Anda di halaman 1dari 19

LAPORANPRAKTIKUM FARMASI PRAKTIS

“Kajian Farmasetika dan Dosis Resep”


Dosen Pengampu:
Yardi, Ph.D., Apt
Dr. Azrifitria, M.Si., Apt
Dra. Delina Hasan, M.Kes
Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt
Suci Ahda Novitri, S.Far., Apt

Kelompok 1C
Disusun Oleh:
Maulidina Safitri 11151020000034
Devi Oktavia 11151020000036
Tri Hapsari M 11151020000041
Maulia Muhtaromah 11151020000043
Yuyun Anugrah 11151020000050
Ziah Izzati Azkia 11151020000051

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
MARET 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan taufik
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktikum Farmasi Praktis tepat
waktu. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Sebagaimana dalam peribahasa bahwa “tak ada gading yang tak retak”, dalam
penyusunan laporan praktikum ini pun kami menyadari bahwa banyak sekali kekurangannya,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan penyusunan di masa yang akan
datang sangat kami harapkan.

Kami pun menghaturkan terima kasih kepada Tim dosen praktikum Farmasi Praktis yang
tak pernah lelah dan bosan memberikan bimbingannya dan arahannya yang selalu
membangunkan semangat kepada para mahasiswanya.

Dengan adanya pembuatan makalah ini, diharapkan dapat membantu mahasiswa/i dalam
menguasai materi pelajaran. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan senantiasa membawa
kemudahan kita dalam belajar untuk meraih prestasi yang kita inginkan.

Jakarta, 4 Maret 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2

DAFTAR ISI ..................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................4

A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................4
C. Tujuan..................................................................................................................5

BAB II LANDASAN TEORI.........................................................................................6

BAB III METODOLOGI ..............................................................................................10

A. Prosedur Kerja....................................................................................................10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................12

A. Hasil Praktikum..................................................................................................12
B. Pembahasan........................................................................................................14

BAB V PENUTUP.........................................................................................................18

A. Kesimpulan........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................19

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keamanan suatu obat merupakan suatu hal penting yang perlu diperhatikan oleh setiap
orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Resep adalah permintaan tertulis dokter, dokter
gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan undang-undangan yang berlaku (Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004).
Resep yang diberikan dari dokter ke apoteker umumnya diperlukan pengkajian lebih
lanjut oleh apoteker dikarenakan pada saat dilapangan ada beberapa resep yang ditemukan tidak
sesuai dengan kondisi pasien dan kadang bersifat polyfarmasi. Salah satu hal yang dapat
dilakukan apoteker yaitu dengan mengkaji resep secara farmasetik. Dalam faktanya Apoteker di
lapangan banyak menemukan ketidaklengkapan informasi obat dalam resep seperti informasi
dosis dan farmasetik , aturan pakai dan lainnya.
Oleh karena itu kita harus selalu memperhatikan informasi terkait obat yang kita
gunakan, dosis yang harus kita konsumsi, efek dari pemakaian obat tersebut, dan keadaan dari
obat itu sendiri apakah masih dalam keadaan baik atau sudah tidak layak untuk digunakan.
Sehingga kita akan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti halnya over dosis, atau
malah menimbulkan kekebalan bagi penyakit yang kita derita atau bahkan dapat menimbulkan
kematian bila salah dalam mengkonsumsi obat. Dalam hal ini penulis ingin menjabarkan terkait
hal hal apa saja yang menjadi kajian farmasetik dalam sebuah resep serta kebermanfaat nya
untuk pasien dengan mengetahui hal tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengkaji resep secara farmasetik yang sesuai standar pelayanan
kefarmasian?
2. Bagaimana cara menghitung dosis obat pada resep yang sesuai standar pelayanan
kefarmasian?

4
C. Tujuan
1. Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan melaksanakan pengengkajian resep secara
farmasetik.
2. Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan dapat menghitung dosis obat pada resep

5
BAB II

DASAR TEORI

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada Apoteker, baik
dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasie
sesuai peraturan berlaku (Peraturan Mentri Kesehatan No.35 tahun 2014). Resep ditulis diatas
kertas dengan ukuran 10 – 12 cm dan panjanng 15 – 18 cm, Hal tersebut digunakan karena resep
merupakan dokuen pemberian / penyerahan obat kepada pasien, dan diharapkantidak menerima
permintaan resep melalui telepon.

