Anda di halaman 1dari 41

WAWASAN ILMU FARMASI

(KARYA ILMIAH)
“RUANG LINGKUP ILMU FARMASI”

DI SUSUN OLEH:

Nama : Nurhalisa . S

Nim : 18-3145-201-135

Kelas : D

PROGRAM STUDI S1-FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MEGA REZKY MAKASSAR

2018/2019
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah mata kuliah “WAWASAN ILMU FARMASI”. Shalawat
serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah
memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan
umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Wawasan Ilmu
Farmasi di program S1 Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mega Rezky
Makassar. Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar,03 januari 2019

Penulis
Daftar Isi

Halaman judul
Kata pengantar
Daftar isi
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan
Bab II Pembahasan
1.1 Pemgertan ruang lngkup lmu farmas
1.2 Cakupan lmu faramsi
1.3 perkembanagan ruang lingkup lmu farmasi
1.4 Teknologi ruang lingkup Ilmu faramasi
1.5 Pendidikan kefarmasian
1.6 Pendidikan kefarmasian luar negeri
1.7 Kurikulum ilmu farmasi
Bab III Penutup
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu
penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk
disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit.
Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan (selection),
aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan
bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian
mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik
melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan,
maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau
menjual langsung kepada pemakai.

Kata farmasi diturunkan dari bahasa Yunani “pharmakon”, yang berarti


cantik atau elok, yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan
selanjutnya berubah lagi menjadi obat atau bahan obat. Oleh karena itu
seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah orang yang paling mengetahui hal
ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat, karena pengetahuan keahlian
mengenai obat memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai semua
aspek kefarmasian seperti yang tercantum pada definisi di atas.

Bagian I tulisan ini membicarakan ruang lingkup farmasi, meliputi


perkembangan orientasi farmasi; sejarah farmasi, farmasi sebagai ilmu dan
profesi, karir dan pekerjaan Farmasis, dan pendidikan farmasi. Perkembangan
farmasi suatu negara tercermin dalam kurikulum pendidikan tingginya,
karena kurikulum pendidikan merupakan gambaran kebutuhan masyarakat
akan jenis kemampuan dan keterampilan dalam bidang keahlian tertentu.
Oleh karena itu sebagai perbandingan dibicarakan pula pendidikan Farmasis
pada beberapa perguruan tinggi diluar negeri
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapa maka rumusan masalah ini adalah
sebagai beriku:
1. Apa yang di maksud dengan ruamg lingkup ilmu farmasi ?
2. Apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup ilmu farmasi ?
3. Bagaimana ruang lingkup farmasi di akademik ?
4. Bagaimana perkembangan ruang lingkup ilmu farmasi?

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui penertian ruang lingkup ilmu farmasi.
2. Mengetahui macam macam ruang lingkup ilmu farmasi.
3. Mengetahui perkembangan ilmu farmasi.
4. Mengetahui perkembangan ruang lingkup ilmu farmasi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ruang Lingkup Ilmu Farmasi

Mengikuti perkembangan zaman, telah terjadi pula perubahan penekanan


pada pengertian dan orientasi farmasi. Pada awalnya profesi farmasi itu
dikatakan merupakan seni (arts) dan pengetahuan (science). Hal ini dapat
dilihat pada buku teks yang digunakan di perguruan tinggi farmasi pada awal
pertengahan abad ke-20, yang antara lain berjudul “Scoville’s The Art of
Compounding “ (Seni Meracik Obat), dan “Recepteerkunde” (Ilmu Resep)
karangan van Duin, dan van der Wielen. Definisi obat menurut Undang-
Undang No. 7 Tahun 1960 tentang Farmasi :

Definisi ini lebih menekankan sumber atau asal diperolehnya obat.


Perkembangan farmasi setelah itu berorientasi pada teknologi seperti
tergambar oleh buku teks yang populer pada saat itu, dan masih digunakan
sampai sekarang : “ Pharmaceutical Technology” oleh Lachman. Dalam
Kebijaksanaan Obat Nasional (KONAS, 1980) : …… obat ialah bahan atau
paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi.

Definisi obat ini lebih ditekankan pada tujuan penggunaannya.


Perkembangan farmasi sangat dipengaruhi pula oleh perkembangan
orientasi di bidang kesehatan. “World Health Organization” (WHO) yang
beranggotakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, pada tahun 80-an
mencanangkan semboyan “Health for All by the year 2000”, yang merupakan
tujuan sekaligus proses yang melibatkan seluruh negara untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakatnya, suatu derajat kesehatan yang
memungkinkan seluruh anggota masyarakat memperoleh kehidupan yang
produktif secara sosial maupun ekonomis. Semboyan tadi dirumuskan
melalui suatu konsep bernama “Primary Health Care” dalam konperensi
internasional di Alma Atta 1978, sehingga konsep itu dikenal dengan nama
Deklarasi Alma Atta. Deklarasi ini merupakan kunci dalam pencapaian tujuan
pengembangan sosio-ekonomi masyarakat dengan semangat persamaan hal
dan keadilan sosial. Perkembangan terakhir pengembangan di bidang
kesehatan pada milenium baru ini ialah konsep “Paradigma Sehat”.
Paradigma sehat, bukan paradigma sakit, berorientasi pada bagaimana
mempertahankan keadaan sehat, bukan menekankan pada manusia sakit yang
sudah menjadi tugas rutin bidang kesehatan. Jadi jelas perkembangan farmasi
yang menjadi bagian dari bidang kesehatan, juga harus mengikuti
perkembangan yang terjadi di bidang kesehatan.
The American Society of Colleges of Pharmacy (AACP) [1]
mendefinisikan farmasi sebagai ”suatu sistem pengetahuan (knowledge
system) yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan (health service)”.
Memang agak sulit untuk mendefinisikan farmasi secara lengkap, yang bukan
saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat, atau tujuan pemakaian obat.
Pada Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh ISFI/IDI di Jakarta bulan
Maret 1986 [9] oleh suatu Tim dari Institut Teknologi Bandung telah
dikemukakan definisi Farmasi sebagai berikut :
Farmasi pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi
dan sosial budaya) yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa
kesehatan dengan melibatkan dirinya dalam mendalami, memperluas, dampak
obat yang seluas-luasnya serta efek dan pengaruh obat pada manusia dan
hewan.
Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem pengetahuan
sepertidiuraikan di atas, farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang
relevan dari ilmu biologi, kimia, fisika, matematika, perilaku dan teknologi;
pengetahuan ini dikaji, diuji, diorganisir, ditransformasi dan diterapkan.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk
yang dikelola dan didistribusikan secara profesional bagi yang
membutuhkannya.
Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga
profesional dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat
umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat memberikan
sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan kesejahteraan umum
masyarakat.

Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan farmasi, karena


penerapannya untuk tujuan kesehatan, merupakan bagian yang berarti secara
kuantitatif maupun secara kualitatif dalam setiap upaya kesehatan.

2.2 Sejarah Perkembanagan Ilmu Farmasi

Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan


obat tradisional (jamu) dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada
zaman itu sebenarnya dukun melaksanakan dua profesi sekaligus, yaitu
profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan profesi kefarmasian
(meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya).

Penggunaan obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman
kebudayaan Mesir dan Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat
(granul), dan bentuk sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis
bahan alam yang digunakan sebagai obat. Pengetahuan tentang obat dan
pengobatan selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika
Hippocrates (460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan.
Dalam zaman Yunani itu dikenal pula Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan
puterinya Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan
lambang penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia
yang dililiti ular dijadikan lambang kefarmasian.

Perkembangan profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan


dalam biara, yang telah menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan
pengobatan dalam bahasa latin yang hampir punah itu, sampai saat ini
dijadikan tradisi dalam penulisan istilah di bidang kesehatan. Perkembangan
kefarmasian yang pesat pula telah terjadi dalam zaman kultur Arab dengan
terkenalnya seorang ahli yang bernama al-Saidalani pada abad ke-9.

