Anda di halaman 1dari 25

Makalah Farmasi Klinik

Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik (1)

DOSEN
Septi Muharni, , M.Farm,Apt

DISUSUN OLEH:

1 Dhea Rizky Wannisah Putri ( 1501007 )


2 Idhadi Putra ( 1501021 )
3 Sherly Ramadhani (1501044 )
4 Tiara Laras Suci ( 1501047 )
5 Uswatun Hassanah ( 1501049 )

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah dengan judul Kegiatan Pelayanan
Farmasi Klinik (1) ini dengan baik.
Makalah ini di ambil dari berbagai sumber-sumber terpercaya dan sudah banyak di
kenal masyarakat yang saya rangkum menjadi satu kesatuan. Makalah ini diharapkan mampu
membantu saya dan anda sekalian yang membacanya untuk memperdalam pemahaman
tentang interaksi antar hormon dan segala hal yang berkaitan dengan hormon. Selain itu,
makalah ini juga di harapkan dapat menjadi bacaan dan bahan ajaran para pembaca sekalian.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih pada para pembaca yang berkenan untuk
membaca makalah ini dan untuk dosen pembimbing. Sebagai penyusun saya begitu berharap
agar makalah ini dapat bermanfaat. Kritik dan saran selalu saya nantikan untuk
pengembangan dan kesempurnaan makalah ini agar menjadi layak untuk di pelajari.

Pekanbaru, 17 Maret 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.2 LATAR BELAKANG....................................................................................1


1.2 TUJUAN PENULISAN.................................................................................2

1.3 RUMUSAN MASALAH...............................................................................2

BAB II ISI

2.1 WAWANCARA RIWAYAT PENGOBATAN................................................3


2.2 PENYUSUNA RENCANA ASUHAN KEFARMASIAN.............................10
2.3 PEMANTAUAN TERAPI OBAT..................................................................17

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN..............................................................................................23

3.2 SARAN..........................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah berubah paradigmanya dengan
orientasi obat kepada pasien yang mengacu pada asuhan kefarmasian (Pharmaceutical
Care). Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker/asisten apoteker
sebagai tenaga farmasi dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
perilaku agar dapat berinteraksi langsung dengan pasien.
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sumber daya (SDM, sarana
prasarana, sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan serta administrasi) dan pelayanan
farmasi klinik (penerimaan resep, peracikan obat, penyerahan obat, informasi obat dan
pencatatan/penyimpanan resep) dengan memanfaatkan tenaga, dana, prasarana, sarana
dan metode tatalaksana yang sesuai dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan.
Di kalangan farmasis mulai ada panggilan untuk meningkatkan peranannya dalam
pelayanan kesehatan, sehingga munculah konsep pharmaceutical care . Konsep
pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan
diterima pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat yang rasional, baik
sebelum, selama, maupun sesudah penggunaan obat.
Keinginan yang kuat untuk mengembalikan peran seorang farmasis di dunia
kesehatan membuat pelayanan kefarmasian berkembang menjadi farmasis klinik
(clinical pharmacist). Clinical pharmacist merupakan istilah untuk farmasis yang
menjalankan praktik kefarmasian di klinik atau di rumah sakit. Keberadaan praktik
profesional dari farmasis ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggantikan peranan
dokter, tetapi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan pelayanan kesehatan
terkait adanya peresepan ganda untuk satu orang pasien, banyaknya obat-obat baru yang
bermunculan, kebutuhan akan informasi obat, angka kesakitan dan kematian yang
terkait dengan penggunaan obat serta tingginya pengeluaran pasien untuk biaya
kesehatan akibat penggunaan obat yang tidak tepat.
Ruang lingkup dalam pelayanan farmasi harus dilaksanakan dalam kerangka
sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien. Ruang lingkup pelayanan
farmasi tersebut meliputi tanggung jawab farmasis dalam menjamin ketersediaan obat
dan alat kesehatan, menjamin kualitas obat yang diberikan aman dan efektif dengan
memperhatikan keunikan individu, menjamin pengguna obat atau alat kesehatan dapat
menggunakan dengan cara yang paling baik, dan bersama dengan tenaga kesehatan lain
bertanggungjawab dalam menghasilkan therapeutic outcomes yang optimal.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa saja yang dilakukan dalam wawancara pengobatan?
2. Bagaimanakah penyusunan rencana asuhan kefarmasian?
3. Bagaimanakah penentuan terrapi obat?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui apa saja yang dilakukan pada wawancara riwayat pengobatan.
2. Mengetahui dan memahami bagaimana penyusunan rencana asuhan kefarmasian.
3. Mengetahui bagaimana penentuan terapi obat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 WAWANCARA RIWAYAT PENGOBATAN

Wawancara riwayat pengobatan merupakan langkah atau tahap dalam mengenal


pasien dan bertujuan mendapatkan informasi mengenai berbagai aspek penggunaan obat
pasien sehingga dapat membantu pengobatan secara keseluruhan. Informasi tersebut dapat
digunakan untuk :

1. Membandingkan profil pengobatan sekarang dan sebelumnya


2. Memverifikasi riwayat pengobatan yang diperoleh dan memberikan informasi
tambahan jika perlu
3. Mendokumentasikan adanya alergi dan Adverse Drugs Reaction
4. Skrining interaksi obat
5. Menilai kepatuhan pasien
6. Menilai rasionalitas obat yang diresepkan
7. Menilai kejadian penyalahgunaan obat
Data-data yang perlu diperoleh adalah :
1. Informasi demografi pasien : umur, berat badan, tinggi badan, alamat, pendidikan,
pekerjaan.

