Etika dalam Kajian Obat untuk Pasien dalam Kasus di Rumah Sakit
Etika dalam Penyampaian Informasi Hasil Kajian Farmasi Klinis Kepada
Dokter dan Etika dalam Pemilihan Obat kepada Pasien Hasil Kajian
Farmasi Klinis
Di Susun Oleh :
Kelompok 5 AC Farmasi 2017
Tanisa Intan Murbarani 11171020000009
Mukhalifa Addina 11171020000016
Chintia Rakhmadani 11171020000021
Hasna Dzakiyah Martha 11171020000059
Dili Ridho Amali Ikhsan 11171020000072
Aliya Zahra 11171020000065
JAKARTA / 2019
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyanyang. Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-NyA kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah Etika dalam Kajian Obat untuk Pasien dalam Kasus di
Rumah Sakit, Etika dalam Penyampaian Informasi Hasil Kajian Farmasi Klinis
Kepada Dokter dan Etika dalam Pemilihan Obat kepada Pasien Hasil Kajian
Farmasi Klinis.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan
dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karenanya kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca. Akhir kata kami
berharap semoga makalah bisa memberikan manfaat maupun inspirasi untuk
pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
1.3 Tujuan ................................................................................................................. 3
BAB II ................................................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 4
2.1 Definisi ...................................................................................................................... 4
2.1.1 Definisi Rumah Sakit ......................................................................................... 4
2.1.2 Definisi Obat ...................................................................................................... 4
2.1.3 Definisi Resep .................................................................................................... 5
2.1.4 Definisi Pelayanan Farmasi Klinis ..................................................................... 6
BAB III ............................................................................................................................... 8
ISI ........................................................................................................................................ 8
3.1 Etika dalam Kajian Obat untuk Pasien Dalam Kasus di RS ..................................... 8
3.2 Pelayanan Farmasi Klinik ......................................................................................... 8
3.2.1 Pengkajian Resep ............................................................................................... 9
3.2.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat .......................................................... 11
3.2.3 Rekonsiliasi Obat ............................................................................................. 13
3.2.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO) ...................................................................... 14
3.2.5 Konseling ......................................................................................................... 15
3.2.6 Visite ................................................................................................................ 17
3.2.7 Pemantauan Terapi Obat .................................................................................. 17
3.2.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ........................................................ 18
3.2.9 Evaluasi Penggunaan Obat ............................................................................... 19
3.2.10 Dispensing Sediaan Steril .............................................................................. 19
3.2.11 Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah .......................................................... 21
3.3 Etika dalam Penyampaian Informasi Hasil Kajian Farmasi Klinis Kepada Dokter 22
3.4 Etika dalam Pemilihan Obat kepada Pasien Hasil Kajian Farmasi Klinis .............. 22
3.4.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
.................................................................................................................................. 24
ii
3.5 Contoh Nyata Kasus Pelanggaran Undang-Undang dan Etika Kefarmasian .......... 29
3.5.1 Kasus 1 ................................................................................................................. 29
Diduga Salah Dosis Obat, Balita Sulit Bangun dan Oleng ........................................... 29
3.5.2 Kasus 2 .......................................................................................................... 33
PENUTUP ........................................................................................................................ 36
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 37
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat
menyelenggarakan upaya kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, bertujuan untuk mewujudka n derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat (Siregar dan Amelia, 2003). Perkembangan teknologi farmasi dan
kedokteran serta perubahan gaya hidup mengubah tuntutan masyarakat terhadap
pelayanan kefarmasian yang lebih menekankan praktek pengobatan yang aman,
pencegahan kesalahan pengobatan, pelaporan dan pencegahan efek samping,
evaluasi dan tindak lanjut pengobatan, serta pemberian informasi klinis secara
praktis.
International Pharmaceutical Federation menyatakan apoteker akan tetap
berperan penting dalam penyediaan informasi obat yang tepat dan dapat
dipertanggung jawabkan baik lisan maupun tertulis kepada pasien. Dengan akses
informasi dari internet yang makin meningkat, apoteker dapat bertindak sebagai
pemandu dan penerjemah. Penjelasan lisan tetap menjadi prioritas bagi pasien,
tetapi harus terkait erat dengan informasi tertulis. Keduanya harus mencerminkan
pemahaman kesehatan pasien dan perawat. Harus dipastikan bahwa informasi
tertulis bukanlah substitusi diskusi dan pasien didorong untuk menggunakan
informasi tertulis serta mengajukan pertanyaan yang timbul. Apoteker juga harus
bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain untuk menjamin pasien menerima
informasi yang memadai, tepat dan konsisten.
