Disusun Oleh :
1. Hood Maulana Iqbal 1708010043
2. Puput Afril Lianti 1808010057
3. Fajrina Maulani 1808010058
4. Fadita Eka Falahdin 1808010059
5. Jantika Rahmawardani 1808010060
6. Eka Anisa Agustina 1808010061
7. Himas Atin Kuncorowati 1808010062
8. Irna Nurfahla 1808010063
9. Nailil Hana Falsifa 1808010064
10. Jeri Rinawati 1808010065
11. Rista Oktaviani 1808010066
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan rasa syukur kami persembahkan kepada Allah swt,
karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah
ini. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw beserta keluarga
dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Farmako-Fitoterapi Gangguan Sistem Endokrin, Reproduksi, Pencernaan, dan
Pancaindra. Adapun isi dari makalah ini yaitu menjelaskan tentang kasus ‘Problem
Based Learning (PBL) Penyakit Peptic Ulcer’.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini semata-mata
karena keterbatasan kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu, penyusun sangat
mengharapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari pembaca agar
makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini. Mudah-mudahan
dengan adanya makalah ini sedikit banyaknya dapat membawa manfaat kepada kita
semua, dan juga dapat menjadi referensi bagi pengetahuan kita mengenai kasus
‘Problem Based Learning (PBL) Penyakit Peptic Ulcer’.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tukak lambung merupakan salah satu masalah saluran pencernaan yang
serius di dunia. Berdasarkan angka harapan hidup dunia pada tahun 2014, angka
kematian tukak lambung di Indonesia mencapai 0,8%. Jika ulkus peptikum tidak
ditangani dengan tepat, perforasi lambung bisa menjadi salah satu komplikasi
yang terjadi. Ulkus peptikum muncul karena ketidakseimbangan faktor agresif
dan defensif mukosa.2 Faktor defensif terdiri dari bikarbonat, aliran darah,
lendir, sambungan sel, dan resistensi apikal, sedangkan faktor agresif terdiri dari
asam lambung, pepsin, Helicobacter pylori, dan NSAID (obat anti inflamasi
nonsteroid).
Beberapa tahun terakhir ini prevalensi tukak lambung (peptic ulcer) di
indonesia sebanyak 0.99% dan insiden tukak lambung sebesar 115/100.000
penduduk (US Census Bureau International Data Base, 2004). Penyakit tukak
lambung menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit dengan pasien terbanyak
(Susanti,2011).
Tukak lambung (peptic ulcer) adalah kerusakan jaringan berupa lubang
pada mukosa saluran cerna lambung hingga lapisan mukosa, submukosa diikuti
proses inflamasi. Penyakit tukak lambung dapat diobati dengan pemberian
obat–obatan golongan antagonis reseptor H2 seperti simetidin, ranitidin, dan
nizatidin yang dapat mengurangi sekresi asam lambung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada seorang pasien yang
mengalami penyakit peptic ulcer yaitu Tn. Jono, usia 54 tahun yang datang ke
UGD dengan keluhan nyeri epigastrik, nausea, muntah dan rasa panas di daerah
dada. Intensitas nyeri berubah-ubah selama 3 minggu ini, dan semakin parah bila
pasien makan. Dari penggalian informasi, diketahui pasien baru saja menjalani
operasi fraktur 1 bulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas dan rutin
mengkonsumsi tramadol 100 mg 1 kali sehari, asam mefenamat 500 mg 2 kali
sehari, Dexamethason 0,5 mg 3 kali sehari. Pasien merokok 2 bungkus per hari,
sangat suka makan makanan pedas dan cemilan rujak. Tanda vital dan data
laboratorium yang terobservasi adalah sebagai berikut:
TD 135/78 mmHg
RR 20x/menit
Nadi 74x/menit
T 36,5oC
1
Hb 9,5 g/dL
Hct 30,2%
Platelet 280x103 /mm3
Leukosit 8,5x103/ mm3
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami kasus yang terjadi pada Tn. Jono
