Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

FARMAKO-FITOTERAPI GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN, REPRODUKSI,


PENCERNAAN, DAN PANCAINDRA
PROBLEM BASED LEARNING (PBL)
PENYAKIT PEPTIC ULCER

Disusun Oleh :
1. Hood Maulana Iqbal 1708010043
2. Puput Afril Lianti 1808010057
3. Fajrina Maulani 1808010058
4. Fadita Eka Falahdin 1808010059
5. Jantika Rahmawardani 1808010060
6. Eka Anisa Agustina 1808010061
7. Himas Atin Kuncorowati 1808010062
8. Irna Nurfahla 1808010063
9. Nailil Hana Falsifa 1808010064
10. Jeri Rinawati 1808010065
11. Rista Oktaviani 1808010066

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan rasa syukur kami persembahkan kepada Allah swt,
karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah
ini. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw beserta keluarga
dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Farmako-Fitoterapi Gangguan Sistem Endokrin, Reproduksi, Pencernaan, dan
Pancaindra. Adapun isi dari makalah ini yaitu menjelaskan tentang kasus ‘Problem
Based Learning (PBL) Penyakit Peptic Ulcer’.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini semata-mata
karena keterbatasan kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu, penyusun sangat
mengharapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari pembaca agar
makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini. Mudah-mudahan
dengan adanya makalah ini sedikit banyaknya dapat membawa manfaat kepada kita
semua, dan juga dapat menjadi referensi bagi pengetahuan kita mengenai kasus
‘Problem Based Learning (PBL) Penyakit Peptic Ulcer’.

Purwokerto, Juni 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii


DAFTAR ISI…...……………………………………………………………………....iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan .................................................................................................................... 2
D. Manfaat .................................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3
A. Pengertian Penyakit Peptic Ulcer .......................................................................... 3
B. Epidemiologi Penyakit Peptic Ulcer...................................................................... 3
C. Patofisiologi Penyakit Peptic Ulcer ....................................................................... 4
D. Mekanisme Terjadinya Penyakit Peptic Ulcer ...................................................... 5
E. Gejala Penyakit Peptic Ulcer ................................................................................. 6
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................... 8
A. Terminologi Pada Kasus Penyakit Peptic Ulcer ................................................... 8
B. Parameter Kadar Pemeriksaan Hasil Laboratorium Pasien .................................. 9
C. Faktor Penyebab Penyakit Peptic Ulcer Pada Pasien ......................................... 11
D. Algoritma Penyembuhan Penyakit Peptic Ulcer Terhadap Pasien ..................... 13
E. Monitoring dan Evaluasi Penyakit Peptic Ulcer Terhadap Pasien ..................... 13
F. Pemeriksaan Lebih Lanjut Terhadap Pasien ....................................................... 14
G. Target Serta Terapi Penyakit Peptic Ulcer Pada Pasien ......................................... 15
BAB IV PENUTUP....................................................................................................... 24
A. Saran……………………………………………………………………………. 24
B. Kesimpulan………………………………………………………………………24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tukak lambung merupakan salah satu masalah saluran pencernaan yang
serius di dunia. Berdasarkan angka harapan hidup dunia pada tahun 2014, angka
kematian tukak lambung di Indonesia mencapai 0,8%. Jika ulkus peptikum tidak
ditangani dengan tepat, perforasi lambung bisa menjadi salah satu komplikasi
yang terjadi. Ulkus peptikum muncul karena ketidakseimbangan faktor agresif
dan defensif mukosa.2 Faktor defensif terdiri dari bikarbonat, aliran darah,
lendir, sambungan sel, dan resistensi apikal, sedangkan faktor agresif terdiri dari
asam lambung, pepsin, Helicobacter pylori, dan NSAID (obat anti inflamasi
nonsteroid).
Beberapa tahun terakhir ini prevalensi tukak lambung (peptic ulcer) di
indonesia sebanyak 0.99% dan insiden tukak lambung sebesar 115/100.000
penduduk (US Census Bureau International Data Base, 2004). Penyakit tukak
lambung menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit dengan pasien terbanyak
(Susanti,2011).
Tukak lambung (peptic ulcer) adalah kerusakan jaringan berupa lubang
pada mukosa saluran cerna lambung hingga lapisan mukosa, submukosa diikuti
proses inflamasi. Penyakit tukak lambung dapat diobati dengan pemberian
obat–obatan golongan antagonis reseptor H2 seperti simetidin, ranitidin, dan
nizatidin yang dapat mengurangi sekresi asam lambung.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada seorang pasien yang
mengalami penyakit peptic ulcer yaitu Tn. Jono, usia 54 tahun yang datang ke
UGD dengan keluhan nyeri epigastrik, nausea, muntah dan rasa panas di daerah
dada. Intensitas nyeri berubah-ubah selama 3 minggu ini, dan semakin parah bila
pasien makan. Dari penggalian informasi, diketahui pasien baru saja menjalani
operasi fraktur 1 bulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas dan rutin
mengkonsumsi tramadol 100 mg 1 kali sehari, asam mefenamat 500 mg 2 kali
sehari, Dexamethason 0,5 mg 3 kali sehari. Pasien merokok 2 bungkus per hari,
sangat suka makan makanan pedas dan cemilan rujak. Tanda vital dan data
laboratorium yang terobservasi adalah sebagai berikut:
TD 135/78 mmHg
RR 20x/menit
Nadi 74x/menit
T 36,5oC

1
Hb 9,5 g/dL
Hct 30,2%
Platelet 280x103 /mm3
Leukosit 8,5x103/ mm3

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami kasus yang terjadi pada Tn. Jono
2. Mengetahui dan memahami algoritma penyembuhan penyakit peptic ulcer
pada Tn. Jono
3. Mengetahui dan memahami target terapi kasus penyakit peptic ulcer pada
Tn. Jono
4. Mengetahui dan memahami terapi farmakologi, non farmakologi, serta
fitoterapi penyakit peptic ulcer pada Tn. Jono
5. Mengetahui monitoring dan evaluasi kasus penyakit peptic ulcer pada Tn.
Jono

D. Manfaat
1. Memberikan pengetahuan pada pembaca dan penulis terhadap kasus
penyakit peptic ulcer
2. Memberikan pemahaman terapi farmakologi, non farmakologi serta
fitoterapi terhadap kasus penyakit peptic ulcer
3. Memberikan pengatahuan dan pemahaman terhadap monitoring dan evaluasi
terhadap kasus penyakit peptic ulcer

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyakit Peptic Ulcer


Ulkus peptikum merupakan suatu keadaan terputusnya kontinuitas
mukosa yang meluas di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan mukosa,
submukosa hingga lapisan otot dari suatu daerah saluran cerna yang langsung
berhubungan dengan cairan lambung asam/pepsin (Sanusi, 2011). Ulkus
peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi
dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum merupakan
erosi lapisan mukosa biasanya dilambung atau duodenum (Corwin, 2009).

Ulkus peptikum (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau
duodenum yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif
(sekresi asam lambung, pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan
faktor pelindung mukosa (produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan
aliran darah mukosa)(Berardi &Lynda, 2005; Tas et al, 2015). Ulkus peptikum
merupakan keadaan kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di
bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel
disebut erosi. Walaupun sering kali dianggap juga sebagai ulkus (misalnya
ulkuskarena stres) (Wilson dan Lindseth, 2005).

B. Epidemiologi Penyakit Peptic Ulcer


Setiap tahun 4 juta orang menderita ulkus peptikum di seluruh dunia,
sekitar 10%-20% terjadi komplikasi dan sebanyak 2%-14% didapatkan ulkus

3
peptikum perforasi. Perforasi ulkus peptikum relatif kecil tetapi dapat
mengancam kehidupan dengan angka kematian yang bervariasi dari 10% - 40%.
Lebih dari setengah kasus adalah perempuan dan biasanya mengenai usia lanjut
yang mempunyai lebih banyak risiko komorbiditas daripada laki-laki. Penyebab
utama adalah penggunaan non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),
steroids, merokok, Helicobacterpylori dan diet tinggi garam (Saverio et al,
2014).