Informasi yang dibutuhkan pasien, pada umumnya adalah informasi
praktis dan kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan
profesional kesehatan. Informasi obat untuk pasien diberikan farmasis sewaktu
menyertai kunjungan tim medik ke ruang pasien, sedangkan untuk pasien rawat
jalan, informasi diberikan sewaktu penyerahan obatnya. Informasi obat untuk
pasien pada umumnya mencangkup cara penggunaan obat, jangka waktu
penggunaan, pengaruh makanan pada obat, penggunaan obat bebas dikaitkan
dengan resep obat, dan sebagainya (Siregar, 2004).
1
Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Salah satu tujuan pelayanan kefarmasian yaitu melindungi pasien dan masyarakat
dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(patient safety) (PMK RI No 58 , 2014).
Medical error merupakan kejadian yang menyebabkan atau berakibat pada
pelayanan kesehatan yang tidak tepat atau membahayakan pasien yang sebenarnya
dapat dihindari. Konsep medication safety mulai menjadi perhatian dunia sejak
November 1999 setelah Institute of Medication (IOM) melaporkan adanya
kejadian yang tidak diharapkan (KTD) pada pasien rawat inap di Amerika
sebanyak 44.000 bahkan 98.000 orang meninggal karena medical error (kesalahan
dalam pelayanan medis) dan 7.000 kasus karena medication error (ME). Terjadi
atau tidaknya suatu kesalahan dalam pelayanan pengobatan terhadap pasien telah
menjadi indikator penting dalam keselamatan pasien. Medication error merupakan
jenis medical error yang paling sering dan banyak terjadi (Kohn L et al., 2000).
Kesalahan pengobatan (medication error) dapat terjadi pada 4 fase, yaitu
kesalahan peresepan (prescribing error), kesalahan penerjemahan resep
(transcribing erorr), kesalahan menyiapkan dan meracik obat (dispensing erorr),
dan kesalahan penyerahan obat kepada pasien (administration error) (Adrini TM,
2015).
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi: penilaian risiko,
identifikasi dan pengelolaan yang berhubungan dengan resiko, identifikasi dan
pengelolaan yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem tersebut diharapkan dapat
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan
(Anonim, 2006).
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana etika dalam penyajian obat di Rumah Sakit?
2. Bagaimana etika penyampaian informasi obat kepada pasien di Rumah Sakit?
3. Bagaimana etika dalam menyampaikan hasil kajian farmasi klinis obat kepada
Dokter?
4. Bagaimana etika dalam pemilihan obat kepada pasien terhadap hasil kajian
farmasi klinis obat?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui etika dalam kajian obat di Rumah Sakit
2. Untuk mengetahui etika dalam penyampaian informasi obat kepada pasien di
Rumah sakit.
3. Untuk mengetahui etika dalam penyampain hasil kajian farmasi klinis obat kepada
Dokter.
4. Untuk mengetahui etika dalam pemilihan obat hasil kajian farmsi klinis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
4
4. Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan
5. Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
6. Penigkatan kesehatan
7. Mengurangi rasa sakit (Chaerunisaa, dkk, 2009).
• Penggolangan obat berdasarkan jenisnya:
1. Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas
Obat Bebas merupakan obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan warung,
tanpa resep dokter, ditandai lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat Bebas Terbatas
(dulu disebut daftar W = Waarschuwing = peringatan), yakni obat-obatan yang
dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai
lingkaran biru bergaris tepi hitam.
2. Obat Keras
Obat keras (dulu disebut obat daftar G = Gevaarlijk = berbahaya), yaitu obat
berkhasiat keras yang untuk mendapatkannya harus dengan resep dokter, memakai
tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya.
3. Psikotropika dan Narkotika
Psikotropika adalah zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau
merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan prilaku. Narkotika
adalah zat atau obatyang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruhpengaruh tertentu bagi
mereka yang menggunakan dengan memasukkannya kedalam tubuh manusia
(Chaerunisaa, dkk, 2009).