2. Mengetahui dan memahami algoritma penyembuhan penyakit peptic ulcer
pada Tn. Jono
3. Mengetahui dan memahami target terapi kasus penyakit peptic ulcer pada
Tn. Jono
4. Mengetahui dan memahami terapi farmakologi, non farmakologi, serta
fitoterapi penyakit peptic ulcer pada Tn. Jono
5. Mengetahui monitoring dan evaluasi kasus penyakit peptic ulcer pada Tn.
Jono
D. Manfaat
1. Memberikan pengetahuan pada pembaca dan penulis terhadap kasus
penyakit peptic ulcer
2. Memberikan pemahaman terapi farmakologi, non farmakologi serta
fitoterapi terhadap kasus penyakit peptic ulcer
3. Memberikan pengatahuan dan pemahaman terhadap monitoring dan evaluasi
terhadap kasus penyakit peptic ulcer
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ulkus peptikum (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau
duodenum yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif
(sekresi asam lambung, pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan
faktor pelindung mukosa (produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan
aliran darah mukosa)(Berardi &Lynda, 2005; Tas et al, 2015). Ulkus peptikum
merupakan keadaan kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di
bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel
disebut erosi. Walaupun sering kali dianggap juga sebagai ulkus (misalnya
ulkuskarena stres) (Wilson dan Lindseth, 2005).
3
peptikum perforasi. Perforasi ulkus peptikum relatif kecil tetapi dapat
mengancam kehidupan dengan angka kematian yang bervariasi dari 10% - 40%.
Lebih dari setengah kasus adalah perempuan dan biasanya mengenai usia lanjut
yang mempunyai lebih banyak risiko komorbiditas daripada laki-laki. Penyebab
utama adalah penggunaan non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),
steroids, merokok, Helicobacterpylori dan diet tinggi garam (Saverio et al,
2014).
4
Permukaan epitelium dari lambung atau usus rusak dan berulkus, hasil
dari inflamasi menyebar sampai ke dasar mukosa dan submukosa. Asam
lambung dan enzim pencernaan memasuki jaringan menyebabkan kerusakan
lebih lanjut pada pembuluh darah dan jaringan disekitarnya (Keshav, 2004).
Ulkus peptikum disebabkan oleh sekresi asam dan pepsin yang berlebih
olehmukosa lambung atau berkurangnya kemampuan sawar mukosa
gastroduodenalis untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks
asampepsin (Guyton dan Hall, 2007). Asam pepsin penting dalam patogenesis
ulkus peptikum. Akan tetapi berlawanan dengan ulkus duodeni, pasien
umumnya mempunyai laju sekresi asam yang normal atau berkurang
dibandingkan dengan individu tanpa ulkus. Sepuluh sampai dua puluh persen
pasien dengan ulkus peptikum juga mempunyai ulkus duodeni (Mc.Guigan,
2001). Telah diduga bahwa obat-obatan tertentu seperti aspirin, alkohol,
indometasin, fenilbutazon dan kotikostreroid mempunyai efek langsung
terhadap mukosa lambung dan menimbulkan ulkus. Obat-obatan lain seperti
kafein, akan meningkatkan pembentukanasam. Stress emosi dapat juga
memegang peranan dalam patogenesis ulkus peptikum, agaknya dengan
meningkatkan pembentukan asam sebagai akibat perangsangan vagus. Sejumlah
penyakit tampaknya disertai pembentukan ulkus peptikum yaitu sirosis hati
akibatalkohol, pankreatitis kronik, penyakit paru kronik, hiperparatirioidisme
dan sindrom Zollinger-Ellison (Wilson dan Lindseth, 2005).
5
prevalensi yang bervariasi (0-90%) pada perforasi ulkus, serta ulkus dapat juga
terjadi tanpa adanya infeksi H. pylori dan penggunaan OAINS. Disamping itu,
faktor lingkungan dan pejamu berkontribusi di dalam pembentukan ulkus
dengan cara meningkatkan sekresi asam lambung dan melemahkan tahanan
mukosa. Merokok, riwayat alkohol berlebihan dan obat-obatan (terlepas
penggunaan OAINS) tercatat sebagai penyebab yang sering dikemukakan, akan
tetapi tidak satupun diidentifikasi sebagai agen pembentuk ulkus yang tersendiri.
Stres emosional dan faktor psikososial juga seringkali merupakan faktor
kontributor penting di dalam patogenesis ulkus peptikum (Rosenstock, dkk.
2003; Kato, dkk. 1992). Pada gambar di bawah menampilkan klasifikasi
penyebab ulkus peptikum.