Pelayanan resep didahului dengan proses skrining resep yang dapat ditinjau dari 3 aspek
kelengkapan resep yang mencakup persyaratan administrasi (nama pasien, nama dokter, alamat,
paraf dokter, umur, berat badan, jenis kelamin), persyaratan farmasetik (bentuk sediaan, kekuatan
sediaan, stabilitas dan kompatibilitas) dan persyaratan klinis (ketetapan indikasi dan dosis obat,
aturan, cara dan lama penggunaan obat, duplikasi dan atau polifrmasi, reaksi obat yang tidak
diinginkan, kontraindikasi). (Peraturan Mentri Kesehatan No.35 tahun 2014).

Salah satu aspek diatas yang perlu diketahui dan penting untuk dikaji yaitu syarat
farmasetik dimana hal tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut oleh apoteker demi menjaga keamaan
dan keberlangsungan pengobatan yang dijalankan pasien. Selain dari itu hal yang perlu dikaji
lebih lanjut terkait syarat farmasetik yaitu dosis.
Dosis obat adalah jumlah obat yang diberikan kepada penderita dalam satuan berat
(gram, milligram,mikrogram) atau satuan isi (liter, mililiter) atau unit-unit lainnya (Unit
Internasional). Kecuali bila dinyatakan lain maka yang dimaksud dengan dosis obat yaitu
sejumlah obat yang memberikan efek terapeutik pada penderita dewasa, juga disebut dosis lazim
atau dosis medicinalis atau dosis terapeutik. Bila dosis obat yang diberikan melebihi dosis
terapeutik terutama obat yang tergolong racun ada kemungkinan terjadi keracunan, dinyatakan
sebagai dosis toxic.

A. Macam-macam dosis Obat.


a. Dosis Terapi adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat menyembuhkan
orang sakit.

6
b. Dosis Maksimum merupakan batas dosis yang relatif masih aman yang diberikan kepada
penderita. Dosis terbesar yang dapat diberikan kepada orang dewasa untuk pemakaian
sekali dan sehari .
c. Dosis Toksik adalah dosis yang diberikan melebihi dosis terapeutik, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya keracunan obat
d. Dosis Letal (Lethal dose)yaitu dosis atau jumlah obat yang dapat mematikan bila
dikonsumsi. Bila mencapai dosis ini orang yang mengkonsumsi akan mengalami
kelebihan dosis (Over dose)
e. Initial Dose merupakan dosis permulaan yang diberikan pada penderita dengan
konsentrasi/kadar obat dalam darah dapat dicapai lebih awal.
f. Loading Dose adalah dosis obat untuk memulai terapi, sehingga dapat mencapai
konsentrasi terapeutik dalam cairan tubuh yang menghasilkan efek klinis.
g. Maintenance Dose adalah dosis obat yang diperlukan untuk memelihara dan
mempertahankan efek klinik atau konsentrasi terapeutik obat yang sesuai dengan regimen
dosis. Diberikan dalam tiap obat untuk menggantikan jumlah obat yang dieliminasi dari
dosis sebelumnya. Penghitungan dosis pemeliharaan yang tepat dapat mempertahankan
suatu keadaan stabil konsentrasi obat di dalam tubuh.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat


Dosis obat yang diberikan kepada penderita dipengaruhi oleh beberapa faktor: faktor
obat, cara pemberian obat tersebut dan penderita. Terutama faktor-faktor penderita seringkali
kompleks sekali, karena perbedaan individual terhadap respons obat tidak selalu dapat
diperkirakan. Ada kemungkinan ketiga faktor tersebut di bawah ini didapat sekaligus.
Faktor obat :
1. Sifat fisika : Daya larut obat dalam air/lemak, Kristal/amorf, dan sebagainya
2. Sifat kimiawi : Asam, basa, garam, ester, garam kompleks, pH, pKa
3. Toksisitas : Dosis obat berbanding terbalik dengan toksisitasnya
Cara pemberian obat kepada penderita
1. Oral : dimakan atau diminum
2. Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, dan sebagainya
3. Rectal, vaginal, uretral
4. Local, topikal, transdermal
5. Lain-lain: implantasi, sublingual, intrabukal, dan sebagainya
Faktor penderita/karakteristik penderita
1. Umur: neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric
2. Berat badan: biarpun sama-sama dewasa berat badan dapat berbeda besar

