DOSEN PENGAMPU:
Dra. Nurul Akhatik., M.Si
` DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4C
KELAS REGULER C
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin,
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah
dengan judul “PERESEPAN OBAT PADA PASIEN PEDIATRI DAN GERIATRI” ini
disusun dengan tujuan untuk melengkapi tugas ujian akhirr semester pada mata kuliah
Coumpounding Dan Dispending. Melalui makalah ini, kami berharap agar kami dan
pembaca mampu mengenal lebih jauh mengenai pediatri dan geriatric.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam proses penyusunan makalah ini . Terlepas dari semua itu, Kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Kami berharap agar makalah yang telah kami susun ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca dan penulis yang lain. Kami juga berharap
agar makalah ini menjadi acuan yang baik dan berkualitas.
Penyusun
ii
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu pelayanan farmasi klinik yang dilakukan apoteker yaitu pengkajian dan
pelayanan resep (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Pengkajian
resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait obat. Bila ditemukan masalah
terkait obat, harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep sesuai persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan.
Pediatri merupakan kelompok yang rentan menderita penyakit karena sistem imun
dan fungsi fisiologi organ yang belum berkembang secara sempurna. Pasien pediatri
biasanya memiliki beberapa masalah dalam pengobatan. Pemilihan sediaan obat dan
keterbatasan formula obat yang sesuai pada pasien pediatri menjadi masalah tersendiri
bagi pelayanan kesehatan sehingga membuat dokter membuat resep racikan untuk
mengatasi masalah tersebut (Dita, 2014).
Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia dengan multi penyakit dan/atau gangguan
akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang
membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu dengan pendekatan multidisiplin yang
bekerja secara interdisiplin. Sedangkan lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Menurut Kementerian Kesehatan RI
(2012), lansia dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu: pra lanjut usia (45-59 tahun),
lanjut usia (60-69 tahun), dan lanjut usia risiko tinggi ( > 70 tahun atau usia > 60 tahun
dengan masalah kesehatan).
Obat racikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan pediatri yang
membutuhkan pengobatan. Berdasarkan data demografi, pediatri yang paling banyak
memperoleh obat racikan yaitu pada rentang 2 - < 4 tahun (Widyaswari, 2011). Masih
sedikitnya obat dengan formula dan dosis yang tepat bagi pediatri menyebabkan obat
3
racikan masih diperlukan di Indonesia dan untuk mencukupi ketersediaan obat bagi
pediatri. Formulasi untuk anak harus diberikan dengan pemilihan dosis yang tepat.
Resep racikan (compounding medicine) merupakan suatu obat yang dibentuk dengan
cara mengubah atau mencampur sediaan bahan aktif. Obat racikan biasanya diracik dalam
bentuk sediaan cair, padat maupun semi padat, dan di Indonesia bentuk racikan yang
banyak diresepkan yaitu seperti pulveres atau bentuk sediaan cair yaitu sirup. Peresepan
obat racikan di Indonesia masih sering dilakukan dengan alasan antara lain dapat
menyesuaikan dosis dengan berat badan anak, biaya yang relatif lebih murah, tidak
menimbulkan kekhawatiran pasien apabila komponen terlalu banyak dan mengurangi efek
samping (Setyabudi,2011).
1.2 Tujuan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Resep standar, yaitu resep yang komposisinya sudah dibakukan dan dituliskan dalam
farmakope atau buku resep standar lainya yang penulisan resepnya sesuai buku
standar.
b. Resep Polisfarmasi, yaitu yang sudah dimodifikasi atau diformat oleh dokter, bisa
berupa campuran atau tunggal yang diencerkan dalam pelayanannya harus diracik
terlebih dahulu
c. Resep Obat jadi, yaitu berupa obat paten, merek dagang atau pun generik dan dalam
pelayanan tidak mengalami peracikan. Buku referensi, Organisasi Internasional
untuk Standarisasi (ISO), Indonesia Index Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat
Indonesia (DOI) dan sebagainya.
d. Resep Obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generic dalam bentuk
sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanan bisa tidak mengalami peracikan (Jas
2009).
