Anda di halaman 1dari 21

FARMASI SOSIAL

CITRA FARMASI

Disusun Oleh :

I Putu Kusuma Negara 20334009


Anisa Deasabrina 20334013
Manda Safitri 20334014
Raudya Putdy Nafiah 20334018
Ramadhanti Ekasari Putri 21334758
Ririyani Nurhawary 21334760

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 2
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 7


2.1 Sejarah kefarmasian dunia .................................................................................. 7
2.2 Pengertian Citra .................................................................................................. 8
2.3 Macam - macam citra.......................................................................................... 8
2.4 Proses pembentukan citra.................................................................................... 9
2.5 Citra Farmasi ..................................................................................................... 11
2.6 Kerangka Konsep Citra Farmasi ....................................................................... 11
2.7 Pembagian citra ................................................................................................. 12
2.7.1 Citra Perusahaan ....................................................................................... 12
2.7.2 Citra Pasar ................................................................................................. 13
2.7.3 Citra Professional ...................................................................................... 14
2.7.4 Citra Farmasis dimata masyarakat ............................................................ 14
2.8 Pengembangan citra farmasi ............................................................................. 15
2.8.1 Farmasis yang Professional ....................................................................... 15
2.8.2 Pengembangan dan Professionalisme Farmasis ........................................ 17
2.9 Strategi meningkatkan citra Farmasi................................................................. 18
2.9.1 Pendidikan pasien ..................................................................................... 18
2.9.2 Pelayanan masyarakat ............................................................................... 19
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 20
3.2 Saran ................................................................................................................. 20
Daftar Pustaka ................................................................................................................ 21

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur selalu terucap kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kami kesehatan sehingga mampu menyelesaikan kewajiban kami. Tak lupa pula
shalawat dan salam kepada junjungan alam penerang umat muslim Nabi
Muhammad SAW. yang telah membawa umat dari kehidupan jahiliyah menuju
kehidupan yang berilmu.

Alhamdulillah, pada kesempatan ini kami selaku penulis dapat


menyelesaikan tugas makalah kami pada mata kuliah Farmasi Sosial yang berjudul
Citra Farmasi. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah
yang telah memberi arahan dalam proses penyusunan makalah.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini sangat banyak sekali


kekurangan, oleh karena itu kami menerima saran dan kritikan yang mendukung
dan memotivasi dari pembaca.

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dari segi kata, Farmasi didefinisikan sebagai ilmu penyediaan bahan obat,
dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan
pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan
mengenai identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan,
penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat
(medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan
obat yang sesuai dan aman,baik melalui resep (prsecription) dokter berizin,
dokter gigi, dan dokter hewan,maupun melalui cara lain yang sah, misalnya
dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai. Paradigma yang
berkembang dimasyarakat, Apoteker atau Farmasis sebagai seseorang yang ahli
dibidang farmasi lebih dikenal sebagai pembuat obat di pabrik,atau penjual obat di
apotek. Di Indonesia, profesi farmasis mulai menggeliat, walau masih perlu meniti
jalan panjang.

Kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum


WHO seperti Nairobi Conference, International Conference on Drug Regulatory
Authorities (ICDRA) maupun forum profesi seperti World Conference on Clinical
Pharmacology &Therepeutics, yang mengakui bahwa pelayanan informasi obat
merupakan salah satu kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi. Hal ini
memberikan kesan dan citrayang kurang baik bagi apoteker. Masyarakat tentunya
merasa sekali kekurang hadiran apoteker dalam setiap melayani langsung kepada
pasien. Di mata mereka, sosok apoteker semakin tidak jelas kedudukan spesifiknya.
Dan dampak lanjutannya, sedikit banyak masyarakatakan meremehkan peran dan
fungsi apoteker di apotek.

Terkait dengan hal - hal yang telah dituliskan, melalui makalah ini penulis
berharap para tenaga kesehatan khususnya para tenaga farmasi dapat meningkatkan
mutu pelayanan di beberapa bidang, diantaranya pelayanan rumah sakit, apotek,

4
pemasaran farmasi, industri, dan sosial. Dengan meningkatnya mutu pelayanan
maka citra farmasi pun dapat terangkat. Farmasis terfokus kepada pertanyaan yang
sama mengenai bagaimana citra suatu profesional farmasi.

