Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEJARAH FARMASI DI INDONESIA DAN LUAR NEGERI

Disusun
oleh :

Icha Pratiwi ( 482011805043 )

Kelas : 6A

Dosen pembimbing

Apt. Mayaranti wilsya S,Far M.Sc

FAKULTAS FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SITI KHADIJAH

PALEMBANG 2021

1
DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN..........................................................................................3

A. Latar Belakang ...........................................................................................3

B. Tujuan dan Manfaat ..................................................................................4

BAB II

PEMBAHASAN .............................................................................................5

A. Sejarah Farmasi di Indonesia......................................................................5

Pengetahuan Ilmu dan profesi........................................................................6

Farmasi Sebagai Sains ...................................................................................6

Farmasi Sebagai Profesi .................................................................................7

Farmasi Komunitas.........................................................................................7

Farmasi Rumah Sakit ....................................................................................8

Pedagang Besar Farmasi ( PBF) .....................................................................8

B. Pendidikan Tinggi Farmasi di Luar Negeri ...............................................13

Pendidikan Tinggi Farmasi di Australia ..........................................................13

Pendidikan Tinggi Farmasi di Amerika Serikat ...............................................14

Standar Profesi Farmasi ...................................................................................14

BAB III

PENUTUP .......................................................................................................17

Kesimpulan ......................................................................................................17

Saran ...............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan
bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan
pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai
identifikasi, pemilihan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan,
analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan
kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik
melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun
melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung
kepada pemakai

Kata farmasi diturunkan dari bahasa Yunani “pharmakon”, yang berarti cantik atau
elok, yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi
menjadi obat atau bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah
orang yang paling mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat, karena
pengetahuan keahlian mengenai obat memerlukan pengetahuan yang mendalam
mengenai semua aspek kefarmasian seperti yang tercantum pada definisi diatas.
Dewasa ini perkembangan farmasi sudah berkembang dengan baik hal ini bisa
dilihat dengan berdirinya Industri farmasi, Tenaga kefarmasiaan, dan sekolah menegah
farmasi ataupun Perguruan Tinggi farmasi. Untuk profesi farmasi di indonesia sudah
banyak di minati oleh masyarakat hal ini di karenakan prospect kerja atau masa depannya
menjanjikan dan mampu membuat sebuah lapangan kerja sendiri.
The American Society of Colleges of Pharmacy (AACP) mendefinisikan farmasi
sebagai ”suatu sistem pengetahuan (knowledge system) yang merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan (health service)”. Memang agak sulit untuk mendefinisikan farmasi
secara lengkap, yang bukan saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat, atau tujuan
pemakaian obat. Pada Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh ISFI/IDI di Jakarta
bulan Maret 1986 oleh suatu Tim dari Institut Teknologi Bandung telah dikemukakan
definisi Farmasi sebagai berikut :

3
B. Tujuan danManfaat

•Mahasiswa/i dapat mengetahui sejarah farmasi di indonesia


•Mengetahui undang-undang yang berlaku pada masa sebelum kemerdekaan
•Sebagai landasan dalam tugas dan presentasi perkuliahan
•Sebagai pedoman mahasiswa/i dalam menyimak penyampaian materi

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Farmasi diIndonesia

Farmasi sebagai profesi Indonesia sebenarnya relative masih muda dan baru
berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan .Pada zaman penjajahan, baik pada
masa pemerintahan Hindia Belanda maupun masa pendudukan jepang, Kefarmasian di
Indonesia pertumbuhannya sangat lambat ,dan profesinya ini belum di kenal secara luas
oleh masyarakat. Sampai proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ,para tenaga
farmasi Indonesia umumnya masih tediri dari asisten apoteker ,dengan jumlah yang
sangat sedikit.

Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan obat
tradisional (jamu) dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada zaman itu sebenarnya
dukun melaksanakan dua profesi sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose
penyakit) dan profesi kefarmasian (meramu dan menyerahkan obat kepada yang
membutuhkannya).