5
Resep yang lengkap meliputi hal-hal sebagai berikut :
g. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai literature yang berlaku
(subscription).
h. Nama, umur, untuk pasien dewasa menggunakan singkatan Tn (tuan) untuk pasien
pria dan Ny (nyonya) untuk pasien wanita, serta An (anak) untuk pasien anak
(pediatri)
a. Kajian Administrati, meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, berat badan, nama
dokter, surat izin praktek (SIP), alamat, nomor telpon dan paraf,tanggal penulisan
resep.
c. Kajian Klinis, meliputi ketepatan indikasi dan dosis obat, aturan, cara pakai, lama
penggunaan obat, duplikasi atau polifarmasi, reaksi obat yang tidak diinginkan
(alergi, efek samping obat, manifestasi klinik lain), kontra indikasi, dan interaksi
obat.
Semua penggantian dari obat paten ke obat generik harus seizin dokter penulis resep,
demikian pula sebaliknya, dalam hal ini harus diusulkan kepada pengawas
(pengawas/dosen pembimbing praktikum berperan sebagai dokter/apoteker/pasien). Resep
baru dapat diracik setelah diperiksa kelengkapan resepnya dan dosis obatnya dihitung
terlebih dahulu, bila dosis obat terlalu sedikit (dosis kurang) maupun terlalu banyak (dosis
berlebih) harus dikonsultasikan kepada dokter.
6
Dalam kegiatan praktikum dosis obat kurang/lebih dilaporkan kepada pengawas, obat
yang dosis kurang akan ditingkatkan atau obat yang dosisnya tinggi akan diturunkan,
tetapi bila pengawas tidak melakukan perubahan praktikan harus meminta paraf
pengawas, sebagai bukti praktikan telah melaporkan adanya kekurangan atau kelebihan
dosis. Setelah praktikan baru diiznkan meracik obat.
Medication error merupakan suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih
berada dalam pengawasan dan tanggung jawab tenaga kesehatan, pasien atau konsumen,
dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991). Sekitar tahun 1960an, medication error
tidak pernah disebut-sebut sebagai suatu masalah kesehatan. Hal ini terbukti dari sangat
sedikitnya hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal biomedik di dunia hingga
tahun tersebut. Tetapi pada tahun 1990an, kejadian medication error mulai banyak
dipublikasikan (Dwiprahasto dan Erna, 2008). Disadari ataupun tidak, medication error
sebenarnya sering dan banyak terjadi di sekeliling kita, mulai di lingkungan puskesmas,
rumah sakit, apotek hingga pelayanan-pelayanan kesehatan lainnya. Salah satu contoh
yang dapat diberikan, misalnya pemberian obat yang ditujukan pada pediatri, sering
dijumpai penggunaan sediaan dalam bentuk pulveres yang bertujuan untuk
memudahkan pemakaian obat. Namun bentuk sediaan yang ditawarkan tersebut kerap
tidak mendukung ketepatan aturan pemakaian masing-masing komponen obat dalam
sediaan. Padahal, aturan pemakaian (signatura) sangat penting karena berkaitan dengan
ketersediaan obat di dalam tubuh yang diperlukan untuk mencapai tujuan terapi.
7
Hal tersebut dapat memicu timbulnya efek yang tidak diinginkan misalnya, penggunaan
parasetamol dalam 6 jangka waktu yang lama dapat menyebabkan nekrosis hati dan
pemakaian kodein sebagai obat batuk kering dapat menimbulkan ketagihan jika
penggunaannya tidak sesuai dengan aturan pemakaian, hal ini tentunya akan
mempengaruhi keberhasilan terapi (Hartayu dan Aris, 2005). Kejadian medication error
dapat terjadi dalam 4 fase yaitu:
a. Fase prescribing, error yang terjadi pada fase penulisan resep, yang meliputi obat
yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien, tidak tepat obat, tidak tepat
dosis dan aturan pakai, pemberian obat lebih dari 3 macam dalam 1 racikan, signatura
keliru serta signatura tidak lengkap (Hartayu dan Aris, 2005).
