Anda di halaman 1dari 41

UNDANG-UNDANG DAN ETIKA FARMASI

Etika dalam Kajian Obat untuk Pasien dalam Kasus di Rumah Sakit
Etika dalam Penyampaian Informasi Hasil Kajian Farmasi Klinis Kepada
Dokter dan Etika dalam Pemilihan Obat kepada Pasien Hasil Kajian
Farmasi Klinis

Di Susun Oleh :
Kelompok 5 AC Farmasi 2017
Tanisa Intan Murbarani 11171020000009
Mukhalifa Addina 11171020000016
Chintia Rakhmadani 11171020000021
Hasna Dzakiyah Martha 11171020000059
Dili Ridho Amali Ikhsan 11171020000072
Aliya Zahra 11171020000065

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA / 2019


 
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyanyang. Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-NyA kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah Etika dalam Kajian Obat untuk Pasien dalam Kasus di
Rumah Sakit, Etika dalam Penyampaian Informasi Hasil Kajian Farmasi Klinis
Kepada Dokter dan Etika dalam Pemilihan Obat kepada Pasien Hasil Kajian
Farmasi Klinis.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan
dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karenanya kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca. Akhir kata kami
berharap semoga makalah bisa memberikan manfaat maupun inspirasi untuk
pembaca.

Ciputat, 14 Desember 2019

Penyusun


 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i 
BAB I .................................................................................................................................. 1 
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 
1.1  Latar Belakang .................................................................................................... 1 
1.2  Rumusan Masalah ............................................................................................... 3 
1.3  Tujuan ................................................................................................................. 3 
BAB II ................................................................................................................................. 4 
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 4 
2.1 Definisi ...................................................................................................................... 4 
2.1.1 Definisi Rumah Sakit ......................................................................................... 4 
2.1.2 Definisi Obat ...................................................................................................... 4 
2.1.3 Definisi Resep .................................................................................................... 5 
2.1.4 Definisi Pelayanan Farmasi Klinis ..................................................................... 6 
BAB III ............................................................................................................................... 8 
ISI ........................................................................................................................................ 8 
3.1 Etika dalam Kajian Obat untuk Pasien Dalam Kasus di RS ..................................... 8 
3.2 Pelayanan Farmasi Klinik ......................................................................................... 8 
3.2.1 Pengkajian Resep ............................................................................................... 9 
3.2.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat .......................................................... 11 
3.2.3 Rekonsiliasi Obat ............................................................................................. 13 
3.2.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO) ...................................................................... 14 
3.2.5 Konseling ......................................................................................................... 15 
3.2.6 Visite ................................................................................................................ 17 
3.2.7 Pemantauan Terapi Obat .................................................................................. 17 
3.2.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ........................................................ 18 
3.2.9 Evaluasi Penggunaan Obat ............................................................................... 19 
3.2.10 Dispensing Sediaan Steril .............................................................................. 19 
3.2.11 Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah .......................................................... 21 
3.3 Etika dalam Penyampaian Informasi Hasil Kajian Farmasi Klinis Kepada Dokter 22 
3.4 Etika dalam Pemilihan Obat kepada Pasien Hasil Kajian Farmasi Klinis .............. 22 
3.4.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
 .................................................................................................................................. 24 

ii 
 
3.5 Contoh Nyata Kasus Pelanggaran Undang-Undang dan Etika Kefarmasian .......... 29 
3.5.1 Kasus 1 ................................................................................................................. 29 
Diduga Salah Dosis Obat, Balita Sulit Bangun dan Oleng ........................................... 29 
3.5.2  Kasus 2 .......................................................................................................... 33 
PENUTUP ........................................................................................................................ 36 
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 36 
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 37 
 

iii 
 
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat
menyelenggarakan upaya kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, bertujuan untuk mewujudka n derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat (Siregar dan Amelia, 2003). Perkembangan teknologi farmasi dan
kedokteran serta perubahan gaya hidup mengubah tuntutan masyarakat terhadap
pelayanan kefarmasian yang lebih menekankan praktek pengobatan yang aman,
pencegahan kesalahan pengobatan, pelaporan dan pencegahan efek samping,
evaluasi dan tindak lanjut pengobatan, serta pemberian informasi klinis secara
praktis.
International Pharmaceutical Federation menyatakan apoteker akan tetap
berperan penting dalam penyediaan informasi obat yang tepat dan dapat
dipertanggung jawabkan baik lisan maupun tertulis kepada pasien. Dengan akses
informasi dari internet yang makin meningkat, apoteker dapat bertindak sebagai
pemandu dan penerjemah. Penjelasan lisan tetap menjadi prioritas bagi pasien,
tetapi harus terkait erat dengan informasi tertulis. Keduanya harus mencerminkan
pemahaman kesehatan pasien dan perawat. Harus dipastikan bahwa informasi
tertulis bukanlah substitusi diskusi dan pasien didorong untuk menggunakan
informasi tertulis serta mengajukan pertanyaan yang timbul. Apoteker juga harus
bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain untuk menjamin pasien menerima
informasi yang memadai, tepat dan konsisten.
Informasi yang dibutuhkan pasien, pada umumnya adalah informasi
praktis dan kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan
profesional kesehatan. Informasi obat untuk pasien diberikan farmasis sewaktu
menyertai kunjungan tim medik ke ruang pasien, sedangkan untuk pasien rawat
jalan, informasi diberikan sewaktu penyerahan obatnya. Informasi obat untuk
pasien pada umumnya mencangkup cara penggunaan obat, jangka waktu
penggunaan, pengaruh makanan pada obat, penggunaan obat bebas dikaitkan
dengan resep obat, dan sebagainya (Siregar, 2004).