Penggunaan obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan
Mesir dan Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan bentuk
sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam yang digunakan
sebagai obat.Pengetahuan tentang obat dan pengobatan selanjutnya berkembang lebih
rasional pada zaman Yunani, ketika Hippocrates (460 S.M.) memperkenalkan metode
dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman Yunani itu dikenal pula Asklepios atau
Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular
saat ini dijadikan lambang penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok
Hygeia yang dililiti ular dijadikan lambang kefarmasian.

Perkembangan profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan dalam biara,


yang telah menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin
yang hampir punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam penulisan istilah di bidang

5
kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah terjadi dalam zaman kultur
Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama al-Saidalani pada abad ke-9. Namun
demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia, Eropa,
ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang secara legal (menurut undang-undang)
mengatur pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat perintah yang kemudian dinamakan
”Magna Charta” dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan seorang Farmasis melalui
pengucapan sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai
keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan seragam. ”Magna Charta”
kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini dalam bentuk Kode Etik Apoteker
Indonesia dan Sumpah Apoteker.

PENGETAHUAN, ILMU DAN PROFESI

Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu.
Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu
menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau
pengetahuan; misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang
diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara
(ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan atau
pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut ”knowledge”. Ilmu atau ”Science” ialah
pengetahuan yang diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu suatu cara yang
menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian langkah yang dilakukan dengan
penuh disiplin.

•Farmasi Sebagai Sains

Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam


berbagai kategori atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan
atau disiplin ilmu, yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics), dan
Sains (Science). Di satu pihak Farmasi tergolong seni teknis (technical arts) apabila
ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan obat (medicine); di lain pihak Farmasi
dapat pula digolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural science). Dalam
tinjauan pengelompokan bidang ilmu atau kategori di atas digunakan kriteria :

1. Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan

6
pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, obyek ontologis dalam bidang Ekonomi ialah
hubungan manusia dan benda atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup; obyek
telaah pada Manajemen ialah kerja sama manusia dalam mencapai tujuan yang telah
disetujui bersama; obyek ontologis pada Farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi
terapetik, pengadaan, pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang memerlukan.

2. Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode apa yang digunakan untuk
memperoleh pengetahuan tersebut. Contoh landasan Epistemologis Matematika ialah
logika deduktif; landasan epistemologis kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan akal
sehat; landasan epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan
pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-verifikatif.

3. Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan


tersebut. Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan farmasi sudah jelas berbeda.
Dalam hal ini nilai kegunaan atau landasan aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama
karena kedua-duanya bertujuan untuk kesehatan manusia.

Sebagai ilmu, Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal dari alam
maupun sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan menggunakan metode
logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan pada
bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Oleh karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang dapat
dikelompokkan dalam bidang Sains.

•Farmasi Sebagai Profesi

Dari kajian filsafat di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau Sains,
Farmasi meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan Profesional
saat ini semakin dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua
pekerjaan (job, vacation, occupation) dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai profesi.
Demikian pula istilah profesional sering digunakan sebagai lawan kata amatir.

•Farmasis Komunitas (Community Pharmacist)

Farmasis atau Apoteker memberikan kesan umum bahwa tempat kerja seorang
farmasi hanyalah di Apotik, yaitu salah satu tempat pengabdian profesi seorang Apoteker.
Seorang Farmasis di Apotik langsung berhadapan dengan masyarakat sehingga fungsi

7
tersebut dikelompokkan dalam Farmasi Masyarakat (Community Pharmacy). Fungsi
Farmasis Masyarakat di Apotik merupakan kombinasi seorang profesional dan
wiraswastawan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 25/80 tentang Apotik,
bahwa Apotik adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker, maka makin besar
harapan yang diberikan pemerintah kepada para Farmasis, baik dari segi jumlah tenaga
farmasi maupun dari segi kemampuan profesionalnya.