2. Informasi diet pasien

3. Kebiasaan sosial ; merokok, alkohol

4. Pengobatan yang sedang diperoleh.

5. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya.

6. Pengobatan tanpa resep yang pernah diperoleh sebelumnya.

7. Pengobatan alternatif sekarang ataupun pernah diterima.

8. Alergi

9. Adverse drugs Reaction

10. Kepatuhan pasien.

2.1.1 Keterampilan Dasar dalam Mewawancarai Pasien

Salah satu saat kritis pada pengkajian pasien oleh farmasis adalah ketika mengajukan
pertanyaan kepada pasien. Untuk memperoleh informasi yang berguna, farmasis harus
menggunakan keterampilan yang tepat dalam mewawancarai pasien.

a. Lingkungan
Sebelum farmasis berbicara kepada pasien atau mendapatkan data pengkajian pasien
(misalnya: tekanan darah), lingkungan di mana interaksi berlangsung harus
dipersiapkan. Interaksi dapat terjadi pada berbagai situasi dan kondisi (setting) yang
bervariasi, misalnya farmasi komunitas, ruang periksa di rumah sakit, atau kamar
pemeriksaan di klinik. Namun, karakteristik lingkungan dasar haruslah konsisten dari
satu situasi ke situasi yang lain untuk membantu menjamin interaksi farmasis dan
pasien yang lancar dan produktif. Karakteristik lingkungan yang sesuai meliputi:
1. Suhu ruangan yang nyaman.
2. Pencahayaan ruang yang memadai bagi farmasis dan pasien untuk dapat
melihat satu sama lain dengan jelas dan semua materi tertulis yang mungkin
digunakan.
3. Lingkungan yang tenang, karena suara bising dari satu atau beberapa sumber
akan mengalihkan perhatian pasien maupun farmasis dan dapat menyebabkan
kesalahan menafsirkan informasi pasien yang penting. Tempat yang bersih
dan terorganisir, karena benda-benda yang mengalihkan perhatian dan barang
lain yang berantakan tidak menciptakan atmosfer profesional.
4. Jarak empat sampai lima kaki antara farmasis dan pasien; secara umum jarak
yang lebih dekat dapat menimbulkan kegelisahan dan jarak yang lebih jauh
menyiratkan ketidaktertarikan terhadap pasien.
5. Privasi: pasien perlu untuk merasa nyaman berbicara tentang masalahmasalah
kesehatan pribadi dan farmasis perlu untuk dapat memperoleh data
pengkajian pasien secara berhati-hati.
6. Posisi duduk yang sama rata atau berdiri pada posisi sejajar mata dan
berhadapan atau membentuk sudut 90 derajat. Semua penghalang harus
dipindahkan antara farmasis dan pasien (misalnya: meja peresepan, pemisah
keamanan dari kaca atau plastik, lemari). Dalam pengaturan di rumah sakit,
farmasis harus duduk sejajar mata dengan pasien untuk interaksi tatap muka.
Berdiri di hadapan pasien yang terbaring di tempat tidur dapat menyiratkan
superioritas, mungkin menyebabkan pasien merasa lebih rendah maupun
tidak nyaman.
b. Kalimat Pembuka
Kalimat-kalimat pembuka antara farmasis dan pasien menentukan tahap
interaksi. Pasien sebaiknya dipanggil dengan nama keluarganya (apabila diketahui).
Farmasis harus memperkenalkan dirinya dan menjelaskan alasan perlunya interaksi
apabila pasien belum mengenalnya. Sebagai tambahan, pasien perlu diberi tahu
perkiraan jumlah waktu yang diperlukan untuk interaksi. Sebagai contoh, Nyonya
Smith, Saya Dr. Mark Davis, Farmasis. Saya ingin berbicara dengan anda untuk
melihat bagaimana keadaan anda selama terapi. Ini hanya perlu beberapa menit saja.
Karena jenis interaksi ini mungkin merupakan hal baru bagi beberapa pasien,
farmasis harus siap untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang berkaitan
(misalnya:Mengapa anda perlu berbicara kepada saya? Farmasis lain tidak
melakukan ini.). Penjelasan singkat tambahan dalam interaksi biasanya dapat
mengatasi setiap kebingungan.
c. Jenis-jenis Pertanyaan
Melanjutkan perkenalan singkat, farmasis harus menanyakan kepada pasien
beragam pertanyaan. Agar dialog antara pasien dan farmasis dapat efektif dan
produktif, perlu digunakan kombinasi pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup.
Secara umum, pertanyaan-pertanyaan terbuka digunakan pada saat awal, untuk
mengumpulkan informasi umum, dan selanjutnya diikuti dengan pertanyaan-
pertanyaan tertutup, apabila sesuai, untuk mengumpulkan data pasien yang lebih
spesifik.
d. Verifikasi Informasi Pasien
Sementara pasien menjawab pertanyaan-pertanyaan farmasis, farmasis harus
menanggapi secara tepat untuk melanjutkan dialog. Seringkali, farmasis juga perlu
untuk memverifikasi detil tertentu mengenai pasien untuk memastikan bahwa dia
mengerti benar apa yang pasien katakan. Beberapa teknik umpan balik dapat berguna
dalam membimbing farmasis dengan kedua proses ini. Teknik-teknik tersebut
meliputi: (i) klarifikasi, (ii) refleksi, (iii) empati, (iv) fasilitasi, (v) keheningan, dan
(vi) ringkasan.