Beberapa penelitian mengenai kemampuan farmasis dalam menyediakan


informasi pengobatan, cara komunikasi dengan pasien, citra, dan pelatihan formal
sudah mulai dilakukan sejak tahun 1960-an. Beberapa temuan besar dari penelitian
ini antara lain:

a. Farmasis dianggap tidak benar-benar memaksimalkan potensi


kemampuannya
b. Farmasis terbiasa fokus kepada konsep teknis ketimbang
konsep profesional
c. Farmasis tidak terlalu memakai segenap pengetahuan dan kemampuan
professional mereka dalam pekerjaannya, dan
d. Farmasis seharusnya memberikan edukasi kepada pasien tentang latar bela
kang pendidikan mereka dan keinginan untuk memberikan pelayanan
kepada pasien.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah kefarmasian dunia?
2. Bagaimana pengertian dari citra ?
3. Bagaimana macam-macam citra?
4. Bagaimana proses pembentukan citra ?
5. Bagaimana citra farmasi ?
6. Bagaimana kerangka konsep citra farmasi ?
7. Bagaimana pembagian citra ?
8. Bagaimana pengembangan citra farmasi ?
9. Bagaimana strategi meningkatkan citra farmasi ?

5
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa mengetahui apa itu citra farmasi
2. Agar mahasiswa mengetahui berbagai komponen dari citra farmasi
3. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana pengembangan citra farmasi
4. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana cara pengembangan citra farmasi
5. Agar mahasiswa mengetahui strategi yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan citra farmasi.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah kefarmasian dunia


Sejarah farmasi dan kedokteran juga dipengaruhi tokoh tokoh seperti
hippocrates (450-370 SM), Dioscorides (abad ke-1 M), dan Galen (120-130 M).
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu
Kedokteran, belum dikenal adanya istilah farmasis. Seorang dokter yang
mendiagnosis penyakit sekaligus berperan sebagai “Apoteker” yang menyiapkan
obat. Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan
secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two
Silices“. Dari sejarah ini,satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu
farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama. Walaupun kedua bidang ilmu ini
memiliki akar yang sama, tapi pastilah terdapat perbedaan diantara keduanya
sehingga Frederick II mengeluarkan kebijakan tersebut.

Dalam sejarah, profesi dokter dibedakan dengan apoteker. Pada awal abad
ke-13 belum dikenal istilah Apoteker atau Pharmacist. Yang ada hanya seorang
Penyembuh (healer,shaman, dukun, tabib, sinshe dsb.) yang memeriksa penyakit
pasien kemudian memberikan pula obat yang diperlukan. Praktek seperti ini saya
kira bukan asing dinegara kita malahan masih sangat banyak. Di Eropa praktek
seperti ini diikuti dengancermat sehingga ditemukan bahwa ini banyak merugikan
pasien karena tidak ada " check and balance". Karena perkembangan di bidang obat
kemudian sangat pesat,disadari bahwa satu orang tidak dapat menguasai semua
ilmu. Maka pada tahun 1240 di negara. Kerajaan Sicilia untuk pertama kalinya
dikeluarkan undang-undang yang memisahkan pekerjaan Dokter dan Apoteker.
Dokter hanya boleh memeriksa pasien dan menulis resep tetapi obat dibuat dan
diserahkan oleh Apoteker.

Farmasi sebagai profesi di Indonesia sebenarnya relatif masih muda dan baru
dapat berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman
penjajahan, baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda maupun masa

7
pendudukan Jepang, kefarmasian di Indonesia pertumbuhannya sangat lambat, dan
profesi ini belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Sampai proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, para tenaga farmasi Indonesia pada umumnya
masih terdiri dari asisten apoteker dengan jumlah yang sangat sedikit.

Tenaga apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark,


Austria, Jerman dan Belanda. Namun, semasa perang kemerdekaan, kefarmasian di
Indonesia mencatat sejarah yang sangat berarti.

2.2 Pengertian Citra


Menurut G. Sach dalam Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2007:171) citra
adalah pengetahuan mengenai kita dan sikap-sikap terhadap kita yang mempunyai
kelompok-kelompok yang berbeda. Pengertian citra ini kemudian disitir oleh
Effendi dalam Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2007:171) bahwa citra adalah dunia
sekeliling kita yang memandang kita. Sedangkan menurut Katz dalam Soemirat dan
Elvinaro Ardianto (2007: 113), citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang
sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas.
Menurut Frank Jefkins dalam Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2007:114),
citra diartikan sebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul
sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya. Jalaludin Rakhmad dalam
Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2007:114), medefinisikan citra sebagai gambaran
tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas, citra adalah dunia menurut
persepsi. Berdasarkan pengertian para pakar di atas, citra dapat diartikan sebagai
gambaran yang didapat oleh lingkungan di sekitar atau pihak lain sebagai hasil dari
pengalaman dan pengetahuannya tentang suatu obyek.