•Farmasi Rumah Sakit (Hospital Pharmacy)

Farmasi Rumah Sakit ialah pekerjaan kefarmasiaan yang dilakukan di rumah sakit
pemerintah maupun swasta. Fungsi kefarmasian ini yang sudah sangat berkembang di
negara maju, juga sudah mulai dirintis di Indonesia dengan pembukaan program
spesialisasi Farmasi Rumah Sakit. Jumlah kebutuhan Farmasis di rumah sakit di masa
depan akan semakin meningkat karena 3 hal :

1. Faktor pertambahan penduduk.

2. Meningkatnya kebutuhan untuk perawatan yang lebih baik di rumah sakit.

3. Fungsi dan peranan Farmasis Rumah Sakit akan lebih meningkat dalam berbagai
aspek mengenai penggunaan dan pemantauan obat.

•Pedagang Besar Farmasi (PBF)

Mata rantai sebagai perantara industri farmasi dan masyarakat dalam hal penyaluran
obat ialah Pedagang Besar Farmasi (PBF). Di luar negeri PBF ini mempunyai tenaga
Farmasis terdaftar sebagai supervisor disebabkan oleh sifat khas produk yang
ditanganinya itu sehubungan dengan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia hanya
dipersyaratkan tenaga menengah farmasi (Asisten Apoteker = AA) sebagai
penanggungjawab, mengingat belum cukup tersedianya tenaga ahli berpendidikan tinggi.
PBF sangat berperanan sebagai sumber penyalur obat dari berbagai industri farmasi yang
secara cepat dapat melayani kebutuhan Farmasis Komunitas (Apoteker) untuk secara
cepat pula melayani kebutuhan penderita akan obat. PBF juga mengurangi beban
finansial Apoteker dalam hal menyimpan stok obat dalam jumlah besar dan
menjembatani kerumitan negosiasi dengan ratusan industri farmasi sebagai produsen
obat.

8
Tenaga apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark, Australia,
Jerman dan Belanda. Namun, semasa perang kemerdekaan, kefarmasiaan di Indonesia
mencatat sejarah yang sangat berarti , yakni “dengan didirikannya perguruan tinggi
Farmasi di Klaten pada tahun 1946 dan di Bandung tahun 1947. Lembaga pendidikan
Farmasi yang didirikan pada masa perang kemerdekaan ini mempunyai andil yang besar
bagi perkembangan sejarah kefarmasiaan pada masa-masa selanjutnya

1. Periode Zaman penjahan sampai perangkemerdekaan

Tonggak sejarah kefarmasian di indonesia pada umumnya di awal dengan


pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

2. Periode setelah Perang Kemerdekaan -1958

Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi Farmasi dengan
nama Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944
Yakugakudiubah menjadi Yaku Dairying.Pada periode ini jumlah tenaga farmasi,
terutama tenaga asisten apoteker mulai bertambah jumlah yang relatif lebih besar.Pada
tahun 1950 di Jakarta di buka sekolah asisten apoteker negeri (republik) yang pertama,
dengan jangka waktu pendidikan selama dua tahun.

Pada tahun 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian pindah
dan berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Tahun
1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam
(FIPIA), Bandung sebagai bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian
berubah menjadi Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei
1959.

3. Periode Tahun 1958 –1967

Pada periode ini Indonesia banyak merintis produksi obat pada kenyataannya
industri-industri farmasi mengalami hambatan dan kesulitan yang cukup berat, yakni
kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku sehingga industri
farmasi yang hanya bertahan yang mempunyai relasi dengan luar Negeri. Pada tahun
1960-1965 industri farmasi mengalami kesulitan devisa dan keadaan ekonomi yang

9
suram ,sehingga hanya dapat memproduksi 30% dari kapasitas produksinya , sehingga
penyediaan sangat terbatas dan sebagaian besar berasal dari import, masalah
selanjutnya yakni pada periode ini pengawasan mutu belum dapat di lakukan dengan
baik, banyak terjadi kasus bahan baku maupun bahan obat jadi yang tidak memenuhi
persyaratan standar.

Pada tahun 1960-1965 Pemerintahan Republik indonesia mengeluarkan perundang-


undangan yang berkaitan dengan kefarmasian antara lain.

 Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokokkesehatan

 Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 tentang Barang

 Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan,dan

 Peraturan pemerintahan Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Pada periode ini
pula hal adalah hal penting yang patut di catat dalam Sejarah Kefarmasian
Indonesia , yakni Berakhirnya Apotek Dokter dan apotekdarurat.

