Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak dahulu kala obat mempunyai peran sentral dalam pengobatan
dan penyembuhan suatu penyakit. Dan pada prinsipnya sejak itu pula lahir
ilmu Farmakoterapi. Keputusan klinis yang menyangkut Farmakoterapi
merupakan hubungan yang dinamik penderita, penyakit, dan obat. Obat dan
permasalahannya tidak dapat dipisahkan dari sitem pengobatan. Oleh karena
itu Farmakoterapi rasional hanya dapat ditegakkan setelah faktor-faktor
penderita, penyakit dan obat secara akurat dipelajari. Penggunaan obat secara
rasional yang berdampak efektif, aman, dan efisien memerlukan keikutsertaan
berbagai disiplin atau sub disiplin ilmu, antara ilmu Farmakokinetik yang
peran dan fungsinya dengan Farmakoterapi rasional.
Ilmu Farmakokinetika merupakan suatu bidang studi yang relative
baru dan merupakan disiplin ilmu yang mudah diantara ilmu-ilmu kesehatan
yang telah mulai memasuki dunia klinik. Sebagai ilmu Farmakokinetik
mempunyai kaitan yang erat dengan ilmu-ilmu biofarmasetika, farmakologi
dan terapetik. Keberhasilan suatu terapi dengan obat terletak pada pendekatan
sejauh mana optimisasi kesimbangan antara efek terapetik yang diinginkan
dengan efek samping atau toksik yang tidak diinginkan dapat dicapai. Untuk
mencapai hasil terapi yang optimal, pemilihan obat dan rancangan dosis yang
tepat perlu dilakukan.
Faktor keturunan (gentika) kadang-kadang merupakan penyebab
timbulnya keanekaragaman respons tehadap obat walaupun diberikan dengan
dosis yang sama. Keterlibatan gen dan protein pada proses farmakodinamik
(mekanisme kerja); farmakokinetika ( ADME); efek samping dan toksisitas
suatu obat telah menjadi perhatian para praktisi baik dalam bidang kedokteran
maupun bidang farmasi. Dari situlah lahir disiplin ilmu baru yang

1
mengutamakan pengobatan individual, yaitu farmakogenetika yang
merupakan salah satu cabang ilmu dari farmakologi yang dapat menjelaskan
bahwa ada nya perbedaan respon dari setiap individu terhadap obat yang
diberikan sangat erat kaitan nya dengan perbedaan genetik dari masing-masing
individu tersebut. Semakin banyak informasi yang diketahui tentang peranan
genetik dalam respon obat khusus nya pada tingkat molekuler akan membantu
para peneliti dalam pengembangan dan penggunaan obat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang di maksud dengan profil farmakokinetika?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan kenekaragaman respon?
3. Bagaimana pengaruh faktor genetik dalam farmakokinetika?

1.3 Manfaat dan tujuan


1. Mengetahui apa saja profil farmakokinetika
2. Mengetahui faktor penyebab keanekaragaman respon
3. Mengetahui pengaruh genetik dalam farmakokinetika

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Profil Farmakokinetik


Farmakokinetik obat merupakan aspek farmakologi yang mencakup
nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi,distribusi,metabolisme,ekskresi nya
(ADME). Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian
umumnya mengalami absorbsi,distribusi,dan peningkatan untuk sampai ke
tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa
metabolisme,obat diekskresikan dari tubuh. Proses-proses dalam
farmakokinetika:
1. Absorbsi
Absorbsi adalah proses masuknya obat dari tempat obat ke dalam
sirkulasi sistemik (pembulu darah).kecepatan absorbsi obat tergantung
pada :
a. Kelarutan
Obat harus dapat melarut atau obat sudah dalam bentuk
terlarut.sehingga dari kecepatan pelarut mempengaruhi kecepatan
absorbsi.
b. PH
Obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus membran
sel pada suasana asam.jika Ph obat berubah (ditambah buffer) maka
absorbsi akan melambat.
c. Sirkulasi darah
Pemberian obat melalui sublingual akan lebih cepat diabsorbsi
dibanding subkutan,karena umumnya sirkulasi darah disubkutan lebih
sedikit dibandingkan di sublingual