Penyebab lain dari gastroduodenal perforasi seperti trauma, neoplasma,


benda asing yang bersifat korosif dan hal ini terjadi akibat hasil dari diagnosis
atau terapi intervensi (iatrogenic). Trauma pada lambung dan duodenum hanya
5.3% dari seluruh trauma tumpul hollow viscus organ tetapi berhubungan
dengan komplikasi sekitar 27% to 28%. Perforasi yang terjadi karena
keganasan/malignancy dapat berasal dari adanya obstruksi dan meningkatkan
tekanan intralumen dan respon dari chemotherapy dan tumor transmural
(Saverioet al, 2014).
Sekitar 4 juta penduduk terdiagnosis ulkus peptikum setiap tahunnya di
Amerika Serikat dengan gangguan asam–pepsin, prevalensinya adalah 12% pada
pria dan 10% pada wanita dengan angka kematian pasien 15.000 per tahun dan
menghabiskan dana 10 milyar dolar per tahun. Di Inggris sekitar 6–20%
penduduk menderita ulkus pada usia 55 tahun, sedangkan prevalensinya 2–4%
(Tarigan, 2009).

C. Patofisiologi Penyakit Peptic Ulcer


Epitel gaster terdiri dari rugae yang mengandung gastric pits atau
lekukan yang berukuran mikroskopis. Setiap rugae bercabang menjadi empat
atau lima kelenjar gaster dari sel -sel epitel khusus. Susunan kelenjar tergantung
letak anatominya. Kelenjar di daerah cardia terdiri < 5%kelenjar gaster yang
mengandung mukus dan sel-sel endokrin. Sebagian terbesar kelenjar gaster
(75%) terletak didalam mukosa oksintik mengandung sel-sel leher mukosa,
parietal, chief, endokrin dan sel enterokromafin (Wilson dan Lindseth, 2005).

Kelenjar pilorik mengandung mukus dan sel -sel endokrin(termasuk sel-


sel gastrin) dan didapati di daerah antrum. Sel parietal juga dikenal sebagai sel
oksintik biasanya didapati didaerah leher atau isthmus atau kelenjar oksintik. Sel
parietal yang tidak terangsang, mempunyai sitoplasma dan kanalikuli
intraseluler yang berisi mikrovili ukuran pendek sepanjang permukaan atas.
Enzim H+, K+ - ATPase didapati didaerah membran tubulovesikel. Bila sel
dirangsang, membran ini dan membran atas/apikal lainnya diubah menjadi
jaringan padat dari kanalikuli intraseluler apikal yang mengandung mikrovili
ukuran panjang (Tarigan, 2009).

4
Permukaan epitelium dari lambung atau usus rusak dan berulkus, hasil
dari inflamasi menyebar sampai ke dasar mukosa dan submukosa. Asam
lambung dan enzim pencernaan memasuki jaringan menyebabkan kerusakan
lebih lanjut pada pembuluh darah dan jaringan disekitarnya (Keshav, 2004).

Ulkus peptikum disebabkan oleh sekresi asam dan pepsin yang berlebih
olehmukosa lambung atau berkurangnya kemampuan sawar mukosa
gastroduodenalis untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks
asampepsin (Guyton dan Hall, 2007). Asam pepsin penting dalam patogenesis
ulkus peptikum. Akan tetapi berlawanan dengan ulkus duodeni, pasien
umumnya mempunyai laju sekresi asam yang normal atau berkurang
dibandingkan dengan individu tanpa ulkus. Sepuluh sampai dua puluh persen
pasien dengan ulkus peptikum juga mempunyai ulkus duodeni (Mc.Guigan,
2001). Telah diduga bahwa obat-obatan tertentu seperti aspirin, alkohol,
indometasin, fenilbutazon dan kotikostreroid mempunyai efek langsung
terhadap mukosa lambung dan menimbulkan ulkus. Obat-obatan lain seperti
kafein, akan meningkatkan pembentukanasam. Stress emosi dapat juga
memegang peranan dalam patogenesis ulkus peptikum, agaknya dengan
meningkatkan pembentukan asam sebagai akibat perangsangan vagus. Sejumlah
penyakit tampaknya disertai pembentukan ulkus peptikum yaitu sirosis hati
akibatalkohol, pankreatitis kronik, penyakit paru kronik, hiperparatirioidisme
dan sindrom Zollinger-Ellison (Wilson dan Lindseth, 2005).

Peningkatan sekresi asam-cairan peptik dapat turut berperan terhadap


ulserasi. Pada kebanyakan orang yang menderita ulkus peptikum dibagian awal
duodenum, jumlah sekresi asam lambung lebih besar dari normal, sering
sebanyak dua kali normal. Walaupun setengah dari peningkatan asam ini
mungkin disebabkan infeksi bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti
adanya perangsangan berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf pada manusia
yang menderita ulkus peptikum mengarah kepada sekresi cairan lambung yang
berlebihan untuk alasan apa saja (sebagai contoh, pada gangguan fisik) yang
sering merupakan penyebab utama ulkus peptikum (Guyton dan Hall, 2007).

D. Mekanisme Terjadinya Penyakit Peptic Ulcer


Penyakit ulkus peptikum merupakan suatu proses kompleks dan multi-
faktorial yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor perusak (asam
hidroklorat, pepsin, etanol, asam empedu, obat-obatan, infeksi bakteri H. pylori)
dan faktor pelindung (lapisan mukus bikarbonat, prostaglandin, aliran darah dan
perbaikan selular) (Malfertheiner, dkk. 2009; Davenport. 1967). Beberapa tahun
terakhir ini, infeksi bakteri H. pylori dan penggunaan OAINS jangka panjang
merupakan dua penyebab terjadinya ulkus peptikum. H. pylori menunjukkan

5
prevalensi yang bervariasi (0-90%) pada perforasi ulkus, serta ulkus dapat juga
terjadi tanpa adanya infeksi H. pylori dan penggunaan OAINS. Disamping itu,
faktor lingkungan dan pejamu berkontribusi di dalam pembentukan ulkus
dengan cara meningkatkan sekresi asam lambung dan melemahkan tahanan
mukosa. Merokok, riwayat alkohol berlebihan dan obat-obatan (terlepas
penggunaan OAINS) tercatat sebagai penyebab yang sering dikemukakan, akan
tetapi tidak satupun diidentifikasi sebagai agen pembentuk ulkus yang tersendiri.
Stres emosional dan faktor psikososial juga seringkali merupakan faktor
kontributor penting di dalam patogenesis ulkus peptikum (Rosenstock, dkk.
2003; Kato, dkk. 1992). Pada gambar di bawah menampilkan klasifikasi
penyebab ulkus peptikum.

E. Gejala Terjadinya Penyakit Peptic Ulcer


Ulkus biasanya sembuh sendiri tetapi dapat timbul kembali. Nyeri dapat
timbul selama beberapa hari atau minggu dan kemudian berkurang atau
menghilang. Gejala bervariasi tergantung lokasi ulkus dan usia penderita.
Contohnya anak-anak dan orang tua biasanya tidak memiliki gejala yang sering
didapat atau tidak ada gejala sama sekali. Oleh karena itu ulkus biasanya
diketahui ketika komplikasi terjadi. Hanya setengah dari penderita ulkus
duodenum mempunyai gejala yang sama seperti perih, rasa seperti terbakar,
nyeri, pegal, dan lapar. Rasa nyeri berlangsung terus-menerus dengan intensitas
ringan sampai berat biasanya terletak di bawah sternum. Kebanyakan orang
yang menderita ulkus duodenum, nyeri biasanya tidak ada ketika bangun tidur

6
tetapi timbul menjelang siang. Minum susu dan makan (yang menyangga
keasaman PH lambung) atau meminum obat antasida mengurangi nyeri, tapi
mulai timbul kembali setelah 2 atau 3 jam kemudian.

