Anda di halaman 1dari 115

627

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya

bermakna dalam penggunaan di klinik. Sering absorpsi ampisilin oraf tidak cukup memuaskan sehingga perlu meningkaikan dosis. Ester ampisilin
misalnya. pivampisilin, bakampisilin dan hetasilin
diabsorpsi lebih baik daripada ampisilin' Berbagai
enzim dalam mukosa saluran cerna, serum dan

jaringan lain menghidrolisis ester-ester ini dan


membebaskan ampisilin.

Absorpsi amoksisilin di saluran cerna jauh


lebih baik daripada ampisilin. Dengan dosis oral
yang sama, amoksisilin mencapai kadar dalam
darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi
daripada yang dicapai oleh ampisilin, sedang masa
paruh eliminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan di
lambung, sedang amoksisilin tidak.
Metisilin dan nafsilin tidak diberikan per oral
sebab cepat dirusak oleh asam lambung dan absorpsinya buruk. Karbenisilin tidak diabsorpsi di
saluran cerna. Dalam bentuk ester, indanil karbenisilin sangat tahan asam dan dapat diberikan oral.
Pada pemberian 1 g lM, kadar puncak karbenisilin
dalam plasma mencapai 15 sampai 20 pg/ml dalam
0,5 sampai 2 jam. Aktivitasnya hilang sekitar 6 iam
sesudah pemberian. Waktu paruh eliminasi pada
individu dengan lungsi ginjal normal, sekitar 1 jam
dan dapat memanjang hingga 2 jam bila ada kelainan fungsi hati. Sekitar 50% obat ini terikat pada
protein plasma.

Tikarsilin, suatu bentuk ester lain dari karbeni-

silin, tidak stabil pada pH asam sehingga hartis


diberikan parenteral. Sulbenisilin, azlosilin, mezlosilin dan piperasilin juga diberikan parenteral.
DISTRIBUSI, Penisilin G didistribusi luas dalam
tubuh. lkatan proteinnya ialah 65%. Kadar obat
yang memadai dapat tercapai dalam hati, empedu,
ginjal, usus, limfe dan semen, tetapi dalam CSS
sukar dicapai. Bila meningen dalam keadaan normal, sukarsekali dicapai kadar0,5 UUml dalam CSS
walaupun kadar plasmanya 50 Ul/ml. Adanya
radang meningen lebih memudahkan penetrasi
penisilin G ke CSS tetapi tercapai tidaknya kadar
efektil tetap sukar diramalkan. Pemberian intratekal
jarang dikerjakan karena risiko yang lebih tinggi dan
efektivitasnya tidak lebih memuaskan.

Distribusi lenoksimetil penisilin, leneiisilin,


penisilin isoksazolil dan metisilin pada umumnya
sama dengan penisilin G. Dengan dosis yang sama'
kadar puncak dalam serum tertinggi dicapai oleh
diklosasilin, sedangkan kadar tertinggi obat bebas
dalam serum dicapai oleh llukloksasilin. Perbedaan
nyata yang terlihat antara lain adalah dalam hal
pengikatan oleh protein plasma. Penisilin isoksazolil memiliki angka ikatan protein tertinggi (Tabel
43-2). Dengan dosis yang sama, dikloksasilin oral
maupun lV menghasilkan kadar dalam darah lebih
tinggi daripada oksasilin ataupun kloksasilin karena
adanya perbedaan distribusi dan eliminasi'

Tabel 43-2. PARAMETER FARMAKOKINETIK BEBERAPA PENISILIN

Jenis Penisilin

Penisilin G
Penisilin V
Metisilin
Oksasilin
Kloksasilin
Dikloksasilin
Flukloksasilin
Ampisilin
Hetasilin
Pivampisilin
Amoksisilin
Karbenisilin
Sulbenisilin
Tikarsilin
Azlosilin
Mezlosilin

Cara
Pemberian

IM

Dosis

IM

IM
IV
IM
IV
IM

oral
(% dosis)

Plasma
(pg/ml)

8U

300.000 u
49

oral
oral
oral
oral
oral
oral
oral
oral
oral

Bioavailabilitas KadarPuncak

1g
1g
1g
0,5 g
0,5 g
0,5 g
0,45 g
0,5 g
0,5 g

30-50
37
49

10
5 - 10

5-10
15
11

49
32
65

65-78

2,5
5,7
6,75

1g

15-20

4g
29
5g
3g

157

60
236,5
100

protein
plasma

lkatan

t1/2 Plasma
(menit)

("/t
65
75
40

a:

90-95

30-60

94
97
93
20
20
20
20
50

33
37

45

20-40
16-42

30-60
60-90
60-90
60-90
60-90
60
70
70
60
60

Pengantar Antimikroba

XII. ANTIMIKROBA
39. PENGANTAR ANTIMIKROBA
R. Setiabudy dan Vincent H.S. Gan

1.

7. Sebab kegagalan terapi

Delinisi

2. Aktivitas dan spektrum

8. Penggunaan antimikroba di klinik

3. Mekanisme kerja
4.

8.1. lndikasi

Resistensi

8.2. Pilihan antimikroba dan posologi

5. Elek samping
6.

8.3. Kombinasi antimikroba

Faktor pasien yang mempengaruhi larmakodinamik dan {armakokinetik

8.4. Kemoprofilaksis antimikroba

2. AKTIVITAS DAN SPEKTRUM

1. DEFINISI

ANTIMIKROBA.

Antimikroba (AM) ialah obat pembasmi mikroba,


khususnya mikroba yang merugikan manusia. Dalam pembicaraan di sini, yang dimaksudkan dengan
mikroba terbatas pada jasad renik yang tidak termasuk kelompok parasit.

Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama lungi, yang dapat menghambat
atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak
antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau
sintetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari
AM sintetikyang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon) iuga sering
digolongkan sebagai antibiotik.

Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab inleksi pada manusia, ditentukan

harus memiliki silat toksisitas selektil setinggi


mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat
sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatil tidak toksik untuk hospes. Silat toksisitas selektil yang absolut belum atau mungkin juga tidak akan diperoleh.

Berdasarkan silat toksisitas selektif, ada


m

krob

y an

be rs

il

at

mengh.a

m b:alLae4!u.

anti- , *5-

!l [uJ

kenal se bag ai a Eli vltas b! kteri 3:tati "k ;


yang
bersilat membunuF mfkiriba, tilR6fr6l
dan ada
sebagai aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang
diperl,rkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal

$-i Kr.qb.a*gi

sebagaikadar hambat minimal(KHM) dan kadar


bunuh minimal (KBM). Antimikrobatertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik meniadi
bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan
melebihiKHM.
'deSifat antimikroba dapat berbeda satu
ngan lainnya. Umpamanya, penisilin G bersifat
aktil terutama terhadap bakteri gram-positif, sedangkan bakteri gram-negatif pada umumnya tidak
peka (esisten) terhadap penisilin G; slreptomisin
memiliki si{at yang sebaliknya; tetrasiklin aktil terhadap beberapa bakteri gram-positif maupun baklerigram-negatil, dan juga terhadap Rickeftsia dan

Sl."

572

Farmakologi dan Terapi

Chlamydia. Berdasarkan perbedaan silat ini antimikroba dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berspektrum sempit (umpamanya: benzil penisilin dan
streptomisin), dan berspektrum luas (umpamanya
tetrabiklin dan kloramlenikol). Batas antara kedua
jenis spektrum ini terkadang tidak jelas.

Walaupun suatu antimikroba berspektrum


luas, efektivilas kliniknya belum tentu seluas spektrumnya sebab efektivitas maksimal diperoleh de-

ngan menggunakan obat terpilih untuk infeksi yang


sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap
mikroba lain. Di samping itu antimikroba berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi
oleh kuman atau jamur yang resisten. Di lain pihak
pada septikemia yang kausanya belum diketahui diperlukan antimikroba yang berspektrum luas sementara menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik,

3. MEKANISME KERJA ANTIMIKROBA


Pemusnahan mikroba dengan antimikroba

yang bersilat bakteriostatik masih tergantung dari


kesanggupan reaksi daya tahan tubuh hospes.
Peranan lamanya kontak antara mikroba dengan
antimikroba dalam kadar efektif juga sangat menen-

tukan untuk mendapatkan elek; khususnya pada


tuberkulostatik.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima kelompok : (1) yang mengganggu metabolisme sel mikroba; (2) yang menghambat sintesis dinding sel mikroba; (3) yang meng-

ganggu permeabilitas membran sel mikroba; (4)


yang menghambat sintesis protein sel mikroba; dan
(5) yang menghambat sintesis atau merusak asam
nukleat sel mikroba.

Antimikroba yang menghambat metabolisme


sel mikroba. Antimikroba yang termasuk dalam

ini ialah sulfonamid, trimetoprim, asam


p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek baheriostatik.
Mikroba membuluhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan mamalia
yang mendapatkan asam lolat dari luar, kuman
patogen harus mensintesis sendiri asam lolat dari
kelompok

asam para amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan


hidupnya. Apabila sulfonamid atau sullon menang
bersaing dengan PABA untuk diikutsertakan dalam
pembentukan asam folat, maka terbentuk analog

asam folat yang nonlungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu. Berdasarkan sifat
kompetisi, efek sullonamid dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar PABA.
Untuk dapat bekerja, dihidrololat harus diubah
menjadi bentuk aktilnya yaitu asam tetrahidrofolat.
Enzim dihidrofolat reduktase yang berperanan di
sini dihambat oleh trimetoprim, sehingga asam dihidrololal tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat yang fungsional.
PAS merupakan analog PABA, dan bekerja
dengan menghambat sintesis asam lolat pada M.
tuberculosis. Sullonamid tidak efektif terhadap M.
tuberculosis dan sebaliknya PAS tidak efektif terhadap bakteri yang sensitil terhadap sullonamid. perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan enzim

untuk sintesis asam folat yang bersifat sangat


khusus bagi masing-masing jenis mikroba.

Antimikroba yang menghambat sintesis dinding


sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok
ini ialah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin. Dinding sel bakteri, terdiri dari
polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer
mukopeptida (glikopeptida). Sikloserin menghambat reaksi yang paling dini dalam proses sintesis
dinding sel; diikuti berturut- turul oleh basitrasin,
vankomisin dan diakhiri oleh penisilin dan sefalosporin, yang menghambat reaksi terakhir (transpep-

tidasi) dalam rangkaian reaksi tersebut. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi
daripada di luar sel maka kerusakan dinding sel
kuman akan menyebabkan terjadinya lisis, yang
merupakan dasar efek bakterisidal pada kuman
yang peka.

Antimikroba

yang mengganggu

keutuhan

membran sel mikroba. Obat yang lermasuk dalam


kelompok ini ialah polimiksin, golongan polien serta
berbagai antimikroba kemoterapeutik, umpamanya
antiseptik surface active agents. Polimiksin sebagai senyawa amonium-kuaterner dapat merusak
membran sel setelah bereaksi dengan loslat pada

losfolipid membran sel mikroba, Polimiksin.tidak


efektil terhadap kuman gram-positif karena jumlah
losfor bakteri ini rendah. Kuman gram-nagatif yang
menjadi resisten terhadap polimiksin, ternyata jumlah loslornya menurun. Antibiotik polien bereaksi
dengan struktur sterolyang terdapat pada membran
sel lungus sehingga mempengaruhi permeabilitas
selektif membran tersebut, Bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik polien, karena tidak memiliki struk-

573

Pengantar Antimikroba

tur sterol pada membran selnya. Antiseptik yang


mengubah tegangan permukaan (surface-active
agents), dapat merusak permeabilitas selektif dari
membran sel mikroba. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting
dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat,
nukleotida dan lain-lain.

Antimikroba yang menghambat sintesis protein


sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok
ini ialah golongan aminoglikosid, makrolid' linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis berbagai

protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom'


dengan bantuan mRNA dan IRNA. Pada bakteri'
ribosom terdiri atas dua sub unit, yang berdasarkan
konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom
3OS dan 5OS. Untuk berlungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 7OS. Penghambatan sintesis protein terjadi dengan berbagai cara.
Streptomisin berikatan dengan komponen
ribosom 3OS dan menyebabkan kode pada mFINA
salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein'
Akibatnya akan ter6entuk protein yang abnormal
dan nonfungsional bagi sel mikroba. Antibiotik aminoglikosid lainnya yaitu gentamisin, kanamisin, dan

neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama'


namun potensinya berbeda.

Eritromisin berikatan dengan ribosom 5OS


dan menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang
karena lokasi asam amino tidak dapat menerima
kompleks tRNA-asam amino yang baru.
Linkomisin juga berikatan dengan ribosom
5OS dan menghambat sintesis protein'
Tetrasiklin berikatan dengan ribosom 3OS
dan menghalangi masuknya kompleks tBNA-asam
amino pada lokasi asam amino.
Kloramlenikol berikatan dengan ribosom 5OS
dan menghambat pengikatan asam amino baru
pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil trans-

lerase.

Antimikroba yang menghambat sintesis asam


nukleat sel mikroba. Antimikroba yang termasuk
dalam kelompok ini ialah rilampisin, dan golongan
kuinolon. Yang lainnya walaupun bersilat antimikroba, karena silat sitotoksisitasnya, pada umumnya
hanya digunakan sebagai obat antikanker; tetapi
beberapa obat dalam kelompok terakhir ini dapat
pula digunakan sebagai antivirus. Yang akan dike-

mukakan di sini hanya mekanisme kerja obat yang


berguna sebagai antimikroba, yaitu rilampisin dan
golongan kuinolon.
Rilampisin, salah satu derivat rifamisin, berikatan dengan enzim polimerase-RNA (pada subunit) sehingga menghambat sintesis RNA dan
DNA oleh enzim tersebut. Golongan kuinolon
menghambat enzim DNA girase pada kuman yang
lungsinya menata kromosom yang sangat panjang
menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel
kuman yang kecil.

4. RESISTENSI
Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak
terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Silat ini dapat merupakan suatu mekanisme
alamiah untuk bertahan hidup. Dikenal tiga pola
resistensi dan sensitivitas mikroba terhadap antimikroba. Pola I : belum pernah terjadi resistensi
bermakna yang menimbulkan kesulitan di klinik.
Contoh untuk ini: Streptococcus pyogenes grup A
terhadap penisilin G. Pola ll : pergeseran dari sifat
peka menjadi kurang peka, tetapi tidak sampai terjadi resistensi sepenuhnya. Contoh: gonokokus
bukan penghasil penisilinase; sebagian besar galur
(strain) masih peka terhadap penisilin 0,06 pg/ml'
tetapi jumlah galur yang memerlukan kadar 1 pg/
ml, terus bertambah. Untunglah kadar penisilin 1

pg/ml dalam darah masih dapat dicapai dengan


mudah, sehingga belum ada masalah sifat resistensi klinis. Pola lll : sifat resistensi pada taraf yang

cukup tinggi, sehingga menimbulkan masalah di


klinik. Contoh : galur tertentu dari Staphylococcus
yang menghasilkan p-laktamase dapat berubah
menjadi resislen terhadap penisilin G.
Faktor yang menentukan silat resistensi atau
sensitivitas mikroba terhadap AM terdapat pada
elemen yang bersifat genetik. Didasarkan pada
lokasi elemen untuk resistensi ini, dikenal resistensi
kromosomal dan resistensi ekstrakromosomal.
Silat genetik dapat menyebabkan suatu mikroba

sejak awal resisten terhadap suatu antimikroba

(resistensi alamiah). Contohnya bakteri gramnegatif yang resisten terhadap penisilin G.

Mikroba yang semula peka terhadap suatu


antimikroba, dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak atau kurang peka. Perubahan silat genetik
terjadi karena kuman memperoleh elemen genetik
yang membawa silat resisten; keadaan ini dikenal

Farmakologi dan Terapi

sebagai resistensi di dapat (ac q u i red reslsfance).


Elemen resistensi ini dapat diperoleh dari luar dan
d isebut resistensi yan g d ipin da
hkan (tran slerred
resisfance), dapat pula terjadi akibat adanya mutasi

genetik spontan atau akibat rangsang AM (induced


resl'stance),

Pembahasan resistensi dibagi dalam kelom_

pok resistensi genetik, resistensi nongenetik


dan

resistensi silang, serta mekanisme peristiwa resis_

tensi.

RESISTENSI GENETIK. Mutasi spontan. Dengan

mutasi spontan gen mikroba berubah, sehingga


mikroba yang sensitif terhadap suatu antimikroba
menjadi resisten. Kejadian ini dinamakan mutasi

spontan karena terjadi tanpa pengaruh ada_tidak-

nya antimikroba tersebut. Dengan adanya anti


mikroba tersebut terjadi seleksi, galur yang felah

resisten bermultiplikasi sedangian gatuiyang

masih sensitif terbasmi, sehingga berakhir dengan


terbentuknya populasi resisten.

Resistensi dipindahkan. Mikroba dapat berubah


menjadi resisten akibat memperoleh suatu elemen
pembawa laktor resisten. Faktor ini mungkin
dida_
pat dengan cara transformasi, transdulsi
atau

konyugasi. Dengan transformasi, mikroba menginkorporasi laktor resistensi langsung dari media
ii

sekitarnya (lingkungannya). pada trinsduksi, fak_


tor resistensi dipindahkan dari suatu mikroba resisten ke mikroba sensitif dengan perantaraan bakte_
riofag. Dalam hal ini, yang dipindahkan ialah suatu
komponen DNA dari kromosom yang mengandung
laktor resistensi tersebut. Walaupun tidak-berjenis
kelamin, mikroba sering kali mempedihatk"n ,r"t,
peristiwa yang mirip dengan kopulasi yang
dikenal
sebagaiperistiwa konyugasi, potensi untut< meng_
adakan konyugasi ditentukan oleh suatu faktor ge_

netik, dikenal sebagai faktor seks. Faktor seks ini


terdapat dalam sel kuman tertentu. Dengan konyugasi terbentuklah hubungan langsung (-'saluran,)
antara isi sel kuman yang saling berkonyugasi, se_
hingga memungkinkan perpindahan berbaiai kom-

ponen antar kuman khususnya komponen pem-

bawa faktor resistensi. Faktor resistensi yang jipindahkan terdapat dalam dua bentuk ptismiO Oan
Plasmid merupakan suatu elemen genetik
_"!!l9r:
(DNA-plasmid) yang terpisah dari DNA_ kroriosom;
jadi merupakan suatu DNA nonkromosom.
Tidak
setiap plasmid dapat dipindahkan. yang dapat di_

pindahkan ialah plasmid faktor R, disebui juga plas_


mid penular (infectious plasmds).

Faktor R sendiri terdiri atas dua unit: Segmen


RTF (resistance transfer factor) dan determinan_r
(unit-r). Segmen RTF memungkinkan terjadinya
perpindahan faktor B. Masing_masing uniti
mem_

bawa sifat resistensi terhadap satu antimikroba.


Dengan demikian berbagai unit_r pada 1 plasmid
faktor R membawa sifat resistensi terhadap ber_

bagai antimikroba sekaligus, misalnya sulfonamid,


penisilin, kloramfenikol, tetrasiklin dan sebagainya.
Faktor R ini ditularkan terutama diantara entJrobakteria, antara lain Sa/monella, Shigella, E. coli, Vibrio
dan lain-lain.
Gen yang membawa sifat resisten juga dapat
dipindahkan oleh segmen DNA yang Oisibut trans_
.posable elements. Ada 2 bentuk transposable
ele_
menls yang dikenal yaitu ,nserfion sequence dan
transposon. lnsertion seguence hanya mengandung gen untuk proses transposisi sedangkan
transposon mengandung gen yang membawa sifat
resisten. Transposon dapat berpindah dari plasmid
ke kromosom dan sebaliknya. Transposon menimbulkan masalah karena berbeda dengan plasmid
(yang selalu bersifat ekstra kromosomj, ia bersifat
sangat stabil. Bahkan dalam keadaan di mana tidak
ada lekanan selektil sekalipun sifat resistensi ini
berlahan lama atau permanen.
RESISTENST NONGENETTK.

Bakteri datam

ke_

adaan istirahat (inaktivitas metabolik) biasanya

tidak dipengaruhi oleh antimikroba. Keadaan ini dikenal sebagai resistensi nongenetik. Mikroba terse_
but dikenal sebagai persisters. Bila berubah men-

jadi aktil kembali, mikroba kembali bersifat


sensitif,
dan keturunannya juga tetap bersifat sensitif ter_
hadap antimikroba seperti semula. lni merupakan
masalah pada pengobatan lepra dan tuberkulosis.
RESISTENSI SILANG. Resistensi sitang, iatah ke-

adaan resistensi terhadap antimikrobl tertentu

yang juga memperlihatkan sifat resistensi terhadap


antimikroba yang lain.

Keadaan ini harus dibedakan dengan multi_


ple-drug resistance. padaresistensi silan-g, sifat
re-

sistensi ditentukan oleh satu lokus genetikl sedang_


kan pada multiple-drug resistance oleh lebih dari
satu lokus, yang biasanya berada dalam elemen
ekskakromosom (plasmid faktor B). Resistensi
silang biasanya terjadi antara antimikroba dengan
struktur kimia yang hampir sama, umpam"ny"
tara berbagai derivat tetrasiklin, atau antara Lntimi_
"n_
kroba dengan struktur kimia yang agak berbeda
tetapi mekanisme kerjanya hampir sama. misalnya
linkomisin dan eritromisin.

Pangantar Antimikroba

MEKANISME RESISTENSI. Ada 5 mekanisme


resistensi kuman terhadap antimikroba yaitu : (1 )
perubahan tempat kerja (target site) obat pada mikroba; (2) mikroba menurunkan permeabilitasnya
sehingga obat sulit masuk ke dalam sel; (3) inakti-

vasi obat oleh mikroba; (4) mikroba membentuk


jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh antimikroba; (5) meningkatkan produksi
enzim yang dihambat oleh antimikroba.

5. EFEK SAMPING
Efek samping penggunaan AM dapat dikelom-

pokkan menurut reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi,


reaksi toksik, serta perubahan biologik dan metabolik pada hospes.

REAKSI ALERGI. Reaksi alergi dapat ditimbulkan


oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem
imun tubuh hospes; terjadinya tidak bergantung
pada besarnya dosis obat. Manileslasi gejala dan
derajat beratnya reaksi dapat bervariasi.
Prognosis reaksi seringkali sukar diramalkan
walaupun didasarkan atas riwayat reaksi alergi pasien. Orang yang pernah mengalami reaksi alergi,
umpamanya oleh penisilin, tidak selalu mengalami
reaksi itu kembali ketika diberikan obat yang sama.
Sebaliknya orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin, Reaksi alergi pada kulit akibat penggunaan
penisilin dapat menghilang sendiri, walaupun terapinya diteruskan. Peristiwa ini rnungkin berdasarkan pada desensitisasi. Tetapi pada kejadian reaksi
alergi yang lebih berat daripada eksantem kulit,
tidaklah bijaksana untuk meneruskan terapi; sebab
makin berat silat reaksi pertama makin besar
kemungkinan timbulnya reaksi yang lebih berat
pada pemberian ulang, berupa analilaksis, dermatitis eksfoliativa, angioudema, dan lain-lain.

REAKSI IDIOSINKRASI. Gejala ini merupakan


reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik
terhadap pemberian antimikroba tartentu. Sebagai
conloh, 10% pria berkulit hitam akan rnengalami
anemia hemolitik berat bila rnendapat primakuin. lni
disebabkan mereka kekurangan enzim G6PD,
REAKSI TOKSIK. AM pada umumnya bersilattoksik-selektif, tetapi silat ini relatit. Efek toksik pada
hospes dapal ditimbulkan oleh semua jenis AM.
Yang mungkin dapat dianggap relatil tidak toksik

575

sampai kini ialah golongan penisilin. Dalam menimbulkan elek toksik, masing-masing AM dapat memiliki predileksi terhadap organ atau sistem tertentu
pada tubuh hospes.
Golongan aminoglikosida pada umumnya bersilat toksik lerutama terhadap Nervus ocfavus.
Golongan tetrasiklin cukup terkenal dalam meng-

ganggu pertumbuhan jaringan tulang, termasuk


gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortolosfat. Dalam dosis besar obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonelritis dan pada
wanita hamil. Yang dikemukakan di atas ini, hanya
merupakan beberapa contoh saja. Pembahasan
lebih lanjut terdapat dalam masing-masing bab antimikroba yang bersangkutan.

Di samping faktor jenis obat, berbagai laktor

dalam tubuh dapat turut menentukan terjadinya


reaksi toksik; antara lain lungsi organ/sistem terten-

tu sehubungan dengan biotranslormasi dan ekskresi obal.

PERUBAHAN BIOLOGIK

DAN

METABOLIK.

Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang


menderita inleksi, terdapat populasi mikrollora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi rni-

krollora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat


patogen. Penggunaan AM, terutama yang berspektrum lebar, dapal mengganggu keseimbangan ekologik mikrollora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen.
Gangguan keseimbangan ekologik mikrollora normal tubuh dapal terjadi di saluran cerna, napas dan
kelamin, dan pada kulit. Pada beberapa keadaan

perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi


yaitu suatu inleksi baru yang terjadi akibat terapi

AM. Mikroba penyebab superinleksi biasanya ialah jenis mikroba


yang menjadi dominan pertumbuhannya akibat
inleksi primer dengan suatu

penggunaan AM, umpamanya kandidiasis sering

timbul sebagai akibat penggunaan antibiotik brspektrum lebar, khususnya tetrasiklin.


Pada pasien yang lemah, superinleksi potensial dapat sangat berbahaya, sebab kebanyakan
mikroba penyebab superinfeksi biasanya ialbh
kuman gram-negatif dan stalilokok yang multi-resisten terhadap obat, Candida serta tungus sejati.
Keadaan superinleksi secara khusus dapat menimbulkan kesulitan di rumah sakit. Kejadian resislensi
galur kuman yang tadinya sensitil terhadap suatu
AM, di rumah sakit terus meningkat, sehingga bila
superinleksi terjadi dengan mikroba yang telah
menjadi rsisten, terapi akan sangat sukar berhasil.

576

Faktor yang memudahkan timbulnya superinfeksi ialah : (1) adanya faktor atau penyakit yang
mengurangi daya lahan pasien; (2) penggunaan
antimlkroba terlalu lama; (3) luasnya spektrum akti-

vitas antimikroba obat, baik tunggal ataupun dalam

kombinasi. Makin lebar spektrum antimikroba,


makin besar kemungkinan suatu jenis mikrollora
tertentu menjadi dominan. Frekuensi kejadian su_
perinleksi paling rendah ialah dengan penisilin G.
Jika terjadi superinfeksi, tindakan yang perlu
diambil untuk mengalasinya ialah: (l) menghentikan terapi dengan AM yang sedang digunakan; (2)
melakukan biakan mikroba penyebabsuperinfeksi; dan (3) memberikan suatu AM yang elektil terhadap mikroba tersebut.

Selain menimbulkan perubahan biologik ter_


sebut, penggunaan AM terlentu dapat pula menimbulkan gangguan nutrisi atau metabolik, umpama-

nya gangguan absorpsi zat makanan oleh


neomisin.

6. FAKTOR PENDERITA YANG MEM.


PENGARUHI FARMAKODINAMIK
DAN FARMAKOKINETIK
Selain dipengaruhi oleh aktivitas antimikroba,
efek larmakodinamik dan silat farmakokinetiknya,
elektivitas AM dipengaruhi juga oleh berbagai laktor
yang terdapat pada pasien,

Umur. Neonatus pada umumnya memiliki organ


atau sistem tubuh yang belum berkembang sepe_
nuhnya. Umpamanya lungsi glukuronidasi oleh
hepar belum cukup lancar, sehingga memudahkan
terjadinya efek loksik oleh kloramfenikol. Fungsi
ginjal sebagai alat ekskresi, juga belum lancar sehingga memudahkan terjadinya elek toksik oleh
obat yang eliminasinya terutama melalui ginjal.

Farmakologi dan Terapi

samping pada ibu maupun pada janin. lbu hamil


pada umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat
tertentu, termasuk AM. Sedangkan kemungkinan
timbulnya efek pada letus, tergantung pada daya
obat menembus sawar uri serta usia janin. pembe_
rian streptomisin pada ibu yang hamiltua dapat me_
nimbulkan ketulian pada bayi yang dilahirkan, se-

dangkan pemberian AM pada kehamilan trimester


pertama harus diingat bahaya teratogenesisnya.
Genetik. Adanya perbedaan genetik antar ras dapat menimbulkan perbedaan reaksi terhadap obat.
Sebagai contoh delisiensi enzim G6pD dapat menimbulkan hemolisis akibat pemberian sulfonamid,

kloJgnlentkq!

dapsonffi

iutnya, silat atdpffiSn

tan-

Tdmafif paAi3aseorang,

umumnya lebih memudahkan terjadinya reaksi aler_

gi terhadap suatu obat, walaupun sebelumnya

orang tersebut belum pernah mendapatkan obat

yang bersangkutan.

Keadaan patologik tubuh hospes. Keadaan patologik tubuh hospes dapat mengubah larmakodinamik dan larmakokinetik AM tertentu. Keadaan
tungsi hati dan ginjal penting diketahui dalam pemberian obat, termasuk pemberian AM, sebab kedua

organ tersebut berpengaruh besar pada farmakokinetik obat. Sirosis hati atau gangguan laal hati
yang berat dapat meningkatkan toksisitas letrasiklin, memperpanjang waktu paruh eliminasi linkomisin, meningkatkan kadar kloramlenikol dalam darah
sehingga menimbulkan bahaya toksik. Gangguan
pada hepar dapat menyebabkan gangguan pada
biotransformasi maupun pada ekskresi obat melalui
empedu.
Antimikroba yang terutama diekskresi melalui
ginjal akan mengalami kumulasi dalam tubuh hospes yang menderila gangguan lungsi ginjal. Streptomisin, kanamisin, penisilin dieliminasi dari tubuh
terutama dengan ekskresi melalui ginjal. Gangguan lungsi ekskresi ginjal hanya sedikit sekali menim-

Orang yang berusia lanjut seringkali mengalami

bulkan bahaya intoksikasi dengan penisilin, letapi


sebaliknya streptomisin, kanamisin (dan aminogli_
kosida lainnya) sangat potensial menimbulkari in-

kemunduran lungsi organ atau sistem terlentu, se-

toksikasi.

hingga reaksi tubuh terhadap pemberian obat

berubah, baik dalam segi larmakodinamik maupun


segi farmakokinetik. Untuk kedua golongan umur

Jadi, sama dengan pemberian obat lain, pada


pemberian AM sebaiknya selalu diperhatikan ke_
mungkinan adanya gangguan lungsi organ atau

tersebut di atas, posologi obal, termasuk AM, harus


disesuaikan dengan keadaannya masing-masing.

sistem tubuh, khususnya hati dan ginjal, guna mendapatkan efek terapi yang optimal.
Keadaan lungsi organ/sistem lain, tetap perlu
dipertimbangkan walaupun tidak dirinci di sini; um-

Kehamilan. Pemberian obat pada ibu hamil harus


disertai pertimbangan kemungkinan terjadinya elek

pamanya pengaruh keasaman lambung yang ke-

sTt

Pengantar Antimikroba

mungkinan besar merusak eritromisin strearat

lain) hanya elektil untuk inleksi saluran kemih

sebelum sempat diserap.

yang terlokalisasi. Obat-obat ini tidak dapat


mencapai kadar terapeutik untuk inleksi di
organ tubuh lain.

7. SEBAB KEGAGALAN TERAPI

6.

tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap AM yang tercantum itu akan memberi efektivitas klinik yang sama. Di sini klinikus harus
dapat mengenali dan memilih AM yang secara
klinis merupakan obat terpilih untuk suatu
kuman lertentu. Sebagai contoh obat terpilih
untuk inleksi oleh Str. faecalis ialah ampisilin,

Kepekaan kuman terhadap AM lertentu tidak


menjamin elektivitas klinis. Faktor berikut dapat
menjadi penyebab kegagalan terapi :

1.

2.

Dosis yang kurang : dosis suatu AM seringkali


tergantung dari tempat infeksi, walaupun kuman
penyebabnya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh pneumokokus jauh leblh tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan
inleksi saluran nalas bawah yang disebabkan
oleh kuman yang sama.

Masa terapi yang kurang : konsep lama yang


menyatakan bahwa untuk tiap jenis inleksi perlu
diberikan AM tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah ditinggalkan. Pada umumnya
para ahli cenderung melakukan individualisasi
masa terapi, yang sesuai dengan tercapainya
respons klinik yang memuaskan. Namun untuk
penyakit tertentu sepertilaringitis oleh Str. pyo-

genes, osteomielitis, endokarditis, lepradan


tuberkulosis paru tetap dipertahankan masa
terapi yang cukup walaupun perbaikan klinis

Pilihan AM yang kurang tepat : Suatu daftar AM

yang dinyatakan efektif dalam uji kepekaan

walaupun secara in vitro kuman tersebut juga


dinyatakan sensitil terhadap sefamandol atau
gentamisin.

7.

Faktor pasien : Keadaan umum yang buruk dan


gangguan mekanisme pertahanan badan (seluler dan humoral) merupakan faktor penting yang
menyebabkan gagalnya terapi AM. Sebagai
contoh obat sitostatik, imunosupresan, penyakit
agamaglobulinemia kongenital, AIDS, dan lainlain, menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan badan.

8. PENGGUNAAN ANTIMIKROBA DI
KLINIK

cepat terlihat.

3.

Adanya faktor mekanik : abses, benda asing,


jaringan nekrotik, sekuester tulang, batu saluran
kemih, mukus yang banyak, dan lain-lain, merupakan laktor-faktor yang dapat menggagalkan
terapi dengan AM. Tindakan mengatasi laktor
mekanik tersebut yaitu pencucian luka, debridemen, insisi, dan lain-lain, sangat menentukan
keberhasilan mengatasi inleksi.

4.

Kesalahan dalam menetapkan'etiologi : Demam


disebabkan oleh kuman. Virus,
jamur, parasit, reaksi obat, dan lain-lain dapat
meningkatkan suhu badan. Pemberian AM yang
lazim diberikan dalam keadaan initidak berman-

tidak selalu

laat.

5.

Faktor larmakokinetik : Tidak semua bagian


tubuh dapat ditembus dengan mudah oleh AM.
Jaringan prostat ialah contoh organ yang sulit
dicapai oleh kebanyakan obat dengan kadar
yang adekuat. Antlseptik traktus urinarius (misalnya nitrofurantoin, asam nalidiksat, dan lain-

8.1.INDIKASI
Penggunaan terapeutik AM di klinik bertujuan
membasmi mikroba penyebab infeksi. Penggunaan AM ditentukan berdasarkan indikasi dengan
mempertimbangkan faktor-faktor berikut : (1) Gambaran klinik penyakit inleksi, yakni elek yang ditimbulkan oleh adanya mikroba dalam tubuh hospes,
dan bukan berdasarkan atas kehadiran mikroba
tersebut semata-mata; (2) Efek terapi AM pada penyakit infeksi diperoleh hanya sebagai akibat kerja
AM terhadap biomekanisme mikroba, dan tidak ter-.
hadap biomekanisme tubuh hospes; (3) Antimikroba dapat dikatakan bukan merupakan "obat penyembuh' penyakit infeksi dalam arti kata sebenarnya. Antimikroba hanyalah menyingkatkan waktu
yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari
suatu penyakit infeksi. Sepertitelah dikemukakan di
atas, dengan adanya invasi oleh mikroba, tubuh
hospes akan bereaksi dengan mengaktilkan meka-

Farmakologi dan Terapi

nisme daya tahan tubuhnya. Sebagian besar inleksi

8.2. PILIHAN ANTIMIKROBA DAN

yang terjadi pada hospes dapat sembuh dengan

POSOLOGT

sendiri, tanpa memerlukan AM.

Gejala klinik infeksi terjadi akibat gangguan


langsung oleh mikroba maupun oleh berbagai zat
toksik yang dihasilkan mikroba. Bila mekanisme
pertahanan tubuh berhasil, mikroba dan zat toksik
yang dihasilkannya akan dapat disingkirkan. Dalam

hal ini tidak diperlukan pemberian AM untuk pe_


nyembuhan penyakit infeksi.
Untuk memutuskan perlu{idaknya pemberian
AM pada suatu infeksi, perlu diperhatikan gejala
klinik, jenis dan patogenisitas mikrobanya, serta

kesanggupan mekanisme

daya tahan tubuh

hospes.

Penyakit infeksi dengan gejala klinik ringan,

tidak perlu segera mendapatkan AM.

Menunda

pemberian AM malahan memberikan kesempatan


terangsangnya mekanisme kekebalan tubuh, Teta_
pi penyakit infeksi dengan gejala yang berat, walau_

pun belum membahayakan, apalagi bila telah ber_


langsung untuk beberapa waktu lamanya, dengan
sendirinya memerlukan lerapi AM.
Gejala demam yang merupakan salah satu
gejala sistemik penyakit infeksi paling umum, tidak
merupakan indikator yang kuat untuk pemberian
AM. Pemberian AM berdasarkan adanya demam
tidak bijaksana, karena : (1) pemberian AM yang
tidak pada tempalnya dapat merugikan pasien (be_
rupa efek samping), dan masyarakat sekitarnya
(berupa masalah resistensi); (2) demam dapat di_

sebabkan oleh penyakit infeksi virus, yang cukup


tinggi angka kejadiannya dan tidak dapat diper_
cepat penyembuhannya dengan pemberian AM

yang lazim; (3) demam dapat juga terjadi pada


penyakit noninleksi, yang dengan sendirinya bukan
indikasi pemberian AM.
Karena AM hanya mempercepat penyembuhan penyakit infeksi, maka AM hanya diperlukan
bila inleksi berlangsung lebih dari beberapa hari dan

dapat menimbulkan akibat cukup berat, misalnya


pada tifus abdominalis, laringitis oleh Str. pyogenes
dengan kemungkinan kompli-kasi penyakit jantung
reumatik di kemudian hari.
Kesimpulannya, indikasi untuk memberikan
AM pada seorang pasien haruslah dipertimbangkan
dengan seksama, dan sangat tergantung pada pe-

ngalaman pengamatan klinik dokter yang meng_


obati pasien.

PILIHAN ANTIMIKROBA

Setelah dokter menetapkan perlu diberikan


AM pada pasien, langkah berikutnya ialah memilih
jenis AM yang tepat, serta menentukan dosis dan
cara pemberiannya. Dalam memilih jenis AM yang
tepat harus dipertimbangkan laktor sensitivitas mi_
krobanya terhadap AM, keadaan tubuh hospes, dan

laktor biaya pengobatan.


Untuk mengetahui kepekaan mikroba terha_
dap AM secara pasti perlu dilakukan pembiakan
kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji
kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pem_
biakan, diambil sebelum pemberian AM. Setelah
pengambilan bahan tersebut, terutama dalam ke_

adaan penyakit inleksi berat, terapi dengan AM


dapat dimulaidengan memilih AM yang paling tepat
berdasarkan gambaran klinik pasien. Dalam prak_

tek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemerik_

saan biakan pada setiap terapi penyakit infeksi. Bila

dapat dibuat perkiraan kuman penyebab dan pola


kepekaannya, dapat dipitih AM yang tepat (Tabel
2.1).
Bila dari hasil uji kepekaan ternyata pilihan AM
semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik,
terapi dapat dilanjutkan terus dengan AM tersebut.
Dalam hal hasil uji sensitivitas menunjukkan ada
AM lain yang lebih efektif, sedangkan dengan AM
semula gejala klinik penyakit menunjukkan perbaik_
an-perbaikan yang meyakinkan, AM semula ter-

sebut sebaiknya diteruskan. Tetapi bila hasil per_


baikan klinik kurang memuaskan, AM yang diberi_
kan semula dapat diganti dengan yang lebih tepat,
sesuai dengan hasil uji sensitivitas.
Hasil uji sensitivitas umumnya berkorelasi
yang baik dengan elek klinik. Dalam keadaan tertentu dapat terjadi ketidaksesuaian, umpamanya
karena adanya benda asing, jaringan nekrotik, atau
adanya hambatan larmakokinetik; kuman dinyata_
kan sensitif tetapi inleksi tidak dapat diatasi.
Bila AM hanya bersifat bakteriostatik, pemus_
nahan mikroba masih tergantung pada daya tahan
tubuh hospes, tidak demikian halnya dengan AM
bakterisid. Suatu AM yang bersifat bakterisid dapat
lebih pastl menghasilkan efek terapi, apalagi bila
diketahui bahwa daya tahan tubuh hospes t.elah

menurun, umpamanya pada penyakit defisiensi_

Pengantar Antimikoba

imun, leukemia akut, dan lain-lain. Pada keadaankeadaan ini, sebaiknya digunakan AM bakterisid.
Memilih AM yang didasarkan atas luas spektrum antirnikrobanya, tidak dibenarkan karena hasil
terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan AM berspektrum sempit, sedangkan superinleksi lebih sering terjadi dengan AM berspektrum
lebar.
Antimikroba yang mutakhir misalnya sefalosporin generasi lll, lluorokuinolon, aminoglikosida
yang baru dll, seyogyanya tidak terlalu sering digunakan untuk keperluan rutin. Tindakan ini perlu
untuk menjaga supaya telap tersedia AM elektif bila
timbul masalah resistensi dalam kurun waktu tertentu.

Keadaan tubuh hospes perlu dipertimbangkan


untuk dapat memilih AM yang tepal. Untuk pasien
penyakit infeksiyang juga berpenyakit ginjal misal-

579

Sebaiknya AM diberikan oral karena mudah,


aman dan tidak invasif. Untuk inleksi berat AM
harus diberikan secara parenteral. Cara pemberian
topikal seringkali tidak memberikan elek terapi yang
memuaskan, dapat menimbulkan sensitisasi dan
masalah resistensi.

8.3. KOMBINASI ANTIMIKROBA


Kombinasi AM yang digunakan menurut indikasi yang tepat dapat memberi manfaat klinik
yang besar. Terapi kombinasi AM yang tidakterarah
akan meningkatkan biaya dan elek samping, menseleksi galur kuman yang resisten terhadap banyak

antimikroba, dan tidakmeningkatkan efektivilas


terapi.

nya, jika diperlukan jenis tetrasiklin sebagai AM


maka sebaiknya dipilih doksisiklin yang paling
aman di antara letrasiklin lainnya,

Dalam menilai ongkos pengobatan, tidak


cukup hanya diperhatikan harga satuan obatnya,
tetapi harus pula dipertimbangkan waktu yang diperlukan untuk menyembuhkan suatu penyakit anlara lain sehubungan dengan jumlah obat yang
diperlukan. Biaya pengobatan merupakan salah
satu aspek ekonomi suatu penyakit.
Pada inleksi berat seringkali harus segera diberikan antimikroba sementara sebelum diperoleh

hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini


harus didasarkan pada pengalaman empiris yang
rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling
mungkin serta antimikroba terbaik untuk inleksi tersebut (educatedguess) (Iabel2.1). Selain itu tabel
ini juga dapat dimanfaatkan bila pemeriksaan mikrobiologik tidak dapat dikerjakan karena alasan tertentu.

POSOLOGI ANTIMIKROBA

Efek terapi yang optimal sangat dipengaruhi


oleh tercapainya kadar AM pada tempat infeksi.
Faktor-faktoryang perlu diperhatikan dalam menentukan dosis ialah umur, berat badan, lungsi ginjal,
lungsi hati dan lain-lain, Kadar ini ditentukan juga
oleh penyerapannya. Penyerapan AM tertentu dapat terhambat dengan adanya zat lain, misalnya
absorpsi tetrasiklin lerhambat bila diberikan bersama preparat besi.

INDIKASI PENGGUNAAN KOMBINASI

Dalam garis besarnya, ada empat indikasi


penggunaan kombinasi tidak tetap, yaitu

(1) Pengobatan infeksi campuran. Beberapa infeksi tertentu dapat disebabkan oleh lebih dari satu
jenis mikroba yang peka terhadap AM yang berbeda. Dalam hal ini diperlukan pemberian kombinasi AM sesuai dengan kepekaan kuman-kuman
penyebab infeksi campuran tersebut. Sebagai con-

toh infeksi pascabedah abdominal sering disebabkan oleh kuman anaerob (8. fragilis) dan kuman
aerob gram- negatit yang peka terhadap AM yang
berbeda. Kuman anaerob peka terhadap AM anaerobisid misalnya metronidazol, klindamisin, sefoksitin, dll., sedang yang aerob peka terhadap gentamisin, dll. Karena itu kombinasi AM untuk kuman
aerob dan anaerob diindikasikan untuk keadaan ini,
misalnya gentamisin dengan metronidazol.

(2)

Pengobatan awal pada inteksi berat yang


etiologinya belum jelas. Beberapa infeksi berat
misalnya septisemia, meningitis purulenta dan inleksi berat lainnya memerlukan kombinasi AM, kdrena keterlambatan pengobatan dapat membahayakan jiwa pasien, sedangkan kuman penyebab
belum diketahui. Kombinasi AM di sini di berikan
dalam dosis penuh. Bila hasil pemeriksaan mikrobiologi telah diperoleh maka AM yang tidak diperlukan dapat dihentikan pemberiannya, Sebagai
contoh kombinasi ampisilin dan kloramfenikol diindikasik

580

Farmakologi dan Terapi

(3) Mendapatkan efek sinergi. Sinergisme terjadi


bila kombinasi AM menghasilkan elek yang lebih
besar daripada sekedar efek aditif saja terhadap
kurnan tertentu. Kombinasi seperti ini bermanlaat
untuk infeksi Pseudomonas pada pasien neutropenia. Secara in vitro, kombinasi karbenisilin atau
tikarsilin dengan aminoglikosid menghasilkan elek
sinergisme. Dengan aminoglikosid saja misalnya
gentamisin, inleksi seringkali tidak dapat diatasi.

Penambahan karbenisilin sangat mempertinggi


angka penyembuhan.
Meskipun banyak data in vitro yang memperlihatkan efek sinergi, secara klinis manfaat ini
hanya terlihat pada pengobatan endokarditis bakterial dan pada infeksi yang dialami pasien dengan
neutropenia.
(4) Memperlambat timbulnya resistensi. Bila mutasi merupakan mekanisme limbulnya resistensi
terhadap suatu AM maka secara teoritis kombinasi
AM merupakan cara etektif untuk memperlarnbat
resistensi. Sebagai contoh bila frekuensi mutasi
yang menimbulkan resistensi terhadap obat A ialah
10-' dan lerhadap obat B ialah 10-b, maka kemungkinan mutasi yang resisten lerhadap kedua obat
tersebut bersama ialah 10-'J, Dengan demikian
secara statistik kemungkinan ini dapat dikatakan
kecil sekali. Tetapi ternyata penerapannya hanya
terlihat pada pengobatan tuberkulosis di mana
penggunaan 2 atau lebih tuberkulostatik secara
nyata memperlambat timbulnya resistensi oleh
kuman tuberkulosis.

Secara umum dapat dikatakan bahwa bila


suatu AM digunakan untuk mencegah infeksi
kuman tertentu (yang peka terhadap AM tersebut)

sebelum terjadinya kolonisasi dan multiplikasi,


maka prolilaksis ini seringkali berhasil. Tetapi bila
prolilaksis dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan infeksi oleh segala macam mikroba yang ada
di sekitar pasien, maka profilaksis ini biasanya
gagal.
Secara garis besar profilaksis AM untuk kasus
bukan bedah diberikan untuk 3 tujuan :

1. melindungi seseorang yang terpaj an (exposed) kuman tertentu. Penisilin G mencegah inleksi streptokokus Grup A. Kotrimoksazol efektil
untuk mencegah kambuhnya inleksi saluran kemih.
2. mencegah infeksi bakterial sekunder pada se-

seorang yang sedang menderita penyakit lain.


Misalnya mencegah infeksi bakterial pada pasien
koma, pasien dengan alat bantu napas, kateter dan
sebagainya, Pencegahan yang bersifat "total" ini
biasanya tidak berhasil. Mikroba yang resisten terulama

E nte robacte ri aceae

dan jam u r serin

kali tim-

bul

sebagai patogen bila profilaksis diteruskan.


Flora normal tubuh pasien merupakan salah satu
mekanisme penting untuk mencegah kolonisasi dan
infeksi oleh kuman patogen ini disebut resistensi
koloni. Profilaksis tidak terarah akan mengganggu
mekanisme pertahanan ini.

3. mencegah endokarditis pada pasien kelainan


katup atau struktur jantung lain yang akan menempuh prosedur yang sering menimbulkan

Kombinasi tetap AM hanya dibenarkan bila komponen-komponen yang membentuk kombinasi itu
selalu dibutuhkan bersama. Dewasa ini hanya ada
sedikit sekali kombinasi tetap AM yang dianggap
rasional yaitu sullonamid-trimetroprim (misalnya
kotrimoksazol), sulfadoksin-pirimetamin, asam
klavulanat-amoksisilin dan sulbaktam-ampisilin.

bakteremia, misalnya ekstraksi gigi, tindakan pembedahan dan lain-lain. Endokarditis terjadi karena
kolonisasi kuman pada katup jantung yang rusak.
Profilaksis juga perlu diberikan untuk pasien dengan lesi jantung lainnya karena deposit librin dan
trombosit yang menjadi tempat kolonisasi sering
berhubungan dengan tempat terjadinya arus darah
turbulen pada jantung. Setiap tindakan yang melukai mukosa yang kaya bakteri misalnya mulut dan

8.4. PROFILAKSIS ANTIMIKROBA

saluran cerna akan menyebabkan bakteremia selintas. Profilaksis ini diberikan segera sebelum tindakan.
Untuk profilaksis kasus bedah berlaku prinsip
sebagai berikut : (1) Penggunaan AM untuk profilaksis selalu harus dibedakan dari penggunaan untuk
terapi pada kasus-kasus bedah; (2) Pemberian profilaksis AM hanya diindikasikan untuk tindakan
bedah tertentu yang sering disertai infeksi pascabedah, atau yang membawa akibat berat bila terjadi

Di Amerika sekitar 30-50 % antibiotik diberikan untuk tujuan profilaksis. Seringkali pemberian
profilaksis ini merupakan penggunaan AM yang
berlebihan. Uji klinik telah membuktikan bahwa
pemberian protilaksis sangat bermanfaat untuk
beberapa indikasi tertentu, sedangkan untuk indikasi lain sama sekali lidak bermanlaat atau
kontroversial.

Pengantar Antimikroba

infeksi pascabedah; (3) AM yang dipakai harus sesuai dengan jenis kuman yang potensial menimbulkan inleksi pascabedah; (4) Cara pemberian biasanya l! atau lM; (5) Pemberian dilakukan pada
saat induksi anestesi, tidak dibenarkan pemberian

yang lebih dini dan biasanya hanya diberikan 1'2


dosis. Pemberian profilaksis lebih dari24 iam tidak
dibenarkan.

Prolilaksis untuk bedah hanya dibenarkan un-

tuk kasus dengan resiko inleksi pasca bedah yang


tinggi yaitu yang tergolon g clean-contaminated dan
contaminated.

Tindakan-tindakan bedah yang bersih (clean)

tidak memerlukan prolilaksis AM, kecuali bila dikhawatirkan akan terjadi inleksi pasca bedah yang
berat sekali.

Tabel 2.1. PILIHAN ANTIMIKHOBA BERDASARKAN EDUCATED GUESS

JENIS INFEKSI

PENYEBAB TERSEBING

PILIHAN ANTIMIKFOBA

I. SALURAN NAFAS

- Faringitis

- virus

- Str. pyogenos
- C. diphtheriae
- Otitis media dan

sinusitis
- Bronkilis akut

- Eksaserbasi akut
bronkitis kronis

- Str. pneumoniae, H.influenzae,


- S. aureus, kuman anaerob

p"ni"i,in V, eritromisin, penisilin G


- penisilin G, eritromisin
-

amoksisilin/ampisilin, eriltomisin' kotrimoksazol

- amoksisilin - asam klavulanal

- virus

amoksisilin/ampisilin, eritromisin

- Str. pneumoniae, H.inlluenzae


- M. pneumoniae

- Str. pneumoniae, H. influenzae,


M. pneumoniae
- B. catarrhalis (jarang)

- eritromisin

amoksisilin/ampi3ilitr, sritromisin' kotrimoksazol,


doksisiklin
- amoksi3ilin-a3am klavulanal, kotrimoksazol,

eritromisin

- lnlluonza

- virus inlluenza A atau B

- Pneumonia baktsrial

- Str. pneumoniae

- penisilin G prokain, penisilin V, ritromisin'

- H.inlluenzae

- amoksirilin/ampi3ilin, kotrimoksazol'

- M. pnumoniae
- S. aureus
- kuman gnterik gram-negati{

- M. tubrculosis

- isoniazid +

- Sislilis akut

- E. coli, S. saproPhyticus,
kuman gram-ngatil lainnYa

- nitroturantoin, ampisilin' trimloprim

. Pibnlrilis akut

- E. coli, kuman gram-negatif

- untuk pasicn rawat :


gcnlamisin (atau aminoglikosid lainnya), kotrimok-

selalosporin gnrasi

ampisilin-sulbahamr::kbramlenikol, lluorokuinolon
critromisin, doksisiklin
- kloksasilin, selabsporin generasi I
- sefalosporin generasi lll dengadtanpa aminoglikosid

- Tuberkulosisparu

rif*rnpisin + pirazinamid/etambutol

II. INFEKSI SALURAN


KEMIH

lainnya, StlePtococcus

- Prostatitis akut

- E. coli, kuman gram-negatil


lainnya, E. laecalis

- Prostalitis kronis

- E. coli, kuman gram-negalil

lainnya, E. laecalis

sazol parsnteral, selalosporin ggnerasi lll,


azlreonam
- untuk pa3ien bcrobat ialan :
kotrimok3azol oral, lluorokuinolon, amoksisilinasam klavulanat
- kotrimoksazol atau fluorokuinolon atau amino'

glikosid + amPisilin Parentcral


- kolrimoksazol, fluolokuinolon alau lrimeloptim

582
Farmakologi dan Terapi

TAbEI

2.I. PILIHAN ANTIMIKROBA BERDASARKAN


EDUCATEDGUESS (SAMbUNgAN)

JENIS INFEKSI

PENYEBAB TERSEHING

PILIHAN ANTIMIKROBA

III. INFEKSI YANG DITULAFKAN MELALUI


HUBUNGAN KELAMIN
- uretritis

- N. gonorrhoeae (bukan penghasil

- amp.isilin/amoksisilin/penisilin
G + probenesid,
settriakson, ttrasiklin

penisilinase)

- N. gonorrhoeae (penghasil

- seftriakson, fluorokuinolon

penisilinase)
- C. trachomatis

- Herpss genital

- doksisiklin/tetrasiklin, eritromisin

- Uraplasma uralyticum

doksisiklin/tetrasiklln

- virus herpes simpleks

asiklovir

- Sifilis

- T. pallidum

- Ulkus mole

- H. ducryi

- penisilin G prokain, sttriakson, tetrasiklin


kotrimoksazol, eritromlsin, sftriakson,

ltrasiklin

rv.