3
d. Tempat absorbs
Obat dapat diabsorbsi misalna dikulit,membran mukosa,dan usus
halus.obat yang oral,absorbsi terjadi diusus halus karena luas
peermukaannya jika obat inhalasi,diabsorbsi sangat cepat karena
epitelium paru-paru juga sangat luas. (farmakologi pendidikan proses
keperawatan:ebook).
1) Absorbsi melalui saluran cerna
Pemberian peroral merupakan cara yang paling lazim
karena merupakan cara yang paling mudah,ekonomis dan aman.
Namun memiliki kerugian aitu obat dapat merangsang mukosa
lambung dan menimbulkan emasis,misalnya aminopilin. Selain
itu,obat akan membentuk kompleks dengan makanan sehingga
sukar untuk diabsorbsi dan akan dialami biotransformasi sebelum
memasuki ke berbagai organ. Umumnya obat dalam bentuk non
polar yang larut dalam lemak cepat diabsorbsi, sedangkan obat
yang bersifat polar yang larut dalam lemak seperti zat aluminium
kuarterner,lambat diabsorbsi.obat yang tidak larut dalam air tidak
diabsornbsi melalui saluran cerna.
2) Pemberian obat secara sublingual
Dapat diberikan untuk menghindari perusakan oleh enzim
lambung dan usus,dan menghindari biotransformasi dihepar.
3) Pemberian obat secara rektal
Diberikan pada pasien yang muntah-muntah untuk
menghindari perusakan oleh enzim pencernaan dan biotransformasi
dihepar.
4) Pemberian obat suntikan (parenteral)
Yang efeknya timbul cepat,dan teratur karena obat tidak
melewati hepar,sebelum mencapai sirkulasi dan dapat diberikan
pada pasien yang tidak sadar dan keadaan darurat. kelemahannya
adalah dibutuhkan cara absesis tidak dapat dilakukan sendiri, tidak
ekonomis,dan lebih membahayakan dari pemberian oral.misalnya

4
bahaya infeksi serum hepatitis.cara pemberian parenteral yaitu
intramuskular,intravena dan subkutan.
5) Pemberian obat melalui endotel paru-paru
Cara ini hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas
atau cairan yang mudah menguap.keuntunganya absopsi terjadi
secara cepat,misalnya pada penyakit paru-paru.kerugiaanya
metodenya sulit dilakukan karena membutuhkan alat khusus,dosis
sulit diatur, dan obat bersifat iritatif.
6) Pemberian topikal pada kulit
Pemberian obat digunakan untuk penyakit kulit contoh
obatnya berupa salep yaitu antibiotik, kortikosteroid, antihistamin,
dan antifungi. (farmakologi dan terapi edisi 2:1981)
2. Distribusi
Setelah diabsorbsi, obat akan didistribusi keseluruh tubuh melalui
sirkulasi darah.selain tergantung dari aliran darah,distribusi obat juga
ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakkan atas dua
fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh.Distribusi fase pertama
terjadi segera setelah penyerapan,yaitu keorgan yang perfusinya sangat
baik misalnya jantung,hati,ginjal,dan otak. Selanjutnya, distribusi fase
kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak
sebaik organ diatas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak.
Distribusi baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama.
Difusi keruangan intertisial jaringan terjadi karena celah antar sel endotel
kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali diotak.
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan
terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalm lemak
akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas
terutama dicairan ekstra sel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan oleh obat
pada protein plasma hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai
keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh
afinitas obat terhadap protein, kadar obat,dan kadar proteinnya sendiri.

5
Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena
adanya difisiensi protein.

3. Biotransformasi atau Metabolisme


Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan
struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim
khususnya CYT 45. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih
polar,artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak
sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu,pada umumnya
obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam
mengakhiri kerja obat. Tetapi,ada obat yang metabolitnya sama aktif,lebih
aktif,atau tidak toksik. Ada obat yang merupukan calon obat (prodrug)
justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan
mengalami biotransformasi lebih lanjut dan atau diaekskresikan sehingga
kerjannya berakhir. Enzim yang berperan dalm bitransformasi obat dapat
dibedakkan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang
terdapat retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi invitro
membentuk mikrosom), dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim
metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat disel
jaringan lain misalnya ginjal,paru,epitel,saluran cerna dan plasma.
4. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam
bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat
atau metabolit polar diekskresi lebih cepat dari pada obat larut lemak
kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting. Ekskresi disini merupakan resultanse dari tiga proses, yakni
filtrasi diglumerulus,sekresi aktif ditubuli proksimal,dan reabsorbsi pasif
ditubuli proksimal dan distal. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat
liur,air mata,air susu,dan rambut,tetapi dlam jumlah yang relatif kecil
sekali tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan

6
untuk menemukan logam toksik misalnya arsen,pada kedokteran forensik.
(Farmakologi pendekatan proses keperawatan:1996).

