PENDAHULUAN
1
mengutamakan pengobatan individual, yaitu farmakogenetika yang
merupakan salah satu cabang ilmu dari farmakologi yang dapat menjelaskan
bahwa ada nya perbedaan respon dari setiap individu terhadap obat yang
diberikan sangat erat kaitan nya dengan perbedaan genetik dari masing-masing
individu tersebut. Semakin banyak informasi yang diketahui tentang peranan
genetik dalam respon obat khusus nya pada tingkat molekuler akan membantu
para peneliti dalam pengembangan dan penggunaan obat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
d. Tempat absorbs
Obat dapat diabsorbsi misalna dikulit,membran mukosa,dan usus
halus.obat yang oral,absorbsi terjadi diusus halus karena luas
peermukaannya jika obat inhalasi,diabsorbsi sangat cepat karena
epitelium paru-paru juga sangat luas. (farmakologi pendidikan proses
keperawatan:ebook).
1) Absorbsi melalui saluran cerna
Pemberian peroral merupakan cara yang paling lazim
karena merupakan cara yang paling mudah,ekonomis dan aman.
Namun memiliki kerugian aitu obat dapat merangsang mukosa
lambung dan menimbulkan emasis,misalnya aminopilin. Selain
itu,obat akan membentuk kompleks dengan makanan sehingga
sukar untuk diabsorbsi dan akan dialami biotransformasi sebelum
memasuki ke berbagai organ. Umumnya obat dalam bentuk non
polar yang larut dalam lemak cepat diabsorbsi, sedangkan obat
yang bersifat polar yang larut dalam lemak seperti zat aluminium
kuarterner,lambat diabsorbsi.obat yang tidak larut dalam air tidak
diabsornbsi melalui saluran cerna.
2) Pemberian obat secara sublingual
Dapat diberikan untuk menghindari perusakan oleh enzim
lambung dan usus,dan menghindari biotransformasi dihepar.
3) Pemberian obat secara rektal
Diberikan pada pasien yang muntah-muntah untuk
menghindari perusakan oleh enzim pencernaan dan biotransformasi
dihepar.
4) Pemberian obat suntikan (parenteral)
Yang efeknya timbul cepat,dan teratur karena obat tidak
melewati hepar,sebelum mencapai sirkulasi dan dapat diberikan
pada pasien yang tidak sadar dan keadaan darurat. kelemahannya
adalah dibutuhkan cara absesis tidak dapat dilakukan sendiri, tidak
ekonomis,dan lebih membahayakan dari pemberian oral.misalnya
4
bahaya infeksi serum hepatitis.cara pemberian parenteral yaitu
intramuskular,intravena dan subkutan.
5) Pemberian obat melalui endotel paru-paru
Cara ini hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas
atau cairan yang mudah menguap.keuntunganya absopsi terjadi
secara cepat,misalnya pada penyakit paru-paru.kerugiaanya
metodenya sulit dilakukan karena membutuhkan alat khusus,dosis
sulit diatur, dan obat bersifat iritatif.
6) Pemberian topikal pada kulit
Pemberian obat digunakan untuk penyakit kulit contoh
obatnya berupa salep yaitu antibiotik, kortikosteroid, antihistamin,
dan antifungi. (farmakologi dan terapi edisi 2:1981)
2. Distribusi
Setelah diabsorbsi, obat akan didistribusi keseluruh tubuh melalui
sirkulasi darah.selain tergantung dari aliran darah,distribusi obat juga
ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakkan atas dua
fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh.Distribusi fase pertama
terjadi segera setelah penyerapan,yaitu keorgan yang perfusinya sangat
baik misalnya jantung,hati,ginjal,dan otak. Selanjutnya, distribusi fase
kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak
sebaik organ diatas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak.
Distribusi baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama.
Difusi keruangan intertisial jaringan terjadi karena celah antar sel endotel
kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali diotak.
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan
terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalm lemak
akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas
terutama dicairan ekstra sel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan oleh obat
pada protein plasma hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai
keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh
afinitas obat terhadap protein, kadar obat,dan kadar proteinnya sendiri.
5
Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena
adanya difisiensi protein.
6
untuk menemukan logam toksik misalnya arsen,pada kedokteran forensik.
(Farmakologi pendekatan proses keperawatan:1996).
7
4. Waktu paruh
Waktu paruh adalah yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat
dalam tubuh separuhnya selama eliminasi. Sementara organ eliminasi
hanya dapat memberikan membersihkan obat dari darah bila ada kontak
langsung dengan organ eliminasi. (farmakologi dan terapi edisi 2:1981)
8
pasien terhadap kelompok obat tertentu seperti antikoagulan, obat-obat
kardiovaskular dan psikotropika. Salah satu aspek dari proses penuaan
adalah berat badan.