6
tetapi timbul menjelang siang. Minum susu dan makan (yang menyangga
keasaman PH lambung) atau meminum obat antasida mengurangi nyeri, tapi
mulai timbul kembali setelah 2 atau 3 jam kemudian.
7
BAB III
PEMBAHASAN
8
B. Parameter Kadar Pemeriksaan Hasil Laboratorium Pasien
Diketahui kasus: Tn. Jono, usia 54 tahun datang ke UGD dengan keluhan
nyeri epigastrik, nausea, muntah dan rasa panas di daerah dada. Intensitas nyeri
berubah-ubah selama 3 minggu ini, dan semakin parah bila pasien makan. Dari
penggalian informasi, diketahui pasien baru saja menjalani operasi fraktur 1
bulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas dan rutin mengkonsumsi tramadol
100 mg 1 kali sehari, asam mefenamat 500 mg 2 kali sehari, Dexamethason 0,5
mg 3 kali sehari. Pasien merokok 2 bungkus per hari, sangat suka makan
makanan pedas dan cemilan rujak. Tanda vital dan data laboratorium yang
terobservasi adalah sebagai berikut:
TD 135/78 mmHg
RR 20x/menit
Nadi 74x/menit
T 36,5oC
Hb 9,5 g/dL
Hct 30,2%
Platelet 280x103 /mm3
Leukosit 8,5x103/ mm3
9
Hasil pemeriksaan Respiratory Rate pasien adalah 20x/menit, nilai
ini menunjukan data yang normal dengan nilai parameter 4-12x /menit
((Khanna, 2018)
c. Nadi
Frekunsi denyut nadi manusia bervariasi,tergantung dari banyak
faktor yang mempengaruhinya, pada saat aktivitas normal:
1) Normal: 60-100 x/mnt
2) Bradikardi: < 60x/mnt
3) Takhikardi: > 100x/mnt
d. T
Menurut WHO suhu tubuh manusia dikatakan normal pada suhu 37,2
– 37,5˚C. Suhu tubuh dikatakan Hipotermia pada suhu (< 35˚C), hipertemia
(> 37,5 – 38,3˚C), dan hiperpireksia (> 40 – 41,5˚C). Data laboratorium
menunjukan suhu tubuh pasien yaitu 36,5oC.
e. Hb
Nilai hasil pemeriksaan Hemoglobin pada pasien adalah Hb 9,5 g/dL,
menunjukan nilai yang tidak normal dengan parameter sebagai berikut :
Dari data tersebut diketahui pasien memiliki nilai Hb yang tidak normal
karena kurang dari 13 g/Dl.
f. Hct 30,2%
Nilai hematokrit diukur dalam satuan persentase (%). Setiap orang
memiliki level hematokrit yang berbeda-beda, tergantung jenis kelamin dan
usianya. Berikut ini adalah nilai hematokrit normal berdasarkan usia dan
jenis kelaminnya:
10
Wanita dewasa: 38–46%.
Anak-anak: 30 – 40 %
11
timbul setelah makan, rasa sakit terdapat di sebelah kiri, sedangkan tukak
duodenum rasa sakit terdapat di sebelah kanan garis perut. Kondisi ini sesuai
dengan keluhan yang dirasakan pasien. Selain dari hal tersebut, hal lain yang
mendukung diantaranya yaitu :
a. Usia
Faktor risiko usia dan kelamin menyumbang peningkatan presentase
angka kejadian tukak peptic. Penelitian oleh Barazandeh, dkk menunjukan
bahwa prevelensi penyakit tukak peptic paling banyak ditemukan pada
rentang usia di atas 40 tahun.
b. Makanan
Pasien sangat menyekuai makanan pedas dan rujak, Jenis makanan
merupakan variasi dari beberapa komponen makanan, jenis makanan yang
dimaksudkan adalah jenis makanan yang beresiko untuk penderita gastritis
yang dikonsumsi selama ini. Beberapa jenis makanan tersebut berupa
makanan yang mengandung gas (sawi, kol, kedondong), makanan yang
bersantan, makanan yang pedas, asam, dan lain-lain, mengonsumsi makanan
beresiko, salah satunya makanan yang pedas secara berlebihan akan
merangsang system pencernaan, terutama lambung dan usus untuk
berkontraksi. Bila kebiasaan mengonsumsi makanan tersebut lebih dari satu
kali dalam seminggu dan dibiarkan terus menerus akan menyebabkan iritasi
pada lambung yang disebut dengan gastritis (Oktavini,2011).