2.3 Macam - macam citra


Frank Jefkins dalam Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2007:117), membagi
citra dalam beberapa jenis, antara lain:
a. The mirror image (cerminan citra), yaitu bagaimana dugaan (citra) manjemen
terhadap public eksternal dalam melihat perusahaannya.

8
b. The current image (citra masih hangat), yaitu citra yang terdapat pada publik
eksternal, yang berdasarkan pengalaman atau menyangkut miskinnya
informasi dan pemahaman publik eksternal. Citra ini bisa saja bertentangan
dengan mirror image.
c. The wish image (citra yang diinginkan), yaitu manajemen menginginkan
pencapaian prestasi tertentu. Citra ini diaplikasikan
untuk sesuatu yang baru sebelum public eksternal memperoleh informasi
secara lengkap.
d. The multiple image (citra yang berlapis), yaitu sejumlah individu, kantor
cabang atau perwakilan perusahaan lainnya dapat membentuk citra tertentu
yang belum tentu sesuai dengan keseragaman citra seluruh organisasi atau
perusahaan.

2.4 Proses pembentukan citra


Terdapat empat komponen pembentukan citra antara lain:
1. Persepsi, diartikan sebagai hasil pengamatan unsur lingkungan yang
dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan dengan kata lain. Individu akan
memberikan makna terhadap rangsang berdasarkan pengalamannya
mengenai rangsang. Kemampuan mempersepsi inilah yang dapat
melanjutkan proses pembentukan citra. Persepsi atau pandangan individu
akan positif apabila informasi yang diberikan oleh rangsang dapat memenuhi
kognisi individu.
2. Kognisi, yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus keyakinan
ini akan timbul apabila individu harus diberikan informasi-informasi yang
cukup dapat mempengaruhi perkembangan kognisinya.
3. Motivasi dan sikap yang ada akan menggerakan respon seperti yang
diinginkan oleh pemberi rangsang. Motif adalah keadaan dalam pribadi
seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-
kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.
4. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berfikir, dan merasa
dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan prilaku tetapi

9
merupakan kecenderungan untuk berprilaku dengan prilaku tetapi merupakan
kecendrungan untuk berprilaku dengan cara-cara tertentu, sikap mempunyai
daya pendorong atau motivasi sikap menentukan apakah orang harus pro atau
kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan dan
diinginkan, sikap mengandung aspek evaluatif artinya mengandung nilai
menyenangkan atau tidak menyenangkan, sikap juga diperhitungkan atau
diubah.
Proses ini menunjukan bagaimana stimulus yang berasal dari luar
diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Stimulus atau rangsangan yang
diberikan pada individu dapat diterima atau ditolak. Jika rangsangan ditolak, maka
proses selanjutnya tidak akan berjalan. Hal ini menunjukan bahwa rangsangan
tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu karena tidak adanya perhatian
dari individu tersebut. Sebaliknya, jika rangsangan itu diterima oleh individu,
berarti terdapat komunikasi dan perhatian dari organisme, dengan demikian proses
selanjutnya dapat berjalan.

Gambar 1 - Model Pembentukan Citra Stimulus

Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal


dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Stimulus (rangsang) yang
diberikan pada individu dapat diterima atau ditolak. Jika rangsangan ditolak, proses
selanjutnya tidak akan berjalan, hal ini menunjukkan bahwa rangsang tersebut tidak
efektif dalam mempengaruhi individu karena tidak ada perhatian dari individu
tersebut. Pada dasarnya, proses pembentukan citra adalah respon dari stimulus yang

10
diberikan. Akan tetapi, proses tersebut akan berbeda hasilnya karena dipengaruhi
oleh persepsi, kognisi, motivasi dan sikap yang berbeda pula.

