan akibat peningkatan kadar
obat yang menjadi substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung Untuk men cegah
terjadinya toksisitas, diperlukan penurunan dosis ober yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh
dib ikan bersama penghambatnya (kontra ind asi) a akibatnya membahayakan. Hambatan pada un.
nnya bersifat kompetitif (karena me rupakan substrat dari enzim yang sama), tetapi dapat juga
bersifat nonkompetitif (bukan substrat

Wz, [08/03/2022 17:10]

dari enzim yang bersangkutan atau ikatannya ireversibel),

Contoh substrat, penghambat dan peng induksi berbagai enzim CYP tersebut dapat dilihat pada
Tabel 1-2.

Telah disebutkan bahwa CYP3A4/5 merupa kan CYP yang paling banyak di hati maupun di usus halus,
dan memetabolisme sebagian besar obat di dunia, maka berperan sangat penting dalam
metabolisme dan eliminasi lintas pertama berbagai obat. Dengan demikian induksi dan inhi bisinya
membawa dampak yang besar dalam menurunkan atau meningkatkan efek dari banyak obat akibat
penurunan atau peningkatan bioavai labilitas dan kadarnya dalam darah.

Sebagai contoh terfenadin, astemizol, dan cisaprid dikontraindikasikan dengan ketokonazol,


itrakonazol, eritromisin dan klaritromisin karena ke 3 obat yang terdahulu adalah substrat dari
CYP3A4/5 dan ke-4 obat yang belakangan adalah penghambat yang kuat dari enzim yang sama.
Peningkatan kadar ke-3 obat yang terdahulu akibat hambatan metabolismenya menyebabkan
perpan jangan interval QTc pada EKG, yang menimbulkan aritmia jantung yang disebut torsades de
pointes yang dapat berakibat fatal. Akibatnya ke-3 obat tersebut telah ditarik dari peredaran di
banyak negara atau bahkan di seluruh dunia.
Di samping enzim-enzim mikrosomal ter sebut di atas, ada beberapa enzim penting yang terdapat
dalam sitosol hati, misalnya sulfotrans ferase (SULT), glutation-S-transferase (GST), metilftransferase
(MT), dan N-asetiltransferase (NAT). NAT ada 2 macam, yakni NAT1 dan NAT2. Berbeda dengan hasil
konyugasi lainnya, hasil asetilasi menjadi kurang larut air sehingga dapat menimbulkan kristaluria
jika aliran urinnya kurang. SULT juga mengalami induksi.

Pollmorfisme genetik ditemukan pada enzim CYP2D6, CYP2C9, CYP2C19 dan NAT2. Populasi terbagi
dalam 2 atau lebih subpopulasi dengan aktivitas enzim yang berbeda. Dalam hal enzim CYP, genotip
populasi terbagi menjadi extensive metabolizers (EM) dan poor metabolizers (PM), sedangkan untuk
enzim NAT2, rapid acetylators (RA) dan slow acetylators (SA). Frekuensi PM pada keturunan Asia
Tenggara untuk enzim

CYP2D6 hanya sekitar 1-2%, untuk enzim CYP2C19 sekitar 15-25%, sedangkan untuk enzim NAT2
antara 5-10%. Frekuensi PM pada populasi dunia untuk enzim CYP2C9 antara 2-10%. Bagi mereka
dibutuhkan dosis yang jauh lebih rendah. untuk obat-obat yang merupakan substrat dari enzim yang
bersangkutan. Penghambat enzim yang poten dapat mengubah seseorang dengan genotip EM
menjadi fenotip PM. Substrat enzim NAT2 dapat dilihat di Tabel 1-2.

Metabolisme obat akan terganggu pada pasien penyakit hati seperti sirosis, hati berlemak dan
kanker hati. Pada sirosis yang parah, meta bolisme obat berkurang antara 30-50%, ini dapat
meningkatkan bioavailabilitas 2-4 kali pada obat obat yang mengalami metabolisme lintas pertama.
Enzim-enzim CYP lebih terpengaruh dibanding reaksi-reaksi fase II seperti glukuronidasi. Meta
bolisme obat juga terganggu oleh adanya penyakit yang mengurangi perfusi hati seperti gagal
jantung dan syok (gagal jantung juga mengurangi volume distribusi obat).

Enzim-enzim metabolisme fase I dan fase II mencapai kematangan setelah tahun pertama
kehidupan, kecuali enzim UGT untuk bilirubin (UGT1A1) mencapai nilai dewasa pada dekade kedua
kehidupan. Enzim UGT1A1 ini masih sangat defisien pada bayi prematur dan bayi baru lahir,
sehingga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia dan kemikterus (terutama jika mendapat sulfa)
atau gray syndrome jika mendapat kloramfenikol.

Ternyata CYP3A4, P-gp dan OATP sama sama terdapat di organ-organ untuk disposisi obat. yakni
dinding usus, hati dan saluran empedu, serta tubulus ginjal. Juga banyak obat merupakan substrat
atau penghambat dari ke-3 protein terse but. Aktivitas CYP3A4 dan P-gp akan menurun kan kadar
obat, sedangkan aktivitas OATP akan meningkatkan kadar obat yang sama. Dengan demikian hasil
akhirnya bergantung pada protein mana yang dominan (yang bervariasi antar indivi dual).
Sebagai contoh, obat-obat berikut merupakan substrat dan penghambat CYP3A4 dan P-gp:

diltiazem, verapamil

siklosporin, kortisol

ritonavir, nelfinavir

Wz, [08/03/2022 17:12]

2.4. EKSKRESI

Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh
maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara
eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus,
sekresi aktif di tubulus proksimal dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal meng alami
kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun.

Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafil trat, yakni plasma minus protein, jadi semua obat bebas
akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah. Sekresi aktif
dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-glikoprotein (P-
gp) dan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas
berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan konyugat (mis. penisilin, probe nesid, glukuronat, sulfat
dan konyugat glutation). dan P-gp untuk kation organik dan zat netral (mis. kuinidin, digoksin).
Dengan demikian terjadi kom petisi antara asam-asam organik maupun antara basa-basa organik
untuk disekresi. Hal ini diman faatkan untuk pengobatan gonorea dengan derivat penisilin. Untuk
memperpanjang kerjanya, ampi silin dosis tunggal diberikan bersama probenesid (probenesid akan
menghambat sekresi aktif ampi silin di tubulus ginjal karena berkompetisi untuk transporter
membran yang sama, MRP).

Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubu lus untuk bentuk nonion obat yang larut lemak. Oleh
karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mem percepat
ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa. Obat asam yang relatif kuat (pKa s 2)
dan obat basa yang relatif kuat (pka 2 12, misalnya guanetidin) terionisasi sem purna pada pH
ekstrim urin akibat asidifikasi dan alkalinisasi paksa (4,5- 7,5). Obat asam yang sangat lemah (pKa > 8,
misalnya fenitoin), dan obat basa yang sangat lemah (pka 6, misalnya propoksifen) tidak terionisasi
sama sekali pada semua pH urin. Hanya obat asam dengan pka antara 3,0 dan 7,5 dan obat basa
dengan pka antara 6 dan 12, yang dapat dipengaruhi oleh pH urin. Misalnya pada keracunan
fenobarbital

(asam, pka = 7,2) atau salisilat (asam, pKa = 3,0) diberikan NaHCO3 untuk membasakan urin agai
ionisasi meningkat sehingga bentuk nonion yang akan direabsorpsi akan berkurang dan bentuk ion
yang akan diekskresi meningkat. Demikian juga pada keracunan amfetamin (basa, pka = 9,8)
diberikan NH4Cl untuk meningkatkan ekskresinya. Di tubulus distal juga terdapat protein transporter
yang ber fungsi untuk reabsorpsi aktif dari lumen tubulus kembali ke dalam darah (untuk obat-obat
dan zat zat endogen tertentu).

Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Lain halnya dengan
pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung, pengurangan fungsi ginjal dapat dihitung
berdasarkan pengurangan klirens kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis obat pada
gangguan fungsi ginjal dapat dihitung (lihat Bab 55: Farmako kinetik Klinik).

Ekskresi obat yang kedua penting adalah me lalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses.
Transporter membran P-gp dan MRP ter dapat di membran kanalikulus sel hati dan men sekresi aktif
obat-obat dan metabolit ke dalam empedu dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion
organik dan konyugat (glukuronat dan konyugat lain), dan P-gp untuk kation organik, steroid,
kolesterol dan garam empedu. P-gp dan MRP juga terdapat di membran sel usus, maka sekresi
langsung obat dan metabolit dari darah ke lumen usus juga terjadi.

Obat dan metabolit yang larut lemak dapat direabsorpsi kembali ke dalam tubuh dari lumen usus.
Metabolit dalam bentuk glukuronat dapat dipecah dulu oleh enzim glukuronidase yang di hasilkan
oleh flora usus menjadi bentuk obat awal nya (parent compound) yang mudah diabsorpsi kembali.

Wz, [08/03/2022 17:12]

Akan tetapi, bentuk konyugat juga dapat langsung diabsorpsi melalui transporter membran OATP di
dinding usus, dan baru dipecah dalam darah oleh enzim esterase. Siklus enterohepatik ini dapat
memperpanjang efek obat, misalnya estrogen dalam kontraseptif oral.

Ekskresi melalui paru terutama untuk elimi nasi gas anestetik umum.
Ekskresi dalam ASI, saliva, keringat, dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi ini
bergantung terutama pada difusi pasif dari bentuk nonion yang larut lemak melalui sel epitel
kelenjar. dan pada pH. Ekskresi dalam ASI meskipun sedikit,

Wz, [08/03/2022 17:23]

penting artinya karena dapat menimbulkan efek samping pada bayi yang menyusu pada ibunya. ASI
lebih asam daripada plasma, maka lebih banyak obat-obat basa dan lebih sedikit obat-obat asam
terdapat dalam ASI daripada dalam plasma. Ekskresi dalam saliva: kadar obat dalam saliva sama
dengan kadar obat bebas dalam plasma, maka saliva dapat digunakan untuk mengukur kadar obat
jika sukar untuk memperoleh darah. Ekskresi ke rambut dan kulit: mempunyai kepentingan forensik.

3. FARMAKODINAMIK

Farmakodinamik ialah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat,
serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek
utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum
efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi
rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

3.1. MEKANISME KERJA OBAT

Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptomya pada sel organisme.
Interaksi obat dengan reseptomya ini mencetuskan biokimiawi dan fisiologi yang meru pakan
respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsio nal;
hal ini mencakup 2 konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh.
Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang.
Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi
sekelompok reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis untuk ligand endogen (hormon,
neurotransmiter). Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, obat
yang tidak mem punyai aktivitas intrinsik sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja
suatu agonis disebut antagonis. Di, samping itu, ada obat yang jika berikatan dengan reseptor
fisiologik akan me nimbulkan efek intrinsik yang berlawanan dengan efek agonis, yang disebut
agonis negatif.

3.2. RESEPTOR OBAT


SIFAT KIMIA. Protein merupakan reseptor obat y paling penting (misalnya reseptor fisiologis, as
kolinesterase, Na, K-ATPase, tubulin, dsb). Asam obat nukleat juga dapat merupakan reseptor obat
yang penting, misalnya untuk sitostatik. Ikatan reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidro
fobik, van der Walls, atau kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran berbagai ikatan di atas
Perlu diperhatikan bahwa ikatan kovalen merup kan ikatan yang kuat sehingga lama kerja ohan
seringkali, tetapi tidak selalu, panjang. Walaupun demikian, ikatan nonkovalen yang afinitasnya
tinggi juga dapat bersifat permanen. yang

HUBUNGAN STRUKTUR-AKTIVITAS. Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afini tasnya
terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat misalnya
perubahan stereoisomer, dapat menim bulkan perubahan besar dalam sifat farmakologi nya.
Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembang an obat
baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan
tertentu.

RESEPTOR FISIOLOGIK. Telah disebutkan bahwa reseptor obat adalah makromolekul seluler tempat
obat terikat untuk menimbulkan efeknya. Sedangkan reseptor fisiologik adalah protein seluler yang
se cara normal berfungsi sebagai reseptor bagi ligand endogen, terutama hormon, neurotransmiter,
growth factor dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliput pengikatan ligand yang sesual (oleh ligand
binding domain) dan penghantaran sinyal (oleh effector domain) yang dapat secara langsung
menimbulkan efek intrasel atau secara tidak langsung memula sintesis atau penglepasan molekul
intrasel lan yang dikenal sebagai second messenger.

Wz, [08/03/2022 17:23]

Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor ber interaksi dengan protein seluler yang berhubungan
erat, membentuk sistem reseptor-efektor, sebelum menimbulkan efeknya. Contohnya, sistem
adenilat siklase: reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase, yakni efektor yang mensintesis CAMP
sebagai second messenger. Dalam sistem ini protein G-lah yang ber fungsi sebagai perantara
reseptor dengan enzim tersebut. Terdapat 2 macam protein G. yang salu berfungsi dalam
penghantaran (G₁), yang lain ber fungsi dalam penghambatan (G) sinyal. Berikut ini akan dibahas
berbagai reseptor fisiologik tersebut.

Wz, [08/03/2022 17:29]

3.3. TRANSMISI SINYAL BIOLOGIS


Insulin

Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler
(extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik.
Sistem hantaran ini dimulai dengan penempatan hormon atau neurotransmiter pada reseptor yang
terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma. Saat ini dikenal 5 jenis reseptor fisiologik. Empat
dari reseptor ini terdapat di permukaan sel, sedangkan satu terdapat dalam sitoplasma. Dari 4
reseptor di permukaan sel, satu reseptor menerus kan sinyal yang disampaikan ligandnya dari per
mukaan sel ke dalam sitoplasma dan inti sel.

Reseptor yang terdapat di permukaaan sel terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim, kanal ion dan
G-protein coupled receptor(G-PCR). Reseptor bentuk enzim terdiri atas 2 jenis, pertama yang
menimbulkan fosforilasi protein efektor yang me rupakan bagian reseptor tersebut pada membran
sel bagian dalam, berupa tirosin kinase, tirosin fosfa tase, serin kinase atau guanilil kinase. Ligand
endogen untuk reseptor ini antara lain insulin, epidermal growth factor (EGF), platelet-derived
growth factor, atrial natriuretic factor (ANF), transforming growth factor-beta (TGF), dan lain-lain.