Dengan Surat Keputusan Menteri Keehatan Nomor 33148/Kab/176 tanggal 8 juni


1962, antara lain ditetapkan:

 Tidak di keluarkan izin baru untuk pembukaan apotek dokterdan

 Semua izin apotek dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal1januari
1963

Sedangkan berakhirnya apotek darurat di tetapkan dengan Surat Keputusan Menteri


Kesehatan Nomor 770/ph/63/b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara lain:

 Tidak di keluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotekdarurat.

 Semua izin apotek darurat Ibukota Daerah Tingkat I dinyatakan tidakberlaku


sejak tanggal 1 februari 1964dan,

 Semua izin apotek darurat di Ibukota Tingkat II dan Kota-kota lainnyadinyatakan


tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 mei 1964.pada tahun 1963 sebagai realisasi
undang-undang pokok Kesehatan telah di bentuk Lembaga FarmasiNasional

Surat Keputusan Menteri Nomor 39521/kab/199 tanggal 11juli 1963


10
Setelah kemerdekaan, buku pedoman maupun undang-undang yang dirasa masih
cocok tetap dipertahankan, sedangkan yang tidak sesuai lagidihilangkan.
Pekerjaan kefarmasian terutama pekerjaan meracik obat-obatan dikerjakan di apotek
yangdilakukanolehAsistenApotekerdibawahpengawasanApoteker.Bentukapotekyang
pernah ada di Indonesia ada 3 macam : apotek biasa, apotek darurat dan apotekdokter.
Dalam melakukan kegiatan di apotek mulai dari mempersiapkan bahan sampai
penyerahan obat, kita harus berpedoman pada buku resmi farmasi yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan, antara lain buku Farmakope (berasal dari kata “Pharmacon” yang
berarti racun/obat dan “pole” yang berarti membuat). Buku ini memuat persyaratan
kemurniaan, sifat kimia dan fisika, cara pemeriksaan, serta beberapa ketentuan lain yang
berhubungan dengan obat-obatan.

Sebelum Indonesia mempunyai farmakope, yang berlaku adalah farmakope Belanda.


Baru pada tahun 1962 pemerintah RI menerbitkan buku farmakope yang pertama, dan
semenjak itu farmakope Belanda dipakai sebagai referensi saja.
Buku-buku farmasi yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan :
 Farmakope Indonesia edisi I jilid I, terbit tanggal 20 Mei1962
 Farmakope Indonesia edisi I jilid II, terbit tanggal 20 Mei1965
 Formularium Indonesia ( FOI ), terbit 20 Mei1966
 Farmakope Indonesia edisi II, terbit 1 April1972
 Ekstra Farmakope Indonesia, terbit 1 April1974
 Formularium Nasional, terbit 12 Nopember1978
 Farmakope Indonesia III, terbit 9 Oktober1979
 Farmakope Indonesia IV, terbit 5 Desember1995

 Sekolah MenengahFarmasi

Dari sejarah perkembangan kefarmasiaan di Indonesia tampak besarnya peranan


pendidikan menengah farmasi (Sekolah Asisten Apoteker), khususnya pada saat
langkanya tenaga kefarmasian berpendidikan tinggi. Pada saat peralihan sampai
dikeluarkannya PP 25 tahun 1980, masih dimungkinkan adanya ”Apotik Darurat” yaitu
Apotik yang dikelola oleh Asisten Apoteker yang sudah berpengalaman kerja. Tenaga

11
menengah farmasi ini masih sangat diperlukan dan berperanan, khususnya pada Farmasi
Komunitas, baik di Apotik maupun di Rumah Sakit. Dengan bertambahnya tenaga
farmasi berpendidikan tinggi, peranan ini akan semakin kecil, sehingga perlu dipikirkan
untuk meningkatkan pendidikan AA ini setingkat akademi (lulusan SMA). Mulai tahun
2000, pendidikan menengah ini mulai “phasing out”, ditingkatkan menjadi Akademi
Farmasi.