5
diperlukan sesuai dengan penyakitnya. Melalui penulisan resep pula, peran, dan
tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat dapat
ditingkatkan karena tidak semua golongan obat dapat diserahkan kepada masarakat
secara bebas. Selain itu, dengan adanya penulisan resep, pemberian obat lebih
rasional dibandingkan dispensing (obat diberikan sendiri oleh dokter), dokter bebas
memilih obat secara tepat, ilmiah, dan selektif. Penulisan resep juga dapat
membentuk pelayanan berorientasi kepada pasien (patient oriented) bukan material
oriented. Resep itu sendiri dapat menjadi medical record yang dapat
dipertanggungjawabkan, sifatnya rahasia.
• Jenis Jenis Resep
1. Resep standar (R/. Officinalis), yaitu resep yang komposisinya telah
dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar lainnya.
Penulisan resep sesuai dengan buku standar.
2. Resep magistrales (R/. Polifarmasi), yaitu resep yang sudah dimodifikasi
atau diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau tunggal yang diencerkan
dalam pelayanannya harus diracik terlebih dahulu.
3. Resep medicinal. Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek
dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak mangalami peracikan. Buku
referensi : Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO), Indonesia Index
Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat di Indonesia (DOI), dan lain-lain.
4. Resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generik
dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya bisa atau tidak
mengalami peracikan (Jas, 2009).
6
Keselamatan pasien merupakan suatu disiplin baru dalam pelayanan
kesehatan yang mengutamakan pelaporan, analisis, dan pencegahan medical error
yang sering menimbulkan Kejadian Tak Diharapkan (KTD) dalam pelayanan
kesehatan. Kegiatan skrining resep yang dilakukan tenaga kefarmasian untuk
mencegah terjadinya keselahan pengobatan (Medication error) (Depkes RI, 2008).
Medical error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama
dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (KepMenKes
No 1027, 2004).
7
BAB III
ISI
3. rekonsiliasi Obat;
5. konseling;
6. visite;
8
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
9
No.1027 tahun 2004, Medication errors adalah kejadian yang merugikan pasien
akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya
dapat dicegah (Anonima, 2004).
a. Faktor penyebab medication erors
Faktor yang mempengaruhi medication errors sangat beragam, masing-
masing dapat berdiri maupun terkait antara satu faktor dengan faktor lain. Faktor
penyebab medication errors adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya pengetahuan tentang obat
2. Kurangnya informasi tentang pasien
3. Kesalahan dan kehilangan arsip
4. Kesalahan dalam tulisan
5. Kesalahan dalam pemeriksaan identitas
6. Kesalahan dalam perhitungan dosis
7. Pengontrolan yang kurang
8. Masalah dalam pengantaran, penyimpanan obat
9. Kesalahan dalam pre parasi
10. Kekurangan standarisasi (Cohen,1999)
b. Pencegahan Medication errors
Langkah pencegahan ditinjau dari perspektif dokter dan farmasis menurut
Cohen (1999) dapat dilakukan dalam proses prescribing dan dispensing , yang antara
lain sebagai berikut:
1. Pada proses prescribing :
a. Nama pasien dipastikan sudah ditulis atau belum.
b. Data lengkap spesifik pasien (nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis
kelamin). Dokter penulis resep harus mengetahui seluk beluk pasien ketika
berobat. Riwayat pengobatan pasien diantaranya adalah: umur, berat badan,
fungsi hati dan ginjal, gejala penyakit yang timbul, pengobatan umum yang
pernah dilakukan, alergi, sampai pada riwayat penyakit keturunan yang ada.
c. Obat generik dan obat paten harus dicantumkan. Pada prinsipnya penggunaan
obat yang mempunyai kandungan sama dihindari.
d. Bentuk kemasan harus tepat.
10
e. Mencantumkan aturan pakai yang jelas, meliputi rute penggunaan dan
frekuensi penggunaan.
f. Tujuan pengobatan harus diketahui dan dimiliki oleh farmasis, perawat,
pasien, supaya tercapai pengobatan yang optimal (Cohen, 1999).
2. Pada proses dispensing :
a. Mengamankan obat yang berpotensi dapat menimbulkan medication errors
b. Mengembangkan dan mengimplementasikan prosedur yang detail dalam
penyimpanan obat
c. Mengurangi kekacauan, merancang sebuah lingkungan peracikan yang aman
dan menciptakan alur kerja yang optimum
d. Menggunakan tanda pengingat seperti label dan komputerisasi dalam
mencegah error seperti kemiripan nama, serta kemiripan pengucapan.
e. Menjaga resep yang asli, label dan mengembalikan kotak-kotak obat setelah
proses peracikan ke tempat yang semula.
f. Dilakukan pengecekan akhir pada kotak-kotak obat setelah peracika selesai.