Gambar 1-3. Reseptor enzim

Reseptor enzim melangsungkan sinyal yang dihantarkan oleh hormon-hormon trofik misalnya
transforming growth factor-beta (TFGB), epidermal growth factor (EGF), platelet-derived growth
factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), Struktur reseptor secara umum terbagi 3. Bagian
pertama tempat ikatan ligand yang terdapat di permukaan sel. Bagian kedua adalah tempat katalitik
yang berfungsi sebagai enzim (kinase, fosforilase, atau siklase). Kedua bagian ini dihubungkan oleh
suatu rantal peptida yang hidrofob transmembran. Apabila reseptor ini berikatan dengan ligandnya,
maka pesan ini disampaikan ke bagian enzimatik, sehingga terjadi peristiwa biokimia selanjutnya
(misalnya fosforilasi)

888 8888 181 19898

JAK protein

STAT protein
Nukleus

Jumlah transkripsi gen

Gambar 1-4. Reseptor sitokin

Reseptor sitokin mempunyai ligand berupa peptida (insulin, interferon, entropoetin, hormon
pertumbuhan dll). Cara kerja reseptor ini mirip dengan reseptor enzim. Bedanya protein tirosin
kinase (Janus-kinase/JAK) terpisah dari reseptor tersebut. Apabila reseptor ditempati ligandnya,
maka terjadi fosforilasi protein JAK. Selanjutnya pesan biokimia ini di sampaikan kepada protein
STAT (signal transducers and activators of transcription). Protein STAT ini akan mengalami fosforilasi
oleh protein JAK, selanjutnya masuk ke dalam nukleus untuk mengatur transkripsi gen tertentu.

Reseptor bentuk enzim jenis ke-2 adalah reseptor sitokin yang mempunyai ligand growth hormone,
eritropoeitin, interferon dan ligand lain yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi. Pada jenis
reseptor ini, aktivitas fosforilasi dilangsungkan lewat protein kinase lain (Janus-kinase, JAK) yang
terikat secara nonkovalen pada reseptor tersebut. Protein JAK ini akan menimbulkan fosforilasi
protein STAT (signal transducers and activation of trans cription) dan selanjutnya protein STAT akan
masuk ke nukleus untuk mengatur transkripsi gen tertentu.

Sejumlah reseptor untuk neurotransmiter ter tentu membentuk kanal ion selektif di membran
plasma dan menyampaikan sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau
komposisi ion. Contoh kelompok ini ialah reseptor nikotinik, reseptor untuk gama-aminobutirat tipe
A, glutamat, aspartat, dan glisin. Reseptor ini merupa kan protein multi-subunit yang rantainya
menem bus membran beberapa kali membentuk kanal ion. Bagaimana ikatan suatu transmitor
dengan ujung

Wz, [08/03/2022 17:30]

3.3. TRANSMISI SINYAL BIOLOGIS Penghantaran sinyal biologis lalah proses yang menyebabkan suatu
substansi ekstraseluler

Insulin O
(extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik.
Sistem hantaran ini dimulai dengan penempatan hormon atau neurotransmiter pada reseptor yang
terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma.

Saat ini dikenal 5 jenis reseptor fisiologik. Empat dari reseptor ini terdapat di permukaan sel,
sedangkan satu terdapat dalam sitoplasma. Dari 4 reseptor di permukaan sel, satu reseptor menerus
kan sinyal yang disampaikan ligandnya dari per mukaan sel ke dalam sitoplasma dan inti sel.

Reseptor yang terdapat di permukaaan sel terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim, kanal ion dan
G-protein coupled receptor(G-PCR). Reseptor bentuk enzim terdiri atas 2 jenis, pertama yang
menimbulkan fosforilasi protein efektor yang me rupakan bagian reseptor tersebut pada membran
sel bagian dalam, berupa tirosin kinase, tirosin fosfa tase, serin kinase atau guanilil kinase. Ligand
endogen untuk reseptor ini antara lain insulin, epidermal growth factor (EGF), platelet-derived
growth factor, atrial natriuretic factor (ANF), transforming growth factor-beta (TGF), dan lain-lain.

JAK protein

STAT protein

Nukleus

Jumlah transkripsi gen

Gambar 1-4. Reseptor sitokin

Reseptor sitokin mempunyai ligand berupa peptida (insulin, interferon, eritropoetin, hormon
pertumbuhan dil). Cara kerja reseptor ini mirip dengan reseptor enzim. Bedanya protein tirosin
kinase (Janus-kinase/JAK) terpisah dari reseptor tersebut. Apabila reseptor ditempati ligandnya,
maka terjadi fosforilasi protein JAK. Selanjutnya pesan biokimia ini di sampaikan kepada protein
STAT (signal transducers and activators of transcription). Protein STAT ini akan mengalami fosforilasi
oleh protein JAK, selanjutnya masuk ke dalami nukleus untuk mengatur transkripsi gen tertentu.
Reseptor bentuk enzim jenis ke-2 adalah reseptor sitokin yang mempunyai ligand growth hormone,
eritropoeitin, interferon dan ligand lain yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi. Pada jenis
reseptor ini, aktivitas fosforilasi dilangsungkan lewat protein kinase lain (Janus-kinase, JAK) yang
terikat secara nonkovalen pada reseptor tersebut. Protein JAK ini akan menimbulkan fosforilasi
protein STAT (signal transducers and activation of trans cription) dan selanjutnya protein STAT akan
masuk. ke nukleus untuk mengatur transkripsi gen tertentu.

Gambar 1-3. Reseptor enzim

Reseptor enzim melangsungkan sinyal yang dihantarkan oleh hormon-hormon trofik misalnya
transforming growth factor-beta (TFGB), epidermal growth factor (EGF), platelet-derived growth
factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF). Struktur reseptor secara umum terbagi 3. Bagian
pertama tempat ikatan ligand yang terdapat di permukaan sel. Bagian kedua adalah tempat katalitik
yang berfungsi sebagai enzim (kinase, fosforilase, atau siklase). Kedua bagian ini dihubungkan oleh
suatu rantai peptida yang hidrofob transmembran. Apabila reseptor ini berikatan dengan ligandnya,
maka pesan ini disampaikan ke bagian enzimatik, sehingga terjadi peristiwa biokimia selanjutnya
(misalnya fosforitasi)

Sejumlah reseptor untuk neurotransmiter ter tentu membentuk kanal ion selektif di membran
plasma dan menyampaikan sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau
komposisi ion. Contoh kelompok ini ialah reseptor nikotinik, reseptor untuk gama-aminobutirat tipe
A, glutamat, aspartat, dan glisin. Reseptor ini merupa kan protein multi-subunit yang rantainya
menem bus membran beberapa kali membentuk kanal ion. Bagaimana ikatan suatu transmitor
dengan ujung

Wz, [08/03/2022 17:32]

kanal yang terdapat di bagian ekstrasel menyebab kan kanal terbuka, belum diketahui.

lon (Na, K, Ca, Cr)

ARA

Gambar 1-5. Reseptor kanal ion


Ligand endogen untuk reseptor kanal ion merupakan transmitor sinaps yang menyampaikan
pesannya dengan mengubah membran pontensial atau komposisi ion trans membran. Ligand yang
termasuk di sini adalah asetil kolin, asam gama aminobutirat, asam amino eksitasi (glisin, aspartat,
glutamat, dll), serotonin. Interaksi antara ligand dengan reseptor kanal ion akan menyebabkan ter
bukanya kanal sehingga ion tertentu masuk ke dalam sel, dan menimbulkan efek fisiologik.
Terikatnya asetilkolin pada reseptor kolinergik menyebabkan masuknya ion Na+ dalam jumlah besar
ke dalam sel, sehingga terjadi depolarisasi membran yang merupakan penghantaran sinyal melalui
sinaps.

Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja mengatur protein efektor tertentu dengan
perantaraan sekelompok GTP binding protein yang dikenal sebagai protein G. Yang termasuk
kelompok ini ialah reseptor untuk amin biogenik, eikosanoid, dan hormon peptida lainnya. Reseptor
ini bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada protein G spesifik yang selanjutnya mengatur akti
vitas efektor-efektor spesifik misalnya adenila siklase, fosfolipase A2 dan C, kanal Ca²*, K" atau Na,
dan beberapa protein yang berfungsi dalam transportasi. Protein G merupakan kompleks hete
rotrimerik yang terdiri atas 3 subunit (a, B dan y) Jika agonis menempati reseptor ini, maka terjadi
disosiasi antara subunita dengan subunit ß dany. Suatu sel dapat mempunyai 5 atau lebih protein G
yang masing-masing dapat memberikan respons terhadap beberapa reseptor yang berbeda dan
mengatur beberapa efektor yang berbeda pula.

Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma, merupakan protein terlarut pengikat DNA (soluble DNA-
binding protein) yang mengatur transkripsi gen gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hormon
yang sesuai akan meningkatkan sintesis protein tertentu.

Wz, [08/03/2022 17:36]

penglepasan histamin, dan sebagainya. Kadar Ca² sitoplasma diatur oleh kanal Ca", ATP-ase yang
terdapat di membran plasma, dan depot Ca intra sel (misalnya retikulum sarkoplasmik). Kanal Ca² di
membran sel dapat diatur oleh depolarisasi, interaksi dengan G.. fosforilasi oleh c-AMP depen dent
protein kinase, atau oleh K* dan Ca²*

Nukleus

Transkripsi gen

Gambar 1-7. Reseptor faktor transkripsi


Sejumlah ligand (hormon steroid, vitamin A, vitamin D, hormon tiroid), mempunyai reseptor yang
terdapat dalam sitoplasma. Ligand ini menembus membran plasma, berikatan dengan reseptor dan
menstimulasi transkripsi gen tertentu.

Second messenger sitoplasma. Penghantar an sinyal biologis dalam sitoplasma dilangsungkan


dengan kerja second messenger antara lain berupa siklik-AMP (CAMP), ion Ca, 1,4,5-inositol trifosfat
(IP3), diasilgliserol (DAG), dan NO. Substansi ini me menuhi kriteria sebagai second messenger yaitu
diproduksi dengan sangat cepat, bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal
eksternal nya tidak ada, mengalami penyingkiran secara spesifik serta mengalami daur ulang.

Siklik-AMP (CAMP) ialah second messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini dihasil kan
melalui stimulasi adenilat siklase sebagai res pons terhadap aktivasi bermacam-macam reseptor
(misalnya reseptor adrenergik). Stimulasi adenilat siklase dilangsungkan lewat protein G, dan inhibisi
nya lewat protein G (lihat Gambar 1-8). Adenilat siklase juga dapat distimulasi oleh Ca (terutama
pada neuron), toksin kolera, atau ion fluorida (F).

Siklik-AMP berfungsi mengaktifkan CAMP dependent protein kinase (protein kinase A) yang
mengatur faal protein intrasel dengan cara fosfori lasi. Siklik-AMP didegradasi dengan cara hidrolisis
yang dikatalisis oleh fosfodiesterase menjadi 5-AMP yang bukan suatu second messenger.
Fosfodieste rase diaktifkan oleh Ca² dan kalmodulin, atau oleh CAMP sendiri. Siklik-AMP juga
dikeluarkan dari dalam sel melalui transport aktif.

lon Ca sitoplasma merupakan second messenger lain yang berfungsi dalam aktivasi be berapa jenis
enzim (misalnya fosfolipase), meng giatkan aparat kontraktil sel otot, mencetuskan

Inositol triphosphate (IP) dan diasilgli serol (DAG), merupakan second messenger pada transmisi
sinyal di a adrenoseptor, reseptor vaso presin, asetilkolin, histamin, platelet-derived growth factor,
dan sebagainya. Stimulasi adrenoseptor a (dan beberapa reseptor lain) meningkatkan kadar Ca²*
intrasel dengan beberapa cara. Salah satu mekanisme yang paling diterima saat ini ialah bahwa
akibat pengikatan agonis pada reseptor ter jadi hidrolisis fosfatidil inositol 4,5-bifosfat (PIP2) yang
terdapat di membran sel oleh fosfolipase C (PLC), sehingga terbentuk IP3 dan DAG (Gambar 1-9).
Kelompok reseptor yang melangsungkan sinyal biologis dengan perantaraan IP3 dan DAG sebagai
second messenger disebut juga sebagai Ca-mobilizing receptors. Sistem ini dapat berhu bungan
dengan sintesis prostaglandin; di sini DAG mengalami hidrolisis lebih lanjut oleh fosfolipase A2 yang
diaktifkan oleh meningkatnya kadar Ca²* Seperti juga second messenger yang lain, setelah respons
biologis terjadi maka IP3 dan DAG meng alami metabolisme di bawah pengaruh kinase tertentu.
NO (nitric oxide) berperan dalam pengaturan dalam sistem kardiovaskuler, imunologi dan susunan
saraf. Di samping sebagai perantara dalam fungsi sel normal, NO juga berperan dalam sejumlah
proses patologis seperti syok septik, hipertensi, stroke dan penyakit neurodegeneratif. Pada sistem
vaskuler NO berperan menstimulasi guanilil siklase untuk memproduksi cGMP yang merupakan
vasodilator.

PENGATURAN FUNGSI RESEPTOR. Reseptor tidak hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologi dan
biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatik lain. Bila suatu sel
dirangsang oleh agonisnya secara terus menerus maka akan terjadi desensitisasi (refrakterisasi atau
down regulation) yang menyebabkan efek pe rangsangan selanjutnya oleh kadar obat yang sama
berkurang atau menghilang (lihat Bab efedrin).

Wz, [08/03/2022 17:36]

Sebaliknya bila rangsangan pada reseptor ber kurang secara kronik, misalnya pada pemberian B
bloker jangka panjang, seringkali terjadi hipereak tivitas karena supersensitivitas terhadap agonis.

Wz, [08/03/2022 17:37]

3.4. INTERAKSI OBAT-RESEPTOR

Ikatan antara obat dengan reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen,
hidrofobik, van der Waals), mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.

Jika Ko= [D], maka :

Emax [D] [D] + [D] 1 2 E = Emax

berarti 50% dari reseptor diduduki oleh obat.

HUBUNGAN KADAR/DOSIS-INTENSITAS EFEK

D
(Obat)

k₁

R (Reseptor)

K₂

DR→→→ E

(Efek)

Menurut teori pendudukan reseptor (recep tor occupancy), intensitas efek obat berbanding lurus
dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitas efek mencapai maksimal jika
seluruh reseptor diduduki oleh obat. Oleh karena interaksi obat-reseptor ini analog dengan interaksi
substrat-enzim, maka di sini berlaku per samaan Michaelis-Menten:

E=

Emax [D] Ko + [D]

E = intensitas efek obat

Emax = efek maksimal

[D] = kadar obat bebas


k₂

k₁

Ko

=konstanta disosiasi

kompleks obat reseptor

Hubungan antara kadar atau dosis obat [D] dengan besarnya efek [E] terlihat sebagai kurva dosis-
intensitas efek (graded dose-effect curve = DEC) yang berbentuk hiperbola (Gambar 1-10A). Jika
dosis dalam log, maka hubungan antara log D dengan besarnya efek E terlihat sebagai kurva log
dosis-intensitas efek (log DEC) yang berbentuk sigmoid (Gambar 1-10B). Ini hanya berlaku untuk satu
efek. Jika efek yang diamati merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC-nya dapat
bermacam macam bentuknya. Tetapi untuk masing-masing efek tersebut, log DEC umumnya
berbentuk sigmoid.