2.2 Parameter Farmakokinetika


Dosis standar suatu obat pada setiap penderita berbeda-beda beberapa
proses patologis, kematangan fungsi organ pada bayi mengharuskan
penyesuain dosis secatra khusus. Proses-proses ini mengubah parameter-
parameter farmakokinetik. Dua parameter ini adalah bersihan (klirens) yaitu
ukuran kemampuan tubuh untuk menghilangkan obat. Yang kedua volume
distribusi yaitu ukuran dari ruangan dalam tubuh yang tersedia untuk diisi
obat. Parameter farmakokinetik meliputi :
1. Bioavailabilitas
Ketersediaan hayati di definisikan sebagai fraksi obat cara
pemberian apapaun tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistmemik
setelah melalui cara pemberian apapun.
2. Clearance
Prinsip bersihan obat adalah sama dengan bersihan pada faal ginjal
didefinisikan kecepatan eliminasi dalam urin. Pada tingkatan yang paling
sederhana suatu obat adalah rasio dari kecepatan eleminasi obat
keseluruhan terhadap konsentrai obat didalam biologi. Clearance
bergantung dari kemampuan beberapa organ seperti liver dan ginjal untuk
metabolisme dan ekskresi.
3. Volume distribusi
Volume distribusi menghubungkan jumlah obat dalam tubuh
dengan konsentrasi obat dalam darah atau plasma. Volume distribusi dapat
ditetapkan berkenaan dengan darah, plasma atau air (obat yang tidak
terikt) obat-obat yang mempunyai volume distribusi yang sangat tinggi
memiliki konsentrasi obat lebih tinggi di dalam jaringan ekstravaskular.
Tetapi ada beberapa bagian seperti central nervous system atau otak yang
memiliki akses lemah.

7
4. Waktu paruh
Waktu paruh adalah yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat
dalam tubuh separuhnya selama eliminasi. Sementara organ eliminasi
hanya dapat memberikan membersihkan obat dari darah bila ada kontak
langsung dengan organ eliminasi. (farmakologi dan terapi edisi 2:1981)

2.3 Keanekaragaman Respon


1. Toleransi (ketergantungan)
Toleransi ialah suatu kondisi yang mana efektivitas obat berkurang
apabila diminum terus menerus. Salah satu faktor yang dapat
mengakibatkan toleransi adalah peristiwa farmakokinetika yaitu
mengakibatkan penurunan konsentrasi obat yang dicapai dengan dosis
tertentu, contohnya adalah peninggian metabolisme obat. Selain itu, juga
dapat terjadi toleransi farmakodinamika yaitu konsentrasi obat yang sama
pada reseptor menunjukkan penurunan efek akibat dikonsumsi terus
menerus. Contohnya adalah opiate yang digunakan untuk pengobatan
nyeri kronik.
2. Penyakit
Penyakit merupakan salah satu sumber keanekaragaman respons.
Sebagai contoh adalah penyakit ginjal kronik (PGK), gangguan hati,
gangguan sirkulasi darah, gangguan thyroid dan gastrointestinal serta
keberadaan penyakit lebih dari satu. Agar diperoleh respons sesuai dengan
yang diharapkan maka dosis lazim perlu dimodifikasi untuk pasien yang
bersangkutan. Pada Bab IX akan dibahas pendekatan farmakokinetika
klinis untuk penanganan penyakit ginjal kronik dan gangguan hati.
3. Usia dan Berat Badan
Penuaan (senescence) merupakan sumber keanekaragaman
responsobat. Perubahan farmakokinetika obat termasuk penurunan
clearance renal dan hepatik, peningkatan volume distribusi obat yang
bersifat hidrofob, yang selanjutnya memperpanjang waktu paruh obat.
Dengan demikian diperlukan penyesuaian dosis untuk kelompok pasien
tersebut. Perubahan farmakodinamika termasuk perubahan sensitivitas