c. Merokok
Pasien mengonsumsi 2 bungkus rokok dalam sehari, dimana orang
yang merokok dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terhadap kejadian
Ulkus peptikum. penelitian epidemiologi menunjukkan merokok
meningkatkan risiko baik ulkus duodenal maupun ulkus lambung dan
risikonya tergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi. Merokok
memperlambat penyembuhan ulkus, menyebabkan rekurensi, dan
meningkatkan risiko komplikasi. Berhenti merokok sangat penting untuk
mencegah rekurensi dari ulkus duodenal (Tas et al, 2015).
d. Jenis Kelamin
Menurut publikasi ilmiah dari Harvard Medical School populasi
dengan jenis kelamin laki-laki ditemukan lebih berisiko menderita tukak
peptic. Meskipun hubungan antara usia dan jenis kelamin terhadap kasus
tukak peptic masih belum dpat dipaparkan dengan jelas, naun presentasenya
yang cukup besar membuat factor risiko ini membutuhkan perhatian khusus.
12
Dari penggalian informasi, diketahui pasien baru saja menjalani
operasi fraktur 1 bulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas dan rutin
mengkonsumsi tramadol 100 mg 1 kali sehari, asam mefenamat 500 mg 2
kali sehari, Dexamethason 0,5 mg 3 kali sehari. Dimana obat asam
mefenamat adalah golongan jangka panjang memiliki 2% sampai 4% risiko
berkembangnya ulcer simtomatik, pendarahan GI atau bahkan perforasi
(Berardy dan Lynda, 2005). Luo et al, 2002 menyebutkan dalam
penelitiannya bahwa usia tua, merokok dan penggunaan nonspesifik cyclo-
oxygenase inhibitors merupakan faktor risiko dari ulkus peptikum pada
penyakit autoimmune dengan penggunaan kortikosteroid.
13
beberapa hari penghentian NSAID atau setelah 7 hari penggunaan obat
antiulkus. Kebanyakan pasien dengan peptic ulkus yang tidak disebabkan karena
infeksi bakteri H. pylori akan mengalami perbaikan gejala setelah menggunakan
satu atau dua obat antiulkus. Perburukan gejala yang muncul setelah beberapa
minggu dapat mengindikasikan kegagalan terapi eradikasi H. pylori atau adanya
alternatif diagnosa lain seperti GERD. (Dipiro, Joseph T., et al., 2008).
14
pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan kadar serum gastrin dapat dilakukan
jika diduga ada karsinoma lambung atau sindrom Zolliger-Ellison.
3. Deteksi adanya infeksi H. pylori dapat dilakukan secara noninvasif
menggunakan urea breath test (UBT), tes serologi darah, dan stool antigen
test (SAT). Infeksi H.pylori merupakan salah satu penyebab tersering dari
ulkus peptikum.
a. Urea Breath Test merupakan pemeriksaan penunjang pilihan bila
pasien tidak dapat dilakukan endoskopi. Pasien akan diminta menelan
urea yang sudah dilabel dengan isotop karbon 13 atau 14. Kemudian,
sampel napas pasien akan diambil. Pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas sebesar 96% dan spesifisitas sebesar 93%. Selain digunakan
untuk diagnosis, pemeriksaan ini juga ditujukan untuk memonitor
keberhasilan pengobatan. Pada pemeriksaan ini, obat proton pump
inhibitor seperti omeprazole perlu dihentikan selama 2 minggu terlebih
dahulu. Kelemahan dari pemeriksaan ini yaitu akurasinya menurun
pada pasien yang telah dilakukan gastrektomi distal.
b. Stool Monoclonal Antigen Tests juga termasuk pilihan pemeriksaan
penunjang noninvasif untuk diagnosis infeksi H.pylori. Stool
monoclonal antigen test dapat dilakukan melalui enzyme immunoassay
(EIA) dan immunochromatography (ICA). Pemeriksaan ini merupakan
pilihan pada pasien yang telah dilakukan gastrektomi distal dan anak
anak. Pemeriksaan ini juga dipakai sebagai indikator kesembuhan
karena hanya dapat mendeteksi infeksi yang aktif. Pada pemeriksaan
ini, obat proton pump inhibitor juga perlu dihentikan selama 2 minggu
terlebih dahulu.
c. Tes serologi mendeteksi anti-immunoglobulin G yang spesifik dari
H.pylori pada serum. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas tinggi
>90%, namun kelemahan dari pemeriksaan ini adalah tidak dapat
membedakan infeksi aktif dan infeksi terdahulu.