Log DEC lebih sering digunakan karena men cakup kisaran dosis yang luas dan mempunyai bagian
yang linear, yakni pada besar efek = 16-84% (=50% ± 1 SD), sehingga lebih mudah untuk mem
bandingkan beberapa DEC.

1/Ko menunjukkan afinitas obat terhadap reseptor, artinya kemampuan obat untuk berikatan
dengan reseptornya (kemampuan obat untuk mem bentuk kompleks obat-reseptor). Jadi makin
besar Ko (= dosis yang menimbulkan efek maksimal), makin kecil afinitas obat terhadap reseptornya.
Emax menunjukkan aktivitas intrinsik atau efekti vitas obat, yakni kemampuan intrinsik kompleks
obat-reseptor untuk menimbulkan aktivitas/efek farmakologik. Gambar 1-11 akan memperjelas arti
afinitas dan aktivitas intrinsik.

Wz, [08/03/2022 17:40]


HUBUNGAN DOSIS OBAT-PERSEN RESPONSIF

Potensi menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh (1) kadar
obat yang mencapai reseptor, yang tergan tung dari sifat-sifat farmakokinetik obat, dan (2) afinitas
obat terhadap reseptornya. Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik digunakan dosis
yang sesuai dengan potensinya. Hanya, jika potensi terlalu rendah akan merugikan karena dosis yang
diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau membahayakan jika
obatnya mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit.

Efek maksimal atau efektivitas adalah respons maksimal yang dapat ditimbulkan oleh obat jika
diberikan pada dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas intrinsik obat dan ditunjukkan oleh
plateau pada DEC. Tetapi dalam klinik, dosis obat dapat dibatasi oleh timbulnya efek yang tidak
diinginkan; dalam hal ini efek maksimal yang di capai dalam klinik kurang dari efek maksimal yang
sesungguhnya. Ini merupakan variabel yang penting. Misalnya morfin dan aspirin berbeda dalam
efek maksimal/efektivitasnya sebagai analgesik (morfin dapat menghilangkan rasa nyeri yang hebat,
sedang kan aspirin tidak). Efektivitas obat tidak selalu ber hubungan dengan potensinya.

Slope atau kemiringan log DEC merupakan variabel yang penting karena menunjukkan batas batas
keamanan obat. Slope obat yang curam, misalnya untuk fenobarbital, menunjukkan bahwa dosis
yang menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan dosis yang menimbul kan
sedasi/tidur.

Variasi biologik adalah variasi antar individu dalam besarnya respons terhadap dosis obat yang sama
pada populasi yang sama. Suatu graded DEC hanya berlaku untuk satu orang pada satu waktu, tetapi
dapat juga merupakan nilai rata-rata dari populasi, Dalam hal yang terakhir ini, variasi biolo gik dapat
diperlihatkan sebagal garis horisontal atau garis vertikal (lihat Gambar 1-12). Garis horisontal
menunjukkan bahwa menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlu kan
satu kisaran dosis. Garis vertikal menunjukkan bahwa pemberian obat dengan dosis tertentu pada
populasi akan menimbulkan satu kisaran intensitas efek

Telah disebutkan bahwa untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi
diperlukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %)
pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis), maka akan diperoleh kurva distribusi normal (Gambar
1-13). Jika distribusi frekuensi tersebut dibuat kumulatif maka akan diperoleh kurva berbentuk
sigmoid yang disebut kurva log dosis-persen responsif (log dose-percent curve log DPC). Oleh karena
respons pasien di sini bersifat kuantal (all or none), maka kurva sigmoid ini disebut juga kurva log
dosis-efek kuantal (quantal log dose effect curve=log DEC kuantal). Jadi log DPC menunjuk kan variasi
individual dari dosis yang diperlukan untuk menimbulkan suatu efek tertentu. Misalnya log DPC
untuk suatu sedatif-hipnotik dapat dilihat pada Gambar 1-14, di mana terlihat log DPC atau log DEC
kuantal sebelah kiri untuk efek hipnosis, sedangkan sebelah kanan untuk efek kematian.

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis
efektif median (=ED50). Dosis letal median (=LD50) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada
50% individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50%.

Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio
berikut:

TD50

ED50

Indeks terapi =

atau

LD50

ED50

Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik. pada
seorangpun pasien. Oleh karena itu,

Indeks terapi =

TD1
ED99

adalah lebih tepat,

dan untuk obat ideal:

TD1

ED99

21

Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di
bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir men datar.

Wz, [08/03/2022 17:42]

3.5. ANTAGONISME FARMAKODINAMIK

Secara farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis antagonisme farmakodinamik, yakni:

(1) Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama, tetapi pada sistem
reseptor yang berlainan. Misalnya, efek his tamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh
sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagoni sasi dengan pemberian adrenalin.

(2) Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor yang sama (antagonisme
antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi
dapat dicegah dengan pemberian antihistamin, yang menduduki reseptor yang sama.

Pembahasan selanjutnya dibatasi pada anta gonisme pada reseptor, yang dapat dikuantifikasi
berdasarkan interaksi obat-reseptor. Telah disebut
Wz, [08/03/2022 17:43]

kan bahwa agonis adalah obat yang jika men duduki reseptomya mampu secara intrinsik menim
bulkan efek farmakologik, sedangkan antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama
tetapi tidak mampu secara intrinsik menimbulkan efek farmakologik. Dengan demikian antagonis
meng halangi ikatan reseptor dengan agonisnya sehingga terjadi hambatan kerja agonis. Oleh karena
itu antagonis seringkali juga disebut receptor blocker atau bloker saja. Jadi, bloker tidak
menimbulkan efek langsung, tetapi efek tidak langsung akibat hambatan kerja agonisnya.

Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.

Antagonisme kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis
(receptor site atau active site) secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi.
Dengan demikian hambatan efek agonis dapat diatasi dengan me ningkatkan kadar agonis sampai
akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk
memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas agonis terhadap reseptor nya menurun (lihat
Gambar 1-15). Contoh antagonis kompetitif adalah B-bloker dan antihistamin.

Wz, [08/03/2022 17:47]

Kadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor di tempat lain dari receptor site agonis dan
menyebabkan perubahan konformasi reseptorKadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor di
tempat lain dari receptor site agonis dan menyebabkan perubahan konformasi reseptor sedemikian
sehingga afinitas terhadap agonisny... menurun. Jika penurunan afinitas agonis ini dapat diatasi
dengan meningkatkan dosis agonis, maku keadaan ini tidak disebut antagonisme kompetitif
(meskipun gambar kurvanya sama) tetapi disebut kooperativitas negatif.

Antagonisme nonkompetitif. Hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat diatasi
dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapi
afinitas agonis terhadap reseptomya tidak berubah

Wz, [08/03/2022 17:48]

Antagonisme nonkompetitif terjadi jika:


(1) Antagonis mengikat reseptor secara ireversi bel, di receptor site maupun di tempat lain, se
hingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptor nya. Dengan demikian antagonis mengurangi
jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan agonisnya, sehingga efek maksimal akan
berkurang. Tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Contoh:
fenoksibenzamin mengikat reseptor adrenergik a di receptor site secara ire versibel.

(2) Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tapi pada komponen lain dalam sistem
reseptor, yakni pada molekul lain yang menerus kan fungsi reseptor dalam sel target, misalnya
molekul enzim adenilat siklase atau molekul pro tein yang membentuk kanal ion. Ikatan antagonis

Wz, [08/03/2022 17:54]

pada molekul-molekul tersebut, secara reversibel maupun Ireversibel, akan mengurangi efek yang
dapat ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor (mengurangi Emax) tanpa mengganggu ikatan
agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis ter hadap reseptomya tidak berubah).