e. Ringkasan
Ringkasan komunikasikan. adalah Pernyataan ulasan dari apa yang pasien
verbalisasi telah dari ringkasan merupakan pemahaman farmasis terhadap informasi
pasien, dan ini dapat digunakan pada setiap waktu selama atau pada akhir
wawancara. Hal ini juga memungkinkan pasien untuk setuju atau tidak setuju dan
apabila diperlukan, untuk memperbaiki interpretasi farmasis. Sebagai contoh, pada
bagian akhir ketika pasien menjelaskan permasalahan pengobatannya, farmasis
menanggapi Baik Harry, yang anda katakan kepada saya adalah bahwa anda berpikir
obat diabetes anda, metformin, mengakibatkan anda sakit perut dan diare. Anda juga
meminum obat tekanan darah, lisinopril, tetapi tidak meminum obat bebas rutin
apapun dan belum mencoba apapun untuk gejala-gejala saluran cerna anda. Apakah
ini benar?.
f. Komunikasi Nonverbal
Komunikasi yang tepat melibatkan tidak hanya keahlian-keahlian verbal
tetapi juga nonverbal, di mana media pertukaran merupakan sesuatu selain kata-kata
yang diucapkan. Komunikasi nonverbal mencerminkan pemikiran dan perasaan
mendalam seseorang dan secara konstan bekerja, bahkan bila orang itu tidak
menyadarinya. Elemen-elemen komunikasi nonverbal meliputi: (i) jarak, (ii) postur
tubuh, (iii) kontak mata, (iv) ekspresi wajah, dan (v) gerak isyarat. Untuk pertemuan
farmasis-pasien yang berhasil, komunikasi verbal dan nonverbal harus seiring. Hal
ini sangat penting dalam menciptakan relasi dengan pasien.

g. Pernyataan Penutup
Membawa wawancara kepada penutupan yang tepat merupakan bagian
penting dari proses komunikasi. Banyak kali, pasien akan mengevaluasi keseluruhan
interaksi berdasarkan pada pernyataanpernyataan terakhir; oleh karena itu, farmasis
tidak seharusnya mengakhiri wawancara secara mendadak. Cara efektif untuk
menutup interaksi adalah memberikan ringkasan singkat. Hal ini memungkinkan
untuk farmasis dan pasien mengulas apa yang telah didiskusikan dan menjernihkan
setiap informasi yang salah. Ketika kedua belah pihak telah menentukan bahwa
informasi sudah benar, farmasis dapat menyimpulkan dengan sebuah pertanyaan
tertutup sederhana (misalnya: Apakah anda memiliki pertanyaan?) atau pernyataan
tulus (misalnya: Terima kasih untuk waktu anda. Jika anda memiliki pertanyaan
ketika anda sampai di rumah, silakan hubungi saya.). Petunjuk-petunjuk nonverbal
(misalnya: mengatur pekerjaan tulis menulis untuk rekam medis pasien atau berdiri
dari kursi) juga dapat berguna ketika digabungkan dengan ringkasan atau sebuah
pertanyaan atau pernyataan penutup (Tindall dkk, 2003).

h. Kesalahan-Kesalahan Umum dalam Mewawancarai Pasien


Ketika berbicara kepada pasien, mudah sekali untuk jatuh ke dalam teknik-
teknik komunikasi nonproduktif, yang dapat membatasi komunikasi pasien dengan
farmasis. Kesalahan komunikasi ini dapat menurunkan jumlah data yang diperoleh
dari pasien dan menghalangi perkembangan hubungan. Oleh karena sifat alaminya
yang melemahkan, tanggapantanggapan berikut harus senantiasa dihindari ketika
mengumpulkan informasi dari pasien: (i) mengganti subyek, (ii) memberi nasihat,
(iii) memberikan penghiburan yang tidak tepat, (iv) menanyakan pertanyaan yang
mengarahkan atau bias, dan (v) menggunakan terminologi profesional (Tietze, 2004).