Dibandingkan isi dari kotak dengan informasi pada label resep
g. Kode identifikasi obat dan label resep dimasukkan dalam komputer.
h. Dilakukan pengecekan akhir pada label resep
i. Disediakan tempat konsultasi untuk pasien (Cohen, 1999).
11
c. mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD);
j. memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat dan alat bantu kepatuhan
minum Obat (concordance aids);
Kegiatan:
a. penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada pasien/keluarganya; dan
12
3.2.3 Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah
terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi,
kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan
terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar
ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan
kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:
a. memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan pasien
b. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi
dokter
c. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.
Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:
a. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan digunakan
pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat mulai diberikan, diganti,
dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping Obat yang
pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek samping Obat, dicatat tanggal
kejadian, Obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek
yang terjadi, dan tingkat keparahan.
Data riwayat penggunaan Obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien,
daftar Obat pasien, Obat yang ada pada pasien, dan rekam medik/medication chart.
Data Obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya.
Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun Obat bebas
termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah, sedang dan akan
digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula
terjadi bila ada Obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini
13
dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun
tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat
menuliskan Resep.
c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi.
Bila ada ketidaksesuaian , maka dokter harus dihubungi kurang dari 24 jam.
Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah:
1. menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja;
2. mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan
3. memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi
Obat.
d. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau perawat
mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab terhadap
informasi Obat yang diberikan. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit)
14
Kegiatan PIO meliputi :
a. menjawab pertanyaan;
b. menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
c. menyediakan informasi bagi Tim Farmasi dan Terapi sehubungan dengan
penyusunan Formularium Rumah Sakit;
d. bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;
e. melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya; dan
f. melakukan penelitian.
Petunjuk teknis mengenai Pelayanan Informasi Obat akan diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.
3.2.5 Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling
untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat
dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau
keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien
dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety).
Secara khusus konseling obat ditujukan untuk:
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien;
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat;
15
d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat
dengan penyakitnya;
e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;
g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal
terapi;
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat
mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
Kegiatan dalam konseling obat meliputi:
16
2. Sarana dan Peralatan:
1) ruangan atau tempat konseling; dan
2) alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).
3.2.6 Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau
terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat
yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta
profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit baik
atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa
disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus mempersiapkan diri
dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi
Obat dari rekam medik atau sumber lain. Petunjuk teknis mengenai visite akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
17
d. pemantauan; dan
e. tindak lanjut.
f. Faktor yang harus diperhatikan:
g. kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini
dan terpercaya (Evidence Best Medicine);
h. kerahasiaan informasi; dan
i. kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).
j. Petunjuk teknis mengenai pemantauan terapi Obat akan diatur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal.
18
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. kerjasama dengan Komite/Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat; dan
b. ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
19
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
a. Pencampuran Obat Suntik
Melakukan pencampuran Obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin
kompatibilitas dan stabilitas Obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang
ditetapkan.
Kegiatan:
1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus;
2) melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang
sesuai; dan
3) mengemas menjadi sediaan siap pakai.
20
pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses
pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya.
Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur
yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai.
Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi:
1) melakukan perhitungan dosis secara akurat;
2) melarutkan sediaan Obat kanker dengan pelarut yang sesuai;
3) mencampur sediaan Obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan;
4) mengemas dalam kemasan tertentu; dan
5) membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.
21
Petunjuk teknis mengenai pemantauan Kadar Obat dalam Darah akan diatur lebih
lanjut oleh Direktur Jenderal.
3.3 Etika dalam Penyampaian Informasi Hasil Kajian Farmasi Klinis Kepada
Dokter
Kode Etik Apoteker Indonesia Bab I Kewajiban Umum
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
1. Seorang Apoteker dalam memberikan informasi kepada pasien / masyarakat
harus dengan cara yang mudah dimengerti dan yakin bahwa informasi tersebut
sesuai, relevan dan “up to date”.
2. Sebelum memberikan informasi, Apoteker harus menggali informasi yang
dibutuhkan dari pasien ataupun orang yang datang menemui Apoteker mengenai
pasien serta penyakitnya.
3. Seorang Apoteker harus mampu berbagi informasi mengenai pelayanan
kepada pasien dengan tenaga profesi kesehatan yang terlibat.