Agonis parsial adalah agonis yang lemah, artinya agonis yang mempunyai aktivitas intrinsik atau
efektivitas yang rendah sehingga menimbul kan efek maksimal yang lemah (lihat Gambar 1-17, kurva
X). Akan tetapi, obat ini akan mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan oleh agonis penuh (lihat
Gambar 1-16, kurva Z). Oleh karena itu agonis parsial disebut juga antagonis parsial. Contoh: nalorfin
adalah agonis parsial atau antagonis parsial, dengan morfin sebagai agonis penuh dan nalokson
sebagai antagonis kompetitif yang murni. Nalorfin dapat digunakan sebagai antagonis pada
keracunan morfin, tetapi jika diberikan sendiri nalor fin juga menimbulkan berbagai efek opiat
dengan derajat yang lebih ringan. Nalokson, yang tidak mempunyai efek agonis, akan
mengantagonisasi dengan sempurna semua efek opiat dari morfin.

3.6. KERJA OBAT YANG TIDAK DIPERANTARAI RESEPTOR

Obat-obat berikut bekerja tanpa melalu reseptor. Ada 3 mekanisme :

(1) EFEK NONSPESIFIK dan GANGGUAN MEMBRAN pada


Berdasarkan sifat osmotik. Diuretik osmotik (urea manitol) meningkatkan osmolaritas filtrat
glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubulus ginjal dengan akibat terjadi efek diuretik.
Demikian juga katartik osmotik (MgSO4). gliserol yang me ngurangi edema serebral, dan pengganti
plasma (polivinil pirolidon = PVP) untuk penambah volume intravaskular.

Berdasarkan sifat asam/basa. Kerja ini diperlihat kan oleh antasid dalam menetralkan asam lambung
NH₂Cl dalam mengasamkan urin, Na bikarbonar dalam membasakan urin, dan asam-asam organk
sebagai antiseptik saluran kemih atau sebaga spermisid topikal dalam saluran vagina.

Wz, [08/03/2022 17:55]

Kerusakan nonspesifik. Zat-zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik-desinfektan.


Contoh nya: (a) detergen merusak integritas membran lipoprotein; (b) halogen, peroksida, dan
oksidator lain merusak zat organik; (c) denaturan merusak integritas dan kapasitas fungsional
membran sel, partikel subseluler, dan protein.

Gangguan fungsi membran. Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter, halotan, enfluran
dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membran jaringan otak sehingga eksitabili
tasnya menurun. Anestetik lokal bekerja dengan menyebabkan perubahan nonspesifik pada struk
tur membran saraf.

(2) INTERAKSI dengan MOLEKUL KECIL atau ION

Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya (a) CaNa₂EDTA untuk mengikat Pb²
bebas menjadi kelat yang inaktif pada kera cunan Pb; (b) penisilamin untuk mengikat Cu² bebas yang
menumpuk dalam hati dan otak pasien pe nyakit Wilson menjadi kompleks yang larut dalam air dan
dikeluarkan melalui urin; dan (c) dimer kaprol (BAL= British antilewisite) untuk mengikat logam berat
(As, Sb, Hg, Au, Bi) yang bebas mau pun dalam kompleks organik menjadi kompleks yang larut dalam
air dan dikeluarkan melalui urin.

(3) INKORPORASI dalam MAKROMOLEKUL

Obat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkorporasi dalam asam nukleat
sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang be kerja seperti ini disebut antimetabolit, misalnya 6-
merkaptopurin, 5-fluorourasil, etionin, p-fluoro fenilalanin.
4. BEBERAPA ISTILAH KHUSUS FARMAKOLOGI

SPESIFISITAS dan SELEKTIVITAS

Suatu obat dikatakan spesifik jika kerjanya terbatas pada satu jenis reseptor, dan dikatakan selektif
jika menghasilkan hanya satu efek pada dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih
tinggi. Misalnya: (1) klorpromazin adalah obat yang tidak spesifik karena kerjanya pada berbagai
jenis reseptor: kolinergik, adrenergik dan

histaminergik, selain pada reseptor dopaminergik di SSP (obat yang tidak spesifik dengan sendirinya
tidak selektif); (2) atropin adalah bloker yang spe sifik untuk reseptor muskarinik, tetapi tidak selektif
karena reseptor ini terdapat di berbagai organ sehingga menghasilkan banyak efek; (3) salbuta mol
ialah agonis ß-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif untuk reseptor B2 di bronkus (pada dosis
terapi hanya berefek di bronkus).

Selain tergantung dari dosis, selektivitas obat juga tergantung dari cara pemberian. Pemberian obat
langsung di tempat kerjanya akan meningkat kan selektivitas obat. Misalnya salbutamol, selek tivitas
relatif obat ini untuk reseptor B2 ditingkatkan jika diberikan sebagai obat semprot yang langsung ke
saluran napas.

Tidak ada obat yang menghasilkan hanya satu efek, sedangkan makin banyak efek yang dihasil kan
suatu obat, makin banyak di antaranya yang menjadi efek samping. Dengan demikian selekti vitas
merupakan sifat obat yang penting untuk penggunaan terapi.

Selektivitas obat dinyatakan sebagai hubung an antara dosis terapi dan dosis obat yang menim
bulkan efek toksik. Hubungan ini disebut juga indeks terapi atau batas keamanan obat (margin of
safety). Indeks terapi hanya berlaku untuk satu efek terapi, maka obat yang mempunyai beberapa
efek terapi juga mempunyai beberapa indeks terapi. Misalnya aspirin, indeks terapinya sebagai
analgesik lebih besar dibandingkan dengan indeks terapinya sebagai antireumatik, karena dosis anti
reumatik lebih besar daripada dosis analgesik. Meskipun perbandingan dosis untuk efek terapi dan
efek toksik ini sangat bermanfaat untuk suatu obat, data demikian sulit diperoleh dari penelitian
klinik. Umumnya dalam uji klinik, selektivitas obat dinyatakan secara tidak langsung, yakni sebagai
(1) pola dan insidens efek samping yang ditimbul kan obat dalam dosis terapi, dan (2) persentase
pasien yang menghentikan obat atau menurunkan dosis obat akibat efek samping. Data demikian
cukup memberikan gambaran mengenai keamanan obat yang bersangkutan.
Wz, [08/03/2022 17:55]

Selalu harus diingat, gambaran atau pernyataan bahwa suatu obat cukup aman untuk kebanyakan
pasien, tidak menjamin keaman an untuk setiap pasien karena adanya pasien yang memberikan
respons yang menyimpang. Misalnya, penisilin dapat dikatakan tidak toksik untuk sebagian besar
pasien, tetapi dapat menyebabkan kematian pada pasien yang alergi terhadap obat ini..

Wz, [08/03/2022 17:56]

ISTILAH LAIN

Telah disebutkan bahwa untuk menimbulkan suatu efek tertentu pada suatu populasi pasien,
diperlukan satu kisaran dosis, dengan distribusi frekuensi pasien yang responsif membentuk kurval
normal (lihat Gambar 1-13), Dosis rendah sekali cukup untuk pasien yang hiperreaktif, sedangkan
dosis tinggi sekali dibutuhkan oleh pasien yang hiporeaktif. Istilah hipersensitif digunakan untuk efek
yang berhubungan dengan alergi obat. Istilah supersensitif digunakan untuk keadaan hiperreaktif
akibat denervasi atau akibat pemberian kronik suatu bloker reseptor yang merupakan denervasi
farma kologik. Istilah toleransi digunakan untuk keadaan hiporeaktif akibat pajanan obat
bersangkutan se belumnya. Toleransi yang terjadi dengan cepat se telah pemberian hanya beberapa
dosis obat disebut toleransi akut atau takifilaksis. Jika toleransi timbul akibat pembentukan antibodi
terhadap obat, diguna kan istilah resisten, misalnya terhadap insulin.

