Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TENTANG NINE STAR PHARMATICS DAN RUANG LINGKUP FARMASI DALAM BIDANG AKADEMIK

Disusun oleh: Sri yuliati (201310410311150)

FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2013

KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT karena atas petunjuk dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik, Makalah ini disusun atas dasar tugas dari Panitia ospek UMM. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang ruang lingkup farmasi dalam bidang akademik, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang Ruang Lingkup Farmasi Dalam akademik yang menjelaskan bagaimana Ruang lingkup farmasi. Kami menyadari sepenuhnya dalam penyusunannya makalah ini masih jauh dari kata sempurna, itu semua tidak luput dari kodrat kami sebagai manusia biasa yang tidak luput dari suatu kesalahan dan kekeliruan. Sehingga kritikan dan masukan yang bersifat membangun dari pembaca merupakan sesuatu yang berharga demi perbaikan kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin!

Malang, 30 agustus 2013

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan perubahan tuntutan zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat. Khususnya bidang Farmasi di era reformasi ini semakin banyak didirikan perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada pendidikan program profesional di bidang kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang tinggi, sehingga Sekolah Perawat, Sekolah Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi setingkat Akademi (Program D-3 atau D-4), yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Propinsi, dan dikelompokkan dalam Politeknik Kesehatan Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan obat tradisional (jamu) dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada zaman itu sebenarnya dukun melaksanakan dua profesi sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan profesi kefarmasian (meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya). Penggunaan obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan bentuk sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam yang digunakan sebagai obat.Pengetahuan tentang obat dan pengobatan selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika Hippocrates (460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman Yunani itu dikenal pula Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan lambang penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti ular dijadikan lambang kefarmasian. Perkembangan profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan dalam biara, yang telah menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin yang hampir punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam penulisan istilah di bidang kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah terjadi dalam zaman kultur Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama al-Saidalani pada abad ke-9.

Namun demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia, Eropa, ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang secara legal (menurut undang-undang) mengatur pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat perintah yang kemudian dinamakan Magna Charta dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan seorang Farmasis melalui pengucapan sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan seragam. Magna Charta kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini dalam bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimanakah peran farmasi atau apoteker dalam bidang akademik

1.3 Tujuan
Mengetahui seperti apa peran farmasi dalam bidang akademi

BAB II PEMBAHASAN
2.1 PENGETAHUAN, ILMU DAN PROFESI
Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu. Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau pengetahuan; misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara (ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut knowledge. Ilmu atau Science ialah pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah, yaitu suatu cara yang menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin. 2.1.1 Farmasi Sebagai Sains Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai kategori atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu, yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics), dan Sains (Science). Di satu pihak Farmasi tergolong seni teknis (technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat pula digolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural science). 2.1.2 Farmasi Sebagai Profesi Dari kajian filsafat di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau Sains, Farmasi meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan Profesional saat ini semakin dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation, occupation) dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah profesional sering digunakan sebagai lawan kata amatir.

2.2 PENDIDIKAN KEFARMASIAN


Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan perubahan tuntutan zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat. Khususnya bidang Farmasi di era reformasi ini semakin banyak didirikan perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada pendidikan program profesional di bidang kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang tinggi, sehingga Sekolah Perawat, Sekolah Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi setingkat Akademi (Program D-3 atau D-4), yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Propinsi, dan dikelompokkan dalam Politeknik Kesehatan (POLTEKKES).

2.2.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Indonesia.


Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian di Indonesia dapat dibagi dalam era pra Perang Dunia II, Zaman Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I. Sebelum Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik di Indonesia hanya setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan tahun 1906. Pelaksanaan pendidikan A.A. ini dilakukan secara magang ada Apotik yang ada Apotekernya dan setelah periode tertentu seorang calon menjalani ujian negara. Pada tahun 1918 dibuka sekolah Asisten Apoteker yang pertama dengan penerimaan murid lulusan MULO Bagian B (Setingkat SMP). Pada tahun 1937 jumlah Apotik di seluruh Indonesia hanya 37. Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak Apoteker warga negara asing meninggalkan Indonesia sehingga terdapat kekosongan Apotik. Untuk mengisi kekosongan itu diberi izin kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik, juga diberi izin kepada dokter untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di daerah yang belum ada Apotiknya. Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi Farmasi dengan nama Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku. Pada tahun 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian pindah dan berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Tahun 1947 diresmikan Jurusan Farmasi di

Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam (FIPIA), Bandung sebagai bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian berubah menjadi Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei 1959. Lulusan Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang dihasilkan pada tahun 1953. Saat ini di Indonesia terdapat 8 perguruan tinggi farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta [6].