2.5 Citra Farmasi


Rangkaian citra berhubungan dengan bagaimana farmasi dinilai dalam
pemikiran konsumen, yang terdiri dari beberapa struktur dan bagian dari sisi
psikologi. Keinginan untuk memberikan edukasi dan untuk loyal terhadap satu
agen farmasi tertentu adalah beberapa factor. yang mempengaruhi sikap pasien,
pengalaman, dan harapan dari pelayanan yang diberikan. Dalam lingkungan dengan
kompetisi tinggi seperti industri klinik, pasien memungkinkan untuk memilih
membelanjakan uangnya untuk mengambil benefit harga atau pelayanan; dalam
beberapa situasi, lokasi juga jadi bahan pertimbangan seperti akses yang mudah,
ketersediaan, kemudahan dalam mencapai lokasi tersebut. Meskipun pasar
memaksa dari sumber daya yang sedikit, pelayanan yang desentralisasi,
dan kebijakan pembayaran yang tidak cukup baik, farmasis harus berusaha keras
untuk membangun citra yang menarik. Analisa yang hati-hati menjadi faktor yang
mempengaruhi pengembangan citra yang akan membantu farmasi secara stragis
menempatkan posisinya dalam kompetisi di bidang perawatan kesehatan.

2.6 Kerangka Konsep Citra Farmasi

Seperti yang tercantum dalam gambar, konsep citra dapat ditentukan dari
beberapa jenis sudut pandang :

11
1. Citra perusahaan farmasi ditentukan oleh pengalaman, media massa dan
sumber lainnya.
2. Ketika pasien bertukar informasi mengenai pengalamannya dengan pihak
lain, maka akan terbentuk citra pasien yang konsisten berdasarkan penilaian
pasien terhadap produk dan perbandingan di antara beberapa pesaing.
3. Profesionalisme akan ditunjukkan melalui perilaku, sikap dan kepercayaan
kepada organisasi untuk memenuhi harapan pasien terhadap pelayanan.

2.7 Pembagian citra


2.7.1 Citra Perusahaan
Citra perusahaan adalah pandangan pasien mengenai kebijakan perusahaan
terhadap lingkungan sosial, karyawan, pasien dan individu lainnya. Kepercayaan,
ketahanan dan tanggung jawab adalah faktor penting dalam pendistribusian produk
farmasi maupun dalam pelayanan. Terlepas dari jenis produk ditiadakan, pasien
perlu tahu bahwa mereka dapat produk atau jasa dalam jumlah waktu yang wajar.
Jika arah khusus yang dibutuhkan untuk digunakan,pasien tahu bahwa mereka
dapat Relyon profesional untuk memberikan informasi ini.Selain itu, jika
masalah terjadi, perlu bersabar untuk mengetahui bahwa masalah akan
diselesaikan dengan cepat.
Budaya organisasi merupakan fungsi dari citra perusahaan dan
berkontribusi terhadap reputasi perusahaan serta proses sosialisasi anggotanya.
Budaya organisasi didefinisikan sebagai pola asumsi dasar bahwa kelompok
tertentu telah ditemukan, ditemukan atau dikembangkan dalam belajar untuk
mengatasi masalah nya adaptasi eksternal dan integrasi internal dan yang telah
bekerja cukup baik untuk dianggap sah dan, oleh karena itu, untuk diajarkan
kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, berpikir,
dan merasa dalam kaitannya dengan masalah tersebut. Budaya merupakan
fungsi integral dari organisasi dalam hal ini memegang bersama-sama berbagai
komponen dari sistem organisasi dan mempertahankan engan keseimbangan.
Berbagai fungsi yang nyata melalui kepercayaan anggota ini, definisi dunia,
pengetahuan sosial bersama, filosofi, nilai-nilai, asumsi dan sikap. Konsep-

12
konsep ini sangat penting untuk pembentukan budaya perusahaan dan
memastikan kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dan bertahan hidup
melalui dan proses pertukaran dengan lingkungan.
Pembentukan citra juga dapat dihubungkan dengan proses pengembangan
organisasi,yang berkaitan dengan enchancement dari mekanisme adaptif dalam
organisasi. Tujuannya adalah untuk membuat organisasi lebih mudah menerima
perubahan, sehingga memudahkan penataan kembali total sistem organisasi ke
dalam konfigurasi yang lebih layak dan memuaskan. Komponen kunci dari
sistem ini meliputi administrasi, produksi, teknologi, struktur, budaya, dan tujuan
organisasi. Mencapai kongruensi antara komponen- komponen ini akan
meningkatkan anggota kemampuan untuk merencanakan strategis untuk masa
depan serta menciptakan citra seorang tokoh masyarakat.