b. Fase transcribing, error yang terjadi pada fase pembacaan resep. Fase ini meliputi:
salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas, ada signatura yang terlewatkan,
instruksi tidak dikerjakan dan kesalahan dalam menerjemahkan instruksi
(Dwiprahasto dan Erna, 2008).
c. Fase dispensing, error terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan obat oleh
petugas apotek, misalnya salah dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena
nama obat atau kemasan yang mirip atau dapat pula terjadi karena letaknya yang
sangat berdekatan, salah dalam menghitung dosis, sediaan obat yang diserahkan ke
pasien buruk, salah dalam pemberian informasi obat dan pemberian obat di luar
instruksi (Dwiprahasto dan Erna, 2008).
d. Fase administration, error yang terjadi pada saat penggunaan obat. Error pada fase ini
dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau keluarganya, misalnya salah waktu
minum obat yang seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum 1 jam setelah
makan (Hartayu dan Aris, 2005). Berdasarkan uraian di atas medication error sangat
luas cakupannya mulai dari saat peresepan, pembacaan resep oleh farmasis,
penyerahan obat, hingga penggunaan obat oleh pasien. Melalui gambaran tersebut
maka kesalahan yang terjadi di salah satu komponen dapat saja secara berantai
menimbulkan kesalahan lain di komponen-komponen selanjutnya.
2.3 Polifarmasi
Pemberian obat secara polifarmasi pada pasien tidak saja menjadi problema di negara-
negara yang sedang berkembang, tapi juga merupakan masalah yang cukup serius di
negara yang telah maju. Menurut Anto (2007), polifarmasi merupakan keadaan
8
dimana konsumen kesehatan mengkonsumsi beberapa obat sekaligus. Banyak obat yang
tidak ada hubungannya dengan penyakit pasien diberikan pada pasien, yang tentu saja
merupakan pemborosan dan meningkatkan insiden penyakit karena obat (Aman, 2000).
Beberapa macam polifarmasi yang sering diberikan yaitu:
a. Kombinasi antara dua jenis obat atau lebih yang mempunyai efek yang sama untuk
mengobati satu gejala penyakit.
e. Memberikan kombinasi obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit pasien.
Pemberian kombinasi ini sering dilakukan pada antibiotik namun sampai saat ini hanya
kotrimoksazol (kombinasi antara trimetoprim dan sulfametoksazol) dan koamoksiklaf
(kombinasi antara amoksisilin dan asam klavulonat) yang diakui oleh WHO yang benar-
benar bermakna secara klinik (Aman, 2000).
2.4 Pediatri
Pediatri atau ilmu kesehatan anak adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang
mempelajari tentang kesehatan bayi dan anak (Hidayat, 2005). Penggunaan 8 obat untuk
pediatri merupakan hal khusus yang berkaitan dengan perbedaan laju perkembangan organ
dan sistem dalam tubuh yang bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat.
Berdasarkan alasan tersebut maka dosis obat, formulasi, hasil pengobatan dan efek
samping obat yang timbul sangat beragam sepanjang rentang usia pediatri. Pemakaian
obat untuk pediatri belum diteliti secara luas, sehingga hanya terdapat sejumlah kecil obat
yang telah diberi ijin digunakan pada pediatri yaitu obat yang memiliki bentuk sediaan
yang sesuai (Aslam, 2003). The British Paediatric Association
9
(BPA) mengusulkan rentang waktu yang didasarkan pada saat terjadinya perubahan-
perubahan biologis pada pediatri yaitu:
a. Neonatus: Awal kelahiran sampai usia 1 bulan (dengan subseksi tersendiri untuk
bayi yang lahir saat usia kurang dari 37 minggu dalam kandungan). Pada perubahan
biologis neonatus terjadi perubahan organ dalam yang sangat penting.
b. Bayi: Usia 1 bulan sampai 2 tahun merupakan masa awal pertumbuhan yang pesat.
c. Anak: Usia 2 sampai 12 tahun masa pertumbuhan secara bertahap (dengan subseksi,
anak dibawah usia 6 tahun memerlukan bentuk sediaan yang sesuai) (Aslam, 2003).