 
Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Salah satu tujuan pelayanan kefarmasian yaitu melindungi pasien dan masyarakat
dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(patient safety) (PMK RI No 58 , 2014).
Medical error merupakan kejadian yang menyebabkan atau berakibat pada
pelayanan kesehatan yang tidak tepat atau membahayakan pasien yang sebenarnya
dapat dihindari. Konsep medication safety mulai menjadi perhatian dunia sejak
November 1999 setelah Institute of Medication (IOM) melaporkan adanya
kejadian yang tidak diharapkan (KTD) pada pasien rawat inap di Amerika
sebanyak 44.000 bahkan 98.000 orang meninggal karena medical error (kesalahan
dalam pelayanan medis) dan 7.000 kasus karena medication error (ME). Terjadi
atau tidaknya suatu kesalahan dalam pelayanan pengobatan terhadap pasien telah
menjadi indikator penting dalam keselamatan pasien. Medication error merupakan
jenis medical error yang paling sering dan banyak terjadi (Kohn L et al., 2000).
Kesalahan pengobatan (medication error) dapat terjadi pada 4 fase, yaitu
kesalahan peresepan (prescribing error), kesalahan penerjemahan resep
(transcribing erorr), kesalahan menyiapkan dan meracik obat (dispensing erorr),
dan kesalahan penyerahan obat kepada pasien (administration error) (Adrini TM,
2015).
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi: penilaian risiko,
identifikasi dan pengelolaan yang berhubungan dengan resiko, identifikasi dan
pengelolaan yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem tersebut diharapkan dapat
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan
(Anonim, 2006).


 
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana etika dalam penyajian obat di Rumah Sakit?
2. Bagaimana etika penyampaian informasi obat kepada pasien di Rumah Sakit?
3. Bagaimana etika dalam menyampaikan hasil kajian farmasi klinis obat kepada
Dokter?
4. Bagaimana etika dalam pemilihan obat kepada pasien terhadap hasil kajian
farmasi klinis obat?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui etika dalam kajian obat di Rumah Sakit
2. Untuk mengetahui etika dalam penyampaian informasi obat kepada pasien di
Rumah sakit.
3. Untuk mengetahui etika dalam penyampain hasil kajian farmasi klinis obat kepada
Dokter.
4. Untuk mengetahui etika dalam pemilihan obat hasil kajian farmsi klinis.


 
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2.1.1 Definisi Rumah Sakit


Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
pengertian rumah sakit ialah Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Lalu, Pada
undang-undang yang sama mengenai rumah sakit Bagian Penjelasan dari pasal 15
(Bagian Keenam Kefarmasian) yang dimaksud dengan “instalasi farmasi” adalah
bagian dari rumah sakit yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan,
mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta elaksanakan
pembinaan teknis kefarmasian di Rumah Sakit. Undang-Undang RI No. 44 tahun
2009 tentang rumah sakit yang diterbitkan hampir bersamaan waktunya dan
melengkapi Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-
Undang RI No. 35 tahun 2009 tentang narkotika dan peraturan pemerintah No. 51
tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian mendefinisikan rumah sakit sebagai
bentuk pelayanan kesehatan terintegrasi yang melibatkan banyak profesi termasuk
apoteker.

2.1.2 Definisi Obat


Obat merupakan sedian atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan
dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, 2005). Defenisi menurut Ansel (1985),
obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.
Seperti yang telah dituliskan pada pengertian obat di atas, maka peran obat
secara umum adalah sebagai berikut:
1. Penetapan diagnosa
2. Untuk pencegahan penyakit
3. Menyembuhkan penyakit


 
4. Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan
5. Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
6. Penigkatan kesehatan
7. Mengurangi rasa sakit (Chaerunisaa, dkk, 2009).
• Penggolangan obat berdasarkan jenisnya:
1. Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas
Obat Bebas merupakan obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan warung,
tanpa resep dokter, ditandai lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat Bebas Terbatas
(dulu disebut daftar W = Waarschuwing = peringatan), yakni obat-obatan yang
dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai
lingkaran biru bergaris tepi hitam.
2. Obat Keras
Obat keras (dulu disebut obat daftar G = Gevaarlijk = berbahaya), yaitu obat
berkhasiat keras yang untuk mendapatkannya harus dengan resep dokter, memakai
tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya.
3. Psikotropika dan Narkotika
Psikotropika adalah zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau
merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan prilaku. Narkotika
adalah zat atau obatyang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruhpengaruh tertentu bagi
mereka yang menggunakan dengan memasukkannya kedalam tubuh manusia
(Chaerunisaa, dkk, 2009).