Gambaran klinis utama ulkus peptikum adalah kronik dan nyeri


epigastrium. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada
malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali digambarkan sebagai
teriris, terbakar atau rasa tidak enak. Remisi dan eksaserbasi merupakan ciri
yang begitu khas sehingga nyeri di abdomen atasyang persisten. Pola nyeri-
makanhilang ini dapat saja tidak khas pada ulkus peptikum. Bahkan pada
beberapa penderita ulkus peptikum makanan dapat memperberat nyeri. Biasanya
penderita ulkus peptikum akan mengalami penurunan berat badan. Sedangkan
penderita ulkus duodenum biasanya memiliki berat badan yang tetap (Wilson
dan Lindseth, 2005).

Penderita ulkus peptikum sering mengeluh mual, muntah dan


regurgitasi.Timbulnya muntah terutama pada ulkus yang masih aktif, sering
dijumpai pada penderita ulkus peptikum daripada ulkus duodenum, terutama
yang letaknya di antrum atau pilorus. Rasa mual disertai di pilorus atau
duodenum. Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut
merasa selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai akibat
instabilitas neromuskuler dari kolon (Akil, 2006).

Penderita ulkus peptikum terutama pada ulkus duodenum mungkin


dalam mulutnya merasa dengan cepat terisi oleh cairan terutama cairan saliva
tanpa ada rasa. Keluhan inidiketahui sebagai water brash. Sedang pada lain
pihak kemungkinan juga terjadi regurgitasi pada cairan lambung dengan rasa
yang pahit (Akil, 2006). Secara umum pasien ulkus gaster mengeluh dispepsia.
Dispepsia adalah suatu sindrom atau kumpulan keluhan beberapa penyakit
saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa atau
terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang (Tarigan,
2009).

Nyeri yang dapat membangunkan orang ketika malam hari juga


ditemukan. Seringkali nyeri timbul sekali atau lebih dalam sehari selama
beberapa minggu dan hilang tanpa diobati. Namun, nyeri biasanya timbul
kembali 2 tahun kemudian dan terkadang juga dalam beberapa tahun kemudian.
Penderita biasanya akan belajar mengenai pola sakitnya ketika kambuh
(biasanya terjadi ketika stres). Makan bisa meredakan sakit untuk sementara
tetapi bisa juga malah menimbulkan sakit. Ulkus lambung terkadang membuat
jaringan bengkak (edema) yang menjalar ke usus halus, yang bisa mencegah
makanan melewati lambung. Blokade ini bisa menyebabkan kembung, mual.

7
BAB III
PEMBAHASAN

A. Terminologi Pada Kasus Penyakit Peptic Ulcer


a. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktural tulang. Klasifikasi fraktur
ada dua jenis yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
b. Nyeri epigastrium atau ulu hati dirasakan di tengah perut bagian atas, tepat
di bawah tulang rusuk. Nyeri epigastrik sesekali biasanya tidak perlu
dikhawatirkan dan mungkin sesederhana sakit perut karena makan makanan
yang tidak enak.
c. Nausea adalah perasaan tidak nyaman pada bagian belakang tenggorokan
atau lambung yang dapat mengakibatkan muntah, nausea termasuk kedalam
kategori psiokologis dan subkategori nyeri dan kenyamanan.
d. Intensitas adalah suatu ukuran kuantitatif dari suatu penginderaan, untuk
mengukur ukuran fisik dari energi atau data indera.
e. Alat vital adalah bagian yang biasanya sangat sensitive, penting dan
merupakan organ atau bagian dari manusia.
f. Observasi merupakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam penelitian.
Observasi berarti memperhatikan dan mengamati. Hasil pengamatan itu
dituang dalam laporan atau teks hasil observasi.
g. TD adalah tekanan darah norma, parameter untuk TD Orang dewasa dengan
kondisi tubuh sehat umumnya memiliki tekanan darah normal sekitar 90/60
mmHg hingga 120/80 mmHg.
h. RR adalah Respiratory Rate dengan parameter 14-20 x/menit.
i. Nadi merupakan alat vital yang diukur adalah denyut nadinya dengan
parameter Normal: 60-100 x/mnt.
j. T adalah suhu tubuh, parameter normal suhu tubuh manusia umumnya
berada di rentang antara 36,5–37,2o Celsius.
k. HB adalah Hemoglobin, nilai normal kadar hemoglobin di dalam tubuh
seseorang ditentukan berdasarkan jenis kelamin dan usianya. Kadar
hemoglobin normal pada wanita dewasa berkisar antara 12–15 g/dL,
sedangkan kadar hemoglobin pada pria dewasa berkisar antara 13–17 g/dL.
l. Hct adalah pemeriksaan Hematokrit adalah perbandingan jumlah sel darah
merah dengan keseluruhan volume darah yang dihitung dalam persentase,
parameter normal Hct atau hematokrit dalam darah 38,8-50% pada pria
dewasa dan 34,9-44,5 persen pada perempuan dewasa.
m. Platelet adalah untuk pemeriksaan trombosit dengan parameter 150-
400x103/µl.
n. Leukosit adalah pemeriksaan sel darah putih dengan parameter normal 5-10
x103/µl.

8
B. Parameter Kadar Pemeriksaan Hasil Laboratorium Pasien
Diketahui kasus: Tn. Jono, usia 54 tahun datang ke UGD dengan keluhan
nyeri epigastrik, nausea, muntah dan rasa panas di daerah dada. Intensitas nyeri
berubah-ubah selama 3 minggu ini, dan semakin parah bila pasien makan. Dari
penggalian informasi, diketahui pasien baru saja menjalani operasi fraktur 1
bulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas dan rutin mengkonsumsi tramadol
100 mg 1 kali sehari, asam mefenamat 500 mg 2 kali sehari, Dexamethason 0,5
mg 3 kali sehari. Pasien merokok 2 bungkus per hari, sangat suka makan
makanan pedas dan cemilan rujak. Tanda vital dan data laboratorium yang
terobservasi adalah sebagai berikut:

TD 135/78 mmHg
RR 20x/menit
Nadi 74x/menit
T 36,5oC
Hb 9,5 g/dL
Hct 30,2%
Platelet 280x103 /mm3
Leukosit 8,5x103/ mm3

Kadar atau Ukuran Parameter Normal


a. Tekanan Darah
Menurut JNC 7 klasifikasi tekanan darah dibedakan menjadi 4 yaitu
normal, prehipertensi, hipertensi stadium I, dan hipertensi stadium II dengan
rentang tekanan sistolik dan diastolik sebagai berikut (Tabel 1).

Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien memiliki TD sebesar 135/78 mmHg,


maka pasien tersebut dikatan memiliki tekanan darah yang normal.

b. Respiratory Rate (RR)

9
Hasil pemeriksaan Respiratory Rate pasien adalah 20x/menit, nilai
ini menunjukan data yang normal dengan nilai parameter 4-12x /menit
((Khanna, 2018)

c. Nadi
Frekunsi denyut nadi manusia bervariasi,tergantung dari banyak
faktor yang mempengaruhinya, pada saat aktivitas normal:
1) Normal: 60-100 x/mnt
2) Bradikardi: < 60x/mnt
3) Takhikardi: > 100x/mnt

Berdasarkan data laboratorium yang diperoleh pasien memiliki nilai Nadi


yang normal yaitu 60-100 x/mnt.

d. T
Menurut WHO suhu tubuh manusia dikatakan normal pada suhu 37,2
– 37,5˚C. Suhu tubuh dikatakan Hipotermia pada suhu (< 35˚C), hipertemia
(> 37,5 – 38,3˚C), dan hiperpireksia (> 40 – 41,5˚C). Data laboratorium
menunjukan suhu tubuh pasien yaitu 36,5oC.

e. Hb
Nilai hasil pemeriksaan Hemoglobin pada pasien adalah Hb 9,5 g/dL,
menunjukan nilai yang tidak normal dengan parameter sebagai berikut :

Dari data tersebut diketahui pasien memiliki nilai Hb yang tidak normal
karena kurang dari 13 g/Dl.

f. Hct 30,2%
Nilai hematokrit diukur dalam satuan persentase (%). Setiap orang
memiliki level hematokrit yang berbeda-beda, tergantung jenis kelamin dan
usianya. Berikut ini adalah nilai hematokrit normal berdasarkan usia dan
jenis kelaminnya:

 Pria dewasa: 40–54%.