 Program DiplomaFarmasi

Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli madya dalam
bentuk Program Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu Program StudiAnalis
Farmasi. Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang
semakin memerluka tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan semakin
memerlukan diversifikasi tenaga keahlian. Tujuan utama program studi ini ialah
menghasilkan tenaga ahli madya farmasi yang berkompetensi untuk pelaksanaan
pekerjaandibidangpengendaliankualitas(qualitycontrol).Adapunperananyang

diharapkan dari lulusan program Studi Analis Farmasi ialah: Melaksanakan analisis
farmasi dalam laboratorium: obat, obat tradisional, kosmetika, makanan-minuman, bahan
berbahaya dan alat kesehatan; di industri farmasi, instalasi farmasi rumah sakit, instansi
pengawasan mutu obat dan makanan-minuman atau laboratorium sejenisnya, di sektor
pemerintah maupun swasta, dengan fungsi:Pelaksanaan analisis, pengujian mutu,
pengembangan metode analisis dan peserta aktif dalam pendidikan dan penelitian di
bidang analisis farmasi.Program ini diharapkan dapat dikelola oleh perguruan tinggi
negeri yang mempunyai fakultas atau Jurusan Farmasi dengan status Program Diploma
(D-III). Kemungkinan besar Sekolah Menengah Farmasi di masa yang akan datang dapat
ditingkatkan menjadi Program Diploma seperti yang diuraikan di atas. [3] Ramalan kami
lebih dari 10 tahun yang lalu, sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui ketentuan
yang mengharuskan pendidikan menengah ditingkatkan menjadi Akademi.

 Pendidikan TinggiFarmasi

Perkembangan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia sejak berdirinya perguruan


tinggi farmasi yang pertama di Klaten dan Bandung, sampai saat ini terdapat 8
pendidikan tinggi Farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta. Menurut catatan

12
tahun 1983 jumlah lulusan Farmasis (Apoteker) di Indonesia 3552 orang, yang
merupakan peningkatan sebesar 350% dari jumlah Apoteker di tahun 1966. Proyeksi
jumlah Apoteker pada tahun 2000 adalah 6666 orang berdasarkan rasio 1 Apotekeruntuk
30.000 jiwa, hanya untuk bidang pelayanan saja. (Rasio yang ideal untuk perbandingan
kebutuhan minimum yang lazim diproyeksikan untuk profesi ini di bidang kesehatan
ialah 1 : 15.000). Saat ini jumlah Apoteker diperkirakan sebanyak 10.000orang.

B. PENDIDIKAN TINGGI FARMASI DI LUAR NEGERI

Kurikulum pendidikan tinggi Farmasi dapat memberikan gambaran mengenai


perkembangan kefarmasian (state of the art) dalam suatu negara, karena perkembangan
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian akan
diejawantahkan dalam kurikulum pendidikan tingginya.

Sejak tahun 1996 di Amerika Serikat hanya ada 1 jalur untuk mencapai profesi
Pharmacist, yaitu Pharmaceutical Doctor yang membutuhkan waktu 6 tahun (2 tahun pre-
professional + 4 tahun professional). Di Australia juga akan diseragamkan lama waktu studi
Pharmacist (Bachelor of Pharmacy = B.P.) menjadi (4 + 1) tahun. Di samping program
pascasarjana di bidang penelitian (Master dan Doctor), sama halnya di Indonesia, di Australia
juga disediakan program Graduate Diploma di bidang tertentu (Hospital Pharmacy; Industrial
Pharmacy) bagi Farmasis yang ingin meningkatkan keahliannya, khususnya keterampilan.

•Pendidikan Tinggi Farmasi di Australia

Pendidikan tinggi Farmasi di Australia secara khusus mendidik calon Farmasis untuk
dapat bekerja sebagai seorang profesional di masyarakat, berbeda dengan di Indonesia yang
mendidik mahasiswa juga sebagai calon peneliti (ada jalur akademik dan jalur profesi). Yang
dapat menjadi peneliti hanya terbatas pada lulusan yang mencapai Honours Degree (lulusan
dengan pujian) agar dapat melanjutkan ke jenjang Master of Pharmacy atau Doctor of
Philosophy.