2.1.3 Definisi Resep


Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter
hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
kepada apoteker pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat, meracik
serta menyerahkan obat kepada pasien (Syamsuni, 2006).
Penulisan resep bertujuan untuk memudahkan dokter dalam pelayanan
kesehatan di bidang farmasi sekaligus meminimalkan kesalahan dalam pemberian
obat. Umumnya, rentang waktu buka instalasi farmasi/ apotek dalam pelayanan
farmasi jauh lebih panjang daripada praktik dokter, sehingga dengan penulisan resep
diharapkan akan memudahkan pasien dalam mengakses obat-obatan yang


 
diperlukan sesuai dengan penyakitnya. Melalui penulisan resep pula, peran, dan
tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat dapat
ditingkatkan karena tidak semua golongan obat dapat diserahkan kepada masarakat
secara bebas. Selain itu, dengan adanya penulisan resep, pemberian obat lebih
rasional dibandingkan dispensing (obat diberikan sendiri oleh dokter), dokter bebas
memilih obat secara tepat, ilmiah, dan selektif. Penulisan resep juga dapat
membentuk pelayanan berorientasi kepada pasien (patient oriented) bukan material
oriented. Resep itu sendiri dapat menjadi medical record yang dapat
dipertanggungjawabkan, sifatnya rahasia.
• Jenis Jenis Resep
1. Resep standar (R/. Officinalis), yaitu resep yang komposisinya telah
dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar lainnya.
Penulisan resep sesuai dengan buku standar.
2. Resep magistrales (R/. Polifarmasi), yaitu resep yang sudah dimodifikasi
atau diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau tunggal yang diencerkan
dalam pelayanannya harus diracik terlebih dahulu.
3. Resep medicinal. Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek
dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak mangalami peracikan. Buku
referensi : Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO), Indonesia Index
Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat di Indonesia (DOI), dan lain-lain.
4. Resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generik
dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya bisa atau tidak
mengalami peracikan (Jas, 2009).

2.1.4 Definisi Pelayanan Farmasi Klinis


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)
terjamin. (Permenkes no 72 tahun 2016). Apabila apoteker menganggap bahwa
dalam resep ada kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus
memberitahukan kepada dokter penulis resep. (Anief, M., 2000).


 
Keselamatan pasien merupakan suatu disiplin baru dalam pelayanan
kesehatan yang mengutamakan pelaporan, analisis, dan pencegahan medical error
yang sering menimbulkan Kejadian Tak Diharapkan (KTD) dalam pelayanan
kesehatan. Kegiatan skrining resep yang dilakukan tenaga kefarmasian untuk
mencegah terjadinya keselahan pengobatan (Medication error) (Depkes RI, 2008).
Medical error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama
dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (KepMenKes
No 1027, 2004).


 
BAB III

ISI

3.1 Etika dalam Kajian Obat untuk Pasien Dalam Kasus di RS


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
1. Pasal 1 ayat 4 :
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik
dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat
bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.
2. Pasal 1 ayat 5 :
Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
3. Pasal 1 ayat 6 :
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki system fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan,penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.

3.2 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)
terjamin.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan Resep;

2. penelusuran riwayat penggunaan Obat;

3. rekonsiliasi Obat;

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);

5. konseling;

6. visite;

7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);


 
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);

9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);

10. dispensing sediaan steril; dan

11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);

3.2.1 Pengkajian Resep


Pengkajian resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait obat,
bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis
resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun
rawat jalan (Menkes RI, 2016).
Persyaratan administrasi meliputi :
a. Nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien
b. Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter
c. Tanggal resep
d. Ruangan/ unit asal resep(Menkes RI, 2016).
Persyaratan farmasetik meliputi :
a. Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan
b. Dosis dan jumlah obat
c. Stabilitas
e. Aturan dan cara penggunaan
Persyaratan klinis meliputi :
a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu pemggunaan obat
b. Duplikasi pengobatan
c. Alergi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
d. Kontraindikasi
e. Interaksi obat (Menkes RI, 2016).
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk
peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada tahap
alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian
obat (medication error) (Menkes RI, 2016). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan


 
No.1027 tahun 2004, Medication errors adalah kejadian yang merugikan pasien
akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya
dapat dicegah (Anonima, 2004).
a. Faktor penyebab medication erors
Faktor yang mempengaruhi medication errors sangat beragam, masing-
masing dapat berdiri maupun terkait antara satu faktor dengan faktor lain. Faktor
penyebab medication errors adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya pengetahuan tentang obat
2. Kurangnya informasi tentang pasien
3. Kesalahan dan kehilangan arsip
4. Kesalahan dalam tulisan
5. Kesalahan dalam pemeriksaan identitas
6. Kesalahan dalam perhitungan dosis
7. Pengontrolan yang kurang
8. Masalah dalam pengantaran, penyimpanan obat
9. Kesalahan dalam pre parasi
10. Kekurangan standarisasi (Cohen,1999)
b. Pencegahan Medication errors
Langkah pencegahan ditinjau dari perspektif dokter dan farmasis menurut
Cohen (1999) dapat dilakukan dalam proses prescribing dan dispensing , yang antara
lain sebagai berikut:
1. Pada proses prescribing :
a. Nama pasien dipastikan sudah ditulis atau belum.
b. Data lengkap spesifik pasien (nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis
kelamin). Dokter penulis resep harus mengetahui seluk beluk pasien ketika
berobat. Riwayat pengobatan pasien diantaranya adalah: umur, berat badan,
fungsi hati dan ginjal, gejala penyakit yang timbul, pengobatan umum yang
pernah dilakukan, alergi, sampai pada riwayat penyakit keturunan yang ada.
c. Obat generik dan obat paten harus dicantumkan. Pada prinsipnya penggunaan
obat yang mempunyai kandungan sama dihindari.
d. Bentuk kemasan harus tepat.