2.1.2 Riwayat Kesehatan


Riwayat kesehatan adalah ringkasan singkat dari permasalahanpermasalahan
medis saat ini dan lampau, riwayat pengobatan, riwayat keluarga, riwayat sosial, dan
ulasan sistem dari pasien. Tujuan dari riwayat kesehatan adalah untuk memperoleh
informasi subyektif pasien atau dengan kata lain, apa yang pasien sampaikan
mengenai kesehatannya, pengobatan, dan seterusnya. Biasanya, data subyektif ini
kemudian digabungkan dengan pemeriksaan fisik obyektif dan data laboratorium
untuk mengevaluasi status kesehatan pasien saat ini. Dalam lingkungan institusi
(misalnya rumah sakit atau asuhan jangka panjang), riwayat kesehatan biasanya
diambil oleh dokter atau perawat dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Dalam lingkungan ambulatori atau komunitas, farmasis dapat mengambil riwayat
kesehatan. Bagi farmasis, tujuan utama dari riwayat kesehatan adalah untuk
mengevaluasi terapi obat pasien (misalnya penapisan gejala-gejala abnormal yang
mungkin disebabkan pengobatan) atau untuk mengevaluasi keluhankeluhan dan atau
gejala-gejala pasien. Pasien biasanya memberikan riwayat kesehatannya masing-
masing. Akan tetapi jika pasien tidak dapat memberikan informasi yang dapat
dipercaya, maka anggota keluarga, teman, pemberi asuhan, atau penterjemah dapat
digunakan sebagai sumber (Coulehan dan Block, 2006).
Tanggungjawab apoteker dalam pelayanan farmasi nonklinik berupa
pelayanan produk, yaitu berupa perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
dan distribusi obat-obatan yang dibutuhkan di rumah sakit, sedangkan pelayanan
farmasi klinik merupakan pelayanan yang dilakukan secara langsung dan
memerlukan interaksi dalam pelaksanannya baik dengan pasien maupun dokter dan
perawat, antara lain pelayanan obat atas order dokter, pendistribusian obat dan
produk farmasi pada pasien dan perawat, serta pelayanan konseling dan informasi
obat (Ikawati, Zullies. 2010).
Tanggungjawab dan wewenang apoteker selanjutnya diatur dalam Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Kesehatan. Seiring dengan
perkembangan kesehatan, orientasi pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser
lebih ke arah pelayanan kefarmasian klinik (Pharmaceutical Care), yaitu bentuk
pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan
kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal inilah yang menjadi poin
penting peran apoteker di rumah sakit.
Peran farmasi klinik sendiri memberikan dampak yang baik terhadap berbagai
outcome terapi pada pasien, baik dari sisi humanistik (kualitas hidup, kepuasan), sisi
klinik (kontrol yang lebih baik pada penyakit kronis), dan sisi ekonomis
(pengurangan biaya kesehatan). Pelayanan farmasi klinik efektif untuk mengurangi
biaya pelayanan kesehatan dan juga efektif dalam meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Hal ini diperoleh terutama dengan melakukan pemantauan resep dan
pelaporan efek samping obat (Inditz et al, 1999).
Namun seperti yang telah disinggung di atas, peran apoteker tersebut
tampaknya memang tidak banyak disadari dan dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan apa yang terjadi di dunia internasional, di Amerika apoteker klinik
termasuk profesi papan atas, baik dalam hal popularitas, tanggungjawab, bahkan
salary. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi
klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam
pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan
Inggris. Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah
memberikan pelayanan farmasi klinik.
Memang banyak faktor yang menyebabkan pelayanan farmasi klinik dan
peran profesi apoteker di Indonesia tidak sepesat negara lain. Praktek pelayanan
farmasi klinik di Indonesia sendiri relatif baru berkembang pada sekitar tahun 2000-
an. Konsep farmasi klinik sendiri belum seutuhnya diterima oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit, sehingga pelayanan farmasi klinik di Indonesia berkembang cukup
lambat. Paradigma apoteker terjun ke bangsal pasien, memantau pengobatan pasien,
memberikan informasi dan konseling secara rutin, serta memberikan rekomendasi
pengobatan masih belum lazim, karena fungsi apoteker di IFRS (Instalasi Farmasi
Rumah Sakit) dianggap hanya berfungsi dalam menyiapkan obat. Farmasis sendiri
selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam
pengobatan. Selain itu, faktor apoteker sendiri yang belum secara utuh menjalankan
fungsinya sehingga mengakibatkan masyarakat awam dan pasien kurang mengenal
profesi apoteker, khususnya di rumah sakit. Kebanyakan rumah sakit pun hanya
memiliki tenaga apoteker yang minim, hanya sekitar satu atau beberapa saja.
Tentunya akibat sedikitnya tenaga apoteker yang ada, maka apoteker tidak bisa
mendampingi pasien secara utuh dalam penggunaan obat dan terapinya (Siregar, dkk,
2003).
Standar pelayanan farmasi di apotek disusun atas kerjasama ISFI dengan
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Pelayanan
Farmasi Departemen Kesehatan pada tahun 2003. Standar kompetensi apoteker di
apotek ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak
profesional, melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai
pedoman dalam pengawasan praktek apoteker dan untuk pembinaan serta
meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek. Didalam standar tersebut
pelaksanaan farmasi di apotek terdiri dari pelayanan obat non resep (bidang I),
pelayanan komunikasi informasi edukasi (bidang II), pelayanan obat resep
(bidang III) dan pengelolaan obat (bidang IV) .
Pelayanan Obat Non Resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin
melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Obat untuk
swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat
wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Obat wajib
apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta
tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular,
anti parasit dan obat kulit topikal.