15
mengurangi rasa sakit, mempercepat penyembuhan ulkus dan mencegah
terjadinya residif ataupun komplikasi.
1) Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi Peptik ulcer bisa dilakukan dengan menggunakan
obat-obatan antara lain:
a. Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan
cara berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada
sel pariental lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 maka akan
dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan
reseptor digantikan dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan.
Efek samping obat golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit
pada otot dan konstipasi (Berardy and Lynda, 2005).
Tabel 1. Obat-obat Antagonis Reseptor H2
16
untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli serta pariental ke dalam lumen
lambung. Panjang dapat menimbulkan kenaikan gastin darah dan dapat
menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia belum
terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang (Tarigan,
2001).
Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan dieliminasi di
ginjal. Denganpengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian
dosis pada penyakit liver dan penyakit ginjal. Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr,
Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr, Pantoprazol 40 mg/hr dan
Esomeprazol 20-40 mg/hr (Lacy dkk, 2008).
Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap
produksi asam. Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat
anhidrase mukosa lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap
sifat suspensi asamnya (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). Efek samping obat
golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah, dan
ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari
penggunaan PPI (Lacy dkk, 2008).
c. Sulkrafat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis
protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap
terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh
polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh
pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi
produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal (Parischa dan
Hoogerwefh, 2008).
Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping
yang sering dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering (Berardy
dan Lynda, 2005).
d. Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama
protein pada dasar tukak dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan
asam. Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman
sehingga timbul keraguan dengan pendarahan (Tarigan, 2001).
17
otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil
(Tarigan, 2001).
Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis (kondisi penyakit
bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit radang usus,
sehingga pemakaiannya harus dihindari pada pasien ini. Misoprostol
dikontaindikasikan selama kehamilan, karena dapat menyebabkan aborsi
akibat terjadinya peningkatan kontaktilitas uterus.
f. Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan nyeri
dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara
lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare
sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya saling
menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi. Dosis:
3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan sebelum tidur). Efek samping
diare, berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat, salisilat, dan kinidin
(Tarigan, 2001).
18
khusus perlu diberikan pada orang-orang yang menunjukkan gejala-gejala yang
membahayakan (turunnya berat badan yang signifikan, muntah yang berulang,
disfagia, hematemesis atau melena), pada kasus-kasus seperti ini penyakit
kanker lambungnya sebaiknya dipastikan terlebih dahulu sebelum dimulai
pengobatan dengan penghambat pompa proton.
Efek samping: Efek samping penghambat pompa proton meliputi
gangguan saluran cerna (seperti mual, muntah, nyeri lambung, kembung, diare
dan konstipasi), sakit kepala dan pusing. Efek samping yang kurang sering
terjadi diantaranya adalah mulut kering, insomnia, mengantuk, malaise,
penglihatan kabur, ruam kulit dan pruritus. Efek samping lain yang dilaporkan
jarang atau sangat jarang terjadi adalah gangguan pengecapan, disfungsi hati,
udem perifer, reaksi hipersensitivitas (termasuk urtikaria, angioedema, bronko-
spasmus, anafilaksis), fotosensitivitas, demam, berkeringat, depresi, nefritis
interstitial, gangguan darah (seperti leukopenia, leukositosis, pansitopenia,
trombositopenia), artralgia, mialgia dan reaksi pada kulit (termasuk sindroma
Stevens- Johnson, nekrolisis epidermal toksik, bullous eruption). Penghambat
pompa proton, dengan mengurangi keasaman lambung, dapat meningkatkan
risiko infeksi saluran cerna.
Tabel 2. Regimen Terapi Obat Untuk Penyembuhan Tukak Peptik
19
Omeprazol
- Indikasi: Tukak lambung dan tukak duodenum, tukak lambung dan
duodenum yang terkait dengan AINS, lesi lambung dan duodenum,
regimen eradikasi H. pyloripada tukak peptik, refluks esofagitis,
Sindrom Zollinger Ellison.