8
pasien terhadap kelompok obat tertentu seperti antikoagulan, obat-obat
kardiovaskular dan psikotropika. Salah satu aspek dari proses penuaan
adalah berat badan.
Berat badan meningkat cepat dari usia anak-anak sampai
pancaroba, selanjutnya setelah usia 50 tahun berat badan akan menurun
secara perlahan-lahan. Kandungan air rongga tubuh, massa otot, aliran
darah, dan fungsi organ berhubungan dengan berat badan. Oleh karena itu
volume distribusi, clearance dan regimen dosis juga berhubungan erat
dengan berat badan. Sebagai contoh, pasien dengan berat badan tidak
normal (berlebihan) memerlukan dosis β-lactams yang lebih tinggi dari
dosis untuk pasien dengan berat badan normal untuk mencapai konsentrasi
yang sama. Bila terjadi penyimpangan respons, penyesuaian dosis hanya
diperlukan bila berat badan menyimpang 30% lebih dari berat
normal.Periode-periode pertumbuhan serta strategi yang dapat dilakukan
untuk mengoptimalkan terapi pada masing-masing kelompok usia
diuraikan berikut ini:

a. Bayi Baru Lahir (Neonate) yaitu usia di bawah 2 bulan Bayi baru
lahir dengan berat badan 3,18 kg umumnya hanya membutuhkan
dosis sebanyak 12,5 % dari dosis dewasa, karena organ-organ
tubuh masih dalam pertumbuhan.
b. Bayi (Infant) yaitu usia antara 2 bulan sampai dengan 1 tahun
dengan berat badan 4,54 – 9,98 kg dengan alasan yang sama
seperti point 1) membutuhkan dosis sekitar 15-25 % dari dosis
dewasa.
c. Anak-anak yaitu usia antara 1 sampai dengan 12 tahun dengan
berat badan 9,98-35,52 kg membutuhkan dosis sebanyak 25-75 %
juga disebabkan karena fungsi organ belum sempurna.
d. Pancaroba (Adolescent) yaitu usia antara 12 sampai dengan 20
tahun. Dosis obat untuk kelompok usia ini adalah sebesar
perbandingan antara usia dengan dewasa (n/20) dikalikan dengan
dosis dewasa.

9
e. Dewasa (Adult) yaitu usia 20 tahun ke atas. Untuk kelompok
pasien ini, regimen dosis obat sesuai dengan yang
direkomendasikan di literatur, kecuali terdapat faktor-faktor
tertentu yang mempengaruhi farmakokinetika dan
farmakodinamika obat
f. Usia Lanjut (Elderly) yaitu usia 70 tahun ke atas.

Penuaan ditandai dari gangguan fungsi proses yang menghasilkan


integrasi fungsional antara sel dan organ. Dengan demikian dapat terjadi
kegagalan untuk mempertahankan homeostatis pada kondisi stres fisiologi.
Penurunan kemampuan homeostasis ini menghasilkan pengaruh yang
berbeda terhadap sistem pengaturan di antara subjek, sehingga
keanekaragaman individu semakin meningkan dengan pertambahan usia.
Perubahan farmakokinetikatermasuk penurunan clearance renal dan
hepatik, peninggian volume distribusi obat hidrofob seterusnya
memperpanjang waktu paruh obat. Perubahan farmakodinamika
melibatkan perubahan sensitivitas terhadap beberapa kelas obat seperti
antikoagulan, obat- obat cardiovaskular dan psikotropik. Dengan demikian
penyesuain dosis untuk obat-obat tersebut perlu dilakukan apabila akan
diberikan kepada kelompok pasien usia lanjut.
Penuaan menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap
struktur dan fungsi jantung termasuk penurunan elastisitas aorta dan arteri.
Kondisi ini mengakibatkan peninggian tekanan darah arteri, selanjutnya
meningkatkan tahanan terhadap tekanan ventrikular kiri, selanjutnya
terjadi hipertropi ventrikular kiri (left ventricular hypertropy) dan
interstitial fibrosis. Penurunan relaksasi miokardial juga terjadi. Massa
ginjal dan nefron berkurang sejalan dengan pertambahan usia. Aliran
darah ginjal dan glomerular filtration rate (GFR) juga menurun dengan
pertambahan usia.
Seterusnya kemampuan ginjal untuk mengeksresikan berbagai
senyawa dari dalam tubuh juga menurun. Selain itu, penuan juga
berpengaruh terhadap sistim saluran pencernaan. Perubahan utama adalah

10
penurunan sekresi asam lambung dan pepsin sebagai akibat perubahan sel-
sel yang memproduksi enzim. Peningkatan usia juga mengakibatkan
penurunan absorpsi berbagai senyawa diantaranya gula, kalsium, dan besi
oleh usus halus. Produksi enzim lipase dan trypsin oleh pankreas menurun
secara drastis. Peningkatan usia juga berhubungan dengan penurunan
volume dan perubahan struktur hati, penurunan aliran darah, dan produksi
enzim hati.