10 
 
e. Mencantumkan aturan pakai yang jelas, meliputi rute penggunaan dan
frekuensi penggunaan.
f. Tujuan pengobatan harus diketahui dan dimiliki oleh farmasis, perawat,
pasien, supaya tercapai pengobatan yang optimal (Cohen, 1999).
2. Pada proses dispensing :
a. Mengamankan obat yang berpotensi dapat menimbulkan medication errors
b. Mengembangkan dan mengimplementasikan prosedur yang detail dalam
penyimpanan obat
c. Mengurangi kekacauan, merancang sebuah lingkungan peracikan yang aman
dan menciptakan alur kerja yang optimum
d. Menggunakan tanda pengingat seperti label dan komputerisasi dalam
mencegah error seperti kemiripan nama, serta kemiripan pengucapan.
e. Menjaga resep yang asli, label dan mengembalikan kotak-kotak obat setelah
proses peracikan ke tempat yang semula.
f. Dilakukan pengecekan akhir pada kotak-kotak obat setelah peracika selesai.
Dibandingkan isi dari kotak dengan informasi pada label resep
g. Kode identifikasi obat dan label resep dimasukkan dalam komputer.
h. Dilakukan pengecekan akhir pada label resep
i. Disediakan tempat konsultasi untuk pasien (Cohen, 1999).

3.2.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah
dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau
data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien.
Tahapan penelusuran riwayat penggunaan Obat:
a. membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data rekam
medik/pencatatan penggunaan Obat untuk mengetahui perbedaan informasi
penggunaan Obat;

b. melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat yang diberikan oleh tenaga


kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan;

11 
 
c. mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD);

d. mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat;

e. melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan Obat;

f. melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan;

g. melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap Obat yang


digunakan;

h. melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat;

i. melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat;

j. memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat dan alat bantu kepatuhan
minum Obat (concordance aids);

k. mendokumentasikan Obat yang digunakan pasien sendiri tanpa


sepengetahuan dokter; dan

l. mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan alternatif


yang mungkin digunakan oleh pasien.

Kegiatan:
a. penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada pasien/keluarganya; dan

b. melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan Obat pasien.

Informasi yang harus didapatkan:


a. nama Obat (termasuk Obat non Resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi
penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat;

b. reaksi Obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan

c. kepatuhan terhadap regimen penggunaan Obat (jumlah Obat yang tersisa).

d. Petunjuk teknis mengenai penelusuran riwayat penggunaan Obat akan diatur


lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

12 
 
3.2.3 Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah
terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi,
kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan
terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar
ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan
kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:
a. memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan pasien
b. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi
dokter
c. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.
Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:
a. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan digunakan
pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat mulai diberikan, diganti,
dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping Obat yang
pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek samping Obat, dicatat tanggal
kejadian, Obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek
yang terjadi, dan tingkat keparahan.
Data riwayat penggunaan Obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien,
daftar Obat pasien, Obat yang ada pada pasien, dan rekam medik/medication chart.
Data Obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya.
Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun Obat bebas
termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah, sedang dan akan
digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula
terjadi bila ada Obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini

13 
 
dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun
tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat
menuliskan Resep.
c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi.
Bila ada ketidaksesuaian , maka dokter harus dihubungi kurang dari 24 jam.
Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah:
1. menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja;
2. mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan
3. memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi
Obat.
d. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau perawat
mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab terhadap
informasi Obat yang diberikan. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit)

3.2.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan
kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen,
akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada
dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di
luar Rumah Sakit.

PIO bertujuan untuk :


a. menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit;
b. menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai, terutama bagi Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
c. menunjang penggunaan Obat yang rasional.

14 
 
Kegiatan PIO meliputi :
a. menjawab pertanyaan;
b. menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
c. menyediakan informasi bagi Tim Farmasi dan Terapi sehubungan dengan
penyusunan Formularium Rumah Sakit;
d. bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;
e. melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya; dan
f. melakukan penelitian.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO :


a. sumber daya manusia;
b. tempat; dan
c. perlengkapan.

Petunjuk teknis mengenai Pelayanan Informasi Obat akan diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.

3.2.5 Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling
untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat
dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau
keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien
dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety).
Secara khusus konseling obat ditujukan untuk:
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien;
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat;

15 
 
d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat
dengan penyakitnya;
e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;
g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal
terapi;
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat
mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
Kegiatan dalam konseling obat meliputi:

a) membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;


b) mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat
melalui Three Prime Questions;
c) menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat;
d) memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
pengunaan obat;
e) melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien; dan
f) dokumentasi.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling obat:
1. Kriteria Pasien:
1) pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil
dan menyusui);
2) pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan
lain-lain);
3) pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan
kortiksteroid dengan tappering down/off);
4) pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
phenytoin);
5) pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi); dan
6) pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.