4. Seorang Apoteker harus senantiasa meningkatkan pemahaman masyarakat
terhadap obat, dalam bentuk penyuluhan, memberikan informasi secara jelas,
melakukan monitoring penggunaan obat, dan sebagainya.
5. Kegiatan penyuluhan ini mendapat nilai SKP dari IAI.
3.4 Etika dalam Pemilihan Obat kepada Pasien Hasil Kajian Farmasi Klinis
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
1. Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
22
2. Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. administrasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
3. Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional.
(3) Pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menggambarkan uraian tugas, fungsi, dan tanggung jawab serta hubungan
koordinasi di dalam maupun di luar Pelayanan Kefarmasian yang ditetapkan
oleh pimpinan Rumah Sakit.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya kefarmasian dan
pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
23
Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009
1. Pasal 33
(1) Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan
akuntabel.
(2) Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau
Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur
penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi
umum dan keuangan.
3.4.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai meliputi:
1. Pemilihan
a. Pemilihan obat
Tersedianya berbagai macam obat dipasaran, membuat para pengguna obat
dalam hal ini dokter dan instalasi farmasi rumah sakit tidak mungkin up to date dan
membandingkan berbagai macam obat tersebut. Produk obat yang sangat bervariasi
juga menyebabkan tidak konsistennya pola peresepan dalam suatu sarana pelayanan
kesehatan. Hal ini akan menyulitkan dalam proses peengadaan obat. Disinilah letak
peran seleksi dan perencanaan obat.
Pemilihan merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan
yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,
menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi
sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat
merupakan peran aktif apoteker dalam panitia farmasi dan terapi untuk menetapkan
kualitas dan efektifitas.
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, alat
Kesehatan, dan bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan:
a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
telah ditetapkan
24
c. pola penyakit
d. efektifitas dan keamanan
e. pengobatan berbasis bukti
f. mutu
g. harga, dan
h. ketersediaan di pasaran.
Menurut Juklak Dirjen Yanmed 0428/89, Formularium Rumah Sakit disusun
mengacu kepada Formularium Nasional. Formularium Rumah Sakit merupakan
daftar Obat yang disepakati staf medis fungsional, disusun oleh Komite/Tim
Farmasi dan Terapi yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit. Formularium
Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep, pemberi Obat, dan penyedia
Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap Formularium Rumah Sakit harus secara
rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit.
Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan
berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar
dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi
kebutuhan pengobatan yang rasional.
Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit
a. Membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik
Fungsional (SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik
b. Mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi
c. Membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi, jika
diperlukan dapat meminta masukan dari pakar
d. Mengembalikan rancangan hasil pembahasan Panitia Farmasi dan Terapi,
dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik
e. Membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF
f. Menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit
g. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi dan
h. Melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan
melakukan monitoring.
25
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap Formularium Rumah sakit
Sakit, maka Rumah Sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan penambahan
atau pengurangan obat dalam Formularium Rumah Sakit dengan
mempertimbangkan indikasi penggunaan, efektivitas, risiko dan biaya.
Tahap pemilihan obat merupakan tahap yang paling sulit dalam proses
penyusunan formularium karena keputusan yang diambil merupakan pertimbangan
dari berbagai faktor :
1. Faktor institusional
Obat yang tercantum dalam formularium adalah obat yang sesuai dengan
pola penyakit, populasi penderita dan kebijakan lain rumah sakit
2. Faktor obat
Obat yang tercantum dalam formularium harus mempertimbangkan
efektivitas, keamanan, profil farmakokinetik dan farmakodinamik, ketersediaan obat
dan fasilitas untuk penyimpanan atau pembuatan, kualitas produk obat, reaksi obat
yang merugikan serta kemudahan dalam penggunaan produk obat telah memiliki
izin edar dari Departemen Kesehatan
Sebelum memilih obat diperlukan adanya suatu kriteria yang digunakan oleh
tim revisi DOEN seperti :
1) Memiliki rasio manfaat resiko (benefit risk-ratio) yang paling
menguntungkan penderita
2) Mutu terjamin termasuk stabilitas dan bioavailibilitas
3) Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
4) Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga,
sarana dan fasilitas kesehatan
5) Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita
6) Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan
biaya langsung dan tidak langsung
7) Jika terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa,
pilihan dijatuhkan pada :
• Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
• Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan
• Obat yang stabilitasnya lebih baik
26
• Mudah diperoleh
• Obat yang telah dikenal
8) Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut :
• Obat hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk kombinasi tetap
• Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih
tinggi daripada masing-masing komponen
• Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan
yang tetap untuk sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi
tersebut
• Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaaat-biaya (benefit-cost
ratio)
• Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau
mengurangi terjadinya resisten dan efek merugikan lainnya.