Namun demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun
1240 di Sisilia, Eropa, ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang
secara legal (menurut undang-undang) mengatur pemisahan farmasi dari
pengobatan. Surat perintah yang kemudian dinamakan ”Magna Charta” dalam
bidang farmasi itu juga mewajibkan seorang Farmasis melalui pengucapan
sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai keterampilan
dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan seragam. ”Magna Charta”
kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini dalam bentuk Kode Etik
Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker. [4]

2.3 Pengetahuan,Ilmu, dan Profesi.

Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut
ilmu. Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi,
dan mampu menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk
ketahuan atau pengetahuan; misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan
filsafat. Apa yang diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa
memperhatikan obyek, cara (ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini
dikategorikan dalam ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut
”knowledge”. Ilmu atau ”Science” ialah pengetahuan yang diperoleh melalui
”metode ilmiah”, yaitu suatu cara yang menggunakan syarat-syarat tertentu,
melalui serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin.

 Farmasi Sebagai Sains


Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau
dikelompokkan dalam berbagai kategori atau bidang, sehingga terjadi
diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu, yang berakar
dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics), dan Sains
(Science). Di satu pihak Farmasi tergolong seni teknis (technical arts)
apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan obat
(medicine); di lain pihak Farmasi dapat pula digolongkan dalam ilmu-
ilmu pengetahuan alam (natural science).

Dalam tinjauan pengelompokan bidang ilmu atau kategori di


atas digunakan kriteria :

1. Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang ditelaah


sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut. Sebagai contoh,
obyek ontologis dalam bidang Ekonomi ialah hubungan manusia
dan benda atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup;
obyek telaah pada Manajemen ialah kerja sama manusia dalam
mencapai tujuan yang telah disetujui bersama; obyek ontologis
pada Farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi terapetik,
pengadaan, pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang
memerlukan.
2. Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode apa yang
digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Contoh
landasan Epistemologis Matematika ialah logika deduktif; landasan
epistemologis kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan akal
sehat; landasan epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan
logika induktif dengan pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula
metode logiko-hipotetiko-verifikatif.
3. Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan
pengetahuan tersebut. Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan
farmasi sudah jelas berbeda. Dalam hal ini nilai kegunaan atau
landasan aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama karena
kedua-duanya bertujuan untuk kesehatan manusia. [8]

Sebagai ilmu, Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal
dari alam maupun sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan
menggunakan metode logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah
yang sama seperti digunakan pada bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Oleh
karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang dapat dikelompokkan dalam bidang
Sains.

 Farmasi Sebagai Profesi

Dari kajian filsafati di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu


atau Sains, Farmasi meliputi pula pelayanan obat secara profesional.
Istilah Profesi dan Profesional saat ini semakin dikaburkan karena
banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job,
vacation, occupation) dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai
profesi. Demikian pula istilah profesional sering digunakan sebagai
lawan kata amatir.
Kelompok profesional dapat dibedakan dari yang bukan
profesional menurut kriteria berikut :
1. Memiliki Pengetahuan Khusus, yang berhubungan dengan
kepentingan sosial. Pengetahuan khusus ini dipelajari dalam waktu
yang cukup lama untuk kepentingan masyarakat umum.
2. Sikap dan Prilaku Profesional. Seorang profesional memiliki
seperangkat sikap yang mempengaruhi prilakunya. Komponen
dasar sikap ini ialah mendahulukan kepentingan orang lain
(altruisme) di atas kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall,
seorang profesional bukan bekerja untuk dibayar, tetapi ia dibayar
agar supaya ia dapat bekerja.
3. Sanksi Sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada
masyarakat untuk menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat
ini ialah dengan pemberian hak atau lisensi (lincense) oleh negara
untuk melaksanakan praktek suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan
untuk menghindarkan masyarakat dari oknum yang tidak
berkompetensi untuk melakukan praktek profesional.

Apabila kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat
sebagai berikut :

1. Profesi itu sendiri yang menentukan standar pendidikan dan pelatihannya.


2. Mahasiswa yang mengikuti pendidikan profesi tertentu harus memperoleh
pengalaman sosialisasi menuju kedewasaan yang lebih intensif dibanding
mahasiswa pada bidang pekerjaan lain.
3. Praktek profesional secara legal (menurut hukum) diakui dengan pemberian
lisensi.
4. Pemberian lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh anggota profesi.
5. Umumnya peraturan yang berkaitan dengan profesi dibentuk dan
dirumuskan oleh profesi itu sendiri.
6. Okupasi ini akan berkembang dari segi pendapatannya, kekuasaan, dan
tingkat prestise, sehingga dapat menetapkan persyaratan yang lebih tinggi
bagi calon mahasiswanya.
7. Praktisi profesi secara relatif tidak dievaluasi dan dikontrol oleh orang
awam.
8. Norma-norma praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih mengikat
dibanding kontrol legal.
9. Anggota profesi sangat erat terikat dan terafiliasi dengan profesinya
dibanding dengan anggota okupasi lain.
10. Profesi ini biasanya merupakan terminal, dalam arti tidak ada yang akan
beralih ke profesi lain. [7]

2.4 Vokasi dan Karir Dalam Bidang Farmasi.


Perhatian utama para dokter, dokter gigi dan dokter hewan yang
menulis resep ialah pada efek obat pada penderita, nilai terapetika, dan
toksiologinya. Para perawat bertugas untuk memberikan obat, tanggap terhntuk
sediaan obat, dan terhadap manifestasi toksisnya. Maka ahli Farmasi
(Farmasis) itulah satu-satunya ahli mengenai obat. Ia diberikan tanggung jawab
legal untuk menangani obat dan pengetahuan segala sesuatu mengenai obat itu
adalah tanggung jawab profesinya. Tidak ada program studi lain selain Farmasi
yang memberikan dasar-dasar pengetahuan lengkap mengenai segala sesuatu
yang perlu diketahui tentang obat. Jadi hanya seorang Farmasis yang
mempunya kompetensi keahlian obat secara lengkap.

A.Farmasis Komunitas (Community Pharmacist)

Farmasis atau Apoteker memberikan kesan umum bahwa tempat kerja


seorang farmasi hanyalah di Apotik, yaitu salah satu tempat pengabdian
profesi seorang Apoteker. Seorang Farmasis di Apotik langsung berhadapan
dengan masyarakat sehingga fungsi tersebut dikelompokkan dalam Farmasi
Masyarakat (Community Pharmacy). Fungsi Farmasis Masyarakat di Apotki
merupakan kombinasi seorang profesional dan wiraswastawan. Dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 25/80 tentang Apotik, bahwa
Apotik adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker, maka makin
besar harapan yang diberikan pemerintah kepada para Farmasis, baik dari
segi jumlah tenaga farmasi maupun dari segi kemampuan profesionalnya.

B. Farmasi Rumah Sakit (Hospital Pharmacy)

Farmasi Rumah Sakit ialah pekerjaan kefarmasiaan yang dilakukan di


rumah sakit pemerintah maupun swasta. Fungsi kefarmasian ini yang sudah
sangat berkembang di negara maju, juga sudah mulai dirintis di Indonesia
dIengan pembukaan program spesialisasi Farmasi Rumah Sakit. Jumlah
kebutuhan Farmasis di rumah sakit di masa depan akan semakin meningkat
karena 3 hal :
1. Faktor pertambahan penduduk.
2. Meningkatnya kebutuhan untuk perawatan yang lebih baik di rumah sakit.
3. Fungsi dan peranan Farmasis Rumah Sakit akan lebih meningkat dalam
berbagai aspek mengenai penggunaan dan pemantauan obat.

C. Pedagang Besar Farmasi (PBF)

Mata rantai sebagai perantara industri farmasi dan masyarakat dalam


hal penyaluran obat ialah Pedagang Besar Farmasi (PBF). Di luar negeri
PBF ini mempunyai tenaga Farmasis terdaftar sebagai supervisor
disebabkan oleh sifat khas produk yang ditanganinya itu sehubungan
dengan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia hanya dipersyaratkan
tenaga menengah farmasi (Asisten Apoteker = AA) sebagai
penanggungjawab, mengingat belum cukup tersedianya tenaga ahli
berpendidikan tinggi.