16 
 
2. Sarana dan Peralatan:
1) ruangan atau tempat konseling; dan
2) alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).

3.2.6 Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau
terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat
yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta
profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit baik
atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa
disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus mempersiapkan diri
dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi
Obat dari rekam medik atau sumber lain. Petunjuk teknis mengenai visite akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

3.2.7 Pemantauan Terapi Obat


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan
risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
a. pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
b. pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan
c. pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.
Tahapan PTO:
a. pengumpulan data pasien;
b. identifikasi masalah terkait Obat;
c. rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;

17 
 
d. pemantauan; dan
e. tindak lanjut.
f. Faktor yang harus diperhatikan:
g. kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini
dan terpercaya (Evidence Best Medicine);
h. kerahasiaan informasi; dan
i. kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).
j. Petunjuk teknis mengenai pemantauan terapi Obat akan diatur lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal.

3.2.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek
Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi.
MESO bertujuan:
a. menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang;
b. menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
saja ditemukan;
c. mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO;
d. meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang idak dikehendaki; dan
e. mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.

Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:


a. mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
b. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO;
c. mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d. mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Komite/Tim
Farmasi dan Terapi;
e. melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.

18 
 
Faktor yang perlu diperhatikan:

a. kerjasama dengan Komite/Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat; dan
b. ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

3.2.9 Evaluasi Penggunaan Obat


Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan
Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
a. mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat;
b. membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu;
c. memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat; dan
d. menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.

Kegiatan praktek EPO:


a. mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif; dan
b. mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:


a. indikator peresepan;
b. indikator pelayanan; dan
c. indikator fasilitas.

3.2.10 Dispensing Sediaan Steril


Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik
aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari
paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
Dispensing sediaan steril bertujuan:
a. menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan;
b. menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
c. melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
d. menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.

19 
 
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
a. Pencampuran Obat Suntik
Melakukan pencampuran Obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin
kompatibilitas dan stabilitas Obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang
ditetapkan.
Kegiatan:
1) mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus;
2) melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang
sesuai; dan
3) mengemas menjadi sediaan siap pakai.

Faktor yang perlu diperhatikan:


1) ruangan khusus;
2) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan
3) HEPA Filter.
b. Penyiapan Nutrisi Parenteral

Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh tenaga


yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas
sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai.
Kegiatan dalam dispensing sediaan khusus:
1) Mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk
kebutuhan perorangan; dan
2) mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi.

Faktor yang perlu diperhatikan:


1) tim yang terdiri dari dokter, Apoteker, perawat, ahli gizi;
2) sarana dan peralatan;
3) ruangan khusus;
4) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan
5) kantong khusus untuk nutrisi parenteral. c. Penanganan Sediaan Sitostatik

Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan Obat kanker secara


aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang
terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun
sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat

20 
 
pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses
pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya.
Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur
yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai.
Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi:
1) melakukan perhitungan dosis secara akurat;
2) melarutkan sediaan Obat kanker dengan pelarut yang sesuai;
3) mencampur sediaan Obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan;
4) mengemas dalam kemasan tertentu; dan
5) membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.

Faktor yang perlu diperhatikan:


1) ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai;
2) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet;
3) HEPA filter;
4) Alat Pelindung Diri (APD);
5) sumber daya manusia yang terlatih; dan
6) cara pemberian Obat kanker.

3.2.11 Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah


Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
PKOD bertujuan:
a. mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan
b. memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi:
a. melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan
Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
b. mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan
Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan

a. menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan


memberikan rekomendasi.

21 
 
Petunjuk teknis mengenai pemantauan Kadar Obat dalam Darah akan diatur lebih
lanjut oleh Direktur Jenderal.

3.3 Etika dalam Penyampaian Informasi Hasil Kajian Farmasi Klinis Kepada
Dokter
Kode Etik Apoteker Indonesia Bab I Kewajiban Umum
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
1. Seorang Apoteker dalam memberikan informasi kepada pasien / masyarakat
harus dengan cara yang mudah dimengerti dan yakin bahwa informasi tersebut
sesuai, relevan dan “up to date”.
2. Sebelum memberikan informasi, Apoteker harus menggali informasi yang
dibutuhkan dari pasien ataupun orang yang datang menemui Apoteker mengenai
pasien serta penyakitnya.
3. Seorang Apoteker harus mampu berbagi informasi mengenai pelayanan
kepada pasien dengan tenaga profesi kesehatan yang terlibat.
4. Seorang Apoteker harus senantiasa meningkatkan pemahaman masyarakat
terhadap obat, dalam bentuk penyuluhan, memberikan informasi secara jelas,
melakukan monitoring penggunaan obat, dan sebagainya.
5. Kegiatan penyuluhan ini mendapat nilai SKP dari IAI.

3.4 Etika dalam Pemilihan Obat kepada Pasien Hasil Kajian Farmasi Klinis
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
1. Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

22 
 
2. Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. administrasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
3. Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional.
(3) Pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menggambarkan uraian tugas, fungsi, dan tanggung jawab serta hubungan
koordinasi di dalam maupun di luar Pelayanan Kefarmasian yang ditetapkan
oleh pimpinan Rumah Sakit.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya kefarmasian dan
pengorganisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

23 
 
Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009
1. Pasal 33
(1) Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan
akuntabel.
(2) Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau
Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur
penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi
umum dan keuangan.