4. Formulasi
Formulasi dan proses yang digunakan untuk memproduksi obat
dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan zat aktif, sehingga
mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang masuk ke sirkulasi
sistemik. Obat yang tidak dirancang dan dievaluasi dengan baik dapat
mengakibatkan keanekaragaman respons saat digunakan. Obat yang
dirancang dengan baik dapat meminimalkan perbedaan pelepasan in vivo
obat. Proses produksi yang dikontrol dengan baik serta berpedoman
kepada Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), akan dapat
menghasilkan obat yang seragam dari batch ke batch dan dari lot ke lot
sehingga akan menghasilkan pelepasan dan absorpsi obat yang seragam
yang selanjutnya menghasilkan efek yang seragam pula
5. Rute Pemberian
Perbedaan rute pemberian bukan hanya mempengaruhi konsentrasi
lokal dan sistemik tetapi juga dapat mempengaruhi konsentrasi metabolit
sistemik. Kesemua ini dapat menimbulkan perbedaan respons obat.
6. Interaksi Obat
Penggunaan polifarmasi selalu dilakukan untuk mengobati pasien
yang menderita lebih dari satu penyakit atau meningkatkan efek terapi.
Namun, kombinasi obat sering menimbulkan interaksi yang dapat terjadi
secara farmakokinetika ataupun farmakodinamika. Hasil interaksi tersebut
dapat menurunkan efek farmakologi ataupun menimbulkan efek toksik.
Interaksi absorpsi dapat meningkatkan ataupun menurunkan absorpsi obat.

11
Metoclopramide per oral mempercepat pengosongan lambung. Jadi obat-
obat yang diberikan bersamaan dengan metoclopramide akan lebih cepat
memasuki area usus, konsekuensinya adalah peningkatan absorpsi obat.
Sebaliknya obat-obat yang memperlambat pengosongan lambung akan
menurunkan absorpsi obat. Bila terjadi percepatan absorpsi obat maka
penurunan dosis perlu dipertimbangkan dan bila terjadi penurunan
absorpsi maka dosis perlu ditungkatkan.
Faktor berikutnya adalah adanya obat yang menginhibisi dan
menginduksi enzim hati ataupun membentuk komplek dengan obat
lain.Sebagai contoh inhibitor kuat adalah cimetidine. Bila obat-obat yang
dimetabolisme di hati diberikan bersamaan dengan cimetidine akan
mengakumulasi di dalam tubuh, selanjutnya dapat mengakibatkan efek
toksik. Dalam hal ini dosis obat yang dipengaruhi harus diturunkan.
Sebaliknya bila terjadi induksi enzim, maka eksresi obat semakin cepat
sehingga kadar obat di dalam tubuh dan efeknya cepat turun. Bila terjadi
induksi enzim, maka dosis obat harus dinaikkan agar diperoleh efek yang
diinginkan. Selain itu, penggeseran ikatan obat dengan protein juga akan
mengakibatkan peninggian kadar obat bebas di dalam plasma dan jaringan
tubuh yang seterusnya juga dapat menghasilkan efek toksik. Contohnya
adalah phenylbutazone menggeser asam salisilat dari ikatan protein
plasma. Asam salisilat adalah metabolit aktif dari acetyl salicylic acid.
Strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah
menurunkan dosis acetyl salicylic acid saat phenylbutazone diberikan
kepada pasien.
Interaksi lainnya yang dapat terjadi adalah peninggian ataupun
penurunan reabsorpsi obat dan metabolit akibat perubahan pH urin.
Perubahan pH urin akan mengakibatkan perubahan jumlah obat yang tidak
terionisasi dan terionisasi pada tubule. Peninggian jumlah obat yang tidak
terionisasi akan mengakibatkan peninggian reabsopsi melalui tubule,
seterusnya dapat meningkatkan efek farmakologi. Sebaliknya peninggian
jumlah obat yang terionisasi akan mempercepat eliminasi obat, kemudian
akan menurunkan efek farmakologi. Kesemua faktor tersebut harus