•Pendidikan Tinggi Farmasi di Amerika Serikat

Pendidikan Tinggi Farmasi (Pharmacist) di Amerika Serikat, sejak tahun 1996 telah
diseragamkan hanya melalui 1 jalur, yaitu Pharmaceutical Doctor yang berlangsung selama 6
tahun. Perubahan kurikulum pendidikan ini disebabkan oleh tuntutan kemampuan profesional
seorang Farmasis di masyarakat yang semakin meningkat dan memerlukan tambahan
pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu dasar dan pengetahuan lain di luar kefarmasian, misalnya
pengetahuan mengenai komputer. Pada saat itu, profesi Pharmacist menempati ranking teratas
paling mulia di mata masyarakat. Hal ini disebabkan karena keahlian dan kemampuan profesi
pharmacist seanntiasa dikaji dan dikembangkan agar lebih sesuai dengan kebutuhan (link and
match). Kajian tentang perubahan kurikulum pendidikan pharmacist ini dihasilkan oleh suatu

13
Satuan Tugas Pendidikan Farmasi (Task Force on Pharmacy Education) yang dibentuk oleh
Ikatan Sarjana Farmasi Amerika Serikat (American Pharmaceutical Association, The National
Professional Society of Pharmacists), yang telah bekerja dalam kurun waktu yang cukup lama.

•Standar Profesi Farmasis

Salah satu hasil kajian dari Satuan Tugas Pendidikan Farmasi ialah mengenai Standar
Profesi Farmsis (Professional Standards of Practice = SOP) yang rumusan terakhirnya berbunyi
sebagai berikut :

A. Seorang Farmasis hendaknya mampu bertukar pikiran dengan dokter dan praktisi perawatan
kesehatan lain, yang menyangkut perawatan dan perlakuan terhadap pasien, dan senantisa
mempertebal kepercayaan pasien akan perawatannya. Farmasis hendaknya dapat menghargai
esensi diagnosis klinis dan memahami pengelolaan medis untuk pasien. Farmasis hendaknya
memiliki pengetahuan tentang obat yang akan digunakan terhadap pengobatan status sakit
pasien; mekanisme aksinya, bentuk sediaan dan kombinasi obat dalam perdagangan; nasib dan
disposisi obat; faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemanfaatan fisiologis dan aktivitas
biologis obat dalam bentuk sediaannya; pengaruh umur, seks atau status sakit sekunder yang
dapat mempengaruhi lancarnya pengobatan; dan kemungkinan interaksi dengan obat lain,
makanan dan prosedur diagnostik yang dapat memodifikasi aktivitas obat.

B. Fungsi keseluruhan Farmasis hendaknya menghasilkan terapi obat secara maksimum.


Farmasis hendaknya memahami penggunaan yang sesuai dan regimen takaran dari terapi obat
yang dilakukan, kontraindikasi dan kemungkinan reaksi tak diinginkan yang diakibatkan oleh
terapi obat. Farmasis hendaknya mempunyai cukup informasi mengenai kemungkinan obat
paten mana yang interaksinya berlawanan dengan terapi atau mungkin berguna sebagai
tambahan dalam memperbaiki pemberian obat atau perawatan secara keseluruhan.

C. Farmasis harus mengetahui aksi terapi obat paten sesuai penegasan (claim) yang
dikemukakan, komposisinya dan keunikan maupun keterbatasan bentuk sediaan tersebut.
Farmasis hendaknya mampu menilai secara obyektif kemampuan suatu produk sesuai iklannya.
Jika diminta oleh pasien, Farmasis hendaknya mampu menegaskan kemungkinan kegunaan
terapetik suatu obat paten sehubungan dengan keluhan pasien.

D. Farmasis hendaknya mampu mereviuw publikasi ilmiah dan mampu mencari implikasi
praktis suatu hasil penelitian yang berkaitan dengan kegunaan klinis suatu obat. Farmasis harus
mampu menganalisis suatu laporan pustaka percobaan klinis mengenai kesesuaian desain
penelitian dan analisis statistik yang dibuat dari data. Farmasis hendaknya mampu menyiapkan
suatu abstrak yang obyektif mengenai kebermaknaan data dan kesimpulan si penulis.