Berat badan meningkat cepat dari usia anak-anak sampai
pancaroba, selanjutnya setelah usia 50 tahun berat badan akan menurun
secara perlahan-lahan. Kandungan air rongga tubuh, massa otot, aliran
darah, dan fungsi organ berhubungan dengan berat badan. Oleh karena itu
volume distribusi, clearance dan regimen dosis juga berhubungan erat
dengan berat badan. Sebagai contoh, pasien dengan berat badan tidak
normal (berlebihan) memerlukan dosis β-lactams yang lebih tinggi dari
dosis untuk pasien dengan berat badan normal untuk mencapai konsentrasi
yang sama. Bila terjadi penyimpangan respons, penyesuaian dosis hanya
diperlukan bila berat badan menyimpang 30% lebih dari berat
normal.Periode-periode pertumbuhan serta strategi yang dapat dilakukan
untuk mengoptimalkan terapi pada masing-masing kelompok usia
diuraikan berikut ini:
a. Bayi Baru Lahir (Neonate) yaitu usia di bawah 2 bulan Bayi baru
lahir dengan berat badan 3,18 kg umumnya hanya membutuhkan
dosis sebanyak 12,5 % dari dosis dewasa, karena organ-organ
tubuh masih dalam pertumbuhan.
b. Bayi (Infant) yaitu usia antara 2 bulan sampai dengan 1 tahun
dengan berat badan 4,54 – 9,98 kg dengan alasan yang sama
seperti point 1) membutuhkan dosis sekitar 15-25 % dari dosis
dewasa.
c. Anak-anak yaitu usia antara 1 sampai dengan 12 tahun dengan
berat badan 9,98-35,52 kg membutuhkan dosis sebanyak 25-75 %
juga disebabkan karena fungsi organ belum sempurna.
d. Pancaroba (Adolescent) yaitu usia antara 12 sampai dengan 20
tahun. Dosis obat untuk kelompok usia ini adalah sebesar
perbandingan antara usia dengan dewasa (n/20) dikalikan dengan
dosis dewasa.
9
e. Dewasa (Adult) yaitu usia 20 tahun ke atas. Untuk kelompok
pasien ini, regimen dosis obat sesuai dengan yang
direkomendasikan di literatur, kecuali terdapat faktor-faktor
tertentu yang mempengaruhi farmakokinetika dan
farmakodinamika obat
f. Usia Lanjut (Elderly) yaitu usia 70 tahun ke atas.
10
penurunan sekresi asam lambung dan pepsin sebagai akibat perubahan sel-
sel yang memproduksi enzim. Peningkatan usia juga mengakibatkan
penurunan absorpsi berbagai senyawa diantaranya gula, kalsium, dan besi
oleh usus halus. Produksi enzim lipase dan trypsin oleh pankreas menurun
secara drastis. Peningkatan usia juga berhubungan dengan penurunan
volume dan perubahan struktur hati, penurunan aliran darah, dan produksi
enzim hati.
4. Formulasi
Formulasi dan proses yang digunakan untuk memproduksi obat
dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan zat aktif, sehingga
mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang masuk ke sirkulasi
sistemik. Obat yang tidak dirancang dan dievaluasi dengan baik dapat
mengakibatkan keanekaragaman respons saat digunakan. Obat yang
dirancang dengan baik dapat meminimalkan perbedaan pelepasan in vivo
obat. Proses produksi yang dikontrol dengan baik serta berpedoman
kepada Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), akan dapat
menghasilkan obat yang seragam dari batch ke batch dan dari lot ke lot
sehingga akan menghasilkan pelepasan dan absorpsi obat yang seragam
yang selanjutnya menghasilkan efek yang seragam pula
5. Rute Pemberian
Perbedaan rute pemberian bukan hanya mempengaruhi konsentrasi
lokal dan sistemik tetapi juga dapat mempengaruhi konsentrasi metabolit
sistemik. Kesemua ini dapat menimbulkan perbedaan respons obat.
6. Interaksi Obat
Penggunaan polifarmasi selalu dilakukan untuk mengobati pasien
yang menderita lebih dari satu penyakit atau meningkatkan efek terapi.
Namun, kombinasi obat sering menimbulkan interaksi yang dapat terjadi
secara farmakokinetika ataupun farmakodinamika. Hasil interaksi tersebut
dapat menurunkan efek farmakologi ataupun menimbulkan efek toksik.
Interaksi absorpsi dapat meningkatkan ataupun menurunkan absorpsi obat.
11
Metoclopramide per oral mempercepat pengosongan lambung. Jadi obat-
obat yang diberikan bersamaan dengan metoclopramide akan lebih cepat
memasuki area usus, konsekuensinya adalah peningkatan absorpsi obat.