3. Faktor biaya
Setelah pertimbangan ilmiah dibuat, KFT harus mempertimbangkan biaya
terapi obat secara keseluruhan. Hal termasuk biaya sediaan obat, biaya penyiapan
obat, biaya pemberian obat, dan biaya monitoring selama penggunaan obat. Obat
terpilih adalah obat dengan biaya terapi keseluruhan yang paling rendah.
Menurut Permenkes no 72 th 2016
Komite/Tim Farmasi dan Terapi
Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Komite/Tim Farmasi dan Terapi
yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan
Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan Obat di Rumah Sakit yang
anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah
Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus dapat membina hubungan kerja dengan
komite lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan
Obat. Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang dokter atau
seorang Apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah Apoteker,
namun apabila diketuai oleh Apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur,
sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar rapat diadakan sekali
27
dalam satu bulan. Rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar
dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit yang dapat memberikan masukan bagi
pengelolaan Komite/Tim Farmasi dan Terapi, memiliki pengetahuan khusus,
keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi Komite/Tim Farmasi
dan Terapi.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi mempunyai tugas:
1. mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di Rumah Sakit;
2. melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk dalam formularium
Rumah Sakit;
3. mengembangkan standar terapi;
4. mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat;
5. melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang rasional;
6. mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;
7. mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
8. menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan Obat di Rumah
Sakit.
28
3.5 Contoh Nyata Kasus Pelanggaran Undang-Undang dan Etika Kefarmasian
3.5.1 Kasus 1
Akibat salah memberikan dosis obat pada pasien akhirnya pasien sulit
bangun dan oleng saat berdiri. Hal tersebut dialami oleh Al Novriansyah balita
berumur 1,8 tahun warga Bila Utara Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng
Sulawesi Selatan. Orang tua pasien mengatakan setelah meminum obat dari resep
dokter yang diambil di apoteker RSUD Latemmamala pasien sulit bangun atau jika
bangun, pasien oleng dan selalu mau jatuh. Anaknya yang dibawa ke rumah sakit
seminggu lalu mengalami penyakit demam lalu dokter RSUD Latemmamala
memberikan resep dan resep tersebut diserahkan ke apotek yang berada di rumah
sakit yang selanjutnya diberikan obat. Orang tua pasien curiga karena dokter
memberi resep untuk dikonsumsi selama sebulan tetapi setelah diberikan obat oleh
apoteker hanya untuk 15 hari dan diduga mungkin apotek salah memberi obat. Pihak
dokter menghubungi dan menyuruh menyimpan sisa obat pada pasien untuk
diperiksa komposisinya serta menyuruh membawa pasien ke rumah sakit untuk
diperiksa kembali ginjal, hati, dan lambung dikhawatirkan overdosis terhadap obat.
Menyikapi kasus ini Dirut RSUD Latemmamala dr. Hj. Nirwana mengkonfirmasi
29
bahwa hal ini belum diketahui dan akan diinvestigasi kembali sehingga belum ada
penyelesaian terhadap kasus ini.
Analisa kasus :
¾ Pada kasus ini apoteker melanggar hukum karena dalam pemberian resep dokter
ini secara jelas dapat kita lihat di dalam Pasal 21 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang
menyatakan bahwa “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
dilaksanakan oleh Apoteker”. Sebelum obat diberikan kepada pasien, apoteker
harus terlebih dahulu menanyakan lagi nama pasien dan menjelaskan dosis
penggunaan obat tersebut dan meminta tanda tangan pasien sebagai tanda bukti
bahwa pasien mengerti penjelasan penggunaan obat serta dosisnya. Pemberian
obat dari apoteker ini memang sebelumnya melalui rangkaian pemeriksaan dari
dokter umum atau spesialis melalui resep kepada pasien.
¾ Pasal 9 Kode Etik Apoteker Indonesia:
“Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak pasien, dan melindungi makhluk
hidup insani.”
Penyelesaian :
30
Pasal 47, “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.”
Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi
dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku
usaha, selanjutnya dikuatkan dengan putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua
dan anggota majelis.