CERNA

y'-

Ginggiviris dan
'iALURAN
abses gigi

VzlKandiOiasis oral
- Enteritis inteksiosa

- intksi campuran kuman aerob


+ anaerob

- penisilin G prokain/penisitin
V

- C. albicans

- nistatin

- virus
- Shiglla

- kotrimoksazoffluorokuinolon/amplsilin

- V. cholerae

- E. histotytica
- C. pjuni

- Kolsistitis akul

- berbagai kuman enterik


gram

- eritromisinfluorokuinolon, tekasiklin
- umumnya tidak memsrlukan antimikroba
-negatil lainnya

- E. coli, berbagai kuman enterik

gram-negatif, B. lragilis

- Peritonitis karna
porlorasi usus

letrasiklin, kotrimoksazol

- melronidazol

ampisilin + gentamisin, ampisilin_sulbaktam,


setazolin

- E. coli, berbagai kuman enlerlk


gram-negatit, kuman anarob

ampisilin + gentamisin + metronidazoVklindamisin,

gntamisin + metronidazouklindamisin,

V. KARDIOVASKULAB
- Endokarditis

- strptokokus
- statilokokus
- statilokokus yang toleran
terhadap metisitin (MRSA)
- kuman gram-negatit

- penisilin G + gentamisin
- kloksasilin + gentamisin
-

vankomisin

- tefotaksim + gentamisin

VI. KULIT, OTOT. TULANG


- lmptigo, furunkel,
selulitis, dil.

a",/eas

gangren

- Osteomyelitis akut

- Slr. pyogens, S. aureus


- Cl. perfringens

- S. aureus

- kloksasilin/eritromisin, setalosporin
generasi I
- penisilin G
- kloksasilin

VII. SUSUNAN SARAF PUSAT


- Moningitis baktgrial

anak/dewasa

- Str. pneumonia, stafilokokus,


H. inlluenzae'

ampisllin + kloramfenikol
(s6bagai terapi awal)

- meningokokus

Penisilin G, kloramfnikol

sefoksitiil

583

Pengantar Antimikroba

Tabel 2.1. PILIHAN ANTIMIKROBA BERDASARKAN EDUCATED GUESS (Sambungan)

JENIS INFEKSI

pada

-Mningitis
neonatus
- abses olak

PENYEBAB TERSEBING

PILIHAN ANTIMIKROBA

- Berbagai kuman enterik


gram-negatil

- sefalosporin generasi lll

- Strptokokus, S. aureus,

- Penisitin G + kloramfenikoUmetronidazol
sef alosporin genrasi lll

Enterobacteriacae,
kuman anaerob

brbagai

VIII. SEPSIS
-

slreptokokus

neonatus

- anak < 5

tahun

- anak > 5 tahun

dewasa

Kotsrangan

dan

- str. agalacliae,
lain, kuman enterik glam-n9atil

- ampisilin + aminoglikosid

inlluenzae,
auraus
- Kuman enterik gram-negatil,
S. aureus, streplokokus

- kloksasilin/ampisilin + kloramfenikol atau


ampisilin + kloramlenikol

- Str. pneumoniae, H.
N. meningitidis, S.

- kloksasilin/sefalosporin generasi I + amino-

glikosida atau sefalosporin generasi lll/


ampi:ilin.sulbaktam dengan atau tanpa amino'
glikosida

(1) Tabl ini dimaksudkan untuk membantu mgnntukan pilihan antimikroba untuk semntara.

Bila hasil p6meriksaan mikrobiologik tlah didapat maka pilihan antimikroba harus disesuaikan lagl.

(2) Kuman penyebab dan kep6kaannya terhadap antimikroba dapat brvariasi pada rumah sakivtempat yang berbeda.
(3) yang termasuk dngan aminoglikosida ialah : gentamisin, tobramisin, netilmisin dan amikasin (slreptomisin dan kanamisin
tidak termasuk)

(4) yang termasuk dengan solalosporin generasi I ialah : solazolin, slradin, selaleksin, sfadroksil dll; gehorasi ll : slamandol'
selotaksim, seloprazon, sltriakson, seltaziJin, selsulodin, moksalaktam, dll.
(5) yang trmasuk dngan lluorokuinolon ialah : siprofloksasin, olbksasin, pelloksasin, norlloksasin, dll. (asam nalidiksat, asam
pipmidat, asam piromlJat lklak trmasuk).
sefJksitin, sluroksim, dll; generasi

lli:

Farmakolagi dan Terapi

40. SULFONAMID, KOTRIMOKSAZOL DAN ANTISEPTIK


SALURAN KEMIH
Yanti Mariana dan R.Setiabudy

1.

Sullonamid dan kotrimoksazol


1.1. Sulfonamid
1.2. Kotrimoksazol

2.

Antiseptik saluran kemih

2.1. Metenamin
2.2. Asam nalidiksat
2.3. Nitrolurantoin

I.1. SULFONAMID
Sullonamid adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk pengobatan
dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia.
Penggunaan sulfonamid kemudian terdesak oleh
antibiotik. Pertengahan tahun 1970 penemuan kegunaan sediaan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol meningkatkan kembali penggunaan
sullonamid untuk pengobatan penyakit infeksi ter-

cooH

+
NHe

NHz

sultanilamid

tentu.

KIMIA

asam para amino


benzoat (PABA)

AT"r\,.

Sullonamid berupa kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air, tetapi garam natriumnya
mudah larut. Rumus dasarnya adalah sullanilamid

Y
NHz

(Gambar 40-1).
Berbagai variasi radikal R pada gugus amida
(-SO2NHR) dan substitusi gugus amino (NH2) menyebabkan perubahan sifat lisik, kimia dan daya
antibakteri sulfonamid.

sulfisoksazol

AKTIVITAS ANTIMIKROBA
NHOC

Sullonamid mempunyai spektrum antibakteri

yang luas, meskipun kurang kuat dibandingkan


dengan antibiotik dan strain mikroba yang resisten
makin meningkat. Golongan obat ini umumnya
hanya bersilat bakteriostatik, namun pada kadar
yang tinggi dalam urin, sulfonamid dapat bersifat
bakterisid.

sulfametoksazol

Italilsullatiazol
Gambar 40-1. Struktur beberapa sulfonamid dan
asam para amino benzoat

Sutfonamid, Kotrimoksazot dan Antiseptik Saluran Kemih

585

SPEKTRUM ANTIBAKTERI. Kuman yang sensitif


terhadap sulla secaraln vltro ialah Strep. pyogenes,

Sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sullonamid karena menggunakan lolat iadi yang terdapat dalam makanan (tidak mensintesis sendiri

Strep. pneumoniae, beberapa galur Bacil/us


anthracis dan Corynebacteium diphtheriae, Haemophilus influenzae, H. ducreyi, Brucella, Vibrio
chalerae, Nocardia, Actinomyces, Calymmatobac -

terium granulomatis, Chtamydia trachomatis dan


beberapa protozoa. Beberapa kuman enterik iuga
ihambat. Ps e ud o monas, Se rrati a, P rote us dan kuman-kuman multiregisten tidak peka terhadap obat
ini. Beberapa strain E. coli penyebab infeksi saluran
kemih telah resisten terhadap sulfonamid, karena
itu sullonamid bukan obat pilihan lagi untuk penyakit

inleksi tersebut.
Banyak galur meningokokus, pneumokokus,

streptokokus, stafilokokus dan gonokokus yang


sekarang telah resisten terhadap sulfonamid'

MEKANISME KERJA. Kuman memerlukan PABA


(p-aminobenzoic acid) untuk membentuk asam folat
(Gambar 40-2) yang digunakan untuk sintesis purin
dan asam-asam nukleat. Sulfonamid merupakan
penghambat bersaing PABA'

senyawa tersebut).

Dalam proses sintesis asam lolat, bila PABA


digantikan oleh sulfonamid, maka akan terbentuk
analog asam folat yang tidak lungsional.
KOMBINASI DENGAN TRIMETOPRIM' Senyawa

yang memperlihatkan elek sinergistik paling kuat


bila digunakan bersama sulfonamid ialah trimetoprim. Senyawa ini merupakan penghambat enzim
dihidrololat reduktase yang kuat dan selektif. Enzim
ini berfungsi mereduksi asam dihidrofolat menjadi
asam tetrahidro{olat, jadi pemberian sulfonamid
bersama trimetoprim menyebabkan hambatan berangkai dalam reaksi pembentukan asam telrahidrofolat (Gambar 40-2)' Kombinasi kedua obat ini
akan dibahas lebih laniut pada bagian lain dari bab
ini.

RESISTENSI BAKTERI. Bakteriyang semula sensitif terhadap sulfonamid dapat menjadi resisten
secara in vitro maupun in vivo. Resistensi ini biasanya bersifat ireversibel, tetapi tidak disertai resisten-

si silang terhadap kemoterapeutik lain. Resistensi

PABA

ini mungkin disebabkan oleh mutasi yang meningkatkan produksi PABA atau mengubah struktur mo-

Sulfonamid

lekul enzim yang berperan dalam sintesis lolat

berkompetisi dengan

sedemikian rupa sehingga afinitasnya terhadap sullonamid menurun.


Timbulnya resistensi merupakan laktor yang
membatasi manfaat sulfonamid dalam pengobatan
penyakit inleksi, terutama inleksi yang disebabkan

PABA

Asam dihidrofolat

Trimetoprim

oleh gonokokus, stafilokokus, meningokokus'


streptokokus dan beberapa galur Shige//a'

Asam tetrahidrololat

.t
Purin

0
DNA

Gambar 40-2. Mekanisme keria sullonamid dan

trimetoPrim

Efek antibakteri sullonamid dihambat oleh


adanya darah, nanah dan jaringan nekrotik, karena
kebutuhan mikroba akan'asam lolat berkurang
dalam media yang mengandung basa purin dan
timidin.

FARMAKOKINETIK
ABSOBPSI. Absorpsi melalui saluran cerna mudah

dan cepat, kecuali beberapa macam sullonamid

yang khusus digunakan untuk infeksi lokal pada


Lsus. Kira-kira 70-100 % dosis oral sulfonamid diabsorpsi melalui saluran cerna dan dapat ditemukan

dalam urin 30 menit setelah pemberian. Absorpsi


terulama terladi pada usus halus, tetapi beberapa
jenis sulfa dapat diabsorpsi melalui lambung'
Absorpsi melalui tempat-tempat lain, misalnya

vagina, saluran nafas, kulit yang terluka, pada


umumnya kurang baik, tetapi cukup menyebabkan
reaksi toksik atau reaksi hipersensitivitas.

586

Farmakologi dan Terapi

DISTRIBUSI. Semua sulfonamid terikat pada pro-

tein plasma lerutama albumin dalam derajat yang

berbeda-beda. Obat ini tersebar ke seluruh jaringan

tubuh, karena itu berguna untuk infeksi sistemik.

diterangkan lebih lanjut pada pembicaraan masing_


masing golongan sulfa.
Berdasarkan kecepatan absorpsi dan ekskre_
sinya, sulfonamid dibagi dalam 3 gotongan besar :
(1 ) sulfonamid dengan absorpsi dan ekskresi
cepat,

Dalani cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai 50-80 ok kadar dalam darah. pemberian sul_
fadiazin dan sulfisoksazol secara sistemik dengan
dosis adekuat dapat mencapai kadar efektif dalam
CSS (cairan serebrospinal) otak. Kadar taraf man_
tap di dalam CSS mencapai 10-g0 o/o darikadarnya
dalam darah; pada meningitis kadar ini lebih tinggi
lagi. Namun oleh karena timbulnya resistensi mi_
kroba terhadap sullonamid, obat ini jarang lagi di_
gunakan untuk pengobatan meningitis. Obat dapat
melalui sawar uri dan menimbulkan elek antimik_
roba dan efek toksik pada janin.

SULFONAMID DENGAN ABSORPSI DAN

METABOLISME. Dalam tubuh, sulfa mengalami

prototip golongan ini dengan efek antibakteri kuat.

asetilasi dan oksidasi. Hasil oksidasi inilah yang se_


ring menyebabkan reaksi toksik sistemik berupa lesi

pada kulit dan gejala hipersensitivitas, sedangkan

hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas

obat. Bentuk asetil pada N-4 merupakan metabolit


utama, dan beberapa sulfonamid yang terasetilasi
lebih sukar larut dalam air sehingga sering menyebabkan kristaluria atau komplikasi ginjal lain. Bentuk asetil ini lebih banyak terikat protein plasma
daripada bentuk asalnya. Kadar bentuk teikonyugasi ini tergantung terutama pada besarnya dosis,
lama pemberian, keadaan fungsi hati dan ginjal
penderita.

EKSKRESI. Hampir semua diekskresi melalui gin_


jal, baik dalam bentuk asetil maupun bentuk bebas.
Masa paruh sulfonamid tergantung pada keadaan
lungsi ginjal. Sebagian kecil diekskresi melalui tinja,
empedu dan air susu ibu.

FARMAKOLOGI, SEDIAAN DAN POSOLOGI


Cara pemberian yang paling aman dan mudah

ialah per oral, absorpsinya cepat dan kadar yang


cukup dalam darah segera tercapai. Bila pemberian
per oral tidak mungkin dilakukan maka dapat diberi-

kan parenteral (lM atau lV). penggunaan topikal


sullonamid umumnya telah ditinggalkan kecuali sullasetamid untuk mata, mafenid asetat dan sulfadia_
zin perak untuk luka bakar, serta sullasalazin untuk
kolitis ulseratif.
Dosis obat tergantung dari umur penderita,
macam dan hebatnya penyakit, cara pemberian,
jenis sulfa dan keadaan fungsi ginjal; dan ini akan

antara lain sulfadiazin dan sulfisoksazol; (2) sul_


lonamid yang hanya diabsorpsi sedikit bila diberi_
kan per oral dan karena itu kerjanya dalam lumen
usus, antara lain ftalilsulfatiazol dan sulfasalazin;
(3) sulfonamid yang terutama digunakan untuk
pemberian topikal, antara lain sullasetamid, mafe_
nid, dan Ag-sulfadiazin; (4) sulfonamid dengan
masa kerja panjang, seperti sulfadoksin, absorpsi_
nya cepat dan ekskresinya lambat.
EKSKRESI CEPAT. Sulfisoksazol./Merupakan

Sulfisoksazol hanya didistribusikan ke dalam cairan


ekstrasel dan sebagian besar terikat pada protein
plasma. Kadar puncak dalam darah tercapai dalam
2-4 jam setelah pemberian dosis oral 2_4 g. Hampi

95 % obat diekskresi melalui urin dalam 24 jam


sesudah pemberian dosis tunggal. Kadar obat ini

dalam urin jauh melebihi kadarnya dalam darah


sehingga mungkin bersifat bakterisid. Kadarnya
dalam CSS hanya 1/3 dari kadar dalam darah.
Kelarutan sulfisoksazol dalam urin jauh lebih
tinggi daripada sulfadiazin sehingga jarang menyebabkan hematuria atau kristaluria (0,2-0,3%). Sulfa
ini dapat menggantikan golongan sulfa yang sukar
larut dan toksik terhadap ginjal. Dosis permulaan
untuk dewasa 2-4 g dilanjutkan dengan 1 g setiap
4-6 jam, sedangkan untuk anak 150 mg/kg berat
badan sehari. Mula-mula diberikan setengah dosis
tersebut, kemudian dilanjutkan dengan 1/6 dosis
per hari setiap 4 jam (maksimal 6 g sehari). Sulfisok-

sazol dapal menyebabkan reaksi hipersensitivitas

yang kadang-kadang bersilat letal. Sediaan

sul_

lisoksazol tersedia dalam bentuk tablet 500 mg


untuk pemberian oral.

Sulfametoksazol. Obat ini merupakan derivat

sul_

fisoksazol dengan absorpsi dan ekskresi yang lebih


lambat. Dapat diberikan pada penderita dengan

infeksi saluran kemih dan infeksi sistemik.

Kris_

taluria lebih sering timbul karena persentase ase_


tilasinya tinggi.
Sulfametoksazol umumnya digunakan dalam
bentuk kombinasi tetap dengan trimetoprim (di luar
negeri ada sediaan tablet sullometoksazol saja
yang mengandung 500 mg zat aktif).

(.r\{i5oLsaeoL}
e, -r r{eJ ina.trr /

Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran Kemih

l/

Sulfadiazin.'Absorpsi di usus terjadi cepat dan


kadar maksimal dalam darah dicapai dalam waktu
3-6 jam sesudah pemberian dosis tunggal.
Kira-kira 15-4oo/o dari obat yang diberikan diekskresi dalam bentuk asetil yang lebih mudah
diekskresi. Hampir 70% obat ini mengalami reabsorpsi di tubuli ginjal dan pemberian alkali memperbesar bersihan ginjal dengan mengurangi reabsorpsi tubuli. Karena beberapa macam sulla sukar larut
dalam urin yang asam, maka sering timbul kristaluria dan komplikasi ginial lainnya. Untuk mencegah
ini penderita dianjurkan minum banyak air agar produksi urin tidak kurang dari 1200 mUhari atau diberi'
kan sediaan alkalis seperti Na-bikarbonat untuk menaikkan pH urin.
Dosis permulaan oral pada orang dewasa 2-4
g, dilanjutkan dengan 2-4 g dalam 3-6 kali pemberian; lamanya pemberian tergantung dari keadaan
penyakit. Anak-anak berumur lebih dari dua bulan
diberikan dosis awal setengah dosis per hari kemudian dilanjutkan dengan 60-150 mg/kg BB (maksimum 6 g/hari) dalam 4-G kali pemberian. Sediaan
biasanya terdapat dalam bentuk tablet 500 mg.

Sulfasitin (Sulfacytin) adalah sullonamid yang


ekskresinya cspat untuk penggunaan per oral pada
infeksi saluran kemih. Masa paruhnya dalam darah
lebih pendek daripada sullisoksazol (4 jam vs 7
jam). Kadarnya dalam darah lebih rendah daripada
kadar sulfisoksazol, oleh karena itu hanya digunakan untuk inleksi saluran kemih. Pemberian dimulai
dengan dosis awal 500 mg, dilaniutkan dengan

dosis 250 mg empat kali sehari. Sullasitin tersedia


dalam bentuk tablet 250 mg (tidak dipasarkan di
lndonesia),

Sulfametizol. Sullametizol termasuk golongan sulfonamid yang ekskresinya cepat, sehingga kadarnya dalam darah rendah setelah pemberian dosis

f eo rggr ( y?F'l

pLil'(,:?i

SULFONAMID YANG HANYA DIABSORPSI

587

SE' ,{\..

DIKIT OLEH SALURAN CERNA. Sulfasalazin.{t+o+.t


Obat ini digunakan unluk pengobalan kolitis ulse- iu i .l
ratil dan enteritis regional dan reumatoid artritis'
Sullasalazin dalam usus diuraikan menjadi sulfapiridin yang diabsorpsi dan diekskresi melalui urin,
dan 5-aminosalisilat yang mempunyai efek antiinfla-

masi. Reaksi toksik yang terjadi antara lain Heinzbody anemia, hemolisis akut pada penderita delisiensi GoPD, dan agranulositosis. Mual, demam,
artralgia serta ruam kulit terjadi pada2Oo/o penderita
dan desensitisasi dapat mengurangi angka kejadian. Dosis awal ialah 0,5 g sehari yang ditingkalkan
sampai 2-6 g sehari. Sullasalazin tersedia dalam

bentuk tablet 500 mg dan bentuk suspensi 50


mg/ml.

Suksinilsulfatiazol dan ftalisulfatiazol. Dalam kolon, kedua sulfa ini dihidrolisis oleh bakteri usus
menjadi sulfatiazol yang berkhasiat antibakteri dan

hampir tidak diabsorpsi oleh usus. Kedua obat ini


tidak lagi dianjurkan penggunaannya karena terbukti tidak elektif untuk enteritis.

suLFoNAMID UNTUK PENGGUNAAN TOPIKAL. Sulfasetamid. Natrium sullasetamid digunakan secara topikal untuk inleksi mata. Kadar tinggi
dalam larutan 30% tidak mengiritasi jaringan mata,
karena pHnya netral (7,4), dan bersifat bakterisid.
Obat ini dapat menembus ke dalam cairan dan
iaringan mata mencapai kadar yang tinggi, sehingga sangat baik untuk konyungtivitis akut maupun
kronik.
Meskipun jarang menimbulkan reaksi sensiti'
sasi, obat ini tidak boleh diberikan pada penderita
yang hipersensitif terhadap sullonamid'
Obat ini tersedia dalam bentuk salep mata
10% atau tetes mata 30%. Pada inleksi kronik diberikan 1-2 tetes setiap 2 jam untuk inleksi yang berat
atau 3-4 kali sehari untuk penyakit kronik'

biasa. Digunakan untuk pengobatan inleksi saluran


kemih dengan dosis 500-1000 mg dalam 3-4 kali
pemberian sehari. Sullametizol tersedia dalam bentuk tablt 250 atau 500 mg.

Ag-Sulfadiazin (sulfadiazin-perak). ln vitro obat


ini menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur,

Kombinasi sulfa. Untuk mengurangi atau men-

ngurangi jumlah koloni mikroba dan mencegah infeksi luka bakar. Obat tidak dianjurkan untuk pengobatan luka yang besar dan dalam. Ag dilepaskan
secara perlahan-lahan sampai mencapai kadar tok-

cegah terjadinya kristaluria dibuat sediaan kombinasi tetap beberapa macam sulfa, misalnya sulfa'
diaZin, sullamerazin dan sullametazin yang dikenal
sebagai trisullapirimidin. Kombinasi ini hanya lersedia dalam bentuk tablet atau suspensi oral' Kombinasi sulla ini lidak menghasilkan potensi atau
porluasan spektrum antibakteri.

termasuk spesies yang telah resisten terhadap sul-

fonamid. Sulfadiazin-perak digunakan untuk. rne-

sik yang selektil untuk mikroba. Namun mikroba


dapat menjadi resislen terhadap obat ini. Ag hanya
sedikit diserap telapi sulfadiazin dapat mencapai

kadar lerapl bila permukaan yang'diolesi cukup

588

luas. Walaupun jarang terjadi, efek samping dapat


limbul dalam bentuk rasa terbakar, gatal dan erupsi
kulit. Sulfadiazin-perak merupakan bbat pilihan untuk pencegahan inleksi pada luka bakar. Obat ini
tersedia dalam bentuk krem (10 mg/g) yang diberi_
kan 1-2 kali sehari.
Mafenid (mafenid asetat) mengandung alfa_
amino-p-toluen sulfonamid, digunakan secari topi_
kaldalam bentuk krem (g5 mg/g) untuk mengurangi
jumlah koloni bakteri dan mencegah infeksi luka
bakar oleh mikroba gram positif dan gram negatif.
Obal ini tidak dianjurkan untuk pengobatan luka
inleksi yang dalam. Kadang- kadang dapat terjadi
superinfeksioleh kandida. pemberian krem 1_ 2 kali
sehari dengan ketebalan 1-2 mm pada permukaan
luka bakar. Sebelum pemberian obat, luka harus dF

bersihkan, Pengobatan dilanjutkan sampai dapat


dilakukan pencangkokan kulit.
. Mafenid cepat diabsorpsi melalui permukaan

luka bakar, kadar puncak dalam darah tercapai


dalam 2-4 jam setelah pemberian. Efek samping

berupa nyeri pada tempat pemberian, reaksi aiergi


dan kekeringan jaringan karena luka tidak dibalut
dan metabolit obat menghambat enzim karbonat
anhidrase. Urin dapat menjadi alkalis dan dapat
terjadi asidosis metabolik yang berakibat sesak
napas dan hiperventilasi.

SULFONAMID DENGAN MASAKERJA PAN-.i


JANG. Sulfadoksin adalah sulfonamid dengan \
masa kerja 7 sampai 9 hari. Obat ini digunakan

dalam bentuk kombinasi tetap dengan pirimetamin

(500 mg sutfadoksin dan 25 mg pirimetamin) untuk

Farmakolqi dan Terapi

pemakaiannya secepat mungkin dihentikan. Mere_

ka yang pernah menunjukkan reaksi tersebut,

seterusnya tidak boleh diberi sullonamid.

untuk

GANGGUAN STSTEM HEMATOpOEIKVdnemia


hemolitik akut dapat disebabkan oleh reaksi alergi
alau karena delisiensi ahivitas GopD. Sulfadiazin
jarang menimbulkan reaksi ini (0,05%). Agranulo_

sitosis terjadi pada sekitar 0,.1% penderiia yang

mendapat sulladiazin. Kebanyakan penderita sem-

buh kembali dalam beberapa minggu atau bulan

setelah pemberian sullonamid dihentikan. Anemia


aplastik, sangat jarang terjadi dan dapat bersilat
tatal. Hal ini diduga berdasarkan efek mielotoksik

langsung.
; Trombositopenia berat, jarang terjadi pada pemakaian sulfonamid. Trombositopenia ririgan selintas lebih sering lerjadi. Mekanisme terjadinya tidak
diketahui.

Eosinofilia, dapat terjadi dan bersifat reversi-

bel. Kadang-kadang disertai dengan gejala hiper_


sensitivitas terhadap sulfonamid.

Pada penderita dengan gangguan sumsum


tulang penderita AIDS atau yang mendapat kemo_
terapi dengan mielosupresan sering menimbulkan
hambatan sumsum tulang yang bersilat reversibel.
GANGGUAN SALURAN KEMIH. pemakaian siste-

mik dapat menimbulkan komplikasi pada saluran


kemih, meskipun sekarang jarang terjadi karena
telah banyak ditemukan sulla yang lebih mudah
larut seperti sulfisoksazol. penyebab utama ialah

pembentukan dan penumpukan kristal dalam ginjal,


kaliks, pelvis, ureter, atau kandung kemih, yang me_

pencegahan dan pengobatan malaria akibat p. fal_


ciparum yang resisten terhadap klorokuin, Namun
karena efek samping hebat seperli gejala StevensJohnson yang kgdang-kadang sampai menimbul_
kan kematian, obat hanya digunakan untuk pence_
gahan bila resiko resistensi malaria cukup tinggi,
Kombinasi ini juga digunakan untuk pencegahan
p.n?umonia pneumocystis carinii pada penderita
AIDS (acguired immuno deficiency syndrome),
meskipun penggunaannya belum luas dan efek
sampingnya mungkin hebat.

telah diterangkan di atas. presipitasi sulfadiazin

EFEK NONTERAPI

7,15 atau lebih.

nyebabkan iritasi dan obstruksi. Anuria dan k-ematian dapat terjadi tanpa kristaluria atau hematuria;

pada autopsi ditemukan nekrosis tubular dan angii_

tis nekrotikans.
Bahaya kristalur#apat dikurangi dengan
membasakan (alkalinisasi) urin atau minum airyang
banyak sehingga produksi urin mencapai tbOO1500 ml sehari. Kombinasi beberapa jenis sulfa

dapat pula mengurangi terjadinya kristaluria seperti

atau sulfamerazin tidak akan terjadi pada pH urin

Elek nonterapi sering timbul (sekitar S%) pada


penderita yang mendapat sulfonamid. Reaksi ini

dapat hebat dan kadang-kadang bersilat fatal. Ka-

rena.itu pemakaiannya harus berhati-hati. Bila mulai


lerlihat adanya gejala reaksi toksik atau sensitisasi,

REAKSI ALERGI. Gambaran hipersensitivitas


pada kulit dan mukosa bervariasi, berupa kelainan
morbiliform, skarlatinilorm, urtikariform, erisipeloid,
pemfigoid, purpura, petekia, juga dapat timbul eri_
tema nodosum, eritema multilormis tipe Stevens_
Johnson, sindrom Behcet, dermatitis eksloliativa

Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antisptik Saluran Kemih

589

dan totosensitivitas. Kontak dermalitis sekarang jarang terjadi. Gejala umumnya limbul setelah minggu pertama pengobatan tetapi mungkin lebih dini
pada penderita yang telah tersensitisasi. Kekerapan lerjadinya reaksi kulit 1,5% dengan sulfadiazin
dan 2% dengan sulfisoksazol. Suatu sindrom yang
menyerupai penyakit serum (serum sickness) dapat
lerjadi beberapa hari setelah pengobatan dengan
sullonamid. Hipersensitivitas sislemik dif us kadan gkadang dapat pula terjadi. Sensilivitas silang dapat
terjadi antara bermacam-macam sulfa.
Demam obatterjadi pada pemakaian sulfonamid dan mungkin juga disebabkan oleh sensitisasi;
terjadi pada 3% kasus yang mendapat sulfisoksazol. Timbulnya demam tiba.tiba pada hari ketujuh
sampai kesepuluh pengobatan, dan dapat disertai
sakit kepala, menggigil, rasa lemah, pruritus dan
erupsi kulit, yang semuanya bersilat reversibel. Demam obat ini perlu dibedakan dari demam yang
menandai reaksi toksik berat misalnya agranulositosis dan anemia hemolitik akut.
Hepatitis yang terjadi pada 0,1 % pasien dapat

mun peranannya meningkat kembali dengan dite-

merupakan elek toksik atau akibat sensitisasi.


Tanda-tanda seperti sakit kepala, mual, muntah,
demam, hepatomegali, ikterus dan gangguan sel
hati tampak 3-5 hari setolah pengobalap, dapat
berlanjut menjadi atroli kuning akul dan kematian.

mukannya kotrimoksazol.

Penggunaan iopikal tidak dianjurkan karena


kurang/tidak efektif, sedangkan resiko terjadinya
reaksi sensitisasi tinggi, kecuali pemakaian lokal
dari Na-sulfasetamid pada infeksi mata.

lnfeksi saluran kemih. Sullonamid pada saat ini


bukan lagi obat pilihan pertama untuk inleksi salur-

an kemih, karena jumlah mikroba yang resislen


makin meningkat . Namun demikian sullisoksazol
masih efeklil untuk pengobatan inleksi saluran kemih dimana prevalensi resistensi mikroba masih
rendah atau mikroba masih peka. Obat pilihan lain
untuk inleksi saluran kemih anlara lain trimetoprim-

sullametoksazol, antiseptik saluran kemih, derivat


kuinolon dan ampisilin.
Kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol sangat berguna untuk pengobatan inleksi saluran
kemih. Masalah ini akan dibahas pada judul kotrimoksazol.

Disentri basiler. Sullonamid tidak lagi merupakan


obat terpilih, karena banyak strain yang telah resis-

ten. Obat terpilih sekarang adalah ampisilin atau


kloramfenikol. Trimetoprim-sulfametoksazol agaknya masih efektil pada pemberian per oral, meskipun di beberapa tempat telah terjadi resistensi.

Kerusakan pada hepar dapat memburuk walaupun

Dosis dewasa ialah 160 mg trimetoprim dan 800 mg

obat dihentikan.

sullametoksazol setiap 12 jam selama 5 hari.

LAIN-LAIN. Salu sampal 2% penderila mengeluh


mual dan muntah yang mungkin bersilat sentral
karena meski diberikan parentsralelek ini kadangkadang juga timbul. Pemberian obat pada bayl
dapat menyebabkan penggeseran ikatan bilirubin
dengan albumin. Sulfonamid tidak boleh diberikan
pada wanita hamil aterm.
INTERAKSI OBAT. Sullonamid dapal berinteraksi
dengan antikoagulan oral, antidiabetik sullonilurea
dan lenitoin. Dalam hal lersebut sulla dapat mempsrkuat efek obat lain dengan cara hambatan malabolisme atau penggeseran ikatan dengan albumin.
Pada pemberian bersama sullonamid dosis obalobal tersebut perlu disesuaikan.
PENGGUNAAN KLINIK
Penggunaan sullonamid sebagai obat pilihan
pertama dan untuk pengobatan penyakit inleksi tertentu makin terdsak oleh perkembangan obat antimikroba lain yang lebih elektil serta meningkatnya
jumlah mikroba yang rsisten terhadap sulfa. Na-

Meningitis oleh meningokokus. Banyak strain


telah resislen terhadap sullonamid, sehingga obat
terpilih adalah penisilin G, ampisilin, selalosporin
generasi ketiga, atau kloramfenikol. Kemoprofilaksis perlu dipertimbangkan diberikan pada subyek
yang berkontak langsung dengan penderita yang

terinleksi meningokokus. Rifampisin merupakan


obat terpilih untuk profilaksis. Bila strain penyebabnya sensitit diberikan sullisoksazol dengan dosis 1
gram setiap 12 jam sebanyak 4 dosis.

Nokardiosis. Sullonamid sangat berguna untuk pengobatan infeksi oleh Nocardia asterolUes. Sullisoksazol atau sulladiazin dapat diberikan 6-8 g/hari
sampai beberapa bulan setelah semua gejala hilang. Untuk inleksiyang berat sullonamid diberikan
bersama ampisilin, eritromisin, dan streptomisin.

Trakoma dan inclusion conjunctivitis. Walaupun


bukan merupakan obat terpilih, pemberlan suJfonamid secara oral selama 3 minggu eleklil untuk trakoma. Walaupun pemberian topikal mensupresi
gejala inleksi, eradikasi mikroorganisme tidak terca-

590

Farmakologi dan Terapi

pai. lnteksi sekunder dengan bakteri piogenik dapat


diobati dengan tetrasiklin topikal. Dalam beberapa
hari gejala-gejala lokal akan menghilang, Untuk,ncl u sion co nj unctiviti s (i ncl us ion blenorrhea) diberikan salep sullasetamid 10 % topikal selama 10 hari;
dapat juga dipergunakan tetrasiklin.

Toksoplasmosis. lnleksi Toxoplasmosis gondli


paling baik diobatidengan pirimetamin. Tetapi menurut pengalaman, lebih baik bila obat tersebut dikombinasi dengan sulladiazin, sulfisoksazol atau
lrisulfapirimidin ,dosis penuh. Bila terjadi korioretinitis sebaiknya juga diberikan kortikosteroid.

Kemoprofilaksis dengan sulfonamid. Sullonamid


juga digunakan sebagai kemoprofilaksis terutama
untuk inleksi spesifik dengan bakteri-bakteri yang
masih sensitil terhadap sulfa. Untuk mencegah infeksi maupun kambuhnya demam reumatik oleh
Sfrepfococcus-hemolyticus group A, sulfa sama

dalam usaha meningkatkan elektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama
kotrimoksazol.
K I M I A. Silat kimia sulfametoksazol telah dibicara-

kan di atas dan struktur kimianya dapat dilihat


pada Gambar 40-3. Trimetoprim adalah suatu
diamino-pirimidin yang bersifat basa lemah dengan
pKa 7,3 dan sedikit larut dalam air. Struktur kimianya adalah sebagai berikut:

NHz

*A*

\A
1

NHa

CHz

elektilnya dengan penisilin oral. Sulla tidak dapat


membasmi carrier streptokokus, tetapi dapat mencegah timbulnya laringitis dan demam reumatik.

Tetapi karena toksisitas sulla dan kemungkinan


inleksi oleh streptokokus yang resisten terhadap

OCHg

sulla, maka penisilin lebih disukai untuk maksud ini.


Sulfisoksazol dengan dosis 1 g, 2 kali sehari diguna-

kan pada penderita yang hipersensitil terhadap penisilin. Dosis untuk anak setengah dari dosis orang
dewasa. Bila timbul elek samping yang umumnya
terjadi pada 8 minggu pertama pengobatan, maka
perlu dilakukan pemeriksaan hitung leukosit setiap
minggu selama 8 minggu. Untuk kemoprolilaksis di-

senteri basiler dengan penyebab Shigelta, kecuali


strain yang telah resisten, dapat digunakan sulfadiazin atau sullisoksazol 1-2 gram sehari selama 7
hari. Beberapa penulis menyatakan bahwa infeksi
oleh meningokokus yang sensitil dapat dicegah
dengan sulfadiazin atau sulfisoksazol. Namun, resistensi terhadap obat ini sekarang sangat meningkat. Prolilaksis inleksi dengan sullonamid sewaktu
manipulasi saluran kemih, misalnya kateterisasi,
diragukan kegunaannya

Gambar rlo-3. Struktur kimia trlmetoprlm

EFEK TERHADAP MIKROBA

SPEKTRUM ANTIBAKTER|. Spektrum antibakteri


trimetoprim sama dengan sullametoksazol, meskipun daya antibakterinya 20-100 kali lebih kuat daripada sullametoksazol.
Mikroba yang peka terhadap kombinasi trime-

toprim-sulfametoksazol ialah: Sfr. pneumoniae, C.


diphtheriae, dan l/. meningitis, S0-9S% strain S.
aureus, S. epidermidis, Str. pyogenes, Str. viridans,
Sfr. faecalls, E. Coli, Pr. mirabilis, Pr. morganii, pr,
rettgeri, Enterobacter, Aercbacter sposies, Sa/monella, Shigella, Serratia dan Alcaligenes spesies
dan Klebsietla spesies. Juga beberapa strain stalilokokus yang resisten terhadap metisilin, trimetoprim

I.2. KOTRIMOKSAZOL

atau sullametoksazol sendiri, peka terhadap kombinasi tersebut. Kedua komponen memperlihatkan

Trimetoprim dan sullametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang
berurutan pada mikroba, sehingga'kombinasi kedua obat memberikan elek sinergi. penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting

interaksi sinergistik. Kombinasi ini mungkin efekfif


walaupun mikroba telah resisten terhadap sulfonamid dan agak resisten terhadap trimetoprim. Sinergisme maksimum akan terjadi bila mikroba peka
terhadap kedua komponen.

Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran Kemih

591

MEKANISME KERJA. Aktivitas antibakteri kotri-

nya resistensi pada beberapa jenis mikroba Gram

moksazol berdasarkan atas kerianya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk

negatil.

membeintuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamid

FARMAKOKINETIK

menghambat masuknya molekul PABA ke dalam


molekul asam lolat dan trimetoprim menghambat
terjadinya reaksi reduksi dari dihidrololat menjadi
tetrahidrofolat. Tetrahidrololat penting untuk reaksireaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenin, guanin, dan timidin) dan
beberapa asam amino (metionin, glisin). Sel-sel
mamalia menggunakan lolat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat
reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini
penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada
sel mamalia.
Untuk mendapatkan efek sinergi diperlukan
perbandingan kadar yang optimal dari kedua obat.
Untuk kebanyakan kuman, rasio kadar sulfametoksazol : trimetroprim yang optimal ialah 20 : 1. Silat
larmakokinetik sulfonamid yang dipilih untuk kombinasi dengan trimetoprim sangat penting mengingat
diperlukannya kadar yang relatif letap dari kedua
obat tersebut dalam tubuh. Trimetoprim pada

Rasio kadar sulfametoksazol dan trimetoprim


yang ingin dicapai dalam darah ialah sekitar 20 : 1'
Karena silatnya yang lipofilik, trimetoprim mempunyai volume distribusi yang lebih besar dari pada
sullametoksazol. Dengan memberikan sufametok-

umumnya 20-100 kali lebih poten daripada sulfametoksazol, sehingga sediaan kombinasi diformulasi-

sazol 800 mg dan trimetoprim 160 mg per oral (rasio


sulfametoksazol : trimetoprim - 5 : 1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah
kurang lebih 20 : 1.
Trimetoprim cepat didistribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40 % terikat pada protein plasma
dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi
trimetoprim hampir 9 kali lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan
mudah. Masing-masing komponen juga ditemukan
dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira 65%
sullametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimetoprim dan 25-50% sullametoksazol
diekskresi melalui urin dalam 24 iam setelah pemberian. Dua-pertiga dari sulfonamid tidak mengalami konjugasi. Metabolit trimetoprim ditemukan
juga di urin. Pada penderita uremia, kecepatan ekskresi dan kadar urin kedua obat jelas menurun.

kan untuk mendapatkan kadar sulfametoksazol in


vivo 20 kali lebih besar daripada trimetoprim.

SEDIAAN DAN POSOLOGI

RESISTENSI BAKTERI, Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksazol leblh rendah daripada terhadap masing-masing obat, karena mikroba yang resisten terhadap salah satu komponen
masih peka terhadap komponen lainnya. Resistensi
mikroba terhadap trimetoprim dapat terjadi karena
mutasi. Resistensi yang terjadi pada bakteri gram

negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang


membawa silat menghambat kerja obat terhadap

Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet


oral, mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80

mg trimetoprim atau 800 mg sulfametoksazol dan


160 mg trimetoprim. Untuk anak tersedia iuga bentuk suspensi oral yang mengandung 200 mg sul'
lametoksazol dan 40 mg trimetoprim/S ml, serta
tablet pediatrik yang mengandung 100 mg sullametoksazol dan 20 mg trimetoprim. Untuk pemberian
intravena tersedia sediaan infus yang mengandung
400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim per

enzim dihidrofolat reduktase. Resistensi S. aureus


terhadap trimetoprim ditentukan oleh gen kromo-

5 ml. Dosis dewasa pada umumnya ialah 80Q mg

som, bukan oleh plasmid. Resistensi terhadap bentuk kombinasi juga terjadi in vivo. Prevalensi resistensi E. coli dan S. aureus terhadap kotrimoksazol
meningkat pada penderita yang diberi pengobatan
dengan sediaan kombinasi tersebut. Selama lima
tahun penggunaan resistensi S. aureus meningkat
dari 0,40h menjadi 12,60 . Dilaporkan pula terjadi-

jam. Pada infeksi yang berat diberikan dosis lebih

sulfa metoksazol dan 160 mg trimetoprim setiap 12

besar. Pada penderita dengan gagal ginjal'


diberikan dosis biasa bila bersihan kreatinin lebih

dari 30 mumenit; bila bersihan kreatinin 15-30


ml/menit, dosis 2 tablet diberikan setiap 24 iam dan
bila bersihan kreatinin kurang dari 15 ml/menit, obat
ini tidak boleh diberikan.

592

Farmakologi dan Terapi

Dosis yang dianjurkan pada anak ialah trime_

8 mg/kgBB/haridan sulfametoksazol 40
mg/
kgBB/hariyang diberikan dalam 2 dosis. pemberian

-toqrim

pada anak dibawah usia 2 tahun dan pada


ibu hamil
atau menyusui tidak dianjurkan.

Trimetoprim juga terdapat sebagai sediaan


tunggal dalam bentuk tablet 100 dan 200 mg.

EFEK NONTERAPI
Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bah_

wa kotrimoksazol menimbulkan defisiensi folat pa_


da orang normal. Namun batas antara toksisitas
untuk bakteri dan untuk manusia relatif sempit
bila
sel tubuh mengalami defisiensi folat. Dalam
keada_

an demikian obat ini mungkin menimbulkan


megalo_

blastosis, leukopenia, atau trombositopenia.


Kirakira.7.5% efek samping terjadi pada kulit, berupa
reaksi yang khas ditimbulkan oleh sulfonamid.
Na_
mun demikian kombinasi trimetoprim_sulfametok_
sazol dilaporkan dapat menimbuikan reaksi
kulit
sampai tiga kali lebih sering dibandingkan
sulfisok_
sazol pada pemberian tunggal (5,9% vs 1
,7%). Der_

matitis eksfoliatif, sindrom Stevens-Johnron


dun

toxic epidermal necrolysis jarang terjadi. Gejala_


gejala saluran cerna terutama beruja mual

dan

muntah; diare jarang terjadi. Glositis dan stomatitis

relatif sering. lkterus lerutama terjadi pada pen_


sebelumnya telah menialami hepatitis
le,rita V3nO
kolestatik alergik. Reaksi susunan slrut prsuiOuru_

pa sakit kepala, depresi dan halusinasi,


disebabkan

oleh sulfonamid. Fleaksi hematologik iainnya


ialah
berbagai macam anemia (aplasti[, hemolitik
oan
makrositik), gangguan koagulasi, granulositopenia,
agranulositosis, purpura, purpura Henoch-S'chon_
lein dan sulfhemoglobinemia. pemberian diuretik
sebelumnya atau bersamaan dengan kotrimoksa_
zol dapat mempermudah timbulnyl trombositope_
nia, terutama pada penderita usia lanjut dengan
payah jantung; kematian dapat terjadi.
eida penderita AIDS (Acquired immuno- defiiiency
syndrome)
yang diberi pengobatan kotrimoksazol
Lntuk infeksi
ol.eh Pneumocystis carinii, sering terjadi
efek samping demam, lemah, erupsi kulit, dun/at",
pansito-

penia.

bawah. Tetapi timbulnya resistensi makin mening_


kat terutama pada bakteri Gram negatif, sehingga
sulfonamid tidak dapat diandalkan untuk pengobat

an infeksi yang lebih berat pada saluian kemih


bagian atas. penting untuk membedakan infeksi

pada ginjal

dan infeksi pada saluran kemih bagian


bawah. Pada keadaan pielonefritis akut yang
disertai demam hebat dan bila ada kemungkinaniirOrt_

nya bakteremi dan syok, sebaiknyalangan diberi


pengobatan dengan sulfonamid; tetapi
dianjurkan
pemberian suatu antimikroba yang bakterisid
seca_
ra.parenteral yang dipilih berdasarkan uji sen_
sitivitas mikroba dari hasil kultur urin. SulfonamiO
digunakan untqk pengobatan sistitis akul maupun

kronik, infeksi kronik saluran kemih bagian atas


dan

bakteriuria yang asimtomatik. Sulfonamid efektif

untuk sistitis akut tanpa penyulit pada wanita. peng_


obatan infeksi ringan saluran kemih bagian
bawah,

dengan kotrimoksazol ternyata sangat Lt"ttit, Ounkan untuk infeksi oleh mikroba yan! t"lun ,"ri.t"n

terhadap sulfonamid sendiri. Dosis 160 mg

trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol setiap


12
jam selama 10 hari menyembuhkan sebagian
besar penderita. Efek terapi sediaan kombinasi
lebih baik daripada masing_masing komponennya
terutama bila mikroba penyebabnya golongan
enterobacteriaceae. pemberian dosis tunlgal (320
mg trim_etoprim dengan 1600 sulfametoksazol)
selama 3 hari, juga efektif untuk pengobatan infeksi

akut saluran kemih yang ringan. Sediaan kombinasi

initerutama efektif untuk infeksi kronik dan berulang

saluran kemih. pada wanita, efektivitasnya


mungkin

disebabkan oleh tercapainya kadar terapi dalam


sekret vaginal. Jumlah mikroba di sekitar orificium

urethrae menurun sehingga kemungkinan

mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim per


hari
alau 2-4 kali dosis tersebut yang diberikan satu
atau

dua kali per minggu) efektif untuk mengurangi


frekuensi kambuhnya infeksi saluran kemih pada
wanita. Harus diingat bahwa trimetoprim saja juga
cukup efektif untuk pengobatan infeksi saluran

kemih. Dosis dewasa yang umum digunakan ialah

100 mg setiap 1p jam. Untuk me;berikan

PENGGUNAAN KLINIK

INFEKSI SALURAN KEMIH. Sulfonamid


masih

berguna untuk infeksiringan saluran kemih


Uajian

ter_

jadinya infeksi ulang pada saluran


ke-mih bagian
bawah berkurang. Trimetoprim juga ditemukan
dalam kadar terapi pada sekret proslat dan efektif
untuk pengobatan infeksi prostat. Dosis kecil (200

pen_

gobatan dengan sediaan kombinasi tersebut perlu


dipertimbangkan hasil pemeriksaan sensitivitas

mikroba.

lnfeksi berulang saluran kemih lebih sukar di_


tanggulangi daripada infeksi akut; infeksi kronik ini

Sultonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saturan Kemih

593

pengobatan dengan sediaan kombinasi tersebut


perlu dipertimbangkan hasil pemeriksaan sensitivitas mikroba.
lnleksi berulang saluran kemih lebih sukar ditanggulangi daripada inleksi akut; infeksi kronik ini

tensi mikroba penyebabnya terhadap obat ini masih


rendah.
Kotrimoksazol elektif untuk carier S. typhi dan

mungkin disebabkan inleksi ulang oleh mikroba lain


alau karena persistensi mikroba yang sama. lnleksi
ulang biasanya dapat diatasi dengan antimikroba
seperti sulfisoksazol, sedangkan kambuh oleh mikroba yang sama biasanya lebih sukar diatasi dan
menunjukkan adanya sumber infeksi yang persisten di saluran kemih bagian atas yang sukar dibasmi. Sebab persistensi ini antara lain : (1 ) obstruksi
yang bersilat lungsional atau mekanik yang menghambat pengosongan kandung kemih; (2) resisten-

si mikroba terhadap antibiotik yang biasa digunakan; (3) gangguan daya tahan tubuh seperti
pada penderita diabetes melitus; (4) kombinasi dari
ketiga hal di atas, Mikroba penyebabnya antara lain
Escherichia, Enterobacter (Aerobacter), Atcaligeneg K/ebsiella, Proteus, kokus qram positif (termasuk enterokokus) dan mikroba campuran. Laju
penyembuhan infeksi kronik saluran kemih relatil
rendah, apapun antimikroba yang digunakan, dan
terapi supresil kronik atau pengobatan intermiten
terhadap kambuhnya gejala merupakan tujuan pengobatan yang paling baik. Pengobatan dengan
antibiotik pada kasus demikian ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dan pemberian anti-

biotik jangka lama sering menimbulkan efek


samping.

INFEKSI SALURAN NAFAS, Kotrimoksazot tidak


dianjurkan untuk mengobati laringitis akut oleh Str.
pyogenes, karena tidak dapat membasmi mikroba.
Preparat kombinasi ini efektil untuk pengobatan
bronkitis kronis dengan eksaserbasi akut. Preparat
kombinasi ini juga elektil untuk pengobatan otitis
media akut pada anak dan sinusitis maksilaris akut
pada orang dewasa yang disebabkan oleh strain H.
influenzae dan Str. pneumoniae yang masih sensitif. Beberapa galur pneumokokus penyebab bakteremia dilaporkan telah resisten terhadap obat ini.

INFEKSI SALURAN CERNA. Sediaan kombinasi


ini berguna untuk pengobatan shige//osis karena
beberapa strain mikroba penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin. Namun demikian akhir-akhir

ini dilaporkan terjadinya resistensi mikroba terhadap kotrimoksazol. Obat ini juga etektil untuk demam tiloid. Kloramlenikol tetap merupakan obat
terpilih unluk demam tifoid, karena prevalensi resis-

Salmonella spesies lain. Dosis yang dianjurkan :


160 mg trimetoprim - 800 mg sullametoksazol dua
kali sehari selama 3 bulan, tetapi dengan dosis ini
penyakit masih dapat kambuh. Terjadinya penyakit
kronik pada kandung empedu diduga karena kega-

galan menghilangkan carrier sfafe ini. Diare akut


karena E. coli dapat dicegah atau diobati dengan
pemberian trimetoprim tunggal atau kotrimoksazol.
INFEKS! OLEH PNEUMOCYSTIS CARtNtt. Peng-

obatan dengan dosis tinggi (trimetoprim 2O mgl


kgBB per hari dengan sulfametoksazol 100 mg/
kgBB per hari, dalam 3-4 kali pemberian) elektif
untuk penderita infeksi yang berat pada penderita
AIDS. Beberapa hasil penelitian telah memperlihatkan bahwa pengobatan dengan dosis kecil efektif
untuk pencegahan inleksi Pneumocystis carinii
pada penderita neutropeni.

INFEKSI GENITALIA. Karena resistensi mikroba


kotrimoksazol tidak dianjurkan lagi unluk pengobat-

an gonore. Pemberian eritromisin 500 mg 4

kali

sehari selama 10 hari atau 160 mg trimetoprim dan


800 mg sullametoksazol per oral dua kali sehari
selama 10 hari efektil untuk pengobatan chancroid.