10
2.6 Pola Peresepan Pasien Geriatri
Lansia pada umumnya memiliki lebih dari satu penyakit (multidiagnosa), bersifat
kronis yang dapat menimbulkan kecacatan bahkan kematian, dan rentan terhadap
berbagai penyakit akut yang diperberat dengan adanya penurunan daya tahan tubuh
(Dasopang dkk, 2015). Masalah medis yang kompleks pada pasien lansia menyebabkan
lansia mendapatkan peresepan polifarmasi (Anggriani dkk, 2016). Polifarmasi
merupakan penggunaan obat sebanyak lima macam atau lebih untuk satu pasien dalam
satu resep. Polifarmasi secara signifikan dapat meningkatkan risiko interaksi obat
dengan obat. Polifarmasi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya Drug
Related Problems (DRPs) (Tobat dkk, 2015).
Keterbatasan formulasi obat dosis rendah juga dapat mempersulit atau mahal
bagi pasien. Terapi dosis rendah sering direkomendasikan untuk orang dewasa yang
lebih tua tetapi mungkin tidak diproduksi atau tersedia dari program obat yang didanai.
The European Medicines Agency telah mengambil langkah untuk memastikan
kebutuhan pasien usia lanjut diperhitungkan dalam pengembangan, persetujuan, dan
penggunaan obat-obatan. Hal ini juga meningkatkan ketersediaan informasi kepada
pasien dan pemberi resep untuk mendukung penggunaan obat yang lebih aman di usia
lanjut (Rochon, 2018).
Peresepan pada usia geriatrik menjadi fokus pada penelitian ini. Hal ini
dikarenakan usia geriatrik berada pada risiko yang signifikan untuk masalah terkait obat
(Sundborn, 2014). Selain polifarmasi, usia saja merupakan faktor risiko utama untuk
DDIs. Pasien geriatri rentan terhadap interaksi obat dikarenakan perubahan yang
berkaitan dengan usia fisiologis, peningkatan risiko untuk penyakit terkait dengan
penuaan dan peningkatan konsekuen dalam penggunaan obat (Hines, 2013)
Farmakokinetik dan farmakodinamik seringkali mengalami peru-bahan pada usia
geriatri, kemungkinan terjadinya perlambatan waktu transit usus, kapasitas penyerapan
berkurang, penurunan metabolisme hati, fungsi mitokondria, eksresi ginjal dan
perubahan dalam volemia serta distribusi dalam lemak tubuh (Sitar, 2017).
11
BAB III
PEMBAHASAN
a. Skrining administratif
Kesimpulan:
Resep tersebut tidak lengkap karena tidak mencantumkan kekuatan sediaan
12
Penanganan:
Mengkonfirmasi kembali kekuatan sediaan pada dokter
b. Skrining Farmasetika
c. Skrining Farmakologi
1. Antasida 200mg/5ml
- Cara pemakaian: oral
- Golongan: obat bebas
- Komposisi: tiap 5 ml mengandung Aluminium Hidroksida 200mg, Magnesium
Hidroksida 200mg
- Indikasi: mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung,
tukak lambung, gastritis, tukak usus dua belas jari, dengan gejala-gejala mual, nyeri
lambung, nyeri ulu hati, dan perasaan penuh pada lambung.
- Dosis:
Dewasa: 1-2 sendok takar (5-10 ml), 3-4 kali sehari
Anak-anak: ½ -1 sendok takar (2,5-5 ml), 3-4 kali sehari
Diminum 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan dan menjelang tidur
- Efek samping: konstipasi, diare, mual, muntah dan gejala tersebut akan hilang apabila
pemakaian obat dihentikan.