- Efek Samping: Dilaporkan paraesthesia, vertigo, alopesia, ginekomastia,
impotensi, stomatitis, ensefalopati pada penyakit hati yang parah,
hiponatremia, bingung (sementara), agitasi dan halusinasi pada sakit yang
berat, gangguan penglihatan dilaporkan pada pemberian injeksi dosis
tinggi.
- Dosis: Tukak lambung dan tukak duodenum (termasuk yang komplikasi
terapi AINS), 20 mg satu kali sehari selama 4 minggu pada tukak
duodenum atau 8 minggu pada tukak lambung; pada kasus yang berat atau
kambuh tingkatkan menjadi 40 mg sehari; pemeliharaan untuk tukak
duodenum yang kambuh, 20 mg sehari; pencegahan kambuh tukak
duodenum, 10 mg sehari dan tingkatkan sampai 20 mg sehari bila gejala
muncul kembali.
Tukak lambung atau tukak duodenum karena AINS dan erosi
gastroduodenum, 20 mg sehari selama 4 minggu, diikuti 4 minggu berikutnya
bila tidak sepenuhnya sembuh; profilaksis pada pasien dengan riwayat tukak
lambung atau tukak duodenum, lesi gastroduodenum, atau gejala dispepsia
karena AINS yang memerlukan pengobatan AINS yang berkesinambungan, 20
mg sehari.
Lansoprazol
- Efek Samping: Dilaporkan alopesia, paraestesia, bruising,
purpura, petechiae, lelah, vertigo, halusinasi, bingung; jarang terjadi:
ginekomastia, impotensi.
- Dosis: Tukak lambung, 30 mg sehari pada pagi hari selama 8 minggu.
Tukak duodenum, 30 mg sehari pada pagi hari selama 4 minggu;
pemeliharaan 15 mg sehari. Tukak lambung atau tukak duodenum karena
AINS, 15-30 mg sekali sehari selama 4 minggu, dilanjutkan lagi selama 4
minggu jika tidak sepenuhnya sembuh; profilaksis, 15-30 mg sekali sehari.
a. Istirahat
Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila
kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya
belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam istirahat, berkurangnya
refluks empedu, stress dan penggunaan analgesik. Stress dan kecemasan
20
memegang peran dalam peningkatan asam lambung dan penyakit tukak
(Tarigan, 2001).
b. Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung
susu tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan
merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan
mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien tukak
dan dispepsia non tukak, walaupun belum dapat dibuktikan keterkaitannya
(Tarigan, 2001).
c. Pantang merokok
Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik,
menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus
duodenum, menambah refluks duogenogastrik akibat relaksasi sfingter
pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak (Tarigan, 2001).Alkohol
belum terbukti mempunyai efek yang merugikan. Air jeruk yang asam, coca-
cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung
tetapi dapat menambah sekresi asam dan belum jelas dapat menghalangi
penyembuhan tukak dan sebaiknya diminum jangan pada waktu perut
sedang kosong (Tarigan, 2001).
3) Fitoterapi
Terdapat beberapa tanaman yang berkhasiat dalam menangani peptic
ulcer, diantaranya yaitu :
21
limonene, zingiberol, zingiberene, camphene); oleoresin (gingerol, shogaol);
fenol (gingerol, zingeron); enzim proteolitik (zingibain); Vitamin B6;
Vitamin C; Kalsium; Magnesium; Fosfor; Kalium; Asam linoleate.
Anda dapat mengolah jahe sebagai obat herbal untuk peptic ulcer
dengan berbagai cara, seperti:
- Dikupas dan diparut atau diiris tipis-tipis untuk dicampur dalam masakan.
- Dikupas dan dimakan mentah.
- Diiris dan direbus bersama air, kemudian dijadikan air jahe untuk diminum.