INFEKSI LAINNYA. lnleksi oleh jamur nokardia


dapat diobati dengan kombinasi ini. Banyak laporan
mengemukakan bahwa sulfametoksazol mungkin
elektif unluk pengobatan bruselosis bahkan bila ada
lesi lokal seperti artritis, endokarditis atau epididimo-orkitis. Dosis yang diberikan berkisar antara 2
tablet (800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim) tiga kali sehari selama 1 minggu diikuti dengan
2 tablet per hari selama 2 minggu sampai 4- 8 tablet
per hari selama 2 bulan. Sebagian besar penderita
sembuh terutama setelah pemberian rangkaian
dosis yang disebut terakhir, namun 4% penderila
kambuh dengan rangkaian dosis tersebut. Pemberian kotrimoksazol secara lV dengan karbenisilin

ternyala efektil untuk pengobatan infeksi pada penderita neutropenia. Trimetoprim-sullametoksazol


juga berguna untuk pengobatan berbagai penyakit
inleksi berat pada anak. Strain S. aureus yang telah
resisten terhadap metisilin mungkin masih peka terhadap kotrimoksazol, tetapi vankomisin masih tetap
merupakan obat pilihan untuk inleksi berat yang
disebabkan oleh S. aureus yang telah resisten terhadap melisilin.

594

Farmakologi dan Tarapi

2. ANTISEPTIK SALURAN KEMIH


Beberapa obat antimikroba tidak dapat
digunakan untuk mengobati infeksi sistemik yang
ber_
asal dari saluran kemih karena bioavailatilitasnya
dalam plasma tidak mencukupi. Tetapi pada
tubuli
renalis, obat-obat ini akan mengalami pemekatan
dan berdilusi kembali ke parentim ginlat
setringga
be_rmanfaat untuk pengobatan inleisi'saluran
ke_

mih. Oleh karena kadarnya hanya cukup


tinggipada

saluran kemih saja, maka antimikroUa

2.1. METENAMIN
KIMIA

Metenamin atau heksamin adalah heksametilentetramin. Dalam suasana asam,


metenamin
terurai dan membebaskan formaldehid yang
beker_

ja sebagai antiseptik saluran kemih. Forrito"niO


mematikan kuman dengan jalan menimbulkan
denaturasi protein.

Reaksi ini berlangsung baik pada pH urin yang

rendah. Pada

pH lebih dari

efektif.

7,4 obat

ini

tidak

se-p-erti ini

sering dianggap sebagai antiseptik lokal


untuk infeksi saluran kemih.
Untuk infeksi akut saluran kemih yang
disertai
tanda-tanda sistemik seperti demam,
menigigil, hi_
potensi dan lain-lain, obat antiseptit

saluriri femin
tidak dapat digunakan karena pada keadaan
ter-

sebut diperlukan obat dengan kadar efektif


dalam
plasma. Pengobatan rasional pada
keadaan ini
ha_

rus berdasarkan atas hasil biakan dan


uji kepekaan

kuman. Sementara menunggu hasil la-boratorium,

dapat diberikan obat golongan aminoglikosid


misal_
nya gentamisin, atau sulfonamid, kotrimoksazol,
ampisllin, selalosporin, lluorokuinolon,
dan lain_lain.

Dengan pemberian selama 5_10 hari,


biasanya in_
feksi akut dapat diredakan dan selanlurnya jiberi
kan antiseptik saluran kemih sebag"i p"ngob"t"n
prolilaksis atau supresif
lnfeksi saluran kemih yang sering kambuh
pa_
da pria usia lanjut seringkali diiebabk-an
oleh ada_
nya prostatitis kronis. Keadaan ini sulit
diatasi kare_
na obat sulit mencapai kelenjar prostat. Semua
penderita dengan inleksi saluran
kemih berulang
harus diperiksa dengan teliti apakah disertaiteiain_
an anatomis saluran kemih.

Perlu

diingat bahwa pada gagal ginjal, hasil


pengobatan seringkali tidak memuaJkan
karena na_
nya sedikit sekali obat yang dapat diekskresikan
melalui ginjal. Selain itu beberapa obat
mengalami
kumulasi dalam badan sehinggapertu
oiperpinjang
interval pemberiannya atau dikurangi
Oosisnya lerdasarkan hasil pantauan kadar obaioalam
pi"rr".
Bila belum tersedia fasilitas untuk memantau
f"Oa,

obat dalam plasma, bersihan kreatinin


Oapat Jigu_
nakan sebagai pegangan.
Antimikroba untuk inleksi akut dan sistemik
saluran kemih telah dikemukakan pada
bagian iain

dalam buku ini, sehingga selanjutnya


afaniiOatras
tentang antiseptik saluran kemih saja,

EFEK ANTIMIKROBA. Metenamin aktif


terhadap
berbagai jenis mikroba. Kuman Gram

negatif
umumnya dapat pula dihambat dengan
metenamin,
kecuali Proteus karena kuman ini d-apat
menguOan

urea menjadi amonium hidroksid y"ng


m"n"ikkan
pH sehingga menghambat peruOanan'
metenamin

menjadi formaldehid.

Karena tidak terjadi resistensi kuman terha_

dap lormaldehid, elektivitas metenamin


tetap baik.

EFEK NONTERAPI DAN KONTRAINDIKASI.


Metenamin dikontraindikasikan paOa gangguan

fungsi hati karena dalam lambung oOat"ini


Lem_
bebaskan amonia. lritasi lambung Jerinj
teryadi Oita

diberikan dosis tebih dari 500 mg pe,

fiti. '

Dosis 4-8 g sehari selama teUifr Oari 3


minggu

mungkin menimbulkan iritasi kandung kemih, pro-

teinuria, hematuria dan erupsi kulit. Oleh


karena itu

dosis harus segera diturunkan bila urin telah


steril.
Sebenarnya metenamin tidak merupatcan fontraindikasi untuk gagal ginjal, tetapi
J"p"t

memperburuk keadaan. Oleh karena"""rny"


itu mitenamin

mandelat misalnya, tidak boleh diberikan pada


keadaan ini. Metenamin jangan diberikan b"ir"r"
sullonamid karena dapat menimbulkan
kristaluria.
uetama pengobatan dengan metenamin, penderita
harus menghindarkan diri dari matananioOatlang
dapat meningkatkan pH urin misalnya ,rrr,

tasid.

"n_

SEDIAAN DAN POSOLOG|. Metenamin dan


metenamin mandelat tersedia dalam bentuk tablet
0,5 g,
Dosis untuk orang dewasa ialah 4 kali 1 gramlhari,
diberikan setelah makan. Dosis untuk
furung

dari 6 tahun ialah 50 mg/kgBB/hari "nit


yang

dalam beberapa dosis.

OOagi

lND|KAS|. Obat ini digunakan untuk profilaksis


ter_
hadap infeksi saluran kemih berulang, khususnya
bila ada residu kemih. Metenamin tid-ak diindikasi_
kan untuk infeksi akut saluran kemih.

Sulfonamid, Kotimoksazol dan Antiseptik Saluran Kemih

2.2. ASAM NALIDIKSAT


KlMlA. Kristal asam nalidiksat berupa bubuk putih
atau kuning muda. Kelarutan dalam air rendah sekali, tetapi mudah larut dalam hidroksida alkali dan
karbonat, Struktur molekulnya dapat dilihat pada
Gambar 40-4.

I
o

cooH

Gambar 1O.4. Struktur asam nalidiksat

SPEKTRUM ANTIMIKROBA. Asam nalidiksat be.


kerja dengan menghambat enzim DNA girase bakteri dan biasanya bersifat bakterisid terhadap kebanyakan kuman patogen penyebab infeksi saluran
kemih. Obat ini menghambal E. coli, Proteus spp.,
Klebsiella spp. dan kuman-kuman koliform lainnya.
Pseudomonas spp. biasanya resisten.

Resistensi terhadap asam nalidiksat lidak dF


pindahkan melalui plasmid (faktor R), tetapi dengan
mekanisme lain. Resistensi terhadap asam nalidiksat telah menimbulkan masalah klinik.

FARMAKOKINETIK. Pada pemberian per oral,


96% obat akan diserap. Konsentrasinya dalam
plasma kira-kira 20-50 pg/ml, tetapi 95% terikat
dengan protein plasma. Dalam tubuh, sebagian dari

obat ini akan diubah menjadi asam hidroksinalidiksat yang juga mempunyai daya antimikroba, Konyu-

gasi terjadi sebagian besar dalam hepar. Masa


paruh obat ini adalah 1 112-2 jam, tetapi dapat

595

Gejala SSP dapat berupa sakit kepala, vertigo

dan kantuk. Pada anak dan bayi yang mendapat


asam nalidiksat dosis tinggi, dapat timbul kejang
yang mungkin disebabkan oleh peninggian tekanan
intrakranial. Elek samping ini dapat pula timbul bila
obat diberikan kepada penderita parkinsonisme,
epilepsi dan gangguan sirkulasi darah pada otak.
Asam nalidiksat tidak boleh diberikan pada bayi
berumur kurang dari 3 bulan dan juga pada trimester pertama kehamilan.
Asam nalidiksat memberikan reaksi positil se-

mu pada pemeriksaan reduksi urin mnurut cara


Benedict. Pada penderita dengan gangguan faal
hati atau ginjal, terjadi kumulasi dalam tubuh sehingga obat ini harus diberikan hati-hati sekali.
Daya antibaherinya akan berkurang bila diberikan bersama nitrofurantoin. Oleh karena itu pemberian kombinasi asam nalidiksat dan nitrolurantoin
dikontraindikasikan pada pengobatan infeksi saluran kemih.

SEDIAAN DAN POSOLOGI. Asam nalidiksat ter-

sedia dalam bentuk tablet 500 mg, Dosis untuk


orang dewasa ialah 4 kali 500 mg/hari. Obat ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil trimester
pertama dan juga anak prapuber.

lNDlKASl. Asam nalidiksat digunakan untuk meng-

obati infeksi saluran kemih bawah tanpa penyulit


(misalnya sistitis akut). Obat ini tidak efektif untuk
infeksi saluran kemih bagian atas, misalnya pielonefritis.

Dengan ditemukannya lluorokuinolon (siprofloksasin, olloksasin, dll.) yang mempunyai daya


antibakteri dan sifat larmakokinetik yang lebih baik,
thmpaknya asam nalidiksat tidak akan banyak digunakan lagi di masa yang akan datang.

Asam pipemidal mempunyai indikasi klinik


sama dengan asam nalidiksat. Dosisnya ialah 2 kali
400 mg/hari.

memanjang sampai 20 jam pada gagal ginjal.

EFEK NONTERAPI DAN KONTRAINDIKASI.


Pemberian asam nalidiksat per oral kadang-kadang
menimbulkan mual, muntah, ruam kulit dan urtika-

2.3. NITROFURANTOIN

ria. Diare, demam, eosinolilia dan lotosensitivitas

KIMIA DAN EFEK ANTIMIKROBA.

kadang-kadang timbul. Anemia hemolitik dapat juga


timbul, walaupun hal ini jarang terjadi dan diduga
berdasarkan delisiensi enzim GcPD.

adalah antiseptik saluran kemih derivat luran. Struktur molekulnya dapat dilihat pada Gambar 40-5.
(lihat halaman berikut).

N|ITOIUTANTO|N

596

Farmakologi dan Terapi

o'*trY"-7to"
o/-*^

Gambar 4O_5. Struktur nilrolurantoln

Obat ini efektif untuk kebanyakan kuman pe_


nyebab inleksi saluran kemih seperti
E. coli, proteus
specieg Klebsiella, Enterobacter, Enteio,co,ccus,
Strepfococcus, ClostridiaOan A. subatrsUnirf. p-_
teus mirabilis dan pseudomonas obat
ini iurang
Resistensi dapat berkemO"ng ,"i"rri p"_

1:Itr:

mindahan plasmid.

FARMAKOKINETIK. Nitrofurantoin diserap


de_
cepat dan lengkap melalui saluran @rna.
1S"l
Hemberian obat bersama makanan
bukan hanya

menguran gi kemun gkinan terjadinya


iritasi lambung

tapi juga mempertinggi bioavailabilitasnya.

diserap, obat ini terikat kuat dengan


. Setelah
protein
plasma dan cepat diekskresi
melatuilinlat

sehingga kadar obat bebas dalam oaratr


tiJaf O'apat
mencapai kadar terapi. Masa paruhnya
dalam se-

rum hanya 20 menit dan kira-kira iOrt"


oOit ini
diekskresi datam bentuk asatnya, ,"t,inf
gL a-illp"r_
kan kadar yang cukup tinggi datam ,iin
oir" r""r
ginjal
cukup baik.

Bila bersihan kreatinin kurang dari 40


ml/menit

maka kadar obat datam urin tidlk cukup


iinggi,
sebaliknya terjadi kumulasi datam Oaran
slningga

kemun gkinan rerjadinya intoksikasi


iu J" Llii.,''0"sar. Dengan demikian nitroturantoin iiO"L
Oof"n Oi_
berikan pada penderita gagal ginjal.
Nitrofurantoin menyebabkan urin benryarna

agak coklat.

EFEK NONTERAPI DAN KONTRA|ND|KAS|.


Efek

samping,yang paling sering dijumpai ialah


mual,

muntah dan diare. Keluhan_keluhan ini


dapat diku_
rangi dengan pemberian bersama makanan
atau
susu. Reaksi hipersensitivitas mungkin
timbul berupa demam,. leukopeni, granulosi6peni,
anemia
nemotttik (pada penderita delisiensi enzim
GopD),
ikterus kolestatik dan kerusakan hepatos;iuler.
Se_

lain itu dapat timbul pneumonitis akibat


reaksi alergi
dan librosis pulmonus interstisial (arang
sefati ter_
jadi).
, . . Efek samping lain yang mungkin timbul ialah
kelainan neurologik seperti sakit -kepala,
vertigo,
kantuk, nistagmus, dan nyeri otot. Keiainan_kelain-

an lain bersifat sementara. polineuropati


lebih mu_
dah terjadi pada penderita dengan gangguan
taal
ginjat, anemia, diabetes, detisiensiuit"niii
e ror_
pleks.atau gangguan keseimbangan
etektroiit.
Nitrolurantoin dikonkaindikisikan pada
f angguan.laal.ginjal dengan bersihan
kreatinin tJrang
dari 40 mt/menit, Obat inijuga dikontrainlif.asif"n
bagi wanita hamil aterm dan bayi berumur
furung
dari 3 bulan, karena dapat menimbulkan
anemia

hemolitik.
Nitrofurantoin melawan efek anti bakteri
asam
nalidiksat di saluran kemih.

SEDIAAN

DAN POSOLOGI. Nitrofurantoin tersedia dalam bentuk kapsul atau tablet 50


dan 100 mg.

Dos_is untuk orang dewasa ialah


3-4 kali 50_1OO
mg/hari. Untuk anak diberikan dosis 5_7
mg/kgBB/
'e'"w
hari yang dibagi dalam beberapa dosis.

PENGGUNAAN

KLtNtK. Nitrofurantoin efektif


untuk mengobati bakteriuria yang disebabkan
oleh
infeksi saluran kemih bagian baiah. penggunaan_
nya terbatas untuk tujuan prolilaksis
atau p-e-ngobat_

an supresif inleksi saluran kemih menahun]vaitu


setelah kuman penyebabnya dibasmi
atau' Cifu_

rangi dengan antimikroba lain yang lebih


efektif.
Hidroksimetilnitrofurantoin digunakan Oengan
sama dengan nitrofurantoin. Dosisnya
4'1|'I::'^V""S
kali 40 mg sehari per oral.

Tu

597

berku lostatik dan Le p rostatik

41. TUBERKULOSTATIK DAN LEPROSTATIK


Yusuf Zubaidi

1.

1.10, Etionamid
1.1 1, Pengobatan Tuberkulosis

Tuberkulostatik

1. 1. Streptomisin
1. 2, lsoniazid
1. 3. Rifampisin
1. 4. Etambutol
1. 5. Pirazinamid
1. 6. Asam paraamino salisilat
1. 7. Sikloserin
1. 8. Kanamisin
1. 9. Kapreomisin

Tuberkulosis dan lepra disebabkan oleh


kuman tahan asam yang silalnya berbeda dengan
kuman lain. Walaupun perkembangan penemuan
obat baru untuk kedua penyakit ini tidak semarak
seperti penemuan antibiotik baru untuk inleksi lain,
pengenalan sifat mikobakteria lebih mendalam menyebabkan masa pengobatan dapat dipersingkat
dan angka kekambuhan lebih kecil. Resistensi dan
efek samping masih merupakan masalah utama
dalam pengobatan tuberkulosis. Paduan obat mana
yang paling baik juga masih diperdebatkan.
Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih
merupakan persoalan dan tantangan dalam bidang
kemoterapi. Faktor yang mempersulit pengobatan
ialah (1) kurangnya daya tahan hospes terhadap
mikobakteria, (2) kurangnya daya bakterisid obat
yang ada, (3) timbulnya resistensi kuman terhadap
obat, dan (4) masalah elek samping obat. Tantangan ini lebih berat lagi dengan munculnya masaAlDS
yang berkaitan erat dengan meningkatnya kejadian
tuberkulosis.

1. TUBERKULOSTATIK
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digo-

longkan atas dua kelompok yaitu kelompok obat


primer dan obat sekunder. Kelompok obat primer,

2.

Leprostatik

2.1. Sullon
2,2, Rifampisin
2.3. Klofazimin
2.4. Amitiozon

2.5. Obat-obat lain


2.6. Kemoterapi lepra

yaitu isoniazid, rilampisin, etambutol, streptomisin'


dan pirazinamid, memperlihatkan elektivitas yang
tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan
obat-obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa
digunakan obat lain yang kurang elektil karena pertimbangan resistensi atau kontraindikasi pada penderita. Antituberkulosis sekunder adalah etionamid,
paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin, dan kanamisin.

1.1. STREPTOMISIN
Dalam bab ini hanya akan dibicarakan penggunaan streptomisin pada tuberkulosis. Streptomisin ialah antituberkulosis pertama yang secara klinik
dinilai efektif. Namun sebagai obat tunggal, bukan
obat yang ideal.

AKIVITAS ANTIBAKTERI. Streptomisin in vitro


bersilat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Kadar serendah 0,4 pg/ml dapat
menghambat pertumbuhan kuman. Sebagian besar
bvin dihambat
dengan kadar 10 pg/ml. Mikobakterium atipik foto-

M. tuberculosis strain human dan

kromatogen, skotokromatogen, nonkromatogen'


dan spesies yang tumbuh cepat tidak peka terhadap
streptomisin, Adanya mikroorganisme yang hidup

598

Farmakologi dan Terapi

dalam abses atau kelenjar limfe regional serta


hilangnya pengaruh obat setelah bebirapa bulan

pengobatan, mendukung konsep bahwa


kerja

streptomisin in vivo ialah supresi, bukan eradikasi


kuman tuberkulosis, Obat ini C"p"t m"n""pai
favi_
tas, tetapi relatif sukar berdilusi ke cairan intrasel,

mendapat dosis total 10_12 gram dapat mengalami


gangguan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan audiometri basal dan berkala pada
mereka yang mendapat streptomisin. Seperti ami_
noglikosida lainnya, obat inijuga bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas ini sangatting_

gi kejadiannya pada kelompok usia diatas


65 tahun,

RESISTENSI. Dalam populasi yang besar selalu


terdapat J<uman yang resisten terhadap strep_

oleh karena itu obat tidak boleh diberikan pada

mutasi yang terjadi secara kebetulan. Kemungkinan

reaksi analilaktik, agranulositosis,

tomisin. Resistensi ini mungkin disebabian oleh


terjadi resistensi in vitro dan in vivo

-b"""r.

Secara umum dikatakan bahwa makin"ar.


lama terapi
dengan streptomisin berlangsung, makin mening_
kat resistensinya. pada beberapi penderita resistensi ini terjadi dalam satu bulan. Setelah 4 bulan,
80% kuman tuberkulosis tidak sensitif lagi. Setengahlya tidak dapat dihambar dengan kajar 1000
prg/ml. Bila kavitas tidak menutup atiu sputum
tidak
menjadi steril dalam waktu 2_3 bulan, bakteriyang

tertinggal telah resisten dan pengobatan tidak


efek_

tif lagi. Penggunaan streptomisin bersama antitu-

berkulosis lain menghambat terjadinya resistensi.


Telapi hal ini tidak mutlak, paOa pengoOatan jangka
lama dapat juga terjadi resistensi t<uman teitraOap
kedua obat itu.
FARMAKOKINETTK. Setetah diserap dari tempat
suntikan, hampir semua streptomisin berada
dalam
plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk
ke dalam
eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-kira seperiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikaiprotein plasma. Streptomisin dieksresi melalui liltrasi glomeru-

lus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yaig


OiUerikan secara parenteral diekskresi datam 6eniuk
utun
qat<ru 24 jam pertama. Sebagian besar jum_
lah ini diekskresi dalam waktu 12 jam, trtasa parun
obat ini pada orang dewasa normal antara 2_i jam,
dan dapat sangat memanjang paOa gagat ginlat.
-penierita

ifll

Ototoksisitas lebih sering terjadi padia

yang fungsi ginjalnya terganggu.

EFEK NONTERAP|. Umumnya streptomisin dapar


diterima dengan baik. Kadang_kadang terjadi sakit
kepala sebentar atau malaise. pareJtesi di
muka
terutama di sekitar mulut serta rasa kesemulan
di
tidak mempunyai arti klinis yang penting.

!nS."l
Reaksi

hipersensitivitas biasanyaier.ilai Aatam


ming-gu-min g gu pertama pen gobaian. Sireptomisin

b.ersifat neurotoksik pada saral kranialke Vlll,


bila
diberikan dalam dosis besar dan jangka lama.
Walaupun demikian beberapa penderitjyang baru

kelompok usia tersebut. Efek samping lain ialah


aplastik,

"n"mia
dan demam obat. Belum ada data
tentang elek
teratogenik, tetapi pemberian obat pada triiester
pertama kehamilan tidak dianjurkan. Selain
itu dosis

totaltidak boleh melebihi20 gram dalam 5 bulan

terakhir kehamilan unluk mencegah ketulian pada


bayi.

INTERAKSI OBAT. lnteraksi dapat terjadi dengan


obat penghambat neuromuskular berupi potensiasi
penghambatan. Selain itu interaksijuga ierjadi
de_

ngan obat lain yang juga bersifat ototoksik(misalnya asam etakrinat dan furosemid) dan yang ber_

sifat nelrotoksik.

SEDIAAN DAN pOSOLOGt. Streptomisin rerdapat


dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram.

Dosisnya 20 mg/kgBB secara lM, maksimim 1


gram/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian
frekuensi pemberian dikurangi menlaOi 2_3 kali se_
minggu. Penderita dengan lungsi ginjal normal
dapat menerima paduan ini untutiueOLripa bulan.
Dos.is harus dikurangi untuk penderita usia lanjut,
anak-anak, orang dewasa yang badannya kecil,
dan penderita dengan gangguanfungsi ginlal.

1.2. |SONtAZtD
lsoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering

disingkat dengan lNH, mempunyai rumus -bangun


seperti gambar di bawah. Hanya satu derivafnya
yang diketahui menghambat pembelahan kuman
tuberkulosis, yakni iproniazid, tetapi obat ini terlalu
toksik untuk manusia.

coN HNHe
lsoniazld

Tu

599

tkulostati k d an Leprostatik

EFEK ANTIBAKTERI. lsoniazid secara in vitro bersilat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan KHM
(konsentrasi hambatan minimum) sekitar 0,0250,05 prg/ml. Pembelahan kuman masih berlangsung
2 sampai 3 kali sebelum diharnbat sama sekali. Efek
bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang
sedang tumbuh aktif. Mikroorganisme yang sedang
"istirahat" mulai lagi dengan pembelahan biasa bila
kontaknya dengan obat dihentikan. Di antara mikobakteria atipik biasanya hanya M. kansasfi yang

peka terhadap isoniazid, telapi sensitivitasnya


harus selalu diuji secara in vitro karena kuman ini
memerlukan kadar hambat yang lebih tinggi. Pada
uji hewan, ternyata aktivitas isoniazid lebih kuat
dibandingkan streptomisin. lsoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah.

MEKANISME KERJA. Mekanisme kerja isoniazid


belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis
yang diajukan, di antaranya elek pada lemak, biosintesis asam nukleat, dan glikolisis. Ada pendapat
bahwa efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan
unsur penting dinding sel mikobakterium. lsoniazid
kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam
lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. lsoniazid menghilangkan silat tahan asam dan menurunkan jumlah
lemak yang terekstraksi oleh metanol dari mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap obat ke
dalam selnya, dan ambilan ini merupakan proses
aktif.

RESISTENSI. Petunjuk yang ada memberikan


kesan bahwa mekanisme teriadinya resistensi ber'
hubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Pengobatan
dengan INH inijuga dapat menyebabkan timbulnya
sfrarn baru yang resisten. Perubahan silat dari sen'
sitif menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah pengobatan dimulai. Waktu
yang diperlukan untuk timbulnya resistensi berbeda
pada kasus yang berlainan.

FARMAKOKINETIK. lsoniazid mudah diabsorpsi


pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar
puncak dicapai:dalam waktu 1-2 jam setelah pembedan oral. Di hati, isoniazid terutama mengalami
asetilasi, dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh laktor genetik yang
secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam
plasma dan masa paruhnya. Asetilator cepat didapatkan pada orang-orang Eskimo dan Jepang, ase-

tilator lambat terutama pada orang Skandavia,


Yahudi, dan Alrika Utara. Asetilasi cepat merupakan lenotip yang dominan heterozigot atau homozigot. Pada penderita yang tergolong asetilalor
cepat, kadar isoniazid dalam sirkulasi berkisar antara 30-50% kadar pada penderita dengan asetilasi
lambat. Masa paruhnya pada keseluruhan populasi
antara 1 sampai 3 jam. Masa paruh rata-rata pada
asetilator cepat hampir 80 menit, sedangkan nilai 3
jam adalah khas untuk asetilator lambat, Masa
paruh obat ini dapal memanjang bila terjadi insulisiensi hati. Perlu ditekankan bahwa perbedaan
kecepatan asetilasi ini tidak berpengaruh pada
elektivitas alau toksisitas isoniazid bila obat ini diberikan setiap hari. Tetapi, bila penderita tergolong
asetilator cepat dan mendapat isoniazid seminggu
sekali maka penyembuhannya mungkin kurang
baik.
lsoniazid mudah berdilusi ke dalam sel dan
semua cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar
yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites.
Kadar dalam cairan serebrospinal kira-kira 20%
kadar dalam cairan plasma. lsoniazid mudah mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada mula-

nya lebih tinggi dalam plasma dan otot daripada


dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian
obat tertinggal lama di jaringan yang terinleksi
dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik.

Antara 75-95% isoniazid diekskresi melalui


urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam
bentuk metabolit, Ekskresi lerutama dalam bentuk
asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses
asetilasi, dan asam nikotinat yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi
dalam bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil
hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali
berupa N-metil isoniazid.

EFEK NONTERAPI. Reaksi

hipersensitivitas

mengakibatkan demam, berbagai kelainan kulit ber-

bentuk morbiliform, makulopapular, dan urlikaria'


Reaksi hematologik dapat juga terjadi seperti agra-.
nulositosis, trombositopenia, dan anemia. Vaskulitis yang berhubungan dengan antibodi antinuklear
dapat terjadi selama pengobatan, tetapi menghilang bila pemberian obat dihentikan. Gejala artritis
seperti sakit sendi juga dapat terjadi.
Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan
dosis isoniazid 6 mg/kgBB/hari. Bila penderita tidak
diberi piridoksin lrekuensinya mendekati 2%'

600

Farmakologi dan Terapi

Perubahan neuropatologik yang berhubungan

dengan elek samping antara lain menghilangnya


vesikel sinaps, membengkaknya mitokondria dan
pecahnya akson lerminal. Biasanya juga terjadi

perubahan pada ganglia di daerah lumbal dan sak_


rum. Pemberian piridoksin sangat bermanlaat untuk
mencegah perubahan tersebut. pada pemberian

isoniazid, ekskresi piridoksin meningkat dan kon_

siensi piridoksin, pemberian INH dapat menimbu_


lkan anemia. Pengobatan dengan vitamin Bo dosis
besar, akan menyebabkan gambaran darah normal
kembali.

Dosis isoniazid yang berlebih sebagai usaha


bunuh diri menyebabkan koma, kejang_kejang, asi_
dosis metabolik, dan hiperglikemia

lain neurotoksisitas ialah kedut otot, vertigo, atak_

STATUS DALAM pENGOBATAN. tsoniazid masih


tetap merupakan obat yang sangat penting untuk
mengobati semua tipe tuberkulosis. Efek nonterapi
dapat dicegah dengan pemberian piridoksin dan
pengawasan yang cermat pada penderita. Untuk
tujuan terapi, obat ini harus digunakan bersama

dapat berakhir fatal. Kelainan mental dapat juga

obat lain; untuk tujuan pencegahan dapat diberikan


tunggal.

sentrasinya dalam plasma menurun sehingga mem_


beri gambaran seperti defisiensi piridoksin.

lsoniazid dapat mencetuskan terjadinya

kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis


optik dengan atropi dapat juga terjadi. Gambaran
sia, parestesia, stupor, dan enselalopati toksik yang

terjadi selama menggunakan obat ini di antaranya


euforia, kurangnya daya ingat sementara, hilang_
nya pengendalian diri, dan psikosis. Sedasi yang
berlebihan atau inkoordinasi dapat muncul bilj iso_
niazid diberikan bersama fenitoin karena isoniazid
menghambat parahidroksilasi antikonvulsan terse_
but. Elek samping ini hanya terjadi pada penderita
asetilator lambat.
lsoniazid dapat menimbulkan ikterus dan ke_
rusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis
multilobular, Penggunaan obat ini pada penderita
yang menunjukkan adanya kelainan fungsi hati
akan menyebabkan bertambah parahnya kerusak_
an hati. Mekanisme toksisitas isoniazid tidak diketahui, walaupun diketahui bahwa asetilhidrazin suatu
metabolit isoniazid, dapat menyebabkan kerusakan

hati. Peranan alkohol juga dipertanyakan. Umur


merupakan faktor yang sangat penting untuk mem_
perhitungkan risiko efek toksik isoniazid pada hati.
Kerusakan hati jarang terjadi pada penderita yang
berumur

di bawah 35 tahun. Makin tinggi

umur
seseorang makin sering ditemui kelainan ini. Kelain_
an yang paling banyak ditemui ialah meningkatnya
aktivitas enzim transaminase. penderita yang men_

dapat INH hendaknya selalu diamati dan dinilai

kemungkinan adanya gejala-gejala hepatitis, kalau


perlu diperiksa aktivitas enzim serum g lutamic-oxalacetic transaminase (SGOT), Hepatitis karena
pemberian isoniazid ini terjadi antara 4-g minggu
setelah pengobatan dimulai. pemberian isoniazid
pada penderita dengan riwayat penyakit hati harus
dilakukan dengan hati-hati.

Elek samping lain yang terjadi ialah mulut

terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methe_


moglobinemia, tinitus, dan retensi urin. Bila penderita sebelumnya telah mempunyai predisposisi defi-

SEDIAAN DAN POSOLOGI. lsoniazid terdapar


dalam bentuk tablet 50, 100, g0O dan 400 mg serta
sirup 10 mg/ml. Dalam tablet kadang_ kaOang telah
ditambahkan vitamin 86. lsoniazid biasanya diberi_

kan dalam dosis tunggal per oral tiap hiri. Dosis


umumnya 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Un_
tuk tuberkulosis berat dapat diberikan 10 mg/kgBB,
maksimum 600 mg/hari, tetapi tidak ada bukti bah_

wa dosis demikian besar ini lebih efektif. Anak di


bawah 4 tahun dosisnya 10 mg/kgBB/hari. lsoniazid

juga dapat diberikan secara intermiten 2 kali

se_

minggu dengan dosis 15 mg/kgBB/hari. piridoksin


harus diberikan juga dengan dosis 10 mg/hari.

1.3. RIFAMPISIN
Bifampisin adalah derivat semisintetik rifami_
sin B yaitu salah satu anggota kelompok antibiotik
makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat
ini dihasilkan oleh Sfreptomyces mediterranei. Obat
ini merupakan ion zwifter,larut dalam pelarut orga_
nik dan air yang pH nya asam.
AKTIVITAS ANT|BAKTERt. Rifampisin mengham_
bat pertumbuhan berbagai kuman gram-positif.dan
gram-negatif. Terhadap kuman gram_positif kerja_
nya tidak sekuat penisilin G, tetapi sedikit lebih kuat

daripada eritromisin, linkomisin dan selalotin, Ter_


hadap kuman gram-negatif kerjanya lebih lemah
daripada tetrasiklin, kloramlenikol, kanamisin, dan
kolistin. Antibiotik ini sangat aktif terhadap N. meningitidis; kadar hambat minimalnya berkisar antara
0,1-0,8 pg/ml. Obat inidapat menghambat pertum_
buhan beberapa jenis virus.

601

Tuberkulostatik dan Leqrostatik

ln vitro, rilampisin dalam kadar 0'005-0'2 pg/


ml dapat menghambat pertumbuhan M' tuberku'
losis. Di antara mikobakteria atipik, M' kansast7 dihambd pertumbuhannya dengan kadar 0'25-1 pg/
ml; sebagian besar lurunan M. seroluloceum dan
M. intracellutarra dihambat dengan kadar 4 pg/ml'
tetapi beberapa galur baru dihambat bila kadar melebihi 16 pglml. M" fortuitum sangat resisten terhadap obat ini. ln vivo, rifampisin meningkatkan
aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M'

tuberculosis, tetapi tidak bersilat aditil terhadap


etambutol.

Mekanisme keria. Bifampisin terutama aktil terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya meng-

hambai DNA-dependent RNA polymerase dari


mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan

menekan mula terbentuknya (bukan pemaniangan)


rantai dalam sintesis RNA. lnti RNA Polymerase
dari berbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak dipengaruhi. Rilampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria
mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi
daripada kadar untuk penghambatan pada kuman.

FARMAKOKINETIK. Pemberian rifampisin per oral


menghasilkan kadar puncak dalam plasma setelah
2-4 jami dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 pg/ml. Asam para-amino salisilat
dapat memperlambat absorpsi rifampisin, sehingga
kadar terapi rilampisin dalam plasma tidak tercapai'
Bila rilampisin harus digunakan bsrsama asam
para amino salisilat, maka pemberian kedua sediaan harus berjarak waktu 8-1 2 jam'
Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini
cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian
mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapannya
dihambat oleh adanya makanan' Obat ini cepat
mengalami deasetilasi, sehingga dalam waktu 6
jam hampir semua obat yang berada dalam empedu
berbentuk deasetil rilampisin, yang mempunyai aktivitas antibakteri penuh. Rilampisin menyebabkan
induksi metabolisme, sehingga walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya meningkat pada pem-

berian berulang. Masa paruh eliminasi rilampisin


bervariasi antara 1,5 sampai 5 jam dan akan memanjang bila ada kelainan lungsi hepar. Pada pemberian berulang masa paruh ini memendek sampai
kira-kira 40% dalam waktu 14 hari. Pada penderita
asetilator lambat masa paruh memendek bila rifam-

pisin diberikan bersama isoniazid. Sekitar 75% rv


lampisin terikat pada protein plasma' Obat ini ber-

dilusi baik ke berbagai jaringan termasuk ke cairan


otak. Luasnya distribusi ini tercermin dari warna
merah pada urin, tinja, sputum, airmata' dan keri-

ngat penderita. Ekskresi melalui urin mencapai


30%, setengahnya merupakan rilampisin utuh sehingga penderita gangguan lungsi ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis' Obat ini juga dibuang
lewat ASl.
Rilampisin didistribusi ke seluruh tubuh. Kadar
efektil dicapai dalam berbagai organ dan cairan
tubuh, termasuk cairan otak. Luasnya distribusi

rifampisin tercermin dengan warna merah iingga


pada urin, tinja, ludah, sputum, air mala dan keringat. Penderita harus diberi tahu akan hal pewarnaan ini.

EFEK NONTERAPI. Ri{ampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Dengan dosis biasa'
kurang dari 4o/o penderita tuberkulosis mengalami
efek toksik. Yang paling sering ialah ruam kulit'
demam, mual dan muntah, Pada pemberian berselang dengan dosis lebih besar sering leriadi tlu
like syndrome, nelritis interstisial, nekrosis tubular
akut, dan trombositopenia. Yang menjadi masalah

ialah ikterus.

Ada enam

belas kematian dari

500.000 penderita yang diobati, yang dihubungkan


dengan reaksi ini. Hepatitis jarang terjadi pada pen'
derita dengan lungsi hepar normal. Pada penderita
penyakit hati kronik, alkoholisme, dan usia lanjut
insidens ikterus bertambah. Pemberian rifampisin
intermiten dihubungkan dengan timbulnya sindrom
hepatorenal. SGOT dan aktivitas foslatase alkali
yang meningkat akan menurun kembali bila pengobatan dihentikan. Angka keiadian hepatotoksisitas
rifampisin berbeda di tiap negara. Di lndia angka ini
lebih tinggi daripada di Eropa atau AS, diduga karena pemberian obat di lndia tanpa melalui penapis'
an terhadap penyakit atau keadaan lain yang memudahkan terjadinya hepatitis, misalnya malnutrisi,
inlestasi parasit yang luas, infeksi virus, dan predisposisi genelik, Ekskresi rilampisin melalui empedu
berkompelisi dengan media kontras yang digunakan untuk memeriksa lungsi kandung empedu dan
dapat menyebabkan retensi BSP. Gangguan saluran cerna berupa rasa tidak enak di lambung, mual,
muntah, kolik, dan diare kadang-kadang memerlukan penghentian teraPi.
Berbagai keluhan yang berhubungan dengan
sistem saral seperli rasa lelah, mengantuk, sakit
kepala, pening, ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya
olot dapat juga terjadi.

602

Farmakologi dan Terapi

Reaksi hipersensitivitas dapat berupa demam, pruritus, urtikaria, berbagai macam kelainan

kulit, eosinofilia, dan rasa sakit pada mulut dan


lidah. Hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufi_
siensi ginjal dan gagal ginjal akut juga merupakan
reaksi hipersensitivitas, tetapi jarang terjadi.
Trombositopenia, leukopenia sementara, dan
anemia dapat terjadi selama lerapi berlangsung.
Efek teratogenik rifampisin tidak diketahui, tetapi

lebih baik menghindari penggunaan obat ini

se_

masa kehamilan, karena obat ini dapat menembus


sawar uri,

INTERAKSI OBAT. pemberian pAS bersama


rifampisin akan menghambat absorpsi rifampisin
sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup. Rilampisin merupakan pemacu metabolisme obat
yang cukup kuat, sehingga berbagai obat hipogli_
kemik oral, kortikosteroid, dan kontrasepsi oraiakan
berkurang efektivitasnya bila diberikan bersama
rifampisin. Mungkin dapat terjadi kehamilan pada
pemberian bersama kontrasepsi oral. Rifampisin
mungkin juga menganggu metabolisme vitamin D

sehingga dapat menimbulkan kelainan tulang

be_

rupa osteomalasia. Disulfiram dan probenesid

dapat menghambat ekskresi rilampisin melalui gin_

jal. Rifampisin tampaknya meningkatkan

hepato_

toksisitas INH terutama pada asetilator lambai.


STATUS DALAM PENGOBATAN. Rifampisin me_
rupakan obat yang sangat elektit untuk pengobatan
tuberkulosis dan sering digunakan bersama isonia_
zid untuk terapi tuberkulosis jangka pendek. Elek
sampingnya beraneka ragam, tetapi insidensnya

rendah dan jarang sampai perlu

menghentikan

terapi.

SEDIAAN DAN POSOLOGt. Rifampisin di tndone_


sia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan 800
mg. Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600
mg serta suspensi yang mengandung 100 mg/S ml
rilampisin. Beberapa sediaan telah dikombinasi de_
ngan isoniazid. Obat ini biasanya diberikan sehari
sekali sebaiknya satu jam sebelum makan atau dua
jam setelah makan. Dosis untuk orang dewasa de_
ngan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/
haridan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 600

mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 1O-20 mgl


kgBB per hari dengan dosis maksimum 600 mg/
hari.

1.4. ETAMBUTOL
AKTIVITAS ANTIBAKTERI. Hampir semua galur
M. tuberculosis dan M. kansasf sensitil terhadap
etambutol. Etambutol tidak elektil untuk kuman lain.
Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuber_
kulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan
streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis meta_

bolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan


sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel
yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.
Elektivitas pada hewan coba sama dengan
isoniazid. ln vivo, sukar menciptakan resistensi ter_
hadap elambutol dan timbulnya pun lambat, tetapi
resistensi ini timbul bila etambutol digunakan
tunggal.
FARMAKOKINETIK. pada pemberian oral sekitar

75-80% etambutol diserap dari saluran cerna.

Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu


2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/
kgBB menghasilkan kadar dalam plasma sekitar 5
prg/ml pada 2-4 iam. Masa paruh eliminasinya 3-4
jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar
dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai depot etambutol yang kemudian me_
lepaskannya sedikit demi sedikit fJOatam plasma.
Dalam waktu 24 jam,50% etambutol yang
diberikan diekskresi dalam bentuk asal melalui urin,
10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan

asam karboksilat. Bersihan ginjal untuk etambutol


kira-kira 8,6 mUmeniVkg menandakan bahwa obat
ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga dise_
kresi melalui tubuli. Etambutol tidak dapat menem_
bus sawar darah otak, tetapi pada meningitis tuber_

kulosa dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan


otak.

EFEK NONTERAPT. Etamburot jarang menimbutkan elek samping. Dosis harian sebesar 15 mg/

kgBB menimbulkan efek toksik yang minimal. pada


dosis ini kurang dari2% penderita akan mengalami

efek samping yailu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam. Elek sampini; lain
ialah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna,
malaise, sakit kepala, pening, bingung, disorientasi,
dan mungkin juga halusinasi. Rasa kaku dan kesemutan di jari sering terjadi. Reaksi analilaksis dan
leukopenia jarang dijumpai.

Efek samping yang paling penting adalah


gangguan penglihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya

T u be

603

rku lostati k d an Le P rost atik

tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapang pandangan, dan
skotoma sentral maupun lateral' lnsidens elek samping ini makin tinggi sesuai dengan peningkatan
dosis, tetapi bersifat mampu pulih. lntensitas gangguan pun berhubungan dengan lamanya terapi'
Dengan dosis 15 mg/kgBB tidak diperlukan peme'
riksaan ofialmologi berkala, tetapi penderita harus
diingatkan untuk melaporkan setiap perubahan
penglihatan selama penggunaan etambutol' Bila
ada keluhan penglihatan kabur, sebaiknya dilakukan pemeriksaan lengkap. Bila pasien sudah menderita kelainan mata sebelum menggunakan etam-

dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12'5


pg/ml. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui'
FARMAKOKINETIK. Pirazinamid mudah diserap di
usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh' Dosis 1
gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 pg/ml
pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya
terutama melalui liltrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi
menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini antara
10-16 jam,

butol, perlu dilakukan pemeriksaan cermat sebelum


terapi dengan etambutol dimulai.
Terapi dengan etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50% penderlta. Hat ini disebabkan oleh penurunan ekskresi
asam urat melalui ginjal. Elek nonterapi ini mungkin
diperkuat oleh isoniazid dan piridoksin.

EFEK NONTERAPI. Elek samping yang paling

STATUS DALAM PENGOBATAN. Etambutol telah


berhasil digunakan dalam pengobatan tuberkulosis
dan menggantikan tempat asam para amino salisilat karena tidak menimbulkan elek samping yang
berbahaya serta dapat diterima dalam terapi' Manfaatnya yang uta.a dalam paduan terapi tuberkulosis ialah mencegah timbulnya resistensi kuman
terhadap antituberkulosis lain.

sebelum pengobatan dengan pirazinamid dimulai'


dan pemantauan terhadap transaminase serum dilakukan secara berkala selama pengobatan berJika jelas timbul kerusakan hati' terapi
langsung.
-pirazinamid
harus dihentikan' Pirazinamid
Oen-gan
tidal boletr diberikan kepada penderita dengan kelainan lungsi hati. Obat ini menghambat ekskresi
asam urat dan dapat menyebabkan kambuhnya
pirai. Elek samping lain ialah artralgia, anoreksia'

SEDIAAN DAN POSOLOGI. Di lndonesia etam-

butol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500


mg. Ada pula sediaan yang telah dicampur de-ngan
isJniazid dalam bentuk kombinasi tetap' Dosis
biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari' Ada
pula yang menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama
bO nari pertama, kemudian diturunkan menjadi 15

mg/kgBB. Pada penderita dengan gangguan lungsi


giijafOosisnya perlu disesuaikan karena etambutol
terakumulasi dalam badan.

1.5. PIRAZINAMID
Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang
telah dibuat sinletiknya. Obat ini tidak larut dalam
air.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI. Pirazinamid di dalam


tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulosiatik hanya pada media yang bersilat asam' ln vitro'
pertumbuhan kuman tuberkulosis dalam monosit

umum dan serius adalah kelainan hati' Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 g per hari, gejala
penyakit hati muncul pada kira-kira 15o/o, dengan
ift"iur pada 2-3% penderita dan kematian akibat

nekrosis hati pada beberapa kasus. Gejala pertama


adalah peningkatan SGOT dan SGPT' Oleh karena
itu hendaknya dilakukan pemeriksaan lungsi hati

mual dan muntah' iuga disuria, malaise,

dan

demam.

SEDIAAN DAN POSOLOGI. Pirazinamid terdapat


dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg' Dosis oral
ialah 20-35 mg/kgBB sehari (maksimum 3 g), diberikan dalam satu atau beberapa kali sehari'

STATUS DALAM PENGOBATAN. P

AZiNAMid

beberapa tahun yang lalu masih merupakan obat


sekunder yang digunakan bila ada resistensi atau
kontraindikasi terhadap obal primer' Seiak pengobatan tuberkulosis menggunakan paduan pengobatan iangka pendek, kedudukan pirazinamid berubah meniadi obat primer, obat ini lebih aktif pada
yang
suasana asam dan merupakan bakterisid
dalam
yang
berada
asam
kuat untuk bakteri tahan
sel makrofag. Kini, bersama INH dan rifampisin'
pirazinamid merupakan obat yang penting untuk diberikan pada awal pengobatan tuberkulosis'

604

Farmakologi dan Terapi

1.6. ASAM PARA AMINOSALISILAT


Sebelum ditemukan etambutol, para-amino
salisilat (PAS) merupakan obat yrng ."ring
dikom_
binasikan dengan anti tuberkulo;is Lin.
AKTIVITAS ANT|BAKTERI. Obat ini bersitar
bak_
teriostatik. ln vitro sebagian besar strain
M. tuber-

culosis sensitif terhadap pAS dengan kadar


1 ug/ml.

Aktivitas antimikroba pAS sangaispesilik terhadap


tuberculosis saja. Sebagian besar mikobafte_

t!.

rium atipik tidak dihambat oleh obat tersebut-Elekti_


dibandingt an Clngan
streptomisin, isoniazid, dan.rifampisinl pengobatan
dengan PAS saja manfaatnya sangat kecil.-

vitas obat ini kurang bila

MEKANISME KERJA.

pAS

mempunyai rumus

molekll yang mirip dengan asam para

aminoOen_

zoat (PABA). Mekanisme kerjanya sangat


mirip de_

ngan sulfonamid. Karena sullonamid iiO"t


etet<tit
terhadap M. tuberculosis dan pAS tiOaf
etetiit ter_
hadap kuman yang sensitif terhadap sultonamiO,
maka ada kemungkinan bahwa
y"nj u"r_
tanggung jawab untuk biosintesis totat
Uer_
iaoi
bagai macam mikroba bersilat spesilik.

"nii,

RESISTENSI. Secara umum resistensi in


vitro ter_

hadap PAS lebih sukar terjadi dibanOingkan


ter_

hadap streptomisin. Flesistensi terhadap


Fni irg"
terjadi pada penderita yang sedang dalam peng_

obatan, walaupun terjadinya lebih lambat


lietim_
bang streptomisin.

FARMAKOKTNETTK. pAS mudah diserap


melatui
saluran cerna. Obat ini mencapai kadar tinggi
dalam

berbagai cairan tubuh kecuaii oatam caiiin-otar.


Masa paruh obat sekitar satu jam. Delapan puluh
persen PAS diekskresi melaluiginjal,
50yo dianta_
ranya dalam bentuk terasetilasi- penderita
dengan

insulisiensi ginjal tidak dianjurkan


PAS karena ekskresinya terganggu.

r"nggrn"t"n

EFEK NONTERAP|. lnsindens efek samping pada


pemberian PAS hampir mencapai
10%, gejali yang

agak menonjol ialah mual dan g"ngg;n


cerna lainnya. penderita tutaf peptii iidak ""tur"n
dianjur_
kan menggunakan obat ini. Reaisi nipersensitivitas

|jTy.rnyl
kelainan

t9ladi dengan gambaran seperti demam,


kulit yang disertai demam ataupun sakit

sendi. Kelainan darah seperti leukopenia,


agranulo_
sitopenia, eosinofilia, limfositosis, sindrom

riononr_

kleosis atipik, dan trombositopenia pernan


Oiiapor_
kan. Pada keadaan tertentu dapat timbul
fremJfuis.

SEDIAAN DAN POSOLOGI. pAS rerdapat


datam
bentuk.tablet 500 mg yang diberikan dengan
dosis
oral S-12 g sehari, dibagi dalam beberapa-dosis.

1.7. SIKLOSERIN
Sikloserin merupakan antibiotik yang dihasil_

kan oleh Streptomyces orchidaceus, Oan


Jetarang
dapat dibuat secara sintetik.

KlMlA. Sikloserin berupa bubuk putih atau keku_

ningan, agak pahit, dan higroskopis. Obat ini


larut
dalam air sampai 100 mg/ml pada 25oC, stabil
dalam larutan alkalis, tetapi cepat dirusak dalam
larutan netral atau asam.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI. ln vitro, sikloserin

menghambat pertumbuhan M. tuberculo.sis pada


kadar 5-20 ug/ml melalui penghambatan sintesis
dinding sel. Jenis-jenis yang sudah resisten
terha_
dap streptomisin, pAS, lNH, pirazinamid, dan
viomisin mungkin masih sensitif terhadap sikloserin.
ln vivo terlihat bahwa khasiat sikloserin ber_
beda pada berbagai spesies, tetapi eleknya paling
nyala pada manusia,
FARMAKOKTNETTK. Setetah pemberian
orat ab_
sorpsinya bajk; kadar puncak dalam darah dicapai
4-8.jam setelah pemberian obat. Dengan dosis
20
mg/kgBB diperoleh kadar dalam darah-sebesar
20_
35 pg/mt pada anak-anak. Dengan dosis 750
mg
pada orang dewasa akan diperoleh
kadar
Jiy_Oiam

lebih dari 50 pg/mt.

Distribusi dan difusi ke seluruh cairan dan

jaringan tubuh baik sekali. Sawar


darah otaf dapat
dilintasi dengan baik. Karena obat ini terkonsentrasi
di urin, tidak diperlukan dosis besar untuk meng_
obati tuberkulosis saluran kemih.
Ekskresi maksimal tercapai dalam 2_6 jam

setelah pemberian obat dan 50% diekskresi


melalui
urin dalam bentuk utuh selama l2 jampertama.
Bila
ada insufisiensi ginjal, terjadi akumulasi obat
dalam
tubuh sehingga memperbesar kemungkinan
reziksi
toksik.

SEDIAAN DAN POSOLOG|. Siktoserin dalam ben_


tuk kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari. Dengan
dosis ini kemungkinan reaksi toksik kecil. Jikaie_

adaan lebih berat, dapat diberikan dosis lebih


besar
untuk jan_gka waktu yang lebih singkat. Hasil
terapi
paling baiktila dicapai kadar lembah dalam
plasma

sebesar 25-30 pg/ml. Oleh karena itu sebaiknya

Tu

605

berku lostati k d an Le p rostatik

kadar dalam plasma dipantau sewaktu-waktu selama pengobatan. Sikloserin dosis besar (250-500
mg tiap 6 jam) dapat digunakan dengan aman bila
diberikan bersama piridoksin atau depresan SSP.

EFEK NONTERAPI. Elek samping yang paling


sering timbul dalam penggunaan sikloserin ialah
pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu
pertama pengobatan, Gejalanya ialah somnolen,
sakit kepala, tremor, disartria, vertigo, gangguan
tingkah laku, paresis, serangan psikosis akut, dan
konvulsi, Serangan dapat menyerupai epilepsi
grand mal atau epilepsi petit mal, dan insidensnya
berhubungan dengan dosis yang digunakan. Dosis
2 gram sehari dapat menimbulkan konvulsi pada
5-1 0% penderita; dengan menurunkan dosis menjadi 500 mg sehari, insidensnya mencolok turun.
Risiko konvulsi bertambah bila sikloserin diberikan
bersama etilalkohol.
Karena elek pada SSP itu sikloserin dikontraindikasikan bagi penderita epilepsi, dan mungkin
berbahaya pada orang yang sedang depresi atau
yang mengalami ansietas.

lNDlKASl. Sikloserin merupakan obat pilihan kedua


untuk tuberkulosis. Obat ini hanya digunakan pada
kegagalan terapi dengan obat primer atau bila kumannya resisten terhadap obat-obal itu. Penggunaannya harus bersama dengan obat lain yang elektil.