2.7.2 Citra Pasar


Perhatian utama produk dan pelayanan adalah citra pasar. Citra pasar adalah
bagaimana pasien dan penyedia pelayanan kesehatan menilai harga produk dan
pelayanan dibandingkan dengan para pesaing. Jika pasien percaya bahwa mereka
mendapatkan harga yang pantas dari produk atau pelayanan, maka mereka akan
terus membeli produk atau pelayanan itu. Pasien berharap harga yang masuk
akal, konsisten dan adil. Banyak perusahaan menggunakan sistem komputer
yang canggih, mesin penyalur otomatis dan proses klaim elektronik untuk
mengontrol harga dan untuk menjamin kebijakan harga yang konsisten. Jaminan
informasi, pelayanan kesehatan di rumah dan konsultasi professional adalah
pelayanan yang dapat digunakan untuk membentuk citra pasar yang diinginkan
perusahaan. Pasien menyerahkan jaminan pelayanan berkelanjutan dan menunggu
komitmen agen terhadap pelayanan pasien. Kemudian, pasien akan mendapatkan
keuntungan lebih bila menjadi anggota dan akan terfasilitasi atas pengembangan
hubungan pasien dan kepercayaan.

13
2.7.3 Citra Professional
Citra professional terfokus pada komitmen terhadap kualitas pelayanan
kesehatan dan kebutuhan pendidikan publik terkait penggunaan obat. Sebuah model
konsep citra profesional dikemukakan oleh “ Hall “ menyatakan bahwa ada
penyesuaian antara sisi struktural dan sisi sikap dalam profesionalisme. Aspek
struktural akan menghubungkan pelatihan profesional, pengetahuan, kodeetik,
komitmen pelayanan dan ekonomi pekerjaan.
Sedangkan sisi sikap profesionalisme terpusat pada bagaimana tenaga
kesehatan memandang pekerjaannya dan bagaimana hal ini tergabung ke dalam
kerangka kognitif profesionalisme. Secara umum, seperti yang disebutkan pada
penelitian sebelumnya, ada hubungan terbalik antara profesionalisme dengan
birokrasi. Selain itu, penelitian yang dilakukan pada tahu 1960 dan tahun 1970 itu
mengungkapkan keinginan umum farmasis untuk memperbaiki citra mereka dan
mengembangkan pelayanan terhadap pasien.

2.7.4 Citra Farmasis dimata masyarakat


Pengertian apoteker secara spesifik adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian).
Pendidikan apoteker dimulai dari pendidikan sarjana (S-1), yang umumnya
ditempuh selama empat tahun, ditambah satu tahun untuk pendidikan profesi
apoteker. Seperti yang kita ketahui, pencitraan dalam sebuah keprofesian
merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan profesi tersebut dalam memberikan
layanan kepada masyarakat.
Citra sebuah profesi di mata masyarakat memberikan gambaran tentang
sejauh mana masyarakat mengenal dan merasa terbantu oleh pelayanan profesi
tersebut. Ketika masyarakat merasa puas dan terbantu serta profesi tersebut dapat
memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka citra profesi tersebut dapat
dikatakan baik atau tinggi. Di luar negeri, terutama negara-negara maju apoteker
menjadi salah satu profesi kesehatan yang memiliki citra baik di mata
masyarakatnya. Apoteker memiliki andil yang sangat besar dalam memberikan

14
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.Di luar negeri terdapat lima poin penting
yang membutuhkan kehadiran apoteker secara langsung, antara lain:
1. Menyediakan pelayanan kefarmasian
2. Menghasilkan dan mendistribusikan penyiapan obat dan produk
3. Berkontribusi dalam tindakan efektif kefarmasian
4. Menjaga pertumbuhan professional dan kontribusi untuk pertumbuhan
professional orang lain
5. Berkontribusi dalam keefektifan sistem pelayanan kesehatan
Hal ini mengakibatkan citra apoteker di luar negeri sangat tinggi.
Masyarakat mengenal apoteker tidak hanya sebagai peracik obat, namun sebagai
profesi yang ikut ambil andil dalam pemenuhan tujuan kesehatannya. Hal ini dapat
menjadi refleksi bagi apoteker Indonesia untuk kembali memperbaiki citranya di
mata masyarakat.