12
dipertimbangkan dan diantisipasi agar diperoleh efek maksimal dan
dicegah efek toksik serta sublevel terapi.
2.4 Peran keanekaragaman genetik terhadap farmakokinetik obat
Faktor keturunan (genetik) kadang-kadang merupakan penyebab
timbulnya keanekaragaman respons terhadap obat walaupun diberikan dengan
dosis yang sama. Ilmu yang mempelajari pengaruh faktor genetik terhadap
respons obat disebut farmakogenetika. Salah satu faktor genetic yang
mengakibatkan keanekaragaman respons terhadap obat adalah polimorfis
enzim pengmetabolisme. Contohnya adalah N-acetyltransferase (enzim hati)
yang berperan dalam proses konjugasi mengkatalisis N-asetilasi (biasanya
deaktivasi) dan O-asetilasi (umumnya aktivasi) karsinogen arilamine dan amin
heterosiklik. Individu yang termasuk ke dalam penotipe slow acetylator bila
diberikan isoniazide, sulfonamide, procainamide, dan hydralazine selalu
mengalami efek toksik. Oleh karena itu perlu diwaspadai terhadap gejala-
gejala efek toksik obat tersebut bila diberikan kepada kelompok pasien ini.
Sementara pasien dengan penotipe fast acetylator dapat mengalami
respons sub-level terapi (tidak ada dihasilkan respons terapi) bila diberikan
dengan dosis yang sama seperti yang diberikan kepada pasien dengan penotipe
slow acetylator. Bila isoniazide dosis normal diberikan kepada pasien dengan
penotipe slow asetilator akan dapat mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Berbagai studi telah membuktikan bahwa semakin ke Utara tempat tinggal
penduduk dunia, semakin rendah frekuensi penotipe slow asetilator. Kondisi
ini mungkin disebabkan oleh pola makanan dan lingkungan

Kondisi respon Abnormal enzim frekuensi Contoh


dan lokasi obat
Slow dan Slow N-Acetyltrans- 40-70% INH,
fast asetilasi acetylator ferase dihati populasi procainami
dapat USA de,
mengakibatk adalah hydralazine
an efek slow Sulfonamid
toksik fast acetylator; a
acetylator 10-20%

13
dapat penduduk
mengakibatk Jepang
an efek dan
subterapi Eskimo
Canada
adalah fast
acetylator

INH, Sesak nafas Pseudocholinester Beberapa Succinylcho


procainami berkepanjang ase di dalam kondisi li
de, an plasma gen
hydralazine abnormal

Perbedaan Perbedaan Perbedaan Perbedaan Proton


kemampuan kemampuan kemampuan kemampua pump
enzim enzim dalam enzim dalam n enzim inhibitors:
dalam metabolisme metabolisme dalam omeprazole,
metabolism metabolis lansoprazol
e me e,
pantoprazol
e

Contoh lainnya adalah defisiensi enzim pseudocholinesterase. Enzim ini


berperan dalam metabolisme berbagai obat seperti succinylcholine. Defisiensi
pseudocholinesterase mengakibatkan keterlambatan hidrolisis succinylcholine,
seterusnya pasien tak dapat bergerak dan bernafas. Tindakan berupa ventilasi
mekanik perlu dilakukan sampai seluruh succinylcholine dieksresikan dari dalam
tubuh.

14
BAB III

PENUTUP

3.2Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan profil
farmakokinetika karbamazepin antara etnik Jawa dan etnik Cina yang ada di
Indonesia. Namun demikian dijumpai adanya variasi antarindividu yang cukup
besar terhadap profil farmakokinetika karbamazepin pada ke dua etnik Jawa dan
Cina ini. Pemberian dosis karbamazepin dengan demikian disarankan untuk
ditetapkan secara individual pada penderita epilepsi sehingga bisa diperolehrespon
klinik yang optimal.

3.2.Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang di dapat kan, di sarankan pada
pemberian karbamazepin berikan sesuai dosis antar individu dan tidak
menggunakan pemberian dosis sesuai etnik.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, 1981, Farmakologi dan Terapi , Edisi 2 , Bagian Farmakologi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Kee, J.L., dan Hayes, E.r., 1996, Farmakologi Pendekatan Proses
keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Sudjarwo Agus Sri, 2008,Peran Farmakogenetik Dalam Pengobatan dan
Penemuan Obat Baru, Universitas Airlangga, Surabaya.
Nasution Azizah, 2015, Farmakokinetika Klinis, USU Press, Medan.

16

Anda mungkin juga menyukai