1.8. KANAMISIN.
Obat ini termasuk golongan aminoglikosida
dan bersilat bakterisid dengan menghambat sintesis protein mikroba. Eleknya padaM. tuberculosis
hanyalah bersilat supresif.

FARMAKOKINETIK. Pada pemberian lM obat ini


diserap dengan cepat dan sempurna. Kanamisin
sukar masuk ke cairan otak, tetapi pada peradangan kadarnya naik sampai 43% kadar dalam plasma. Metabolismenya dapat diabaikan, ekskresinya
melaluiginjal kira- kira 90% dan dalam bentuk utuh.
Masa paruh eliminasi obat ini sekitar 2 jam.
EFEK NONTERAPl. Kanamisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang dihubungkan dengan hilangnya lungsi labirin. Kanamisin juga mempunyai efek nefrotoksik sedang. Reaksi hipersensilivilas seperti kemerahan kulit dan reaksi anafilak-

sis jarang teriadi. Belum ada data tentang efek


teratogenik, tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk

wanita hamil trimester pertama. Pemberian pada


lima bulan terakhir masa kehamilan, dosis total tidak
boleh lebih dari 20 gram untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tuli kongenital. Hanya sejum-

lah kecil kanamisin masuk ke dalam air susu ibu.


lnteraksi obat dapat terjadi sepertiyang terjadi pada
streptomisin.

STATUS DALAM PENGOBATAN. Obat ini pernah

digunakan sebagai antituberkulosis sekunder,


tetapi karena ototoksisitasnya dan karena telah ada
obat lain yang lebih baik, kini telah ditinggalkan.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Obat ini biasanya terdapat dalam bentuk bubuk injeksi 1 gram/vial. Kanamisin biasanya diberikan 3-5 kali seminggu dengan dosis 15 mg/kgBB, maksimum 1 gram per kali.

1.9. KAPREOMISIN

Kapreomisin adalah suatu antituberkulosis


polipeptida yang dihasilkan juga oleh Sfrepfomyces
sp. Obat ini terutama digunakan pada infeksi paru
oleh M. luberculosls yang resisten terhadap antituberkulosis primer. Dibandingkan dengan kanamisin, kapreomisin kurang toksik dan elek bakteriostatiknya lebih besar. Elektivitasnya hampir
sama dengan streptomisin, dan karena tak ada
resistensi silang dengan streptomisin, obat ini dapat
digunakan untuk kuman yang telah resisten terhadap streptomisin.

EFEK NONTERAPI. Pada hewan coba dan uji


klinik, kapreomisin memperlihatkan nefrotoksisitas
dengan tanda antara lain naiknya BUN, menurunnya bersihan kreatinin, dan albuminuria. Oleh
karena itu obat ini lidak digunakan rutin sebagai

pengganti streptomisin. Dan kalau ditemukan


tanda-tanda tersebut di atas, harus dihentikan
penggunaannya.

Kapreomisin juga merusak saral otak Vlll,


oleh karena itu perlu dilakukan audiometri dan pemeriksaan lungsi vestibuler sebelum mulai pemberiannya. Elek samping lain adalah hipokalemia,
memburuknya angka-angka uji lungsi hati, eosinofilia, leukositosis dan leukopenia, serta lrombositopenia.

STATUS DALAM PENGOBATAN. Kapreomisin


hanya digunakan dalam kombinasi dengan antituberkulosis lain. Dalam kombinasi dengan etambutol

dan lNH, obat ini lerbukti bermanlaat dalam terapi

606

Farmakolqi dan Terapi

tuberkulosis yang gagal diobati. Kapreomisin tidak


tersedia di lndonesia.

hari dengan 125 mg sampai maksimal 1 g/hari.


Obat ini sebaiknya diberikan pada waktu makan
untuk mengurangi iritasi lambung.

1.10. ETIONAMID
Etionamid merupakan turunan tioisonikotina_
mid. Zat ini benvarna kuning dan tidak larut
dalam

air.

AKTIVITAS ANT|BAKTER|. tn vitro, etionamid


menghambat pertumbuhan M. tuberculosis jenis

human pada kadar 0,6-2,5 pg/ml. Basil yang sudah


resisten terhadap tuberkulostatik lain masih-sensitif

terhadap etionamid. Mikobakterium jenis lain


kurang sensitif terhadap etionamid, atau memerlu_

kan kadar yang lebih tinggi. Obat ini sama efektifnya


terhadap basil intrasel maupun ekstrasel.

Resistensi mudah terjadi bila dosis kurang


tinggi atau obat ini digunakan sendiri, dan timbul

lebih lambat jika dikombinasi dengan streptomisin

atau lNH.

FARMAKOKINETIK. pada pemberian per oraletio-

namid mudah diabsorpsi. Kddar puncak tercapai


dalam 3 jam dan kadar terapi bertahan selama 12
jam. Distribusi cepat, luas, dan merata
ke seluruh
cairan dan jaringan tubuh. Ekskresi berlangsung
cepat dan terutama dalam bentuk metaboltnya,
hanya 1 Vo dalam bentuk aktif.
EFEK NONTERApt. Etek samping yang pating sering dijumpai adalah anoreksia, mrif, O"nrnrituf,.
Sering juga terjadi hipotensi postural yang hebat,
depresi mental, mengantuk, dan astenia.- Dapat
pula terjadi rasa kecap metalik, sedangkan
kejang
dan neuropati primer jarang terjadi. EGk ,"rping
lain pada sistem saraf mencakup gangguan pada
saraf olfaktorius, penglihatan kabur, Cptopia, ver_

tigo, parestesia, sakit kepala, rasa lelah, dan tremor.


Kemerahan kulit, purpura, stomatitis, ginekomastia,

impotensi, menoragi, akne, dan alop-sia juga per-

nah dilaporkan.

Hepatitis terjadi pada sekitar 5% penderita


yang menggunakan obat ini. Gejala hepatotoksik
hilang bila pengobatan dihentikan. fungsi hati pen_
derita yang mendapat etionamid periu Oipeiitsa

secara teratur dan penggunaannya dianjurkan


ber_
sama dengan piridoksin.

SEDIAAN DAN POSOLOG|. Etionamid terdapat


dalam bentuk tablet 250 mg, Dosis awal ialah dua
kali 250 mg sehari, kemudian dinaikkan setiap lima

STATUS DALAM PENGOBATAN. Etionamid me_


rupakan antituberkulosis sekunder yang harus di_
kombinasi dengan antituberkulosis lain bila obat
primer tidak efektif lagi atau dikontraindikasikan,
Obat ini tidak beredar di lndonesia.

1.1 1.

PENGOBATAN TUBERKULOSIS

Tuberkulosis dapat menyerang beberapa


organ tubuh, di antaranya paru_paru, ginjal, tulang,
dan usus. Pembahasan di sini diarahian terutama
terhadap pengobatan tuberkulosis paru.
Pengobatan tuberkulosis mengalami peru_
bahan cukup besar dalam sejarahnya, mulai dari
pengobatan sanatorium, terapi kolaps, kemudian
terapi obat. Dengan tersedianya obat_obat yang
elektif kini pengobatan tuberkulosis lebih banyak
dilakukan dengan rawat jalan ketimbang rawat inap.
Tidak diperlukan lagi istirahat baring yang berke-

panjangan untuk mempercepat penyembuhan.

Yang penting adalah menyadarkan penderita dan


memberikan motivasi agar rajin makan obat dan

mengunjungi Pusat Kesehatan secara teratur untuk

pemantauan penyakitnya,

Tujuan pengobatan tuberkulosis ialah memus_

nahkan basil tuberkulosis dengan cepat dan men_


cegah kambuh. ldealnya pengobatan untuk menghasilkan pemeriksaan sputum negatil baik pada uji
hapusan dahak maupun biakan kuman, dan hasil ini

tetap negatif untuk selama-lamanya. Ada kesepa_


katan umum bahwa apa yang disebut sebagai
paduan pengobatan yang elektif ialah paduan pe_
ngobatan yang gagal-kambuhnya kurang dari 5%.
Pada bagian ini akan dibahas beberapi masalah
yaitu : (1) pemitihan obat, (2) resistensi, (3) paduan
terapi,-(4) paduan terapi tuberkulosis pada'penderita defisiensi imun, (5) efek samping, (6) pengobat_
an pencegahan, (7) terapi kortikosteroid padaiUberkulosis, dan (8) penilaian hasilpengobatan.
PEMILIHAN OBAT. Ada dua prinsip pengobatan
tuberkulosis, yaitu a) paling sedikit menggunakan
dua.obat, dan b) pengobatan harus berlingsung
setidaknya 3-6 bulan setelah sputum negatif untuk
tujuan sterilisasi lesi dan mencegah kambuh.
.Hanya

basil yang sedang membelah yang da_

pat dibunuh oleh antituberkulosis. Mycobactirium


tuberculosl's bersifat aerob obligat, karenanya fre-

Tu be

607

rku lostatik d an Le p rostati k

kuensi pembelahan dan aktivitas metabolismenya


bervariasi tergantung kadar oksigen di tempat
hidupnya. Selain itu, basil inijuga dipengaruhi oleh
ptl lingkungan sekitarnya. Ada hipotesis yang me-

nyatakan bahwa kuman tuberkulosis yang


berkembang dalam lesi dapat dibedakan atas 3
kelompok berdasarkan tempat basil berada. Pertama, basil yang berada dalam kavitas (lesi rongga)
dan ahil membelah karena tekanan oksigen dalam
kavitas ini tinggi dan suasananya netral atau agak
basa. Kedua, basil yang berada dalam lesi berkiju
tertutup dan membelah secara lambat atau intermiten (berselang) karena tekanan oksigen di sini
rendah dan suasananya netral. Kelompok ketiga
adalah basil yang berada dalam sel makrolag yang
suasananya asam. Basil di sini relatif lambat membelah. Kemudian ada bukti bahwa efektivitas antituberkulosis berbeda tergantung dari kecepatan pembelahan populasi basil dan pH lingkungannya. lnilah
yang mendasari pengobatan tuberkulosis dalam
dua puluh tahun terakhir ini.
Pengobatan tuberkulosis paru-paru hampir
selalu menggunakan tiga obat lNH, rifampisin, dan
pirazinamid pada dua bulan pertama selama tidak
ada resistensi terhadap satu atau lebih antituberkulosis primer ini. lsoniazid dan rifampisin adalah
dua obat yang sangat kuat dan bersifat bakterisid
untuk basil ekstrasel, intrasel (dalam makrofag),
dan basil dalam jaringan yang berkiju. Tetapi, rifampisin dan pirazinamid lebih aktil pada basil dalam
sel (makfofag) dan dalam jaringan berkiju daripada
isoniazid (lihat tabel 41 -1 ).
Streptomisin bersilat bakterisid hanya pada
sebagian besar basil ekstrasel yang membelah de-

Tabel4l-1. AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN


KECEPATAN PEMBELAHAN BASIL

TUBERKULOSIS DAN pH LINGKUNGAN


membelah cepat membelah lambat
pH netrafagak basa pH asam pH netral

Obat
Streptomisin
lsoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Ketrangan

+++
++
++
+ atau +
+

00
++
++
++0
!0

:0 - tidak mempunyai aklivltas

! - aklivitasnya sebagai baktetbstatik


+, ++, dan +++ aktivitasnya sbagai baklriskl
dengan peningkatan sktivltasnya
Sumber: AMA Drug Evaiuatbn hal 1451.

ngan cepat di lesi rongga. Penggunaan obat ini


terbatas, karena harus diberikan secara intramuskuler dan jelas bersifat ototoksik dan nefrotoksik.
Kini streptomisin digunakan untuk pengobatan tuberkulosis hanya bila terdapat resistensi terhadap
salah satu dari obat yang digunakan dalam paduan
pengobatan jangka pendek.
Elambutol dalam dosis 15 mg/kgBB bersilat
bakteriostatik, tetapi dalam dosis 25 mg/kgBB bersilat bakterisid. Alasan penggunaan obat ini dalam
paduan terapi adalah karena kemampuannya mencegah dan menghambat timbulnya resistensi terhadap obat lain dalam paduan itu. Biasanya etambutol tidak dimasukkan dalam paduan pengobatan
baru, karena khasiatnya dalam dosis biasa hanya
sebagai bakteriostatik, sedangkan harganya mahal.
Dalam memilih obat, selain dipertimbangkan efektivitasnya harus dipertimbangkan juga elek samping atau elek toksiknya, Hal ini telah dibahas
dalam uraian tentang masing-masing obat,

REGIMEN PENGOBATAN. Semula, sebelum ada


hipotesis tentang populasi basil yang berbeda

dalam kecepatan pembelahannya, pengobatan


tuberkulosis,masih memakan waktu 18 bulan atau
lebih walaupun menggunakan rifampisin. Pengobatan selama 18 bulan tanpa rilampisin sekarang
disebut sebagai "pengobatan jangka panjang", sedangkan pengobatan dengan rilampisin memakan
waktu lebih pendek, antara 6-8 bulan, dan disebut
sebagai "pengobatan jangka pendek". Kini semua
pasien tuberkulosis diobati dalam jangka pendek,
kecuali terdapat kontraindikasi bagi rifampisin. Pa-

duan terapi jangka pendek ini sangat bervariasi


dalam komponen dan lama pengobatan. Paduan
terapi jangka pendek ini lerus disempurnakan melalui penelitian untuk memperkecil biaya, mengurangi
jumlah obat, dan memperpendek waktu tanpa mengurangi mutu hasil pengobatan. Beberapa paduan
terapi untuk penderita dengan BTA (basil tahan
asam) positil akan dibahas berikut ini :
(1) Paduan 9HR, artinya pengobatan dilakukan selama sembilan bulan dengan pemberian INH
300 mg dan rilampisin 600 mg setiap hari: selama
9 bulan.
(2) Paduan HR/8H2R2, artinya INH dan rilampisin diberikan setiap hari selama satu bulan dengan dosis INH 300 mg dan rilampisin 600 mg per
hari, disusul pemberian INH 900 mg dan rifampisin
600 mg seminggu dua kali selama 8 bulan.
Kedua paduan terapi ini diterapkan di Amerika
Serikat pada pasien yang tidak mengandung basil

Farmakologi dan TeraPi

608

resisten terhadap salah satu obat yang digunakan'


Bila ada basil resisten, maka pengobatan ditambah
dengan pirazinamid atau etambutol. Pasien diperiksa dahaknya untuk melihat perkembangan basil
tahan asam setiap bulan sampai basil tahan asam
negatif. Selaniutnya pemeriksaan dilakukan tiga

bulan sekali. Pengobatan diteruskan sekurang-

kurangnya 6 bulan setelah basil tahan asam negatif'


dua bulan
[S1 eaOuan 2HRZI4HR terdiri dari
pertama diberikan INH 5 mg/kgBB (maksimum 300
mg), rilampisin 20 mg/kgBB (maksimum 600 mg)

dan pirazinamid 5-25 mg/kgBB (maksimum 2

g)

diberikan setiap hari pada dua bulan pertama di-

susul dengan pemberian INH dan rilampisin selama


4 bulan berikutnya dengan dosis yang sama' Paduan ini iuga dilaksanakan di Amerika Serikat'
(4) Paduan 2HRZ|4H2R2. Selama dua bulan
pertama diberikan lNH, rifampisin, dan pirazinamid
dengan dosis yang sama dengan dosis paduan (3)'
disusul pemberian INH 5 mg/kgBB (maksimum 900
mg) dan rilampisin 10 mg/kgBB (maksimum 600
mg; OiOerifan dua kali seminggu selama 4 bulan
Uerit<utnya. Paduan ini diterapkan di Amerika Serikat dan beberaPa negara lain.
(5) Paduan 2HRZ|4H3R3' Dua bulan pertama
diberikan lNH, rifampisin, dan pirazinamid setiap
hari disusul INH dan rifampisin 3 kali seminggu
selama 4 bulan berikutnya. Paduan ini banyak digunakan di negara-negarayang sedang berkembang'
(6) Paduan 2H3A3Z3!4H3R3 artinya selama 6
bulan diberikan obat hanya 3 kali seminggu' Untuk
dua bulan pertama diberikan lNH, rifampisin, dan
pirazinamid 3 kali seminggu disusul pemberian INH

dan pirazinamid saja 3 kall seminggu selama 4

bulan berikutnya. Paduan ini sedang dalam penelitian lebih lanjut.


(7) Pada paduan 2HRZE|4H3R3, diberikan
INH 300 mg, rifampisin 450 mg, etambutol 750 mg'
dan pirazinamid 1500 mg setiap hari selama dua

bulan pertama dilanjutkan dengan pemberian INH


600 mg dan rifampisin 450 mg tiga kali seminggu
selama 4 bulan. Paduan ini diterapkan pada pro-

gram pemberantasan tuberkulosis dengan BTA poiitlt oi tnoonesia mulai tahun 1993. Paduan ini dibuat berdasarkan aniuran WHO dengan penyesuaian dosis berdasarkan pengalaman yang diperoleh
dari program yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun.

(8) Paduan 2HRZ12H3R3 berarti selama dua


bulan diberikan setiap hari INH 300 mg' rilampisin
450 mg, dan pirazinamid '1500 mg, disusul kemudian INH 600 mg dan rifampisin 450 mg diberikan 3

kali seminggu selama dua bulan. Paduan ini diterapkan dalam program pemberantasan pada yang
BTA-nya negatif, tetapi gambaran rontgen positif'
RESISTENSI. Resistensi kuman adalah salah satu

masalah penting dalam pengobatan tuberkulosis'


Walaupun pada pembahasan masing-masing obat
masalah initelah disinggung, tampaknya perlu dikemukakan lagi dalam kaitannya dengan pengobatan'

Yang harus diingat adalah pada penggunaan obat


tunggal akan cepat dan mudah teriadi resistensi'
Atas dasar ini pengobatan tuberkulosis selalu mencakup dua obat atau lebih untuk mencegah dan
memperlambat terjadinya resistensi' Adanya resis-

tensi terhadap antituberkulosis pada penderita yang


belum pernah diobati telah banyak dipublikasi'
Namun, banyak ahli berpendapat masalah ini belum
sampai mengancam penggunaan obat yang elektif'
Banyak publikasi mengatakan bahwa angka kejadian resisiensi basil tuberkulosis yang diisolasi dari

pasien bergantung pada daerah geografik, etnik'


dan sosioekonomi populasi yang diteliti' Dalam
suatu studi, resistensi basil terhadap streptomisin'
isoniazid, dan rifampisin pada pasien yang lelah
mendapat pengobatan di negara Amerika Latin'
Asia aiau Atrika lebih sering terjadi dibandingkan
dengan di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, Kanada, dan Eropa. Di negara-negarayang
sedang berkembang, kasus tuberkulosis banyak
dan insidens resistensi terhadap isoniazid dan
streptomisin atau kedua-duanya terus meningkat'
Untuk Mycobacterium tuberculosls yang telah
resisten terhadap salah satu obat harus digunakan
antituberkulosis lain yang masih efektil terhadap
kuman tersebut. Mycobacterium atypic biasanya
resisten terhadap beberapa antituberkulosis, oleh
karena itu sebelum pengobatan perlu dilakukan uji
kepekaan in vitro. Sebenarnya pengujian ini bukan
hanya perlu terhadap Mycobacterium atypic saia'

t"t"pi 1rg" pada pengobatan tuberkulosis paru-paru

agar pemilihan obat lebih tepatsehingga hasil pengo6atan lebih baik. Tetapi karena uji kepekaan ini
cukup mahal dan menambah beban pasien, maka
hal ini sering diluPakan'
EFEK NONTERAPI" Walaupun sebagian besar an'
tituberkulosis dapat diterima dalam terapi, semuanya mempunyai elek toksik potensial' Kesalahan
ying banyak dilakukan oleh para dokter ialah kegagatan mengenali efek toksik secara cepat' Kesalahin y"ng leblh umum ialah gagalnya membedakan
antara efek nonterapi dengan gejala-gejala yang
tidak ada hubungannya dengan obat, dan ini dapat

Tu be

rkulostati k d an Le p rostati k

membatalkan penggantian satu obat dari paduan


obat atau salah mengganti, sehingga pengobatan
tidak berhasil. Reaksi hipersensitivitas seringkali
terjadi aptara minggu ketiga dan kedelapan setelah
pengobatan dimulai. Jika satu atau sekelompok
obat dapat diterima baik sekurang-kurangnya
selarna 4 bulan, biasanya masa pengobatan akan
dilalui dengan baik. Reaksi hipersensitivitas awal
umumnya berupa gejala demam, takikardi, anoreksia dan malaise. Pada saat itu hasil pemeriksaan
laboratorium biasanya masih dalam batas normal,

kecuali eosinolilia. Bila pemberian obat segera dihentikan maka gejala-gejala cepat hilang. Jika tidak
segera dihentikan, reaksi akan memburuk dan sering disertai reaksi kulit seperti dermatitis eksfoliatif,
hepatitis, kelainan ginjal dan diskrasia darah akut.
Reaksi yang berat dapat bersifat fatal. Timbulnya
reaksi hipersensitivitas terhadap satu antituberkulosis mengakibatkan risiko terhadap obat lainnya
meningkat. Bila reaksi itu terjadi, maka semua antituberkulosis harus dihentikan kecuali bila penyakit
mengancam hidup penderita. Setelah reaksi hipersensitivitas mereda, pengobatan dimulai lagi dengan satu obat yang didahului pemberian dosis uji.
Penambahan antituberkulosis lain dilakukan segera
bila penderita telah dapat menerimanya, sehingga
terlaksana pengobatan yang adekuat. Desensitisasi terhadap streptomisin kini tidak dianjurkan lagi

karena banyak obat lain yang efektil. Elek toksik


antituberkulosis terutama yang berhubungan dengan dosis dapat dicegah dengan memperhitungkan lebih leliti umur, berat badan dan kesehatan
umum penderita. Adanya gangguan lungsi ginjal
akan menyebabkan kadar obat dalam darah meningkat dan dapat menyebabkan toksisitas. Dosis
kecil pada usia lanjut mungkin sudah cukup untuk
mencapai kadar terapi, demikian juga pada orang
dewasa yang bertubuh kecil,
Pemberian INH bersama rilampisin menyebabkan meningkatnya insidens hepatotoksik yang
ternyata berbeda di tiap negara. Studi di lndia menunjukkan kejadian hepatitis akibat pemberian INH

bersama rilampisin antara 8-50%. Nilai ini lebih


tinggi daripada angka kejadian di Eropa Barat dan
Amerika Serikat yang hanya sekitar 2-3%. Perbedaan nilai persenlase ini diduga karena pemberian
obat di lndia dilakukan tanpa pemeriksaan lerhadap
adanya penyakit atau keadaan yang memudahkan
terjadinya hepatitis, misalnya adanya malnutrisi, inleksi parasit, infeksi virus kronik, dan predisposisi
genetik.

609

REGIMEN PENGOBATAN PADA PENDERITA


DEFISIENSI IMUN. lnfeksi tuberkulosis pada penderita delisiensi imun terutama penderita AIDS atau
pengidap HIV biasanya lebih cepat berkembang
dan sukar sembuh karena daya imunitasnya sangat
menurun. Oleh karena itu mereka perlu mendapat
pengobatan yang lebih intensif, The Centers lor
Disease Control (CDC) Amerika Serikat menganjurkan agar pengobatan pasien semacam ini sedikitnya diberikan selama 9 bulan. Dua bulan pertama
diberikan lNH, rilampisin, dan pirazinamid setiap
hari, disusul pemberian INH dan rilampisin sekurang-kurangnya selama 7 bulan berikutnya. Etambutol ditambahkan pada awal pengobatan untuk
pasien tuberkulosis susunan saral pusat atau tuberkulosis yang meluas atau dicurigai adanya Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid. Pengobatan ini minimal harus berlangsung
6 bulan setelah 3 kali berturul-turut biakan basil
tahan asam negatif . Pada pasien dengan HIV positif
lebih sering terjadi efek samping. Bila INH atau
rifampisin tidak dapat digunakan, maka pengobatan
harus berlangsung sekurang-kurangnya 18 bulan
(pengobatan jangka panjang).

PENILAIAN HASIL PENGOBATAN. Penilaian ten-

tang hasil pengobatan luberkulosis dengan BTA


positil paling baik dilakukan setiap bulan sampai
hasil pemeriksaan BTA negatif. Pada pengobatan

jangka pendek biasanya 80% hasil pemeriksaan


BTA akan negatif dalam waktu 3 bulah. Kalau tidak,
harus dilakukan penilaian ulang. Uji resistensi perlu
dilakukan dan kepatuhan dalam makan obat harus
terus ditekankan. Bila terjadi resistensi, paduan
terapi harus diubah dengan memasukkan paling
sedikit dua obat yang masih elektif terhadap basil
yang resisten. Pemeriksaan spulum dilakukan setiap bulan sampai hasil pemeriksaan BTA negatif.
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan dengan paduan pengobatan 6 bulan atau 9 bulan tidak
perlu secara rutin diikuti terus. Secara individual
pasien pengidap basil resisten perlu diamati lebih
lanjut.
Pada pasien yang BTA-nya negatil pada atqval
pengobatan, penilaian yang praktis dilakukan dengan pemeriksaan radiologik toraks dan pemeriksaan klinik. Bila setelah tiga bulan gambaran radiologik tidak menunjukkan perbaikan, mungkin ada
hal-hal yang luar biasa atau ada penyakit lain.
Tetapi bila jelas ujituberkulin positi{, diberikan pengobatan dengan INH selama satu tahun atau INH
bersama rifampisin selama 6 bulan.

610

Kegagalan pengobatan dapat terjadi karena


mungkin paduan pengobatan tidak memadai, dosis
tidak cukup, makan obat tidak teratur, masa pengobatan kurang lama, adanya kuman yang resisten
alau menjadi resisten, putus berobal (drop out),
adanya kerusakan jaringan yang luas, dan mungkin
juga karena organisasi pelayanan kesehatan yang
tidak memadai sehingga obat atau lasilitas lainnya
tidak tersedia lepat pada waktunya,
PENGOBATAN ULANG. Pengobatan ulang dilakukan bila terjadi kegagalan dalam pengobatan atau
penyakit kambuh setelah pengobatan selama 6
atau 9 bulan alau drop out. Pengobatan dinyatakan
gagal bila setelah 6 bulan pengobatan hasil uji BTA

tetap positif. Pada penderita ini perlu dilakukan uji


kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan,
pengobatan dapat dilanjutkan dengan paduan
terapi yang sama dengan menambahkan dua obat
yang sebelumnya tidak pernah digunakan. Kepa-

tuhan makan obat harus diyakini benar dengan


observasi langsung pada pemberian obat. Kegagalan pada pengobatan awal biasanya disertai adanya
basil yang resisten.
Kambuhan setelah pengobatan yang berhasil
sering disebabkan oleh galur basil yang sama de-

ngan basil yang diisolasi selama pengobatan. Pengobatan ulang dalam kasus ini juga menambahkan dua obat yang aktil terhadap basil tersebut. Bila
basil resisten terhadap lNH, maka pemberian rifampisin bersama etambutol biasanya akan memadai.
Ada penulis yang mengajukan penambahan pirazinamid, ada pula yang menganjurkan penggunaan
streptomisin 1 gram/hari (30 mg/kgBB per hari) selama 6-8 minggu pertama sebelum mendapatkan
hasil uji kepekaan. Karena resistensi terhadap
rilampisin relatif jarang, maka rifampisi:. rnerupakan
salah satu obat yang harus diberikan. Bila terjadi
resistensi multipel, harus ditangani secara individual.

PENGOBATAN PENCEGAHAN. Prolilaksis diberikan kepada 2 jenis penderita ini.


(1) lndividu dengan kontak positif, tetapi uji
Mantoux negatif. Tujuan profilaksis di sini ialah
mencegah infeksi (frue chemoprophylaxrs). Obat
yang diberikan isoniazid 300 mg/hari dengan piridoksin '15-50 mg/hari. Dosis isoniazid untuk anak
ialah 10 mg/kgBB (maksimum 300 mg) sehari. Piridoksin jarang diperlukan untuk anak kecil. Uji kulit
dilakukan lagi dalam 3 bulan. Bila negatil dan kontak telah lerhenti, pemberian obat dihentikan. Bila

Farmakologi dan Terapi

positif atau kontak masih berlangsung, obat diberikan selama 12 bulan..

(2) lndividu yang telah terinfeksi tetapi tanpa


gejala klinik (uji Mantoux positif, tetapi gambaran
radiologik normal). Tujuan profilaksis di sini ialah
mencegah timbulnya penyakit yang aktif (chemoprophylaxis of subclinical infection). Obat yang dibe-

rikan isoniazid 300 mg sehari dengan piridoksin


15-50 mg/hari selama 12 bulan. Dosis isoniazid
untuk anak ialah 10 mg/kgBB (maksimum 300 mg)
sehari.
Dewasa ini,American Thoracic Society, American Lung Associaflon, dan Centers for Disease
Control menganjurkan pemberian prolilaksis untuk:
(1 ) semua individu yang kontak dengan penderita
tuberkulosis paru-paru aktif; (2) individu dengan uji
Mantoux positif disertai kelainan gambaran radio-

logik paru-paru yang konsisten dengan penyakit


tuberkulosis sebelumnya, termasuk mereka dengan riwayat tuberkulosis yang tidak mendapat
terapi memadai; (3) individu yang mengalami konversi uji Mantoux menjadi positif dalam waktu dua
tahun; (4) individu terinleksi dengan risiko tinggi
misalnya karena mendapat kortikosteroid atau obat
imunosupresif; (5) penderita penyakit tertentu dengan daya tahan menurun misalnya leukemia, penyakit Hodgkin, diabetes, silikosis dan pasca-gastrektomi. Selain itu prolilaksis harus diberikan pada

anak di bawah 6 tahun dengan reaksi Mantoux


positif dan dianjurkan pula untuk individu dengan
reaksi Mantoux positif di bawah 35 tahun, kecuali
wanita hamil.

TERAPI KORTIKOSTEROID PADA TUBERKULOSIS. Pada dasarnya tidak ada indikasi penggunaan kortikosteroid pada pengobatan rutin tuberkulosis. Kortikosteroid hanya diberikan pada penderita
yang sangat parah seperti meningitis dan perikarditis tuberkulosis dengan syarat bahwa penderita
sudah mendapat perlindungan cukup dengan tuberkulostatik; dan kemungkinan terjadinya elek samping steroid harus dinilai pada setiap individu.

Manlaat pemberian steroid ini hanya tampak


pada bulan pertama sampai bulan ketiga berupa
perbaikan klinis yang cepat. Perbaikan yang diharapkan ialah demam hilang, berat badan bertambah, dan tubuh segar kembali. Setelah pemberian
kemoterapi selama 6-12 bulan, tidak ada perbedaan yang terlihat antara penderita yang menerima
dan tidak menerima kortikosteroid.
Gambaran klinik dan radiologik penderita
yang menerima steroid dapat cepat memburuk

Tu

be rku lostati

da

n Le prostati k

selama pengobatan dengan kortikosteroid, sehingga kecurigaan akan timbulnya reaksi buruk itu
harus selalu ada selama berlangsungnya pemberian steroid. Bila diperlukan, dosis kortikosteroid
ialah dosis yang ekuivalen dengan 40 mg prednison
sehari yang diberikan paling lama 6 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan supaya tidak terjadi
fenomen rebound akibat pemberian steroid dosis
tinggi.

2. LEPROSTATIK
Penyakit lepra di lndonesia cukup banyak dan

memerlukan perhatian yang serius. Dalam bab ini


akan dibahas antilepra golongan sullon, rilampisin,
klofazimin, amitiozon dan obat-obat lain, serta
masalah pengobatan lepra.

2.1. SULFON

sejumlah kecilobat masih ditemukan sampai 35 hari


setelah pemberian obat dihentikan.
Golongan sul{on tersebar luas ke seluruh
jaringan dan cairan tubuh. Obat ini cenderung tertahan dalam kulit dan otot, tetapi lebih banyak
dalam hati dan ginjal. Obat terikat pada protein
plasma sebanyak 50-70o/o, dan mengalami daur
enterohepatik. Daur ini yang menyebabkan obat
masih ditemukan dalam darah lama setelah pemberiannya dihentikan. Sulfon mengalami metabolisme
dalam hati dan kecepatan asetilasinya ditentukan
oleh laktor genetik.
Ekskresi melalui urin berbeda jumlahnya bagi
setiap sediaan sulfon. Dapson dosis tunggal diekskresi sebanyak 70-80 % terutama dalam bentuk
metabolitnya. Probenesid dapat menghambat ekskresi dapson dan metabolitnya.

EFEK NONTERAPI. Efek samping sediaan sullon


yang paling sering terlihat ialah hemolisis yang berhubungan erat dengan besarnya dosis. Hemolisis
dapat terjadi pada hampir setiap penderita yang
menerima 200-300 mg dapson sehari. Dosis 100

Golongan sulfon merupakan derivat 4.4' diamino difenil sulfon (DDS, dapson) yang memiliki
sifat farmakologiyang sama. Banyak senyawa yang
telah dikembangkan, tetapi secara klinis hanya dapson dan sullokson yang bermanfaat.

AKTIVITAS lN VITRO DAN lN VIVO. Aktivitas sullon terhadap basil lepra secara in vitro tidak dapat
diukur mengingat basil ini belum dapat dibiakkan
dalam media buatan. Terhadap basil tuberkulosis
obat ini bersilat bakteriostatik; dapson dapat menghambat pertumbuhan basil pada kadar 10 pg/ml.
Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa
sulfon bersilat bakteriostatik dengan KHM sebesar
0,02 pg/ml. Resistensi dapat terjadi selama pengobatan berlangsung.

Mekanisme kerja sulfon sama dengan sullonamid. Kedua golongan obat ini mempunyai spektrum antibakteri yang sama, dan dapat dihambat
aktivitasnya oleh PABA secara bersaing.

FARMAKOKINETIK. Dapson diserap lambat disaluran cerna, tetapi hampir sempurna. Sullokson diserap kurang sempurna sehingga banyak terbuang
bersama leses. Kadar puncak tercapai setelah 1-3
jam, yaitu 10-15 pg/ml setelah pemberian dosis
yang dianjurkan. Kadar puncak cepat turun, tetapi
masih dijumpai dalam jumlah cukup setelah 8 jam.
Waktu paruh eliminasi berkisar antara 10-50 jam
dengan rata-rata 28 jam. Pada dosis berulang,

mg pada orang normal atau dosis kurang dari 50 mg

pada orang yang menderita kekurangan enzim


GoPD tidak menimbulkan hemolisis. Methemoglobi-

nemia sering pula terlihat, kadang-kadang disertai


pembentukan Heinz body.

Walaupun sullon menyebabkan hemolisis,


anemia hemolisis jarang terjadi kecuali bila pasien
juga menderita kelainan eritrosit atau sumsum
tulang. Tanda hipoksia akan tampak bila hemolisis
sudah demikian berat.

Anoreksia, mual dan muntah dapat terjadi


pada pemberian sullon, Gejala lain yang pernah
dilaporkan ialah sakit kepala, gugup, sukar tidur,
penglihatan kabur, parestesia, neuropatiperiler
yang mampu pulih, demam, hematuria, pruritus,
psikosis, dan berbagai benluk kelainan kulit. Gejala
mirip mononukleosis inleksiosa yang berakibat latal
pernah pula dilaporkan.
Sullon dapat pula menimbulkan reaksi lepromaiosis yang analog dengan reaksi Jarisch-Herxheimer. Sindrom yang disebut nsindrom sullon' ini
dapat timbul 5-6 minggu setelah awal terapi pada
penderita yang bergizi buruk. Gejalanya dapat berupa demam, malaise, dermatitis eksfolialif, ikterus
yang disertai nekrosis hati, limfadenopati, methemoglobinemia, dan anemia.

SEDIAAN DAN POSOLOGI. Sullon dapat digunakan dengan aman selama beberapa tahun bila pemberian dilakukan dengan seksama. Pengobatan

612

Farmakologi dan Terapi

harus dimulai dengan dosis kecil, kemudian dinaikkan perlahan- lahan dengan pengawasan klinik dan
laboratorium secara teratur. Fleaksi lepromatosis
berupa sihdrom sulfon dapat demikian parah dan
memerlukan penghentian terapi.
Dapson diberikan dalam bentuk tablet 25 dan
100 mg secara oral. Pengobatan dimulai dengan

yang menggunakan rilampisin dosis 300 mg/hari


atau untuk penggunaan intermiten dengan dosis

dosis 25 mg. Dalam 2 minggu pertama dosis ini

Klofazimin merupakan turunan fenazin yang


efektil terhadap basil lepra. Kedudukan obat ini

diberikan sekali dalam seminggu; kemudian setiap


2 minggu frekuensi pemberian ditambahkan satu
kali sampai tercapai pemberian 5 kali seminggu.
Setelah itu dosis dinaikkan menjadi 50 mg, yang
diberikan 3 kali seminggu selama bulan pertama,
kemudian 4 kali seminggu selama bulan kedua, dan

5 kali seminggu dalam bulan ketiga. Selanjutnya


dosis dinaikkan menjadi 100 mg yang diberikan 3
kali seminggu selama 1 bulan dan akhirnya dinaikXan 4 kati seminggu untuk waktu yang tidak terbatas. Pemberian dapson 100 mg dua kali seminggu mungkin cukup efektil untuk pengobatan
jangka lama,.
Natriuni sulfokson diberikan pada pasien yang
mengalami gangguan saluran cerna akibat dapson.
Natrium sulfokson terdapat dalam bentuk tablet bersalut gula 165 mg. Dosis awal ialah 330 mg diberikan 2 kali seminggu selama 2 minggu pertama,
kemudian pemberian ditingkatkan menjadi 4 kali
seminggu untuk 2 minggu berikutnya. Akhirnya lrekuensi pemberian dinaikkan lagi menjadi 6 kali seminggu. Dosis maksimum per hari ialah 660 mg.

2.2. RIFAMPISIN
Farmakologi obat ini telah ditinjau sebagai antituberkulosis. Pada hewan coba, antibiotik ini cepat
mengadakan sterilisasi kaki mencit yang diinfeksi
dengan M. leprae dan tampaknya mempunyai elek
bakterisid. Walaupun obat ini mampu menembus
sel dan saraf, dalam pengobatan yang berlangsung
lama masih saja ditemukan kuman hidup, Beberapa
pasien yang makan obat ini selama 10 tahun tidak
timbul masalah, tetapi resistensi timbul dalamwaktu
3-4 tahun. Atas dasar inilah penggunaan rifampisin
pada penyakit lepra hanya dianjurkan dalam kombinasi dengan obat lain. Kini di beberapa negara
sedang dicoba penggunaan rifampisin bersama
dapson unluk M. leprae yang sensitif terhadap
dapson, serta kombinasi rifampisin dengan klofazimin atau etionamid untuk M. leprae yang resisten
lerhadap dapson. Dosisnya untuk semua lenis lepra
adalah 600 mg/hari. Kinijuga sedang diteliti paduan

600 mg sampai 1500 mg.

2.3. KLOFAZIMIN

sekarang ialah sebagai pengganti dalam kombinasi


dengan rilampisin bila basil lepra sudah resisten
terhadap dapson.

Obat ini tidak saja efektif untuk lepra jenis


lepromatosis, tetapi juga memiliki elek antiradang
sehingga dapat mencegah timbulnya eritema nodosum. Akhir-akhir ini banyak buktiyang menunjukkan

bahwa klofazimin dapat menekan eksaserbasi


lepromatosis.

Pada pemberian oral, obat ini diserap dan


ditimbun dalam jaringan tubuh. Keadaan ini mernungkinkan pemberian obat secara berkala dengan jarak waktu antar dosis 2 minggu atau lebih.
Elek bakterisid klofazimin baru terlihat setelah 50
hari terapi. Dosis klofazimin untuk segala bentuk
lepra ialah 'l 00 mg sehari. Untuk mengendalikan
reaksi lepromatosis mungkin diperlukan dosis sampai 3 kali 100 mg sehari, yang harus segera dikurangi bila timbul keluhan saluran cerna. Kulit dapat
mengalami pigmentasi merah dan hitam yang
mengganggu bagi penderita beri<ulit putih, Klofazimin tersedia sebagai kapsul 100 mg.

2.4. AMtTtOZON
Obat turunan tiosemikarbazon ini lebih elektif
terhadap lepra jenis tuberkuloid dibandingkan terhadap jenis lepromatosis. Resistensi dapat terjadi
selama pengobatan sehingga pada tahun kedua
pengobatan perbaikan melambat dan pada tahun
ketiga penyakit mungkin kambuh. Karena itu amitio-

zon dianjurkan penggunaannya bila dapson tidak


dapat diterima penderita.
Elek samping yang paling sering terjadi ialah
anoreksia, mual, dan muntah. Anemia karena de-

presi sumsum tulang terlihat pada sebagian besar


pasien. Leukopenia dan agranulositosis dapat terjadi, tetapi yang berat keadaannya terdapat pada
0,5% pasien. Anemia hemolitik akut dapat terjadi
dengan dosis tinggi. Ruam kulit dan albuminuria
tidak jarang pula terlihat. Kejadian ikterus cukup

tinggi dan gejala ini menandakan obat


hepatotoksik tetapi sifatnya reversibel.

bersifat

Tu

be rku lostati

k d an Le prostati k

Amitiozon mudah diserap melalui saluran


cerna dan ekskresinya melalui urin. Dosis permulaan ialah 50 mg setiap hari selama 1-2 minggu,
kemudian dosis dapat dinaikkan periahan-lahan
sampai mencapai 200 mg. Obat ini sama efektil baik
pada pemberian dosis tunggal maupun dosis terbagi.
2.5. OBAT-OBAT

LAIN

Tiambutosin digunakan untuk penderita yang


tidak tahan terhadap efek samping dapson. Obat ini
tidak seelektil dapson. Flesistensi cenderung timbul
setelah penggunaan obat sekitar 2 tahun.
Talidomid yang dalam sejarah

menimbulkan

dicoba
eritema
100-300 mg per hari

kelainan teratogenik berupa lokomelia telah

dan tampaknya efektif untuk mengobati

nodosum leprosum. Dosis

ngan paduan terapi jangka pendek. Di masa lalu


pengobatan lepra biasanya dengan obat tunggal,
kini banyak diusahakan pengobatan minimal dengan dua obat, dan rifampisin juga merupakan komponen yang penting. Untuk mengerti pengobatan
lepra, perlu dipahami bentuk klinik penyakit tersebut. Dikenal dua macam pembagian penyakit lepra
menurut bentuk kliniknYa.
KLASIFIKASI. Madrid membagi penyakit ini menjadi 4 tipe yaitu tipe ndeterminate, tuberkuloid, borderline, dan lepromatosa, sedangkan Ridley dan
Jopling membaginya menjadi 6 tipe yaitu lipe inde'
brminate (tipe l), tuberkuloid (tipe TT), borderline
tubercutoid (tipe BT), borderline alau midborderline
(tipe BB), borderline lepromatosa (tipe BL), dan
lepromatosa (tipe LL). Lepra tipe rndeterminate merupakan bentuk permulaan penyakit lepra yang
memperlihatkan bermacam bentuk makula hipopig-

sudah elektif tetapi efek teratogenik membatasi mentasi. Sekitar 75% lesi ini sembuh spontan, yang

penggunaannya'

lain mungkin menetap sebagai lipe indeterminate


atau berkembang menjadi bentuk-bentuk tuberku'

2.6. pENGOBATAN

LEpRA

Pengobatanleprajugamengalami

perubahan

setelah suksesnya pengobatan tuberkulosis

de-

loid, brderline untuk seterusnya menjadi bentuk


lepromatosa. Tanda klinik bentuk tuberkuloid sam'
pai bentuk lepromatosa dapat dilihat pada tabel
41-2'

TAbEI4l-2. KLASIFIKASI PENYAKIT LEPRA MENURUT RIDLEY DAN JOPLING


Tanda{anda
biasanya
tunggal

tunggaU
sedikit

beberapa
banyak

sangat banyak

Besar lesi

beragam

beragam

beragam

kecil

Permukaan lesi

sangat

kering

mengkilap

mengkilap

berkurang

agak berkurang

tak terpengaruh

hilang

menurun

jelas

menurun
ringan

tidak hilang

sama se-

noUjarang

beberapa

sangat banyak

Jumlah lesi kulit

kering/
bersisik

Pertumbuhan rambut
pada lesi
Daya rasa pada lesi

tak ada

kali
BTA dari apus
jaringan kulit

nol

BTA dari korekan


hidung

nol

nol

noUiarang

sangat banyak

Tes lepromin

+++

+/++

negatif

negatit

Keterangan : TT

banyak

lpra tipe

tubrkuloid

BT

bordorlin tuberculoid

BB-BL-mU borderline-borderline lepromatous


LL

lepra lPromatosa

614

Farmakologi dan Terapi

Untuk kepentingan pengobatan penyakit


lepra
OerOasjrXan aOa
tidaknya BTA dalam pemeriksaan
bakteriologis
yaitu bentuk pausibasitei (tipe pB)
oan u"niJr, mrrti

Terapi.obat tunggal. Di daerah-daerah


yang belum
terjangkau terapi obat kombinasi
,"rin
JiLxrl"n
teJapi obat tunggal. Untuk tipe pB
diberikan

dibagi menjadi dua ketomiot

DDS
100 mg/hari yang lamanya paling
sedikit 2_3 tahun,

basiler'(Hg)
tergolong bentuk BB ialah semua
. Yang
tipe
pada
pemeriksaan laboratorium tiOaX
Jitemutan
BTA yang termasuk datam ketomp"L
irii"Lrl ,,p"

ildet7ryiate

itiiiili"

dan ripe ruberk urcia.'

sedang untuk MB lama pengol"t"n


terapi obat tunggal

,"r_
peroleh kesempatan untuk
"rrJi"n
mendapatkan
oiut f,orn_
binasi, maka pengobatan dimulai
tagi s;ol;oetum
pernah mendapat pengobatan.

p"ou

tipe ini ditemukan BTA positif, maf<aftJ"ini


-'- '

golong dalam bentuk muliibasiler


(L4B)

ter_

Bentuk multibasiler (MB) secara garis

besar
ialal semua tipe yang pada pemerikr"u"n
i"Oorrto_
rium BTA-nya positif. Tipe borderti"-d".-f"p_-

rupakan manifestasi real<si imun'

ltekeOalany
seluler maupun humoral. Reaksi
ini Oapat ieriaOi
sebelum, selama, atau sesudah pengobatan. yang

negatif.

PEMILIHAN OBAT. Dapson atau


DDS merupakan
obat terpilih untuk semua tipe penyakit
i

g.unakan baik pada terapi


oOat iu

sering terjadi ialah dalam pengoba-tan,


Oi"r"ny"

f"pr"l OO"t

antara 6 bulan _ 1 tahun pertama.


ROa Oua ienis
reaksi lepra:

n;;;i;;rpm

kombinasi.. Bita terjadi resistensi


t"iijJ"p''oOS,
atau reaksialergi, baru digunakan
oo"tl"il
Xror"zimin yang beberapa tahun lalu
h"ny" JiS"""X"n
untuk menggantikan DDS, kini
oigrn;X"n i"r""rn"
DDS untuk
.lepra tipe multibasillr Oan rifampistn
komponen penting oaram terapi
rom_
otnasi baik pada lepra tipe pausibasiler
maupun
multibasiler. Selain itu pada reaksi
f"pr" irg"-Olgrnakan kortikosteroid untuk elek
anti'iniiam?inya,
juga digunakan ktorokuin
unruk efek
Talidomid dlgunakan untuk reaksi
"iit"r"
lgd.o:rr teprosum, untuk reaksi ,"u;;;;i oL'",
,ni
tidak bermantaat.

) Reaksi tipe I atau tipe reaksireversa/ yang


.(1
terjadi pada tipe tuberkuloid biasanya
dalarn O Urt"n

pertama masa pengobatan. Gejala


yang menonjol
iatah neuritis sampai hitangnya se"i"iii,olor,
xrrit
menjadi kemerahan dan berluka, serta
uJem Oi
muka, tangan, dan kaki. Reaksi tipe
Ini rn"irp"f,"n
reaksi hipersensitivitas tipe lambat y"ng
t"firOr_
ngan dengan meningkatny" ,""pon.
imrln seiuter.
reaksiyang ringan diberikan
g
, ,. _P."93
Kail
I tablet selama 3_5 hari sementarattorot<uin
antilepra
tetap diteruskan kalau perlu dapat OiOeri
anaigesif
dan sedatif. pada reaksi yang berat p"ri,
Jiil'rk"n

ffi?tll

ly1

".iiJ"i[i*i

REGIMEN PENGOBATAN. pengobatan


lepra di
lndonesia ada dua cara yaitu
t"r"ii t o*oin"!i o"n
terapi obat tunggat. Teiapi obat
kornin"J-V"ng
dianjurkan di lndonesia sesuai
dengan V".l 1,"._
jurkan oleh WHO.

Paduan obat untuk kelompok pausibasiler

adalah DDS 100 mg/hari selama


O-S Outan Oan
rifampisin 600 mg sebulan seXati
untut i lutan.

Penggunaan DDS diserahkan


r,"p"Ju plri"n,

tetapi.untuk menjamin kepatuhan,


pemOerian rliam_
qjsil na11s Oi bawah pengawasan dokter, paduan
obat unruk ketompok muttibasiter
aO"r"n OOJiOO

mg/hari, rifampisin 600 mg sebulan


sekatl ktota_

zimin 50 mg/hari, dan kloiazimin go0-;g'r;ii"p


bulan. Rifampisin dan ktofazimin
y"ng oiOJ:'"n
sebulan sekali juga harus diawasi
periUeriannya.

t;;; l;;;;;;"s

parins sedikit 2
oarx sampai hasil pemeriksaan
BTA negatif.

i:fifiT:atan

REAKSI LEpRA. Beaksilepra adalah


kejadian atau
episode dalam perjalanan penyakit
tepra yang me_

matosa termasuk bentuk multibasiler


*"tuupun
BTA

in i d

tio"r oit"n-

tukan. Kini pengobatan Oengan


obat tunooal tidak
dianjurkan tagi. Oteh kareni ilu bita
J"jln V"ng
sedqng dalam

kortikosteroid.

su1

) Reaksi tipe llatau eritema nodosum

lef l).biasanya
reaksi tipe

lepro_

timbut tebih lambat J"ripuO"


l. Gejala dan tandanya ialah timbutnya
benjot-benjol kecit kemerahan Oi f<uiit
rn"nu
saja), sering disertai neuritis, orchitis, lJi
irijosif,fitis,
artritis, proteinuria, dan limfadenopati,
Pengobatan reaksi tipe ll sama dengan
tipe I
hanya klorokuin diberikan 1 minggu. paja
reaf<si
yang berat diberikan kortikosteroiiian
dosis k-totazimin dinaikkan menjadi 3 x 100 mglh"ri-s;;a
f

minggu. Bila reaksi berkurang dosisllofazimin


Oitu:
runkan menjadi 2 kali 100 mg/hari
,"f"r"
S

ringgu,

selanjutnya diturunkan 100 mg/hari


,"rp"i ,"""fri
hilang. Kemudian dosis dikeri6"r*"n
so

;!nj"ji

mg/hari.

B.eberapa

pusat

pemberantasan penvakit

se.perti Amerixa serir<ai

ftJ:j:lt],iilegeri
naKan tatictomid untuk mengobati

;;;;;r_

reaksi lepra tiie ll

yang berat dengan dosis awal


400 mg, f,"rnuiiun

dilanjutkan dengan dosis rumat t


00 md/hari.

Tubku

lostati k dan Le p rostati k

615

PENILAIAN HASIL PENGOBATAN. Kemajuan pengobatan dinilai dengan melihat perbaikan gejala
dan tanda klinik maupun laboratorium, serta kete-

lama masa kontrol itu terjadi kambuh, maka pengobatan dimulai lagi dari permulaan.

kunan berobat. Setelah memenuhi kriteria sembuh,


pasien diberi surat pernyataan sembuh oleh petugas kusta setempat.
Pasien kelompok pausibasiler yang telah

jalani pengobatan selama 24-36 bulan dengan

Pasien kelompok multibasiler yang telah men-

tekun dan memenuhi kriteria sembuh klinik dan


laboratoris dinyatakan "telah selesai menjalani
pengobatan" (release from treatment/RFT). Selan-

menjalani pengobatan selama 6-9 bulan dan me-

jutnya mereka masuk dalam masa pengawasan

menuhi kriteria sembuh klinik dan laboratoris dinyatakan selesai menjalani pengobatan (release from
treatment/RFl). Tetapi mereka masih harus diawasi dan diperiksa terus secara klinik dan laboratoris sedikitnya setahun sekali selama 2-3 tahun.
Bila selama itu tidak terjadi perubahan klinik yang
menuju kambuh, maka mereka dinyatakan bebas
dari kontrol atau release from control/RFC. Bila se-

sedikitnya selama 5 tahun. Minimal setahun sekali


mereka harus diperiksa secara klinik dan laboratoris
untuk melihat perkembangan penyakitnya. Bila selama lima tahun itu tidak terjadi perkembangan
menuju kambuh, maka mereka dinyatakan bebas
dari kontrol (release from control). Tetapi bila dalam

masa pengawasan itu terjadi perkembangan menuju kambuh, maka pengobatan dimulai lagi mulai
dari permulaan.

616

Farmakologi dan Terapi

42. ANTI.VIRUS DAN INTERFERON


P. Freddy Witmana

t.

