Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah mungkin
ada sedikit hambatan. Namun berkat bantuan dukungan dari teman-teman serta bimbingan dari dosen
pembimbing, sehingga kami dapat menyelasikan makalah ini dengan baik.

Dengan adanya makalah ini, diharapakan dapat membantu proses pembelajaran dan menambah
pengetahuan bagi para pembaca. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak atas bantuan, dukungan dan doanya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca makalah ini dan dapat
mengetahui tentang sejarah kesehatan dunia dan Indonesia. Makalah ini mungkin kurang sempurna,
untuk itu kami mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.

Slawi, Maret 2017

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3

2.1 Pengertian Farmasi Klinik..................................................................... 3

2.2 Tujuan Farmasi Klinik........................................................................... 4

2.3 Sejarah Farmasi Klinik.......................................................................... 4


2.4 Farmasi Klinik di Berbagai Belahan Dunia.......................................... 8

2.5 Macam-macam Aktivitas Farmasi Klinik.............................................. 11

2.6 Pelayanan Farmasi Klinik..................................................................... 12

BAB III PENUTUP............................................................................................... 21

3.1 Kesimpulan........................................................................................... 21

3.2 Saran..................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan pada fungsi
farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu
disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan
atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap
tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan.
Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University of Michigan dan University of Kentucky pada
tahun 1960-an (Miller,1981).

Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal
adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang
“Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula
maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri.
Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi
dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu
direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama.

Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga
terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat ( apotek ).
Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek.
Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat.

Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut semua
aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan.

Sedangkan Herfindal dalam bukunya “Clinical Pharmacy and Therapeutics” (1992) menyatakan bahwa
Pharmacist harus memberikan “Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai sumber informasi
obat.

1.2 Rumusan Masalahm

1. Apa pengertian farmasi klinik ?

2. Apa saja tujuan dari farmasi klinik?

3. Bagaimana sejarah farmasi klinik ?

4. Bagaimana farmasi klinik di berbagai belahan dunia?

5. Apa saja aktivitas farmasi klinik ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian farmasi klinik

2. Mengetahui tujuan dari farmasi klinik

3. Mengetahui bagaimana sejarah farmasi klinik

4. Mengetahui farmasi klinik di berbagai belahan dunia

5. Mengtahui apa saja aktivitas farmasi klinik

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Farmasi Klinik

Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di Indonesia. Istilah farmasi
klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan
fungsi farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan
untuk meningkatkan outcome pengobatan. Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk
memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan, serta
menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin dibutuhkan dengan adanya
paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Tenaga farmasi yang
bekerja di rumah sakit dan komunitas (apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan dimanapun
terjadi peresepan ataupun penggunaan obat), harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung
pelayanan farmasi klinik yang berkualitas.

Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi klinik sebagai :

“ A discipline concerned with the application of pharmaceutical expertise to help maximise drug efficacy
and minimize drug toxicity in individual patients”.

Menurut Siregar (2004) farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu kesehatan yang
bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan sesuai dengan kebutuhan
pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien
yang memerlukan pendidikan khusus dan atau pelatihan yang terstruktur. Dapat dirumuskan tujuan
farmasi klinik yaitu memaksimalkan efek terapeutik obat, meminimalkan resiko/toksisitas obat,
meminimalkan biaya obat.

Kesimpulannya, farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu kesehatan di mana farmasis memberikan
asuhan (“care”; bukan hanya jasa pelayanan klinis) kepada pasien dengan tujuan untuk mengoptimalkan
terapi obat dan mempromosikan kesehatan, wellness dan prevensi penyakit.

2.2 Tujuan Farmasi Klinik

1. Memaksimalkan efek terapeutik

1) Efektivitas terapi meliputi:

a. Ketepatan indikasi

b. Ketepatan pemilihan obat

c. Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien

d. Evaluasi terapi

2. Meminimalkan resiko

1) Memastikan risiko yang sekecil mungkin bagi pasien


2) Meminimalkan masalah ketidakamanan pemakaian obat meliputi efek samping, dosis, interaksi, dan
kontra indikasi

3. Meminimalkan biaya

1) Untuk rumah sakit dan pasien

a. Apakah jenis obat yang dipilih adalah yang paling efektif dalam hal biaya dan rasional ?

b. Apakah terjangkau oleh kemampuan pasien atau rumah sakit ?

c. Jika tidak, alternatif jenis obat apa yang memberikan kemanfaatan dan keamanan yang sama

4. Menghormati pilihan pasien

1) Keterlibatan pasien dalam proses pengobatan akan menetukan keberhasilan terapi.