3.4.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai meliputi:
1. Pemilihan
a. Pemilihan obat
Tersedianya berbagai macam obat dipasaran, membuat para pengguna obat
dalam hal ini dokter dan instalasi farmasi rumah sakit tidak mungkin up to date dan
membandingkan berbagai macam obat tersebut. Produk obat yang sangat bervariasi
juga menyebabkan tidak konsistennya pola peresepan dalam suatu sarana pelayanan
kesehatan. Hal ini akan menyulitkan dalam proses peengadaan obat. Disinilah letak
peran seleksi dan perencanaan obat.
Pemilihan merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan
yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,
menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi
sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat
merupakan peran aktif apoteker dalam panitia farmasi dan terapi untuk menetapkan
kualitas dan efektifitas.
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, alat
Kesehatan, dan bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan:
a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
telah ditetapkan

24 
 
c. pola penyakit
d. efektifitas dan keamanan
e. pengobatan berbasis bukti
f. mutu
g. harga, dan
h. ketersediaan di pasaran.
Menurut Juklak Dirjen Yanmed 0428/89, Formularium Rumah Sakit disusun
mengacu kepada Formularium Nasional. Formularium Rumah Sakit merupakan
daftar Obat yang disepakati staf medis fungsional, disusun oleh Komite/Tim
Farmasi dan Terapi yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit. Formularium
Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep, pemberi Obat, dan penyedia
Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap Formularium Rumah Sakit harus secara
rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit.
Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan
berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar
dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi
kebutuhan pengobatan yang rasional.
Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit
a. Membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik
Fungsional (SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik
b. Mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi
c. Membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi, jika
diperlukan dapat meminta masukan dari pakar
d. Mengembalikan rancangan hasil pembahasan Panitia Farmasi dan Terapi,
dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik
e. Membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF
f. Menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit
g. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi dan
h. Melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan
melakukan monitoring.

25 
 
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap Formularium Rumah sakit
Sakit, maka Rumah Sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan penambahan
atau pengurangan obat dalam Formularium Rumah Sakit dengan
mempertimbangkan indikasi penggunaan, efektivitas, risiko dan biaya.
Tahap pemilihan obat merupakan tahap yang paling sulit dalam proses
penyusunan formularium karena keputusan yang diambil merupakan pertimbangan
dari berbagai faktor :
1. Faktor institusional
Obat yang tercantum dalam formularium adalah obat yang sesuai dengan
pola penyakit, populasi penderita dan kebijakan lain rumah sakit
2. Faktor obat
Obat yang tercantum dalam formularium harus mempertimbangkan
efektivitas, keamanan, profil farmakokinetik dan farmakodinamik, ketersediaan obat
dan fasilitas untuk penyimpanan atau pembuatan, kualitas produk obat, reaksi obat
yang merugikan serta kemudahan dalam penggunaan produk obat telah memiliki
izin edar dari Departemen Kesehatan
Sebelum memilih obat diperlukan adanya suatu kriteria yang digunakan oleh
tim revisi DOEN seperti :
1) Memiliki rasio manfaat resiko (benefit risk-ratio) yang paling
menguntungkan penderita
2) Mutu terjamin termasuk stabilitas dan bioavailibilitas
3) Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
4) Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga,
sarana dan fasilitas kesehatan
5) Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita
6) Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan
biaya langsung dan tidak langsung
7) Jika terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa,
pilihan dijatuhkan pada :
• Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
• Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan
• Obat yang stabilitasnya lebih baik

26 
 
• Mudah diperoleh
• Obat yang telah dikenal
8) Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut :
• Obat hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk kombinasi tetap
• Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih
tinggi daripada masing-masing komponen
• Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan
yang tetap untuk sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi
tersebut
• Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaaat-biaya (benefit-cost
ratio)
• Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau
mengurangi terjadinya resisten dan efek merugikan lainnya.
3. Faktor biaya
Setelah pertimbangan ilmiah dibuat, KFT harus mempertimbangkan biaya
terapi obat secara keseluruhan. Hal termasuk biaya sediaan obat, biaya penyiapan
obat, biaya pemberian obat, dan biaya monitoring selama penggunaan obat. Obat
terpilih adalah obat dengan biaya terapi keseluruhan yang paling rendah.
Menurut Permenkes no 72 th 2016
Komite/Tim Farmasi dan Terapi
Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Komite/Tim Farmasi dan Terapi
yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan
Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan Obat di Rumah Sakit yang
anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah
Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus dapat membina hubungan kerja dengan
komite lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan
Obat. Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang dokter atau
seorang Apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah Apoteker,
namun apabila diketuai oleh Apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur,
sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar rapat diadakan sekali

27 
 
dalam satu bulan. Rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar
dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit yang dapat memberikan masukan bagi
pengelolaan Komite/Tim Farmasi dan Terapi, memiliki pengetahuan khusus,
keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi Komite/Tim Farmasi
dan Terapi.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi mempunyai tugas:
1. mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di Rumah Sakit;
2. melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk dalam formularium
Rumah Sakit;
3. mengembangkan standar terapi;
4. mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat;
5. melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang rasional;
6. mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;
7. mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
8. menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan Obat di Rumah
Sakit.