2.2 PENYUSUNAN RENCANA ASUHAN KEFARMASIAN


2.2.1 Database pasien yang diperlukan dalam melakukan asuhan kefarmasian adalah
sebagai berikut :
No DATABASE ALASAN
1. Identitas pasien
a. Nama Mencegah terjadinya kesalahan (verifikasi
kebenaran pasien)
b. Usia Sebagai pertimbangan dalam penentuan dosis
obat, variasi farmakokinetik dan farmakodinamik
yang terkait dengan usia.
c, Tinggi dan berat badan Sebagai pertimbangan dalam perhitungan dosis,
misalnya untuk obat sitostatik, perhitungan dosis
berdasarkan luas permukaan tubuh.
d. Jenis Kelamin
mencegah efek samping obat karena pengaruh
hormonal.
e. Pekerjaan
Sebagai pertimbangan dalam hal cara
penyampaian atau penggunaan pilihan kata dalam
menyampaikan informasi terkait dengan terapi.
Pekerjaan juga berguna untuk mengetahui apakah
ada keterkaitan antara penyebab penyakit yang
diderita pasien dengan pekerjaannya (factor
e. Alamat resiko).
Untuk kemudahan apabila dilakukan monitoring
kepada pasien.
2 Keluhan pasien Sebagai pertimbangan untuk menentukan
ketepatan terapi obat yang diberikan kepada
pasien.
3. Riwayat Penyakit Sebagai pertimbangan pemberian terapi, agar
Terdahulu terapi yang diberikan saat ini tidak memperberat
atau memperburuk kondisi pasien akibat penyakit
yang terdahulu.
4 Riwayat penyakit sekarang
5. Diagnosa dokter Untuk mengetahui apakah obat yang diberikan
sesuai dengan penyakit yang diderita pasien.
6. Data Lab
a. Darah (Hb, Leukosit, Untuk monitoring penggunaan obat cefotaksim
Trombosit) (dapat mengakibatkan
b. Albumin (g/dL) Untuk monitoring efektivitas terapi albumin
c. SGOT/SGPT Untuk monitoring fungsi hati
d. Na/K/Cl Untuk monitoring kadar elektrolit tubuh pasien
karena penggunaan diuretic.
7. *Riwayat alergi Untuk mengetahui apakah pasien memiliki alergi
terhadap suatu obat.

2.2.2 Kategorikan database pasien yang diperlukan dalam kategori subjektif dan
objektif.
Subjektif Objektif
Keluhan Pasien - Riwayat penyakit terdahulu
- Diagnosa klinis/dokter
- Data laboratorium
- Tanda-tanda vital pasien

2.2.3 Strategi Atau Tahapan Untuk Melakukan Assessment


a. Rawat Inap
1. Pengumpulan Data Pasien
Menggali dan mengumpulkan data subjektif dari pasien atau keluarga pasien
yang dapat mendukung dalam pengobatan.
Dalam beberapa situasi (misalnya pasien merupakan pediatric, geriatric, kritis
), pengumpulan data subjektif dapat digali dari keluarga pasien.
Memilih data objektif yang diperlukan yang dapat mendukung penilaian
terapi.
Melakukan verifikasi terhadap data objektif yang diperoleh dari tenaga
kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan
2. Mempelajari penyakit pasien
Dengan mengetahui mekanisme atau penyebab penyakit, farmasis dapat
memahami penggunaan obat pada penyakit tertentu sehingga dapat memilihkan
obat yang tepat sesuai kondisi pasien.
3. Mempelajari data laboratorium pasien
Data laboratorium yang dipelajari adalah data laboratorium yang diperlukan
untuk menilai respon pengobatan pasien (monitoring drug induced).
4. Mengkaji profil pengobatan pasien saat ini dan riwayat penggunaan obat
terdahulu untuk mengetahui apakah terdapat keterkaitan antara penyakit sekarang
dengan penyakit yang pernah dialami.
5. Menentukan apakah terdapat permasalahan terkait dengan pengobatan pasien.
6. Mendata dan membuat prioritas masalah terkait pengobatan pasien, baik yang
aktual maupun potensial.

b. Pasien Rawat Jalan


1. Menggali dan mengumpulkan data pasien, dapat dilakukan dengan :
Menggali informasi tentang keluhan-keluhan yang dirasakan
Memeriksa rekam medik penderita
Memeriksa profil pengobatan penderita
Mencatat/mendokumentasikan semua informasi pasien ke dalam patient
medication record
2. Melakukan pengkajian (skrining) resep, meliputi :
Skrining Administratif : Nama, SIP dan alamat dokter, Tanggal penulisan
resep, Tanda tangan/paraf dokter penulis resep, Nama, alamat, umur, jenis
kelamin dan berat badan pasien, ituran pakai yang jelas.
Skrining farmasetis : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
Skrining Klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (obat,
dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain).
3. Menentukan apakah terdapat permasalahan pada resep terkait dengan pengobatan
pasien.
4. Melakukan konfirmasi ke dokter jika ditemui problem pada resep yang dirasa
perlu dan didiskusikan lebih lanjut ke dokter penulis resep dengan memberikan
pertimbangan dan alternatif terapi yang lebih sesuai.