10
 Wanita dewasa: 38–46%.
 Anak-anak: 30 – 40 %

Data hasil pemeriksaan Hct pasien adalah 30,2%

 Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia (karena berbagai


sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan
hipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami
anemia sedang hingga parah.
 Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi,
kerusakan paru-paru kronik, polisitemia dan syok.
 Nilai Hct biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada
ukuran eritrosit normal, kecuali pada kasus anemia makrositik atau
mikrositik.
 Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merah
lebih kecil), nilai Hct akan terukur lebih rendah karena sel
mikrositik terkumpul pada volume yang lebih kecil, walaupun jumlah sel
darah merah terlihat normal.
 Nilai normal Hct adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin.
 Satu unit darah akan meningkatkan Hct 2% - 4%.

g. Platelet 280x103 /mm3


Nilai normal trombosit adalah 250.000/mm3 (atau sekitar 250x109/L)
sehingga hasil tersebut memenuhi parameter.(Maha, 2010)

h. Leukosit 8,5x103/ mm3


Sel darah putih berperan sebagai sistem imunitas atau membunuh
kuman dan penyakit yang berada dialiran darah manusia. Sel darah putih
memiliki nama lain yang biasa disebut dengan leukosit. Dalam keadaan
normal nilai leukosit berjumlah 3200-10000 mm3 (Giyartika and Keman,
2020). Hasil Pemeriksaan pasien menunjukan nilai leukosit 8.500 mm3,
menunjukan nilai yang normal.

C. Faktor Penyebab Penyakit Peptic Ulcer Pada Pasien


Berdasarkan keluhan nyeri yang diderita pasien, pasien mengeluhkan
nyeri epigastrik, nausea, muntah dan rasa panas di daerah dada. Secara umum
pasien tukak peptik biasanya mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu
sindrom klinik beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung,
nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh di ulu hati setelah makan, dan
cepat merasakan kenyang (Sanusi, 2011).
Pasien tukak peptik menunjukkan ciri-ciri keluhan seperti nyeri ulu hati,
rasa tidak nyaman pada perut dan disertai muntah. Rasa sakit tukak peptik

11
timbul setelah makan, rasa sakit terdapat di sebelah kiri, sedangkan tukak
duodenum rasa sakit terdapat di sebelah kanan garis perut. Kondisi ini sesuai
dengan keluhan yang dirasakan pasien. Selain dari hal tersebut, hal lain yang
mendukung diantaranya yaitu :

a. Usia
Faktor risiko usia dan kelamin menyumbang peningkatan presentase
angka kejadian tukak peptic. Penelitian oleh Barazandeh, dkk menunjukan
bahwa prevelensi penyakit tukak peptic paling banyak ditemukan pada
rentang usia di atas 40 tahun.

b. Makanan
Pasien sangat menyekuai makanan pedas dan rujak, Jenis makanan
merupakan variasi dari beberapa komponen makanan, jenis makanan yang
dimaksudkan adalah jenis makanan yang beresiko untuk penderita gastritis
yang dikonsumsi selama ini. Beberapa jenis makanan tersebut berupa
makanan yang mengandung gas (sawi, kol, kedondong), makanan yang
bersantan, makanan yang pedas, asam, dan lain-lain, mengonsumsi makanan
beresiko, salah satunya makanan yang pedas secara berlebihan akan
merangsang system pencernaan, terutama lambung dan usus untuk
berkontraksi. Bila kebiasaan mengonsumsi makanan tersebut lebih dari satu
kali dalam seminggu dan dibiarkan terus menerus akan menyebabkan iritasi
pada lambung yang disebut dengan gastritis (Oktavini,2011).

c. Merokok
Pasien mengonsumsi 2 bungkus rokok dalam sehari, dimana orang
yang merokok dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terhadap kejadian
Ulkus peptikum. penelitian epidemiologi menunjukkan merokok
meningkatkan risiko baik ulkus duodenal maupun ulkus lambung dan
risikonya tergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi. Merokok
memperlambat penyembuhan ulkus, menyebabkan rekurensi, dan
meningkatkan risiko komplikasi. Berhenti merokok sangat penting untuk
mencegah rekurensi dari ulkus duodenal (Tas et al, 2015).

d. Jenis Kelamin
Menurut publikasi ilmiah dari Harvard Medical School populasi
dengan jenis kelamin laki-laki ditemukan lebih berisiko menderita tukak
peptic. Meskipun hubungan antara usia dan jenis kelamin terhadap kasus
tukak peptic masih belum dpat dipaparkan dengan jelas, naun presentasenya
yang cukup besar membuat factor risiko ini membutuhkan perhatian khusus.

e. Penggunaan Obat NSAID

12
Dari penggalian informasi, diketahui pasien baru saja menjalani
operasi fraktur 1 bulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas dan rutin
mengkonsumsi tramadol 100 mg 1 kali sehari, asam mefenamat 500 mg 2
kali sehari, Dexamethason 0,5 mg 3 kali sehari. Dimana obat asam
mefenamat adalah golongan jangka panjang memiliki 2% sampai 4% risiko
berkembangnya ulcer simtomatik, pendarahan GI atau bahkan perforasi
(Berardy dan Lynda, 2005). Luo et al, 2002 menyebutkan dalam
penelitiannya bahwa usia tua, merokok dan penggunaan nonspesifik cyclo-
oxygenase inhibitors merupakan faktor risiko dari ulkus peptikum pada
penyakit autoimmune dengan penggunaan kortikosteroid.

D. Algoritma Penyembuhan Penyakit Peptic Ulcer Terhadap Pasien

(Berardy dan Lyna, 2005)

E. Monitoring dan Evaluasi Penyakit Peptic Ulcer Terhadap Pasien


Penurunan nyeri epigastrik pada pasien peptik ulkus baik yang
disebabkan oleh H. pylori atau penggunaan NSAID harus dimonitoring untuk
menilai keberhasilan terapi. Umumnya gejala ulkus akan membaik setelah

13
beberapa hari penghentian NSAID atau setelah 7 hari penggunaan obat
antiulkus. Kebanyakan pasien dengan peptic ulkus yang tidak disebabkan karena
infeksi bakteri H. pylori akan mengalami perbaikan gejala setelah menggunakan
satu atau dua obat antiulkus. Perburukan gejala yang muncul setelah beberapa
minggu dapat mengindikasikan kegagalan terapi eradikasi H. pylori atau adanya
alternatif diagnosa lain seperti GERD. (Dipiro, Joseph T., et al., 2008).

Pasien dengan faktor risiko tinggi pada penggunaan NSAID harus


dimonitoring secara ketat terkait dengan gejala yang dapat muncul seperti
perdarahan saluran cerna, obstruksi, penetrasi dan perforasi. Monitoring terapi
menggunakan endoskopi dilakukan pada pasien yang sering mengalami gejala
kekambuhan, penyakit refraktori seperti GERD dan pasien yang telah
mengalami komplikasi sebelumnya. (Dipiro, Joseph T., et al., 2008).