PBF sangat berperanan sebagai sumber penyalur obat dari berbagai


industri farmasi yang secara cepat dapat melayani kebutuhan Farmasis
Komunitas (Apoteker) untuk secara cepat pula melayani kebutuhan
penderita akan obat. PBF juga mengurangi beban finansial Apoteker dalam
hal menyimpan stok obat dalam jumlah besar dan menjembatani kerumitan
negosiasi dengan ratusan industri farmasi sebagai produsen obat.
D. Industri Farmasi
Farmasis di industri farmasi terlibat pula dalam fungsi pemasaran
produk, riset dan pengembangan produk, pengendalian kualitas, produksi
dan administrasi atau manajemen. Fungsi perwakilan pelayanan medis
(medical service representative) atau ”detailman” yang bertugas dan
langsung berhubungan dengan Dokter dan Apoteker untuk
memperkenalkan produk yang dihasilkan industri farmasi mungkin juga
dijabat seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila
fungsi itu dipegang seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling
ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis karena latar belakang
pengetahuannya. Saat ini memang tidak banyak Farmasis yang mengisi
jabatan ini karena jumlahnya belum mencukupi, dan lebih dibutuhkan di
tempat pengabdian profesi yang lain. Peningkatan karir jabatan ini dapat
mencapai tingkat supervisor dalam pemasaran produk, dan direktur
pemasaran produk dalam organisasi industri farmasi.
Pada unit produksi dan pengendalian kualitas (quality control) industri
dipersyaratkan seorang Apoteker. Untuk bidang riset dan pengembangan
(R & D = Research and Development) biasanya diperlukan lulusan
pendidikan pascasarjana, meskipun bukan merupakan persyaratan.

E. Instansi Pemerintah

Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah yang paling banyak


menyerap tenaga Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Minuman (DitJen POM) dan jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM)
dan Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (Balai POM) di daerah.
Demikian pula Bidang Pengendalian Farmasi dan Makanan pada setiap
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan (sekarang dihapus, hanya ada
Dinas Kesehatan Propinsi) dan jajaran Dinas Kesehatan sampai ke Daerah
Tingkat II dan Gudang Farmasi. Fungsi utama Farmasis pada instansi
pemerintah ialah administrastif, pemeriksaan, bimbingan dan
pengendalian. Sejak tahun 2001, telah terjadi perubahan struktur,
Direktorat Jendral POM tidak lagi bernaung di bawah Departemen
Kesehatan, tetapi menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian
pula struktur Balai (besar,kecil) POM di daerah tingkat I, yang langsung
berada di bawah Badan POM, tidak berada di dalam Dinas Kesehatan
Propinsi.

Departemen HANKAM, juga memerlukan Farmasis yang terutama


berfungsi pada bagian logistik dan penyaluran obat dan alat kesehatan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan merekrut Farmasis untuk jabatan
dosen di perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka
fungsi seorang Farmasis ialah dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Persyaratan untuk diterima
menjadi dosen akan ditingkatkan menjadi lulusan Pascasarjana, atau
mempunyai Sertifikat Mengajar Program PEKERTI/AA (Pengembangan
Keterampilan Dasar Teknik Instruksional/Applied Approach), yaitu
program penataran dosen dalam aktivitas instruksional atau proses belajar
mengajar.

Sebagai tenaga kesehatan, seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan


untuk mengabdi pada negara selama 3 tahun setelah lulus ujian Apoteker
sebelum dapat berpraktek swasta perorangan. Wajib kerja sarjana ini
dikenal sebagai Masa Bakti Apoteker (MBA) yang dapat dilaksanakan
pada instansi pemerintah seperti tersebut di atas atau penugasan khusus
dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri
Kesehatan di daerah. Dengan dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini
diambil alih Kepala Dinas Kesehatan
F. Wartawan Farmasi (Pharmaceutical Journalism)
Profesi ini mulai berkembang di luar negeri bagi Farmasis yang
memperoleh latihan khusus dalam kewartawanan dan mempunyai bakat
menulis dan mengedit. Pekerjaan ini diperlukan oleh instansi pemerintah
atau industri farmasi untuk publikasi, mengedit atau menulis tulisan yang
berlatar belakang kefarmasian.

G.Manajemen Perusahaan

Khususnya instansi swasta banyak memerlukan tenaga ahli berlatar


belakang kefarmasian dengan berkembangnya organisasi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat. Untuk ini diperlukan pendidikan tambahan, misalnya
Magister Manajemen (MBA = Master of Business Administration).
2.5 PENDIDIKAN KEFARMASIAN

Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan


perubahan tuntutan zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk
menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan lebih relevan terhadap
kebutuhan masyarakat. Khususnya bidang Farmasi di era reformasi ini
semakin banyak didirikan perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan
pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada pendidikan program
profesional di bidang kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang
tinggi, sehingga Sekolah Perawat, Sekolah Menengah Farmasi, dan lain-lain
ditingkatkan menjadi setingkat Akademi (Program D-3 atau D-4), yang
dikelola oleh Dinas Kesehatan Propinsi, dan dikelompokkan dalam Politeknik
Kesehatan (POLTEKKES).

 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Indonesia. [6]

Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian di Indonesia dapat


dibagi dalam era pra Perang Dunia II, Zaman Pendudukan Jepang dan
pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I. Sebelum Perang Dunia II, selama
penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari
Denmark, Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik
di Indonesia hanya setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai
dihasilkan tahun 1906. Pelaksanaan pendidikan A.A. ini dilakukan secara
magang ada Apotik yang ada Apotekernya dan setelah periode tertentu
seorang calon menjalani ujian negara. Pada tahun 1918 dibuka sekolah
Asisten Apoteker yang pertama dengan penerimaan murid lulusan MULO
Bagian B (Setingkat SMP). Pada tahun 1937 jumlah Apotik di seluruh
Indonesia hanya 37. Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak
Apoteker warga negara asing meninggalkan Indonesia sehingga terdapat
kekosongan Apotik. Untuk mengisi kekosongan itu diberi izin kepada
dokter untuk mengisi jabatan di Apotik, juga diberi izin kepada dokter
untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di daerah yang belum
ada Apotiknya.

Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi


Farmasi dengan nama Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku.
Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku. Pada tahun
1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian pindah
dan berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta. Tahun 1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu
Pengetahuan dan Ilmu Alam (FIPIA), Bandung sebagai bagian dari
Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian berubah menjadi Jurusan
Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei 1959.

Lulusan Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang dihasilkan pada


tahun 1953. Saat ini di Indonesia terdapat 8 perguruan tinggi farmasi
negeri dan belasan perguruan tinggi swasta [6].

 Sekolah Menengah Farmasi

Dari sejarah perkembangan kefarmasiaan di Indonesia tampak


besarnya peranan pendidikan menengah farmasi (Sekolah Asisten
Apoteker), khususnya pada saat langkanya tenaga kefarmasian
berpendidikan tinggi. Pada saat peralihan sampai dikeluarkannya PP 25
tahun 1980, masih dimungkinkan adanya ”Apotik Darurat” yaitu Apotik
yang dikelola oleh Asisten Apoteker yang sudah berpengalaman kerja.
Tenaga menengah farmasi ini masih sangat diperlukan dan

Berperanan, khususnya pada Farmasi Komunitas, baik di Apotik


maupun di Rumah Sakit. Dengan bertambahnya tenaga farmasi
berpendidikan tinggi, peranan ini akan semakin kecil, sehingga perlu
dipikirkan untuk meningkatkan pendidikan AA ini setingkat akademi
(lulusan SMA). Mulai tahun 2000, pendidikan menengah ini mulai
“phasing out”, ditingkatkan menjadi Akademi Farmasi.