Pendahuluan

lnterferon

2. Pembahasan obat antivirus

2.1. Arnantadin

Pemilihan obat pada inteksi virus


tertentu.
4.1. lnfeksi HIV atau AIDS
4.2. lnfeksi virus Herpes
4.3. lnfeksi virus Varicella-Zoster (VZV)
4.4, lnfeksi Cytomegalovirus (CMV)
4.5. lnfeksi Epstein-Barr Virus
lf AV;
4.6. Hepatitis

2.2. Asiklovir
2.3. Gansiklovir
2.4. Ribavirin
2.5. Zidovudin

2,6. ldoksuridin
2.7. lnosipleks (Metisoprinol)

1. PENDAHULUAN
Pengembangan obat anti-virus baik
sebagai

..
profilaksis

ataupun terapi belum

,"n"upui n"rit

,"_
perti apa yang diinginkan oleh
umat manusi". A"rbeda dengan anti_mikroba lainnya,

sel hospes juga dihambat. Toksisitas


misalnva supresi sumsum tulang telah menghalangi

obatdiatas
d.igunakan secara parenteral kecuali
vidarabin.

Hanya idoksuridin dan vidarabin yu"g


lu"iinirurin
dapat digunakan secara topikal sebaiai
obat pilihan

V""g
dapat menghambat atau membunuh
""ii",r"i
virus luga

fedu.a.!an ketiga pada herpes


junctivitis.
"irpi.rirri{o
Obat antivirus generasi
"or_
baru pada umum_
nya bekerja lebih selektif terutama
asiXfovriseningga toksisitasnya lebih rendah.

kan enzim dan bahan tain dari no"p"r.


;;;i;;g""
bagi penelitian ialah bagaimana rnrn"mrkunluut,

feron dapat menghambat replikasi

akan dapat merusak sel hospes


Oimanu'uliu, ltu
karena replikasivirus nrun marprn
Or,rn
f:11]",
oenangsung di dalam sel hospes
dan membutuh-

obat yang dapat menghambat secara

,p"rifk,"f"n
seperti,lf"tui"O,-ga
An atis is oior ifrEwi?# pro-

satu.proses replikasi virus

i=g+su*r*asr.
ses stntesis virus telah membuka

tabir bagi

terapi
yang efektif untuk beberapa infeksi
seperti : virus
herpes, beberapa virus saluran nupu.
tun f,r."n
i m unodefic ie ncy vi ru s (HIV).
Dengan mencuatnya masalah penyakit
ac_
quired-immuno-deficiency_syndrome
(AIDS) mau_
pun virus lainnya, maka
kegiatan p"n"titiun m"n"u--ri

obat antivirat tetah mendaput orrrng;;1""s-i"otn


t-u1
berbagai pihak baik sw"rt" ;;;;;;
!a1i
;;;"
rintah, terutama di negara yang
maju.
Sejumlah obat antivirus yang Oit<emOangkan

di

deliade 50 dan 60 saat ini meriilfi p"r",ii"urun

terbatas. Obat ini adatah idoksuridin,

sitarabin. Obat ini bersilat

tiOat<

"iJ"r"Oiri"rr
seteftit-;;Lrn

menghanibat replikasi virus sehingga


Oanyaf tungsi

Sejak tahun 1957, telah diketahui bahwa


inter_

virrr. Su"uru
alamiah interferon dihasilkan oleh sel
,"nrriu O"n
mamalia yang terinfeksi virus atau
distimulasi oleh
zat alamiah atau sintetik lainnya. Berkat
kemajuan
teknologi rekayasa rekombinan OwR
mafa seta_
rang interferon mulai mendapat perhatian
untuk
pemanfaatan di dalam klinik.
2. PEMBAHASAN OBAT ANTIVIRUS
2.1. AMANTADTN

utk \o{\'\{

Obat ini larut dalam air dan merupakan


amintrisiklik. Amantadin diduga bekerja
ii"rghrrU"t
yjr"g dari proses perakitan virus inttrienza n,
I1^t-"
tetapi mekanisme secara rinci tidak
Oifetanui.-pro_
ses pelekatan virus kepada sel hospes,
penetrasi,
aktivitas RNA-dependent RNA potimeras!,
s"r'u"-

Ah.(i bac{er, *7 ffr$ e'i:ypr{.4;'ltqFrr";p{


,r
,, ii{i}1
tl
--..'-*----->

nicrn,.r}rh
'1

617

Anti-virus dan lnbrteron

luga diinkorporasi ke dalam DNA virus yang sedang


qemanjang yang mengakibatkan terminasi biosintesis rantai DNA-virus. Besistensi alamiah terhadap

nya tidak dihambat oleh amantadin.

Absorbsi obat ini dari saluran cerna berlangsung secara baik. Pada manusia amantadin tidak
dimetabolisme dan diekskresi melalui urin dalam

beberapa strain dari virus herpes simpleks dan

bentuk tak diubah. Waktu paruh eliminasi sekitar 16


jam dan bertambah lama pada usia lanjut dan pasien dengan gangguan lungsi ginjal.
Elek samping amantadin berupa gangguan
SSP seperti bingung, gelisah, halusinasi, kejang
dan bahkan koma. Efek samping dapat dikurangi
dengan memberikan obat ini dalam dosis terbagi
yailu 2 kali 100 mg per hari, yang dianjurkan yakni
1 kali 200 mg per hari pada orang dewasa. Untuk
pasien usia di atas 65 tahun, dosis maksimal 100
mg per hari.

Penggunaan amantadin pada influenza

Pada pasien yang jelas menunjukkan gejala inlluenza A akut, dosisnya 200 mg/hari selama 5 hari. Pada
situasi epidemi influenza A, pasien dengan risiko
tinggi untuk komplikasi akibat inlluenza, diberikan
prolilaksis selama epidemi. Tetapi prolilaksis terbaik terhadap virus inlluenza A ialah dengan vaksinasi virus influenza A.

Rimantadin merupakan derivat baru dari


amantadin yang mengalami biotranslormasi ekstensif, sehingga ekskresi melalui ginjal dalam ben-

tuk tak diubah hanya kurang dari 15 %' Elek


samping terhadap SSP lebih ringan dari amantadin.

2.2. ASIKLOVIR
U1F

rri{tl5 tletgt.l

Asiklovir [9-(2-hidroksietoksimetilguanin)] me-

rupakan obat sintetik jenis analog nukleosida purin.

Sifat antivirus asiklovir lerbatas pada kelompok


virus herpes.

MEKANISME KERJA. Asiklovir "diambil" secara


se e ktil ol eh sel y an g lglhlckslvirus-hefpes. U ntu k
I

mengaktilkan asiklovir, obat ini harus diubah dahulu


ke bentuk monofos{at oleh timidin kinase milik virus
tersebut. Alinitas asiklovir terhadap timidin kinase
asal virus herpes ini 200 x lebih besar dari yang asal
sel manusia alau mamalia. Setelah lerbentuk asiklovir-monofosfat (asiklo-G MP), loslorilasi berikutnyq dilakukan dengan enzim dari sel hospes menjadi asiklo-GDP dan terakhir asiklo-GTP. Bentuk
akhir inilah yang secara selektil menghambat DNA-

polimerase virus dengan berkompetisi terhadap


dqsoksiguanosin-trifoslat. Selain itu asiklo-GTP

varisela-zoster jarang, tetapi dapat timbul bila strain


itu merupakan mutan defisien timidin kinase. Virus
herpes lainnya yakni CMV (cytomegalovirus) dan
EBV (Epstein-Barrvirus) tidak membutuhkan enzim
timidin kinase untuk replikasi, dengan demikian
hambatan oleh asiklovir hanya terbatas. Replikasi
EBV dihambat sebagian karena DNA-polimerase
EBV sangat sensitil terhadap asiklo-GTP.

FARMAKOKINETIK asiklovir bersilat konsisten


mengikuti model dua- kompartemen; volume distribusi taraf mantap kira-kira sama dengan volume
cairan tubuh. Kadar plasma taral mantap setelah
dosis oral ialah 0,5 ug/ml setelah dosis 200 mg dan
1,3 ug/ml setelah dosis 600 mg. Pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal, waktu paruh eliminasi kira-kira 2112 jam pada orang dewasa dan 4
jam pada neonatus serta 20 jam pada pasien anuria. Kadar obat juga dapat diukur di saliva, cairan
lesi dan sekret vagina. Kadar di cairan serebrospinal mencapai setengah kadar plasma. Di ASI kadar-

nya lebih tinggi. Lebih dari 80 % dosis obat dieliminasi melalui filtrasi glomerulus ginjal dan sebagian kecil melalui sekresi tubuli. Hanya sekitar 15 %
dosis obat yang diberlkan dapat ditemukan kembali
di urin sebagai metabolil inaktif.

EFEK SAMPING. Beberapa pasien melaporkan


mual, muntah dan pusing, tetapi efek samping ini
jarang sampai memerlukan penghentian pengobatan. Asiklovir dapat mengendap di tubuli renal bila
dosis yang diberikan sangat berlebihan atau pada
pasien dehidrasi. Keadaan ini dapat menyebabkan
penurunan bersihan kreatinin. Pada pasien dengan
bersihan oinial vano kurano. dapat timbul efek samping berik-ut i"i 8fiS?it"blfii6sertai letargi, tremor,
'
dan lgqa*Pemberian topikal
halusinasi, kejang
dapat menimbulkan iritasi atau perasaan terbakar

bila dioleskan pada lesi genital. Yang terakhir ini


mungkin disebabkan bahan dasar sediaan topikal.

lNDlKASl. Asiklovir elektil terhadap inleksi virus


herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2, termasuk herpes mukokutaneus jenis kronis dan rekuren pada
pasien yang terganggu lungsi imunologiknya (lrnm u nocom prom ised), ju ga d iindikasikan untu k HSV
ensefalitis, neonatus dan VZV (virus varicella-zoster). Asiklovir topikal dapat mempersingkat lamanya

Farmakologi dan Terapi

herpes genital primer tetapi tidak efektif untuk mencegah rekurensinya.


Asiklovir tidak efektif untuk infeksi CMV. pemberian selama kehamilan tidak dianjurkan.

SEDIAAN DAN DOS|S. Untuk infeksi HSV, terapi


awal 5 kali sehari 200 mg selama 10 hari (5 hari
untuk rekurensi). Untuk menahan rekurensi herpes
genital diberikan dosis 200 mg, 3 kali sehari sampai

6 bulan. Untuk herpes genital, salep asiklovir 5

diberikan setiap 3 jam, 6 kali sehari selama 7 hari.


Dalam bentuk prodrug 6-deoxyacyclovir, obat
ini diubah in vivo oleh xantin-oksidase dan memberikan kadar plasma yang lebih tinggi; mungkin
lebih efektif pada terapi oral inleksi VZV.

diberikan obat ini. Selain ini dapailimbul trombositopenia, anemia, gejala gangguan gastrointestinal,
bercak merah di kulit, gangguan fungsi hepar dan

sindrom neurologik termasuk kejang, halusinasi


dan perubahan mental. Neutropenia di atas blasa
terjadi pada minggu ke-2 terapi dan kebanyakan
bersifat reversibel.

lNDlKASl. Karena toksisitas yang tinggi, gansiklovir


hanya diindikasikan untuk kasus infeksi oleh CMV
yang mengancam jiwa atau penglihatan pasien.
Biasanya hal ini terdapat pada pasien penerima
transplantasi organ atau sumsum tulang dan pasien
AIDS akibat HlV. lndikasi gansiklovir saat ini hanya
retinitis karena CMV.

SEDIAAN DAN DOSIS. Sediaan intravena infus


2.3. GANSIKLOVIR
Gansiklovir (9-(1,3 dihidroksi-2 propoksi-metil
guanin), analog nukleosida asiklik dari guanin ini
disintesis pada waktu mencari obat antivirus yang
efektif terhadap CMV.
Seperti asiklovir, fosforilasi pertama dilakukan
dengan timidin- kinase virus HSV-1 dan HSV-2 di
sel hospes yang terinleksi virus. Senyawa trifosfat

yang terbentuk dengan enzim sel hospes, akan

mengganggu replikasi virus karena masuk ke DNA


virus, menghentikan replikasinya (secara in vitro

untuk indikasi retinitis karena CMV : fase induksi 5


mg/kg BB selama 1 jam, dilaksanakan setiap 12 jam
untuk 14-21 hari. Terapi supresi : 5 mg/kg BB, sekali
sehari, selama 1 jam atau 6 mg/kg BB untuk setiap
5 hari dari 7 hari.

2.4. RIBAVIRIN
Suatu analog dari nukleosida purin yang in
vitro menghambat berbagai macam virus RNA dan
DNA.

replikasi VSV juga terhambat, mungkin dengan mekanisme diatas). Juga terlihat elek antivirus terhadap virus EBV dan CMV walaupun kedua virus ini
tidak mempunyai timidin kinase, Mekanismenya tak

MEKANISME KERJA. Ribavirin difosforitasi di dalam sel oleh enzim sel hospes menjadi bentuk trifosfat. Ribavirin menghambat virus saluran napas
seperti virus influenza A dan B.

enzim deoksiguanosin kinase milik virus atau sel


hospes. Bentuk triloslat didapatkan dalam kadar
jauh lebih tinggi pada selyang terinfeksi CMV atau
EBV daripada sel yang tidak terinfeksi.

Ribavirin dengan adenosin-kinase menjadi


ribavirin-S-monofosfat (RMP) yang merupakan pedehidrogenase. lni secara berantai akhirnya meng-

FARMAKOKINETIK. Bioavailabilitas oral sangat

tara itu ribavirin-5'- trifoslat (RTP) menghambat

jelas, diduga fosforilasi pertama terjadi melalui

rendah sehingga gansiklovir diberikan melalui infus


intravena. Obat ini tersebar luas keberbagai jaringan termasuk otak. Kadar di plasma mencapai diatas
kadar hambat minimum (KHM) untuk isolat CMV
yakni 0,02-3,0 ug/ml. Waktu paruh berkisar antara
3-4 jam tetapimenjadisekitar 30 jam pada penderita
gagal ginjal yang hebat. Penelitian pada hewan
memperlihatkan bahwa gansiklovir diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh.
EFEK SAMPING. Yang tersering dilaporkan adalah

supresi sumsum tulang.^Dapat terjadi neutropenia


dengan- < 1000 sel/mmo pada 40 % pasien yang

nghambat kuat terhadap inosin-monofosfathambat biosintesis dari nukleosida guanin. Se-men-

polymerase-RNA dari virus dengan jalan kompetisi


terhadap ATP dan GTP, untuk reseptor substrat
enzim. Selain ini, RTP juga menghambat enzim
virus yang GTP-dependent yang sebenarnya dibutuhkan untuk capping dari rnessenger-fiNA milik
virus. Jadi ribavirin mempunyai titik kerja yang multipel. Mungkin karena ini, resistensi terhadap ribavirin belum dijumpai baik secara klinis maupun eksperimental.

FARMAKOKINETIK. Bioavailabilitas oral sekitar 45


o/0.
Kadar puncak di plasma dicapai 1-2 jam kemudian. Kadar plasma yang tinggi harus dicapai de-

Anti-virus dan lnbrteron

619

ngan pemberian intravena. Ribavirin trifosfat diakumulasi di eritrosit dengan waktu paruh disini sekitar
40 hari. Ribavirin dapat diberikan secara aerosol.

EFqK SAMPING. Dapat terjadi anemia karena hemolysis ekstravaskuler dan supresi sumsum tulang.
Ribavirin bersifat teratogenik dan mutagenik pada

hewan percobaan yang kecil. Pemberian jangka


lama menimbulkan gangguan gejala susunan saral
pusat dan saluran cerna.

lNDlKASl. Untuk infeksi dengan demam-Lassa


yang mengancam jiwa, diberikan sistemik dan sangat efektif. Untuk terapi penderita pneumonia
karena RSV (resprratory syncytical virus) diberikan
sebagai aerosol ke dalam oxygen-hood.
Untuk terapi oral, ribavirin tldak efektil pada
penderita infeksi virus pernapasan.
PREPARAT DAN DOSIS. Sebagai aerosol dengan
nebulizer khusus. Dosis 20 mg/ml ke reservoir nebulizer khusus itu atau sebanding dengan 1 ,4 mg/kg
BB per jam. Lama terapi 12-18 jam/hari untuk 3-7
hari.

EFEK SAMPING. Granulositopenia dan anemia dapat terjadi sampai pada 45 % jumlah penderita yang
diobati dan biasanya timbul setelah 2-6 minggu
pengobatan. Oleh karena itu, semua pasien yang
menerima zidovudin harus diperiksa darah lengkapr
setiap 1-2 minggu. Sekitar 30 % penderita membutuhkan translusi darah untuk mengatasi anemia.
Elek samping lain diantaranya nyeri kepala, mual,
insomnia dan mialgia.

lNDlKASl. Untuk pengobatan infeksi HIV pada pasien dengan gejala infeksi HIV yang pernah mengalami pneumonia akibat Pneumocystis carinii, atau
penderita HIV dengan jumlah absolut limfosit tipe
CD4 kurang dari 200/mm3.
INTERAKSI OBAT. Semua obatyang mengganggu
sumsum tulang atau lungsi ginjal akan dapat meningkatkan toksisitas zidovudin, contoh : dapson,
interferon, zat kemoterapi kanker dan lainnya. Probenesid, asetaminofen, aspirin dan indometasin
juga dapat menambah toksisitas zidovudin.

SEDIAAN DAN DOSIS. Kapsul 100 mg untuk pemberian oral. Dosisnya 200 mg tiap 4 jam terusmenerus. Dihentikan sementara bila ada anemia

2.s.

zrDovuuN

atau granulositopenia yang jelas. Juga ada sediaan


intravena.

s)l

Nama lainnya : azidotimidin. Obat ini pada


awalnya di sintesis sebagai obat antitumor. Baru di
tahun 1985 Mitsuya dan rekan berhasil memperlihatkan secara in vitro aktivitas obat ini terhadap
HIV (Human lmmunodeliciency Virus) type 1.
Nama kimia lengkapnya : 3'-azido-3'deoxythymidine.

MEKANISME KERJA. Bentuk trilosfat zidovudin diperoleh dengan bantuan enzim sel hospes. Bentuk
ini sangat aktil sebagai inhibitor kompetitil reverse
transcriptase dari HIV dan retrovirus lainnya. DNApolymerase sel manusia kurang sensitif terhadap
bentuk zidovudin-trilosf at pada konsentrasi rendah,

jadi toksisitas terhadap sel hospes minimal. lnkorporasi bentuk triloslat ini akan menghentikan sintesis DNA.
FARMAKOKINETIK. Zidovudin diserap lebih dari

50 % pada pemberian oral. Kadar puncak dicapai


dalam 30-90 menit. Waktu paruh eliminasi sekitar

jam. Zidovudin dimetabolisir dengan cepat ke metabolit s-glukoronide yang tidak memiliki aktivitas
antivirus-Ekskresi melalui ginjal.

2,6. IDOKSURIDIN
Merupakan analog timidin. Mengalami fosforilisasi di dalam sel dan bentuk trifosfat akan masuk
ke DNA sel mamalia maupun DNA virus. Jadi obat
ini hanya elektil terhadap virus DNA, terutama virus
herpes dan pox.
lndikasi obat ini sekarang hanya untuk terapi

keratitis karena herpes simplex, dan diberikan


secara topikal.
Elek samping yang dapat timbul : iritasi, nyeri
dan rasa gatal lokal, lotofobia dan udem kelopak
mata.

2.7. TNOSIPLEKS
lnosipleks (metisoprinol atau inosine pranobex) sekarang ini cenderung digolongkan sebagai
suatu zat imunomodulator daripada sebagai antivirus. Dikatakan selama inleksi dengan virus, fungsi
imunologik yang mengalami depresi akan dikembalikan dengan inosipleks. Walau in vitro memper-

Farmakologi dan Terapi

620

uji
yang
konsisten. Sekarang obat ini praktis tertinggal dibandingkan banyak obat antivirus baru yang lebih
lihatkan elek antivirus, tetapi sayangnya hasil

EFEK SAMPING. Pemberian interleron dilaporkan

klinisnya tidak ada yang memperlihatkan hasil

menimbulkan demam, malaise dan rasa lelah. Pem-

berianjangkalamadapatmenimbulkanrambutron-

tok. Leukopenia yang berkaitan dengan dosis dilapotensial dalam memberikan harapan penyembuh- porkan timbul dengan interferon jenis rekombinan
an penyakit virus.
-. *,.(, maupun yang alamiah.

3. INTERFERON

h\
n{-')
/

k\ee"

Yang pertama kali melaporkan elek inlederon


in vitro terhadap replikasi virus adalah lsaacs dan
Lindemann di tahun 1957.
lnterferon (lFN) sebenarnya adalah cytokine
kelompok glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mamalia bila sel tersebut terpapar oleh virus, doublestranded RNA's dan banyak zat lain lagi seperti
eksotoksin bakteri dan polianion. lnterteron dapat
dibagi dalam 3 tipe yang dinamakan alfa (a) beta (p)
dan gamma (1).

lNDlKASl. lnterferon-o saat ini telah disetujui untuk


digunakan unluk hairy-cell teukemia, AtDS-related
Kaposi's sarcoma dan condylomata acuminata.lnterferon-a tidak efektil untuk inleksi CMV. Saat ini
interferon-cr dilaporkan dapat mengurangi marker
hepatitis B yang kronik, sedangkan indikasi untuk
hepatitis C yang kronik aktif telah disetujui oleh FDA

Amerika Serikat.
Mengingat harga interferon-a masih sangat
mahal dan tidak bebas dari efek samping, penggunaannya tentu harus ada indikasi tepat dan selektif, Sementara ini kemajuan pengetahuan perihal

Alfa-interferon (cr-lFN) dihasilkan terutama

sitokinesia akan dapat menambah wawasan kegunaan interferon. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa interferon bermanfaat optimal bila

oleh lekosit, p-lFN oleh libroblast dan sel epitel sedangkan .y-lFN oleh limlosit-T. Sekarang ini inter-

dikombinasikan dengan terapi lain seperti anti-virus


atau anti-kanker lainnya.

feron berbagai tipe tersebut dihasilkan melalui proses rekayasa rekombinan DNA.
lnterleron alamiah sebenarnya baru ada di
4. pEMILIHAN OBAT pADA INFEKSI
lokasi infeksi pada saat titer virus dapat dideteksi
VIRUS TERTENTU
dan sebelum timbulnya antibodi humoral. Tincbulnya interferon yang berkorelasi dengan penurunan
Berikut ini adalah ringkasan pemilihan obat
titer virus memberikan kesan bahwa interferon berantivirus'
silat sebagai mekanisme pertahanan hospes yang
penting. Tetapi ada juga kesan sebaliknya bahwa
interferon berkaitan dengan timbulnya gejala-ge4.1. INFEKSI HIV ATAU AIDS
jala umum inleksivirus seperti demam, malaise dan
mialgia.

Penderita dengan antibodi seropositil terha-

kemungkinan dap HIV dan hitung limlosit CDa kurang dari 200
pada reseplor khu,"i/rn,''. di terapi jangka panjang dengan zidovudin

MEKANISME KERJA. Efek antivirus


sekali akibat interleron mengikat

reaksinya 200 mgoral tiap 4 jam. sebenarnya obat zidovudin


mehghambat atau mengganggu proses uncoating,
ini hanla memperpanjang masa hidup pasien samRNA transcription, protein synfhesis dan assemb/r
f"i io'.2. r"rt"lit"t dari kurang 12 bulan menjadi
virus'
kira-kira 24 bulan. Keuntungan lain adalah menguFARMAKOKINETIK. lnterferon tidak dapat diserap rangi kemungkinan inleksi oportunistik. Terapi komsecara oral. Setelah pemberian lM atau SK dari binasi zidovudin dengan antivirus lainnya sedang
sus di permukaan sel yang kemudian

a-lFN, kadar puncak dicapai dalam 4-8 jam. Di


cairan tubuh interferon cepat sekali di inaktiviasi,

diteliti.

mungkin sekali karena IFN di katabolisir oleh hati.


Sebaliknya p-lFN dan 1-lFN tidak memperlihatkan
kadar obatnya di plasma setelah pemberian lM atau
S'K, tetapi ada bukti bahwa kedua jenis interferon ini
mempengaruhi leukosit di perifer.

4.2. INFEKSIVIBUS HERPES

lnfeksi HSV tipe I : Asiklovir memberikan


hasil yang baik untuk infeksi oral-labial. Pada FISV

Anti-virus dan lnterferon

621

ensefalitis, pemberian asiklovir lV maupun vidarabin lV dapat meningkatkan survival rate.Dalam

Untuk herpes zoster pada satu dermatom,


pemberian antivirus tidak dianjurkan. Tidak ada
elek terhadap neuralgia pasca-herpes. Pemberian
asiklovir atau vidarabin hanya pada pasien yang
disertai defisiensi imunologis.

hal ini asiklovir lebih unggul dari vidarabin.


Untuk HSV tipe 1 yang menimbulkan keratokonjungtivitis, dapat diberikan antivirus topikal pada
mata seperti vidarabin atau obat lama idoksuridin
0,1 %. Terakhir ada antivirus lopikal trifluridin yang
lebih baik dan kurang toksik.

4.4. TNFEKST CYTOMEGALOVTRUS (CMV)

lnfeksi HSV tipe 2 : Tipe 2 ini biasanya menimbulkan herpes genitalis. Bentuk primer dari herpes

Retinitis karena CMV pada pasien AIDS diberi


gansiklovir tetapi obat ini menimbulkan banyak efek
samping.

genitalis dapat diobati dengan asiklovir yang menghasilkan penyembuhan dan hilangnya rasa nyeri

lebih cepat. Obat asiklovir diberikan topikal 5 %


dalam bentuk salep, dioleskan 5-6 kali/hari selama

10 hari. Sebagai terapi oral, 9 kali/hari 200

mg

4.5. tNFEKSt EPSTETN-BARR VIRUS (EBV)

asiklovir,

Bentuk herpes genitalis yang rekuren tidak


dapat dihambat oleh asiklovir. Pemberian topikal

lnleksi EBV sebenarnya bersilat "self-limited"


sehingga tidak perlu terapi antivirus. Secara in vitro,
asiklovir, vidarabin dan gansiklovir memiliki aktivitas menghambat EBV.

asiklovir sama sekali tidak efektif sedangkan pemberian oral memberikan efek yang sedang.

4.3. TNFEKSTVTRUSVARTCELLA-ZOSTER

(vzv)

Bentuk lazim pada anak-anak biasanya ringan

dan tidak membutuhkan obat antivirus. Ada kalanya penyakitnya memberat, terutama pada pasien
yang disertai delisiensi imunologis. Untuk ini diberikan asiklovir atau vidarabin secara lV selama 5-7
hari.

4.5. HEPATITIS
Hanya inleksi kronis aktif hepatitis C telah
disetujui FDA Amerika Serikat untuk diterapi dengan interferon-c,.

Untuk infeksi hepatitis-8, masih dalam penelitian pada saat tulisan ini dibuat.

622

Farmakologi dan Terapi

43. PENISILIN, SEFALOSPORIN DAN ANTIBIOTIK


BETALAKTAM LAINNYA
Yati H.lstiantoro

1.

dan Vincent H.S.Gan

Penisilin
1.1. Sejarah dan sumber
'l .2. Kimia
dan pemilahan
'l

2.1. Kimia dan klasifikasi


2.2. Aktivitas antimikroba
2.3. Sifat umum

.3. Aktivitas antimikroba

1.4.
1.5.
1.6.
1.7.
1.8.

Farmakokinetik
Efek samping
Sediaan dan posologi
Penggunaan klinik
Pemilihan obat

2.4. lndikasiklinik
2.5. Monografi

3.

Antibiotik betalaktam lainnya


3.1. Monobaktam
3.2. Penghambat betalaktamase dengan
kombinasinya

Sefalosporin

3.3. Kombinasi karbapenem

1. PENISILIN
1.1. SEJABAH DAN SUMBER
Pada tahun 1928 di London, Fleming menemukan antibiotik pertama yaitu penisilin yang satu
dekade kemudian dikembangkan oleh Florey dari
biakan Penicillium notatum untuk penggunaan sistemik. Kemudian digunakan P. chrysogenum yang
menghasilkan penisilin lebih banyak.
Penisilin yang digunakan dalam pengobatan
terbagi dalam penisilin alam dan penisilin semisintetik. Penisilin semisintetik diperoleh dengan cara
mengubah struktur kimia penisilin alam atau dengan cara sintesis dari inti penisilin yailu asam
6-aminopenisilanat (6-4PA). Sebagai bahan dasar
untuk penisilin semisintetik, 6-4PA dapat pula diperoleh dengan memecah rantai samping.

1.2. KIMIA DAN PEMILAHAN


Penisilin dan sefalosporin merupakan kelompok antibiotik. betalaktam yang telah lama dikenal.
Pada permulaan tahun 1970 telah didapatkan kelompok ketiga antibiotik betalaktam yaitu kelompok

asam 6-amidinopenisilanat, dengan mesilinam sebagai antibiotik pertama dari kelompok ini.
Penisilin merupakan asam organik, terdiri dari
satu inti siklik dengan satu rantai samping. lnti siklik
terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam.
Rantai samping merupakan gugus amino bebas
yang dapat mengikat berbagai jenls radikal (Tabel
43- 1). Dengan mengikat berbagai radikal pada
gugus amino bebas tersebut akan diperoleh ber-

bagai jenis penisilin, misalnya pada penisilin G,


radikalnya adalah gugus benzil. Penisilin G untuk
suntikan biasanya tersedia sebagai garam Na atau
K. Bila atom H pada gugus karboksil diganti dengan
prokain, diperoleh penisilin G prokain yang sukar
larut dalam air, sehingga dengan suntikan lM akan
didapatkan absorpsi yang lambat, dan masa kerja
lama.
Beberapa penisilin akan berkurang aktivitas

antimikrobanya dalam suasana asam sehingga


penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral. Penisilin lain hilang aktivitasnya bila dipengaruhi enzim betalaktamase (dalam hal ini, penisilinase) yang memecah cincin betalaktam (Gambar
43-1). Radikal terlentu pada gugus amino inti 6-4pA
dapat mengubah silat kerentanan terhadap asam,

penisilinase, dan spektrum sifat antimikroba.


Beberapa bentuk ester penisilin, misalnya pivam-

Penisitin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya

Tabe| 43.1. STRUKTUR KIMIA DAN SIFAT BEBERAPA PENISILIN

Fr-c-NH

\,/c cH:
./.s.
-cH-cH
I I l\cn.

ttl
o:c-N-cH-cooH

Radikal pada gugus amino

Jenis penisilin

bebas (R)

Tahan

pffillfi;;-Tffi'

Spekttum

.ntlmlkroba

Penisilin alam

,la\- cHe-

sempit

(penisilin G)
Fenoksimetil penisilin

,^. )F OCHz((

sempit

Benzil penisilin

(Penisilin V)

Penisilin antistaf ilokokus


9cHg
sempit

Metisilin

\\_-7

Nafsilin

,'ru
\\-//

sempit

OCz H3

Penisilin isoksazolil
Oksasilin

(Rr=R2=H)
Kloksasilin
(Rr = Cl; Rz = H)
Dikloksasilin

(Rr=R2=6;;
Flukloksasilin
(R1

- Cl; Ra -

F)

c-cilll
N.
,c,
Rz
O CHs

sempit

624

Farmakologi dan Terapi

TAbEI 43-1. STRUKTUR KIMIA DAN SIFAT


BEBERAPA PENISILIN (SAMbUNgAN)

Jenis penisilin

Radikal pada gugus amino

(Rf

bebas

p"nl"irin""#+"*.,

":,t;fl:il

Aminopenisitin
Ampisilin

(Rr = H)

''O?"-

Amoksisilin
(R1 = oH)

-t

luas

Penisilin antipseudomonas

Karbenisiiin

Or"-

cooR

rikarsirin

qf!:;

luas

luas

cH-

luas

NHCO
I

1*..ro
Penisilin dengan spektrum diperluas

Or-

NHCO

Mezlosilin

(Y"
N

luas

\-N

SoeCHs

Piperasilin

luas

625

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betabnam Lainnya

pisilin dan bakampisilin, mempunyai bioavailabilitas


yang lebih baik. Silat umum beberapa penisilin yang
penting dan struktur kimianya dapat dilihat dalam
Tabel 43-1.

Stafilokokus yang resisten terhadap metisilin (methicitlin-resistant S. aureus = MRSA) harus dibasmi
dengan vankomisin atau siprof loksasin, Gonokokus

yang dahulu sangat sensitil terhadap penisilin G,


juga sudah banyak yang resisten. Obat terpilih
sekarang adalah seltriakson. Meningokokus cukup

sensitil terhadap penisilin G.

1.3. AKTIVITAS ANTIMIKROBA


SATUAN DAYA AKTIVITAS KERJA POTENSI
PENISILIN. Potensi penisilin dinyatakan dalam dua
jenis satuan. Untuk penisilin G biasanya digunakan
satuan aktivitas biologik yang dibandingkan terhadap suatu standar, dan dinyatakan dalam Unit lnter-

nasional (Ul). Satu miligram natrium-penisilin

murni adalah ekuivalen dengan 1667 Ul atau 1 Ul =

0,6 ug. Satuan potensi penisilin lainnya pada


umumnya dinyatakan dalam satuan berat.

AKTIVITAS DAN MEKANISME KERJA.

PCNiSiIiN

menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba (lihat
Bab 39). Terhadap mikroba yang sensitif , penisilin
akan menghasilkan efek bakterisid pada mikroba
yang sedang aktif membelah. Mikroba dalam keadaan metabolik tidak aktif (tidak membelah), yang
disebut juga sebagai persisfers, praktis tidak dipengaruhi oleh penisilin; kalaupun ada pengaruhnya
hanya bakteriostatik.

Mekanisme kerja antibiotik betalaktam dapat


diringkas dengan urutan sebagai berikut: (1 ) Obat

bergabung dengan penicillin- binding protein

(PBPs) pada kuman. (2) Terjadi hambatan sintesis


dinding sel kuman karena proses transpeptidasi
antar rantai peptidoglikan terganggu. (3) Kemudian
terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel. Di
antara semua penisilin, penisilin G mempunyai akti-

vitas terbaik terhadap kuman gram-positif yang

sensitif. Kelompok ampisilin, walaupun spektrum


AMnya lebar, aktivitasnya terhadap mikroba grampositif tidak sekuat penisilin G, tetapi elektil terhadap beberapa mikroba gram-negatif dan tahan
asam, sehingga dapat diberikan per oral.

SPEKTRUM ANTIMIKROBA. Penisilin G elektil


terutama terhadap mikroba gram-positif dan Spirochaetai selain itu beberapa mikroba gram-negatif
juga sangat sensitif terhadap penisilin G misalnya
gonokokus yang tidak menghasilkan penisilinase.

Di antara kokus gram-positif, enterokokus


yang terendah sensitivitasnya. Hampir semua infeksi oleh stafilokokus disebabkan oleh kuman
penghasil penisilinase dan karena itu harus di'
obati dengan penisilin yang tahan penisilinase.

Dari kuman gram-positif, C. diphtheriae dan B.


anthracis bersifat sensitil, sedangkan Clostridia dan
Listeria sensitivitasnya cukup memadai. Di antara
kuman gram-negatil hanya Sfr. moniliformis (Haver-

rhittia) dan P. multscida yang cukup sensitif,


sedangkan yang lain (enterobacteriaceae) kurang
atau sama sekali tidak sensitif.
Treponema pallidum, Leptospira, serta Act'
lsrae/ii juga sensitif terhadap penisilin G.
Penisilin V memiliki spektrum AM yang sama

dengan penisilin G. Metisilin spektrumnya lebih


sempit daripada penisilin G, karena tidak efektif
sama sekali terhadap mikroba gram-negatif. lndikasinya hanyalah untuk mengatasi inleksi stalilokokus
penghasil penisilinase. Aktivitasnya terhadap mikroba gram- positil lainnya juga kurang dari penisilin
G. Sifat metisilin ini juga merupakan silat umum
penisilin isoksazolil. Secara in vitro, aktivitas dikloksasilin dan tloksasilin (llukloksasilin) melebihi kloksasilin dan oksasilin, dan yang dua tersebut terakhir
aktivitasnya melebihi metisilin. Tetapi di klinik, perbedaan ini tidak bermakna sebab tingkat aktivitas
AM yang dikehendaki dapat dicapai dengan penye-

suaian dosis. Terhadap stafilokokus yang tidak


menghasilkan penisilinase, aktivitas penisilin isoksazolil, metisilin dan nafsilin umumnya kurang, bila
dibandingkan dengan Penisilin G.
Ampisilin merupakan prototip golongan aminopenisilin berspektrum luas, tetapi aktivitasnya terhadap kokus gram-positil kurang daripada penisilin
G. Semua penisilin golongan ini dirusak oleh beta-

laktamase yang diproduksi kuman gram-positif


maupun gram-negatif. Kuman meningokokus'
pneumokokus, gonokokus dan L. monocytogenes
sensitil terhadap obat ini. Selain itu H. influenzae,
E. coli dan Pr. mirabilis merupakan kuman gramnegatif yqng juga sensitil. Tetapi dewasa ini telah
dilaporkan adanya kuman yang resisten di antara
kuman yang semula sangat sensitif tersebut.
Umumnya pseudomonas, klebsiela, serrafia, asinobakter dan proteus indol positif resisten terhadap
ampisilin dan aminopenisilin lainnya.
Bakampisilin dan hetasilin memiliki spektrum
yang
sama dengan ampisilin, karena dalam
AM

tubuh membebaskan ampisilin sebagai hasil

626

Farmakologi dan Terapi

hidrolisis, Perbedaan amoksisilin dari ampisilin,


ialah kurangnya efektivitas terhadap sigelosis.

sukar dirusak oleh enzim tersebut, misalnya oksasilin, nafsilin dan metisilin.

Yang termasuk dalam kelompok penisilin anti-

pseudomonas ialah golongan karboksipenisitin

(karbenisilin, natrium indanil karbenisitin dan tikar-

s/in) dan ureidopenisilin (azlosilin, mezlosilin dan


piperasilin). Karbenisilin efektif terhadap pseudomonas dan strain proteus yang resisten terhadap
ampisilin; Batang gram- negatif yang paling sensitif
adalah Pr. mirabilis. Resistensi terhadap karbenisilin cepat timbul, khususnya dalam percobaan in
vitro. Tikarsilin memiliki sifat yang sama dengan
karbenisilin, kecuali aktivitasnya terhadap pseudomonas lebih baik. Selain itu tikarsilin juga aktif terhadap Bact. f ragrTis. S u lben is ili n, mem pu nyai spektrum antibakteri seperti karbenisilin. Azlosilin mempunyai daya antipseudomonas 10 kali lebih kuat
dari karbenisilin. Mezlosilin mempunyai daya antipseudomonas yang sebanding dengan tikarsilin.
Obat ini juga lebih kuat daya antibakterinya terhadap klebsiela dibandingkan dengan karbenisilin.
Piperasilin mempunyai daya antipseudomonas me-

nyerupai azlosilin, sedangkan terhadap klebsiela


aktivitasnya serupa dengan mezlosilin.

1.4. FARMAKOKINETIK
ABSORPSI. Penisilin G mudah rusak dalam suasana asam (pH 2). Cairan lambung dengan pH 4
tidak terlalu merusak penisilin. Garam Na penisilin
G yang diberikan oral, diabsorpsi terutama di duodenum. Absorpsi di duodenum ini cukup cepat, teta-

pi hanya 1/3 bagian dosis oral diserap. Adanya


makanan akan menghambat absorpsi, yang mung-kin disebabkan absorpsi penisilin pada makanan.
Kadar maksimal dalam darah tercapai dalam 30
sampai 60 menit. Sisa 2/3 dari dosis oral diteruskan
ke kolon. Di sini terjadi pemecahan oleh bakteri dan
hanya sebagian kecil obat yang keluar bersama
tinja.
Bila dibandingkan dosis oral terhadap lM, maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah,
dosis penisilin G oral haruslah 4 sampai 5 kali lebih
besar daripada dosis lM. Oleh karena itu penisilin G
tidak dianjurkan untuk diberikan oral.

Larutan garam Na-penisilin G 300 000 Ul (180 mg) yang disuntikkan lM, cepat sekali diab-

RESISTENSI. Sejak penisilin mulai digunakan,


jenis mikroba yang tadinya sensitif makin banyak
yang menjadi resislen.

sorpsi dan menghasilkan kadar puncak dalam plas-

Mekanisme resistensi terhadap penisilin ialah:

sampai 30 menit. Untuk memperlambat absorpsi-

1. Pembentukan

enzim betalaktamase misalnya

pada kuman S. aureus, H. influenzae, gonokokus dan berbagai batang gram-negatif. Dewasa
ini dikenal sekitar 50 jenis betalaktamase. pada
umumnya kuman gram-positif mensekresi beta-

laktamase ekstraseluler dalam jumlah relatil

2.
3.

4.

besar, Kuman gram-negatil hanya sedikit menghasilkan betalaktamase tetapi tempatnya strategis, yaitu di rongga periplasmik di antara membran sitoplasma dan dinding sel kuman. Kebanyakan jenis betalaktamase dihasilkan oleh
kuman melalui kendali genetik oleh plasmid.
Enzim autolisin kuman tidak bekerja sehingga
timbul sifat toleran kuman terhadap obat.
Kuman tidak mempunyai dinding sel (misalnya
mikoplasma).
Perubahan PBP atau obat tidak dapat mencapai
PBP.

Enzim penisilinase, selain bersifat konstitutif


pada mikroba tertentu, dapat pula dirangsang pembentukannya justru dengan penggunaan penisilin
yang pada dasarnya merupakan substrat yang

ma setinggi

Ul (= 4,8 ug/ml) dalam waktu

15

nya, penisilin G dapat diberikan dalam bentuk repositori, umpamanya penisilin G benzatin, penisilin G
prokain sebagai suspensi dalam air atau minyak.

Penisilin tahan asam pada umumnya dapat


menghasilkan kadar obat yang dikehendaki dalam
plasma dengan penyesuaian dosis oral yang tidak
terlalu bervariasi; walaupun beberapa penisilin oral
diabsorpsi dalam proporsi yang cukup kecil. Adanya
makanan akan menghambat absorpsi; tetapi beberapa di antaranya dihambat secara tidak bermakna.
Penisilin V walaupun relatif tahan asam, 30% mengalami pemecahan di saluran cerna bagian atas,
sehingga tidak sempat diabsorpsi.

Jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya


yang diabsorpsi pada pemberian oral dipengaruhi
besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam
saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase
yang diabsorpsi relatil lebih besar.
Absorpsi ampisilin oral tidak lebih baik daripada penisilin V atau lenetisilin. Adanya makanan
dalam saluran cerna akan menghambat absorpsi
obat. Perbedaan absorpsi ampisilin bentuk trihidrat
dan bentuk anhidrat tidak memberikan perbedaan

628
Farmakologi dan Terapi

, Ampisilin juga didistribusi luas di dalam tubuh


dan pengikatannya oleh protein pfa"mu
nanya ZOZ..
Ampisilin yan g masuk.ke dalam

Data farmakokinetik beberapa jenis penisilin

tercantum di Tabel 43_2.

sirkulasi enterohepatik, tetapi yang


"rnp"O","'.galami
Oietstiresi

sama finja jumlahnya cut<up tinggi. penetrasiOer_


'paO" ke
CSS

dapat mencapai t<aOaryanj"ef"f,tif


fe_
adaan peradangan mening"n. pu-0"
oronrlti",
pneumonia, amplsilin disekresi
"tu,
ke dalam sputum
:;ek*rif 10% kadar serum. Bila diberikan
,"""u,
,"_
betum persatinan, datam satu jam
xuJ"iol-rl'h r"trc
menyamai kadar darah ibunya. pada
bayi prematur
dan neonatus, pemberian ampisirrn
me'nin"",,*un
kadar.darah yang lebih tinggi dan
O"rtui"n f"Oin
lama dalam darah.

Distribusi amoksisilin secara garis


besar sama

dengan ampisitin. Karbenisitin

;;;;-;;;rny"

memperlihatkan sifat distribusi yang


sama Oengan
penisilin lainnya termasuk oistribusi
tu
J"f",
pedu, dan dapat mencapai
"r_
CSS paOa meniigitis.
BIOTRANSFoRMASI DAN EKSKRESI.
BiotTansformasi penisilin umumnya dilakukan
oleh mikroba.

Proses biotransformasi oleh hospes


tiO"t

Our_
makna berdasarkan pengaruh
p"ruririnur"
dan amidase. Akibat pengaruh "n.irn
penisilinase terjadi

pemecahan cincin betalaktam,


dengan kehilangan

seluruh aktivitas antimikroba. nmiO"ase


meriecan
rantai samping (radikal ekor), dengan
akibat penu_
runan potensi antimikroba yang
sangat rn"n"llok.
Di antara semua penisilin, n-uny" p"nlritin
isoksazolil, metisilin dan nafsilin yang
iahan terha_

dap pengaruh penisilinase; sedangkan


amidase

da_
pat mempengaruhi semua penisilin
tanpa kecuali.
Untungnya tidak banyak mii<roba
V".g ill"nh"r,,
kan enzim amidase.
Penisilin umumnya diekskresi melalui
proses
sekresi di tubuli ginjai yang dapat
dihambat oteh
probenesid. Masa paruh eliminasi
p"nirifin 0"f",
darah diperpanjang oleh probene"io
,""i"li z-s
kali lebih lama. Selain probenesid,
O"l"rupJ'oOat
!i.n iusa meningkatkan masa paruh eliminasi peni_
silin dalam darah, antara lain fenilbutai"rr-rlffi"_

pirazon, asetosal dan indometurin.

f"gu;frn

fu.ngsi ginjal sangat memperlambat


efsXiel"peni_
silin.
_Sebagai contoh, masa paruh eliminasi karbenisilin yang pada ginjal sehat
sef,itarcatu iam
!.a9a11gmanlang menjadi 15 jam. Kr.;i";;;1rn

nya tidak terjadi karena peningkatan


biotransfor_

masi di hepar.
Sebanyak 7S-gS% dari dosis karbenisilin
dida_

patkan di urin dalam bentuk


aktil setelan g-iurn

pemberian.

1.5. EFEK SAMPING


Efek samping dari penisilin alam
maupun sin-

tetik dapat terjadi pada semua


p"ilO"rian,
dapat melibatkan berbagai organ
""raJu-n
luringun
secara terpisah

maupun bersama-sama Oan dapat


muncul dalam bentuk yang ringan
iutul.

Frekuensi kejadian efek samping


"urpuiiervariasi,

tergantung dari sediaan dan cara p"rn6"riun.


euA"
umumnya pemberian oral lebih jarang
menimbulkan
efek samping daripada pembeiian pur"nt"rui
REAKSI ALERGI. Reaksi alergi
merupakan bentuk
efek samping yang tersering OUumpui
pudl gotong-

an penisilin bahkan penisilin

khurrrny""rn"rr_

pakan salah satu obat yang


tersering ,"nirUril
reaksi atergi. Terjadinya reaksi alergidiOunuiui
"n
of"n
adanya sensitisasi. Namun mereka yang
belum per_
nah diobati dengan penisilin Oapat
iuga"menoatami
reaksi alergi. Dalam hal ini diduga
sln"sitisasiier;aOi
akibat pencemaran lingkungun-ol"n p";;il;;.
Berdasarkan penelitian reaksi alergi
oOut O"_
ngan penisilin G, diketahui bahwa
deterririnan anti_

g:lfj-":"itin rerbagi datam dua kerompok yatru


oerermtnan major dan determinan
minor. pembagian ini didasarkan atas kadar
hapten yung t"rU"n_
tuk... Determinan major terdiri
dari O"n.iiplnirifin
polilisin, sedangkan determinan
minor meiupat<an
suatu..kelompok yang terdiri dari
campuran Lenzll
penisilin, benzil penisiloat, dan
atta_nenzii penisi_
loilamin. Antibodi terhadap Oeterminan
mui5r. Ou"
minor bersifat skin_ sensitizrng, sehingga
J"igun ,1i
kulit sukar membedakan masing_
,iJing oe"termi_
nan tersebut. Reaksi alergiimmediafe
Oa-n sinOrom
artralgia rekurens biasanya berhubungan
J"ngun
hapten determinan_minoi. Reaksi
rated, late urticarial, beberapa r.eufri
"r"rgi
""L/"_
,ia[rLp"_
pular dan eritema berhubungan
dengan ,,"pi", O"_
lerminan major. Tidak semua orang yang
memiliki
antibodi-antipenisilin akan mengalami
reiksi alergi

jika diberi obat ini. Tetapi


sudah ny"tu Oun*"rn"r"_
Ka yang bersifat atopik lebih
besar kemungkinannya
untuk mengalami reaksi alergi penisili

Manifestasi klinik reaksi alergi penisilin


yang
terberat adalah reaksi anafilaksis-yang
i"i*lrrt
dalam kelompok reaksi alergi immeiiar.
nuukri ini
Oanlat<.rerjadi pada pemberiun
l1!1n,
tetapi pemberian oral dan pemberian
uji kulit intra-

p"*r".r,

629

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalakam Lainnya

dermal dapat pula menimbulkan reaksi analilaksis


yang fatal. Reaksi alergi yang lain yang silatnya

berat adalah angioedema, penyakit serum, dan


lenomena Arthus.
Nefropati oleh penisilin (penisilin G, metisilin
dan ampisilin), berupa nelritis interstitium, diperkirakan terladi berdasarkan mekanisme reaksi imun

yang tidak tergantung dari dosis dan lamanya


terapi, khususnya pada penisilin G dan metisilin;
sedangkan ampisilin menimbulkan nelropati yang
ada hubungannya dengan kadar obat yang tinggi
dalam serum. Walaupun nefropati penisilin lebih
didasarkan atas mekanisme reaksi imun, tidak
dapat disingkirkan kemungkinan adanya elek nefrotoksik langsung oleh penisilin yang diberikan dalam
dosis yang sangattinggidan untuk masa yang lama.
Di antara ketiga penisilin tersebut, metisilin yang
tersering menyebabkan nelritis interstitium; bahkan

telah dikemukakan bahwa lrekuensi kejadian elek


samping lebih tinggi dari yang disangka selama ini.
Anemia hemolitik oleh penisilin juga terjadi
berdasarkan mekanisme reaksi imun dengan zat
anti lgG atau lgM, atau kedua-duanya terlibat dalam
kejadian ini.
Gangguan lungsi hati oleh penisilin diperkirakan berdasarkan mekanisme reaksi imun pula dan
dapat berkembang sampai men.iadi hepatitis anikterik dengan nekrosis sel hati tanpa kolestasis.
SGPT, SGOT, CPK dan fosfatase alkali meningkal
cukup tinggi. Selain oleh karbenisilin, efek samping
ini dapat pula ditimbulkan oleh ampisilin dan oksasilin. Reaksi alergi yang silatnya ringan sampai
sedang berupa berbagai bentuk kemerahan kulit,
dermatitis kontak, glositis, serta gangguan lain pada
mulut, demam yang kadang-kadang disertai menggiggil. Yang paling sering terjadi di antara semuanya, adalah kemerahan kulit.
Tindakan yang diambil terhadap reaksi alergi
ialah menghentikan pemberian obat dan memberi
terapi simtomatik dengan adrenalin' Bila perlu diberikan tambahan antihistamin dan kortikosteroid sesuai dengan kebutuhan. Pemberian antihistamin
sebelum atau bersama-sama dengan pemberian
penisilin tidak bermanlaat untuk mencegah reaksi
alergiyang berat (analilaksis), sebab reaksi ini diperantarai oleh berbagai zat, termasuk histamin' serotonin dan bradikinin.

Syok anafilaksis. Untuk menanggulangi syok analilaksis akibat pemberian penisilin atau obat lain,
diberikan sesegera mungkin larutan adrenalin 1 :
1.000 secara lM sebanyak 0,3-0,4 ml. Tidak dibe-

narkan memberikan adrenalin sampai 1 ml, karena


dengan dosis tinggi ini dapat terladi reaksi paradoksal yaitu dominasi efek terhadap adrenoseptor beta
pada pembuluh darah otot sehingga dapat memperburuk keadaan dengan lebih menurunkan tekanan
darah penderita. Bila dalam 5 menit tekanan darah
penderita belum mencapai 90 mmHg, perlu diberikan lagi larutan adrenalin lM dengan dosis dan cara
yang sama. Hal ini perlu diulang sampai beberapa

kali tiap 5-10 menit apabila tekanan darah sistolik


masih juga belurn mencapai 90 mmHg' Pada
umumnya untuk mengatasi syok anafilaksis akibat
pemberian obat diperlukan 1 sampai 4 kali suntikan
0,3 - 0,4 ml adrenalin lM. Pada syok berat dan lama
dapat diberikan hidrokortison 100 mg atau deksametason 5-10 mg secara lV atau lM sebagai
tambahan, yang berelek permisif terhadap adre-

nalin. Pemberian antihistamin lM tidak elektif dan


tidak dianjurkan. Bila terjadi henti jantung dan henti
napas, harus segera dilakukan tindakan dan perawatan intensif gawat- darurat yaitu dengan tindakan
resusitasi kardioPulmonal.
Penderita yang pernah mengalami reaksi alergi penisilin, termasuk individu berisiko tinggi terhadap keadaan tersebut, selanlutnya tidak boleh
mendapat Penisilin.