E. Farmasis hendaknya merupakan seorang spesialis mengenai karakteristik kestabilan dan


persyaratan penyimpanan obat dan bahan obat, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pelepasan obat dari bentuk sediaannya, bagaimana tempat pemberian obat atau lingkungan di
sekitar tempat itu pada tubuh dapat mempengaruhi absopsi obat tertentu dari bentuk sediaan
yang diberikan, dan bagaimana kemungkinannya berinteraksi untuk mempengaruhi aksi awal
(onset), intensitas, atau lamanya (duration) aksi terapetik.

F. Farmasis hendaknya paham benar akan pengaturan legal tentang pengadaan, penyimpanan,

14
dan distribusi obat. Farmasis hendaknya mengetahui tentang penggunaan obat yang diizinkan
seperti yang terperinci oleh pejabat negara dan daerah, praktek medis yang benar, dan tanggung
jawab legalnya terhadap pasien dalam penggunaan obat pada prosedur terapetik eksperimental.

G. Farmasis hendaknya mampu, dengan terdapatnya bahan sumber yang sesuai, untuk
merekomendasi produk obat atau bentuk sediaan mana yang mungkin secara potensial berguna
untuk kebutuhan terapetik tertentu, dan Farmasis hendaknya secara obyektif mampu mendukung
pilihan yang diambil. Farmasis hendaknya juga mampu untuk mengidentifikasi produk obat
berdasarkan bentuk dan warna yang dirinci, dan mungkin penggunaannya yang dianjurkan
dengan menggunakan bahan sumber yang sesuai.

H. Farmasis akan tanggap, berdasarkan gejala yang akan diuraikan dalam wawancara dengan
pasien, tentang informasi tambahan yang masih perlu diusahakan diperoleh dari pasien
mengenai kondisi pasien itu. Berdasarkan informasi ini Farmasis hendaknya dapat merujuk
pasien itu kepada praktisi medis yang sesuai, spesialis, atau badan yang paling berkompeten
untuk membantu pasien dalam kasus spesifik. Farmasis hendaknya memperoleh dan menyimpan
kartu data sakit (profil) pasien untuk digunakan dalam melakukan keputusan farmatesis yang
menyangkut perawatan pasien. Melalui pemanfaatan profil demikian dan materi pembantu yang
sesuai, Farmasis hendaknya melaksanakan program reviuw pemanfaatan obat dalam lingkungan
daerah praktek. Farmasis hendaknya memantapkan dan melaksanakan program untuk
memastikan tidak lalainya pasien menggunakan obat dengan tujuan terapetik.
I. Farmasis hendaknya mempunyai pengetahuan tentang manifestasi toksis dari obat dan
tindakan yang diperlukan yang merupakan cara terbaik untuk pengobatan gejala keracunan ini.

J. Farmasis hendaknya mampu berkomunikasi secara efektif dengan pasien mengenai petunjuk
mengenai penanganan yang sesuai dari resep dan obat paten. Farmasis hendaknya mengetahui
tentang pembatasan yang perlu ditekankan pada konsumsi makanan, pengobatan lain dan
aktivitas fisik.

K. Farmaisis hendaknya mampu berkomunikasi dengan profesional kesehatan lain atau orang
awam tentang topik obat yang baik, masalah kesehatan masayrakat, dan pendidikan kesehatan
perorangan.

L. Farmasis hendaknya mampu untuk meracik obat yang sesuai atau campuran obat dalam
bentuk sediaan yang baik.

M. Farmasis hendaknya mampu untuk menginterpretasi resep dari penulis resep yang
sepatutnya berlisensi, secara teliti meracik bahan terapetik yang sesuai, memeriksa ketepatan
resep yang sudah selesai sesuai isinya, dan menempelkan label petunjuk sesuai diperlukan agar
membantu pemahaman pasien tentang maksud si penulis resep. Selanjutnya Farmasis
hendaknya memberitahu pasien secara lisan atau tertulis, mengenai efek merugikan dari obat
yang diracik menurut resep, apabila mengandung obat yang mungkin berbahaya bagi orang
yang memakannya. Farmasis hendaknya memastikan bahwa pasien mengerti betul mengenai
petunjuk obat yang ditulis.