 Program Diploma Farmasi

Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli


madya dalam bentuk Program Diploma (D-III) oleh Departemen
Kesehatan, yaitu Program Studi Analis Farmasi. Kebutuhan ini merupakan
konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang semakin memerluka
tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan semakin memerlukan
diversifikasi tenaga keahlian. Tujuan utama program studi ini ialah
menghasilkan tenaga ahli madya farmasi yang berkompetensi untuk
pelaksanaan pekerjaan di bidang pengendalian kualitas (quality control).
Adapun peranan yang diharapkan dari lulusan program Studi Analis
Farmasi ialah: Melaksanakan analisis farmasi dalam laboratorium: obat,
obat tradisional, kosmetika, makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat
kesehatan; di industri farmasi, instalasi farmasi rumah sakit, instansi
pengawasan mutu obat dan makanan-minuman atau laboratorium
sejenisnya, di sektor pemerintah maupun swasta, dengan fungsi :
Pelaksanaan analisis, pengujian mutu, pengembangan metode analisis dan
peserta aktif dalam pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi.

Program ini diharapkan dapat dikelola oleh perguruan tinggi negeri


yang mempunyai fakultas atau Jurusan Farmasi dengan status Program
Diploma (D-III). Kemungkinan besar Sekolah Menengah Farmasi di masa
yang akan datang dapat ditingkatkan menjadi Program Diploma seperti
yang diuraikan di atas. [3] Ramalan kami lebih dari 10 tahun yang lalu,
sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui ketentuan yang
mengharuskan pendidikan menengah ditingkatkan menjadi Akademi.

 Pendidikan Tinggi Farmasi [6]


Perkembangan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia sejak
berdirinya perguruan tinggi farmasi yang pertama di Klaten dan Bandung,
sampai saat ini terdapat 8 pendidikan tinggi Farmasi negeri dan belasan
perguruan tinggi swasta. Menurut catatan tahun 1983 jumlah lulusan
Farmasis (Apoteker) di Indonesia 3552 orang, yang merupakan
peningkatan sebesar 350% dari jumlah Apoteker di tahun 1966. Proyeksi
jumlah Apoteker pada tahun 2000 adalah 6666 orang berdasarkan rasio 1
Apoteker untuk 30.000 jiwa, hanya untuk bidang pelayanan saja. (Rasio
yang ideal untuk perbandingan kebutuhan minimum yang lazim
diproyeksikan untuk profesi ini di bidang kesehatan ialah 1 : 15.000). Saat
ini jumlah Apoteker diperkirakan sebanyak 10.000 orang.

Tantangan pembangunan di bidang kesehatan, khususnya dalam


bidang yang merupakan tantangan bagi Pendidikan Tinggi Farmasi di
Indonesia ialah menghasilkan produk pendidikan tinggi yang memenui
Standar Profesi Apoteker (Standard Operating Procedure = SOP) sebagai
berikut : [5]

- turut mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat
meringankan penderitaan akibat penyakit.
- memberikan sumbangan untuk mengungkapkan mekanisme terinci dari
fungsi normal dan fungsi abnormal organisme.
- mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat
memodifikasi penyakit; memulihkan kesehatan; mencegah penyakit.
- mengupayakan obat yang dapat membantu kebehrasilan intervensi dengan
cara lain (bukan obat) dalam upaya kesehatan.
- menciptakan metode untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan
fungsional pada manusia.
- menggali dan mengembangkan sumber alam Indonesia yang dapat
diperbaharui atau pun tidak dapat diperbaharui untuk tujuan kefarmasian.
- menciptakan cara baru untuk penyampaian obat ke sasaran yang harus
dipengaruhinya dalam organisme.
- mengembangkan metode untuk menguji, menciptakan norma dan kriteria
untuk meningkatkan secara menyeluruh daya guna dan keamanan obat
dan komoditi farmasi, maupun keamanan lingkungan dan bahan lain yang
digunakan manusia untuk kepentingan kehidupannya.
- membangun sistem farmasi Indonesia dan sistem pengejawantahan profesi
farmasi yang efisien dan efektif selaras dengan konstelasi budaya,
geografi dan lingkungan Indonesia.

 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun


perubahan orientasi Farmasi sebagai ilmu dan profesi juga berkembang
mengikuti zaman. Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi mulai berubah
secara drastis pada awal tahun 80-an. Perubahan ini ditandai oleh
penerapan Sistem Kredit Semester, penerapan Kurikulum Inti dalam
rangka penyeragaman pendidikan tinggi Farmasi di seluruh Indonesia, dan
terbitnya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang
dikembalikannya fungsi Apotik sebagai tempat pengabdian profesi
Apoteker.

Perkembangan di era sembilan puluhan dimulai dengan terbitnya


Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Peraturan Pemerintah No. 30/Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi,
Konsep Link and Match (1993) oleh DepDikBud; dan di sektor kesehatan
diterbitkan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Perkembangan terakhir ialah diterbitkannya PP 60/ Tahun 1999 tentang
Pendidikan Tinggi, yang merupakan penyempurnaan PP No.30/Tahun
1990 Tentang Pendidikan Tinggi, dan PP No.61/ Tahun 1999, tentang
Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Peraturan Pemerintah
yang terakhir ini pada dasarnya memberikan otonomi kepada perguruan
tinggi untuk penyelenggaraan pendidikan akademik dan profesional, yang
disertai akuntabilitas (pertanggungjawaban), melalui akreditasi, yang
dilakukan melalui evaluasi, untuk meningkatkan kualitas secara
berkelanjutan. (Paradigma Baru Pendidikan Tinggi , KPPT-JP 1996-2005)

Kebijaksanaan pemerintah yang tertuang dalam berbagai


perundang-undangan itu semuanya mengacu pada Tujuan Pembangunan
Nasional seperti yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara,
yang mempengaruhi pula arah, tujuan dan orientasi pendidikan
kefarmasian, dan kurikulum pendidikannya.

 Sistem Kredit Semester

Sistem Kredit Semester ialah sistem pengadministrasian


pendidikan yang memberikan bobot SKS pada hasil upaya peserta didik
maupun pendidik. Untuk Sarjana Farmasi ditetapkan jumlah bobot 114-
160 SKS sebagai suatu kebulatan studi yang dapat diselesaikan dalam 9
Semester, dan 2 Semester untuk program profesi Apoteker.

 Kurikulum Inti

Kurikulum Inti Bidang Farmasi merupakan hasil rumusan


Konsorsium Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, DepDikBud pada
tahun 1980 yang diberlakukan tahun 1983 dengan SK DirJenDikTi.
Kurikulum Inti (1983) dapat dilihat pada Tabel berikut menurut
pengelompokan mata kuliah dan sebaran SKS :

Kurikulum Inti Di luar Kurikulum


Kelompok Jumlah SKS
(SKS) Inti
(SKS)
Mata kuliah Dasar 6 8 - 10 14 - 16
Umum (MKDU)
Mata Kuliah Dasar 54 11 - 18 65 - 72
Keahlian (MKDK)
Mata Kuliah Keahlian 54 11 - 18 65 - 72
Utama (MKKU)
(Kimia Farmasi 12
Farmasetik 12
Farmakognosi 12
Farmakologi 12
Tugas Akhir 6
Mata kuliah (termasuk mata kuliah di luar Kurikulum Inti)
Pilihan(MKP)
114 114 - 160

Catatan :
1. Antara MKDK dan MKDU dibuat berimbang dengan maksud agar supaya
mahasiswa lebih fleksibel untuk mengembangkan diri baik terjun ke
masyarakat, maupun melanjutkan ke program Pascasarjana.
2. Masing-masing MKKU mendapat jumlah SKS yang sama dengan maksud
memberi kesempatan yang seimbang kepada masing-masing bidang untuk
berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing
universitas/institut.
3. MKP dapat diisi dengan mata kuliah dalam bidang studi atau di luar bidang
studi untuk memperluas wawasan, juga dimaksudkan untuk diisi dengan
mata kuliah yang sesuai dengan Pola Ilmiah Pokok masing-masing
universitas/institut.