REAKSI TOKSIK DAN IRITASI LOKAL. PAdA


manusia, penisilin umumnya tidak toksik. Banyak di
antara reaksi yang digolongkan sebagai efek toksik
terjadi berdasarkan silat iritatif penisilin dalam kadar
tinggi. Batas dosis tertinggi penisilin yang dapat
diberikan secara aman belum dapat dipastikan. Sejumlah orang pernah diberi penisilin G lV sebanyak
40-80 iuta unit sehari selama 4 minggu tanpa memperlihatkan elek samping. Pada penderita tertentu
kandungan natrium sediaan ini mungkin menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit.
Hanya sebagian kecil kemerahan kulit oleh
ampisilin berdasarkan reaksi alergi dan di sini pemberian ampisilin harus dihentikan. Namun sebagian
besar kemerahan kulit diperkirakan karena reaksi

toksik. Kemerahan ini bersifat difus, tidak gatal'


berbentuk makulo papular dan bersifat nonurtikarial. Kemerahan kulit ini sering timbul 7-1 0 hari
setelah dimulainya terapi dan menghilang sendiri
walaupun pemberian ampisilin diteruskan. Efek
samping ini sering timbul bila ampisilin diberikan
kepada penderita infeksi virus misalnya mononukleosis infeksiosa. Jadi sebaiknya penisilin tidak diberikan pada pasien mononukleosis.

630

Farmakologi dan Terapi

Suntikan lM dapat menyebabkan rasa nyeri


dan reaksi peradangan steril di tempat suntikan,

sedangkan suntikan lV dapat menyebabkan flebitis


atau tromboflebitis. lritasi saluran cerna yang
terjadi

pada

brang tertentu dapat menyeOaOtai muat,


muntah dan diare. Suntikan intratekal atau intrasis_
ternal dapat menyebabkan araknoiditis ataupun
en_
sefalopati berat sampai latal.
. Metisilin dianggap derivat penisilin yang paling

sering menimbulkan efek samping nelritis inrersti_


tium, namun efek samping ini jaring lerjadi. pada
biopsi tampak adanya inliltrat monon-uH"us
dengan

eosinofilia dan kerusakan tubuli. Selain itu di


dalam

interslitium terdapat imunoglobulin G (lgG).


Ampisilin dapat menyebabkan ruam kulit yani tidak
ber_
dasarkan reaksi alergi, berupa detayed-Zrythema.
Diatesis hemoragik merupakan efek samping
lain yang dapat disebabkan ojeh karbenisilin,
dan
ini mungkin akibat terganggunya fungsi trombosit
oleh suatu metabolit karbenisiiin. DiJtesis hemo_
ragik dapat pula ditimbulkan oleh tikarsilin,
ampi_
silin, metisilin dan penisilin G.
Efek toksik penisilin terhadap susunan saraf
menimbulkan gejala epilepsi grand mal, dan
ini
dapat ditimbulkan dengan pemberian penisilin
lV
dosis besar sekali. Dasar kejadiannya diperkirakan
akibat depolarisasi parsial dan peningkaian
eksita_

bilitas membran neuron.

PERUBAHAN BIOLOGIK. perubahan biologik


oleh
penisilin terjadi akibat gangguan flora
bakteridi ber_
bagai bagian tubuh. Abses dapat terjadi pada
tempat suntikan dengan penyebab stafilokokus
atau

bakteri gram-negatif. Gejala pelagra, terutama pada

daerah selangkang dan skrotum, mungkin


blrhu_
dgngan gangguan ftora usus yJng ,"ng"9.t1ng."n
kibatkan defisiensi asam nikotinat,
LAIN-LAIN. Hambatan pembentukan imunitas
terhadap.mikroba penyebab infeksi dapat terjadi
ter-

utama bila penisilin diberikan terlalu dini dalam pro-

ses infeksi dan dengan dosis besar.


Pada pasien sifilis yang diberi penisilin dapat
terjadi reaksi Jarisch-Herxheimei yang berat.
Reaksi ini didasari oleh suatu met<anisie yang
belum diketahui, tetapi tidak berdasarkan
meka_

nisme sensitisasi ataupun alergi terhadap penisilin.

1.6. SEDIAAN DAN POSOLOGI

Penlsilin G (benzil penisilin) biasanya digunakan


secara parenteral. Sediaan terdapat dalam bentuk

penisilin G larut air dan repositor untuk


suntikan lM.

Bubuk penisilin G larut air biasanya terdapat se_


bagai garam natrium atau kalium dalam vial (atau
ampul), berisi 200 ribu sampai 20 juta unit dalam
bentuk bubuk. Larutan disediakan J"ngan penambahan suatu pelarut (akuades, gararir fisiotogik,

atau larutan dekstrosa 5%), sehingga didapat


kadar
'100.000-300.000
unit per ml. KeOui garam penisilin
yang larut dalam air ini dapat digunaian
uniuk sun_
tikan SK, lM, lV atau intratekal.
Sediaan penisilin G repositor adalah penisilin
G prokain, penisilin G benzatin, penisilin G prokain
dengan suspensi aluminium monostearat dalam
minyak. Dengan sediaan repositor ini masa kerja
penisilin dapat diperpanjang, karena absorpsinya

terjadi berangsur-angsur. preparat campuran


garam sukar larut (prokain atau benzatin)
dengan
garam mudah larut (natrium atau kalium)
tersedia
untuk maksud memperoleh kadar efektif dalam

darah secara cepat dan bertahan lama. Sediaan


penisilin G oral tidak dipasarkan di lndonesia.
Dosis penisilin G tergantung jenis sediaannya
(repositor atau bukan), jenis din berat penyakit.

Penisilin V (fenoksimetil penisilin) tersedia sebagai


garam kalium, dalam bentuk tablet 250
mg dan 625
mg dan sirup 125 mg/5 ml.
Penisilin isoksazolil terdapat sebagai sediaan oral
(garam natrium) dalam bentuk tablet, kapsul
125

mg, 250 mg, dan 500 mg; suspensi 62,5 mg/S


ml
-Untuk

dan 125 mg/5 ml; bubuk kering O2,S mg.

pemberian parenteral juga sebagai garam


natrium
tersedia dalam vial 2S0 mg, S00 mg, dan 1 gram.
Yang dipasarkan di lndonesia aOaLn klokslsitin,

dikloksasilin dan llukloksasilin. Dosis oksasilin,

kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin adalah


4-6 x
250-500 mg/kg BB sehari (anak 5O_100 mg/kg
BB/
hari). Untuk infeksi berat diberikan a_tZ giiii ae_

ngan infus intermitten.

Ampisilin untuk pemberian oral tersedia dalam

bentuk tablet atau kapsul sebagai ampisilin trihidrat


atau ampisilin anhidrat 125 mg, 250 mg, 500
mg dan

1000 mg sedangkan untuk bubuk suspensi "sirLip


mengandung 125 atau 500 mg/5 ml. Selain
itu,

ampisilin tersedia juga untuk suntikan dalam


ukuran
0,1; 0,25; 0,5 dan 1 g per vial. Dosis ampisilin
tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal
dan
umur penderita. Garis besar penentuan dosis
ialah
sebagai berikut : Dewasa, penyakit ringan sampai
sedang diberikan 2-4 g sehari, dibagi ;ntuk 4
kali

pemberian; untuk penyakit ber;t sebaiknya

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya

diberikan preparat parenteral sebanyak 4_g g

se_

hari. Pada meningitis bahkan dibutuhkan dosis lebih

tinggi lagi.
Untuk anak dengan berat badan kurang dari
20 kg diberikan per orat : 50-100 mg/kgBB Jehari
yang dibagi datam 4 dosis; tM : 100_ 200 mg/kgBB
sehari yang dibagi dalam 4 dosis, bayi berumur
kurang dari 7 hari diberi 50 mg/kgBB sehari dalam
2 dosis, bayi berumur lebih dari 7 hari diberi 75
fOfOAA seharidibagi dalam 3 dosis; tV: empat kali

631

tisemia, infeksi kulit dan jaringan lunak, saluran


napas, saluran kemih dan intra-abdominal untuk

terapi Ps. aeruginosa sistemik, dianjurkan agar ti_


karsilin dikombinasikan dengan aminoglikosida,
karena kombinasi ini mempunyai efek sinLrgistik.
Setiap gram tikarsilin mengandung 5,2 mEq
natrium, sehingga pada dosis besar dapat meningkatkan kadar natrium misalnya pada penyakit ginjal,

250-500 mg sehari. Untuk meningitis, diberikan

jantung atau hati, selain itu kadar enzim hati dalam


serum dapat sedikit meningkat (ALT, AST) akibat

Amoksisilin tersedia sebagai kapsul atau tablet

antipseudomonas lain dapat menghambat kerja


aminoglikosida bila dicampur, karena itu pembe-

'150-250 mg/kgBB
sehari dibagi dalam 6-8 dosis.

berukuran 125,250 dan 500 mg dan sirup 125 mg/5


ml. Dosis sehari dapat diberikan lebih kecil daripada

ampisilin karena absorpsinya lebih baik daripada

ampisilin, yaitu 3 kali 250-500 mg sehari.

Karbenisilin tersedia untuk suntikan sebagai

garam natrium dalam vial 1 ,

2,5, dan 10 g. pada

infeksi berat, dosis dewasa berkisar 25_30 g sehari;


beberapa penderita bahkan pernah diOeri 35_40 g

sehari. Pemberian lV, sebaiknya tidak melebihi 2_


2,5 g setiap dua jam. Bayi muda dengan infeksi

pemberian tikarsilin. Tikarsilin dan penisilin sebagai

riannya harus terpisah. Selain itu bila tikarsilin dibe_


rikan bersama heparin dan oral antikoagulan, dapat

terjadi peningkatan elek antikoagulan secara ber_


lebihan.
Dosis pada pemberian lM untuk terapi infeksi
saluran kemih (lSK) tanpa komplikasi, dosis maksimum 2 g. Untuk ISK berat, tikarsilin perlu diberikan
secara lV. Dosis lV untuk ISK berat dengan kom-

plikasi dan untuk infeksi sistemik. Tikarsilin

berat dosis hariannya dapat sampai setinggi 600_

dinatrium diberikan dengan lV lambat atau intermiten atau infus kontinu. Untuk infeksi berat, misal-

dosis tidak boleh melebihi 2 g untuk setiap g_12 jam.

nya septisemia, saluran napas, intra abdominal dan


saluran reproduksi dan jaringan pelvik wanita, pada
dewasa dosis yang dianjurkan 200 sampai 300 mg/

800 mg/kgBB. pada gangguan faal ginjil berat,

Pada saat ini karbenisilin tidak dipasarkan di

donesia.

ln_

Karbenisilin-indanil tersedia dalam bentuk tablet


500 mg (ekivalen dengan 3g2 mg karbenisilin).
Dosisnya berkisar antara 500-1000 mg 4 kali sehari

tergantung berat dan jenis infeksi. Obat ini tidak


tersedia di lndonesia.

Sulbenisilin untuk suntikan tersedia dalam vial 1 g.


Dosis yang dianjurkan ialah dewasa 2-4 g sehari,

anak 40-80 mg/kgBB sehari, terbagi 2_4 kali suntikan lV atau dengan infus.

Tikarsilin
Tikarsilin suatu karboksipenisilin yang tidak
diabsorpsi melalui saluran cerna, sehinggJ harus
diberikan secara parenteral (lV dan lM). Spektrum

aktivitas antibakterinya terhadap bakteri gram

negatif lebih luas dari aminopenisilin, termasui ter_


hadap Ps.aerugrnosa dan golongan B.fragitis.
Tikarsilin dapat dihidrolis oleh berbagai jenis
.betalaktamase.

Tikarsilin terutama diindikasikan untuk infeksi


oleh Ps. aeruginosa. Dapat digunakan untuk sep_

kg/hari dibagi tiap 4 jam atau 6 jam pemberian;

untuk anak-anak berat < 40 kg, 200_300 mg/kg/hari

dibagi tiap 4 jam sampai 6 jam pemberian (< dosis


dewasa). Untuk bayi umur < 7 hari dari berat > 2 kg,
dosis 225 mg/kg/hari dibagi tiap 8 jam pemberian;
bila > 7 hari dan berat > 2 kg, dosis 300 mg/kg/hari
dibagi tiap 6 jam '12 jam pemberian.

Untuk ISK tanpa komplikasi, pada dewasa


dosis yang dianjurkan 4 glhari dibagi tiap 6 jam

pemberian, anak berat < 40 kg, dosis 50 sampai 100

mg/kg/hari dibagi tiap 6 sampai 8 jam pemberian.


Untuk ISK dengan komplikasi, untuk dewasa dan
anak-anak dosis 150 sampai 200 mg/kg/hari dibagi
tiap 4 sampai 6 jam pemberian.

Azlosilin, mezlosilin, piperasilin. Obat_obat ini


tergolong ureidopenisilin yang merupakan derivat
baru penisilin spektrum luas. penisilin baru ini diin_

dikasikan untuk infeksi berat oleh kuman . gramnegatif, termasuk di antaranya ps. aeruginosa,
Proteus indol positif dan enterobakter. Ketiganya
lebih poten daripada karbenisilin terhadap kuman
gram-negatif.

Farmakologi dan Terapi

1.7. PENGGUNAAN KLINIK


INFE.KSI KOKUS GRAM-POSITIF

INFEKSI PNEUMOKOKUS. Penisilin c sampaisekarang masih tetap elektif terhadap semua jenis
infeksi pneumokokus.

Pneumonia. Dosis penisilin G prokain 0,6 juta unit


setiap 12 jam selama 7-10 hari biasanya sudah
mencukupi untuk kasus-kasus tanpa komplikasi.
Penisilin V oral dan penisilin semisintetik tidak digunakan pada penyakit ini.

Meningitis. Penisilin sangat mengurangi mortalitas


meningitis oleh pneumokokus. Dosis yang dianjurkan ialah 20-24 juta unit penisilin G sehari; dapat
diberikan dengan tetesan atau bolus lV tiap 2-3 jam.
Lama pengobatan sekitar 14 hari.

Endokarditis oleh pneumokokus (larang dijumpai)


memerlukan penisilin G 12-2O juta unit sehari.

Lain-lain. Berbagai pneumokokus memerlukan


dosis penisilin yang lebih tinggi daripada dosis
untuk penyakit-penyakit tersebut di atas, bahkan
sampai 10-20 juta unit sehari. Termasuk dalam
kelompok ini : infeksi supuratil seperti artritis, osteomielitis, mastoiditis, peritonitis, perikarditis. Dasar
pertimbangan dosis tinggi ialah kesulitan penetrasi
obat ini ke dalam eksudat purulenta yang kadar
fibrinnya cukup tinggi. Untuk lebih mudah mencapai
kadar yang tinggi dalam darah dan jaringan digunakan larutan air penisilin G parenteral. Dalam hal ini
terapi diteruskan paling sedikit 2 minggu. Untuk
pengobatan dan pencegahan penyebaran intrakranial dan infeksi telinga tengah dan sinus paranasal oleh pneumokokus diberikan 0,3 juta sampai
0,6 juta unit prokain penisilin G lM tiap 12 jam.
Khusus untuk kedua penyakit ini ampisilin mungkin
lebih tepat, obat ini juga elektit terhadap mikroba
lain yang dapat merupakan penyebabnya pula,
misalnya H. influenzae.

INFEKSI STREPTOKOKUS. lnfeksi streptokokus


yang paling sering terjadi (95%) pada manusia disebabkan oleh Str. pyogenes grup A (streptokokus
p-hemolitik), streptokokus. a-hemolitik dan streptokokus nonhemolitik. Sensitivitasnya terhadap penisilin G bervariasi, tetapi sebagian besar strain sensitil terhadap konsentrasi yang rendah. Streptokokus anaerobik dan enterokokus pada umumnya
sukar diatasi dengan penisilin, tetapi cukup sensitif

bila penisilin digabung dengan antibiotik amino-

glikosid. Sebagai pengecualian ialah ampisilin merupakan obat terpilih terhadap Str. faecalis.

Faringitis dan skarlatina. Terapi dengan penisilin


G adalah yang terbaik untuk penyakit ini khususnya

untuk mencegah timbulnya demam reumatik. Tetapi


penisilin V oral cukup efektif bila diberikan 500 mg

tiap 6 jam selama 10 hari. Faringitis supuratif sebaiknya diberi 0,6 juta unit penisilin G prokain setiap
hari selama 10 hari, alau 1,2 juta unit penisilin G
benzatin lM untuk satu kali. Anak di bawah 5 tahun
diberi setengah dosis tersebut. Pada penderita kelompok pediatrik dianjurkan pemberian 0,9 juta unit
penisilin G benzatin dengan 0,3 juta unit penisilin G
prokain untuk satu kali pemberian, sedangkan
untuk dewasa cukup digunakan suntikan tunggal lM
penisilin G benzatin 1,2 juta unit. Agar kadar elektif
dalam darah tercapai dengan cepat, dapat dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian penisilin yang
larut dalam air sebanyak 0,3 juta unit lM.

Demam reumatik. Penisilin sangat berharga untuk


mencegah eksaserbasi penyakit ini, sebab lebih
efektif dan lebih aman daripada sulfonamid. Untuk
profilaksis pada anak diberikan penisilin V 0,2 juta
unit, dua kali sehari. Pada prolilaksis secara parenteral sebaiknya digunakan penisilin G benzatin 1,2
juta unit untuk dewasa, dan untuk anak di bawah 5
tahun diberikan 0,6 juta unit lM satu kali tiap 2-3
minggu. Anak yang pernah menderita reuma dan
tidak mendapatkan terapi profilaksis, harus segera
diberikan penisilin setiap kali ia mengalami infeksi
streptokokus. Selain itu penisilin juga harus diberikan sebelum tonsilektomi atau ekstraksi gigi pada
kasus demam reumatik.

Meningitis. Dosis penisilin G untuk dewasa adalah


2-3 juta unit setiap 6 jam, diberikan secara lV selama tidak kurang dari 2 minggu.
Pneumonia. lnfeksi paru ini diobati sama dengan
cara terapi meningitis oleh streptokokus. Terapi dini
diperlukan untuk mencegah komplikasi, misalnya
empiema. Empiema yang sudah ada sewaktu terapi
dimulai, diobati seperti empiema oleh pneumokokus.

Otitis media akut dan mastoiditis terutama yang


bersifat purulenta sebaiknya diberi penisilin paren-

teral. Bila terpaksa diberikan penisilin V per oral,


maka dosisnya adalah 0,4 juta unit setiap 6 jam,
selama 2 minggu. Untuk anak-anak diberikan dosis

yang sama tetapi dengan lrekuensi 3-4 jam sekali


karena ekskresi penisilin lebih cepat berlangsung

633

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya

pada kelompok umur ini. Ampisilin per oral cukup


otitis media akut. Mastoiditis harus
diberi penisilin G lM sebanyak 0,5 juta unit setiap
3-4 jam selama 2 minggu untuk mencegah komplikasi intrakranial yang silatnya lebih berat lagi.
Untuk orang dewasa diberikan 1-Zjula unit penisilin
lM setiap 6 jam selama 2 minggu.

efektil pada

Endokarditis. lnfeksi yang sifatnya akut oleh

Str.
pyogenes, tadinya bersifat fatal. Diagnosis dini dan

pengobatan segera dengan penisilin memberikan


hasilyang memuaskan pada5O-75% kasus. Sediaan yang terpilih adalah penisilin G lV sebanyak 3-5
juta unit setiap 6 jam selama 4 minggu. Terapi dini
diperlukan untuk mencegah kerusakan katup .jantung serta gagal jantung berat.
Endokarditis subakut yang disebabkan oleh
streptokokus lain, di antaranya Str. viridans, memerlukan uji sensitivitas terhadap penisilin lebih
dahulu, sebab banyak di antara penyebabnya yang
resisten terhadap obat ini. Dengan adanya kemoterapi dan perawatan yang baik, angka kematian
oleh endokarditis subakut yang tadinya mendekati
100%, telah turun mendekati 5%.
Bila etiologinya Str. viridans yang sensitif terhadap penisilin, maka terapinya penisilin G prokain
1 ,2 jula unit lV setiap 6 jam yang diberikan selama
paling sedikit 2 minggu. Alternatif yang lebih sederhana adalah penisilin V 600-750 mg per oral setiap

4 jam, ditambah streptomisin 0,5-1 g lM setiap 12


jam, dan terapi ini diberikan selama 2 minggu. Bila
diperlukan dapat diberikan penisilin lV untuk harihari pertama.
Endokarditis oleh enterokokus dapat diobati
dengan penisilin G 3- 5 juta unit lV setiap 6 jam,
ditambah streptomisin 0,5-'l g lM setiap 12 jam dan
diberikan selama 4 minggu. Bila perlu streptomisin
dapat diganti dengan gentamisin.
lnfeksi streptokokus lain pada umumnya diobati juga dengan penisilin, terutama penisilin G.
Dosisnya tergantung dari tempat infeksi dan sensitivitas mikroba penyebabnya. Untuk kasus tertentu
dapat mencapai 20-40 juta unit dan diberikan lV,
umpamanya pada infeksi sistemik berat oleh streptokokus anerobik.

INFEKSI STAFILOKOKUS. Pada waktu penisilin


G mulai digunakan, hasil terapi terhadap stafilokokus sangat memuaskan. Setelah itu kegagalan
terapi terus meningkat karena meningkatnya jumlah
turunan stafilokokus penghasil penisilinase, Popu-

lasi stafilokokus (baik dari dalam maupun luar


rumah sakit) yang resisten terhadap penisilin G kini

telah melampaui 90%. Karena itu infeksi


stafilokokus seyogyanya diobati dengan penisilin
isoksazolil, misalnya kloksasilin, dikloksasilin, dll.
INFEKSI KOKUS GRAM NEGATIF

INFEKSI MENINGOKOKUS. Penisilin G merupakan obat terpilih, karena sangat efektif tidak saja
terhadap meningitis dan meningokoksemia tetapi
juga untuk artritis supuratif dan endokarditis akut
oleh meningokokus. Dosisnya adalah 2 juta unit lV
setiap 2 jam. Terapi diberikan selama 12-14 hari.
Untuk yang resisten terhadap penisilin, alternatil
yang elektil adalah kloramfenikol 1 g diberikan 4 kali
sehari. Penisilin G tidak elektif untuk menghilangkan status pembawa kuman carrier state.

INFEKSI GONOKOKUS. Karena meningkatnya


resistensi, penisilin G dewasa initidak lagi dianggap

obat terpilih untuk gonore kecuali bila diketahui


dengan pasti bahwa gonokokus yang dijumpai di
daerah geografis tertentu masih sensitif terhadap
obat tersebut. Bila gonokokus masih sensitlf dapat
diberikan amoksisilin 3 g atau ampisilin 3,5 g +
probenesid per oral. Obat yang terpilih sekarang
untuk uretritis gonore tanpa komplikasi ialah seftri-

akson 250 mg lM atau salah satu fluorokuinolon


yang diberikan per oral.

Gonore. Pasien gonore yang diobati dengan penisilin, setelah sembuh perlu dipertimbangkan untuk
mendapatkan pemeriksaan serologik terhadap
sifilis yang kalau perlu diulangi setiap bulan sampai

4 kali; hal ini terutama diperlukan bila ampisilin


digunakan dalam pengobatan.

lnfeksi ekstragenital. lnfeksi gonokokus di ekstragenital pada umumnya memerlukan terapi yang
lebih intensif daripada infeksi genital. Artritis gonokokus biasanya cukup diberikan prokain penisilin G
2,4 jula sehari selama 5 hari atau lebih; tetapi
beberapa kasus memerlukan sampai 10 juta unit
penisilin sehari selama 14 hari. lnfeksi endokarflitis

gonokokus dan gonokoksemia membahayakan


hidup, sehingga harus diberikan penisilin G dosis
tinggi parenteral untuk waktu yang cukup lama.
Suntikan diberikan lM atau lV sebanyak 2-3 juta unit
setiap 6 jam selama 4 minggu. Oltalmia neonatorum
cepat sekali disembuhkan dengan 0,3 juta - 0,6 juta
unit penisilin G parenteral disertai tetesan pada
konjungtiva yang terkena.

634

Farmakologi dan Terapi

SIFILIS
Penisilin G merupakan obat yang sangat efek-

Sebagai antibiotik alternatif , bagi mereka yang

lidak tahan terhadap penisilin dapat digunakan


salah satu tetrasiklin.

tif, aman dan murah untuk sifilis. Cara penggunaan-

nya sangat sederhana, penyembuhan mudah dan

cepat. Untuk mengendalikan penyakit sifilis, khu-

AKTINOMIKOSIS

susnya dengan penisilin G, terdapat beberapa regimen terapi.


Tindakan profilaksis setelah kontak dengan
penderita sifilis sama dengan tindakan terhadap

Penisilin G merupakhn obat terpilih untuk semua bentuk klinik aktinomikosis. Dosis yang dianjurkan bervariasi dari 1-20 juta unit sehari, selama

gonore akut; yaitu dengan pemberian penisilin G


prokain 2,4 jula unit. Penisilin G benzatin juga efek-

penisilin G atau penisilin V untuk 2-3 bulan berikut-

rif.

Sifilis primer, sekunder, laten (asimtomatik), atau tersier, diobati dengan penisilin G prokain
2,4 jula unit lM dan 1 g probenesid per oral tiap hari
selama 1 0 hari atau penisilin G benzatin 2,4 juta unit
lM dosis tunggal. Penderita neurosililis memerlukan
terapi yang lebih lama : penisilin G prokain 20 juta
unit sehari diberikan selama 10 hari. Bayi dengan
sifilis kongenital diobati dengan penisilin G prokain
lM 50.000 unit/kgBB sehari selama 10 hari.
Fespons masing-masing jenis sililis terhadap
penisilin G tidak sama. Tindak lanjut terhadap perkembangan penyakit perlu dilakukan selama maupun setelah pengobatan dengan pemeriksaan serologik darah. Dengan satu tahap pengobatan angka
kegagalan terapi cukup rendah, yaitu 2% untuk
sifilis primer, dan 5-10% untuk sililis sekunder.
Pengobatan jarang sekali perlu ditambah lebih dari

satu tahap lagi, kecuali untuk kasus reinfeksi. Keberhasilan terapi pada sitilis laten cukup rumit peni-

laiannya, karena adanya individu yang bersifat


Wassermann-fast Mereka yang telah diobati tetapi
setelah satu tahun titer serologiknya tidak menunjukkan penurunan yang jelas, perlu mendapatkan
terapi ulang; demikian pula yang titernya menurun
tetapi masih dalam kadar 1 : 4 atau lebih tinggi.
Beaksi Jarisch-Herxheimer akibat terapi dengan penisilin terutama terjadi pada sifilis sekunder
pada 90% atau lebih kasus, sedangkan pada sifilis
lainnya lebih sedikit. Beaksi ini terjadi beberapa jam
setelah suntikan pertama, dengan gejala menggigil,
demam, disertai sakit kepala, otot, dan sendi. Lesi
sifilitik menjadi lebih jelas, bengkak dan mengkilat.
Reaksi ini bertahan beberapa jam dan dapat dikendalikan dengan sedatif; ruam kulit akan mulai berkurang dalam 48 jam dan menghilang dalam 14 hari.
Reaksi tidak akan berulang pada suntikan berikutnya. Pengurangan dosis inisial tidak akan mencegah terjadinya reaksi. Terjadinya reaksi JarischHerxheimer tidak memerlukan penghentian terapi.

6 minggu, diteruskan dengan terapi oral 1 -2 juta unit

nya. Untuk mendapatkan penyembuhan, tetap diperlukan penyingkiran jaringan yang rusak dengan
atau tanpa drainasi.
INFEKSI BATANG GRAM POSITIF

DIFTERIA. Antitoksin sangat diperlukan untuk mengurangi insidens komplikasi dan mempercepat penyembuhan penyakit. Penisilin Q digunakan hanya
untuk mengatasi status pembawa basil akut maupun kronik. Penisilin G prokain 2-3 juta unit sehari
yang diberikan sebagai dosis tunggal atau terbagi
selama 10-12 hari, memberikan hasil terapi sangat
memuaskan. Bagi mereka yang alergi terhadap
penisilin dapat diberikan eritromisin.

KLOSTRIDIA. Penisilin G merupakan obat terpilih


untuk terapi gangren gas dan tetanus; dosisnya
5-10 juta unit sehari selama 2 minggu. Untuk mendapatkan hasil terapi yang memuaskan diperlukan
penyingkiran jaringan rusak; dan pada tetanus perlu

ditambah toksoid tetanus dan imunoglobulin


tetanus (ATS) sebab penisilin G hanya tertuju untuk
pembasmian mikroba vegetatif saja.

ANTRAKS. Penisilin G terpilih untuk semua bentuk


klinik infeksi antraks. Dosis 5-10 juta unit sehari
terbagi untuk beberapa kali suntikan, diberikan selama 2 minggu. Beberapa turunan B. anthracis lelah
resisten terhadap penisilin G.

LISTERIA. Penisilin G parenteral dengan dosis


15-20 juta unit sehari diberikan sedikitnya 2 minggu
pada meningitis, dan 4 minggu pada endokarditis.
Dosis setinggi ini khususnya diperlukan untuk neonatus dan individu dengan defisiensi imunologik,
dan terapi perlu sedini mungkin. Ampisilin juga
cukup efektif. Penambahan streptomisin dapat menin

katkan elektivitas.

ERISIPELOID. lnfeksi Erysipelothrix rhusiophathrae tanpa komplikasi cukup diobati dengan suntikan tunggal 'l ,2 juta unit penisilin G benzatin.

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya

Untuk endokarditis diperlukan Z-ZO juta unit sehari


dalam dosis terbagi selama 4-6 minggu.
INFEKST BATANG GRAM NEGATIF

SALMONELLA DAN Sl-llcELLA. pada gastroenteritis yang tidak berat oleh basil yang sensitif ter_
hadap ampisilin, terapi dengan dosis oral ampisilin
0,5-1,0 g 4 kali sehari cukup efektif. Untuk penyakit
yang lebih berat (bakteremia, demam enterik oleh
Salmonella) diperlukan terapi parenteral. Walaupun

ampisilin cukup elektif terhadap Salmonella, kloramfenikol tetap merupakan obat pilihan utama terhadap demam tifoid dan paratifoid, sebab selain
kloramfenikol lebih unggul, ampisilin perlu dicadangkan sebagai alternatifnya yang efektif.
Para pembawa kuman yang sudah berlangsung selama 1 tahun atau lebih, akan pulih kembali
dengan memuaskan dengan terapi ampisilin 75-

100 mg/kgBB sehari selama 1-3 bulan. Dalam hal


ini, hasil terapi tergantung dari ada tidaknya infeksi
kandung empedu. Adanya kelainan pada kandung
empedu memerlukan pertimbangan pengangkatan
kandung empedu tersebut. Untuk tindakan pembedahan ini diperlukan pemberian ampisilin sebelum, selama dan sesudah pembedahan.

HAEMOPHILUS INFLUENZAE. Faringitis, otitis


media, selulitis, dan osteomieliils oleh kuman ini
cukup responsif diobati dengan ampisilin; dan bila
infeksinya ringan cukup diberikan terapi per oral.
Untuk meningitis pada anak, diperlukan dosis 300
mg/kgBB sehari lV selama "l 0-14 hari. Setelah meningitis bakterial pada anak didiagnosis, terapi dimulai dengan kombinasi kloramfenikol dan penisilin G. lnfeksi oleh H. influenzae penghasil betalak-

tamase harus diobati dengan kloramfenikol.

FUSO-SPIROCHAETA. Penyakit ini mudah diobati dengan penisilin. lnfeksi ringan misalnya gingivostomatitis cukup diobati dengan penisilin V oral,
4 kali 0,4 juta unit sehari. lnfeksi lebih berat misalnya pada paru dan genitalia memerlukan penisilin
G parenteral 5-10 juta unit sehari.
PASTEURELA. Satu-satunya spesies yang sangat
sensitif terhadap penisilin adalah p. multocida, yang
sering menyebabkan infeksi jaringan lunak, meningitis, dan bakteremia. Terapinya adalah penisilin
G parenteral 4-6 juta unit sehari paling sedikit 2
minggu.

RAT-BITE FEVER. Spirillum minor dan Streptobacillus (Haverhilia) moniliformis sebagai penyebab,

635

sensitil terhadap penisilin G. Sebagai obat pilihan,


penisilin G parenteral diberikan 12-1 5 juta unit sehari selama 3-4 minggu, mengingat sering terjadi
komplikasi bakteremia dan infeksi metastasis pada
sinovia dan endokarditis.
INFEKSI OLEH KUMAN GRAM-NEGATIF LAINNYA. Ampisilin bermanfaat terhadap infeksi kuman
gram-negatif yang sensitif terhadap obat ini, misalnya infeksi saluran kemih oleh E. coti dan pr. mirabr7is, serta infeksi oleh H. vaginatis.

Karbenisilin, tikarsilln, azlosilin, mezlosilin dan

piperasilin umumnya dibatasi penggunaannya terhadap infeksi oleh Ps. aeruginosa dan turunan pro-

teus indol positif (Pr. vulgaris, pr. morganii, pr.


rettgeri). Berbagai infeksi berat yang berhasil diatasi

dengan karbenisilin ialah meningitis oleh pr. vul_


garis dan pneumonia, infeksi saluran napas atas,
serta infeksi luka bakar oleh pseudomonas. lnfeksi
berat sekali oleh Pseudomonas diobati dengan
kombinasi dengan gentamisin, karena kombinasi
kedua obat ini bersifat sinergistik. Dalam hal ini,
penisilin antipseudomonas diberikan lV, sedangkan

gentamisin lM.
PENGGUNAAN PROFILAKSIS
Profilaksis dengan penisilin pada beberapa
keadaan sangat bermanfaat, namun pada keadaan
lain bukan saja tidak bermanfaat tetapi dapat juga
berbahaya. Beberapa tindakan profilaksis yang ternyata memberi hasil memuaskan, kalau dinilai secara teliti, sebenarnya bukan merupakan tindakan
prolilaksis tetapi sudah bersifat terapi dini.
Profilaksis yang bermanfaat dengan penisilin ialah terhadap: (1 ) infeksi Str. pyogenes group
4, dengan suntikan tunggal 0,6 juta unit penisilin G
benzatin atau penisilin G prokain dalam minyak
dengan aluminium monostearat; atau penisilin V,

dua kali 0,2 juta unit sehari, selama 5 hari;

(2)

kambuhnya demam reumatik, dengan penisilin G


atau V oral, 2 kali 0,2 juta unit. Tetapi karena sukar
menjamin keteraturan makan obat, lebih dianjurkan

suntikan penisilin G benzatin 1,2-2,4 juta unit sebulan sekali. Untuk pasien alergi penisilin, dapat
diberikan sulfisoksazol atau sulfadiazin. Biasanya
profilaksis cukup diberikan selama 5 tahun sehabis
suatu episode demam reumatik; atau selama masa
remaja bila demam rematik terjadi pada anak. Di sini
tujuan profilaksis ialah mencegah kerusakan lebih
berat pada jantung akibat terulangnya penyakit; (3)
pada gonore dan sifilis, profilaksis dengan penisilin

Farmakologi dan Terapi

cukup efektif. Untuk sililis, tindakan profilaksis perlu


diikuti dengan pemeriksaan serologik berulang; (4)
pembedahan pada pasien dengan kelainan katup
janlung, umpamanya pencabutan gigi, cukup sering
menimbulkan komplikasi endokarditis bakterial subakut, sebagai akibat bakteremia selintas (transient)
oleh tindakan operatif tersebut. Untuk mencegah
komplikasi ini diberikan penisilin G kristal 1 juta unit
dicampur penisilin G prokain 0,6 juta unit lM, 1/2-1
jam sebelum tindakan, dilanjutkan dengan penisilin
V per oral 4 kali 500 sehari selama 2 hari. Atau bila
tidak menggunakan cara parenteral, diberikan penisilin V per oral 2 g, 112-1 iam sebelum tindakan,
dilanjutkan dengan 4 kali 500 mg sehari selama 2
hari.

Profilaksis yang diragukan manfaatnya


ialah prolilaksis pada tindakan pembedahan dan
kateterisasi jantun g, ex hang

-transfuslon, ketu ban


pecah dini, dan prolilaksis penyebaran infeksi S.
e

aureus di berbagai bagian rumah sakit, serta glomerulonefritis akut.


Profilaksis yang tidak bermanfaat adalah
infeksi virus pada saluran pernapasan serta inleksi

kuman gram positif bukan penghasil penisilinase,


golongan obat ini kurang efektif daripada penisilin
G. Karbenisilin dan penisilin antipseudomonas lainnya umumnya hanya digunakan untuk infeksi Ps.
aeruginosa dan proteus indol positif; (3) Penisilin
tahan asam umumnya efektif bila diberikan oral; (4)
Penisilin yang tahan terhadap penisilinase (penisilin
isoksazolil, metisilin, nalsilin) sebaiknya hanya digunakan untuk infeksi oleh stalilokokus penghasil
penisilinase; (5) Sitat larmakokinetik perlu diperhatikan untuk dapat mengendalikan kadar masingmasing penisilin dalam darah sehingga efektivitasnya terjamin. Untuk menjelaskan hal itu dapat dikemukakan contoh-conloh berikut. Penisilin G yang
larut dalam air (kristal Na-penisilin G) bila diberikan
lM, akan cepat menghasilkan kadar obat yang lebih

tinggi dalam darah dibanding sediaan penisilin


repositor (penisilin G benzatin, penisilin G prokain).
Kadar ampisilin dalam CSS penderita meningitis H.
influenzae turun cukup besar setelah hari ketiga

pengobatan karena penurunan permeabilitas


meningen akibat perbaikan yang diperoleh dengan
pengobatan.

virus lainnya seperti campak, varisela, variola,


poliomielitis; juga prolilaksis pada koma, syok, luka
bakar, perawatan luka yang bersih, tindak bedah,
partus normal, kateterisasi saluran kemih, gagal
jantung dan prematuritas.
Pemberian "prolilaksis' antibiotik pada pembedahan bagian tubuh yang terinfeksi sebenarnya
merupakan terapi. Pada keadaan ini antibiotik dimaksudkan untuk mencegah penyebaran infeksi,
umpamanya pada pembedahan otitis media, dll,

1.8. PEMILIHAN OBAT


lndikasi masing-masing jenis penisilin dapat
berbeda satu terhadap lainnya, karena adanya perbedaan dalam berbagai sifat. Dalam menentukan
pilihan penisllin perlu diperhatikan laklor berikut :
potensi, spektrum antimikroba, kelahanannya lerhadap asam, adanya penisilinase dan sifat larmakokinetik. Pedoman umum dalam memilih jenis penisilin antara lain adalah sebagai berikut: (1) Untuk

2. SEFALOSPORIN
2.1. KIMIA DAN KLASIFIKASI
Selalosporin dan penisilin termasuk golongan
antibiotika betalaktam. Struktur kimia berbagai selalosporin dapat dilihat pada Tabel 43-3. Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium yang diisolasi padalahun 1948 oleh Brotzu. Fungus ini menghasilkan tiga macam antibiotik,
yaitu sefalosporin P, N dan C. Dari ketiga antibiotik
tersebut kemudian dikembangkan berbagai derivat
selalosporin semisintetik antara lain selalosporin C.
lnti dasar selalosporin C ialah asam 7-amino-

selalosporanat (7-ACA'. 7-aminocephalosporanic


acid) yang merupakan kompleks cincin dihidrotiazin
dan cincin betalaktam (Iabel 43-3). Sefalospbrin C
resisten terhadap penisilinase, tetapi dirusak oleh

mikroba yang sensitil terhadap penisilin, khususnya

sefalosporinase. Hidrolisis asarn sefalosporin C

yang gram positil, penisilin G memiliki potensi terbaik. lndikasi penisilin V dan lenetisilin pada umum-

menghasilkan 7-ACA yang kemudian dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin. Modifikasi Rr pada posisi 7 cincin betalaktam dihubungkan dengan aktivitas antimikrobanya, sedangkan substitusi R2 pada posisi 3 cincin
dihidrotiazin mempengaruhi metabolisme dan far-

nya sama dengan penisilin G, hanya pemberiannya


per oral; (2) Ampisilin dan senyawa kongeneriknya
(ester ampisilin, amoksisilin), umumnya digunakan
untuk inleksi E. coli dan Pr. mirabilis. Terhadap

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya

Tabel 43-3. STRUKTUR KtMtA BERBAGAT SEFALOSPORTN


1

n1-C-r'rH

oil

Jenis selalosporin

j--,-S\
ll
.r'--N- z\
t

o' Y -"'
coo

Rr

R2

H_

7-ACA

aro

(asam 7 aminosefalosporanat)

Generasi pertama

./.o

G",,,_

-cHzoCr

*@r"r,N:r

sefazolin

\_"r,_

N:N

CHzOC

tcH,

N-N

-*rzsj\rA.r.
-cHs

Ur-

sefradin

CHg

tza

@i:;

sefaleksin

CHs

sefalotin

sefapirin

CHzOC.

-CHs

NHz

no-@-"*-

sefadroksil

Generasi kedua
setamandol

A'"r\r'
J,..

N_N

ltll-N

-orzsAf

CHg

_l

sefoksitin
lr

\sAcHrsefaklor

-CHs

NHz

@r'NHz

,ro

CHzOC.,

NHe

-cl
4o

sefuroksim

dvr:

OCHs

-CH2OC.
NHa

638

Farmakologi dan Terapi

Tabel 43-3. STRUKTUR KtMtA BERBAGAT


SEFALOSpORTN (Sambungan)

Jenis sefalosporin

R1

Rz

(,Z\
)Fp'r\YI

sefonisid

OH

N-_N
/lll
-cH2s-\N-N
I

CHzSOs

seforanid
CHz

Generasl ketiga

sefotaksim

CHzNHa

N_-N

lltt
-cHzS{tt-N
I

CHzCOOH

N.."_C-

,r*/'.-j
moksalaktam

,o
'l|.,OCHs

/Za

-CHzOC'tcH.

Ho<( )!-cp-

N.-N

coo-

-CH2S-\p-N

vr

iltt
I

CHs
settizoksim

'l-l-.?N\

HNA-S-'

_H

OCHs
NHe

seftriakson

Na

I
HsC
\N/N\r,o

s-\rv

l_l^

tl

ll

-OCHs

setoperazon

oY-t

-CH2S 11'-\6

T-T
-cHzsAtt-N
I

oAru
I

c zHs

CHs

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalakam Lainnya

makokinetiknya. Sefamisin mempunyai struktur


kimia yang mirip dengan sefalosporin, tetapi mempunyai gugus metoksi pada 7 cincin betalaktam.
Sefalosporin dibagi menjadi 3 generasi berdasarkan aktivitas antimikrobanya yang secara tidak
langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatannya (Tabel 43-3). Dewasa ini selalosporin
yang lazim digunakan dalam pengobatan, lelah
mencapai generasi ketiga.
Sekarang sediaan selalosporin yang terdapat

di lndonesia ialah sefalotin, setazolin,

selradin,
sefaleksin, sefotiam, selmetazol, sefoperazon,
seluroksim, sefotaksim, sefadroksil, sefsulodin,
seftriakson, dll.

639

dan Klebsiella. Terhadap Ps. aeruginosa dan ente-

rokokus golongan ini tidak efektif. Untuk inleksi


saluran empedu golongan ini tidak dianjurkan karena dikhawatirkan enterokokus termasuk salah satu
penyebab inleksi. Sefoksitin aktil terhadap kuman
anaerob.

SEFALOSPORIN GENERASI KETIGA

Golongan ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama lerhadap kokus
gram-positif, tetapi jauh lebih aktil terhadap Enterobacte riaceae, termasuk strain pen ghasil pen isi linase. Di antara sediaan golongan ini ada yang aktil
terhadap Ps. aeruginosa.

2.2. AKTIVITAS ANTIMIKROBA


2.3. SIFAT UMUM
Seperti halnya antibiotik betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Yang dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap
ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.

Selalosporin aktif terhadap kuman grampositif maupun gram- negatif, tetapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi.
SEFALOSPORIN GENERASI PERTAMA
ln vitro, selalosporin generasi pertama memperlihatkan spektrum antimikroba yang terutama
aktil terhadap kuman gram-positif. Keunggulannya

dari penisilin ialah aktivitasnya terhadap bakteri


penghasil penisilinase. Golongan ini efektil terhadap sebagian besar S. aureus dan Strepfococcus

termasuk Str. pyogenes, Str. viridans dan

Str.

pneumoniae. Bakteri gram-posilif yang juga sensitil


ialah Str. anaerob, Clostridium perfringens, Listeria
monocytogenes dan Corynebacteium diphteriae.
Aktivitas antimikroba berbagai sefalosporin generasi pertama sama satu dengan yang lain, hanya
sefalotin sedikit lebih aktil terhadap S. aureus. Mikroba yang resisten antara lain ialah strain S. aureus
resisten metisilin, S. epidermidis dan Sfr. faecalis.
SEFALOSPORIN GENERASI KEDUA

FARMAKOKINETIK
Dari sifat larmakokinetiknya, sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan. Selaleksin, selradin,
sefaklor dan sefadroksil yang dapat diberikan per
oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral.
Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara
lV karena menyebabkan iritasi lokal dan nyeri pada
pemberian lM.
Selalosporin yang lain diberikan secara suntikan lM atau lV. Beberapa selalosporin generasi
ketiga misalnya sefuroksim, moksalaktam, sefotaksim dan seltizoksim mencapai kadar yang tinggi di
cairan serebrospinal (CSS), sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta.
Selain itu selalosporin juga melewati sawar darahuri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan

cairan perikardium. Pada pemberian sistemik,


kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata
relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar
sefalosporin dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.

Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalap


bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi
tubuli, kecuali seloperazon yang sebagian besar
diekskresi melalui empedu. Karena itu dosisnya
harus dikurangi pada penderita insufisiensi ginjal.
Probenesid mengurangi ekskresi selalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefa-

Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri


gram-positif dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman gram-

lotin, sefapirin dan sefotaksim mengalami deasetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya

negatif; misalnya H. influenzae, Pr. mirabilis, E. coli

lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.

640

Farmakologi dan Terapi

Tabel 43-4. BEBERAPA DATA FARMAKOKTNETTK SEFALOSPORTN

Jenis selalosporin

Cara pemberian

lkatan

protein
(%)

plasma

1/2 plasma

fiam)

Ekskresi
(%)

dalam urin

Efek

probenesid

Generasi pertama:
Sefalotin
Sefazolin
Sefapirin
Sefradin
Sefaleksin

Sefadroksil

lV dan lM
lV dan lM
lV dan lM
Oral, lV dan lM
Oral
Oral

70
85

0.6

70-80

1.8

95

47-62

1.2
0.8
0.9
1.5

90 (50).
86
90
90

0.8
0.8
0.8
1.7
1.7

85
>85
60-85
>85

+
+
+
+

14
10-15
20

+
+
+
+

Generasi kedua:
Sefamandol
Sefoksitin

lV dan lM
lV dan lM

Sefaklor

Oral

Sefuroksim

lV dan lM

Sefuroksim aksetil

Oral

75
70-80
40
33

Generasi ketiga:
Sefotaksim
Moksalaktam
Sefoperazon
Seftizoksim
Seftriakson

Seltazidim
Sefsulodin

lV dan lM
lV dan lM
lV dan lM
lV dan lM
IV dan lM
lV dan lM
lV dan lM

40-50
40-50
82-93
30
83-96
17-20
30

1.1

90 (50)'

2.'l
2.'l

90

30**

1.8

90
60-80

1.8
1.7

75-85

65-70

Ketrangan:
* Jumlah kadar yang diekskresi dalam bsntuk asal.
Ekskresi tsrutama mslalui mpdu, sekitat 70% dalam bntuk asal

"

Sifat larmakokinetik berbagai preparat sefalosporin dapat dilihat pada Tabel 43-4.
EFEK SAMPING
Beaksi alergi merupakan elek samping yang
paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan reaksi
alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu analilaksis dengan spasme bronkus
dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya
terjadi pada penderita dengan alergi penisilin berat,
sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang
kemungkinannya kecil. Dengan demikian pada penderita dengan alergi penisilin berat, tidak dianjurkan
penggunaan sefalosporin atau kalau sangai diper-

lukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh.


Reaksi Coombs sering timbul pada penggunaan
selalosporin dosis tinggi. Depresi sumsum tulang
terutama granulositopenia dapat timbul meskipun
jarang.

Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik,


meskipun jauh kurang toksik dibandingkan dengan

aminoglikosida dan polimiksin. Nekrosis ginjal

dapat terjadi pada pemberian sefaloridin 4 g/hari


(obat ini tidak beredar di lndonesia). Selalosporin

lain pada dosis terapi jauh kurang toksik dibandingkan dengan selaloridin. Kombinasi selalosporin
dengan gentamisin atau tobramisin mempermudah
terjadinya nelrotoksisitas.
Diare dapat timbul terutama pada pemberian
seloperazon, mungkin karena ekskresinya lerutama melalui empedu, sehingga mengganggu flora
normal usus. Pemberian sefamandol, moksalaktam
dan sefoperazon bersama dengan minuman beralkohol dapat menimbulkan reaksi seperti yang ditimbulkan oleh disulfiram. Selain itu dapat terjadi per-

darahan hebal karena hipoprotrombinemia, dan/


atau dislungsi trombosit, khususnya pada pemberian moksalaktam.

2.4. INDIKASI KLINIK


Sediaan selalosporin seyogyanya hanya digu-

nakan untuk pengobatan infeksi bakteri berat atau


yang tidak dapat diobati dengan antimikroba lain,

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betaladam Lainnya

641

sesuai dengan spektrum antibaklerinya, Anjuran ini


diberikan karena selain harganya mahal, potensi
antibakterinya yang tinggi sebaiknya dicadangkan

tertentu, misalnya S. aureus dan Streptococcus

hanya untuk hal iersebut di atas. Perlu diingat


bahwa sefalosporin generasi pertama dan kedua

stafilokokus sehingga merupakan obat terpilih di


antara sediaan sefalosporin untuk inleksi oleh S.
aureus penghasil penisilinase. Selain itu juga sebagai alternatil penisilin untuk inleksi disebabkan
kuman sensitif, pada penderita alergi penisilin. Terhadap klostridia, kokus gram-positif anaerob dan
lusobakteri cukup efektif, tetapi terhadap infeksi 8.
lragilis pada saluran cerna bagian bawah tidak aktil.

bukan merupakan obat terpilih untuk kebanyakan


infeksi karena tersedia obat lain yang elektivitasnya
sama dan harganya lebih murah.
Dari berbagai uji klinik telah terbukti, bahwa
sefalosporin generasi ketiga dapat digunakan untuk
terapi maupun untuk prolilaksis. Untuk pengobatan
infeksi oleh Klebsiella, sefalosporin tunggal maupun
dalam kombinasi dengan aminoglikosida merupakan obat pilihan utama. Beberapa sediaan sefalo-

sporin generasi ketiga merupakan obat pilihan


utama untuk meningitis oleh bakteri gram-negatif
enterik. Telah terbukti pula bahwa beberapa sefa-

losporin generasi kedua dan ketiga mempunyai


efek yang sejajar dengan kombinasi ampisilin dan
kloramlenikol untuk pengobatan meningitis oleh H.
influenzae. Selain itu selalosporin masih merupakan obat alternatil untuk penisilin bagi yang tidak
tahan penisilin.

(kecuali enterokokus), Kl. pneumoniae, E.

cot

dan

Pr. mirabilis. Obat ini sangat tahan penisilinase

Efek samping. Walaupun dapat timbul reaksi


Coomb positil langsung, tetapijarang terjadi anemia
hemolitik yang jelas. Syok anafilaktik, neutropenia
dan leukositopenia juga jarang terjadi. Kenaikan
SGOT dan nitrogen urea darah (BUN) dapat terjadi,
tetapi dapat kembali normal selama pengobatan
masih berlangsung. Dapat timbul superinleksi antara lain oleh Ps. aeruginosa. Bahaya nefrotoksisitas sangat kecil, sehingga tetap dapat digunakan pada penderita gangguan lungsi ginjal dengan
dosis disesuaikan. Tromboflebitis dapat terjadi akibat pemberian lV. Pemberian intratekal tidak dianjurkan.

2.5. MONOGRAFI
SEFALOSPORIN GENERASI PERTAMA

SEFALOTIN. Selalotin merupakan sefalosporin


pertama yang beredar di pasaran. Obat ini tidak
diserap melalui saluran cerna, sehingga umumnya
hanya diberikan secara suntikan. Suntikan lM menyebabkan nyeri di tempat suntikan sehingga di-

Posologi. Dosis pemberian lV dewasa : 2-1 2 glhari,


dilarutkan dalam larutan garam laal atau dekstrosa;
Untuk suntikan lM dosis dewasa : 0,5 - 1 g, 4-6 kali
sehari, untuk inleksi berat dapat sampai 2 g liap 4
jam dengan lotal 1 2 g sehari; bayi dan anak: 80-1 60
mg/kg dibagi beberapa dosis.

berikan secara lV. Kadar puncak plasma darah


mencapai 20 ug/ml dengan dosis 1 g secara lM.
Seperti selalosporin generasi pertama yang lain,

SEFAZOLIN. Spektrum mirip dengan sefalotin.


lrlencapai kadar dalam darah sekitar lima kali lebih

selalotin tidak mencapai cairan otak, sehingga tidak


bermanlaat untuk terapi meningitis. Obat ini terikat
pada protein plasma sebanyak 70% dan tersebar
luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh kecuali
cairan serebrospinal (CSS). Pada pemberian dosis
tunggal, sekitar 70% dieliminasi melalui sekresi
tubuli ginjal, sebagian besar dalam bentuk utuh, dan
30% sisanya diekskresi sebagai metabolit diasetil.
Waktu paruh sefalotin dalam serum 45- 60 menit.
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal,
sekitar 60% dosis diekskresi dalam 6 jam, sehingga
perlL diberikan setiap 4 atau 6 jam untuk mempertahankan kadar efektif dalam plasma.

berian 1 g lM. Dalam darah sampai 85% dari dosis


diikat oleh protein plasma, Waktu paruh plasma
sekitar 1,8 jam.