Hal yang paling penting untuk diingat adalah konsumsi jahe
secukupnya yaitu empat gram atau sekitar kurang dari seperdelapan cangkir
yang dibagi dalam beberapa kali konsumsi. Selain itu, telah banyak produk-
produk jahe berbentuk serbuk siap seduh seperti : Jamu Iboe Natural Drink
Jahe (cara konsumsi : seduh sebungkus Jahe 25gram dengan air matang
150ml, dosis : 1-3x sehari satu bungkus), dll.
b. Chamomille
Tanaman berbunga ini ternyata sudah cukup lama digunakan sebagai
obat tradisional untuk mengatasi sakit perut. Sama seperti jahe, chamomile
mengandung zat antiradang yang khasiatnya tidak jauh berbeda dengan obat
pereda nyeri golongan NSAID seperti aspirin. Hal ini dilaporkan dalam
sebuah studi terbitan jurnal Molecular Medicine Reports. Studi tersebut
menyebutkan bahwa chamomile dapat meredakan banyak gangguan
pencernaan. Bahan herbal ini membantu mengatasi efek kenaikan asam
lambung, menghambat pertumbuhan bakteri H. pylori, dan mengurangi
kejang otot di perut. Semua manfaat ini menunjukkan bahwa chamomile
dapat digunakan sebagai pilihan obat alami untuk meredakan gejala GERD.
Anda bisa memperoleh khasiat chamomile dengan menyajikannya sebagai
teh chamomile.
Selain itu, Sebuah penelitian in-vitro dan hewan di laboratorium
menunjukkan bahwa chamomile memiliki kemampuan antiinflamasi dan
antimikroba. Penyakit asam lambung menyebabkan asam lambung bergerak
mundur ke kerongkongan. Kondisi ini sering menyebabkan peradangan yang
menyakitkan di tenggorokan.Sehingga dengan hal tersebut terdapat
kemungkinan efek antiinflamasi chamomile membantu penyakit asam
lambung. Ramuan herbal yang mengandung ekstrak chamomile juga mampu
menurunkan keasaman lambung serta antasida komersial. Teh chamomile
juga dianggap lebih efektif daripada antasida dalam mencegah hiperasiditas
sekunder.
22
Rasa yang agak pahit, sedikit pedas, bau khas dan sifat yang sejuk
dan tidak beracun menjadi obat khas gangguan saluran pencernaan yang
sudah banyak digunakan dalam fitoterapi penyakit tersebut.
Kandungan kimia yang terkandung dalam kunyit yaitu: kurkuminoid
(kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksi kurkumin); resin; minyak
atsiri termasuk α dan ¥ atlanton; kurlon; zingiberene; dan kurkumol. Efek
yang ditimbulkan yaitu kunyit mampu melindungi mukosa lambung
terhadap iritasi dengan cara meningkatkan sekresi musin.
Kurkumin bekerja dengan cara menurunkan regulasi H+, K+ dan
ATPase sehingga produksi asam lambung menurun, menurunkan aktivitas
dari Helicobacter pylori serta melindung mukosa lambung.
Cara membuat jamu kunyit ini yaitu dengan merebus 10-25gram
rimpang kunyit, kemudian air hasil rebusan tersebut diminum. Selain dengan
perebusan, saat ini telah banyak juga produk siap digunakan misalnya: Jamu
Cap Bunga Melati (komposisi : kunyit dan gula aren, cara konsumsi : seduh
2 sendok makan dengan secangkir air mendidih sebanyak 2x sehari/pagi dan
sore hari), Jamu Sidomuncul Sari Kunyit (diminum 1-3x sehari sebanyak 1
kapsul), dll.
23
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit peptic ulcer adalah lubang atau peradangan terbuka yang
muncul saat lapisan dalam perut (ulkus gastrik) atau bagian atas usus kecil
(ulkus duodenal) rusak akibat cairan asam pencernaan.
Berdasarkan kasus Tn. Jono (54 tahun), diketahui hasil data laboratorium
yang terobservasi menunjukkan bahwa tekanan darah, respiratory rate, nadi,
suhu, platelet, dan leukosit pasien normal, sedangkan Hb dan Hct pasien
tergolong rendah.
Faktor yang mempengaruhi pasien terdiagnosa penyakit peptic ulcer,
diantaranya adalah usia dan jenis kelamin, makanan, merokok, dan penggunaan
obat NSAID. Tn. Jono perlu melakukan monitoring dan evaluasi terkait kasus
penyakit peptic ulcer yang diderita, selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut, seperti endoskopi, radiografi, deteksi adanya infeksi H. Pilory.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, maka kami
menyarankan pasien untuk melakukan penggunaan obat golongan PPI, atau bisa
juga dilakukan fitoterapi dengan mengkonsumsi obat bahan alam seperti air
rebusan jahe atau kunyit, teh chamomile, atau kaplet ridacid dari kulit kayu
manis. Untuk membantu tercapainya efek terapi, pasien sangat disarankan untuk
melakukan terapi non-farmakologi dengan istirahat yang cukup, memperhatikan
asupan makannan, dan berhenti merokok.