 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi Tahun 2000


Melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (MenDikNas)
No.232/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi
dan Evaluasi hasil Belajar, dan No.045/2002, tentang Kurikulum
Pendidikan, telah terjadi perubahan mendasar pada penyusunan
kurikulum, yang saat ini ditekankan pada kompetensi lulusan
(Competency-Based Curriculum). Dengan demikian maka perlu diadakan
tinjauan kembali mengenai kompetensi yang akan dirumuskan dalam
Tujuan Program Studi Farmasi sesuai dengan elemen kompetensi seperti
diberikan pengelompokannya. Kalau pada kurikulum mata kuliah
dikelompokkan menurut MKDU, MKDK, MKK dan MKP, maka dalam
kurikulum 2002 diadakan pengelompokan menurut :

 Kelompok MPK (mata kuliah pengembangan kepribadian)


 Kelompok MKK (mata kuliah keilmuan dan ketrampilan)
 Kelompok MKB (mata kuliah keahlian berkarya)
 Kelompok MPB (mata kuliah perilaku berkarya)
 Kelompok MBB (matakuliah berkehidupan bermasyarakat)

Pada dasarnya, masing-masing pendidikan tinggi dapat menyusun


kurikulumnya sendiri berdasarkan pedoman tersebut. Kurikulum yang
baru ini sedang dalam proses penyusunannya. Selanjutnya oleh Asosiasi
PTFI (lihat di bawah) telah diterbitkan kesepakatan mengenai Kisi-Kisi
Matakuliah Kurikulum Inti Program Studi Farmasi Tahun 2002, yang
berisi silabus dan uraian singkat masing-masing matakuliah. Kisi-Kisi
Mata Kuliah Kurikulum Inti Program Studi Farmasi 2002 telah disusun
untuk mata kuliah :

1) Biologi Sel dan Molekul ( 2 SKS )


2) Mikrobiologi Farmasi (2+1)
3) Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan (2+1)
4) Anatomi Fisiologi Manusia (2+1)
5) Kimia Analisis (2+1)
6) Kimia Fisika (2)
7) Kimia Organik (4+1)
8) Biokimia (2+1)
9) Farmasi Fisika (2+1)
10) Farmasetika Dasar (2+1)
11) Kimia Farmasi Analisis (2+1)
12) Teknologi Sediaan Farmasi (4+2)
13) Biofarmasi (2)
14) Farmakokinetika (2)
15) Kimia Medisinal (2)
16) Farmakognosi (3+1)
17) Fitokimia (2+1)
18) Farmakologi-Toksikologi (4+1)
-------------------------------------------------------------------------------
Jumlah Mata Kuliah = 18
Jumlah SKS = (43 + 14)

Jumlah Mata kuliah dan Bobot SKS masih perlu dilengkapi dengan muatan
lokal sampai menjadi (144-160) SKS

 Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi Negeri

Sejak 1984 telah dibentuk Forum Komunikasi oleh pimpinan


pendidikan tinggi Farmasi Negeri (Dekan atau Ketua Jurusan) yang
bertemu sekali setahun sebagai wadah sumbang saran dalam rangka
meningkatkan dan mengembangkan pendidikan. Beberapa kesepakatan
penting antara lain :
1. usaha penyeragaman status pendidikan tinggi Farmasi menjadi Fakultas
Farmasi.
2. usaha penyeragaman lulusan Farmasis, khususnya Apoteker dengan
menetapkan kurikulum minimal selain Kurikulum Inti.
3. pelaksanaan ujian negara bagi Perguruan Tinggi Swasta (sekarang ini
sudah dihapus)
4. pengembangan program studi baru, misalnya D-III Farmasi,
Pascasarjana Farmasi, dan Spesialis.

FORKOM PTFN beranggotakan 8 perguruan tinggi negeri yang


menyelenggarakan pendidik Farmasi dan Apoteker. Sejak tahun 2000
perkembangan perguruan tinggi swasta semakin pesat sehingga dibentuk Asosiasi
Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, yang beranggotakan semua pendidikan
tinggi farmasi, negeri dan swasta. Tercatat saat ini perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan Sarjana Farmasi di Indonesia berjumlah 8 (negeri)
dan 23 (swasta)

 Dampak PP 25/80 terhadap Pendidikan Apoteker

Sejak dikeluarkannya PP 25/80 diwajibkan kepada para Apoteker


untuk mengikuti pelatihan tambahan sebagai Apoteker Pengelola Apotik
(APA). Dengan dikeluarkannya PP tersebut maka kemampuan dan
keterampilan Apoteker sebagai Pengelola Apotik perlu ditingkatkan,
khususnya dalam bidang manajemen, komunikasi personal, farmakologi
dan kewiraswastaan dalam rangka peningkatan kemampuan dalam
pengabdian profesi di Apotik. Pelatihan ini dilaksanakan untuk semua
Apoteker yang sudah mempunyai izin kerja dengan pemberian sertifikat
Apoteker Pengelola Apotik (APA). Setelah itu pada tahun 1984 materi
kompetensi APA itu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan
Apoteker.

 Konsep Link and Match

Dalam rangka pembinaan Sistem Pendidikan Nasional, sejak Agustus


1993 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diumumkan kebijakan
keterkaitan (link) dan keterpadanan (match) sebagai salah satu strategi di
bidang pendidikan. Inti dari konsep ini ialah relevansi pendidikan yang
perlu dijabarkan lebih lanjut dalam program-program pendidikan,
sedangkan latar belakang permasalahan yang mendasari konsep ini ialah
kenyataan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kesempatan kerja
menurut proyeksi penyediaan tenaga kerja (DepTenaKer), dengan luaran
pendidikan menurut tingkat pendidikannya.

Upaya peningkatan relevansi dalam sistem pendidikan dapat diartikan


bahwa hasil pendidikan harus memberikan dampak bagi pemenuhan dunia
kerja, kehidupan di masyarakat, dan melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Upaya peningkatan relevansi ini perlu dioptimalkan agar
lulusan dapat memperoleh keterampilan dan keahlian sesuai
(keterpadanan) kebutuhan masyarakat pada umumnya dan kebutuhan
lapangan kerja (keterkaitan) pada khususnya baik dilihat dari segi jumlah
dan komposisinya menurut keahlian, mutu keahlian dan keterampilannya
maupun sebaran serta efisiensinya.
Dikaitkan dengan konsep DepDikBud tersebut, pendidikan tinggi
farmasi perlu membenahi diri untuk menghasilkan tenaga yang jumlahnya
cukup (kuantitas) untuk mengisi kebutuhan lapangan kerja yang
diproyeksikan, dan lebih meningkatkan kualitasnya lulusan agar
mempunyai keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.

Pendidikan tinggi farmasi di Indonesia baik negeri maupun swasta


setiap tahun diperkirakan dapat memproduksi lulusan Apoteker sebanyak
500 orang. Jumlah Apoteker saat ini (1993) diperikirakan 4500 orang.
Dengan perhitungan rasio 1 orang Apoteker untuk 20.000 orang, dan
perkiraan penduduk Indonesia pada tahun 2000 berjumlah 200 juta orang,
berarti diperlukan tenaga Apoteker sebanyak 10.000 orang, yang belum
dapat dihasilkan oleh perguruan tinggi di Indonesia (7 tahun @ 500 =
3500 orang). Dari segi kualitas Apoteker sebagai profesi ang mendapat
pengakuan masyarakat, perlu ditingkatkan dan diadakan diversifikasi
menurut keahlian yang sepadan denga kebutuhan masyarakat. Konsep
“Link and Match” saat ini masih dilanjutkan dengan nama lain.

 PENDIDIKAN TINGGI FARMASI DI LUAR NEGERI [1,2]

Kurikulum pendidikan tinggi Farmasi dapat memberikan gambaran


mengenai perkembangan kefarmasian (state of the art) dalam suatu negara,
karena perkembangan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan,
khususnya pelayanan kefarmasian akan diejawantahkan dalam kurikulum
pendidikan tingginya.