7
3. Jenis kelamin: terutama untuk obat golongan hormone
4. Ras: “slow & fast acetylators”
5. Tolerance
6. Obesitas: untuk obat-obat tertentu faktor ini harus dierhitungkan
7. Sensitivitas individual
8. Keadaan pato-fisiologi: kelainan pada saluran cerna mempengaruhi absorpsi
obat;penyakit hati mempengaruhi metabolism obat; kelainan pada ginjal mempengaruhi
9. eksreksi obat.
10. Kehamilan
11. Laktasi
12. “Circadian rhyhm”
13. Lingkungan
Obat beracun umumnya mempunyai dosis maksimum, yaitu batas dosis yang relative
masih aman diberikan kepada penderita. Pada lampiran famakope Indonesia edisi III tercantum
daftar dosis maksimum (D.M.) dari sebagian besar obat. Angka yang menunjukkan D.M. untuk
suatu obat ialah dosis tertinggi yang masih dapat diberikan kepada penderita dewasa; ini
umumnya dicantumkan dalam satuan gram, milligram, microgram, atau satuan internasional,
kecuali untuk beberapa cairan. Bila jumlah atau dosis ini dilebihi, ada kemungkinan terjadi
keracunan.

C. Pertimbangan Pengaturan Dosis


Khusus untuk pasien geriatrik dan pediatrik
1. Geriatrik: berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis terkait usia
2. Pediatrik: memiliki bobot lebih kecil dari pasien dewasa dan sistem tubuh tertentu belum
berkembang sepenuhnya : Usia , Bobot , Luas permukaan tubuh

A. Berdasarkan Usia
Kurang akurat karena tidak mempertimbangkan sangat beragamnya bobot dan ukuran anak-
anak dalam satu kelompok usia.
Obat bebas untuk Pediatrik: dosis dikelompokkan atas usia seperti: 2-6 tahun, 6-12 tahun dan
diatas 12 tahun. Kecil dari 2 tahun, dinyatakan dengan: atas pertimbangan dokter
Persamaan yang digunakan:
1. Rumus Young (anak di bawah 8 tahun) :Rumus: Usia (tahun) / (Usia + 12)
2. Rumus Dilling (anak di atas 8 tahun): Rumus: Usia (tahun) / 20
3. Rumus Cowling :Rumus: (Usia dalam tahun) + 1) / 24
4. Rumus Fried (khusus untuk bayi) :Usia (dalam bulan) / 150

8
B. Berdasarkan Bobot
Dosis lazim obat umumnya dianggap sesuai untuk individu berbobot 70 kg (154 pon)
Rasio antara jumlah obat yang diberikan dan ukuran tubuh mempengaruhi konsentrasi obat di
tempat kerjanya Oleh karena itu, dosis obat mungkin perlu disesuaikan dari dosis lazim untuk
pasien kurus atau gemuk yang tidak normal.
Persamaan:
1. Rumus Clark (AS) :Rumus: Bobot (dalam pon) / 150
2. ThremicFier(Jerman) : Rumus: Bobot (dalam kg) / 70
3. Black(Belanda) : Rumus: Bobot (dalam kg) / 62

C. Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh


Disebut juga dengan metode BSA (body surface area).
Paling akurat karena mempertimbangkan tinggi dan bobot pasien dengan menggunakan
rumus Du Bois dan Du Bois Terutama digunakan untuk :
1. pasien kanker yang menerima kemoterapi
2. pasien pediatrik untuk pada semua usia kanak-kanak, kecuali bayi prematur dan bayi
normal yang fungsi hati dan ginjalnya belum sempurna sehingga memerlukan penilaian
tambahan dalam pengaturan dosis

BAB III
PROSEDUR KERJA

9
Resep I

dr. Budiman
SIP. 116/abc/452/2014
Alamat: Jl. Juanda No. 90, Tangerang Selatan
Telp. 021-74067899