2) Hak pasien harus diakui dan diterima semua pihan

2.3 Sejarah Farmasi Klinik

Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di Inggris, khususnya dalam abad ke-
20, dapat dibagi dalam periode/tahap:

1. Periode / tahap tradisional

Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan, membuat, dan mendistribusikan
produk yang berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan di apotek sebagai peracik obat. Periode
ini mulai mulai goyah saat terjadi revolusi industri dimana terjadi perkembangan pesat di bidang industri
tidak terkecuali industri farmasi. Ketika itu sediaan obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah
besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat oleh industri maka fungsi dan tugas
farmasis berubah. Dalam pelayanan resep dokter, farmasis tidak lagi banyak berperan pada peracikan
obat karena obat yang tertulis di resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien.
Dengan demikian peran profesi kefarmasian makin menyempit.

2. Tahap Transisional (1960-1970)

Perkembangan-perkembangan dan kecenderungan tahun 1960-an/1970-an

1) Ilmu kedokteran cenderung semakin spesialistis

Kemajuan dalam ilmu kedokteran yang pesat, khusunya dalam bidang farmakologi dan banyaknya
macam obat yang mulai membanjiri dunia menyebabkan para dokter merasa ketinggalan dalam
ilmunya. Selain ini kemajuan dalam ilmu diagnosa, aalat-alat diagnosa baru serta penyakit-penyakit yang
baru muncul (atau yangbaru dapat didefinisikan) membingungkan para dokter. Satu profesi tiadak dapat
lagi menangani semua pengetahuan yang berkembang dengan pesat.

2) Obat-obat baru yang efektif secara terapeutik berkembang pesat sekali dalam dekade-dekade
tersebut. Akan tetapi keuntungan dari segi terapi ini membawa masalah-masalah tersendiri dengan
meningkatnya pula masalah baru yang menyangkut obat; antara lain efek samping obat, teratogenesis,
interaksi obat-obat, interaksi obat-makanan, dan interaksi obat-uji laboratorium.

3) Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik amtara lain disebabkan oleh penggunaan teknologi
canggih yang mahal, meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara kualitatif maupun
kuantitatif, serta meningkatnya jumlah penduduk lansia dalam struktur demografi di negara-negara
maju, seperti Inggris. Karena tekanan biaya kesehatan yang semakin mahal, pemerintah melakuakn
berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektifitas biaya (cost-effectiveness), termasuk dalam hal
belanja obat (drugs expenditure).

4) Tuntunan masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi disertai tuntunan
pertanggungjawaban peran para dokter dan farmasis, sampai gugatan atas setiap kekurangan atau
kesalahan pengobatan.

Kecenderungan-kecenderungan tersebut terjadi secara paralel dengan perubahan peranan farmasis


yang semakin sempit. Banyak orang mempertanyakan peranan farmasis yang overtrained dan
underutilised, yaitu pendidikan yang tinggi akan tetapi tidak dimanfaatkan sesuai dengan pendidikan
mereka. Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi bangsal (ward pharmacy) atau farmasi klinis
(clinical pharmacy).

Farmasi klinis lahir pada tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris dalam periode transisi ini. Masa
transisi ini adalah masa perubahan yang cepat dari perkembangan fungsi dan peningkatan jenis-jenis
pelayanan profesional yang dilakukan oleh bebrapa perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling
menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit, meskipun masukan mereka masih
terbatas. Banyak farmasis mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya.
Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih cukup lambat. Diantara para dokter, farmasis dan
perawat, ada yang mendukung, tetapi adapula yang menolaknya.

3. Tahap Masa Kini

Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula pelayanan farmasi berorientasi pada
produk, beralih ke pelayanan farmasi yang berorientasi lebih pada pasien. Farmasis ditekankan pada
kemampuan memberian pelayanan pengobatan rasional. Terjadi perubahan yang mencolok pada
praktek kefarmasian khususnya di rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan
terlibat langsung dalam pengobatan pasien.

Karakteristik pelayanan farmasi klinik di rumah sakit adalah :

1) Berorientasi kepada pasien

2) Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)

3) Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi informasi bila
diperlukan

4) Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai, atau
menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan

5) Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan


6) Menjadi mitra dan pendamping dokter.

Dalam sistem pelayanan kesehatan pada konteks farmasi klinik, farmasis adalah ahli pengobatan dalam
terapi. Mereka bertugas melakukan evalusi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan,
baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis merupakan sumber utama informasi ilmiah
terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat dan cost effective.

4. Tahap Masa Depan Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

Gagasan ini masih dalam proses perkembangan. Diberikan disini untuk perluasan wawasan karena kita
akan sering mendengar konsep ini. Pelayanan kefarmasiaan (Pharmaceutical Care) didefinisikan oleh
Cipolle, Strand, dan Morley (1998) sebagai: “A practice in which the practitioner takes responsibility for
a patient’s drug therapy needs, and is held accountable for this commitment”. Dalam prakteknya,
tanggung jawab terapi obat diwujudkan pada pencapaian hasil positif bagi pasien.