28 
 
3.5 Contoh Nyata Kasus Pelanggaran Undang-Undang dan Etika Kefarmasian

3.5.1 Kasus 1

Diduga Salah Dosis Obat, Balita Sulit Bangun dan Oleng

Akibat salah memberikan dosis obat pada pasien akhirnya pasien sulit
bangun dan oleng saat berdiri. Hal tersebut dialami oleh Al Novriansyah balita
berumur 1,8 tahun warga Bila Utara Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng
Sulawesi Selatan. Orang tua pasien mengatakan setelah meminum obat dari resep
dokter yang diambil di apoteker RSUD Latemmamala pasien sulit bangun atau jika
bangun, pasien oleng dan selalu mau jatuh. Anaknya yang dibawa ke rumah sakit
seminggu lalu mengalami penyakit demam lalu dokter RSUD Latemmamala
memberikan resep dan resep tersebut diserahkan ke apotek yang berada di rumah
sakit yang selanjutnya diberikan obat. Orang tua pasien curiga karena dokter
memberi resep untuk dikonsumsi selama sebulan tetapi setelah diberikan obat oleh
apoteker hanya untuk 15 hari dan diduga mungkin apotek salah memberi obat. Pihak
dokter menghubungi dan menyuruh menyimpan sisa obat pada pasien untuk
diperiksa komposisinya serta menyuruh membawa pasien ke rumah sakit untuk
diperiksa kembali ginjal, hati, dan lambung dikhawatirkan overdosis terhadap obat.
Menyikapi kasus ini Dirut RSUD Latemmamala dr. Hj. Nirwana mengkonfirmasi

29 
 
bahwa hal ini belum diketahui dan akan diinvestigasi kembali sehingga belum ada
penyelesaian terhadap kasus ini.

Analisa kasus :

¾ Pada kasus ini apoteker melanggar hukum karena dalam pemberian resep dokter
ini secara jelas dapat kita lihat di dalam Pasal 21 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang
menyatakan bahwa “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
dilaksanakan oleh Apoteker”. Sebelum obat diberikan kepada pasien, apoteker
harus terlebih dahulu menanyakan lagi nama pasien dan menjelaskan dosis
penggunaan obat tersebut dan meminta tanda tangan pasien sebagai tanda bukti
bahwa pasien mengerti penjelasan penggunaan obat serta dosisnya. Pemberian
obat dari apoteker ini memang sebelumnya melalui rangkaian pemeriksaan dari
dokter umum atau spesialis melalui resep kepada pasien.
¾ Pasal 9 Kode Etik Apoteker Indonesia:
“Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak pasien, dan melindungi makhluk
hidup insani.”

Penyelesaian :

Menyangkut dokter memberi resep untuk dikonsumsi selama sebulan tetapi


setelah diberikan obat oleh apoteker hanya untuk 15 hari dan diduga mungkin
apotek salah pemberian dosis obat. Apabila terjadi kelalaian dan kesalahan dalam
pemberian obat pada pasien selaku konsumen maka konsumen yang merasakan
dampak dari kesalahan pemberi jasa pengobatan yang lalai dalam menjalankan
fungsi kesehatan yang sebagaimana mestinya yang dapat diselesaikan di Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diatur dalam pasal 45 ayat (1) dan Pasal 47
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan bahwa :
Pasal 45 ayat (1), ”Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”

30 
 
Pasal 47, “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.”
Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi
dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku
usaha, selanjutnya dikuatkan dengan putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua
dan anggota majelis.
Dokter ikut bertanggungjawab ketika terjadi kesalahan pada pemberiaan obat
oleh Lex Privatum Vol. VI/No. 4/Jun/2018 114 apoteker. Ini sesuai juga dengan asas
vicarius liability. Kesalahan ini dapat dipertanggungjawaban oleh dokter ketika
apoteker telah menjalankan profesinya sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian
khususnya pada standar pelayanan resep di apotek. Dengan cara, apoteker harus
melakukan kajian resep setelah menerima resep dari pasien, jika ada kekeliruaan
atau tulisan tidak dapat terbaca, maka harus mengkonfirmasi pada dokter. Jika
dokter tidak dapat dihubungi maka pelayanan resep harus ditunda, dan tidak dapat
melakukan penafsiran sendiri. Apabila apoteker telah mengkonfirmasi dan dokter
tetap pada pendiriannya maka dokter wajib menandatangani resep obat yang
dosisnya berlebih tersebut, artinya tanggungjawab jika terjadi kesalahan berada pada
dokternya.
Sesuai ketentuan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Ketentuan Pidana Pasal 84, sanksi yang diberikan: a) Setiap tenaga kesehatan yang
melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka
berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. b) Jika kelalaian
berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap tenaga
kesehatn dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Tanggungjawab dan sanksi yang di terapkan bagi tenaga kesehatan ataupun
apoteker yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam memberikan obat sehingga
mengakibatkan pasien atau dalam hal ini konsumen menderita kerugian materi, fisik
bahkan sampai meninggal dunia maka sanksi yang dapat diberikan adalah sanksi
administrasi berupa teguran sampai pembekuan izin tenaga kesehatan kemudian

31 
 
sanksi keperdataan berupa ganti rugi dalam hal perbuatan melawan hukum bahkan
sanksi pidana berupa hukuman fisik yaitu pemenjaraan dalam waktu tertentu.