Istilah idiosinkrasi digunakan untuk efek obat yang aneh (bizzare), ringan maupun berat, tidak
tergantung dari besarnya dosis, dan sangat jarang terjadi. Istilah ini seringkall digunakan se cara
simpang siur, maka sebaiknya istilah ini tidak digunakan lagi. Efek yang aneh ini di kemudian hari
mungkin terbukti merupakan reaksi alergi obat atau akibat perbedaan genetik.

5. PENGEMBANGAN DAN PENILAIAN OBAT

PENGUJIAN pada HEWAN COBA

Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dulu diuji dengan
serangkaian ujl farmakologik pada organ ter pisah maupun pada hewan. Jika ditemukan suatu
aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat, maka senyawa yang lolos penyaringan ini akan
diteliti lebih lanjut.
Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun
untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokine tik, dan efek toksiknya pada hewan coba. Dalam
studi farmakokinetik ini tercakup juga pengem bangan teknik analisis untuk mengukur kadar
senyawa tersebut dan metabolitnya dalam cairan biologik. Semuanya ini diperlukan untuk memper

kirakan dosis efektif dan memperkecil risiko pene litian pada manusia. Studi toksikologi pada hewan

dilakukan dalam 3 tahap, masing-masing pada 2-3 spesies hewan coba. Penelitian toksisitas akut
bertujuan mencan umumnya

besarnya dosis tunggal yang membunuh 50% dari sekelompok hewan coba (LD50). Pada tahap ini
sekaligus diamati gejala toksik dan perubahan patologik organ pada hewan yang bersangkutan.
Penelitian toksisitas jangka panjang bertujuan

meneliti efek toksik pada hewan coba setelah pem berian obat ini secara teratur dalam jangka
panjang dan dengan cara pemberian seperti pada pasien nantinya. Lama pemberian bergantung
pada lama pemakaian nantinya pada pasien (Tabel 1-3). Di sini diamati fungsi dan patologi organ.

Tabel 1-3. LAMA PEMBERIAN OBAT pada PENELITIAN

TOKSISITAS

Lama pemakalan pada manusia

Lama pemberian pada hewan

Minimal 2 minggu

Dosis tunggal atau


beberapa dosis

Sampai dengan 4 minggu

13-26 minggu

Lebih dari 4 minggu

Minimal 26 minggu (termasuk studi karsinogenisitas)

Penelitian toksisitas khusus meliputi pene litian terhadap sistem reproduksi termasuk tera
togenisitas, uji karsinogenisitas dan mutagenisi tas, serta uji ketergantungan.

Walaupun uji farmakologi-toksikologi pada hewan ini memberikan data yang berharga, ramal an
tepat mengenai efeknya pada manusia belum dapat dibuat karena spesies yang berbeda tentu
berbeda pula jalur dan kecepatan metabolisme, kecepatan ekskresi, sensitivitas reseptor, anatomi,
atau fisiologinya. Satu-satunya jalan untuk memasti kan efek obat pada manusia, baik efek terapi
mau pun efek samping, ialah memberikannya pada manusia dalam uji klinik.

PENGUJIAN PADA MANUSIA (UJI KLINIK)

Pada dasarnya uji klinik memastikan efikasi, keamanan, dan gambaran efek samping yang sering
timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai IV.

Wz, [08/03/2022 18:12]

UJI KLINIK FASE 1. Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada
manusia. Yang diteliti di sini ialah keamanan dan tolerabilitas obat, bukan efikasinya, maka dilaku
kan pada sukarelawan sehat, kecuali untuk obat yang toksik (misalnya sitostatik), dilakukan pada
pasien karena alasan etik.
Tujuan pertama fase ini ialah menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat ditoleransi
(maximally tolerated dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak dapat di terima.
Dosis oral yang diberikan pertama kali pada manusia biasanya 1/50-1/60 x dosis minimal yang
menimbulkan efek pada spesies hewan yang paling sensitif. Tergantung dari data yang di peroleh
pada hewan, dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan dua sampai dicapai
MTD Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi dilakukan pemeriksaan hemato logi, faal hati,
faal ginjal, urin rutin, dan jika perlu pemeriksaan lain yang lebih spesifik.

Pada fase ini diteliti juga sifat farmakodina mik dan farmakokinetiknya pada manusia Hasil penelitian
farmakokinetik ini digunakan untuk me ningkatkan ketepatan pemilihan dosis pada pene litian
selanjutnya. Selain itu, hasil ini dibandingkan dengan hasil uji serupa pada hewan coba se hingga
diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut mengalami proses farmakokinetik seperti pada
manusia. Jika spesies ini dapat ditemukan, maka penelitian toksisitas jangka panjang dilaku kan pada
hewan tersebut.

Uji klinik fase I ini dilaksanakan secara ter buka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar. pada
sejumlah kecil subyek dengan pengamatan intensif oleh dokter ahli farmakologi klinik, dan di
kerjakan di tempat yang memiliki sarana klinik dan laboratoris yang lengkap, termasuk sarana untuk
mengatasi keadaan darurat. Total jumlah subyek pada fase ini bervariasi antara 20-50 orang.

UJI KLINIK FASE II. Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada pasien yang kelak akan
diobati dengan obat ini. Tujuannya ialah me lihat apakah obat ini memiliki efek terapi. Fase ll ini
dilaksanakan oleh dokter ahli farmakologi klinik dan dokter ahli klinik dalam bidang yang bersang
kutan. Mereka harus ikut berperan dalam membuat protokol penelitian yang harus diikuti dengan
ketat. Seleksi pasien harus ketat: tidak ada penyakit pe

nyerta dan tidak mendapat terapi lain, dan setiap pasien harus dimonitor dengan intensif.

Pada fase Il awal, pengujian efek terapi obal dikerjakan secara terbuka karena masih merupa kan
penelitian eksploratif, karena itu belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efikasi
obat yang bersangkutan.

Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji klinik komparatif
yang membandingkannya dengan plasebo; atau jika penggunaan plasebo tidak memenuhi
persyaratan etik, obat dibandingkan dengan obat standar (peng obatan terbaik yang ada). Ini
dilakukan pada fase II akhir atau fase IIl awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien,
dan monitoring pasien nya. Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi pasien harus
acak dan pemberian obal dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding,
acak, tersamar ganda.

Pada fase II ini tercakup juga studi kisaran dosis (dose-ranging study) untuk menetapkan dosis
optimal yang akan digunakan selanjutnya, dan penelitian lebih lanjut mengenal eliminasi obat, Ter
utama metabolismenya. Jumlah subyek yang men dapat obat baru pada fase ini antara 100-200
pasien.

UJI KLINIK FASE III. Uji klinik fase III dilakukan untuk

memastikan efikasi terapi dari obat baru (sama dengan penelitian pada akhir fase II) dan untuk
mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standar. Uji klinik ini sekaligus akan
menjawab pertanyaan mengenai (1) efeknya jika digunakan secara luas dan diberikan oleh para
dokter yang "kurang ahli": (2) efek samping lain yang belum ter lihat pada fase II; dan (3) dampak
penggunaannya pada pasien yang tidak diseleksi secara ketat.

Wz, [08/03/2022 18:12]

Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar pasien yang tidak terseleksi ketat (ada penyakit
penyerta dan/atau mendapat terapi lain) dan di kerjakan oleh peneliti klinik yang tidak terlalu ahli,
sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari di masyarakat. Pada uji
klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan dengan plasebo, obat yang sama tetapi dosis ber
beda, obat standar dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang indikasinya sama dengan dosis yang
ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan tersamar ganda.