2.8 Pengembangan citra farmasi


2.8.1 Farmasis yang Professional
Dengan berupaya mengembalikan kembali keberadaan profesi apoteker
di Indonesia yang ditunjang pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam
pelayanan kefarmasian, di masa depan akan memberikan justifikasi yang kuat
karena fungsi dan peran apoteker ini semakin jelas. Keberadaan ini pada
akhirnya menjadi kunci kemajuan usaha apotek, yang tentunya akan
berdampak menaikan kesejahteraan apoteker dan menjadikan apotek sebagai
pekerjaan pokok. Sikap perilaku profesionalisme yang didukung keinginan
selalu berbuat benar, merupakan wujud realisasi yang menopang sistem dan aturan
yang di tentukan mulus berjalan. Sikap profesionalisme yang dicirikan oleh
seorang apoteker akan tercermin pada :
a. Selalu berniat melaksanakan kebajikan dengan tidak mementingkan
keuntungan materi semata, sehingga terpancar dalam bentuk sikap objektif,
menjaga diri dan independen.
b. Bekerja berdasarkan keahlian dan kompeten sehingga mampu menjalankan
profesi secara bebas dan otonom.

15
c. Mempunyai klasifikasi teknis dan moral yang tinggi dengan
ketaatan dan pengamalan sumpah profesi, kode etik dan standar profesi.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang apoteker yang profesional memiliki 3


unsur utama : keahlian, tanggung jawab, dan norma-norma yang mengatur kegiatan
profesi. Farmasis profesional harus mampu mengaplikasikan asuhan kefarmasian
di apotik tempat dia bekerja. Asuhan kefarmasian yang dimaksud :
a. Kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik,
mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi,
menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner,
kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karir
dan membantu pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan.
b. Dapat mengelola persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainya yang
meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan professional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etika profesi.
d. Mampu melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai
obat.
e. Memberikan konseling kepada pasien yang akan meningkatkan
kepatuhan pasien pada terapi obat.
f. Dapat melakukan pelayanan residensial (Home Care).
g. Apoteker dapat memberikan nasehat, memilih obat dan keamananya
serta keefektifan penggunaan pada ”pengobatan sendiri”pengobatan sendiri.
h. Dapat bekomunikasi antar profesi dalam pemakaian obat dan sebagai bagian
dari pembuat keputusan klinis bersama spesialis yang lain. Sebagai seorang
yang ahli dalam hal obat-obatan kerena pendidikannya, apoteker harus
selalu dikenal dan dapat dihubungi sebagai sumber nasehat yang benar
tentang obat-obatan dan masalah pengobatan.

16
2.8.2 Pengembangan dan Professionalisme Farmasis
Sebagai anggota tim pelayanan kesehatan yang terdiri dari pasien dan
profesi kesehatan yang bertanggung jawab untuk kepedulian kesehatan pasien,
apoteker harus memiliki kompetensi guna melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-
beda di apotik Konsep the seven-star pharmacist diperkenalkan aleh WHO dan
diambil oleh FIP (ISFI Dunia) pada tahun 2000 sebagai kebijaksanaan tentang
praktek pendidikan farmasi yang baik (Good Pharmacy Education Practice)
meliputi sikap apoteker sebagai pemberi pelayanan (care giver), pembuat keputusan
(decision-maker), communicator, manager, pembelajaran jangka panjang (life-
long learner), guru (teacher) dan pimpinan (leader).
a. Care-giver.
Dalam memberikan pelayanan mereka harus memandang pekerjaan mereka
sebagai bagian dan terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan dan
profesi lainnya. Pelayanan harus dengan mutu yang tinggi.
b. Decision- maker.
Penggunaan sumber daya yang tepat, bermanfaat, aman dan tepat guna
seperti SMD, obat-obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan
pelayanan harus merupakan dasar kerja dari apoteker.
c. Communicator.
Apoteker adalah merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara
dokter dan pasien dan untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-
obatan pada masyarakat. Apoteker harus memiliki ilmu pengetahuan dan
rasa percaya diri dalam berintegrasi dengan profesi lain dan masyarakat.
Komunikasi ini dapat dilakukan secara verbal (langsung), non verbal,
mendengarkan dan kemampuan menulis.
d. Manager.
Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (SDM, fisik, dan keuangan),
dan informasi secara efektif.
e. Life- long learner
Adalah tak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah
farmasi dan masih dibutuhkan pengalaman seseorang apoteker dalam karir