F. Pemeriksaan Lebih Lanjut Terhadap Pasien


Untuk pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan antara lain yaitu :
1. Endoskopi merupakan referensi standar untuk diagnosis dari ulkus
peptikum. Endoskopi memungkinkan visualisasi dan dokumentasi
fotografik sifat ulkus,ukuran, bentuk dan lokasinya dan dapat memberikan
suatu dasar/ basis referensi untuk penilaian penyembuhan ulkus. Ulkus
peptikum ditandai dengan adanya kerusakan mukosa berukuran > 5 mm
yang ditutupi fibrin. Kerusakan < 5 mm disebut sebagai erosi.Predileksi
kerusakan mukosa pada gaster adalah pada angulus kurvatura minor,
sedangkan predileksi ulkus di duodenum adalah pada pars superior
duodenum dimana isi lambung memasuki intestinum. Saat melakukan
endoskopi, dapat pula dilakukan biopsi untuk identifikasi infeksi H.pylori
dan keganasan. Salah satu kekurangan utamanya adalah biaya yang tinggi di
beberapa negara seperti Amerika Serikat. Keputusan untuk melakukan
endoskopi pada pasien yang diduga menderita ulkus peptikum didasarkan
pada beberapa faktor. Pasien dengan komplikasi ulkus peptikum seperti
pendarahan memerlukan evaluasi endoskopi untuk mendapatkan diagnosis
yang akurat agar pengobatannya berhasil.
2. Pemeriksaan radiografi pada saluran gastrointestinal bagian atas juga bisa
menunjukkan ulkus peptikum. Salah satu kekurangannya adalah paparan
radiasi. Keuntungan endoskopi bisa melakukan biopsi mukosa untuk
mendiagnosis Helicobacterpylori, sedangkan radiografi terbatas dalam
praktik dunia kedokteran modern. Diagnosis ulkus peptikum biasanya
dipastikan dengan pemeriksaan barium radiogram. Bila radiografi barium
tidak berhasil membuktikan adanya ulkus dalam lambung atau duo denum
tetapi gejala-gejala tetap ada, maka ada indikasi untuk melakukan

14
pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan kadar serum gastrin dapat dilakukan
jika diduga ada karsinoma lambung atau sindrom Zolliger-Ellison.
3. Deteksi adanya infeksi H. pylori dapat dilakukan secara noninvasif
menggunakan urea breath test (UBT), tes serologi darah, dan stool antigen
test (SAT). Infeksi H.pylori merupakan salah satu penyebab tersering dari
ulkus peptikum.
a. Urea Breath Test merupakan pemeriksaan penunjang pilihan bila
pasien tidak dapat dilakukan endoskopi. Pasien akan diminta menelan
urea yang sudah dilabel dengan isotop karbon 13 atau 14. Kemudian,
sampel napas pasien akan diambil. Pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas sebesar 96% dan spesifisitas sebesar 93%. Selain digunakan
untuk diagnosis, pemeriksaan ini juga ditujukan untuk memonitor
keberhasilan pengobatan. Pada pemeriksaan ini, obat proton pump
inhibitor seperti omeprazole perlu dihentikan selama 2 minggu terlebih
dahulu. Kelemahan dari pemeriksaan ini yaitu akurasinya menurun
pada pasien yang telah dilakukan gastrektomi distal.
b. Stool Monoclonal Antigen Tests juga termasuk pilihan pemeriksaan
penunjang noninvasif untuk diagnosis infeksi H.pylori. Stool
monoclonal antigen test dapat dilakukan melalui enzyme immunoassay
(EIA) dan immunochromatography (ICA). Pemeriksaan ini merupakan
pilihan pada pasien yang telah dilakukan gastrektomi distal dan anak
anak. Pemeriksaan ini juga dipakai sebagai indikator kesembuhan
karena hanya dapat mendeteksi infeksi yang aktif. Pada pemeriksaan
ini, obat proton pump inhibitor juga perlu dihentikan selama 2 minggu
terlebih dahulu.
c. Tes serologi mendeteksi anti-immunoglobulin G yang spesifik dari
H.pylori pada serum. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas tinggi
>90%, namun kelemahan dari pemeriksaan ini adalah tidak dapat
membedakan infeksi aktif dan infeksi terdahulu.

G. Target serta Terapi Penyakit Peptic Ulcer Pada Pasien


Target terapi pada pasien dengan ulkus aktif yang positif Helicobacter
pylori, ulkus yang didokumentasikan sebelumnya, atau riwayat komplikasi
terkait maag, adalah untuk membasmi HP, menyembuhkan maag, dan
menyembuhkan penyakitnya. Pemberantasan yang berhasil menyembuhkan
tukak dan mengurangi risiko kekambuhan hingga kurang dari 10% dalam 1
tahun. Tujuan dari terapi pada pasien dengan ulkus yang diinduksi NSAID
adalah untuk menyembuhkan ulkus secepat mungkin. Pasien dengan risiko
tinggi mengembangkan ulkus NSAID harus dialihkan ke inhibitor COX-2 atau
menerima obat profilaksis terapi bersama untuk mengurangi risiko ulkus dan
komplikasi terkait ulkus. Sebisa mungkin, rejimen obat yang paling hemat biaya
harus digunakan. Tujuan utama pengobatan ulkus peptikum adalah untuk

15
mengurangi rasa sakit, mempercepat penyembuhan ulkus dan mencegah
terjadinya residif ataupun komplikasi.

1) Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi Peptik ulcer bisa dilakukan dengan menggunakan
obat-obatan antara lain:

a. Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan
cara berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada
sel pariental lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 maka akan
dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan
reseptor digantikan dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan.
Efek samping obat golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit
pada otot dan konstipasi (Berardy and Lynda, 2005).
Tabel 1. Obat-obat Antagonis Reseptor H2

Obat Dosis Frekuensi


Simetidin Per oral 300 mg atau 4x sehari
400 mg 2x sehari 1x sehari
800 mg 4x sehari
IV 300 mg
Ranitidin Per oral 150 mg atau 2x sehari
300 mg 1x sehari
IV 50 mg 3-4x sehari
Famotidin Per oral 20 mg atau 2x sehari
40 mg 1x sehari 1x sehari
IV 20 mg
Nizatidin Per oral 150 mg atau 2x sehari
300 mg 1x sehari
(Lacy dkk, 2008).

Kemampuan antagonis reseptor H2 menurunkan asam lambung


disamping dengan toksisitas rendah merupakan kemajuan dalam
pengobatan penyakit. Hasil dari beberapa uji klinik menunjukkan obat-
obat ini dapat menjaga gejala dengan efektif selama episode akut dan
mempercepat penyembuhan tukak duodenal (Ghosh dan Kinnear, 2003).

b. PPI (Proton Pump Inhibitor)


Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase
yang akan memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan

16
untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli serta pariental ke dalam lumen
lambung. Panjang dapat menimbulkan kenaikan gastin darah dan dapat
menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia belum
terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang (Tarigan,
2001).
Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan dieliminasi di
ginjal. Denganpengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian
dosis pada penyakit liver dan penyakit ginjal. Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr,
Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr, Pantoprazol 40 mg/hr dan
Esomeprazol 20-40 mg/hr (Lacy dkk, 2008).
Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap
produksi asam. Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat
anhidrase mukosa lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap
sifat suspensi asamnya (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). Efek samping obat
golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah, dan
ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari
penggunaan PPI (Lacy dkk, 2008).

c. Sulkrafat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis
protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap
terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh
polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh
pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi
produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal (Parischa dan
Hoogerwefh, 2008).
Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping
yang sering dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering (Berardy
dan Lynda, 2005).

d. Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama
protein pada dasar tukak dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan
asam. Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman
sehingga timbul keraguan dengan pendarahan (Tarigan, 2001).

e. Analog Prostaglandin : Misoprostol


Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah
sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa.
Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien
yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg pagi dan
malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi

17
otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil
(Tarigan, 2001).
Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis (kondisi penyakit
bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit radang usus,
sehingga pemakaiannya harus dihindari pada pasien ini. Misoprostol
dikontaindikasikan selama kehamilan, karena dapat menyebabkan aborsi
akibat terjadinya peningkatan kontaktilitas uterus.

f. Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan nyeri
dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara
lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare
sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya saling
menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi. Dosis:
3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan sebelum tidur). Efek samping
diare, berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat, salisilat, dan kinidin
(Tarigan, 2001).