2.2.2 Sekolah Menengah Farmasi


Dari sejarah perkembangan kefarmasiaan di Indonesia tampak besarnya peranan pendidikan menengah farmasi (Sekolah Asisten Apoteker), khususnya pada saat langkanya tenaga kefarmasian berpendidikan tinggi. Pada saat peralihan sampai dikeluarkannya PP 25 tahun 1980, masih dimungkinkan adanya Apotik Darurat yaitu Apotik yang dikelola oleh Asisten Apoteker yang sudah berpengalaman kerja. Tenaga menengah farmasi ini masih sangat diperlukan dan perperanan, khususnya pada Farmasi Komunitas, baik di Apotik maupun di Rumah Sakit. Dengan bertambahnya tenaga farmasi berpendidikan tinggi, peranan ini akan semakin kecil, sehingga perlu dipikirkan untuk meningkatkan pendidikan AA ini setingkat akademi (lulusan SMA). Mulai tahun 2000, pendidikan menengah ini mulai phasing out, ditingkatkan menjadi Akademi Farmasi.

2.2.3 Program Diploma Farmasi


Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli madya dalam bentuk Program Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu Program Studi Analis Farmasi. Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang semakin memerluka tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan semakin memerlukan diversifikasi tenaga keahlian. Tujuan utama program studi ini ialah menghasilkan tenaga ahli madya farmasi yang berkompetensi untuk pelaksanaan pekerjaan di bidang pengendalian kualitas (quality control). Adapun peranan yang diharapkan dari lulusan program Studi Analis Farmasi ialah: Melaksanakan analisis farmasi dalam laboratorium: obat, obat tradisional, kosmetika, makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat kesehatan; di industri farmasi, instalasi

farmasi rumah sakit, instansi pengawasan mutu obat dan makanan-minuman atau laboratorium sejenisnya, di sektor pemerintah maupun swasta, dengan fungsi : Pelaksanaan analisis, pengujian mutu, pengembangan metode analisis dan peserta aktif dalam pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi. Program ini diharapkan dapat dikelola oleh perguruan tinggi negeri yang mempunyai fakultas atau Jurusan Farmasi dengan status Program Diploma (D-III). Kemungkinan besar Sekolah Menengah Farmasi di masa yang akan datang dapat ditingkatkan menjadi Program Diploma seperti yang diuraikan di atas. [3] Ramalan kami lebih dari 10 tahun yang lalu, sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui ketentuan yang mengharuskan pendidikan menengah ditingkatkan menjadi Akademi.

2.2.4 Pendidikan Tinggi Farmasi


Perkembangan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia sejak berdirinya perguruan tinggi farmasi yang pertama di Klaten dan Bandung, sampai saat ini terdapat 8 pendidikan tinggi Farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta. Menurut catatan tahun 1983 jumlah lulusan Farmasis (Apoteker) di Indonesia 3552 orang, yang merupakan peningkatan sebesar 350% dari jumlah Apoteker di tahun 1966. Proyeksi jumlah Apoteker pada tahun 2000 adalah 6666 orang berdasarkan rasio 1 Apoteker untuk 30.000 jiwa, hanya untuk bidang pelayanan saja. (Rasio yang ideal untuk perbandingan kebutuhan minimum yang lazim diproyeksikan untuk profesi ini di bidang kesehatan ialah 1 : 15.000).

2.2.5 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun perubahan orientasi Farmasi sebagai ilmu dan profesi juga berkembang mengikuti zaman. Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi mulai berubah secara drastis pada awal tahun 80-an. Perubahan ini ditandai oleh penerapan Sistem Kredit Semester, penerapan Kurikulum Inti dalam rangka penyeragaman pendidikan tinggi Farmasi di seluruh Indonesia, dan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang dikembalikannya fungsi Apotik sebagai tempat pengabdian profesi Apoteker.