Tangerang Selatan, 28 Maret 2017

R/ Sanprima Forte tab No. X


S 2 dd tab 1

R/ Gitas Plus kapl No. X


S 3 dd kapl 1

R/ Rantin tab 300 mg No. VI


S 2 dd tab 1 ac

R/ New Diatab tab No. X


S 3 dd tab II

R/ Lodia tab No. V


S 3 dd tab 1

Pro : Rani
Umur : 30 thn (50 kg)
Alamat : Pondok Cabe

10
Resep 2 Resep 3

dr. Santoso, SpA Hitung dosis obat di bawah ini!


SIP. 503/1497/IV/2009
Alamat: Jl. WR. Supratman No. 86, Tangerang Selatan R/ Cefat syr 125 mg/5 ml 60 ml fls No. I
Telp. 021-74175478 S bdd cth 1
Tangerang Selatan, 28 Maret 2017 Pro: Yulia (6 thn / 20 kg)
R/ Pepzol 10 mg
m. f. pulv dtd No. X
S 2 dd pulv 1 ac

R/ Vometron syr fls No. I


S 3dd cth 1

R/ Mucos 12 mg
Ventolin 0,1 mg
Triamcort tab
Rhinofed tab
Intrizin 1 mg
m. f. pulv dtd No. XX dain syr fls
S 3dd cth 1

Pro : Desi
Umur : 8 thn (20 kg)
Alamat : Cirendeu

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Resep 1

Pengkajian Ada atau Tidak Keterangan


Farmasetik
Bentuk sediaan Ada
Kekuatan sediaan  Samprima Forte:  Sanprima Forte
ada - Trimetropim: 40
 Gitas Plus: tidak ada mg, 80 mg, 160
 Rantin: ada mg/ tab
 New diatab: tidak - Sulfametoksazol:
ada 200, 400, 800
 Lodia: tidak ada mg/tab
 Gitas Plus
- Hyosin N-butyl
bromide 10 mg
- Paracetamol 500
mg
 New Diatab
- Atapulgit 600 mg
 Lodia
- Laporamide HCl 2
mg/tab
Jumlah obat Ada
Ketersediaan Sesuai dengan
ketersediaan sediaan di
apotek
Stabilitas Tidak ada  Sanprima Forte:
disimpan pada suhu
15-30oC dan
terlindung dari cahaya
 Rantin: disimpan pada
suhu 15-30oC
Signa atau aturan Ada
pakai
Nama sediaan Ada

12
Resep 2

Pengkajian Ada atau Tidak Keterangan


Farmasetik
Bentuk sediaan Ada
Kekuatan sediaan Ada
Jumlah obat Ada  Mucos:

12 mg x 20 = =

8 tab
 Ventolin:

0,1 mg x 20 = =

1 tab
 Triamcort:
½ tab x 20 = 10 tab
 Rhinofed:
1/6 tab x 20 = 3,3 tab
 Initrizin:

1 mg x 20 = =

2 tab
Ketersediaan Sesuai dengan
ketersediaan sediaan di
apotek
Stabilitas Ada
Signa atau aturan Ada
pakai
Dispensing  Pepzol: Ada  Pepzol dibuat puyer
 Vometron: tidak 10 bungkus
ada  Vometron sudah ada
 Sediaan racikan ke- dalam bentuk sirup
3: ada

Resep 3

Pengkajian Ada atau Tidak Keterangan


Farmasetik
Nama sediaan Ada Cefat sirup
Bentuk sediaan Ada Sirup
Jumlah sediaan Ada 1

13
Signatura Ada S bdd cth 1
Stabilitas obat Tidak ada Sirup kering hanya tahan
selama 7 hari setelah di
rekonstitusi
Ketersediaan Ada  Botol 60 ml 125 mg/ 5
ml
 Botol 60 ml 250 mg/5
ml
Aturan atau cara Tidak ada Ditambahkan air matang
dispensing sampai tanda batas, lalu
kocok
Kekuatan sediaan Ada 125 mg/ 5 ml
Dosis Ada 125 mg/ 5 ml 2 kali
sehari 1 cth
Dosis lazim:
25-50 mg/kgBB sehari
25 mg x 20 kg = 500
mg/hari (ISO, 2016)
Harus tanya kembali ke
dokter jika dosis yang
diberikan kurang,
seharusnya 250 mg/ 5 ml
dengan pilihan:
 Dosis diganti forte 250
mg/ 5 ml
 Signa diganti 125 mg/
5 ml 2 sendok teh

B. Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan pengkajian farmaseutik dan perhitungan dosis terhadap
tiga resep yang berbeda. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat
bagi pasien sesuai dengan peraturan yang berlaku (PerMenKes No.35 Tahun 2014). Pengkajian
resep dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kelalaian pencantuman informasi,
penulisan resep yang buruk dan penulisan resep yang tidak tepat.

Pada resep I terdiri dari obat samprima forte tablet yang berisi trimetropin 80 mg dan
sulfametoksazol 400 mg, Gitas plus kaplet yang tediri dari Hyoscin N-butyl bromide 10 mg dan
paracetamol 500 mg, rantin yang berisi ranitidin 300 mg, New diatab yang berisi atapulgit 600

14
mg, dan lodia tablet yang berisi lopramide HCl 2 mg. Pada pengkajian fasmasetis pada resep
terdiri dari nama obat, bentuk sediaan kekuatan, jumlah obat, signa atau aturan pakai, stabilitas
obat, dan ketersediaan. Nama, jumlah dan bentuk sediaan pada resep I tertulis semua didalam
resep. Nama, bentuk, dan jumlah perlu dituliskan dengan jelas pada resep untuk menghindari
adanya keracunan ketika petugas UPF mengambil obat. Sedangkan untuk kekuatan sediaan yang
terdapat dalam resep hanya ada pada obat Rantin, namun obat rantin dengan kekuatan sediaan
300 mg dipakai untuk dosis 1 x 1 sedangkan pada resep tertulis aturan pakai 2 x 1. Aturan pakai
2 x 1 dipakai untuk rantin dengan kekuatan sediaan 150 mg. Untuk obat lain tidak tertulis
kekuatan sediannya didalam resep, karena kekuatan sediaan yang ditulis didalam resep biasanya
untuk obat – obat yang mempunyai kekuatan sediaan lebih dari satu, seperti rantin yang
mempunyai dua kekuatan sediaan yaitu 150 mg dan 300 mg. Kekuatan sediaan penting
dicantumkan karena ditakutkan terjadi kekeliruan dalam memberikan kekuatan sediaan obat
yang diperlukan, karena kebanyakan obat mempunyai beberapa kekuatan sediaan dalam satu
merk. Ini dapat berakibat kepada tidak terpenuhinya efek terapi jika obat yang diberikan lebih
rendah dari yang diminta atau menyebabkan kelebihan dosis jika kekuatan obat yang diberikan
lebih tinggi dari yang diminta. Pada resep I juga tertulis semua aturan pakai obat. Aturan ini
sudah sesuai dengan dosis yang biasanya digunakan masing – masing obat, namun dosis yang
tertulis untuk rantin 2 x 1 seharusnya ditulis 1 x 1 untuk kekuatan sediaan 300 mg sesuai
kekuatan sediaan yang tertulis pada resep. Stabilitas obat penting untuk menentukan kondisi
penyimpanan yang baik untuk obat tersebut sehingga pasien mendapatkan efek terapi yang
diinginkan. Jadi untuk resep I hanya terdapat kesalahan dalam penulisan kekuatan sediaan dan
aturan pakai pada obat rantin. Sehrarusnya jika rantin yang ingin dipakai yang mempunyai
kekuatan sediaan 300mg maka aturan pakai yang seharusnya tercantum adalah 1 x 1, namun jika
yang ingin dipakai rantin dengan kekuatan sediaan 150mg maka aturan pakai yang seharusnya
tercantum adalah 2 x 1.