¾ Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan, beberapa


ketentuan diatur sebagai berikut:
a. Berkaitan dengan Kelalaian Pasal 29 “Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi“.
b. Berkaitan Dengan Perlindungan Pasien Dalam Pasal 56 huruf a disebutkan
bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh
tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
c. Mengenai Ganti Rugi Pasal 58 (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.

32 
 
3.5.2 Kasus 2
Tidak Sesuai Resep Dokter, Pasien JKN-BPJS Kes Tolak Obat Dari Instalasi
Farmasi RSU Bhayangkara Tebing Tinggi

Pasien rawat jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan Rv


(43) Kelurahan Damar Sari Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara menolak
salah satu jenis obat yang diberikan oleh petugas Instalasi Farmasi (Apotek) RSU
Bhayangkara Kota Tebing Tinggi karena merek obat yang diberikan petugas
berbeda dari resep tulisan dokter spesialis saat ia berobat jalan (kontrol) di RSU
Bhayangkara akibat penyakit yang diderita Rv sekian lama. Sudah 2 tahun pasien
berobat di RS ini dan bila mendapatkan obat dari dokter spesialis pasien bisa stabil
dan membaik namun setiap kali petugas apotek memberikan obat jenis yang sama
tapi beda merek, kondisi tubuh pasien memburuk dan dirawat inap lagi, kejadian
sudah beberapa kali dialami dan pasien selalu menjelaskan yang dirasakannya
kepada petugas tetapi petugas berdalih mengatakan obat habis atau obat itu tidak
ditanggung BPJS.

33 
 
Ibu Rv tidak mendapatkan obat sesuai jenis dan jumlah yang diresepkan
dokter karena petugas instalasi farmasi mengatakan obat tersebut tidak ada dan tidak
masuk dalam daftar Formularium Obat Nasional (Fornas) dan kebijakan ini
dikatakannya berdasarkan arahan dari petugas BPJS dirumah sakit. Petugas
pelayanan BPJS Kesehatan di internal RSU Bhayangkara menerangkan bahwa obat
jenis yang diresepkan dokter spesialis tersebut tidak ada dalam daftar Fornas dan
menyarankan pasien membelinya di apotek luar RS.
Ketika disinggung harga obat yang tertera pada resep dokter dengan obat
yang diberikan petugas berbeda dan ada selisih nya petugas mengaku bukan
kewenanganya. Menurut petunjuk teknis dan pelaksanaan yang ada pada Lampiran
Keputusan Dirjen Binfar dan Alkes Nomor : HK.02.03/III/1346/2014 jelas ada
menguraikan tentang daftar tabel obat dan jenis golongan penyakit, namun tidak ada
menyebut merek suatu produk.
Pada realitanya ada pasien yang mendapatkan penjelasan dari petugas medis
di RS rujukan ada menyebut obat tertentu itu “tidak ada dalam daftar Fornas” atau
“obat diresep dokter spesialis itu tidak ada” dan meggantikanya dengan obat merek
lain yang dianggap petugas berkasiat sama dengan yang diresepkan namun harganya
berselisih. Padahal dengan adanya Fornas Pemerintah berharap pasien akan
mendapatkan obat terpilih yang tepat, berkhasiat, bermutu, aman dan terjangkau.
Analisa Kasus :
Kasus tersebut melanggar hak pasien karena kondisi tubuh pasien memburuk dan
dirawat inap lagi dengan itu pasien menolak salah satu jenis obat karena tidak
mendapatkan obat sesuai jenis dan jumlah yang diresepkan dokter sehingga dalam
kasus ini dapat melanggar :

¾ Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


bab III pasal 4, Hak konsumen yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi


barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;

34 
 
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;

¾ Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

a. Pasal 5 ayat 2, Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan


kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

b. Pasal 5 ayat 3, Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

¾ Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan Kefarma-


sian pasal 24 poin b, yaitu dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fa-
silitas Pelayanan Kefarmasian, apoteker dapat mengganti obat merek dagang
dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang
lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.

¾ Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016


Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit tentang PIO yang
bertujuan untuk:
a. menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit;
b. menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai,
terutama bagi Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
¾ Pasal 9 Kode Etik Apoteker Indonesia:
“Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak pasien, dan melindungi makhluk
hidup insani.”
Penyelesaian :

Apabila apoteker melakukan pelanggaran kode etik, terhadap apoteker tersebut


dapat dikenakan sanksi organisasi, berupa: pembinaan, peringatan, pencabutan
keanggotaan sementara, dan pencabutan keanggotaan tetap.

35 
 
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Informasi yang dibutuhkan pasien, pada umumnya adalah informasi praktis
dan kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan
profesional kesehatan.
2. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep ada kekeliruan atau
penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada
dokter penulis resep.
3. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan

36 
 
DAFTAR PUSTAKA

_____, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan


Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI: Jakarta.

_____, 2009, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009


tentang Rumah Sakit, Jakarta.

_____, 2016, Peraturan Meteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun


2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Jakarta.

Drs rusli, Sp. 2006. Farmasi Rumah Sakit Dan Klinik. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

37 
 

Anda mungkin juga menyukai