Perkembangan di era sembilan puluhan dimulai dengan terbitnya UndangUndang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 30/Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, Konsep Link and Match (1993) oleh DepDikBud; dan di sektor kesehatan diterbitkan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Perkembangan terakhir ialah diterbitkannya PP 60/ Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, yang merupakan penyempurnaan PP No.30/Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi, dan PP No.61/ Tahun 1999, tentang Penetapan

Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Peraturan Pemerintah yang terakhir ini pada dasarnya memberikan otonomi kepada perguruan tinggi untuk penyelenggaraan pendidikan akademik dan profesional, yang disertai akuntabilitas

(pertanggungjawaban), melalui akreditasi, yang dilakukan melalui evaluasi, untuk meningkatkan kualitas secara berkelanjutan. (Paradigma Baru Pendidikan Tinggi) Kebijaksanaan pemerintah yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan itu semuanya mengacu pada Tujuan Pembangunan Nasional seperti yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mempengaruhi pula arah, tujuan dan orientasi pendidikan kefarmasian, dan kurikulum pendidikannya.

2.2.6 Sistem Kredit Semester


Sistem Kredit Semester ialah sistem pengadministrasian pendidikan yang memberikan bobot SKS pada hasil upaya peserta didik maupun pendidik. Untuk Sarjana Farmasi ditetapkan jumlah bobot 114-160 SKS sebagai suatu kebulatan studi yang dapat diselesaikan dalam 9 Semester, dan 2 Semester untuk program profesi Apoteker.

2.2.7 Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi Negeri


Sejak 1984 telah dibentuk Forum Komunikasi oleh pimpinan pendidikan tinggi Farmasi Negeri (Dekan atau Ketua Jurusan) yang bertemu sekali setahun sebagai wadah sumbang saran dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pendidikan. Beberapa kesepakatan penting antara lain : 1. usaha penyeragaman status pendidikan tinggi Farmasi menjadi Fakultas Farmasi.

2. usaha

penyeragaman

lulusan

Farmasis,

khususnya

Apoteker

dengan

menetapkan kurikulum minimal selain Kurikulum Inti. 3. pelaksanaan ujian negara bagi Perguruan Tinggi Swasta (sekarang ini sudah dihapus) 4. pengembangan program studi baru, misalnya D-III Farmasi, Pascasarjana Farmasi, dan Spesialis. FORKOM PTFN beranggotakan 8 perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan pendidik Farmasi dan Apoteker. Sejak tahun 2000

perkembangan perguruan tinggi swasta semakin pesat sehingga dibentuk Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, yang beranggotakan semua pendidikan tinggi farmasi, negeri dan swasta.

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Setelah penyusun menyelesaikan makalah yang berjudul Farmasi dalam bidang akademik ini maka penyusun dapat menyimpulkan bahwa profesi farmasi sangat dibutuhkan di era globalisasi yang kemajuannya semakin pesat ini. Selain itu, informasi tentang obat juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar obat tersebut tidak dipersalah gunakan.

3.2 Saran
Dalam makalah yang telah kami susun masih banyak kekurangan, baik dari segi bahasa, susunan maupun dari segi keterbatasan literatur. Oleh karena itu, pembaca di harapkan untuk menambah dan melengkapi makalah ini supaya lebih mendalami pengetahuan tentang Farmasi dalam bidang akademik.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacicts, The Final Report of the Task Force on Pharmacy education, Washington DC. 2. College Handbook (Nov.1992), MONASH University, The Office of University Development for the Victorian College of Pharmacy, Melbourne, Victoria. 3. Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia, Hasil Rapat Tahunan (1992). 4. Gennaro, A.R. [Ed.] (1990) Remingtons Pharmaceutical Sciences, Mack Publishing Co, Easton, Pennsylvania. 5. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 1 BAB I .............................................................................................................................................. 3 PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 3 1.1 1.2 1.3 Latar belakang .................................................................................................................. 3 Rumusan masalah ............................................................................................................. 4 Tujuan............................................................................................................................... 4

BAB II............................................................................................................................................. 5 PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 5 2.1 PENGETAHUAN, ILMU DAN PROFESI............................................................................. 5 Farmasi Sebagai Sains ............................................................................................... 5 Farmasi Sebagai Profesi ............................................................................................ 5 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Indonesia. .......................................... 6 Sekolah Menengah Farmasi ......................................................................................... 7 Program Diploma Farmasi ............................................................................................ 7 Pendidikan Tinggi Farmasi ............................................................................................ 8 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi .......................................................................... 8 Sistem Kredit Semester ................................................................................................ 9 Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi Negeri ................................................. 9 2.1.1 2.1.2 2.2 2.2.1 2.2.2 2.2.3 2.2.4 2.2.5 2.2.6 2.2.7

PENDIDIKAN KEFARMASIAN ............................................................................................ 6

BAB III ......................................................................................................................................... 11 PENUTUP..................................................................................................................................... 11 3.1 3.2 Kesimpulan..................................................................................................................... 11 Saran ............................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 12

Anda mungkin juga menyukai