- Kontra indikasi: hipersensitif terhadap aluminium dan magnesium
2. Curcuma plus
- Cara pemakaian: oral
- Komposisi: vit B1 3 mg, vit B2 2 mg, vit B6 5 mg, vit B12 5mcg, beta carotene 10%
4mg, dekspantenol 3 mg, curcuminoid 2mcg/5ml
- Indikasi: menambah nafsu makan dan alternatif terapi hepatitis
- Dosis
Dewasa: 1 sendok takar (5ml) 3 kali sehari
13
Anak-anak: 1 sendok takar (5ml) 1-2 kali sehari
- Efek samping: reaksi alergi, hipevitaminosis
- Kontra indikasi: hipersensitif
d. DRPs (Drug Related Problems)
e. Penyelesaian resep
1. Penerimaan dan Telaah Resep
Pasien membawa resep ke Apotek dan menyerahkan ke petugas penerima resep, petugas
menerima resep dan memeriksa kelengkapan resep dengan memberikan ceklis identifikasi
resep dan mencatat jam saat resep datang, petugas memberi nomor resep berdasarkan nomor
urut resep serta mencatatnya pada lembar informasi obat, petugas menyiapkan etiket obat
berdasarkan resep yang diminta dan kemudian meletakkan pada baki obat beserta resep untuk
kemudian menyerahkannya kepada petugas penyiapan obat.
2. Penyiapan Obat
Petugas penyiapan obat menerima baki dari petugas penerima resep, petugas menyiapkan
obat sesuai resep obat yang diminta petugas melakukan pengemasan dan penempelan etiket
obat, petugas mencatat waktu obat jadi dan menginput jumlah obat yang keluar pada buku
14
atau monitor pengeluaran obat, petugas menyiapkan obat, petugas memeriksa kembali obat
yang telat siap sebelum diserahkan kepada petugas penyerahan obat, petugas menyerahkan
obat kepada petugas penyerahan obat kepada pasien.
3. Penyerahan Obat
Petugas penyerahan obat nerima baki berisi obat yang telah siap dan kemudian mengecek
ulang sebelum diserahkan kepada pasien, petugas memanggil nama pasien sesuai yang tertera
diresep dan memastikan penerima resep adalah orang yang benar, petugas menjelaskan obat
satu persatu terkait nama, kegunaan, aturan pakai, efek samping, dan cara penyimpanan obat
topikal dirumah. Petugas meminta paraf, nama dan nomor telp pasien penerima obat pada
lembar resep.
15
a) Skrinning Resep
1. Skrinning Administratif
Skrinning Ceklist
No. Persyaratan
Administrasi Persyaratan
1. Nama Dokter √
2. SIP Dokter √
Inscriptio
3. Alamat Dokter √
4. Tanggal Penulisan Resep √
Invication 5. Tanda R/ √
6. Nama Obat √
7. Bentuk Sediaan √
Presciptio
8. Dosis Obat √
9. Jumlah Obat √
Cara Pakai Obat dan Interval
Signatura 10. √
Waktu Pemberian
Subcriptio 11. Tanda Tangan dan Paraf Dokter √
12. Nama Pasien √
13. Alamat Pasien -
14. Umur Pasien √
16
Pro. 15. Jenis Kelamin Pasien √
16. Berat Badan Pasien -
1. Alamat Pasien
2. Berat Badan Pasien
17
2. Skrinning Farmasetik
No. Nama Obat Indikator Uraian
Zat Aktif Briclot
Bentuk Sediaan Tablet
Kekuatan Sediaan 90 Mg
1. Briclot 90 Mg
Dosis dan Aturan 1 x Sehari satu tablet setelah makan, pagi
Pakai hari
Stabilitas Simpan ditempat kering dan sejuk
Zat Aktif Miaspi
Bentuk Sediaan Tablet
Kekuatan Sediaan 80 Mg
2. Miaspi 80 Mg
Dosis dan Aturan 1 x Sehari satu tablet setelah makan, siang
Pakai hari
Stabilitas Simpan ditempat kering dan sejuk
Zat Aktif Attorvastatin
Bentuk Sediaan Tablet
Kekuatan Sediaan 20 Mg
3. Atorvastatin 20 Mg
Dosis dan Aturan 1 x Sehari satu tablet setelah makan,
Pakai malam hari
Stabilitas Simpan ditempat kering dan sejuk
Zat Aktif Fondaparinux sodium
Bentuk Sediaan Pro injeksi
Kekuatan Sediaan 2,5 Mg
4. Diviti 2,5 Mg
Dosis dan Aturan 1 x Sehari Pengobatan dilakukan selama 5–
Pakai 9 hari.