Pasien menggunakan obat-obatan golongan NSAID maka pasien


disarankan melakukan terapi farmakologi dengan obat-obatan golongan H2RA
atau PPI karena Pengguna NSAID jangka panjang memiliki 2% sampai 4%
resiko berkembangnya ulcer simtomatik, pendarahan GI atau bahkan perforasi.
Jika NSAID dihentikan maka pengobatan diberikan standar regimen H2
reseptor antagonis, PPI atau sulkrafat. Jika penggunaan NSAID dilanjutkan
maka NSAID dapat diganti dengan inhibitor COX-2 selektif atau dapat diterapi
dengan menggunakan PPI atau misoprostol. PPI merupakan pilihan yang tepat
untuk penggunaan NSAID daripada H2 reseptor antagonis atau sulkrafat,
karena selain dapat menekan produksi asam, PPI juga mempunyai efek dapat
mencegah kekambuhan ulcer (Berardy dan Lynda, 2005).
Terapi awal jangka pendek dengan penghambat pompa proton
merupakan terapi pilihan pada penyakit refluks gastroesofagal dengan gejala
yang berat; pasien dengan esofagitis erosif, ulseratif atau striktur yang
ditegakkan melalui pemeriksaan endoskopi juga biasanya memerlukan terapi
pemeliharaan dengan penghambat pompa proton.
Penghambat pompa proton juga digunakan untuk mencegah dan
mengobati tukak yang menyertai penggunaan AINS. Pada pasien yang perlu
melanjutkan pengobatan dengan AINS setelah tukaknya sembuh, dosis
penghambat pompa proton tidak boleh dikurangi karena dapat memperburuk
tukak yang tanpa disertai gejala.
Peringatan: Penghambat pompa proton sebaiknya digunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan penyakit hati, kehamilan dan menyusui.
Penghambat pompa proton dapat menutupi gejala kanker lambung ; perhatian

18
khusus perlu diberikan pada orang-orang yang menunjukkan gejala-gejala yang
membahayakan (turunnya berat badan yang signifikan, muntah yang berulang,
disfagia, hematemesis atau melena), pada kasus-kasus seperti ini penyakit
kanker lambungnya sebaiknya dipastikan terlebih dahulu sebelum dimulai
pengobatan dengan penghambat pompa proton.
Efek samping: Efek samping penghambat pompa proton meliputi
gangguan saluran cerna (seperti mual, muntah, nyeri lambung, kembung, diare
dan konstipasi), sakit kepala dan pusing. Efek samping yang kurang sering
terjadi diantaranya adalah mulut kering, insomnia, mengantuk, malaise,
penglihatan kabur, ruam kulit dan pruritus. Efek samping lain yang dilaporkan
jarang atau sangat jarang terjadi adalah gangguan pengecapan, disfungsi hati,
udem perifer, reaksi hipersensitivitas (termasuk urtikaria, angioedema, bronko-
spasmus, anafilaksis), fotosensitivitas, demam, berkeringat, depresi, nefritis
interstitial, gangguan darah (seperti leukopenia, leukositosis, pansitopenia,
trombositopenia), artralgia, mialgia dan reaksi pada kulit (termasuk sindroma
Stevens- Johnson, nekrolisis epidermal toksik, bullous eruption). Penghambat
pompa proton, dengan mengurangi keasaman lambung, dapat meningkatkan
risiko infeksi saluran cerna.
Tabel 2. Regimen Terapi Obat Untuk Penyembuhan Tukak Peptik

Obat Mengobati tukak Terapi pemeliharaan tukak


lambung dan lambung dan duodenum
duodenum (mg/dosis) (mg/dosis)
Penghambat pompa
proton
Omeprazol 20-40 20-40
Lansoprazol 15-30 15-30
Rabeprazol 20 20
Pantoprazol 40 40
Esomeprazol 20-40 20-40
H2-RA
Simetidin 300 (4kali sehari) 400-800
400 (2kali sehari)
800
Famotidin 20 (2kali sehari) 20-40
Nizatidin 40
Ranitidin 150 (2kali sehari) 150-300
300
150 (2kali sehari) 150-300
300
1( 4kali sehari) 1-2 (2kali sehari)
Sukralfat (g/dosis) 2 (2kali sehari) 1 (4kali sehari)

19
 Omeprazol
- Indikasi: Tukak lambung dan tukak duodenum, tukak lambung dan
duodenum yang terkait dengan AINS, lesi lambung dan duodenum,
regimen eradikasi H. pyloripada tukak peptik, refluks esofagitis,
Sindrom Zollinger Ellison.
- Efek Samping: Dilaporkan paraesthesia, vertigo, alopesia, ginekomastia,
impotensi, stomatitis, ensefalopati pada penyakit hati yang parah,
hiponatremia, bingung (sementara), agitasi dan halusinasi pada sakit yang
berat, gangguan penglihatan dilaporkan pada pemberian injeksi dosis
tinggi.
- Dosis: Tukak lambung dan tukak duodenum (termasuk yang komplikasi
terapi AINS), 20 mg satu kali sehari selama 4 minggu pada tukak
duodenum atau 8 minggu pada tukak lambung; pada kasus yang berat atau
kambuh tingkatkan menjadi 40 mg sehari; pemeliharaan untuk tukak
duodenum yang kambuh, 20 mg sehari; pencegahan kambuh tukak
duodenum, 10 mg sehari dan tingkatkan sampai 20 mg sehari bila gejala
muncul kembali.
Tukak lambung atau tukak duodenum karena AINS dan erosi
gastroduodenum, 20 mg sehari selama 4 minggu, diikuti 4 minggu berikutnya
bila tidak sepenuhnya sembuh; profilaksis pada pasien dengan riwayat tukak
lambung atau tukak duodenum, lesi gastroduodenum, atau gejala dispepsia
karena AINS yang memerlukan pengobatan AINS yang berkesinambungan, 20
mg sehari.

 Lansoprazol
- Efek Samping: Dilaporkan alopesia, paraestesia, bruising,
purpura, petechiae, lelah, vertigo, halusinasi, bingung; jarang terjadi:
ginekomastia, impotensi.
- Dosis: Tukak lambung, 30 mg sehari pada pagi hari selama 8 minggu.
Tukak duodenum, 30 mg sehari pada pagi hari selama 4 minggu;
pemeliharaan 15 mg sehari. Tukak lambung atau tukak duodenum karena
AINS, 15-30 mg sekali sehari selama 4 minggu, dilanjutkan lagi selama 4
minggu jika tidak sepenuhnya sembuh; profilaksis, 15-30 mg sekali sehari.

2) Terapi Non Farmakologi

a. Istirahat
Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila
kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya
belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam istirahat, berkurangnya
refluks empedu, stress dan penggunaan analgesik. Stress dan kecemasan

20
memegang peran dalam peningkatan asam lambung dan penyakit tukak
(Tarigan, 2001).

b. Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung
susu tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan
merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan
mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien tukak
dan dispepsia non tukak, walaupun belum dapat dibuktikan keterkaitannya
(Tarigan, 2001).

c. Pantang merokok
Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik,
menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus
duodenum, menambah refluks duogenogastrik akibat relaksasi sfingter
pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak (Tarigan, 2001).Alkohol
belum terbukti mempunyai efek yang merugikan. Air jeruk yang asam, coca-
cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung
tetapi dapat menambah sekresi asam dan belum jelas dapat menghalangi
penyembuhan tukak dan sebaiknya diminum jangan pada waktu perut
sedang kosong (Tarigan, 2001).