Pada resep kedua ditemukan adanya ketidakjelasan volume sirup vometron, serta tidak
ada keterangan waktu pemakaian obat sebelum atau sesudah makan. Penulisan aturan pakai yang
tidak jelas merugikan pasien karena berkaitan dengan dosis dan hasil terapi yang tercapai.
Kekuatan sediaan tablet pepzol yang ada di pasaran yaitu 20 mg dan 40 mg sedangkan di resep
10 mg, maka harus dikonfirmasikan terlebih dahulu ke dokter. Lalu obat pepzol di dalam resep di
racik menjadi sediaan puyer, sedangkan obat pepzol adalah tablet salut enterik yang

15
diperuntukan untuk pecah di usus. Jika tablet pepzol digerus maka salut enteriknya rusak
sehingga khasiatnya dapat hilang. Selanjutnya penulisan nama obat racikan atau campuran
sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kekeliruan atau
kesalahan pencampuran obat, karena tidak semua obat dapat bercampur dengan baik
(kompatibel). Untuk itu, dokter harus menuliskan masing-masing obat dengan melihat
kompatibilitas dari masing-masing obat sehingga terhindar dari kesalahan pemberian obat.

Berdasarkan literatur diketahui tidak terdapat interaksi obat pada racikan resep nomor 2
nomor 3. Analisis interaksi obat ini berperan penting dalam terapi pengobatan agar ketika dalam
proses pengobatan tidak terjadi hal yang dapat merugikan pasien dan interaksi obat dapat
dihindarkan. Serta belum terdapat volume simplex yang akan digunakan pada resep 2 nomor 3,
maka harus dikonfirmasi ke dokter, berapakah volume yang akan digunakan. Lalu tidak terdapat
kekuatan sediaan obat, jika dalam resep tidak ada kekuatan sediaan maka diambil kekuatan
sediaan yang paling kecil. Jadi jika hanya tertulis ventolis saja, maka sebaiknya kita ambil
kekuatan sediaan yang terkecil, yaitu 4 mg.

Namun akan lebih baik jika kita bisa memberikan keduanya kepada pasien, yaitu safety
and efficacy, selain aman juga berkhasiat. Jika hitungan dosis yang diberikan kepada pasien
bukan dosis sesuai dengan kekuatan sdiaan terkecil, lebih baik komunikasikan dahuludengan
dokter.

Pengkajian farmaseutik atau skrining kesesuaian farmaseutik menurut PerMenKes No.35


Tahun 2014 terdiri dari bentuk dan kekuatan sediaan, stabilitas, dan kompabilitas (ketercampuran
obat). Bentuk sediaan obat (BSO) adalah bentuk tertentu sesuai kebutuhan, mengandung suatu
zat aktif atau lebih dalam pembawa yang digunakan sebagai obat dalam atau obat luar.
Terkadang terdapat resep yang tidak menuliskan jenis bentuk sediaannya, sehingga pada saat
pengambilan obat, biasanya hanya berdasarkan signa dan bentuk yang tersedia di apotek saja.
Misalnya untuk sediaan sirup biasanya memakai signa c atau cth dan signa obat atau bentuk
tablet. Namun seharusnya penulisan bentuk sediaan pada resep harus ditulis dengan jelas agar
tidak memicu terjadinya kesalahan pemberian bentuk sediaan obat yang akan digunakan oleh
pasien sesuai dengan kebutuhan, keadaan, dan kondisi pasien, terutama jika suatu obat tersedia
dalam lebih dari satu bentuk sediaan. Pada resep tiga, keterangan bentuk sediaan sudah tertera
dan ditulis dengan jelas yaitu syr yang berarti sirup (sirup kering).

16
Selanjutnya kekuatan sediaan obat, kekuatan sediaan obat harus ditulis karena beberapa
obat tersedia dalam berbagai kekuatan. Untuk obat yang memiliki kekuatan sediaan lebih dari
satu, penulisan kekuatan sediaan harus ditulis dengan jelas agar terhindar dari kesalahan
pemberian jumlah dosis. Apabila kekuatan dosis tidak tertulis pada resep maka diberikan obat
dengan kekuatan sediaan terkecil. Namun, jika pemberian obat dengan kekuatan sediaan terkecil
tidak sesuai dengan keadaan pasien, hendaknya dikonfirmasikan terlebih dahulu pada dokter.
Pada resep tiga, kekuatan sediaan ditulis dengan jelas yaitu 125 mg/5 ml.