Dokter ikut bertanggungjawab ketika terjadi kesalahan pada pemberiaan obat
oleh Lex Privatum Vol. VI/No. 4/Jun/2018 114 apoteker. Ini sesuai juga dengan asas
vicarius liability. Kesalahan ini dapat dipertanggungjawaban oleh dokter ketika
apoteker telah menjalankan profesinya sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian
khususnya pada standar pelayanan resep di apotek. Dengan cara, apoteker harus
melakukan kajian resep setelah menerima resep dari pasien, jika ada kekeliruaan
atau tulisan tidak dapat terbaca, maka harus mengkonfirmasi pada dokter. Jika
dokter tidak dapat dihubungi maka pelayanan resep harus ditunda, dan tidak dapat
melakukan penafsiran sendiri. Apabila apoteker telah mengkonfirmasi dan dokter
tetap pada pendiriannya maka dokter wajib menandatangani resep obat yang
dosisnya berlebih tersebut, artinya tanggungjawab jika terjadi kesalahan berada pada
dokternya.
Sesuai ketentuan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Ketentuan Pidana Pasal 84, sanksi yang diberikan: a) Setiap tenaga kesehatan yang
melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka
berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. b) Jika kelalaian
berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap tenaga
kesehatn dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Tanggungjawab dan sanksi yang di terapkan bagi tenaga kesehatan ataupun
apoteker yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam memberikan obat sehingga
mengakibatkan pasien atau dalam hal ini konsumen menderita kerugian materi, fisik
bahkan sampai meninggal dunia maka sanksi yang dapat diberikan adalah sanksi
administrasi berupa teguran sampai pembekuan izin tenaga kesehatan kemudian
31
sanksi keperdataan berupa ganti rugi dalam hal perbuatan melawan hukum bahkan
sanksi pidana berupa hukuman fisik yaitu pemenjaraan dalam waktu tertentu.
32
3.5.2 Kasus 2
Tidak Sesuai Resep Dokter, Pasien JKN-BPJS Kes Tolak Obat Dari Instalasi
Farmasi RSU Bhayangkara Tebing Tinggi
33
Ibu Rv tidak mendapatkan obat sesuai jenis dan jumlah yang diresepkan
dokter karena petugas instalasi farmasi mengatakan obat tersebut tidak ada dan tidak
masuk dalam daftar Formularium Obat Nasional (Fornas) dan kebijakan ini
dikatakannya berdasarkan arahan dari petugas BPJS dirumah sakit. Petugas
pelayanan BPJS Kesehatan di internal RSU Bhayangkara menerangkan bahwa obat
jenis yang diresepkan dokter spesialis tersebut tidak ada dalam daftar Fornas dan
menyarankan pasien membelinya di apotek luar RS.
Ketika disinggung harga obat yang tertera pada resep dokter dengan obat
yang diberikan petugas berbeda dan ada selisih nya petugas mengaku bukan
kewenanganya. Menurut petunjuk teknis dan pelaksanaan yang ada pada Lampiran
Keputusan Dirjen Binfar dan Alkes Nomor : HK.02.03/III/1346/2014 jelas ada
menguraikan tentang daftar tabel obat dan jenis golongan penyakit, namun tidak ada
menyebut merek suatu produk.
Pada realitanya ada pasien yang mendapatkan penjelasan dari petugas medis
di RS rujukan ada menyebut obat tertentu itu “tidak ada dalam daftar Fornas” atau
“obat diresep dokter spesialis itu tidak ada” dan meggantikanya dengan obat merek
lain yang dianggap petugas berkasiat sama dengan yang diresepkan namun harganya
berselisih. Padahal dengan adanya Fornas Pemerintah berharap pasien akan
mendapatkan obat terpilih yang tepat, berkhasiat, bermutu, aman dan terjangkau.
Analisa Kasus :
Kasus tersebut melanggar hak pasien karena kondisi tubuh pasien memburuk dan
dirawat inap lagi dengan itu pasien menolak salah satu jenis obat karena tidak
mendapatkan obat sesuai jenis dan jumlah yang diresepkan dokter sehingga dalam
kasus ini dapat melanggar :
34
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
b. Pasal 5 ayat 3, Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
35
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Informasi yang dibutuhkan pasien, pada umumnya adalah informasi praktis
dan kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan
profesional kesehatan.
2. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep ada kekeliruan atau
penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada
dokter penulis resep.
3. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan
36
DAFTAR PUSTAKA
Drs rusli, Sp. 2006. Farmasi Rumah Sakit Dan Klinik. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
37