Jika hasil uji klinik fase III menunjukkan bahwa obat baru ini cukup aman dan efektif, maka obat

Wz, [08/03/2022 18:13]

dapat diberikan ijin pemasaran. Jumlah pasien yang diikutsertakan pada fase III ini paling sedikit 500
orang.

UJI KLINIK FASE IV. Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena merupakan
pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan
obat di masayarakat serta pola efektivitas dan ke amanannya pada penggunaan yang sebenarnya.
Survei ini tidak terikat pada protokol penelitian; tidak ada ketentuan tentang pemilihan pasien, besar
nya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada fase ini kepatuhan pasien makan obat merupakan
masalah.

Penelitian fase IV merupakan survei epide miologik menyangkut efek samping maupun efek tivitas
obat. Pada fase IV ini dapat diamati (1) efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul
setelah pemakaian obat bertahun-tahun lama nya, (2) efektivitas obat pada pasien berpenyakit
berat atau berpenyakit ganda, pasien anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali
dalam jangka panjang, dan (3) masalah pengguna an berlebihan, penggunaan yang salah (misuse).
penyalahgunaan (abuse), dan lain-lain. Studi fase IV dapat juga berupa uji klinik yang menggunakan
protokol dengan kriteria seleksi pašien. Tujuannya: (1) sebagai uji klinik tambahan mirip uji klinik
pada fase IIl untuk melengkapi data sebelum pemasaran yang tidak cukup akibat registrasi jalur
cepat; (2) uji klinik pada populasi pasien yang belum cukup diteliti pada fase sebelum pemasaran,
misalnya pasien anak, usia lanjut; dan (3) uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk
menentukan efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas, yang dilakukan dengan/tanpa kelompok
pembanding. Data dari fase IV ini menentukan status obat yang bersang kutan dalam terapi.

Dewasa ini waktu yang diperlukan untuk pengembangan suatu obat baru, mulai dari sintesis bahan
kimianya sampai dipasarkan, mencapai waktu 10 tahun atau lebih.

Setelah suatu obat dipasarkan dan diguna kan secara luas, dapat ditemukan kemungkinan manfaat
lain yang mulanya muncul sebagai efek samping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di klinik
untuk indikasi yang lain, tanpa melalui uji fase I. Misalnya, aspirin semula ditemukan sebagai
antireumatik dan antipiretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemukan belakangan.

6. REGULASI OBAT

Obat merupakan bahan yang diregulasi oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pengawasan Obat dan
Makanan. Segala pengaturan pembuat an, pelabelan, distribusi dan penjualannya diatur per oleh
badan ini, melalui undang-undang dan per aturan. Tujuan regulasi ialah melindungi konsumen dari
efek yang merugikan karena kualitas atau keamanannya. Sayangnya pengamanan undang undang
dan peraturan di negara kita masih lemah sehingga tujuan seringkali tidak tercapai.

Di Indonesia obat yang beredar dikelompok kan dalam 5 kelompok:


Obat daftar G (dari kata bahasa Belanda Gevaarlijk, yang artinya berbahaya) yang seharus nya hanya
dapat diperoleh melalui resep dokter Obat ini dianggap tidak aman, alau penyakit yang menjadi
indikasi obat tidak mudah didiagnosis oleh awam. Obat golongan ini bertanda dot merah.

Obat daftar O (dari kata Opium) yakni golongan opiat, yang diawasi secara ketat untuk membatasi
penyalahgunaannya.

Obat daftar W (dari kata bahasa Belanda Waarschuwing, yang artinya peringatan) yakni obat bebas
terbatas, penjualannya dibatasi hanya

di apotik atau depot obat berijin; bertanda dot biru. Obat bebas yang boleh dijual di mana saja,
diberi tanda dot hijau

Obat tradisional yakni obat yang mengan dung tanaman obat herbal, ditandai dengan tanda khusus.
Ada 3 kategori obat tradisional di Indonesia: (1) jamu yaitu herbal yang masih berbentuk sim plisia;
(2) herbal terstandar yang bahan bakunya mempunyai standar tertentu; dan (3) fitofarmaka yaitu
herbal terstandar yang sudah melalui uji klinik.

Wz, [08/03/2022 18:13]

Badan Pengawasan Obat dan Makanan masih meregulasi bahan-bahan lainnya, yaitu suplemen
makanan yang mengandung vitamin dan mineral yang ditujukan untuk pencegahan kekurangan
vitamin dan mineral; makanan yang dikemas; dan alat kesehatan. Bahan yang disebut pangan fung
sional ialah makanan yang dianggap berfungsi menjaga kesehatan antara lain serat, omega 3 dan
omega 6, yang tidak dicakup dalam buku ini.

Juga dikenal obat wajib apotik yaitu obal daftar G yang boleh diberikan oleh apoteker pada pasien
yang sebelumnya telah mendapatnya dari dokter, biasanya untuk penggunaan jangka panjang atau
pada kondisi tertentu.

Wz, [08/03/2022 18:14]

Berdasarkan keamanan penggunaannya pada kehamilan, obat menurut FDA dibagi dalam kategori:
Kategori A. Studi berpembanding menunjukkan tidak ada risiko. Studi berpembanding yang cukup
pada wanita hamil menunjukkan tidak adanya risiko terhadap fetus pada trimester kehamilan
pertama, kedua, maupun ketiga.

Kategori B. Tidak ada bukti risiko pada manusia. Studi berpembanding yang cukup pada wanita hamil
menunjukkan tidak adanya peningkatan risiko ke lainan fetus meskipun ditemukan adanya kelainan
pada hewan, atau tidak ada studi yang cukup pada manusia, sedangkan studi pada hewan menunjuk
kan tidak ada risiko terhadap fetus. Efek merugikan pada fetus, kemungkinannya kecil, tetapi tetap
ada.

Kategori C. Risiko tidak dapat disingkirkan. Studi berpembanding yang cukup pada manusia tidak
ada, dan pada hewan juga tidak ada atau telah menunjukkan adanya risiko terhadap fetus. Ada
kemungkinan terjadi efek merugikan pada fetus jika obat diberikan selama kehamilan; tetapi poten
sial keuntungannya melebihi potensial risikonya.

Kategori D. Bukti risikonya positif. Studi pada manusia, atau data penelitian atau data pasca pe
masaran menunjukkan adanya risiko terhadap fetus. Meskipun demikian, potensial keuntungan dari
penggunaan obat melebihi potensial risikonya. Misalnya, obat demikian mungkin dapat diterima jika
diperlukan untuk situasi yang mengancam jiwa atau penyakit serius di mana obat yang lebih aman
tidak dapat digunakan atau tidak efektif.

Kategori X, Kontrainsikasi pada kehamilan. Studi pada hewan atau manusia, atau laporan pe nelitian
atau laporan pasca pemasaran, telah me nunjukkan bukti positif adanya kelainan atau risiko pada
fetus, yang jelas melebihi keuntungannya bagi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul-Latif AA. Calcium-mobilizing receptors, poly phosphoinositides, and the generation of


second messengers. Pharmacol Rev 1986;38: 227-72. 2. Allegaert K. Van den Anker JN, Debeer A,
Cossey V, Verbesselt R, Tibboel D, et al. Maturational changes in the in vivo activity of CYP3A4 in the
first months of life. J Clin Pharmacol Ther 2006:44(7):303-8.

Anda mungkin juga menyukai