17
yang lama. Konsep-konsep, prinsip-prinsip, komitmen untuk pelajaran
jangka panjangharus dimulai disamping yang diperoleh di sekolah dan
selama bekerja.Apoteker harus belajar bagaimana menjaga ilmu
pengetahuan dan keterampilan mereka tetap up to date.
f. Teacher
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan
dan pelatihan generasi berikutnya dan masyarakat.
g. Leader.
Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi
pelayanan kesehatan lainya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi
tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dalam semua hal yang
menyangkut kesejahteraan pasien dan masyarakat. Seorang apoteker
yang memegangperanan sebagai pemimpin harus mempunyai visi dan
kemampuan memimpin.

Untuk menerapkan konsep the seven-star pharmacist , seorang apoteker


dapat mengembangkan kompetensi dengan meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien. Kemampuan tersebut dapat diperoleh dengan :
a. Mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
pelayanan kefarmasian.
b. Mengikuti penataran dan uji kompetensi yang diselengarakan oleh
Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi (ISFI)
c. Memahami kewajiban apoteker terhadap penderita, teman sejawat, sejawat
petugas kesehatan lainya sesuai dengan kode etik profesi secara benar.

2.9 Strategi meningkatkan citra Farmasi


2.9.1 Pendidikan pasien
Pelatihan atau seminar dapat diselenggarakan agar pasien memahami
pengobatan yang mereka jalani. Seminar ini juga dapat memberikan dorongan bagi
staff perawatan di rumah dan fasilitas perawatan jangka Panjang lainnya untuk

18
menjamin pemenuhan keperluan pasien dan penyembuhannya. Cara lain juga untuk
meningkatkan citra yaitu dengan iklan yang memberikan informasi medis seperti
informasi mengenai pengobatan.

2.9.2 Pelayanan masyarakat


Keterlibatan dalam masyarakat dapat meningkatkan citra perusahaan
misalnya dalam bentuk sponsor kegiatan organisasi kemasyarakatan di kegiatan
keagamaan. Dukungan keuangan untuk program-program kegiatan amal atau
social, dan program untuk penderita cacat dapat meningkatkan citra positif
perusahaan.
a. Jaringan pelayanan terpadu
Jaringan interorganisasi dapat bertindak sebagai sebuah unit dan membuat
keputusan, melakukan Tindakan, dan mengejar tujuan serupa pada sebuah
organisasi berotonomi. Beberapa tujuan dari hubungan ini adalah untuk
mendirikan sebuah titik distribusi untuk menjaga keberlangsungan
pelayanan pasien.
Selain memperbanyak kontak dengan pasien, farmasis juga harus
menambah pelayanan farmasetik terpadu, menambah akses informasi bagi
pasien dan lebih banyak berinteraksi dengan tenaga Kesehatan lain. Jika
farmasis tidak mempromosikan kualitas professional mereka sebagai
strategi untuk meningkatkan citra, maka persepsi public terhadap farmasis
akan mengalami kemunduran.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari hasil diskusi yang telah dilakukan oleh kelompok kami, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :

a. Citra farmasi adalah kesan, perasaan, gambaran dari masyarakat terhadap


farmasis; kesan yang sengaja diciptakan dari farmasis.
b. Faktor pengembangan profesionalisme farmasi yang sudah dijelaskan secara
lengkap.
c. Komponen citra farmasi
d. Strategi yang dapat meningkatkan citra farmasi.

3.2 Saran
Untuk membangun citra positif yang dibenak konsumen, maka pesan yang
disampaikan perlu untuk dikomunikasikan kepada target sasaran. Informasi
tersebut dapat dikomunikasikan melalui strategi promosi yang digunakan haruslah
dapat mencapai target sasaran yang ditentukan.

20
Daftar Pustaka

Haeria, 2017, Pengantar ilmu Farmasi, Makassar: Fakultas Kedokteran dan


Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar.

Soemirat, Soleh & Ardianto, Elvinaro, 2007, Dasar-Dasar Public Relations,


Bandung: Rosdakarya.

https://bem.farmasi.ui.ac.id/2018/09/25/eksistensi-apoteker-di-abad-ke-21/

Fuad, Ahmad. 2011. Farmasi Sosial. Jakarta : Samitra Media Utama.

21

Anda mungkin juga menyukai