18
1. Skrinning Klinis
a. Kajian Aspek Klinis Terkait Ketepatan Indikasi Obat
Ketepatan
No. Nama Obat Keterangan
Indikasi
Briclot 90 Mg
1. Tepat untuk mencegah kejadian-kejadian
trombosis (misalnya kematian
kardiovaskular, infark miokard, atau
stroke) pada pasien yang menderita
sindrom koroner akut.
90 Mg 10
Briclot 90 Mg 1 x sehari 1 Tablet Dosis resep sesuai dengan
1.
tablet dosis literatur
19
diberikan
selama 30-45
hari.
Pencegahan
terbentuknya
bekuan darah
pada operasi
2,5 mg per hari
yang diberikan
6-8 jam setelah
operasi, obat
diberikan
minimal 5-9
hari
20
c. Kajian Aspek Klinis Terkait Interaksi Obat
Ada/Tidak
No. Aspek Klinis Uraian
Ada
1. Alergi Tidak ada
2. Kontraindikasi Tidak ada
3. Interaksi Tidak ada
4. Efek Samping Tidak ada
5. Polifarmasi Tidak ada
2. SKRINING FARMAKOLOGI
a. Penimbangan Bahan
Briclot 90 Mg : 3 Tablet
Miaspi 80 Mg : 3Tablet
Atorvastatin 20 Mg : 3Tablet
Diviti 2,5 Mg : 1 Ampul
b. Penyiapan Resep
1. Ambil Briclot 90 Mg sebanyak 3 tablet, masukan kedalam etiket putih, beri
aturan pakai digunakan 1 kali sehari 1 tablet pagi hari setelah makan.
2. Ambil Miaspi 80 Mg sebanyak 3 tablet, masukan kedalam etiket putih, beri
aturan pakai digunakan 1 kali sehari 1 tablet siang hari setelah makan.
3. Ambil Attorvastatin 20 Mg sebanyak 3 tablet, masukan kedalam etiket putih,
beri aturan pakai digunakan 1 kali sehari 1 tablet malam hari setelah makan.
4. Ambil Diviti 2,5 Mg sebanyak 1 ampul, masukan kedalam etiket putih, beri
aturan pakai digunakan 1 kali sehari.
21
c. Pelayanan Informasi Obat
1. Briclot 90 Mg tablet sebagai obat digunakan untuk mencegah
kejadian-kejadian trombosis (misalnya kematian kardiovaskular,
infark miokard, atau stroke) pada pasien yang menderita sindrom
koroner akut 1 kali sehari 1 tablet (tiap 24 jam) pagi hari setelah
makan.
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
1. Jenis-jenis resep terdiri atas Resep Standar, Resep Polifarmasi, Resep Obat
Jadi, Resep Obat Generik
2. Standar pelayanan kefarmasian. Menurut Permenkes RI No.73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek mengenai pelayanan
farmasi klinik meliputi pengkajian dan pelayanan resep meliputi 3 aspek,
diantaranya Kajian Administratif, Kajian Farmasetik, dan Kajian Klinis.
3. Peresepan obat pada pasien Pediatri memiliki risiko yang tinggi dalam
pengobatan Tingginya risiko ini disebabkan perbedaan pada masa tubuh anak
di mana dosis dihitung secara individu berdasarkan usia, berat badan atau luas
permukaan tubuh.
4. Permasalahan peresepan pada pasien Geriatri yaitu sering ditemukan
Medication Errror dan peresepan polifarmasi akibat penurunan fungsional
tubuh pada pasien lanjut usia sehingga diperlukan pengkajian resep dan
pengawasan yang ketat.
23
DAFTAR PUSTAKA
24
Setyabudi, R. (2011) Masalah Polifarmasi dan Peresepan obat Racikan. Jakarta: Departemen Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Sitar DS. Aging issues in drug disposition and efficacy. Proc West Pharmacology and Social, 2017, 50: 16–20.
Tobat, S.R., Muchtar, M.H., Martini, R.D., 2015, Identifikasi ADR (Adverse Drug Reaction) pada Pasien
Geriatri di Bagian/SMF Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP. Dr M. Djamil Padang, Scientia Jurnal
Farmasi dan Kesehatan, 5 (1) :57-61.
Wong, L. D. 2017. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: Buku Kedokteran. EGC
25