Sekedar melakukan perbandingan, pada tabel di bawah ini disajikan


perbedaan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia dengan beberapa
pendidikan tinggi di luar negeri :

Farmasis Master Doktor


Indonesia 4 ½ th. + 2 th. + 3 th.
+ 1 th. profesi
Australia 3 th. Master of Doctor of
+ 1 th. Profesi Pharmacy Philosophy
(akan diseragamkan + 2 th. + 3 th. (Ph.D)
4 th + 1)
Amerika Serikat 2 th. (Pre- Master of Doctor of
professional) Science Philosophy
4 th. (Professional) + 2 th. + 3 th. (Ph.D)
Pharm. Doctor)

Sejak tahun 1996 di Amerika Serikat hanya ada 1 jalur untuk


mencapai profesi Pharmacist, yaitu Pharmaceutical Doctor yang
membutuhkan waktu 6 tahun (2 tahun pre-professional + 4 tahun
professional). Di Australia juga akan diseragamkan lama waktu studi
Pharmacist (Bachelor of Pharmacy = B.P.) menjadi (4 + 1) tahun. Di
samping program pascasarjana di bidang penelitian (Master dan Doctor),
sama halnya di Indonesia, di Australia juga disediakan program Graduate
Diploma di bidang tertentu (Hospital Pharmacy; Industrial Pharmacy) bagi
Farmasis yang ingin meningkatkan keahliannya, khususnya keterampilan.

 Pendidikan Tinggi Farmasi di Australia [2]

Pendidikan tinggi Farmasi di Australia secara khusus mendidik


calon Farmasis untuk dapat bekerja sebagai seorang profesional di
masyarakat, berbeda dengan di Indonesia yang mendidik mahasiswa juga
sebagai calon peneliti (ada jalur akademik dan jalur profesi). Yang dapat
menjadi peneliti hanya terbatas pada lulusan yang mencapai Honours
Degree (lulusan dengan pujian) agar dapat melanjutkan ke jenjang Master
of Pharmacy atau Doctor of Philosophy. Hal ini tergambarkan pada Tujuan
Pendidikan dan Materi sebagai berikut :

Tujuan Pendidikan

1. memahami ilmu dasar dan terapan yang cukup, agar dengan bertambahnya
pengalaman, mampu mengintegrasikan dan menerapkan pengetahuannya
pada lingkungan profesi praktis.
2. memiliki keterampilan ”dispensing” dan keterampilan lain yang sesuai
agar setelah menjalani magang (1 th.) dapat berpraktek sebagai Farmasis
yang kompeten.
3. memperoleh keterampilan berkomunikasi yang cukup untuk berpraktek
sebagai Farmasis yang kompeten dengan bertambahnya pengetahuan.
4. mengembangkan ciri, kualitas dan pandangan pribadi terhadap etika dan
standar profesi yang diperlukan untuk berpraktek sebagai profesional di
bidang kesehatan secara bertanggung jawab.
5. mempunyai komitmen untuk mempertahankan dan mengembangkan
pengetahuan dasarnya dengan cara melanjutkan proses pendidikan selama
karirnya.

Pengetahuan mendalam (detailed knowledge)….

Materi yang diperlukan untuk pencapaian tujuan di atas yang perlu dikuasai
secara mendalam ialah mengenai :

(a) ciri struktur dan sifat fisiokimia obat sebagai dasar untuk memahami
mekanisme molekuler dari aksi obat; faktor yang mempengaruhi absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi; dan tentang desain bentuk sediaan.
(b) fisiologi manusia dan farmakologi sebagai dasar untuk pengobatan
penyakit; optimasi pengobatan, menghindari efek samping, kontraindikasi,
efek bertentangan dan reaksi toksis.
(c) formulasi dan pembuatan obat menjadi bentuk sediaan yang tepat untuk
optimasi kemanfaatn terapetik.
(d) penyerahan obat kepada penderita (individu) sesuai dengan persyaratan
legalitas, terapetik dan profesional.
(e) peraturan perundang-undangan tentang praktek profesional farmasi.
Pengetahuan secara umum (general knowledge) tentang……

(f) keadaan penyakit manusia secara umum agar dapat memahami dasar-
dasar terapi obat secara rasional.
(g) pengenalan dan pengobatan penyakit biasa (minor ailments) dan
kemampuan menentukan perlunya merujuk penderita kepada profesional
kesehatan lain.
(h) teknik membimbing penderita dan berkomunikasi dengan profesi
kesehatan lain mengenai penggunaan obat yang sesuai dan tentang
masalah lain yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
(i) sumber informasi yang relevan dan kemampuan untuk mengevaluasi
dan menggunakannya secara kritis.
Pengertian mengenai….
(j) proses yang berkaitan dengan pengembangan obat baru dan persetujuan
mengenai bahan obat baru untuk tujuan terapetik.
(k) pereaksi dan uji diagnostik yang umum digunakan, yang sesuai dengan
praktek kefarmasian.
(l) kedudukan Farmasi dalam sistem pemeliharaan kesehatan.
(m) bahaya yang berkaitan dengan bahan kimia tertentu yang umum
digunakan.
(n) penggunaan salah dan penyalahgunaan obat, bahan obat dan zat lain.
(o) nutrisi, yang berpengaruh pada penyakit dan pengobatannya.

Garis Besar Matakuliah

Matakuliah kefarmasian di Australia itu sifatnya ”berorientasi-obat” dan


berorientasi-pasien”, meliputi 4 bidang utama :
1. Pharmaceutical Chemistry (segi kimia dari obat).
2. Pharmacology (aksi obat).
3. Pharmaceutics (bentuk dan pemberian obat)
4. Pharmacy Practice (aplikasi ketiga di atas pada praktek kefarmasian)

 Pendidikan Tinggi Farmasi di Amerika Serikat

Pendidikan Tinggi Farmasi (Pharmacist) di Amerika Serikat, sejak


tahun 1996 telah diseragamkan hanya melalui 1 jalur, yaitu Pharmaceutical
Doctor yang berlangsung selama 6 tahun. Perubahan kurikulum
pendidikan ini disebabkan oleh tuntutan kemampuan profesional seorang
Farmasis di masyarakat yang semakin meningkat dan memerlukan
tambahan pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu dasar dan pengetahuan lain
di luar kefarmasian, misalnya pengetahuan mengenai komputer. Pada saat
itu, profesi Pharmacist menempati ranking teratas paling mulia di mata
masyarakat. Hal ini disebabkan karena keahlian dan kemampuan profesi
pharmacist seanntiasa dikaji dan dikembangkan agar lebih sesuai dengan
kebutuhan (link and match). Kajian tentang perubahan kurikulum
pendidikan pharmacist ini dihasilkan oleh suatu Satuan Tugas Pendidikan
Farmasi (Task Force on Pharmacy Education) yang dibentuk oleh Ikatan
Sarjana Farmasi Amerika Serikat (American Pharmaceutical Association,
The National Professional Society of Pharmacists), yang telah bekerja
dalam kurun waktu yang cukup lama.