B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini semoga dapat memberikan pengetahuan
dan pemahaman bagi penulis dan pembaca, serta dapat digunakan sebagai
infromasi terhadap kasus penyakit peptic ulcer.
24
DAFTAR PUSTAKA
Ajjah, B. F. F., Mamfaluti, T. and Putra, T. R. I. (2020) ‘Hubungan Pola Makan Dengan
Terjadinya Gastroesophageal Reflux Disease (Gerd)’, Journal of Nutrition
College, 9(3), pp. 169–179. doi: 10.14710/jnc.v9i3.27465.
Akil dan Tarigan P. 2006. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
IPD FK UI, pp: 335-44
Amran, Pramansa. 2018. Analisis Perbedaan Kadar Kalsium (Ca) Terhadap Karyawan
Teknis Produktif Dengan Karyawan Administratif Pada Persero Terbatas
Semen Tonasa. Jurnal Media Analis Kesehatan, Vol. 1, Edisi 1,Juni2018
Berardy, R.R, dan Lynda, S.W., 2005, Peptic Ulcer Disease dalam Pharmacotherapy a
Phatophysiologic Approach, Sixth Edition, McGraw- Hill, Medical Publishing
Division by The McGra-Hill Companies
Berardi, R. R., & Welage, L. S. 2008. Peptic Ulcer Disease. In J. T. Dipiro, R. L.
Tabert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, & L. M. Posey (Eds.),
Pharmacotheraphy A Pathopshyologic Approach (7th ed., 569–578). New
York: Mc. Graw Hill. http://doi.org/10.1036/007147899X
Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, et al. Schwartzs Principles of Surgery,10th
Edition. New York: McGraw Hill Education; 2015.
Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.
25
Idacahyati, K. et al. (2020) ‘Hubungan Tingkat Kejadian Efek Samping Antiinflamasi
Non Steroid dengan Usia dan Jenis Kelamin’, Jurnal Farmasi Dan Ilmu
Kefarmasian Indonesia, 6(2), p. 56. doi: 10.20473/jfiki.v6i22019.56-61. Peptic
ulcer - Harvard Health
J.Fashner, A.C Gitu. Diagnosis and Treatment of Peptic Ulcer Disease and H.
pyloriInfection. Am Fam Phys, 2015. 91(4) : 236-242.
Lanas A, Chan FKL. Peptic Ulcer Disease. Lancet, 2017. 390 : 613-24.
Malfertheiner P, Chan FK, McColl KE. Peptic ulcer disease. The Lancet, 2009.
374(9699): 1449–1461. doi:10.1016/s0140-6736(09)60938-7
Mondrida, Gina. Dkk. 2018. Validasi Kit Irma Tsh Untuk Penentuan Kadar Tsh Dalam
Serum Darah Manusi. JKPK (JURNAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA),
Vol3, No3, Tahun 2018
Sabrudin, Hermin dan Ferry Armanza. 2018. Korelasi Tumor Marker Cancer
Antigen(CA-125) terhadap kadar Hemoglobin, Leukosit, dan Platelet Limfosit
26
Ratio pada Pasien Kanker Ovarium di RSUD ULIN Banjarmasin. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Wijaya Kusuma 7(1) : 93-106, Maret 2018
Setiati (Eds.), Ilmu Penyakit Dalam Jilid I (IV, 338–341). Jakarta: FKUI.
Susanti, Andri., B. Dodik, dan U. Vera. 2011. Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa
Intitut Pertanian Bogor (IPB). Jurnal Kedokteran Indonesia 2(1):80-91
T.Shimoyama. Stool antigen tests for the management of Helicobacter pylori infection.
World J Gastroenterol. 2013, 19(45): 8188–8191.
W.D. Chey, G.I. Leontiadis, C.W. Howden, S.F. Moss. ACG Clinical Guideline:
Treatment of Helicobacter pylori Infection. Am J Gastroenterol.
2017,112:212–238.
World Life Expectancy. World Life Expectancy. [serial online] 2014 [cited 2017 Sep 5].
27