N. Farmasis hendaknya memahami prinsip dan teknik prosesur manajemen yang baik, dan akan
memberikan pelayanan kefarmasian yang efisien untuk memastikan kesinambungan perawatan

15
pasiennya. Farmasis hendaknya menyadari tentang pertimbangan finansial dari perawatan
kesehatan, dan senantiasa berusaha memberikan perawatan pasien yang berkualitas.

O. Farmasis akan mengambil langkah-langkah yang seuai dalam mempertahankan tingkat


kompetensi dalam setiap bidang yang disebutkan di atas.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) pada Kongres Nasional ISFI XV di Semarang,
pada tahun 1966 juga sudah merumuskan Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di
Apotik. Hal ini merupakan sebagia materi pada mata kuliah Perundang-undangan dan Etik,
Program Profesi Apoteker.

•Kurikulum Pendidikan Farmasi di Amerika Serikat 2002

Sejak 1996 pendidikan profesi Farmasis di Amerika Serikat bergelar Doctor of


Pharmacy ( Pharm.D.) berlangsung selama 6 tahun; terbagi atas 2 tahun prasyarat
(Prepharmacy) dan 4 tahun magang (residence) untuk program profesional dan pengalaman
kerja. Di samping itu ditawarkan juga program Master of Science (M.S) dan Philosophical
Doctor (Ph.D.) dalam bidang farmasi tertentu, misalnya M.S. in Pharmaceutical Policy and
Evaluative Sciences, yang dapat dilanjutkan ke Program Ph.D. dalam bidang
Pharmacoepidemiology, atau Ph.D. dalam bidang Pharmacoeconomics and Policy. Program
Doktor Farmasi (Pharmaceutical Doctor Program) mempersiapkan mahasiswanya untuk
mengidentifikasi, mengambil keputusan dan mencegah permasalahan yang berkaitan dengan
obat. Mahasiswa belajar untuk menguasai perawatan pasien dalam hal menghasilkan terapi obat
yang positif, yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Program ini tidak lagi
mempersyaratkan gelar “bachelor”, namun terdapat sejumlah mata kuliah yang harus dilulusi
sebelum memasuki program ini yang dinamakan “pre-pharmacy requirements” . Program
profesi Pharm.Doctor 4 tahun ini merupakan pendidikan didaktik dan praktek, dan merupakan
satu-satunya gelar yang resmi untuk memperoleh izin praktek kefarmasian di Amerika Serikat.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

16
Bahwa perkembangan farmasi dari zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan telah
banyak mengalami perubahan walaupun di butuhkan waktu yang relatif lama namun
akhirnya farmasi bisa bersaing dan berkembang dengan cepatnya. Bahkan dari tahun
ketahun peminat profesi di indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
Kita pun dengan mudahnya mencari sekolah tinggi ataupun sekolah menegah farmasi di
indonesia ini.

B. Saran
Sebagai penerus profesi farmasi di harapkan kita mampu berpegang teguh pada
pedoman-pedoman farmasi yang kita punya. Menjadikan profesi farmasi menjadi lebih
berkembang lagi tentunya dengan kualitas dan kuantitas yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Fuad, Ahmad. 2000. Sumbangan Keilmuan Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-kautsar

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia edisi III dan extra Farmakope Indonesia edisi III.

17
Jakarta: Depkes RI.

Praktek dari Farmasi, Mack Menerbitkan Perusahaan.Ansel, H. C., Popovich, NG, Allen, LV,
1999 , Farmasi Dosis Formulir dan ObatPengiriman Sistem, 7 Ed., Williams & Wilkins,
Philadelphia.Rovers, JP, Currie, JD, Hagel, HP, McDonough, RP, Sobotka, JL, 2003, SEBUAH
PraktisPanduan untuk Perawatan Farmasi ,2nd Eddition, AphA, Washington, DCCipolle, RJ,
Untai, LM, dan Morley, PC, 1998, Farmasi peduli Praktek, McGrawBukit, Baru York.

18

Anda mungkin juga menyukai