Standar Profesi Farmasis [1]

Salah satu hasil kajian dari Satuan Tugas Pendidikan Farmasi ialah mengenai
Standar Profesi Farmsis (Professional Standards of Practice = SOP) yang rumusan
terakhirnya berbunyi sebagai berikut :
A. Seorang Farmasis hendaknya mampu bertukar pikiran dengan dokter dan
praktisi perawatan kesehatan lain, yang menyangkut perawatan dan perlakuan
terhadap pasien, dan senantisa mempertebal kepercayaan pasien akan
perawatannya. Farmasis hendaknya dapat menghargai esensi diagnosis klinis
dan memahami pengelolaan medis untuk pasien. Farmasis hendaknya
memiliki pengetahuan tentang obat yang akan digunakan terhadap pengobatan
status sakit pasien; mekanisme aksinya, bentuk sediaan dan kombinasi obat
dalam perdagangan; nasib dan disposisi obat; faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kemanfaatan fisiologis dan aktivitas biologis obat dalam
bentuk sediaannya; pengaruh umur, seks atau status sakit sekunder yang dapat
mempengaruhi lancarnya pengobatan; dan kemungkinan interaksi dengan obat
lain, makanan dan prosedur diagnostik yang dapat memodifikasi aktivitas
obat.
B. Fungsi keseluruhan Farmasis hendaknya menghasilkan terapi obat secara
maksimum. Farmasis hendaknya memahami penggunaan yang sesuai dan
regimen takaran dari terapi obat yang dilakukan, kontraindikasi dan
kemungkinan reaksi tak diinginkan yang diakibatkan oleh terapi obat.
Farmasis hendaknya mempunyai cukup informasi mengenai kemungkinan
obat paten mana yang interaksinya berlawanan dengan terapi atau mungkin
berguna sebagai tambahan dalam memperbaiki pemberian obat atau
perawatan secara keseluruhan.
C. Farmasis harus mengetahui aksi terapi obat paten sesuai penegasan (claim)
yang dikemukakan, komposisinya dan keunikan maupun keterbatasan bentuk
sediaan tersebut. Farmasis hendaknya mampu menilai secara obyektif
kemampuan suatu produk sesuai iklannya. Jika diminta oleh pasien, Farmasis
hendaknya mampu menegaskan kemungkinan kegunaan terapetik suatu obat
paten sehubungan dengan keluhan pasien.
D. Farmasis hendaknya mampu mereviuw publikasi ilmiah dan mampu mencari
implikasi praktis suatu hasil penelitian yang berkaitan dengan kegunaan klinis
suatu obat. Farmasis harus mampu menganalisis suatu laporan pustaka
percobaan klinis mengenai kesesuaian desain penelitian dan analisis statistik
yang dibuat dari data. Farmasis hendaknya mampu menyiapkan suatu abstrak
yang obyektif mengenai kebermaknaan data dan kesimpulan si penulis.
E. Farmasis hendaknya merupakan seorang spesialis mengenai karakteristik
kestabilan dan persyaratan penyimpanan obat dan bahan obat, mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari bentuk sediaannya,
bagaimana tempat pemberian obat atau lingkungan di sekitar tempat itu pada
tubuh dapat mempengaruhi absopsi obat tertentu dari bentuk sediaan yang
diberikan, dan bagaimana kemungkinannya berinteraksi untuk mempengaruhi
aksi awal (onset), intensitas, atau lamanya (duration) aksi terapetik.
F. Farmasis hendaknya paham benar akan pengaturan legal tentang pengadaan,
penyimpanan, dan distribusi obat. Farmasis hendaknya mengetahui tentang
penggunaan obat yang diizinkan seperti yang terperinci oleh pejabat negara
dan daerah, praktek medis yang benar, dan tanggung jawab legalnya terhadap
pasien dalam penggunaan obat pada prosedur terapetik eksperimental.
G. Farmasis hendaknya mampu, dengan terdapatnya bahan sumber yang sesuai,
untuk merekomendasi produk obat atau bentuk sediaan mana yang mungkin
secara potensial berguna untuk kebutuhan terapetik tertentu, dan Farmasis
hendaknya secara obyektif mampu mendukung pilihan yang diambil.
Farmasis hendaknya juga mampu untuk mengidentifikasi produk obat
berdasarkan bentuk dan warna yang dirinci, dan mungkin penggunaannya
yang dianjurkan dengan menggunakan bahan sumber yang sesuai.
H. Farmasis akan tanggap, berdasarkan gejala yang akan diuraikan dalam
wawancara dengan pasien, tentang informasi tambahan yang masih perlu
diusahakan diperoleh dari pasien mengenai kondisi pasien itu. Berdasarkan
informasi ini Farmasis hendaknya dapat merujuk pasien itu kepada praktisi
medis yang sesuai, spesialis, atau badan yang paling berkompeten untuk
membantu pasien dalam kasus spesifik. Farmasis hendaknya memperoleh dan
menyimpan kartu data sakit (profil) pasien untuk digunakan dalam melakukan
keputusan farmatesis yang menyangkut perawatan pasien. Melalui
pemanfaatan profil demikian dan materi pembantu yang sesuai, Farmasis
hendaknya melaksanakan program reviuw pemanfaatan obat dalam
lingkungan daerah praktek. Farmasis hendaknya memantapkan dan
melaksanakan program untuk memastikan tidak lalainya pasien menggunakan
obat dengan tujuan terapetik.
I. Farmasis hendaknya mempunyai pengetahuan tentang manifestasi toksis dari
obat dan tindakan yang diperlukan yang merupakan cara terbaik untuk
pengobatan gejala keracunan ini.
J. Farmasis hendaknya mampu berkomunikasi secara efektif dengan pasien
mengenai petunjuk mengenai penanganan yang sesuai dari resep dan obat
paten. Farmasis hendaknya mengetahui tentang pembatasan yang perlu
ditekankan pada konsumsi makanan, pengobatan lain dan aktivitas fisik.
K. Farmaisis hendaknya mampu berkomunikasi dengan profesional kesehatan
lain atau orang awam tentang topik obat yang baik, masalah kesehatan
masayrakat, dan pendidikan kesehatan perorangan.
L. Farmasis hendaknya mampu untuk meracik obat yang sesuai atau campuran
obat dalam bentuk sediaan yang baik.
M. Farmasis hendaknya mampu untuk menginterpretasi resep dari penulis resep
yang sepatutnya berlisensi, secara teliti meracik bahan terapetik yang sesuai,
memeriksa ketepatan resep yang sudah selesai sesuai isinya, dan
menempelkan label petunjuk sesuai diperlukan agar membantu pemahaman
pasien tentang maksud si penulis resep. Selanjutnya Farmasis hendaknya
memberitahu pasien secara lisan atau tertulis, mengenai efek merugikan dari
obat yang diracik menurut resep, apabila mengandung obat yang mungkin
berbahaya bagi orang yang memakannya. Farmasis hendaknya memastikan
bahwa pasien mengerti betul mengenai petunjuk obat yang ditulis.
N. Farmasis hendaknya memahami prinsip dan teknik prosesur manajemen yang
baik, dan akan memberikan pelayanan kefarmasian yang efisien untuk
memastikan kesinambungan perawatan pasiennya. Farmasis hendaknya
menyadari tentang pertimbangan finansial dari perawatan kesehatan, dan
senantiasa berusaha memberikan perawatan pasien yang berkualitas.
O. Farmasis akan mengambil langkah-langkah yang seuai dalam
mempertahankan tingkat kompetensi dalam setiap bidang yang disebutkan di
atas.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) pada Kongres Nasional ISFI XV di


Semarang, pada tahun 1966 juga sudah merumuskan Standar Profesi Apoteker
dalam Pengabdian Profesi di Apotik. Hal ini merupakan sebagia materi pada mata
kuliah Perundang-undangan dan Etik, Program Profesi Apoteker.