Proses pelayanan kefarmasian dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu;

1) Penilaian (assessment): untuk menjamin bahwa semua terapi obat yang diiberikan kepada pasien
terindikasikan, berkasiat, aman dan sesuai serta untuk mengidentifikasi setiap masalah terapi obat yang
muncul, atau memerlikan pencegahan dini.

2) Pengembangan perencanaan perawatan (Development of a Care Plan): secara bersama – sama,


pasien dan praktisi membuat suatu perencanaan untuk menyelesaikan dan mencegah masalah terapi
obat dan untuk mencapai tujuan terapi. Tujuan ini (dan intervensi) didesain untuk:

a. Menyelesaikan setiap masalah terapi yang muncul

b. Mencapai tujuan terapi individual

c. Mencegah masalah terapi obat yang potensial terjadi kemudian

3) Evaluasi: mencatat hasil terapi, untuk mengkaji perkembangan dalam pencapaian tujuan terapi
dan menilai kembali munculnya masalah baru.

Ketiga tahap proses ini terjadi secara terus – menerus bagi seorang pasien. Konsep perencanaan
pelayanan kefarmasian telah dirangkai oleh banyak praktisi farmasi klinis. Meskipun definisi pelayanan
kefarmasian telah diterapkan secara berbeda dalam negara yang berbeda, gagasan dasar adalah
farmasis bertanggungjawab terhadap hasil penggunaan obat oleh/untuk pasien sama seperti seorang
dokter atau perawat bertanggungjawab terhadap pelayanan medis dan keperawatan yang mereka
berikan. Dengan kata lain, praktek ini berorientasi pada pelayanan yang terpusat kepada pasien dan
tanggungjawab farmasis terhadap morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan obat.

2.4 Farmasi Klinik di berbagai Belahan Dunia

1. Farmasi Klinik di Eropa

Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European Society of Clinical
Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan yang terus
menerus mengenai tujuan, peran dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan pasien. Pada tahun
1983, ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan standar untuk keahlian dan
ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983). Pada tahun itu, Federation Internationale
Pharmaceutique (FIP) mempublika­sikan prosiding simposium bertemakan ‘Roles and Responsibilities of
the Pharmacists in Primary Health Care’ di mana berhasil disimpulkan peran klinis seorang farmasis
(Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain mulai
mengenal dan memperjuangkan farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis (Lunde
dan Dukes, 1989).

Pada tahun 1992, ESCP mempublikasikan “The Future of Clinical Pharmacy in Europe” yang
merefleksikan perubahan cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et
al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara, dan itu terkait dengan
perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, sosial ekonomi, dan hubungan
profesional (Waldo et al, 1991).

Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS, apotek,
perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan dan penggunaan obat. Adapun
tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik adalah meningkat-kan penggunaan obat yang tepat
dan rasional, dan hal ini berarti:

a. Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap kondisi
tertentu pasien.

b. Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan kepatuhan
pasien terhadap terapi.

c. Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP, 2009).

Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara Eropa.
Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik. Sebagian besar
penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh
dari pengalaman di Amerika dan Inggris.

2. Farmasi Klinik di Australia

Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan farmasi
klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di RS di Australia adalah The
Society of Hospital Pharmacists of Australia (SHPA), yang didirikan pada tahun 1941. Pada tahun 1996,
SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang menjadi referensi utama pemberian
pelayanan farmasi klinik di Australia.

Komponen fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik dan
dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga digunakan dalam pengembangan
kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di Australia, dan juga sebagai standar
untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro, 2002)

3. Farmasi Klinik di Indonesia


Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an, dimulai
dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di berbagai institusi pendidikan di
luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di RS
merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia.

Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi menyiapkan obat di
Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan dan memantau perkembangan
pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi
di negara maju. Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran
dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang bersifat
monovalen dengan muatan sains yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan
ke arah klinik masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang
penyakit dan pengobatan

Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM, telah
mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik, seperti patofisiologi,
farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas.

Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan kefarmasian di
Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan di mana dibentuk
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu pelayanan
kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap peluang itu, Fakultas Farmasi UGM
termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan Farmasi Klinik dengan dibukanya Program
Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain, beberapa sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai
melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik, walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti
perkembangan farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari
harapan. Kasus Prita di sebuah RS di Tangerang yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu
merupakan salah satu cermin bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan
farmasis klinik mestinya bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa. Kiranya ke depan, perlu
dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang kebijakan dan masyarakat luas
bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan benar-benar meningkatkan outcome
terapi bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai.

Anda mungkin juga menyukai