c. Swamedikasi
1. Melakukan pengumpulan data pasien
Keluhan pasien mengenai penyakit yang dialaminya
Riwayat Alergi
Pengobatan yang sudah dilakukan untuk mengobati penyakit
2. Mempersiapkan diri dan melengkapi peralatan yang memadai untuk melakukan
skrining terhadap kondisi atau penyakit tertentu, tanpa melampaui kewenangan
seorang dokter. Misalnya, melakukan pengukuran tekanan darah untuk melakukan
pemantauan tekanan darah pada pasien hipertensi.
3. Mempelajari gejala-gejala umum dari penyakit-penyakit yang dapat diatasi tanpa
harus ke dokter.
4. Menentukan apakah kondisi pasien sesuai untuk pengobatan sendiri atau harus
melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter.
2.2.4 Strategi untuk Melakukan Asuhan Kefarmasian
a. Rawat Inap
1. Ikut berperan aktif melakukan visite/kunjungan ke pasien, baik secara mandiri atau
bersama tim tenaga kesehatan lain untuk mengamati kondisi pasien secara
langsung.
2. Melakukan penilaian/evaluasi informasi dari data subjektif dan objektif yang telah
dikumpulkan untuk menetapkan masalah pasien.
3. Melakukan penilaian rasionalitas pengobatan
4. Mengidentifikasi potensi terjadinya efek samping obat
5. Mengidentifikasi adanya Adverse Drug Reaction (ADR)
Mengkonfirmasi ADR yang muncul ke dokter yang membuat Resep.
Mengusulkan rekomendasi kepada dokter terkait ADR yang terjadi.
Mmendokumentasikan solusi rekomendasi yang di usulkan kepada dokter.
6. Melakukan Monitoring dan Evaluasi Terapi
a) Menilai efektifitas pengobatan
Melakukan wawancara langsung kepada pasien untuk menanyakan
kondisi pasien setelah diberi terapi
Menilai tingkat keberhasilan terapi dengan melihat hasil tes
laboratorium setelah pemberian terapi.
b) Efek Samping Obat
Menilai secara teoritis obat-obat yang dicurigai menimbulkan efek
samping ke pasien, bertanya langsung ke pasien apakah ada keluhan
baru setelah di berikan terapi.
Memberikan rekomendasi penanganan efek samping obat kepada
dokter, seperti penghantian obat apabila efek samping tidak dapat
ditoleransi dan dapat membahayakan pasien, atau memberikan
alternative pengobatan lain yang lebih aman.
Bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain dalam pencegahan atau
penanganan apabila terjadi efek samping obat.
c) Memberikan perhatian lebih kepada pasien yang menggunakan terapi obat
dengan indeks terapi sempit, misalnya penggunaan digoksin dan obat
antiepilepsi.
7. Mendokumentasikan semua kegiatan dalam data medik pasien ataupun rekam
pengobatan pasien.
8. Memberikan KIE kepada pasien ataupun keluarga pasien.
Memberikan pemahaman kepada pasien tentang pentingnya kepatuhan
minum obat demi kesembuhan dirinya sendiri.
Memberikan arahan kepada keluarga pasien untuk selalu memberikan
support (untuk memberikan dukungan moril kepada pasien).

b. Rawat Jalan
1. Melakukan penilaian/evaluasi informasi dari data subjektif dan objektif yang telah
dikumpulkan untuk menetapkan masalah pasien.
2. Melakukan penilaian rasionalitas peresepan.
3. Mengidentifikasi potensi terjadinya efek samping obat.
4. Mengidentifikasi adanya masalah terkait obat (Drug Related Problem)
Mengkonfirmasi DRP yang muncul ke dokter yang membuat Resep.
Mengusulkan rekomendasi kepada dokter terkait ADR yang terjadi.
Mendokumentasikan solusi rekomendasi yang di usulkan kepada dokter.
5. Melakukan Monitoring dan Evaluasi pengobatan
Menilai efektifitas pengobatan : melakukan wawancara langsung kepada
pasien untuk menanyakan kondisi pasien setelah diberi terapi apabila
pasien kembali ke apotek untuk menebus obat.
Efek Samping Obat : melakukan wawancara langsung saat pasien kembali
ke apotek untuk menanyakan apakah ada keluhan baru setelah di berikan
obat.
6. Memberikan rekomendasi penanganan efek samping obat kepada dokter, seperti
penghentian obat apabila efek samping tidak dapat ditoleransi dan dapat
membahayakan pasien, atau memberikan alternative pengobatan lain yang lebih
aman.
7. Mendokumentasikan ke dalam rekam pengobatan pasien
8. Memberikan KIE
Memberikan informasi kepada pasien tentang tata cara penggunaan obat yang
meliputi aturan pakai, dosis, penyimpanan obat serta efek samping yang mungkin
muncul dari penggunaan obatnya.