3) Fitoterapi
Terdapat beberapa tanaman yang berkhasiat dalam menangani peptic
ulcer, diantaranya yaitu :

a. Rimpang Jahe (Zingiberis officinale)


Jahe cukup terkenal sebagai obat herbal misalnya dalam mengatasi
gangguan pada sistem pencernaan sejak ratusan tahun silam dan khasiatnya
telah dibuktikan oleh banyak penelitian. Menurut sebuah studi pada 2011,
peserta yang meminum suplemen jahe selama satu bulan mengalami
pengurangan peradangan pada sistem pencernaannya. Hal ini karena efek
hangat dari jahe dapat membantu menenangkan tubuh sekaligus mengurangi
produksi asam lambung.
Dari studi ini, diketahui bahwa jahe kaya dengan antioksidan serta
fenolat yang dapat meredakan iritasi saluran cerna dan mengurangi kontraksi
otot lambung. Bahkan, bahan aktif yang terkandung pada jahe sebenarnya
juga ada pada obat antasida. Berkat zat-zat tersebut, jahe juga berpotensi
mengurangi kemungkinan asam lambung yang berlebihan mengalir dari
perut ke kerongkongan.
Kandungan kimia yang terdapat pada jahe yaitu minyak atsiri
(bisabolene, cineol, phellandrene, citral, citronellol, geraniol, linalool,

21
limonene, zingiberol, zingiberene, camphene); oleoresin (gingerol, shogaol);
fenol (gingerol, zingeron); enzim proteolitik (zingibain); Vitamin B6;
Vitamin C; Kalsium; Magnesium; Fosfor; Kalium; Asam linoleate.
Anda dapat mengolah jahe sebagai obat herbal untuk peptic ulcer
dengan berbagai cara, seperti:
- Dikupas dan diparut atau diiris tipis-tipis untuk dicampur dalam masakan.
- Dikupas dan dimakan mentah.
- Diiris dan direbus bersama air, kemudian dijadikan air jahe untuk diminum.
Hal yang paling penting untuk diingat adalah konsumsi jahe
secukupnya yaitu empat gram atau sekitar kurang dari seperdelapan cangkir
yang dibagi dalam beberapa kali konsumsi. Selain itu, telah banyak produk-
produk jahe berbentuk serbuk siap seduh seperti : Jamu Iboe Natural Drink
Jahe (cara konsumsi : seduh sebungkus Jahe 25gram dengan air matang
150ml, dosis : 1-3x sehari satu bungkus), dll.

b. Chamomille
Tanaman berbunga ini ternyata sudah cukup lama digunakan sebagai
obat tradisional untuk mengatasi sakit perut. Sama seperti jahe, chamomile
mengandung zat antiradang yang khasiatnya tidak jauh berbeda dengan obat
pereda nyeri golongan NSAID seperti aspirin. Hal ini dilaporkan dalam
sebuah studi terbitan jurnal Molecular Medicine Reports. Studi tersebut
menyebutkan bahwa chamomile dapat meredakan banyak gangguan
pencernaan. Bahan herbal ini membantu mengatasi efek kenaikan asam
lambung, menghambat pertumbuhan bakteri H. pylori, dan mengurangi
kejang otot di perut. Semua manfaat ini menunjukkan bahwa chamomile
dapat digunakan sebagai pilihan obat alami untuk meredakan gejala GERD.
Anda bisa memperoleh khasiat chamomile dengan menyajikannya sebagai
teh chamomile.
Selain itu, Sebuah penelitian in-vitro dan hewan di laboratorium
menunjukkan bahwa chamomile memiliki kemampuan antiinflamasi dan
antimikroba. Penyakit asam lambung menyebabkan asam lambung bergerak
mundur ke kerongkongan. Kondisi ini sering menyebabkan peradangan yang
menyakitkan di tenggorokan.Sehingga dengan hal tersebut terdapat
kemungkinan efek antiinflamasi chamomile membantu penyakit asam
lambung. Ramuan herbal yang mengandung ekstrak chamomile juga mampu
menurunkan keasaman lambung serta antasida komersial. Teh chamomile
juga dianggap lebih efektif daripada antasida dalam mencegah hiperasiditas
sekunder.

c. Rimpang Kunyit (Curcuma Domestica)

22
Rasa yang agak pahit, sedikit pedas, bau khas dan sifat yang sejuk
dan tidak beracun menjadi obat khas gangguan saluran pencernaan yang
sudah banyak digunakan dalam fitoterapi penyakit tersebut.
Kandungan kimia yang terkandung dalam kunyit yaitu: kurkuminoid
(kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksi kurkumin); resin; minyak
atsiri termasuk α dan ¥ atlanton; kurlon; zingiberene; dan kurkumol. Efek
yang ditimbulkan yaitu kunyit mampu melindungi mukosa lambung
terhadap iritasi dengan cara meningkatkan sekresi musin.
Kurkumin bekerja dengan cara menurunkan regulasi H+, K+ dan
ATPase sehingga produksi asam lambung menurun, menurunkan aktivitas
dari Helicobacter pylori serta melindung mukosa lambung.
Cara membuat jamu kunyit ini yaitu dengan merebus 10-25gram
rimpang kunyit, kemudian air hasil rebusan tersebut diminum. Selain dengan
perebusan, saat ini telah banyak juga produk siap digunakan misalnya: Jamu
Cap Bunga Melati (komposisi : kunyit dan gula aren, cara konsumsi : seduh
2 sendok makan dengan secangkir air mendidih sebanyak 2x sehari/pagi dan
sore hari), Jamu Sidomuncul Sari Kunyit (diminum 1-3x sehari sebanyak 1
kapsul), dll.

d. Kulit Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)


Kayu manis bekerja sebagai proton pump inhibitor (PPI) dengan cara
menghambat aksi pompa H+/K+ATPase, sehingga ion H+ tidak bisa keluar,
dan akibatnya HCl tidak terbentuk menyebabkan sekresi asam lambung
terhambat. Dalam kayu manis terdapat kandungan minyak atsiri yang
bermanfaat sebagai anti inflamasi sehingga dapat mengurangi kerusakan
lambung yang disebabkan oleh aspirin atau penyebab lain. Selain sebagai
antiinflamasi, minyak atsiri ini juga bermanfaat sebagai antioksidan yang
mampu menetralisir atau menangkal radikal- radikal bebas yang dihasilkan
selama proses peradangan.
Produk dari kulit kayu manis yang terkenal yaitu Redacid 250 mg
Kaplet yang mengandung ekstrak kulit kayu manis 250mg. Herbal ini
digunakan untuk terapi pengobatan asam lambung, Tukak duodenum,
Hiperasiditas pada lambung, Gastritis, dan Refluks esophagitis. Aturan
konsumsi dari obat ini yaitu untuk nyeri ringan: 1x1 kaplet sehari sedangkan
untuk nyeri sedang hingga berat: 2-3 kaplet sehari sesudah makan.

23
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit peptic ulcer adalah lubang atau peradangan terbuka yang
muncul saat lapisan dalam perut (ulkus gastrik) atau bagian atas usus kecil
(ulkus duodenal) rusak akibat cairan asam pencernaan.
Berdasarkan kasus Tn. Jono (54 tahun), diketahui hasil data laboratorium
yang terobservasi menunjukkan bahwa tekanan darah, respiratory rate, nadi,
suhu, platelet, dan leukosit pasien normal, sedangkan Hb dan Hct pasien
tergolong rendah.
Faktor yang mempengaruhi pasien terdiagnosa penyakit peptic ulcer,
diantaranya adalah usia dan jenis kelamin, makanan, merokok, dan penggunaan
obat NSAID. Tn. Jono perlu melakukan monitoring dan evaluasi terkait kasus
penyakit peptic ulcer yang diderita, selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut, seperti endoskopi, radiografi, deteksi adanya infeksi H. Pilory.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, maka kami
menyarankan pasien untuk melakukan penggunaan obat golongan PPI, atau bisa
juga dilakukan fitoterapi dengan mengkonsumsi obat bahan alam seperti air
rebusan jahe atau kunyit, teh chamomile, atau kaplet ridacid dari kulit kayu
manis. Untuk membantu tercapainya efek terapi, pasien sangat disarankan untuk
melakukan terapi non-farmakologi dengan istirahat yang cukup, memperhatikan
asupan makannan, dan berhenti merokok.