Sebaliknya obat-obat yang memperlambat pengosongan lambung akan
menurunkan absorpsi obat. Bila terjadi percepatan absorpsi obat maka
penurunan dosis perlu dipertimbangkan dan bila terjadi penurunan
absorpsi maka dosis perlu ditungkatkan.
Faktor berikutnya adalah adanya obat yang menginhibisi dan
menginduksi enzim hati ataupun membentuk komplek dengan obat
lain.Sebagai contoh inhibitor kuat adalah cimetidine. Bila obat-obat yang
dimetabolisme di hati diberikan bersamaan dengan cimetidine akan
mengakumulasi di dalam tubuh, selanjutnya dapat mengakibatkan efek
toksik. Dalam hal ini dosis obat yang dipengaruhi harus diturunkan.
Sebaliknya bila terjadi induksi enzim, maka eksresi obat semakin cepat
sehingga kadar obat di dalam tubuh dan efeknya cepat turun. Bila terjadi
induksi enzim, maka dosis obat harus dinaikkan agar diperoleh efek yang
diinginkan. Selain itu, penggeseran ikatan obat dengan protein juga akan
mengakibatkan peninggian kadar obat bebas di dalam plasma dan jaringan
tubuh yang seterusnya juga dapat menghasilkan efek toksik. Contohnya
adalah phenylbutazone menggeser asam salisilat dari ikatan protein
plasma. Asam salisilat adalah metabolit aktif dari acetyl salicylic acid.
Strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah
menurunkan dosis acetyl salicylic acid saat phenylbutazone diberikan
kepada pasien.
Interaksi lainnya yang dapat terjadi adalah peninggian ataupun
penurunan reabsorpsi obat dan metabolit akibat perubahan pH urin.
Perubahan pH urin akan mengakibatkan perubahan jumlah obat yang tidak
terionisasi dan terionisasi pada tubule. Peninggian jumlah obat yang tidak
terionisasi akan mengakibatkan peninggian reabsopsi melalui tubule,
seterusnya dapat meningkatkan efek farmakologi. Sebaliknya peninggian
jumlah obat yang terionisasi akan mempercepat eliminasi obat, kemudian
akan menurunkan efek farmakologi. Kesemua faktor tersebut harus
12
dipertimbangkan dan diantisipasi agar diperoleh efek maksimal dan
dicegah efek toksik serta sublevel terapi.
2.4 Peran keanekaragaman genetik terhadap farmakokinetik obat
Faktor keturunan (genetik) kadang-kadang merupakan penyebab
timbulnya keanekaragaman respons terhadap obat walaupun diberikan dengan
dosis yang sama. Ilmu yang mempelajari pengaruh faktor genetik terhadap
respons obat disebut farmakogenetika. Salah satu faktor genetic yang
mengakibatkan keanekaragaman respons terhadap obat adalah polimorfis
enzim pengmetabolisme. Contohnya adalah N-acetyltransferase (enzim hati)
yang berperan dalam proses konjugasi mengkatalisis N-asetilasi (biasanya
deaktivasi) dan O-asetilasi (umumnya aktivasi) karsinogen arilamine dan amin
heterosiklik. Individu yang termasuk ke dalam penotipe slow acetylator bila
diberikan isoniazide, sulfonamide, procainamide, dan hydralazine selalu
mengalami efek toksik. Oleh karena itu perlu diwaspadai terhadap gejala-
gejala efek toksik obat tersebut bila diberikan kepada kelompok pasien ini.
Sementara pasien dengan penotipe fast acetylator dapat mengalami
respons sub-level terapi (tidak ada dihasilkan respons terapi) bila diberikan
dengan dosis yang sama seperti yang diberikan kepada pasien dengan penotipe
slow acetylator. Bila isoniazide dosis normal diberikan kepada pasien dengan
penotipe slow asetilator akan dapat mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Berbagai studi telah membuktikan bahwa semakin ke Utara tempat tinggal
penduduk dunia, semakin rendah frekuensi penotipe slow asetilator. Kondisi
ini mungkin disebabkan oleh pola makanan dan lingkungan
13
dapat penduduk
mengakibatk Jepang
an efek dan
subterapi Eskimo
Canada
adalah fast
acetylator
14
BAB III
PENUTUP
3.2Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan profil
farmakokinetika karbamazepin antara etnik Jawa dan etnik Cina yang ada di
Indonesia. Namun demikian dijumpai adanya variasi antarindividu yang cukup
besar terhadap profil farmakokinetika karbamazepin pada ke dua etnik Jawa dan
Cina ini. Pemberian dosis karbamazepin dengan demikian disarankan untuk
ditetapkan secara individual pada penderita epilepsi sehingga bisa diperolehrespon
klinik yang optimal.
3.2.Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang di dapat kan, di sarankan pada
pemberian karbamazepin berikan sesuai dosis antar individu dan tidak
menggunakan pemberian dosis sesuai etnik.
15
DAFTAR PUSTAKA
16