c. Swamedikasi
1. Membangun hubungan professional antara farmasis dengan pasien
2. Mencari solusi dari masalah yang dialami pasien.
3. Memilih terapi yang sesuai dengan keluhan pasien berdasarkan efektifitas,
kecocokan, kepraktisan biaya dan keamanan (untuk kasus-kasus penyakit ringan)
4. Memberikan informasi kepada pasien tentang tata cara penggunaan obat yang
meliputi aturan pakai, dosis, penyimpanan obat serta efek samping yang mungkin
muncul dari penggunaan obatnya.
5. Melakukan pengawasan yaitu tindak lanjut kepada penderita seperti menelepon
penderita 2 hari setelah pemberian obat antibiotic, atau menghubungi penderita
hipertensi (apabila pasien memang sering menkonsumsi obat tersebut sesuai
peresepan dokter) 7 hari setelah pemberian obat untuk menentukan efek samping
obat yang merugikan.
6. Merekomendasikan pasien untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter,
apabila pengobatan dengan swamedikasi tidak efektif (sakit masih berlanjut lebih 3
hari.
2.3 TATALAKSANA PEMANTAUAN TERAPI OBAT
2.3.1 Seleksi Pasien
Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh pasien.
Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah pasien, maka perlu
ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi dapat dilakukan berdasarkan:
a. Kondisi Pasien.
1. Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima
polifarmasi.
2. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
3. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
4. Pasien geriatri dan pediatri.
5. Pasien hamil dan menyusui.
6. Pasien dengan perawatan intensif.
b. Obat
1) Jenis Obat
Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti :
obat dengan indeks terapi sempit (contoh: digoksin,fenitoin).
obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) danhepatotoksik (contoh:
OAT).
sitostatika (contoh: metotreksat)
antikoagulan (contoh: warfarin, heparin)
obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh: metoklopramid, AINS)
obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).
2) Kompleksitas regimen
Polifarmasi
Variasi rute pemberian
Variasi aturan pakai
Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)

2.3.2 Pengumpulan Data Pasien


Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data tersebut
dapat diperoleh dari:

a. Rekam Medik
Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai
pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat diperoleh dari
rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat keluarga, riwayat sosial,
pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnostik, diagnosis dan terapi. Data tersebut di pelayanan
komunitas dapat diperoleh melalui wawancara dengan pasien, meskipun data yang diperoleh
terbatas.

b. Profil Pengobatan Pasien/Pencatatan Penggunaan Obat


Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh daricatatan pemberian obat oleh
perawat dan kartu/formulir penggunaanobat oleh tenaga farmasi. Profil tersebut mencakup
data penggunaan obat rutin, obat p.r.n (obat jika perlu), obat denganinstruksi khusus (contoh:
insulin).

c. Wawancara Dengan Pasien, Anggota Keluarga, Dan Tenaga Kesehatan Lain.


Semua data yang sudah diterima, dikumpulkan dan kemudiandikaji.Data yang berhubungan
dengan PTO diringkas dandiorganisasikan ke dalam suatu format yang sesuai.Sering kali data
yang diperoleh dari rekam medis dan profilpengobatan pasien belum cukup untuk melakukan
PTO, oleh karenaitu perlu dilengkapi dengan data yang diperoleh dari wawancarapasien,
anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.

2.3.3 Identifikasi Masalah Terkait Obat


Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasiadanya masalah
terkait obat. Masalah terkait obat menurut Hepler danStrand dapat dikategorikan sebagai
berikut :
a. Ada indikasi tetapi tidak di terapi
Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan terapiobat tetapi tidak
diresepkan.Perlu diperhatikan bahwa tidak semuakeluhan/gejala klinik harus diterapi dengan
obat.
b. Pemberian obat tanpa indikasi
Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan.
c. Pemilihan obat yang tidak tepat
Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untukkondisinya (bukan
merupakan pilihan pertama, obat yang tidak costeffective, kontra indika
d. Dosis terlalu tinggi
e. Dosis terlalu rendah
f. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
g. Interaksi obat
h. Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab
Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain:masalah ekonomi, obat tidak
tersedia, ketidakpatuhan pasien,kelalaian petugas.

2.3.4 Rekomendasi Terapi


Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hiduppasien, yang dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a. Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
b. Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)
c. Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)
d. Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapiantara lain: derajat
keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut ataukronis).Pilihan terapi dari berbagai alternatif
yang ada ditetapkanberdasarkan: efikasi, keamanan, biaya, regimen yang mudahdipatuhi.

2.3.5 Rencana Pemantauan


Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan perencanaan
pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang
tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan
langkah-langkah:
a. Menetapkan parameter farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilihparameter pemantauan, antara
lain:
1) Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dariallopurinol, aminoglikosida).
Obat dengan indeks terapisempit yang harus diukur kadarnya dalam darah
(contoh:digoksin)
2) Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
3) Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsiginjal pada pasien
geriatricmencapai 40%.
4) Efisiensi pemeriksaan laboratorium
-Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaankadar kalium dalam darah
untukpenggunaanfurosemide dan digoxin secara bersamaan)
- Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yangersedia)
-Biaya pemantauan.
b. Menetapkan sasaran terapi (end point)
Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau yang
disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi yang
diinginkan, apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan diderita
pasien (contoh: perbedaan kadarteofilin pada pasien Penyakit Paru
ObstruksiKronis/PPOK dan asma).
2) Karakteristik obat
Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberianakan mempengaruhi
sasaran terapi yang diinginkan(contoh: perbedaan penurunan kadar gula darah
padapemberian insulin dan anti diabetes oral).
3) Efikasi dan toksisitas
c. Menetapkan frekuensi pemantauan
Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan risiko
yang berkaitan dengan terapi obat.Sebagai contoh pasien yang menerima obat kanker
harus dipantau lebih sering dan berkala dibanding pasien yangmenerima aspirin.
Pasien dengan kondisi relatif stabil tidakmemerlukan pemantauan yang sering.
Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauanantara lain:
1) Kebutuhan khusus dari pasien
Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasiengangguan fungsi ginjal.
2) Karakteristik obat pasien
Contoh: pasien yang menerima warfarin
3) Biaya dan kepraktisan pemantauan
4) Permintaan tenaga kesehatan lain