Kurikulum Pendidikan Farmasi di Amerika Serikat 2002

Sejak 1996 pendidikan profesi Farmasis di Amerika Serikat bergelar Doctor of


Pharmacy
(Pharm.D.) berlangsung selama 6 tahun; terbagi atas 2 tahun prasyarat
(Prepharmacy) dan 4 tahun magang (residence) untuk program profesional dan
pengalaman kerja. Di samping itu ditawarkan juga program Master of Science
(M.S) dan Philosophical Doctor (Ph.D.) dalam bidang farmasi tertentu, misalnya
M.S. in Pharmaceutical Policy and Evaluative Sciences, yang dapat dilanjutkan ke
Program Ph.D. dalam bidang Pharmacoepidemiology, atau Ph.D. dalam bidang
Pharmacoeconomics and Policy. Contoh Kurikulum Pendidikan ialah sebagai
berikut :
A. General College, School of Pharmacy, University of North Carolina at
Chapel Hill [11]

PREPHARMACY REQUIREMENTS ( min. 60 Semester Hours Credits)

Min. Sem. Hours Notes


English Composition 6
Elementary Statistics 3
Analytical Geometry and Calculus 3
General Biology with Laboratory 4
Genearl Chemistry with Laboratory 8 All topics
traditionally
included in
Org.Chem. Courses
General College Physics 8 All topics incl. in
introductory Physics
Course.
Microbiology with Laboratory 8
General Education Courses 18 Six courses are to be
selected : 2
Aesthetic
perspective Courses,
2 Historical
Perspective, 1
Philosophical, 1
Social Science
perspective
Foreign Language 6-9
Physical Education Activities 2
Doctor of Pharmacy Curriculum (Pharm.Doctor) (UNC at Chapel Hill)
Fall Spring
First Professional Year
Community Hospital Externship
Physiology Pharmacology I
Biochemistry I Biochemistry II
Basic Pharmaceutics Basic Pharmaceutics II
Health Care Systems Pharmaceutical Care
Pharm.Care Lab.I Pharm.Care Lab II
Second Professional Year
Community/Hospital Externship
Pharmacology II Pharmacology III
Pharmacotherapy I Pharmacotherapy II
Literature Analysis Pharmacotherapy III
ANS Med. Chem. Pharmacotherapy IV
Pharmacokinetics Applied Pharmacokinetics
Professional Elective Professional Elective
Pharm.Care Lab. III Pharm.Care Lab. IV
Third Professional Year
Pharmacy Law & Ethics Pharmacy Operations
Pharmacotherapy V Physival Assessment
Pharmacotherapy VI Professional Elective
Immunology Professional Elective
Nonprescription Drugs Prob.in Pharmacotherapy
Professional Elective Seminar
Seminar
Fourth Professional Year
Clerkships Clerkships
B. University of Minnesota [10]

Program Doktor Farmasi (Pharmaceutical Doctor Program) mempersiapkan


mahasiswanya untuk mengidentifikasi, mengambil keputusan dan mencegah
permasalahan yang berkaitan dengan obat. Mahasiswa belajar untuk menguasai
perawatan pasien dalam hal menghasilkan terapi obat yang positif, yang dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Program ini tidak lagi mempersyaratkan
gelar “bachelor”, namun terdapat sejumlah mata kuliah yang harus dilulusi
sebelum memasuki program ini yang dinamakan “pre-pharmacy requirements” .
Program profesi Pharm.Doctor 4 tahun ini merupakan pendidikan didaktik dan
praktek, dan merupakan satu-satunya gelar yang resmi untuk memperoleh izin
praktek kefarmasian di Amerika Serikat.

Lulusan program ini dipersiapkan untuk memasuki praktek kefarmasian, program


pelatihan profesi lanjut, atau untuk pendidikan lanjut pasca sarjana (graduate
education), dan penelitian. Program ini meliputi ilmu-ilmu kimia, biologi, fisika,
sosial, dan klinis yang mendasari ilmu farmasi. Proses perawatan pasien secara
umum digunakan untuk mengajarkan mahasiswa bagaimana caranya memenuhi
kebutuhan akan obat pada tingkat spesifik-pasien. Mahasiswa mengembangkan
keterampilan dalam pemecahan masalah, komunikasi, dan berpikir analitis.
Program ini menekankan pada etika profesional, tanggungjawab sosial,
kewarganegaraan profesional, dan komitmen pada pendidikan seumur hidup.

Selama tiga tahun pertama kurikulum profesi diberikan komponen dasar


pendidikan farmasi yang diperlukan untuk berpraktek pada berbagai lingkungan
kerja. Mulai tahun kedua, mahasiswa sudah dapat memilih jurusan yang
diinginkannya, dengan cara mengambil mata kuliah dalam salah satu dari 4
bidang konsentrasi (penekanan), yaitu (a) farmakoterapi umum, (b) perawatan
komunitas dan rawat jalan, (c) manajemen, dan (d) penelitian. Kebanyakan mata
kuliah bidang konsentrasi diambil pada tahun terakhir.
Bidang Konsentrasi :
1) Farmakoterapi Umum, mempersiapkan farmasis untuk kegiatan perawatan
pasien pada berbagai lingkungan kerja. Mata kuliah yang wajib meliputi
farmakokinetika dan terapi obat bukan-resep. Mata kuliah pilihan meliputi
komunikasi, proses pengembangan obat baru, manajemen, dan
farmakoterapi bagi usia lanjut.
2) Perawatan komunitas dan rawat-jalan, mempersiapkan mahasiswa untuk
praktek pada farmasi komunitas (Apotik), dan lingkungan pasien yang tidak
dirawat di rumah sakit. Mata kuliah wajib meliputi manajemen farmasi
komunitas, terapi obat bukan-resep, dan praktek perawatan-jalan.
3) Manajemen, mempersiapkan farmasis untuk pekerjaan dalam pengelolaan
pelayanan farmasi dan keuntungan terapi obat. Mata kuliah wajib meliputi
manajemen komunitas atau institusional, review dan manajemen
penggunaan obat, dan ekonomi farmasi dan kebijakan publik. Mata kuliah
pilihan meliputi hukum perdagangan, pemasaran, ekonomi kesehatan,
manajemen personalia, dan perilaku organisasi.
4) Penelitian, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi
dalam penelitian, dan mempersiapkan mereka untuk pendidikan pasca
sarjana.

Dengan melihat beberapa contoh program pendidikan dan kurikulum di luar


negeri, mahasiswa dapat membandingkannya dengan kurikulum pendidikan di
Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan adanya mahasiswa yang akan melanjutkan
studinya di luar negeri, sehingga pengetahuan dasar ini dapat membantu dalam
menentukan pilihannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu
penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk
disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit.
Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan (selection),
aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan
bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian
mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik
melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan,
maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau
menjual langsung kepada pemakai.
Ruang lingkup farmasi meliputi: sejarah perkembangan ilmu farmasi,
farmasi sains,farmasi profesi,farmasi komunitas, farmasi rumah sakit,
pedangang besarfarmasi in dustri farmasi, instansi pemerinta, wartawan
farmasi, pendidikan kefarmasian dan kurikulum pendidikan farmasi.
3.2 Saran
Sebaiknya dalam setiap ruang lingkup ilmu farmasi mahasiswa hasrus
lebih mengetahui, karena kita sebagai mahasiswa kehususnya mahassiswa
prodi s1 farmasi akan berguna untuk kedepan ketika mahasiswa farmasi telah
mengetahui ruang lingkup ilmu farmasi akan lebih mudah mengetahui
prospek kerja serta kemampuan sehinggga dapat mempermudah
mengaplikasikan ilmu yang di miliki dalam dunia farmasi.
Daftar Pustaka

American Pharmaceutical Association, The National Professional Society of


Pharmacicts, “The Final Report of the Task Force on Pharmacy education,
Washington DC.
College Handbook (Nov.1992), MONASH University, The Office of University
Development for the Victorian College of Pharmacy, Melbourne, Victoria.
Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia, Hasil Rapat
Tahunan (1992).
Gennaro, A.R. [Ed.] (1990) “ Remington’s Pharmaceutical Sciences”, Mack
Publishing Co, Easton, Pennsylvania.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII,
N0.XIII/Kongres XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam
Pengabdian Profesi di Apotik.
Ketut Patra dkk. (1988) “ 60 Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar Penopang
Pembangunan di Bidang Obat”, Penerbit P.T.Priastu, Jakarta.
Smith, A.K. (1980) “ Principles and Methods of Pharmacy Management”, Second
Edition, Lea Febiger, Philadelphia.
Suryasumantri, Y.S (1985) “ Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar Populer”, Penerbit
Sinar Harapan, Jakarta.
Wattimena, J.R. dkk. (1986) makalah dalam Ekspose Perkembangan Ilmu
Kesehatan oleh IDI/ISFI, Jakarta.
University of Minnesota , (2001) “College of Pharmacy Catalog”, the Regents of
the University of Minnesota, Catalog On Line.
University of North Carolina at Chapel Hill, (2002) “ School of Pharmacy”,
Catalog on Line.

Anda mungkin juga menyukai