B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini semoga dapat memberikan pengetahuan
dan pemahaman bagi penulis dan pembaca, serta dapat digunakan sebagai
infromasi terhadap kasus penyakit peptic ulcer.

Dan kepada rekan mahasiswa sebaiknya mencari referensi buku yang


lebih banyak dan menampilkan lebih banyak contoh sehingga makalah lebih
menarik. Penulis berharap, semoga isi dari makalah ini dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya sebagai bahan bacaan maupun bahan acuan dalam
berpikir dan bertindak dalam keseharian.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ajjah, B. F. F., Mamfaluti, T. and Putra, T. R. I. (2020) ‘Hubungan Pola Makan Dengan
Terjadinya Gastroesophageal Reflux Disease (Gerd)’, Journal of Nutrition
College, 9(3), pp. 169–179. doi: 10.14710/jnc.v9i3.27465.

Akil dan Tarigan P. 2006. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
IPD FK UI, pp: 335-44

Amran, Pramansa. 2018. Analisis Perbedaan Kadar Kalsium (Ca) Terhadap Karyawan
Teknis Produktif Dengan Karyawan Administratif Pada Persero Terbatas
Semen Tonasa. Jurnal Media Analis Kesehatan, Vol. 1, Edisi 1,Juni2018

Barazandeh F, Yazdanbod A, Pourfarzi F, Sepanlou SG, Derakhshan MH, Malekzadeh


R. Epidemology of Peptic Ulcer Disease: Endoscopic Results of a Systemic
Investigation in Iran. Middle East J Dig Dis 2012;4(2):90-6

Berardy, R.R, dan Lynda, S.W., 2005, Peptic Ulcer Disease dalam Pharmacotherapy a
Phatophysiologic Approach, Sixth Edition, McGraw- Hill, Medical Publishing
Division by The McGra-Hill Companies
Berardi, R. R., & Welage, L. S. 2008. Peptic Ulcer Disease. In J. T. Dipiro, R. L.
Tabert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, & L. M. Posey (Eds.),
Pharmacotheraphy A Pathopshyologic Approach (7th ed., 569–578). New
York: Mc. Graw Hill. http://doi.org/10.1036/007147899X

Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, et al. Schwartzs Principles of Surgery,10th
Edition. New York: McGraw Hill Education; 2015.

Dipiro, Joseph T., et al., (2008). Pharmacotherapy: A Phatophysiology Approach, 7 th


Edition, Columbus: McGraw-Hill Company.

Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.

Harvard Health Publishing.Peptic Ulcer. Harvard Medical School 2014


Hutabarat, Johan Candra Juliner. 2016. Perancangan Aplikasi Menentukan Berat Badan
Ideal Denganmenggunakan Algoritma K-Meansclustering. Jurnal Riset
Komputer (JURIKOM), Volume : 3, Nomor: 5, Oktober2016

25
Idacahyati, K. et al. (2020) ‘Hubungan Tingkat Kejadian Efek Samping Antiinflamasi
Non Steroid dengan Usia dan Jenis Kelamin’, Jurnal Farmasi Dan Ilmu
Kefarmasian Indonesia, 6(2), p. 56. doi: 10.20473/jfiki.v6i22019.56-61. Peptic
ulcer - Harvard Health

J.Fashner, A.C Gitu. Diagnosis and Treatment of Peptic Ulcer Disease and H.
pyloriInfection. Am Fam Phys, 2015. 91(4) : 236-242.

Khanna, V. K. (2018) ‘Physiological Parameters’, Medical Sensors and Lab-on-a-Chip


Devices, 5, pp. 655–667. doi: 10.1142/9789813221246_0035.

Keshav S. 2004. The gastrointestinal system at a glance. 1st ed. Massachusetts:


Blackwell Science. p.36-9

Kumar A, Ashwlayan V, Verma M. 2019. Diagnostic approach & pharmacological


treatment regimen of Peptic Ulcer Disease. Phar Pharm Res Open Acc J.
(2019);1(1):1‒12. DOI: 10.30881/pproaj.00001

Lanas A, Chan FKL. Peptic Ulcer Disease. Lancet, 2017. 390 : 613-24.

Malfertheiner P, Chan FK, McColl KE. Peptic ulcer disease. The Lancet, 2009.
374(9699): 1449–1461. doi:10.1016/s0140-6736(09)60938-7

McGuigan JE. Ulkus Peptikum dan Gastritis, Dalam Isselbacher KJ,Braunwald E,


Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Prinsip-PrinsipIlmu Penyakit
Dalam, (Edisi kedua). Jakarta: EGC; 2000.

M.Ferwana, I. Abdulmajeed, A. Alhajiahmed, W. Madani, B. Firwana, et al.


Accuracy of urea breath test in Helicobacter pylori infection: Meta-analysis.
World J Gastroenterol. 2015, 21(4): 1305–1314

Mondrida, Gina. Dkk. 2018. Validasi Kit Irma Tsh Untuk Penentuan Kadar Tsh Dalam
Serum Darah Manusi. JKPK (JURNAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA),
Vol3, No3, Tahun 2018

Sabrudin, Hermin dan Ferry Armanza. 2018. Korelasi Tumor Marker Cancer
Antigen(CA-125) terhadap kadar Hemoglobin, Leukosit, dan Platelet Limfosit

26
Ratio pada Pasien Kanker Ovarium di RSUD ULIN Banjarmasin. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Wijaya Kusuma 7(1) : 93-106, Maret 2018

Santacroce L, M.S. Bhutani. Helicobacter Pylori Infection Workup.


https://emedicine.medscape.com/article/176938-workup#c2, 2018.

Sanusi, I. A. 2011. Tukak Lambung. In A. A. Rani, M. S. K., & A. F. Syam (Eds.),


Buku Ajar Gastroenterologi (328–345). Jakarta: Interna Publishing.

Saverio, S.Di et al., 2014. A Cost-Effective Technique for Laparoscopic Appendectomy :


Outcomes and Costs of a Case-Control Prospectiv Single-Operator Study of 112
Unselected Consecutive Cases of Complicated Acute Appendicitis. Journal of the
American College of Surgeons, 218(3), pp.e51-e65.Available at:
http;//dx.doi.org/10.1016/j.jamcollsurg.2013.12.003.

Setiati (Eds.), Ilmu Penyakit Dalam Jilid I (IV, 338–341). Jakarta: FKUI.

Susanti, Andri., B. Dodik, dan U. Vera. 2011. Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa
Intitut Pertanian Bogor (IPB). Jurnal Kedokteran Indonesia 2(1):80-91

Tarigan, P. 2006. Tukak Gaster. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S.

Tarigan, R. and Pratomo, B. (2019) ‘Analisis Faktor Risiko Gastroesofageal Refluks di


RSUD Saiful Anwar Malang’, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 6(2), p. 78.
doi: 10.7454/jpdi.v6i2.306.

T.Shimoyama. Stool antigen tests for the management of Helicobacter pylori infection.
World J Gastroenterol. 2013, 19(45): 8188–8191.

W.D. Chey, G.I. Leontiadis, C.W. Howden, S.F. Moss. ACG Clinical Guideline:
Treatment of Helicobacter pylori Infection. Am J Gastroenterol.
2017,112:212–238.

Wilson, L.M dan Lindseth,G.M,2005, Pathophysiologi: Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit, Volome 1 Edisi 6, Silvia Anderson dan Lorain Carty Wilson (Editor),
diterjemahkan oleh Peter Anugrah ,EGC, Jakarta

World Life Expectancy. World Life Expectancy. [serial online] 2014 [cited 2017 Sep 5].

27

Anda mungkin juga menyukai