Data pasien yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO,tetapi pada


kenyataannya data penting terukur sering tidak ditemukan sehingga PTO tidak
dapat dilakukan denganbaik. Hal tersebut menyebabkan penggunaan data
subyektifsebagai dasar PTO.Jika parameter pemantauan tidak dapatdigantikan
dengan data subyektif maka harus diupayakanadanya data tambahan.
Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan ataukegagalan
mencapai sasaran terapi. Keberhasilan dicapaiketika hasil pengukuran
parameter klinis sesuai dengansasaran terapi yang telah ditetapkan.Apabila hal
tersebuttidak tercapai, maka dapat dikatakan mengalami kegagalanmencapai
sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebutantara lain: kegagalan menerima
terapi, perubahanfisiologis/kondisi pasien, perubahan terapi pasien, dangagal
terapi.
Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah
Subjective Objective Assessment Planning(SOAP).

S : Subjective
Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien.
Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.
O : Objective
Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenagakesehatan.Tanda-
tanda obyektif mencakup tanda vital(tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi,
kecepatanpernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.
A : Assessment
Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisisuntuk menilai
keberhasilan terapi, meminimalkan efek yangtidak dikehendaki dan
kemungkinan adanya masalah baruterkait obat.
P : Plans
Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalahmenyusun rencana
yang dapat dilakukan untukmenyelesaikan masalah.Rekomendasi yang dapat
diberikan:
Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberianobat,
memodifikasi dosis atau interval pemberian,merubah rute pemberian.
Mengedukasi pasien.
Pemeriksaan laboratorium.
Perubahan pola makan atau penggunaan nutrisiparenteral/enteral.
Pemeriksaan parameter klinis lebih sering.
2.3.6 Tindak Lanjut
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh
apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga
kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari
dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk menetap kantarget terapi
yang optimal.
Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan untuk
mencegah kemungkinan timbulnya masalah baru.K egagalan terapi dapat disebabkan karena
ketidak patuhan pasien dankurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus
mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat
sebaiknya:
a. Tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenagakesehatan lain
b. Tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat
c. Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Wawancara riwayat pengobatan merupakan langkah mengenal pasien untuk
mendapatkan informasi mengenai berbagai aspek penggunaan obat pasien sehingga
dapat membantu pengobatan secara keseluruhan
2. Hal-hal yang harus diperhatikan farmasis saat akan mewawancarai pasien adalah
lingkungan yang nyaman, kalimat pembuka, jenis-jenis pertanyaan, verifikasi
informasi pasien, ringkasan, komunikasi nonverbal dan pernyataan penutup
3. Riwayat kesehatan sangat penting untuk mengetahui informasi ringkasan singkat dari
permasalahan-permasalahan medis saat ini dan lampau, riwayat pengobatan, riwayat
keluarga, riwayat sosial, dan ulasan sistem dari pasien
4. Tahap-tahap pelayanan kefarmasian serta karakteristiknya hampir sama seperti pada
pelayanan kefarmasian di medical center yang lainnya yakni rumah sakit dan
puskesmas.
5. Tujuan pelayanan kefarmasian yaitu mendukung penggunaan obat dan perbekalan
kesehatan yang rasional, aman, tepat dan ekonomis.

3.2 SARAN
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Aslam M, Tan, CK dan Prayitno, A., 2003, Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy), PT Elex
Media Jakarta

Coulehan JL, Block JR. 2006. The Medical Interview: Mastering Skills for Clinical Practice,
5th ed. Philadelphia: FA Davis

Inditz MES, Artz MB, 1999. Value Added to Health by Pharmacists. Soc Sci Med, 48:647-60.

Ikawati, Zullies. 2010. Pelayanan Farmasi Klinik pada Era Genomik: Sebuah Tantangnan
dan Peluang. Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM

Siregar, Charles J.P., Amalia, L., 2003, Farmasi Rumah Sakit : Teori dan Penerapan,Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Tietze KJ. 2004. Communication skills for the pharmacist In: Clinical Skills for Pharmacists:
A Patient-focused Approach, 2nd ed. St. Louis: Mosby-Year Book
Tindall WN, Beardsley RS, Kimberlin CL. 2003. Communication Skills in Pharmacy
Practice: A Practical Guide for Students and Practi tioners, 4th ed. Baltimore: Lea & Febiger

Anda mungkin juga menyukai