Selanjutnya stabilitas dan kompatibilitas, Stabilitas obat penting untuk menentukan


kondisi penyimpanan yang baik untuk obat tersebut sehingga pasien mendapat efek terapi yang
diinginkan. Pengkajian ini hanya dilakukan pada sediaan racikan. Karena untuk obat yang sudah
berupa sediaan, pengkajian ini sudah dilakukan oleh produsen obat tersebut. Penulisan nama obat
racikan/campuran sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi
kekeliruan atau kesalahan pencampuran obat, karena tidak semua obat dapat tercampur dengan
baik. Oleh karena itu, dokter harus menuliskan nama obat dengan jelas dengan
mempertimbangkan kompatibilitas dari masing-masing obat agar terhidar dari kesalahan
pemberian obat. Pada resep tiga, pengkajian stabilitas dan kompatibilitas obat tidak dilakukan
karena obat yang diresepkan sudah berupa sediaan.

Pada resep ketiga, didapatkan resep obat cefat sirup 125 mg/5mL dalam 60 mL dua kali
sehari 1 sendok teh untuk anak berusia 6 tahun dengan berat badan 20 kg. Hal ini kurang tepat
diberikan sebagaimana di dalam literature dinyatakan bahwa dosis lazim untu kanak-anak usia 1-
6 tahun yaitu 25-50 mg/kgBB/hari (ISO,2016). Sehingga pada pasien ini seharusnya mendapat
zat aktif obat cefat 500 mg/hari. Sedangkan dosis yang tertera pada resep untuk satu kali minum
hanya 125 mg, dan didalam resep dituliskan pemakaian dua kali sehari. Maka setelah dua kali
minum pasien baru mendapat zat aktif obat cefat 250 mg. Jadi, dosis yang digunakan didalam
resep tidak sesuai dengan dosis lazim untuk pasien tersebut. Maka dari itu,sebagai apoteker yang
menangani rese, harus mengkonfirmasi ulang kepada dokter bahwa dosis yang diberikan kurang
dari dosis lazim dan menyarankan bahwa sediaan dapat diganti menjadi sirup forte (250 mg/5ml)
atau mengubah signa menjadi 125 mg/5ml 2 sendok teh.

17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Farmasetika dan dosis resep yang bertujuan agar dapat mengetahui cara melakukan
kajian farmasetika pada resep dan menindaklanjuti resep tersebut dan mengetahui cara
perhitungan resep.

Kajian farmasetik dan dosis dilakukan setelah melewati kajian administratif. Kajian
farmasetik dibutuhkan untuk mencegah terjadinya medication error yang dapat merugikan
pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang seharusnya
dapat dicegah. Bentuk medication error yang terjadi adalah pada fase prescribing (error
terjadi pada penulisan resep) yaitu kesalahan yang terjadi selama proses peresepan obat atau
penulisan resep. Dampak dari kesalahan tersebut sangat beragam, mulai yang tidak memberi
resiko sama sekali hingga terjadinya kecacatan atau bahkan kematian (Dwiprahasto dan
Kristin, 2008).

B. Saran
Mahasiswa disarankan untuk lebih teliti lagi dalam melakkukan pengkajian resep yang
sesuai.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2003) . Ilmu Meracik Obat . Teori dan Praktek. Gadjah Mada University Press.

Anonim. 2017. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 16, 2016/2017. Jakarta: Penerbit Asli
(MIMS Pharmacy Guide).
Anonim. 2018. Informasi Spesialite Obat Indonesia, edisi vol. 51, 2017/2018. Jakarta : ISFI
Penerbitan.
Ansel, H.C; (1989). Pengantar Bentuk sediaan Farmasi. Penerbit Universitas Indonesia.
Catalango-Angus Mary L and Cohen M.R., 1993, Manual for Pharmacy Technicians, p. 279 -285
, American Society of Health System Pharmacists, Bethesda.
Cohen M. R-MS.FASHP, 1999, Medical Errors, American Pharmaceutical
Association,Washington DC
Joenoes, N. Z. (2001). ARS PRESCRIBENDI Resep yang rasional.Edisi 2.Airlangga University

19

Anda mungkin juga menyukai