Penggunaan obat ini seyogyanya dibatasi


hanya untuk penyakit inleksi berat oleh kuman

tinggi dari selalotin yaitu 64 ug/ml setelah pem-

Efek samping : mirip selalotin.

Posologi. Dosis dewasa adalah : 250-500 mg/8


jam lM/lV untuk infeksi ringan; 0,5-1 g setiap 6
sampai 8 jam pada inleksi berat. Untuk inleksi yang
mengancam jiwa misalnya endokarditis, septikemia, 6-8 g/hari lV. Dosis untuk anak dan bayi di atas
1 bulan : 25-50 mg/kg BB/hari, Untuk penderita
dengan kelainan lungsi ginjal, dianjurkan dosis seperti terlera pada Tabel 43-5.

642

Farmakologi dan Terapi

Tabel 43-5. ANJURAN DOSTS SEFAZOLTN UNTUK


PEMBERIAN IV PADA PENDERITA DENGAN KELAINAN GINJAL

SEFADROKSIL. Obat ini merupakan derivat parahidroksi sefaleksin. Elek in vitro mirip sefaleksin,
telapi kadar plasma agak lebih tinggi.

Dosis oral sefadroksil untuk orang dewasa

Bersihan kreatinin

Dewasa :>SSmumenit
35-54 mUmenit
11-34 ml/menir
> 10 ml/menit

dosis biasa

dosis biasa/8 jam


setengah dosis/12jam
setengah dosis/t 8-24 jam

Anak-anak: berikan dosis biasa sebagai loading dose

ialah 1-2 g/sehari yang dibagi dalam 2 dosis. Untuk


anak diberikan 30 mg/kg BB sehari, dibagi dalam 2

dosis. Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul 500


mg, tablet 1 g, serta suspensioral 125 dan 250 mg/5
ml. Dosis obat perlu disesuaikan pada penderita
dengan payah ginjal.

kemudian:

40-70 mfmenit
20-40 mUmenit
5-20 mUmenit

60% dosis/1.2 jam


25% dosis/12 jam
10% dosis/24 jam

SEFAPIRIN. Silat-sifatnya mirip selalotin.

SEFALEKSIN. Obat ini kurang aktit terhadap S.


aureus penghasil penisilinase; dapat diberikan per
oral dan tahan terhadap asam lambung. Makanan
dalam lambung tidak mengganggu absorpsinya,
tetapi memperlambat tercapainya kadar puncak.
Kadar puncak darah mencapai 32 ug/ml pada dosis
terapi. Ekskresinya sekitar 90% melalui urin dalam
bentuk tetap. Waktu paruh sekitar 1 jam.
Dosis oral selaleksin untuk orang dewasa
ialah 1-4 gram sehari yang dibagi dalam 4 dosis.
Dosis anak ialah 25-50 mg/kg BB sehariyang dibagi
dalam 4 dosis. Dalam keadaan gagal ginjal, dosis
obat harus disesuaikan. Obat ini tersedia dalam
bentuk kapsul 250 dan 500 mg dan suspensi oral
125 dan 250 mg/5 mt.
SEFRADIN. Struktur dan aktivitas in vitro mirip sefa-

leksin. Dapat diberikan per oral, lM maupun lV.


Karena absorpsi melalui saluran cerna sangat cepat

dan lengkap, maka kadar plasma yang dapat dicapai mendekati pemberian lM yaitu sekitar 10-19 ug/
ml sesudah pemberian 0,5 g per oral alau secara
tM.

Dosis oral sefradin untuk orang dewasa ialah


1-4 g/hari yang dibagi dalam 4 dosis. Dosis untuk

anak ialah 25-50 mg/kg BB sehari yang dibagi

dalam 4 dosis.
Dosis parenteral unluk orang dewasa ialah 2-g
g/hari lM atau lV, untuk anak 50-100 mg/kg BB/hari,

yang dibagi dalam 3-6 dosis. Dosis obat harus disesuaikan pada penderita gagal ginjal.
Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan
500.m9, suspensi oral 125 dan 250 mg/S ml, bubuk
obat suntik 0,25; 0,5; 1 dan 2 g.

SEFALOSPORIN GENERASI KEDUA


SEFAMANDOL. Dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama, obat ini lebih aktil terhadap
bakteri gram-negatif tertentu, terutama H.influenzaq spesies Enterobacter, proteus indol positif, E
coli dan spesies Klebsiella. Sebagian besar kokus
gram- positil sensitif terhadapnya. Waktu paruh 45
menit dan diekskresi melalui saluran kemih. pada
pemberian dosis 1 g lM, kadar plasma mencapai 36
ug/ml.

SEFOKSITIN. Selamisin dihasilkan oleh S0eptomyces lactamdurans. Obat ini kurang aktif terhadap
spesies Enterobacter dan H. inlluenzae, dibanding
sefamandol. Terhadap kuman gram-positil juga kurang aktil bila dibandingkan dengan sefamandol
dan selalosporin generasi pertama. Tetapi obat ini
lebih aktil dari sefalosporin generasi pertama dan
generasi kedua yang lain terhadap kuman anaerob,

misalnya B. fragilis.
Setelah pemberian 1 g lM, kadar dalam plasma mencapai 22 uglml, Waktu paruhnya sekitar 40
menit. Obat ini diindikasikan terutama untuk inleksi
oleh kuman anaerobik alau campuran kuman aerobik dan anaerobik, misalnya penyakit radang pelvis dan abses paru- paru. Obat ini juga efektif terhadap A/. gonorrhoe ae pen ghasil pen isi linase.
Dosis parenteral seloksitin untuk orang
dewasa ialah 3-12 g/hari (tM, lV) yang dibagi datam
3-4 dosis. Dosis untuk anak ialah 80- 160 mg/kg
BB/hari yang dibagi dalam 4-6 dosis. Dosis harus
disesuaikan bila ada gangguan lungsi ginjal. Obat
ini tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 1,2 dan
1o g.

SEFAKLOR. Kadar plasma setelah pemberian oral

mencapai sekitar 50o/o kadar selaleksin dengan


dosis yang sama. Terhadap H. influenzae, sefaklor
lebih aktif daripada generasi pertama.

Penisilin, Selalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya

SEFUROKSIM. Sefuroksim sangat mirip sefamandol dalam struktur kimia dan aktivitas antibakteri in
vitro. Waktu paruh 1 ,7 jam dan diberikan tiap 8 jam.
Kadar dalam cairan serebrospinal sekitar 10% kadar dalam plasma dan ini elektil untuk pengobatan
meningitis oleh H. influenzae (termasuk yang resisten ampisilin), N. meningitidis dan Sfr. pneumoniae.
Sediaan selalosporin generasi kedua lainnya
mirip selamandol, tetapi umumnya kurang aktil terhadap H. influenzae.

SEFALOSPORIN GENERASI KETIGA


SEFOTAKSIM. Obat ini sangat aktil terhadap berbagai kuman gram-positif maupun gram-negatif
aerobik. Aktivitasnya terhadap B. fragilis sangat
lemah dibandingkan dengan klindamisin dan metro-

nidazol. Waktu paruh plasma sekitar 1 jam dan


diberikan tiap 4 sampai 6 jam. Metabolitnya ialah

desasetilselotaksim yang kurang aktif. Obat ini


efektif untuk pengobatan meningitis oleh bakteria
gram-negatif. Dosis obat untuk orang dewasa ialah
2-12 glhari lM atau lV yang dibagi dalam 3-6 dosis.
Dosis untuk anak ialah 100- 200 mg/kg BB/hariyang
dibagi dalam 3-6 dosis. Dalam keadaan gagal ginjal
diperlukan penyesuaian dosis. Sefotaksim tersedia
dalam bentuk bubuk obat suntik 1, 2 dan 10 g.

MOKSSALAKTAM. Struktur kimia berbentuk oksabetalaktam yang terbentuk dari substitusi oksigen
dengan atom sulfur pada nukleus sefem. Dibandingkan dengan sefotaksim, obat ini kurang aktif
terhadap kuman gram-positif, H. influenzae dan
Enterobacteiaceae, tetapi lebih aktif terhadap Ps.
aeruginosa dan 8. fragilis. Waktu paruh sekitar 2
jam dan diekskresi melalui saluran kemih dalam
bentuk asal.

Efek samping yang dapat latal, yailu perda-

rahan, kemungkinan disebabkan moksalaktam


dapat mengganggu hemostasis akibat hipoprolrom-

binemia dan dislungsi trombosit. Dianjurkan untuk


memberikan profilaksis vitamin K 10 mg/minggu
pada penggunaan moksalaktam. Karena disfungsi
trombosit berhubungan dengan besarnya dosis,
maka pada penderita dengan lungsi ginjal normal
yang mendapat dosis 4 g/hari selama lebih dari 3
hari dianjurkan untuk memonitor waktu perdarahan,
Dosis lazim obat ini ialah 2-4 g lM atau lV tiap 8-12
jam, Dosis untuk anak ialah 150-200 mg/kg BB/hari
yang dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis obat harus dikurangi pada keadaan gagal ginjal. Moksalaktam lersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 1 , 2 dan 1 09.

643

SEFTRIAKSON. Obat ini umumnya aktil terhadap


kuman gram-positil, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan selalosporin generasi pertama, Waktu
paruhnya mencapai 8 jam. Untuk meningitis ooat ini
diberikan dua kali sehari sedangkan untuk infeksi
lain umumnya cukup satu kali sehari. Obat ini sekarang merupakan pilihan utama untuk uretritis oleh

gonokokus tanpa komplikasi. Jumlah sefiriakson


yang terikat pada protein plasma umumnya sekitar
83- 96%. Pada peningkatan dosis, persentase yang

terikat protein menurun cepat. Dosis lazim obat ini


ialah 1-2 g/hari lM atau lV dalam dosis tunggal atau
dibagi dalam 2 dosis. Untuk uretritis oleh gonokokus
tanpa komplikasi diberikan 250 mg lM. Untuk anak
diberikan dosis 50-75 mg/kg BB sehariyang dibagi
dalam 2 dosis. Dosis obal tidak perlu disesuaikan
pada gagal ginjal atau adanya gangguan laal hati.
Seltriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 0,25;0,5; dan 1 g.

SEFOPERAZON. Obat ini lebih aktif lerhadap Ps.


aeruginosa dibandingkan dengan sefotaksim dan
moksalaktam. Waktu paruhnya sekitar 2 jam. Ekskresinya terulama melalui saluran empedu, hanya
sekitar 25o/o melalui urin. Karena itu bila ada gangguan fungsi ginjal dosis tidak perlu diubah. Namun
pada gangguan lungsi hepar hal ini perlu mendapal
perhatian. Kadar puncak pada pemberian lV bervariasi dari 250 mg/ml setelah inlus 2 g selama 20
menit sampai 375 ug/ml setelah suntikan bolus lV
dengan jumlah yang sama. Pada pemberian lM
kadar puncak dicapai 1 jam sesudah pemberian
yaitu sekitar sepertiga sampai setengah kadar yang
dapat dicapai dengan pemberian inlus lV. lkatan
protein seloperazon ialah 82-93% . Kadar tertinggi
terdapat di dalam empedu. Pada meningitis, kadar
dalam cairan serebrospinal dapat mencapai kadar
antibakteri. Selain itu seloperazon dapat meliwati
sawar uri.

Semua efek samping selalosporin yang


umum, dapat timbul pada pemberian seloperazon.
Gejala seperti sindrom disulfiram lerjadi pada peminum alkohol selama menggunakan obat ini, antara lain nausea, vomitus, diare, tekanan darah
meningkat dan f/ush. Hipoprotrombinemia dapat
terjadi pada penggunaan obat ini, tetapi dapat diatasi dengan vitamin K. Bila terjadi alergi berat,
diatasi dengan pemberian antara lain epinelrin dan
kortikosteroid bila perlu. Pada wanita hamil keamanan penggunaan obat ini belum diketahui secara
pasti. Dosis lazim obat ini untuk orang dewasa ialah
2-4 glhari lM atau lV yang dibagi dalam 2 dosis.

644

Farmakologi dan Terapi

Dosis untuk anak ialah 100-1 50 mg/kg BB sehari


yang dibagi dalam 2 atau 3 dosis, Dosis obat tidak
perlu disesuaikan pada keadaan gagal ginjal,
Sefopera2on tersedia dalam bentuk bubuk obat

suntikl dan2g.

SEFTAZIDIM. Aktivitas seftazidim terhadap bakteri


gram-positif tidak sebaik sefotaksim. yang jelas
menonjol ialah aktivitasnya terhadap ps. aeruginosa, jauh melebihi sefotaksim, sefsulodin dan
piperasilin. Waktu paruh plasma sekitar 1.5 jam.
Obat ini tidak dimetabolisme dalam tubuh dan di-

ekskresi terutama melalui saluran kemih. Dosis


lazim obat ini untuk orang dewasa ialah 1-2 g sehari
lM atau lV setiap 8-12 jam. Dosis untuk anak ialah
30-50 mg/kg BB setiap 8 jam, Dosis obat perlu
disesuaikan pada keadaan gagal ginjal. Seftazidim
tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 0,5; 1 dan

29.

SEFIKSIM. Seliksim adalah suatu sefalosporin


generasi ketiga yang dapat diberikan secara oral,
Sefalosporin generasi ketiga derivat yang lain
hanya dapat diberikan secara parenteral.

Spektrum aktivitas antibakteri. ln vitro, obat ini


stabil terhadap berbagai jenis betalaktamase dan
mempunyai spektrum antibakteri menyerupai spek-

berat badan < 50 kg diberikan suspensi dengan


dosis 8 mg/kg sehari. Obat ini tersedia dalam bentuk
tablet 200 dan 400 mg, serta suspensi oral 100 mg/5
ml.

3. ANTIBIOTIKA

ETALAKTAM

LAINNYA
Dewasa ini telah dikembangkan antibiotika
betalaktam lain yang tidak tergolong penisilin
maupun sefalosporin.

3.1. MONOBAKTAM
Monobaktam merupakan suatu senyawa
betalaktam monosiklik, dengan inti dasar berupa
cincin tunggal, asam-3 aminobaktamat.
Struktur ini berbeda dengan struktur kimia golongan
antibiotika betalaktam terdahulu misalnya penisilin,

sefalosporm, karbapenem, berinti dasar cincin


ganda.

trum sefotaksim. Sefiksim tidak aktif terhadap


S.aureug enterokokus (misalnya E faecalis), pneumokokus yang resisten terhadap penisilin, pseudomonas, L. monocytogenes, Acinetobacter dan g.

Hs'N

\--

,4,

fragilis.

Sefiksim digunakan untuk terapi otitis media

akut, bronkitis akut, inleksi saluran kemih oleh


kuman yang sensitif, dan gonore.
Elek samping sefiksim umumnya ringan. yang
tersering ialah diare (1 6%) dan keluhan saluran
cerna lainnya.
Absorpsi sefiksim melalui oral berjalan lambat
dan tidak lengkap. Bioavailabilitas absolut sekitar
40% sampai 50%, Dalam bentuk suspensi obat ini
diserap lebih baik dari bentuk tablet. Kadar tinggi
terdapat pada empedu dan urin.
Sefiksim diekskresi terutama melalui ginjal.
Ekskresi melalui empedu sekitar 10% dari dosis.
Obat ini tidak dimetabolisme. Waktu paruh eliminasi
dalam serum antara 3 sampai 4 jam, dapat memanjang pada kelainan fungsi ginjal. Obat ini tidak bisa
dikeluarkan dari tubuh dengan hemodialisis atau
dialisis peritoneal.
Dosis oral untuk dewasa atau anak dengan
berat badan lebih dari50 kg ialah 200-400 mg sehari
yang diberikan dalam 1-2 dosis. Untuk anak dengan

O'

SOa

AZTREONAM

Aztreonam merupakan derivat monobaktam


pertama yang terbukti bermanfaat secara klinis.

CHs

Hooc-C-o,
I

CHs

,/

'N==C

HzN

645

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaftam Lai nnya

Monobaktam pada awalnya diisolasi dari kuman a.l. Gluconocabacter, Acetobacter, Chromobacterium, tetapi aktivitas antibakterinya sangat
lemah. .Kemudian dikembangkan monobaktam
sinte{ik, yaitu aztreonam, dengam menambahkan
suatu oksim-aminotiazol sebagai rantai samping ditambah gugus karboksil pada posisi 3 dan satu
gugus alfa-metil pada posisi 4. Perubahan struktur
tersebut sangat meningkatkan stabilitas aztreonam
terhadap berbagai betalaktamase dan aktivitas antibakterinya terhadap kuman gram-negatif aerobik,
termasuk Pseudomonas aeruginosa.

MEKANISME KERJA. Aztreonam bekerja dengan


menghambat sintesis dinding sel kuman, seperti
antibiotika betalaktam lain. Antibiotik ini dengan mudah menembus dinding dan membran sel kuman
gram-negatif aerobik, dan kemudian mengikat erat
peniciltin-binding-profein 3 (=PBP 3). Pengaruh interaksi tersebut pada kuman ialah terjadi perubahan
bentuk filamen, pembelahan sel terhambat dan
mati. Kadar bunuh minimal aztreonam terhadap
kuman yang peka tidak banyak berbeda dengan
KHMnya. Aztreonam tidak terikat pada PBP esensial kuman gram-positit dan kuman anaerob.
Aztreonam hanya aktif terhadap kuman gram-

negatif aerobik termasuk Haemophilus inlluenzae


dan meningokok serta gonokok yang menghasilkan

betalaktamase. Terhadap Enterobacteriaceae, lermasuk yang resisten terhadap penisilin, sefalosporin generasi satu dan aminoglikosida, potensinya

sebanding dengan sefalosporin generasi ketiga'


Terhadap berbagai strain Pseudomonas aeruginosa, aztreonam sangat aktil, tetapi seftazidim
masih sedikit lebih poten. Obat ini tidak aktif terhadap spesies Acinetobacter, Xantomonas malto'
philia, Achromobacter xyloxidans, spesies A/caligenes dan Legionella pneumophila. Aztreonam
tahan terhadap betalaktamase umumnya, kecuali
betalaktamase tertentu seperti yang dihasilkan

Klebsiella oxytoca suatu kuman yang jarang

ditemukan.

FARMAKOKINETIK. Aztreonam harus diberikan


secara lM atau lV, karena tidak diabsorpsi melalui
saluran cerna.
Kadar puncak dalam serum darah pada pemberian 1 g lM dalam waktu 60 menit mencapai 46

ug/ml dan pada pemberian bolus lV 125 ug/ml'


Pemberian 1 g aztreonam secara infus selama 30

menit, mencapai kadar puncak dalam darah 90


sampai 164 ug/ml. Sekiiar 56% aztreonam dalam
darah terikat pada protein plasma. Obat ini di-dis-

tribusi luas ke dalam berbagai jaringan dan cairan


tubuh yaitu sinovial, pleural, perikardial, peritoneal,
cairan lepuh, sekresi bronkus, tulang, empedu hati,
paru paru, ginjal, otot, endometrium dan usus.
Kadar dalam urin tinggi. Selain itu kadar dalam
prostat yang tidak meradang dapat mencapai sekitar 8 ug/g jaringan dalam waktu 1 sampai 3 jam
sesudah pemberian lM. Kadar tersebut jauh lebih
tinggi dari KHM Enterobacteriaceae pada umumnya. Pada meningitis kadar yang dapat dicapai di
CSS sekitar 5 sampai 10 kali lebih tinggi dari KHM
Enterobacteiaceae. Penetrasi ke dalam CSS bila
tidak ada meningitis hanya mencapai kadar sekitar
l14kali bila dibandingkan dengan pada meningitis.
Ekskresi terutama melalui filtrasi glomerulus dan
sekresi tubulus ginjal dalam bentuk utuh, yaitu sekilar 7Q% dosis yang diberikan. Probenesid memperlambat ekskresinya. Sekitar 7% obat dimetabolisme
dan metabolitnya kemudian diekskresi melalui urin.
Hanya 1 % yang diekskresi melalui tinja dalam bentuk utuh. Pada orang dewasa waktu paruh aztreonam mencapai 1 ,7 iam (1 ,6 sampai 2,1 jam), pada
neonatus jauh lebih lama. Pada pasien dengan
gangguan lungsi ginjal perlu penyesuaian dosis
aztreonam, karena waktu paruh eliminasi memanjang, bahkan pada gagal ginjal waktu paruh eliminasinya dapat mencapai 6 jam. Pada pasien yang
mengalami hemodialisis perlu diberi dosis suplemen. Pada sirosis hepatis penggunaan jangka panjang perlu penyesuaian dosis, karena dalam keadaan ini bersihan total menurun 2Qo/o sampai 25%.

lNDlKASl. Aztreonam tunggal maupun dalam kombinasi dengan antimikroba lain, efektil untuk mengatasi infeksi berat oleh kuman gram-negatil aerobik'
lndikasinya antara lain untuk infeksi saluran kemih
dengan komplikasi, saluran napas bawah, kulit dan
struktur kulit, alat kelamin, intra-abdominal, tulang
dan bakteremia pada dewasa dan anak.
Spektrum antibakteri aztreonam mirip antibio-

lika aminoglikosida, tetapi tidak aktif terhadap kuman gram-positif. Sehubungan dengan itu aztreonam dapat menjadi alternatil aminoglikosida, khusus untuk inleksi kuman gram-negatif. Untuk penderita inleksi yang memerlukan antimikroba speklrum luas dan lidak tahan terhadap aminoglikosida
dan antimikroba betalaktam lain, kombinasi aztreonam dengan antibiotika yang aktil terhadap kuman

gram-positil misalnya vankomisin merupakan


pilihan yang baik.

EFEK SAMPING. Elek samping aztreonam tidak


banyak berbeda dengan antibiotika betalaktam lain.

646

Farmakologi dan Terapi

Penggunaan rutin untuk neonatus tidak dianjurkan,

sampai ada data yang pasti bahwa kadar tinggi


arginin yang terdapat pada sediaan sebanyak 7g0
mg/g antibiotik tidak menyebabkan hipogliliemia.
POSOLOGI. Aztreonam diberikan secara suntikan
lM yang dalam, bolus lV perlahan-lahan atau infus
intermiten dengan periode 20 sampai 60 menit.
Perlu diperhatikan instruksi pabrik pembuat untuk
masing-masing sediaan.
Dosis dewasa, 1-g g/hari, dibagi untuk pem_
berian setiap 6 sampai 12 jam. Untuk infeksi sairran
kemih 500 mg atau 1 g setiap 8 sampai 12 jam.
Pemberian lV dianjurkan untuk yang memer_
lukan dosis lebih dari 1 g misalnya pasi"n
tisemia bakterial, abses intra-abdominal, peritonitis
""p_
atau inleksi sistemik berat lainnya. Untuk infeksi
Ps.a.eruginosa, 2 g tiap 6 atau g jam, terutama pada

awal terapi. Pada pasien usia lanjut, dianjurkan

untuk menggunakan klirens kreatinin sebagai pedo_


man pengaturan dosis bila perlu. Untuk bayi dan
anak-anak, ketentuan dosis belum mantap, tapi dianjurkan 90 sampai 120 mg/kg/hari dibagi dalam
3-4 dosis.

Untuk pasien dewasa dengan gangguan


lungsi ginjal, anjuran pengaturan Oosis seUagaiOerikut: bersihan kreatinin 30 sampai t O/meniVt
,ZS tvt2,
dosis awal 1 alau 2 g, kemudian dosis penunjang

setengan dosis biasa dengan interval 6, g atau 12

jam; untuk bersihan kreatinin kurang dari .l 0 ml/


menit/1 ,79 M2, dosis awal 500 mg,l g atau Z g
kemudian dosis penunjang seperempat dosis biasa
dengan interval 6, 8 atau 12 jam. Untuk infeksi berat

selain dosis penunjang, seperdelapan dari dosis


diberikan setiap sesudah dilakukan hemo-

:6-wa.l

dialisis. Sediaan : bubuk 500 mg, .l g dan 2 g.

3.2. PENGHAMBAT BETALAKTAMASE


DENGAN KOMBINASINYA

ngannya bebas dari pengrusakan oleh enzim tersebut dan dapat menghambat sintesis dinding sel
bakteriyang dituju.
Silat ikatan betalaktamase dengan pengham_
batnya ini umumnya menetap, penghambatnya se_
ringkali bekerja sebagai suatu su,blde inhibitpr,
karena ikut hancur di dalam betalaktamase yang
diikatnya.

ASAM KLAVULANAT. Obat ini diisolasi darijamur


Strep. clavuligerus. Sulbaklam, suatu sullon asam
penisilinat, merupakan derivat sintetis 6_aminope_
nisilinat. Kedua inhibitor ini menghambat eksoenzim stafilokok yang diperantarai ptasmid dan beta_
laktamase Richmond dan Sykes Tipe ll, lll, lV, V dan
Vl; diantaranya termasuk enzim TEM-I (Tipe lll)

yang dihasilkan oleh H. influenzae, N. gonorrhoeae,

E. coli, Salmonella dan Shigella. Selain itu juga


betalaktamase yang diperantarai plasmid lain yang
dihasilkan oleh bakteria gram-negatif tertentu dan

enzim yang diperantarai kromosom yang dihasilkan


oleh Klebsiella fl-ipe lV), B. fragilis dan Legionella.
Betalaktamase yang diperantarai kromosom, Rich_
mond dan Sykes Tipe I yang dihasilkan oleh Entero_
bacter, Serratia, Morganella, Citrobacter, pseudo-

monas dan Acinetobacler umumnya resisten terhadap asam klavulanat dan sulbaktam. Contoh se_
diaan kombinasi tetap yang tersedia untuk pengo_
batan ialah a.l. : Amoksisilin/klavulanat potasium,

ampisilin/sulbaktam dan tikarsilin/klavunamat


potasium.

"+"(:,.,."
COOH

asam klavulanat

PENGHAMBAT BETALAKTAMASE
Penghambat betalaktmase yang telah diguna_

kan dalam pengobatan ialah asam ilavulanal dan


sulbaktam. Penghambat tersebut tidak memperli_
hatkan aktivitas antibakteri, sehingga tidak dapat
digunakan sebagai obat tunggal untuk menanggu_
langi penyakit infeksi. Bila dikombinasi dengan-an_
tibiotika betalaktam, penghambat ini akan mengitat
enzim betalaktamase, sehingga antibiotika plsa_

sulbaktam

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalakam Lainnya

647

KOMBtNASt AMOKStStLtN/KAL|UM KLAVU-

resisten atau sebab lain. Bila penyebab infeksi tidak


memproduksi betalaktamase, amoksisilin tunggal
merupakan obat pilihan utama,
lnfeksi saluran kemih berulang pada anak dan
dewasa oleh E. coli dan kuman patogen lain yang
memproduksi betalaktamase,yang tidak dapat diatasi oleh kotrimoksazol, kuinolon atau sefalosporin
oral.
lnleksi jaringan lunak oleh berbagai kuman
patogen penghasil betalaktamase yang resisten terhadap isoksasolil penisilin, atau sefalosporin oral
generasi pertama.
lnfeksi oleh Eikenella corrodens, streptokokus, S. aureus, anaerob oral pada luka gigitan oleh
manusia; dan inleksi Pasteurella multocida, streptokokus, S. aureus, anaerob oral akibat luka gigitan
hewan. Untuk ini try'KV merupakan pilihan utama.
Chanchroid oleh H. ducrey yang penghasil
betalaktamase, yang tidak dapat diatasi oleh eritromisin atau seltriakson.

LANAT
Amoksisilin tunggal in vitro aktil terhadap ber-

bagai kuman aerobik dan anaerobik gram-positif


dan gram-negatif bukan penghasil betalaktamase.
Kombinasi amoksisilin/kalium klavulanat tidak meningkatkan aktivitas in vitro terhadap kuman yang
sensitif tersebut, tetapi memperluas spektrum aktivitasnya terhadap kuman penghasil betalaktamase
yang intrinsik termasuk strain yang sensitif. Kombinasi ini tidak aktil terhadap S. aureus yang resis-

ten terhadap metisilin.


FARMAKOKINETIK. Kedua komponen obat kombinasi ini profil farmakokinetiknya mirip dan tidak
saling menghambat. Absorpsi kalium klavulanat
tidak dipengaruhi oleh makanan, susu atau antasid.
Obat ini tahan lerhadap suasana asam. Pada sukarelawan sehat, pemberian per oral 125 mg'kalium
klavulanat (KV) bersama amoksisilin 500 mg, kadar
tertinggi rata-rata KV dalam darah akan mencapai
3,5-3,9 ug/ml dalam satu sampai dua jam setelah
pemberian. Sekitar 30% KV terikat pada protein
plasma, sisanya didistribusi terutama ke dalam cairan ekstrasel. Kadar KV yang cukup terdapat pada
empedu, cairan pleura dan peritoneal dan cairan
telinga tengah. Kadar dalam cairan otak rendah, bila
tidak ada peradangan mening. Pada dosis tinggi

kadar dalam sputum cukup tinggi. Kadar KV di


dalam cairan amnion dan tali pusat mencapai sekitar 50% dari kadar dalam darah ibu.
Ekskresi KV terutama melalui ginjal, tetapi

probenesid tidak mempengaruhi bersihan ginjal


obat tersebut . Setelah 6 jam pemberian, sekitar
25% sampai 40% obat ini terdapat didalam urin dalam bentuk asal. Waktu paruh eliminasinya sekitar
1 jam. Waktu paruh ini memanjang bila ada gangguan fungsi ginjal. Penyesuaian dosis KV dibuat bersama dengan penyesuaian dosis amoksisilin.

lNDlKASl. Kombinasi amoksisilin/kalium klavulanat


(A/KV) diindikasikan sebagai obat alternatil untuk
berbagai infeksi oleh jenis bakteria gram-negatif
dan gram-positif yang termasuk cakupan spektrium

aktivitas amoksisilin tetapi memproduksi betalaklamase, selain itu juga kuman anaerob. Obat ini
diindikasikan untuk inleksi berikut.
lnleksi akut pada telinga-hidung-tenggorokan,
infekbi ringan sampai sedang saluran napas bawah
oleh H. influenzae, M. catarrhalis yang memproduksi betalaktamase, yang tidak dapat diatasi oleh kotrimoksazol atau sefalosporin oral karena alergi,

EFEK SAMPING. Amoksisilin/kalium klavulanat


umumnya jarang menimbulkan efek samping berat.
Efek samping yang paling sering timbul ialah diare,
terutama pada dosis KV > 250 mg. Jenis elek samping A/KV sama dengan amoksisilin tunggal. Dilaporkan A/KV dapat mengganggu lungsi hati yaitu
berupa peningkatan lransminase serum. Kelainan
ini dapat kembali normal bila obat dihentikan. Alergi
terhadap penisilin merupakan kontraindikasi pemberian A/KV.
POSOLOGI. Dosis A/KV per oral untuk dewasa dan
anak (berat > 40 kg) ialah 250 mg/125 mg tiap 8 jam.
Untuk penyakit berat dosis Fi/KV 500 mg/125 mg
tiap 8 jam. Untuk anak-anak < 40 kg dosis amoksisilin 20 mg/kg /hari, dosis KV disesuaikan dengan
dosis amoksisilin.
DINATRIUM TIKARSILIN/KALIUM KLAVULANAT

Tikarsilin ialah suatu karboksipenisilin, berspektrum antibakteri lebih luas dari ampisilin, termasuk Ps. aeruginosa dan kokus gram-negatif..
Obat ini aktil terhadap bakteria gram- positif kecuali
enterokok dan stafilikok penghasil betalaktamase
atau resisten terhadap metisilin. Tambahan asam
klavulanat tidak meningkatkan aktivitas tikarsilin terhadap Ps. aeruginosa, A. calcoacetieug S. marces-

cens dan Enterobicter.

Seperti kombinasi amoksisilin/klavulanat,


kombinasi tikarsilin/kalium klavulanat memperluas

648

Farmakologi dan Terapi

spektrum tikarsilin. Tetapi kombinasi ini kurang

rata-rata dalam serum mencapai 18 ug/ml dan 13

elektif terhadap stafilikok yang resisten metisilin.


Elek samping kombinasi sama dengan tikarsilin. dan amoksisilin/kalium klavulanat.

ug/ml.

FARMAKOKINETIK. Setelah pemberian infus (30


menit) 3 g tikarsilin/100 g kalium klavulanat, segera
dicapai kadar puncak rata-rata dalam darah tikarsilin 330 ug/ml dan asam klavulanat 8 ug/ml. Kadar
yang sama akan dicapai bila kedua obat tersebut
diberikan masing-masing dalam bentuk tunggal.
PENGGUNAAN. Tikarsilin/klavulanat diindikasikan
untuk infeksi berat saluran napas bawah, saluran
kemih, tulang dan sendi, kulit dan jaringan lunak dan

septisemia oleh bakteria gram-negatif, S. aureus


penghasil betalaktamase, dan kuman yang peka
terhadap tikarsilin. Selain itu digunakan juga untuk
pengobatan inleksi campur intra-abdominal dan ginekologik.

POSOLOGI. Tikarsilin/kalium klavulanat diberikan

secara infus intermiten selama 30 menit. Untuk


infeksi saluran kemih sistemik pada orang dewasa
(60 kg) dosis tikarsilin/kalium klavulanat 3 g/100 mg

tiap 6 jam per hari; untuk pasien kurang dari 60 kg,


200 sampai 300 mg/kg /hari( berdasarkan komponen tikarsilin) dibagi tiap 4 sampai 6 jam pemberian. Dosis anak di bawah 12 tahun belum diketahui.

Sekitar 38% SB dalam serum terikat protein


plasma, obat ini didistribusi terutama ke dalam cairan ekstrasel. Sulbaktam mencapai kadar tinggi di
urin, kadar cukup di empedu, mukosa saluran cerna, saluran reprodukssi wanita, selain itu dapat
melewati plasenta dan terdapat di air susu ibu. Ekskresi SB melalui liltrasi glomerulus dan sekresi
tubuli ginjal, dapat diperlambat oleh probenesid.
Kira-kira 75%-85% dosis terdapat di urin dalam
bentuk asal, setelah + 8 jam. Waktu paruh eliminasi
SB + 1 jam pada dewasa sehat. Pada neonatus,
usia lanjut dan penderita kelainan lungsi ginjal wak-

tu paruh SB memanjang. Pada gangguan lungsi


ginjal perlu penyesuaian dosis.

POSOLOGI. Ampisilin/sulbaktam dapat diberikan


secara lM dalam, lV 10 sampai 15 menit atau inlus
lV (50 ml dalam 100 ml pelarut) 15 sampai 30 menit.
Untuk dewasa lV, lM-dalam AP/SB 1 g/0,5 S - 2Sl1
g setiap 6 jam. Dosis total sulbaktam tldak lebih dari
4 g/hari. Untuk anak kurang dari 12 tahun belum ada
dosis mapan. Untuk penderita dengan kelainan
fungsi ginjal dosis disesuaikan dengan bersihan
kreatinin, sebagai berikut :

Bersihan Waktu Paruh


kreatinin ampisilin/sulbaktam
(jam)

NATBTUM AMplStLtN/NATRtUM SULBAKTAM

ln vitro ampisilin (AP) aktif terhadap berbagai


kuman gram- positif dan gram-negatif dan beberapa
jenis kuman anaerob. Kombinasi dengan sulbaktam
(SB) tidak mengubah aktivitas AP, tetapi memper-

luas spektrumnya mencakup kuman penghasil betalaktamase yang intrinsik termasuk galur peka terhadap AP dan kuman anaerob termasuk B. fragitis.

lNDlKASl. Ampilisin/sulbaktam diindikasi pada in-

leksi (oleh kuman yang sensitif) ginekologik, intra


abdominal dan kulit serta jaringan lain pada dewasa
dan anak usia lebih dari 12 tahun. Selain itu juga
diindikasikan untuk mengatasi infeksi campur
aerobik dan anaerobik.

FARMAKOKINETIK. Kedua komponen tersebut


tidak saling mempengaruhi secara larmakokinetik.
Pemberian AP/SB 2 Sl1 g secara inlus lV selama
15 menit akan menghasilkan kadar puncak dalam
serum 120 ug/ml dan 60 uglml. Satu jam setelah
pemberian lM AP/SB 1 g/500 mg kadar puncak

>30

15 - 29

5-14

1,5-3gtiap6-8jam

1,5-3gtiap12
1,5-3gtiap24

jam
jam

EFEK SAMPING. Dosis ini umumnya ditoleransi


dengan baik. Efek samping yang timbul sama dengan efek samping ampisilin tunggal.

3.3. KOMBINASI KARBAPENEM


tMtPENEM/NATRtUM STLASTATTN

lmipenem, suatu turunan tienamisin, mbrupa-

kan karbapenem pertama yang digunakan dalam


pengobatan. Tienamisin diproduksi oleh Strepto myces cattleya. lmipenem mengandung cincin betalaktam dan cincin lima segi tanpa atom sulfur. Oleh
enzim dehidropeptidase yang terdapat pada brush
border tubuli ginjal, obat ini dimetabolisme menjadi
metabolit yang nelrotoksik, Hanya sedikit yang terdeteksi dalam bentuk asal di urin.

Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya

dapnya, imipenem memperlihatkan efek pascaantibiotik.


SCH2CH2NHCH -

no\"

NH

H20

n"'I
CH3

lmlpenem

H\
/'COONa
C-C

Hooc. ,
' C-

cnzscH

I
NH2

zcnzinz i'll-l

ctl3

I
>-cH3
o-c---<
H

Natrium silastatin

Silastatin, penghambat dehidropeptidase-1,

tidak beraktivitas antibakteri. Bila diberikan bersama imipenem dalam perbandingan sama, silastatin akan meningkatkan kadar imipenem aktif di
dalam urin dan mencegah efek toksiknya terhadap
ginjal.

Mekanisme kerja dan spektrum antibakteri. lmipenem mengikat PBP2 dan menghambat sintesis

dinding sel kuman. ln vitro obat ini berspektrum


sangat luas, termasuk kuman gram-positil dan
gram-negatif , baik yang aerobik maupun anaerobik;
imipenem beraktivitas bakterisid. Selain itu obat ini

resisten terhadap berbagai jenis betalaktamase


baik yang diperantarai plasmid maupun kromosom. lmipenem in vitro sangat aktil terhadap kokus
gram-positif , termasuk staf ilokok, streptokok, pneumokok dan E. faecalrs serta kuman penghasil betalaktamase umumnya. Tetapi obat ini tidak aktil terhadap stafilokok resisten metisilin atau galur yang
uji koagulasinya negatif. lmipenem aktif terhadap
sebagian besar Enterobacteriaceae, potensinya sebanding dengan aztreonam dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu spektrumnya meluas mencakup kuman yang resisten penisilin, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. lmipenem
juga sangat aktif terhadap meningokok, gonokokus
dan H. influenzae termasuk yang memproduksi

betalaktamase. Terhadap Acinetobacter dan Ps.


aeruginosa aktivitasnya sebanding dengan seftazidim. Terhadap kuman anaerob aktivitasnya sebanding dengan klindamisin dan metronidazole,
tetapi terhadap Clostridium difficile tidak aktif. Terhadap sebagian besar kuman yang sensitif terha-

lNDlKASl. lmipenem/silastatin digunakan untuk pengobatan inteksi berat oleh kuman yang sensitif,
termasuk infeksi nosokomial yang resisten terhadap antibiotik lain, misalnya infeksi saluran napas
bawah, intra abdominal, obstetri-ginekologi, osteomielitis dan endokarditis oleh S. aureus. Untuk inleksi berat oleh Ps. aeruginosa dianjurkan agar dikombinasikan dengan aminoglikosida, karena bere{ek sinergestik.
EFEK SAMPING. lmipenem/silastatin dosis 1 sampai 4 g tiap komponen per hari, umumnya ditoleransi
dengan baik. Efek samping yang mungkin timbul
secara umum sama dengan antibiotik betalaktam
lainnya.
Efek samping yang paling sering dari imipenem ialah mual, muntah, kemerahan kulit dan reaksi
lokal pada tempat infus. Kejang dilaporkan terjadi
pada 0,9% dari 1,754 pasien yang mendapat obat
tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut obat ini
dikontraindikasikan pada pasien yang berisiko tinggi untuk menderita kejang. Bila diberikan bersama
siklosporin sebaiknya hati-hati, karena keduanya
dapat mengganggu susunan saraf pusat.

FARMAKOKINETIK. lmipenem maupun silastatin

tidak diabsorpsi melalui saluran cerna, sehingga


harus diberikan secara suntikan. Setelah pemberian masing-masing 1 g impenem/silastatin secara
infus 30 menit, kadar puncak rata-rata dapat mencapai 52 dan 65 ug/ml. Enam jam kemudian kadar
menurun sampai 1 ug/ml. Kadar puncak imipenem
dalam plasma (10 dan 12 prg/ml) dicapai dalam 2
jam. Kadar puncak silastatin 24 dan 33 prg/ml yang
dicapai 1 jam sesudah pemberian. Kira-kira 20%
impenem dan 40% silastatin terikat protein plasma.
Distribusi obat ini merata ke berbagai jaringan dan
cairan tubuh, Pada meningitis, pemberian 1 g obat
ini tiap 6 jam, akan mencapai kadar dalam cairan
otak setinggi 0,5 dan 11 pg/ml. Kadar imipenem
dalam empedu umumnya rendah. Obat ini diekskresi melalui liltrasi glomerulus dan sekresi tubu'li
ginjal.

Bila diberikan bersama silastatin, + 70% dati


dosis imipenem diekskresi di urin dalam bentuk asal

10 jam sesudah pemberian, sisanya dimetabolisme. Silastatin diekskresi dalam urin sekitar 75%
dalam bentuk asal, sisanya dimetabolisme, Metabolit utama sebanyak + 12% dari dosis terdapat di

650

urin sebagai N-asetil silastatin. Ekskresi imipenem


maupun silastatin melalui tinja hanya sekitar 1%.
Waktu paruh imipenem dan silastatin + 1 jam
padg orang dewasa. Pada kelainan fungsi ginjal
waktu paruh imipenem dapat mencapai 3,5 sampai
4 jam dan silastatin sampai 16 jam sehingga perlu
penyesuaian dosis. Pada hemolisis waktu paruh

Farmakolqi dan Terapi

imipenem 2,5 iam dan silastatin 3,8 jam, sehingga


sesudah dialisis pedu dosis suplemen.

POSOLOGI. Dosis lazim imipenem ialah 0,5-1 g


tiap 6 jam. Dosis harus dikurangi pada keadaan
payah ginjal dan dosis tambahan diberikan setelah
hemodialisis.

651

Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol

44. GOLONGAN TETRASIKLIN DAN KLORAMFENIKOL


R. Setiabudy dan L. Kunardi

1.

Golongan tetrasiklin
1.1. Asal dan kimia
1.2. Mekanisme kerja
1.3. Efek antimikroba
1.4. Farmakokinetik
1.5. Efek samping
1.6. Penggunaan klinik
1.7. Sediaan dan posologi

2.

Kloramfenikol
2.1. Asal dan kimia
2.2. Elek antimikroba
2.3. Farmakokinetik
2.4. Elek samping
2.5. Penggunaan klinik
2.6. Sediaan dan posologi
2.7. Tiamfenikol

Rg

1. TETRASIKLIN

N(CHs)z

1.1. ASAL DAN KIMIA


Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama
ditemukan ialah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh
Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan
oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Strep-

tomyces lain.
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut
dalam air, tetapi bentuk garam natrium atau garam
HCI-nya mudah larut. Dalam keadaan kering, bentuk basa dan garam HCI tetrasiklin bersilat relatif
stabil. Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin sangat
labil jadi cepat berkurang potensinya.

Gugus
Jenis tgtrasiklin
Rr
1. Klortetrasiklin
2. Oksitetrasiklin
3. Tetrasiklin
4. Demeklosiklin
5. Doksisiklin
6. Minosiklin

-ct
.H
-H

-ct
.H
-N(CHo)e

Rg

-OH
-OH
-OH
-H, -OH
-CHg, -H
.H, .H

-CHg,
-CHo,
-CHs,

-H, -H
-OH, -H
-H, -H

-H, -H
-OH, -H
.H, .H

Struktur kimia golongan tetrasiklin dapat


dilihat pada Gambar 44-1.

Gambar 44-1, Struktur kimia golongan tetrasiklin

1.2. MEKANISME KERJA


Golongan tetrasiklin menghambat sintesis
protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya anlibiotik ke dalam
ribosom bakteri gram-negatif; pertamayang disebut
dilusi pasil melalui kanal hidrofilik, ke dua ialah sistem transport aktil. Setelah masuk maka antibiotik
berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi
masuknya komplek tRNA-asam amino pada lokasi
asam amino.

1.3. EFEK ANTIMIKROBA


Pada umumnya spektrum golongan tetrasiklin

sama (sebab mekanisme kerjanya sama), namun


terdapat perbedaan kuantitatil dari aktivitas masingmasing derivat terhadap kuman tertentu. Hanya
mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi
obat ini.

Farmakologi dan Terapi

Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang


terutama bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan
jalan menghambat sintesis protein kuman (lihat Bab
3e). .

sistensi terhadap semua letrasiklin lainnya, kecuali


minosiklin pada resistensi S. aureus dan doksisiklin
pada resistensi B. fragilis.

Spektrum Antimikroba. Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman
gram-positif dan negatif, aerobik dan anaerobik.
Selain itu juga aktif terhadap spiroket, mikoplasma,
riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu.

Pada umumnya tetrasiklin tidak digunakan


untuk pengobatan inleksi oleh streptokokus karena
ada obat lain yang lebih efektil yaitu penisilin G,
eritromisin, selalosporin; kecuali doksisiklin yang
digunakan untuk pengobatan sinusitis pada orang
dewasa yang disebabkan oleh Str. pneumoniae
dan Str. pyogenes. Banyak strain S. aureus yang
resisten terhadap tetrasiklin.

Tetrasiklin dapat digunakan sebagai peng-

ganti penisilin dalam pengobatan inleksi batang


gram-positif seperti B. anthracis, Erysipelothrix
rhusiopathiae, Clostridium tetani dan Listeria monocytogenes.

1.4. FARMAKOKINETIK
Absorpsi. Sekitar 30-80 % tetrasiklin diserap
dalam saluran cerna. Doksisiklin dan minosiklin diserap lebih dari 90 %. Absorpsi ini sebagian besar
berlangsung di lambung dan usus halus bagian
atas. Adanya makanan dalam lambung menghambat penyerapan golongan tetrasiklin, kecuali minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi berbagai jenis tetrasiklin dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi
dan pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin
dengan suatu zat lain yang sukar diserap seperti
alurninium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat dalam antasid, dan
juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan
atau 2 jam sesudah makan.
Tetrasiklin losfat kompleks tidak terbukti lebih
baik absorpsinya dari sediaan tetrasiklin biasa.

Kebanyakan strain /V. gonorrhoeae sensilil


terhadap tetrasiklin, tetapi N. gonorrhoeae penghasil penisilinase (PPNG) biasanya resisten terhadap
tetrasiklin.
Elektivitasnya tinggi terhadap inleksi batang
gram-negatil seperti Brucella, Francisella tularensig Pseudomonas mallei, Pseudomonas pseudo-

variasi.

mallei, Vibrio cholerae, Campylobacter fetus,


Haemophilus ducreyi dan Calymmatobacterium
granulomatis, Yersinia pests, Pasteurella multo-

Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada


insulisiensi ginjal sehinggaobat ini boleh diberikan

cida, Spirillum minor, Leptotrichia buccalis, Bordetella pertusis, Acinetobacter dan Fusobacterium.
Strain tertentv H. influenzae mungkin sensitif, tetapi
E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus indol
positil dan Pseudomonas umumnya resisten.
Tetrasiklin juga merupakan obat yang sangat
elektil untuk inleksi Mycoplasma pneumoniae,
Ureaplasma urealyticum, Chlamydia trachomatis,
Chlamydia psittaci, dan berbagai riketsia. Selain itu
obat ini juga aktil terhadap Borrelia rccunentis, Treponema pallid um, T reponema perten ue, Actinomyces r'srae/ii. Dalam kadar tinggi antibiotik ini mengham bat pertumbuhan E ntamoe ba hi stol ytica.

Resistensi. Beberapa spesies kuman, terutama


streptokokus bela hemolitikus, E. coli, Pseudomonas aeruginosa, Str, pneumoniae, N. gononhoeae,
Bacteroides, Shigella dan S. aureus makin meningkat resistensinya terhadap tetrasiklin. Resistensi
terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya disertai re-

Distribusi. Dalam plasma semua jenis tetrasiklin


terikal oleh protein plasma dalam jumlah yang berPemberian oral 250 mg tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin tiap 6 jam menghasilkan
kadar sekitar 2.0-2.5 mcg/ml.

pada gagal ginjal.

Dalam cairan serebrospinal (CSS) kadar go-

longan tetrasiklin hanya 10-20 % kadar dalam


serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari
adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain
dan jaringan tubuh cukup baik, Obat golongan ini
ditimbun dalam sistem retikuloendotelial di hati,
limpa dan sumsum tulang, serta di dentin dan email
dari gigiyang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin
menembus sawar uri, dan terdapat dalam air susu
ibu dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan
dengan tetrasiklin lainnya, doksisiklin dan minosiklin daya penetrasinya ke jaringan lebih baik.

Ekskresi. Golongan tetrasiklin diekskresi melalui


urin dengan liltrasi glomerulus, dan melalui empedu. Pada pemberian per oral kira-kira 20 - 55 o/o
golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hali ke dalam
empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang diekskresi ke dalam

Gotongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol

lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik;


maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk
waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi
obstruksi pada saluran empedu atau gangguan laal
hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah.

Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja'


Antibiotik golongan tetrasiklin dibagi menjadi

3 golongan berdasarkan silat larmakokinetiknya


(1 )

Tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin.

Absorpsi kelompok tetrasiklin ini tidak lengkap dengan masa paruh 6-12 jam. (2) Demetilklortetrasiklin. Absorpsinya lebih baik dan masa paruhnya
kira-kira 16 jam sehingga cukup diberikan 150 mg
per oraltiap 6 jam, (3) Doksisiklin dan minosiklin.
Absorpsinya baik sekali dan masa paruhnya 17-20
jam. Tetrasiklin golongan ini cukup diberikan 1 atau
2 kali 100 mg sehari.

1.5. EFEK SAMPING

Elek samping yang mungkin timbul akibat


pemberian golongan tetrasiklin dapat dibedakan
dalam 3 kelompok yaitu reaksi kepekaan, reaksi
toksik dan iritalil serta reaksi yang timbul akibat
perubahan biologik.

REAKSI KEPEKAAN. Reaksi kulit yang mungkin


timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin ialah
erupsi morbililormis, urlikaria dan dermatitis eksfoliatif. Fleaksi yang lebih hebat ialah udem angioneurotik dan reaksi anafilaksis. Demam dan eosinolilia
dapat pula terjadi pada waktu terapi berlangsung.
Sensitisasi silang antara berbagai derivat tetrasiklin
sering terjadi.

REAKSI TOKSIK DAN lRlTATlF. lritasi lambung


paling sering teriadi pada pemberian tetrasiklin per
oral, terutama dengan oksitetrasiklin dan doksisiklin. Makin besar dosis yang diberikan, makin sering
pula terjadi reaksi ini. Keadaan ini dapat diatasi
dengan mengurangi dosis untuk semenlara waktu
atau memberikan golongan tetrasiklin bersama dengan makanan, tetapi jangan dengan susu atau
antasid yang mengandung aluminium, magnesium
atau kalsium. Diare seringkali timbul akibat iritasi
dan ini harus dibedakan dengan diare akibat super'
inleksi statilokokus atau Clostidium difficile yang
sangat berbahaYa.

Manitestasi reaksi iritatil yang lain ialah ter'


jadinya trombollebitis pada pemberian lV dan rasa
nyeri setempat bila golongan tetrasiklin disuntikkan
lM tanpa anestetik lokal.

Terapi dalam waktu lama juga dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipik, granulasi toksik pada granulosit dan
trombositopenia.
Reaksi lototoksik paling jarang timbul dengan
tetrasiklin, tetapi paling sering timbul pada pemberian demetilklortetrasiklin. Manilestasinya berupa
fotosensitivitas, kadang-kadang disertai demam

dan eosinofilia. Pigmentasi kuku dan onikolisis,

yaitu lepasnya kuku dari dasarnya, juga dapat terjadi.

Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberi-

an golongan tetrasiklin dosis tinggi (lebih dari

gram sehari) dan paling sering terjadi setelah pem-

berian parenteral. Oksitetrasiklin dan tetrasiklin


mempunyai sifat hepatotoksik yang paling lemah dibandingkan dengan golongan tetrasiklin lain. Wanita hamil dengan pielonelritis paling sering menderita kerusakan hepar akibat pemberian golongan
tetrasiklin. Kecuali doksisiklin, golongan tetrasiklin

akan mengalami kumulasi dalam tubuh' karena itu


dikontraindikasikan pada gagal ginjal' Elek samping
yang paling sering timbul biasanya berupa azotemia, hiperlosfatemia dan penurunan berat badan.
Golongan tetrasiklin memperlambat koagulasi
darah dan memperkuat elek antikoagulan kumarin.
Diduga hal ini disebabkan oleh terbentuknya kelat
dengan kalsium, tetapi mungkin juga karena obatobat ini mempengaruhi silat lisikokimia lipoprotein
plasma,
Tetrasiklin terikat pada laringan tulang yang
sedang tumbuh dan membentuk kompleks. Pertumbuhan tulang akan terhambat sementara pada fetus
dan anak. Bahaya ini terutama terjadi mulai pertengahan masa hamil sampai anak umur tiga tahun.
Timbulnya kelainan ini lebih ditentukan oleh jumlah
daripada lamanya penggunaan tetrasiklin'
Pada gigi susu maupun gigi tetap, tetrasiklin

dapat menimbulkan disgenesis, perubahan warna


permanen dan kecenderungan terjadinya karies.
Perubahan warna bervariasi dari kuning coklat sampai kelabu lua. Karena itu tetrasiklin jangan digunakan mulai pertengahan kedua kehamilan sampai
anak berumur 8 tahun. Efek ini terlihat lebih sedikit
pada oksitetrasiklin dan doksisiklin.
Tetrasiklin yang sudah kadaluwarsa akan mengalami degradasi menjadi bentuk anhidro-4-epite-

trasiklin. Pada manusia hal ini mengakibatkan

timbulnya sindrom Fanconi dengan gejala poliuria,


polidipsia, proteinuria, asidosis, glukosuria, aminoasiduria disertai mual dan muntah. Kelainan ini
biasanya bersilat reversibel dan menghilang kira-

654

Farmakologi dan Terapi

kira satu bulan setelah pemberian tetrasiklin kadaluwarsa ini dihentikan.


Semua tetrasiklin dapat menimbulkan imbang

nitrogen negatif dan meningkatkan kadar ureum


darah. Hal ini tidak menimbulkan arti klinik pada
pasien dengan laal ginjal yang normal yang mendapat dosis biasa, tetapi pada keadaan gagal ginjal
dapat timbul azotemia.
Pemberian golongan tetrasiklin pada neonatus dapat mengakibatkan peninggian lekanan intrakranial dan mengakibatkan lontanel menonjol,
sekalipun obat-obat ini diberikan dalam dosis terapi.
Pada keadaan ini tidak ditemukan kelainan CSS
dan bila terapi dihentikan maka tekanannya akan
menurun kembali dengan cepat.

Minosiklin sering bersifat vestibulotoksik dan

dapat menimbulkan vertigo, ataksia dan muntah


yang bersifat reversibel.

EFEK SAMPING AKIBAT PERUBAHAN


BIOLOGIK
Seperti antibiofik lain yang berspektrum luas,
pemberian golongan tetrasiklin kadang-kadang diikuti oleh terjadinya superinf'eksi oleh kuman resisten dan jamur. Superinleksi kandida biasanya terjadi dalam rongga mulut, laring, bahkan kadangkadang menyebabkan inleksi sistemik. Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya superinfeksi
ini ialah diabetes melitus, leukemia, lupus eritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan
pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dalam
waktu lama.
Salah satu manifestasi superinfeksi ialah diare
akibat terganggunya keseimbangan llora normal
dalam usus. Dikenal 3 jenis diare akibat superinfeksi dalam saluran cerna sehubungan dengan pemberian golongan tetrasiklin.

Enterokolitis stafilokokus. Dapat timbul setiap


saat selama terapi berlangsung. Tinja cair sering
men gandun g darah serta leukosit polimorfonuklear.

Pemeriksaan mikroskopik dan kultur sering menun-

jukkan adanya stafilokokus koagulase positif dalam


jumlah besar pada tinja, yang pada keadaan normal
hanya sedikit. Diagnosis harus ditegakkan dengan
cepat karena keadaan ini seringkali mengakibatkan
kematian. Bila terjadi septikemia maka harus diberikan antibiotik yang efektil secara parenteral.

Kandidiasis intestinal. Sekalipun menjadi anggapan umum bahwa diare yang timbul karena pemberian golongan tetrasiklin disebabkan oleh super-

infeksi kandida dalam saluran cerna, ternyata hasil


kulturtinja dari pasien initidak menunjukkan adanya
kandida dalam jumlah besar. Bila jelas terjadi kandidiasis intestinal maka perlu diberikan nistatin atau
amfoterisin B per oral.

Kolitis pseudomembranosa. Efek samping ini dapat terjadi tetapi tidak sesering pada penggunaan
linkomisin. Pada keadaan ini terjadi nekrosis pada
saluran cerna. Jumlah stafilokokus dalam tinja tidak
bertambah. Diare yang terjadisangat hebat, disertai
demam dan terdapat jaringan mukosayang nekrotik
dalam tinja.

Untuk memperkecil kemungkinan timbulnya


efek nonterapi golongan tetrasiklin maka perlu diperhatikan beberapa hal dalam memberikan terapi
dengan antibiotik ini yaitu : (1 ) Hendaknya tidak
diberikan pada wanita hamil; (2) Bila tidak ada indikasi yang kuat, jangan diberikan pada anak-anak;
(3) Hanya doksisiklin yang boleh diberikan kepada
pasien gagal ginjal; (4) Hindarkan sedapat mungkin

pemakaian untuk tujuan profilaksis; (5) Sisa obat


yang tidak terpakai hendaknya segera dibuang; (6)
Jangan diberikan pada pasien yang hipersensitif
terhadap obat ini.

1.6. PENGGUNAAN KLINIK

lnteraksi obat. Bila tetrasiklin diberikan dengan


metoksilluoran maka dapat menyebabkan nef rotoksik. Bila dikombinasikan dengan penisilin maka aktivitas antimikrobanya dihambat.
Karena penggunaannya yang berlebih, dewasa ini terjadi resistensi yang mengurangi efektivitas
tetrasiklin. Penyakit yang obat pilihannya golongan
tetrasiklin ialah

RIKETSIOSIS. Perbaikan yang dramarik tampak

setelah pemberian golongan tetrasiklin. Demam


mereda dalam 1-3 hari dan ruam kulit menghilang
5 hari. Perbaikan klinis yang nyata telah
tampak 24 jam setelah terapi dimulai.

dalam

INFEKSI KLAMIDIA. Limfogranuloma venereum.


Untuk penyakit ini, golongan tetrasiklin merupakan
obat pilihan utama. Pada infeksi akut, diberikan
terapi selama 3-4 minggu dan untuk keadaan kronis
diberikan lerapi 1-2 bulan. Empat hari setelah terapi
diberikan, bubo mulai mengecil.

Psitakosis. Pemberian golongan tetrasiklin selama


beberapa hari dapat mengatasi gejala klinis. Dosis
yang digunakan ialah 2 gram per hari selama 7-10
hari atau 1 gram per hari selama 21 hari.

Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol

lnclusion conjunctivitis. Penyakit ini dapat diobati


dengan hasil baik selama 2-3 minggu dengan memberikan salep mata atau obat tetes mata yang mengandung golongan tetrasiklin.
Trakoma. Pemberian salep mata golongan tetrasiklin yang dikombinasikan dengan doksisiklin oral selama 40 hari memberikan hasil pengobatan yang
baik.

URETRITIS NONSPESIFIK. lnfeksi yang disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum alau Chlamydia
trachomatis ini terobati baik dengan pemberian tetrasiklin oral 4 kali 500 mg sehari selama 7 hari.
lnfeksi C. trachomatis seringkali menyertai uretritis
akibat gonokokus.

655

INFEKSI VENERIK. Gonore. Penisilin masih merupakan antibiotik pilihan utama untuk inleksi ini. Bila
pasien alergi terhadap penisilin, dapat diberikan
tetrasiklin per oral dengan dosis 500 mg empat kali
sehari atau doksisiklin 100 mg dua kali sehari sela-

ma 7 hari, Perlu diperhatikan bahwa tetrasiklin


mempunyai masking eflect terhadap infeksi sifilis
sehingga menyulitkan diagnosis.

Sifilis. Tetrasiklin merupakan antibiotik pilihan kedua setelah penisilin untuk mengobati sifilis. Dosisnya 4 kali 500 mg sehari per oral selama 15 hari.
Tetrasiklin juga efektif untuk mengobati chancroid
dan granuloma inguinal. Karena itu dianjurkan
memberikan dosis yang sama dengan dosis untuk
terapi sililis.

INFEKSI MYCOPLASMA PNEUMONIAE. Pneumonia primer atipik yang disebabkan oleh mikroba
ini dapat diatasi dengan pemberian golongan tetrasiklin. Walaupun penyembuhan klinis cepat dicapai
Mycoplasma pneumoniae mungkin tetap terdapat
dalam sputum setelah obat dihentikan.

INFEKSI BASIL. Bruselosis. Pengobatan dengan


golongan tetrasiklin memberikan hasil baik sekali
untuk penyakit ini. Hasil pengobatan yang memuaskan biasanya didapat dengan pengobatan selama
3 minggu. Untuk kasus berat, seringkali perlu diberikan bersama streptomisin 1 g sehari lM.

AKNE VULGARIS. Tetrasiklin diduga menghambat


produksi asam lemak dari sebum. Dosis yang diberikan untuk ini ialah 2kali 250 mg sehari selama 2-3
minggu, bila perlu terapi dapat diteruskan sampai
beberapa bulan dengan dosis minimal yang masih
efektif

INFEKSI LAIN. Actinomycosis.Golongan tetrasik-

lin dapat digunakan untuk mengobati penyakit ini


bila penisilin G tidak dapat diberikan kepada pasien.

Frambusia. Respons penderita terhadap pemberi-

Tularemia. Obat pilihan utama untuk penyakit ini

an golongan tetrasiklin berbeda-beda. Pada beberapa kasus hasilnya baik, yang lain tidak memuas-

sebenarnya ialah streptomisin, tetapi terapi dengan


golongan letrasiklin juga memberikan hasil yang
baik.

kan. Antibiotik pilihan utama untuk penyakit ini ialah


penisilin.

Kolera. Tetrasiklin merupakan antibiotik yang efektil untuk penyakit ini. Pemberian letrasiklin dapat
mengurangi kebutuhan cairan infus sebanyak 50 %
dari yang dibutuhkan tanpa antibiotika untuk mencapai keadaan rehidrasi.

Sampar. Antibiotik terbaik untuk mengobati infeksi


ini ialah streptomlsin. Bila streptomisin tidak dapat
diberikan, maka dapat dipakai golongan tetrasiklin.
Pengobatan dimulai dengan pemberian secara lV
selama 2 hari dan dilanjutkan dengan pemberian
per oral selama 1 minggu.

irufersl

KOKUS. Golongan tetrasiklin sekarang


tidak lagi diindikasikan untuk infeksi stafilokokus

maupun streptokokus karena sering dijumpai resistensi, Adanya strain Sfr. pneumoniae yang resisten
juga telah membatasi penggunaan tetrasiklin untuk
pneumonia yang disebabkan oleh kuman ini.

Leptospirosis. Walaupun tetrasiklin dan penisilin


G sering digunakan untuk pengobatan leptospirosis, elektivitasnya tidak terbukti secara mantap.

lnfeksi saluran cerna. Tetrasiklin mungkin merupakan ajuvan yang bermanlaat pada amubiasis intestinal akut, dan infeksi P/asmodium falciparum.
Selain itu mungkin efektif untuk disentri yang disebabkan oleh strain Shigella yang peka.

PENGGUNAAN TOPIKAL. Pemakaian topikal.hanya dibatasi untuk infeksi mata saja. Salep mata
golongan tetrasiklin elektif untuk mengobati trakoma dan inleksi lain pada mata oleh kuman grampositif dan gram-negatif yang sensitif. Selain itu
salep mata ini dapat pula digunakan untuk profilaksis oltalmia neonatorum pada neonatus.

PROFILAKSIS PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF MENAHUN. Banyak penelitian memberi-

656

Farmakologi dan Terapi

kan hasil kontroversial mengenai manfaat dan keamanan pemberian tetrasiklin 500 mg sehari per
oral pada pasien penyakit paru menahun. Bahaya
potensial pemberian jangka lama ini ialah timbulnya
superinfeksi bakteri atau jamur yang sulit diken-

1.7. SEDIAAN DAN POSOLOGI


Sediaan dan posologi golongan tetrasiklin da_
pat dilihat pada Tabel 44-1.

dalikan.
Tabe| 42I.1, SEDIAAN DAN PosoLoGI GoLoNGAN TETRASIKLIN
Derivat

Sediaan

Tetrasiklin

Kapsul/tablet 250 dan 500 mg


Bubuk obat suntik lM 100 dan 200 mg/vial
Bubuk obat suntik lV 250 dan 500 mgiVial
Salep kulit 3 %
Salep/obat tetes mata 1 %
(tetrasiklin HCI dan tetrasiklin kompleks
fosfat untuk oral tersedia dengan ukuran
yang sama)

Klortetrasiklin

Kapsul 250 mg
Salep kutit 3 %
Salep mata 1 %

lihat tetrasiklin

Kapsul 250 mg dan 500 mg


Larutan obat suntik lM 250 dan 100 mg/
ampul 2 ml dan 500 mg/vial 10 ml
Bubuk obat suntik lV 250 mg
Salep kulit 3 %
Salep mata 1 %

Dewasa: Oral, 4 kati 250-5OO mg/hari


Parenteral, 100 mg lM, diulangi 2-3 sehari
500-1000 mg/hari tV (250 mg
bubuk dilarutkan dalam 100 ml
larutan garam faal atau dekstrosa

Oksitetrasiklin

Dosis
Dewasa '. Oral,4 kali 2S0-S00 mg/hari
Parenteral, 3OO lM') mg sehari yang
dibagi dalam 2-3 dosis, atau
250-500 mg lV diutang 2-4 kali sehari.
Anak: Oral, 25-50 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 4 dosis.
Parenteral, untuk pemberian lM
15-25 mg/kg BB/hari sebagai
dosis tunggal atau dibagi dalam
2-3 dosis dan lV 20-30 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2-3 dosis.

5lo)

Anak: Oral, 25-50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam


dalam 4 dosis
Parenteral, 1 5-25 mg/kgBB/hari, lM
dibagi dalam 2 dosis dan 1O-20
mg/kgBB/hari lV dibagi dalam 2 dosis
Demeklosiklin

Kapsul atau tablet 150 dan 300 mg


Sirup 75 mg/Sml

Dewasa : Oral, 4 kali 150 mg atau 2 kali 300


mg/hari
Anak : Oral, 6-12 mg/kgBB/hari dibagi datam
2-4 dosis

Doksisiklin

Kapsul atau tablet 100 mg, tablet 50 mg


Sirup 10 mg/ml

Dewasa : Oral, dosis awal 200 mg, selanjutnya


100-200 mg/hari
Anak : Oral, hari pertama 4 mg/kgBB/hari,
selanjutnya 2 mg/kgBB/hari,
dosis tunggal

Minosiklin

Kapsul 100 mg

Dewasa : Oral, dosis awal 200 mg, dilanjutkan


2 kali sehari 100 mg/hari
Anak :Oral, dosis awal2-4 mg/kgBB
selanjutnya 1-2 mg/kgBB tiap12 jam

') Suntikan lM tidak dianjurkan

karena absorpsinya buruk dan menimbulkan iritasi lokal.

olong an

etras ikl i n

da

K lo

657

ramf e n i kol

2. KLORAMFENIKOL

Obat ini iuga efektil terhadap kebanyakan


strain E. coli, K. pneumoniae dan Pr. mirabilis. Kebanyakan strain Serralia, Providencia dan Profeus

2.1. ASAL DAN KIMIA

Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada


tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae. Karena
ternyata mempunyai daya antimikroba yang kuat
maka penggunaan obat ini meluas dengan cepat

sampai pada tahun 1950 diketahui bahwa obat ini


dapat menimbulkan anemia aplastik yang latal' Kloramfenikol merupakan kristal putih yang sukar larut
dalam air (1 : 400) dan rasanya sangat pahit.
Rumus molekul kloramfenikol dan tiamfenikol
ialah sebagai berikut (gambar 44-2)'

OH

"1\l\Jt

CHzOH

t- *-[

tI

umumnya sensitif, sedang Enterobactericeae banyak yang telah resisten.

cctz

Kloramfenikol :R=-NOz
Tiamfenikol : R=-CHgSOz
Gambar 44-2, Struktur kloramfenikol

2.2. EFEK ANTIMIKROBA


Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat ialah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman. Elek toksik
kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat
pada sistem hemopoetik dan diduga berhubungan
dengan mekanisme kerja obat ini.
Kloramfenikol umumnya bersilat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadangkadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman

rettgerii resisten, iuga kebanyakan strain Ps'aeru'


ginosa dan strain tertentu S. typhi.

2.3. FARMAKOKINETIK
Setelah pemberian oral, kloramlenikol diserap
dengan cepat. Kadar puncak dalam darah tercapai
dalam 2 jam. Untuk anak biasanya diberikan bentuk
ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami
hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol.
Masa paruh eliminasi pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2
minggu sekitar 24iam. Kira-kira 50 % kloramlenikol
dalam darah terikat dengan albumin' Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh,

termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan


mata.
Di dalam hati kloramfenikol mengalami konyugasi dengan asam glukuronat oleh enzim glukuronil
transferase. Oleh karena itu waktu paruh kloramlenikol memanjang pada pasien gangguan faal hati.
Sebagian kecil kloramfenikol mengalami reduksi
menjadi senyawa aril-amin yang tidak aktil lagi.
Dalam waktu 24 iam,80- 90 % kloramfenikol yang
diberikan oral telah diekskresi melalui ginjal. Dari
seluruh kloramfenikol yang diekskresi melalui urin,
hanya 5-'l 0 % dalam bentuk aktif' Sisanya terdapat
dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang
tidak aktit. Bentuk aktif kloramlenikol diekskresi terutama melalui liltrat glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus'

Pada gagal ginjal, masa paruh kloramlenikol


bentuk aktil tidak banyak berubah tetapi metabolitnya yang nontoksik mengalami kumulasi. Dosis per-

tertentu.
Spektrum antibakteri kloramlenikol meliputi D.
pneumoniae, Str. pyogenes, Str. viridans, Neisseria, Haemophilus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella,
Brucella, P. multocida, C. diphtheriae, Chlamydia,

lu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar


yang menyertai gagal ginjal.
Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis
dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.

nyakan kuman anaerob.


Beberapa strain D. pneumoniae, H' influenzae

lnteraksi. Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, tenitoin, diku-

Mycoplasma, Rickettsia, Treponema dan keba-

dan N. meningitidis bersifat resisten; S. aureus

marol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim

658

Farmakologi dan Terapi

mikrosom hepar. Dengan demikian toksisitas obat_


obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama kloramfe_
nikol. lnteraksi obat dengan fenobarbital dan rifam_
pisin. akan memperpendek waktu paruh dari kloram_
fenikol.

2.4. EFEK SAMPING


REAKSI HEMATOLOGIK. Terdapat dalam 2 ben_
tuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan mani_
festasi depresi sumsum tulang. Kelainan ini berhubungan dengan dosis, progresil dan pulih bila
pengobatan dihentikan. Kelainan darah yang ter_
lihat ialah anemia, retikulositopenia, peningkatan

serum iron dan iron binding capacity se(la

vakuolisasi seri eritrosit bentuk muda. Reaksi ini


terlihat bila kadar kloramfenikol dalam serum
melampaui 25 mcg/ml. Bentuk yang kedua prog_
nosisnya sangat buruk karena anemia yang timbul
bersifat ireversibel. Timbulnya tidak tergantung dari
besarnya dosis atau lama pengobatan. Bentuk yang

hebat bermanifestasi sebagai anemia aplastik

de_

ngan pansitopenia. lnsidens berkisar antara

1:24.000-50.000. Efek samping ini diduga merupakan reaksi idiosinkrasi dan mungkin disebabkan
oleh adanya kelainan genetik.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa klo_
ramfenikol yang diberikan secara parenteral jarang
menimbulkan anemia aplastik, tetapi hal ini belum
dapat dipastikan kebenarannya. Kloramfenikol da_
pat menimbulkan hemolisis pada pasien dengan
defisiensi enzim GoPD bentuk mediteranean.
Hitung sel darah yang dilakukan secara perio_

dik dapat memberi petunjuk unluk mengurangi


dosis atau menghentikan terapi. Dianjurkan untuk
melakukan hitung leukosit dan hitung jenis tiap 2
hari. Pengobatan terlalu lama atau berulang kali
perlu dihindarkan. Timbulnya nyeri tenggorok atau
infeksi baru selama pemberian kloramfenikol mung_
kin merupakan petunjuk terjadinya leukopeni.

REAKSI ALERGI. Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis. Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam tifoid
walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai.

REAKSI SALURAN CERNA. Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.

SINDROM GRAY. Pada neonatus, terutama bayi

prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/


kgBB) dapat timbul sindrom Gray, biasanya antara
hari ke 2 sampai hari ke g masa terapi, rata-rata hari
ke 4. Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusu,
pernapasan cepat dan tidak teratur, perut kembung,
sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan
bayi tampak sakit berat. pada hari berikutnya tubuh
bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan;

terjadi pula hipotermia. Angka kematian kira_kira

sedangkan sisanya sembuh sempurna. Efek


toksik ini diduga disebabkan oleh : (l ) Sistem ko_
nyugasi oleh enzim glukuronil translerase belum
sempurna dan; (2) Kloramfenikol yang tidak terko_
nyugasi belum dapat diekskresi dengan baik oleh
ginjal. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
efek samping ini maka dosis kloramfenikol untuk
bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak boleh mele_
bihi 25 mg/kgBB sehari. Setelah umur ini, dosis 50
mg/kgBB biasanya tidak menimbulkan efek samping tersebut di atas.
409/0,

REAKSI NEUROLOGIK. Dapat terlihat dalam ben_

tuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.

Neuritis perifer atau neuropati optik dapat juga tim_


bul terutama setelah pengobatan lama. penurunan
visus yang diakibatkan oleh neuropati tldak selalu
dapat pulih sempurna bila terapi dihentikan. Kepada

pasien perlu dijelaskan agar memperhatikan ter_


jadinya neuritis perifer atau penurunan visus.

2.5. PENGGUNAAN KLINIK


Banyak perbedaan pendapat mengenai indi_

kasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya


obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam
tifoid, salmonelosis lain dan infeksi H. influenzae.
lnleksi lain sebaiknya ildak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain yang lebih
aman dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikaslkan
untuk neonatus, pasien dengan gangguan faal hati
dan pasien yang hipersensitif terhadapnya. Bila terpaksa diberikan untuk neonatus, dosisnya jangan
melebihi 25 mg/kgBB sehari.

DEMAM TlFOlD. Walaupun akhir-akhir ini makin


sering dilaporkan adanya resistensi S. typhi lerhadap kloramfenikol, umumnya obat ini masih dianggap sebagai pilihan utama untuk mengobati penyakit tersebut. Dibandingkan dengan ampisilin perbaikan klinis lebih cepat terjadi pada pengobatan dengan kloramfenikol. Tetapi relaps dan carrier state

Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol

lerbih jarang terjadi pada pengobatan dengan am-

pisilin.
Hanya dalam beberapa jam setelah pemberia.n kloranllenikol, salmonela menghilang dari sirkulasi dan dalam beberapa hari kultur tinja menjadi
negatif. Perbaikan klinis biasanya tampak dalam 2
hari dan demam turun dalam 3-5 hari. Suhu badan

biasanya turun sebelum lesi di usus sembuh, sehingga perforasi justru terjadi pada waktu keadaan
klinis sedang membaik.
Untuk pengobatan demam tifoid diberikan do-

sis 4 kali 500 mg sehari selama 2-3 minggu. Bila


terjadi relaps, biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk anak diberikan dosis
50-100 mS/kSBB sehari dibagi dalam beberapa
dosis selama 10 hari.
Untuk pengobatan demam tiloid ini dapat pula
diberikan tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kgBB se-

659

Untuk anak biasanya diberikan kloramfenikol palmitat 100 mg/kgBB sehari. Pengobatan dilanjutkan
sampai 48 jam bebas demam.
INFEKSI LAIN. Kloramfenikol mempunyai efektivitas sama dengan tetrasiklin untuk pengobalan lymphogranuloma venereum,pslttacosis, infeksi Mycoplasma pneumoniae dan P. pesfis. Tetapi untuk ini
sebaiknya digunakan tetrasiklin yang toksisitasnya
relatif lebih rendah.
Kloramfenikol dapat digunakan untuk mengobati bruselosis dengan dosis 0,75-1 gram tiap 6

jam bila tidak dapat diberikan tetrasiklin. Seperti


halnya klindamisin, kloramfenikol dapat pula digunakan untuk mengatasi inleksi kuman anaerobik
yang berasal dari lumen usus.

2.6. SEDIAAN DAN POSOLOGI

hari pada minggu pertama, lalu diteruskan 1-2


minggu lagi dengan dosis separuhnya.

Gastroenteritis akibat Salmonella spp (yang


bukan S. typhi) lidak perlu diberi antibiotik karena
tidak mempercepat sembuhnya inleksi dan dapat
memperpanjang masa cariler state.

MENINGITIS PURULENTA. Kloramlenikol efektif


untuk mengobati meningitis purulenta yang disebabkan oleh H. inlluenzae. Untuk terapi awal meningitis purulenta pada anak dianjurkan pemberian kloramlenikol bersama suntikan penisilin G sampai didapat hasil pemeriksaan kultur dan uji kepekaan,
setelah itu dilanjutkan dengan pemberian obat tunggal yang sesuai dengan hasil kultur.

INFEKSI KUMAN ANAEROB. Kuman anaerob


biasanya sensitif terhadap penisilin G, kecuali 8.
fragilis. lnfeksi anaerobik di atas diafragma jarang
disebabkan oleh B. fragilis, oleh karena itu biasanya
diobati dengan penisilin G atau klindamisin. Pada

infeksi anaerobik di bawah diafragma, B. fragilis


merupakan etiologi yang penting. Dan kebanyakan
kuman anaerob peka terhadap kloramfenikol karena itu digunakan klindamisin, metronidazol, sefoksilin atau kloramfenikol. lnleksi intra-abdominal biasanya disebabkan campuran kuman anaerobik dan
aerobik, karena itu kloramlenikol perlu dikombinasikan dengan golongan aminoglikosida,

RIKETSIOSIS. Tetrasiklin merupakan obat terpilih


untult penyakit ini. Bila oleh karena suatu hal letrasiklin lidak dapat diberikan, maka dapat digunakan
kloramfenikol dengan dosis awal 50 mg/kgBB, dilanjutkan dengan pemberian 1 gram tiap I jam.

Sediaan dan posologi kloramlenikol dapat dilihat pada Tabel 44-2.

2.7. TIAMFENIKOL
Rumus molekul tiamlenikol dapat dilihat pada
Gambar 44-2. f erhadap kuman gram-positif maupun gram-negatif, obat ini umumnya kurang aktif
dibandingkan dengan kloramfenikol tetapi terhadap
Str. pyogenes, pneumokokus, hemofilus, dan meningokokus aktivitasnya sama dengan kloramfenikol.
Tiamlenikol digunakan untuk indikasi yang
sama dengan kloramfenikol. Selain itu juga telah diberikan untuk infeksi saluran empedu dan gonore.
Dosis tunggal tiamfenikol 2,5 gram per oral cukup
elektif untuk mengobati urethritis gonorrhoica.
Obat ini diserap dengan baik pada pemberian
per oral dan penetrasinya baik ke cairan serebrospinal, tulang dan sputum sehingga mencapai kadar bakterisid untuk H. influenzae di sputum. Berbeda dengan kloramfenikol, obat ini sebagian besar
diekskresi utuh dalam urin. Oleh karena itu dosis
harus dikurangi pada pasien payah ginjal.
Efek samping yang timbul ialah depresi sumsum tulang yang reversibel dan berhubungan dengan besarnya dosis yang diberikan. Dari penga-

laman klinik yang terbatas kelihatannya obat ini


jarang menimbulkan aplasia sumsum tulang. Efek
samping yang sering dijumpai ialah depresi eritropoesis. Elek hematologik lainnya ialah leukopenia,
trombositopenia dan peningkatan kadar serum iron.
Dosis dan sediaan dapat dilihat pada Tabel
44-2.

660

Farmakologi dan Terapi

Tabel 44-2. SEDTAAN DAN

Nama

obat

Kloramfenikol

palmitat
atau stearat

Kloramfenikol
natrium

suksinat

KLoRAMFENTKoL DAN TTAMFENTKoL

Bentuk sediaan

Posologi/cara pemakaian

Keterangan

Kapsul 250 mg

Dewasa 50 mg/kgBB sehari per oral


dibagi dalam 3-4 dosis

Untuk

Salep mata 1 %
Obat tetes mata 0,5 %
Salep kulit 2 %
Obat tetes telinga 1-S %
Kloramfenikol

posoLocr

Botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 ml me-

ngandung kloramfenikol palmitat atau


stearat setara dengan
125 mg kloramfenikol)

Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara dengan


1 g kloramfenikol yang
harus dilarutkan dulu
dengan 10 ml akuades
steril atau dekstrosa
5 7o (mengandung

eksi-infeksi berat

Dipakai beberapa kdli sehari

Bayi prematur, 25 mg/kgBB sehari


per oral dibagi dalam 2 dosis.
Bayi aterm berumur kurang dari 2
minggu, 25 mg/kgBB sghari per
oral dibagi dalam 4 dosis.
Bayi aterm berumur iebih dari 2
minggu, 50 mg/kgBB sehari per
oral dibagi dalam 3-4 dosis

Dewasa dan anak, S0 mg/kgBB sehari


intravena, dibagi dalam 4 dosis.

Peningkatan dosis mungkin


menimbulkan sindrom
Gray.

Untuk bayi dianjurkan monitoring kadar obat (antara


5-20 mcg/mt)

Pemberian intravena untuk


anak hanya dilakukan
pada terapi awal meningitis dan keadaan sepsis
berat.

Pemberian intramuskular ti. dak dianjurkan karena absorpsinya buruk dan menimbulkan nyeri lokal.
Pemberian parenteral harus
secepat mungkin diganti
dengan pemberian oral
karena absorpsi oral
cukup baik.

100 mg/ml).

Tiamfenikol

inf

dosis dapat ditingkatkan


2xpada awal terapi sampai didapatkan perbaikan
klinis

Kapsul 250 dan 500 mg

Dewasa 1 g sehari dibagi dalam


4 dosis

Botol berisi pelarut 60 ml


dan bubuk tiamfenikol
1,5 g yang setelah dilarutkan mengandung
125 mg tiamfenikol
tiap 5 ml.

Anak, 25 mg/kgBB sehari dibagi


dalam 4 dosis

Untuk infeksi berat dosis


dapat ditingkatkah sampql
2 x lipat.

Aminoglikosid

661

45. AMINOGLIKOSID
Sulistra G. Gan dan Vincent H.S Gan

1.

Pendahuluan

6.

lnteraksi obat

7.

Sediaan dan posologi


7.1. Streptomisin
7.2. Gentamisin
7.3. Kanamisin
7.4. Amikasin
7.5. Tobramisin
7.6. Netilmisin
7,7. Neomisin
7.8. Lain-lain

8.

lndikasi, Kontra-indikasi dan Penggunaan Klinik

2.

Kimia

3.

Efek antimikroba
3.1. Aktivitas dan mekanisme kerja
3.2. Spektrum antimikroba
3.3. Resistensi

4.

Farmakokinetik

5.

Elek samping
5.1. Alergi
5.2. Reaksi iritasi dan toksik
5.3. Perubahan biologik

1. PENDAHULUAN

2.KIMIA

Sejak ditemukan penisilin, masalah infeksi


mikroba gram-positif umumnya dapat diatasi secara
baik. Dalam rangka mencari antimikroba untuk mengatasi kuman gram-negatif dalam tahun 1943 berhasil diisolasi suatu turunan Sf/,eptomyces grlseus
yang menghasilkan streptomisin.
Setelah streptomisin, ditemukan pula berbagai
antibiotik lain yang memiliki berbagai silat mirip de-

Aminoglikosid merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat
lewat ikatan glikosidik pada inti heksosa. Heksosa
tersebut atau aminosiklitol, ialah streptidin (pada
streptomisin) atau 2-deoksistreptamin (ciri aminoglikosid lain); berbentuk senyawa polikation yang
bersifat basa kuat dan sangat polar; baik dalam
bentuk basa maupun garam, bersifat mudah larut
dalam air. Sediaan suntikan, berupa garam sulfat,
sebab paling kurang nyeri untuk suntikan lM.
Stabilitasnya cukup baik pada suhu kamar,
terutama dalam bentuk kering, misalnya streptomisin stabil untuk paling sedikit satu tahun. Pengaruh pH terhadap aminoglikosid dibahas dalam pembahasan aktivitas dan mekanisme kerja.

ngan streptomisin yaitu kanamisin, gentamisin,


tobramisin, amikasin, netilmisin, neomisin dan lainlain.

Saat ini aminoglikosid masih mempunyai tem-

pat dalam penanggulangan infeksi berat oleh


kuman gram-negatif, walaupun bukan satu-satunya

golongan antimikroba yang efektif. Sefalosporin


generasi 3 dan beberapa antibiotik penisilin sintetik

baru hampir sama efektif dan lebih aman letapi


harganya tidak terjangkau oleh sebagian besar
pasien yang membutuhkannya. Gentamisin merupakan prototip dari golongan antibiotikyang dikenal
cukup toksik namun dengan pemantauan kadar
dalam darah elek toksik dapat dihindarkan.

Aminoglikosid merupakan produk streptomises atau lungus lainnya. Jenis, fungus penghasil,
penemu dan tahun penemuan-aminoglikosid dapat
dilihat pada Tabel 45-1. Senyawa aminoglikosid
dibedakan dari gugus gula-amino yang terikat pada
aminosiklitol (lihat Tabel 45-2),

662

Farmakologi dan Terapi

Tabel 45-1. ANTIBtOTtK AMtNOGL|KOS|D

Jenis aminoglikosid

Fungus penghasil

Penemu

Tahun
penemuan

Streptomisin

Streptomyces g,seus

Schatz, Bugie,

1944

Streptomyces fradiae

Waksman, Lechevalier

Streptomyces lave nd u I ae

Decaris

Waksman
Neomisin

(campuran neomisin B + C)
Framisetin

(neomisin B)
Kanamisin

Stre ptom yce

Paromomisin

Streptomyces nmosus

(aminosidin, katenulin,

kan am yceticus

949

953

Umezawa et al.

't

957

Haskel, French, Bartz

959

hidroksimisin)
Gentamisin

M icromonospora purpu

Weinstein MJ et al.

963

Tobramisin

Straptom yces tenebrarius

Wick, Welles

968

Asilasi kanamisin A
(semisintetik)

Kawaguchi, H. et al.

1972

(nebramisin faktor 6)
Amikasin

rea

3. EFEK ANTIMIKROBA

dinyatakan sensitil bila pertumbuhannya dihambat

dengan kadar puncak antibiotik dalam plasma


3.1. AKTIVITAS DAN MEKANISME KERJA
Aktivitas antibakteri gentamisin, tobramisin,
kanamisin, netilmisin dan amikasin terutama tertuju
pada basil gram-negatif yang aerobik. Aktivitas
terhadap mikroorganisme anaerobik atau bakteri
fakultatil dalam kondisi anaerobik rendah sekali. lni
dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa
untuk transport aminoglikosid membutuhkan oksi_
gen (transport aktiD. Aktivitas terhadap bakteri
gram-positif sangat terbatas. Str. pneumomae dan
Str. pyogenes sangat resisten. Streptomisin dan
gentamisin aktif terhadap enterokok dan streptokok
lain tetapi efektivitas klinis hanya dapat dicapai bila

digabung dengan penisilin. Walaupun in vitro g5%


galur (strain) S. aureus dan kebanyakan S. eprUer_
mrdis sensitil terhadap gentamisin dan tobramisin,
manlaat klinik belum terbukti sehingga sebaiknya
obat inijangan digunakan tersendiri pada situasi ter_

sebut. Galur resisten gentamisin cepat timbul

selama pajanan obat.

Basil gram-negatif berbeda suseptibilitasnya


terhadap berbagai aminoglikosid. Mikroorganisme

tanpa efek toksik yaitu 4-8 pg/ml untuk gentamisin,


tobramisin dan netilmisin; 8-1 6 pg/ml untuk amikasin dan kanamisin. Secara umum aktivitas antimikroba gentamisin, tobramisin, netilmisin dan amikasin lebih tinggi daripada kanamisin. Tobramisin,

sisomisin dan gentamisin sama aktif terhadap


kuman gram-negatil dengan catatan bahwa tobramisin lebih aktif terhadap Ps. aeruginosa dan bebe-

rapa galur spesies Proteus. Kebanyakan kuman


gram-negatif yang resisten terhadap gentamisin,
juga akan resisten terhadap tobramisin dan sisomisin. Tetapi 50o/o Pseudomonas yang resisten terhadap gentamisin masih sensitif terhadap tobramisin. Flora nosokomial telah banyak berubah
akhir-akhir ini dengan meningkatnya galur yang
resisten terhadap gentamisin dan tobramisin, Hal ini

tentunya sangat tergantung dari lrekuensi penggunaan obat tersebut di suatu tempat. Untunglah
aktivitas amikasin dan kadang-kadang netilmisin
masih tetap bertahan.
Aktivitas aminoglikosid dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama perubahan pH, keadaan

aerobik-anaerobik atau keadaan hiperkapnik.


Aklivitas aminoglikosid lebih tinggi pada suasana

Aminoglikosid

663

Tabe| 45-2. STRUKTUR AMINOGLIKOSID KANAMISIN, GENTAMISIN, TOBRAMISIN, AMIKASIN, NETILMISIN

-r-H
A

/F
oo

---__\

Cincin &

--__ Atom-C
Am inog likosid\--.-

2',

-NHz

Kanamisin

-oH

3'

-oH

A',

-oH

4"

3"

5',

-CHz-NHz

-NHa

5"

-CHzOH

\H

OH

-NHz

-N Hz

-NHz

Gentamisin

U1

-N Hz

-NHz

-NHz

-NHz

-NHz

-oH

-oH

-oH

-H

-oH

-oH

-oH

-H

-CHe-NHz

-CHe-OH

-CHz-OH

-cHlcHs

-NHe

-NHe

-NH-CHs

-NH-CHs

-N He

-NHe

-H

-H

-CHlCHs

\*

-NHz

-NHz

-H

-H

-cH1H

-N Hz

-NHz

-H

-H

-cH\H

-NH-(L-AHB)

-oH

-oH

-oH

-cH1H

\cHr
OH

-NH-CHs

<-CH:

-NH-CzHs

-NHe

-H

.H

-CH-NHz

.H

.H

-H

OH
-NHz

t-.1

-CHeOH

OH

-NHz

\nOH

-NH-CHs

lCHs

NHz

Netilmisin

OH

-NH-CHg

NHz

Amikasin

.H

slcH:

NHz

Tobramisin

-CHzOH
OH

OH

NHz

CrA

OH

\'

NH-CHg

v2

-CHaOH

\'

'oH

-CHzOH

-H

Farmakologi dan Terapi

664

alkali daripada suasana asam. Sebagai contoh,


pada pH 7,1 kadar 20 ug/ml streptomisin sullat
menghambat suatu galur pneumokokus; sedang-

3.2. SPEKTRUM ANTIMIKROBA


Kadar puncak rata-rata dalam serum yang

kan. pada pH 6,8 kadar

50 ug/ml tidak berefek.


Derajat pengaruh pH tidak sama untuk semua

dapat dicapai dengan pemberian dosis lazim


merupakan pegangan dalam menetapkan

aminoglikosid.

kepekaan mikroba tertentu terhadap antimikroba


untuk penerapan di klinik. Kadar puncak ini dapat
pula dijadikan pedoman untuk menghindari efek
toksik penggunaan anlimikroba di klinik. Menurut

MEKANISME KERJA. Aminoglikosid berdifusi


lewat kanal air yang dibentuk oleh porin prcteins
pada membran luar dari bakteri gram-negatil masuk
ke ruang periplasmik. Sedangkan transport melalui
membran dalam sitoplasma membutuhkan energi,

Fase transport yang dependen energi ini bersilat


rate timiting, dapat diblok oleh Ca** dan Mg**,
hiperosmolaritas, penurunan pH dan anaerobiosis.
Hal ini menerangkan penurunan aktivitas aminoglikosid pada lingkungan anaerobik suatu abses atau
urin asam yang bersilat hiperosmolar. Setelah
masuk sel, aminoglikosid terikat pada ribosom 30S

beberapa ahli, pedoman kepekaan mikroba terhadap aminoglikosid ialah sebagai berikut : galur
mikroba dianggap resisten bila untuk streptomisin
diperlukan kadar melebihi 32 pg/ml; untuk kanamisin dan amikasin melebihi 16 pg/ml; serta untuk
gentamisin, tobramisin dan sisomisin melebihi 8
Fg/ml.
Kepekaan suatu galur mikroba terhadap ami-

noglikosid mudah berubah, biasanya menurun


setelah terjadi kontak dengan aminoglikosid. Ke-

dan menghambat sintesis protein. Terikatnya

jadian ini jelas akan menyebabkan perubahan

aminoglikosid pada ribosom ini mempercepat transport aminoglikosid ke dalam sel, diikuti dengan kerusakan membran sitoplasma, dan disusul kematian sel. Yang diduga terjadi ialah "salah baca" (mis
reading) kode genetik yang mengakibatkan ter-

dalam spektrum antimikroba akibat berkembang-

ganggunya sintesis protein. Dalam hal ini, jenis


asam amino yang "salah" (berbeda dari yang seharusnya) disambung pada rantai polipeptida, sehingga terbentuk jenis protein yang salah. Streptomisin menghambat proses normal polimerisasi
asam amino setelah terbentuk kompleks awal peptida. Ketergantungan mikroba terhadap streptomisin, diduga juga berhubungan dengan "salah
baca" kode tersebut yang mengakibatkan fungsi
ribosom berubah. Fenomen ini sangat menarik,
tetapi makna kliniknya belum jelas.

Pengikatan streptomisin pada ribosom memerlukan adanya protein khusus yaitu Pro dalam

subunit 30S ribosom tersebut. Protein Pro ini


merupakan bagian yang menentukan tempat pengikatan streptomisin pada ribosom, atau mengendalikan streptomisin unluk mencapai tempat pengikatan di ribosom. Protein P1e yang terisolasi tidak
mengikat streptomisin.

Aminoglikosid bersilat bakterisidal cepat.


Pengaruh aminoglikosid menghambat sintesis
protein dan menyebabkan salah baca dalam pener-

jemahan mBNA, tidak menjelaskan efek letalnya


yang cepat. Berdasarkan kenyataan tersebut, diperkirakan aminoglikosid menimbulkan pula berbagai efek sekunder lain terhadap lungsi sel mikroba,
yaitu terhadap respirasi, adaptasi enzim, keutuhan
membran dan keutuhan RNA.

nya resistensi. Jadi, data hasil pengamatan spektrum antimikroba manfaatnya terbatas. Pola sensitivitas yang digambarkan dalam hasil pengamatan
sejenis ini biasanya hanya berlaku untuk suatu tempat dan waktu tertentu. Jadi data tersebut hanya
bermanfaat untuk mendapatkan gambaran umum
mengenai spektrum dan kecenderungan perubah-

an spektrum tersebut. Apa yang dikemukakan

di

bawah ini mengenai sensitivitas masing-masing


aminoglikosid, juga hanya berlaku sebagai pedoman untuk mendapatkan gambaran umum. Untuk

penerapannya perlu dilakukan

uji sensitivitas

kuman yang diisolasi.


Mikroba yang sensitif pada kadar streptomisin
yang mudah dicapai dalam darah antara lain ialah
Brucella, H. ducreyi, Actinobacillus, Ps. mallei, P.

pesfis, P. tularensis, dan Shigella dari kelompok


mikroba gram-negatif; dari kelompok lain yang bersifat sensitif pula ialah M. tuberculosig Erystpelothrix, L. monositogenes, dan Nocardia. Mikroba
yang sensitivitasnyi beragam terhadap strepto-

misin ialah S. aureus dan S. a/bus, Str. pyogenes


A, Str. viidans, Sfr. faecalis, D. pneumonia,
Gonococcus, Meningococcus, S. typhi dan Sa/monellae lainnya, E. coli, Pr. vulgaris, V. comma,
sertd H. influenzaei kadar efektif streptomisin terhadap berbagai galur berkisar antara 0,3-128 pg/ml.
Spektrum aminoglikosid lain, pada umumnya
group

lebih luas daripada streptomisin. Beberapa perbedaan kecil dapat menimbulkan implikasi klinik,
antara lain dalam hal spektrum antimikroba dan
potensinya.

665

Aminoglikosid

Neissera dengan kepekaan yang beragam


terhadap streptomisin, peka terhadap neomisin,
kanamisin, dan tobramisin, dan relatil resisten terhadap gentamisin. Ps. aeruginosa yang biasanya
resisten terhadap kanamisin dan 50% lelah resisten

terhadap gentamisin, sangat peka terhadap


arnikasin. Spektrum antimikroba amikasin lebih
lebar daripada kanamisin. Shigella peka terhadap
streptomisin, neomisin, kanamisin, tobramisin dan
amikasin; demikian pula Sa/monel/a, kecuali terhadap streptomisin, kepekaannya beragam. Terhadap gentamisin, kedua jenis mikroba ini kurang
peka atau resisten. Proteus pada umumnya peka
terhadap semua aminoglikosid, kecuali bila sudah
timbul resistensi, sehingga menimbulkan kepekaan
yang beragam; silat yang sama dimiliki pula oleh E.
coli. Spektrum antimikroba paromomisin (ami-

nosidin) sama dengan neomisin; selain itu


paromomisin mempunyai efek amubisid terhadap
Ent. histolytica.

3.3. RESISTENSI
Masalah resistensi merupakan kesulitan
utama dalam penggunadn streptomisin secara
kronik; misalnya pada terapi tuberkulosis atau endokarditis bakterial subakut. Sifat resistensi terhadap streptomisin mudah diperlihatkan dengan
melakukan beberapa tahap pembiakan ulang suatu
mikroba dalam medium yang mengandung strep-

tomisin. Resistensi terhadap streptomisin dapal


cepat terjadi, sedangkan resistensi terhadap aminoglikosid lainnya terjadi lebih berangsur-angsur.
Mekanisme resistensi bakteri terhadap amino-

glikosid perlu diketahui untuk mengerti spektrum


antimikrobanya. Bakteri dapat resisten terhadap
aminoglikosid karena kegagalan penetrasi ke

dalam kuman, rendahnya afinitas obat pada


ribosom atau inaktivasi obat oleh enzim kuman.
Hal yang tersebut terakhir merupakan mekanisme
terpenting yang menjelaskan resistensi didapat terhadap aminoglikosid di klinik.
Dikenal berbagai enzim inaktivator aminoglikosid yaitu enzim fosforilase, adenilase, asetilase
gugus hidroksil spesifik atau gugus amino. lnformasi genetik untuk sintesis enzim terulama didapat
melalui konyugasi, transfer DNA sebagai plasmid dan transfer faktor resisten kuman. Plasmid
pembawa resistensi yang tersebar luas (terutama di
lingkungan rumah sakit) dan membawa lebih dari
20 kode enzim ini bertanggung iawab terhadap

penyempitan spektrum kanamisin dan akhir-akhir


ini juga gentamisin dan tobramisin. Amikasin, dan
dalam derajat yang lebih rendah netilmisin, kurang
peka terhadap enzim yang prevalen saat ini, sehingga memegang posisi kunci dalam mengatasi
infeksi yang diduga telah resisten terhadap gentamisin. Metabolit aminoglikosid tidak memperlihatkan efek antibakteri.
Penetrasi aminoglikosid lewat membran sitoplasma membutuhkan proses aktil. Hal ini menjelaskan resistensi kuman anaerobik dan bakteri
lakultatil dalam suasana anaerobik terhadap ami-

noglikosid. Resistensi alami kuman terhadap


aminoglikosid juga diduga berdasarkan kurangnya
penetrasi obat ke dalam kuman ini, misalnya resistensi terhadap enterokok. Penisilin mengubah
struktur dinding sel sehingga memudahkan penetrasi aminoglikosid ke dalam kuman. lni merupakan
contoh yang baik tentang sinergisme antara 2 antibiotik. Sinergisme ini tentunya tidak terjadi bila ada
resistensi ribosom. Sebagian besar enterokok sensitif terhadap kombinasi 2 obat tersebut di atas.
Pembahasan mengenai resistensi aminoglikosid

secara lebih luas dapat dibaca dalam edisi ke-2


buku ini.

4. FARMAKOKINETIK
Aminoglikosid sebagai polikation bersifat sa-

ngat polar, sehingga sangat sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Kurang dari 1% dosis yang diberikan diabsorpsi lewat saluran cerna. Pemberian
per oral hanya dimaksudkan untuk mendapatkan
elek lokal dalam saluran cerna saja, misalnya pada
persiapan prabedah usus. Untuk mendapatkan
kadar sistemik yang efektil fl-abel 45-3) aminogli-

kosid perlu diberikan secara parenteral. Pembahasan larmakokinetik yang terinci hanya dibatasi
pada kanamisin, gentamisin, amikasin dan tobra-

misin saja (Tabel 45-4). Neomisin, lramisetin dan


paromomisin tidak dianjurkan untuk penggunaan

sistemik, maka larmakokinetiknya hanya disinggung sepintas lalu.

AMINOGLIKOSID PARENTERAL

Aminoglikosid dalam bentuk garam sul{at


yang diberikan lM baik sekali absorpsinya. Kadar
puncak dalam darah dicapai dalam waktu rata-rata
1/2 sampai 2 jam, Dalam Tabel 45-4 diperlihatkan

666

Farmakologi dan Terapi

Tabel45-3. KADAR EFEKTTF DAN KADAR ToKStK porENstAL AMtNocLtKostDA


Gentamisin/
Tobramisin

Kanamisin/
Amikasin

pg/ml
60,5 - 1,5 pg/ml

20 - 25 pg/ml

8 -'10 pg/ml

25 - 30 pg/ml
5 - 8 pg/ml

Kadar efektif
lnfeksi sedang berat

puncak
lembah

1 - 4 pg/ml

lnfeksi gawat: pneumonia, luka bakar,


lnfeksi gawat lainnya
puncak
lembah

1 - 1,5 pg/ml

Kadar toksik potensial


puncak
lembah

lebih dari 10-12 pg/ml


lebih dari 2 pglml

lebih dari 32 pg/ml


lebih dari 8-10 pg/ml

Kadar tersebut untuk netilmisin/sisomisin sama dengan gentamisin/tobramisin


Dikutip dari : weaver RH dan cipole RJ. Applied clinical pharmacokinetics.
New York : Raven press, 1983.

Tabel 454. FARMAKOKTNETTK AMINOGL|KOS| DA

Gentamisin
Tobramisin

Kanamisin/
Amikasin

0,5 - 15 jam
0,5 - 7,6 jam

Q,7

Masa paruh
- ginjal normal

kreatinin serum < 0,5 mg/100 ml


bersihan kreatinin 100 mUmin/1 ,73 m2
- ginjal terganggu

0,7 - 43 jam

- umur neonatus

2-9jam

anak

dewasa

(< 30 tahun)
(> 30 tahun)

0,5 - 2,5 jam


0,5 - 3 jam
1,5 - 15 jam

0,7 - 14 jam

-7,2 jam

4 -70 jam
0,7 - 3 jam
1

-7

jam

Volume distribusi
dewasa dan anak
dehidrasi
hidrasi normal
overhidrasi

0,05
0,05
0,15
0,25
0,5 -

neonatus

lkatan protein

- 0,5 l/kg
- 0,15 t/kg
- 0,25 t/kg
- 0,50 l/kg

0,6 Ukg

rendah
kecuali streptomisin + 30-50%
lainnya kurang dari 30%

Dikutip dari ; Weaver RH dan Cipole RJ. Applied clinical pharmacokinetics.


New York: Raven Press, 1983.

Aminoglikosid

data farmakokinetik beberapa aminoglikosid, Pengikatan oleh protein plasma darah hanya jelas terlihat
pada streptomisin, yaitu 112 dari seluruh amino-

667

berbagai keadaan, yang disertai dengan kurang


sempurnanya lungsi ginjal. Pada gangguan laal

glikosid dalam darah. Yang lain praktis tidak diikat

ginjal, 1172 aminoglikosid cepat meningkat. Karena


kekerapan terjadinya nefrotoksisitas dan ototoksi-

oleh protein plasma.

sitas berhubungan dengan kadar dan kumulasi

Streptomisin di dalam darah, hampir seluruhnya terdapat di dalam plasma dan hanya sedikit
sekali yang masuk ke dalam eritrosit maupun makrofag. Sifal polarnya menyebabkan aminoglikosid
sukar masuk sel. Kadar dalam sekret dan jaringan
rendah; kadar tinggi dalam korteks ginjal, endoliml

aminoglikosid, maka perlu penyesuaian dosis pada


pasien gangguan ginjal.
Streptomisin dan gentamisin diekskresi dalam
jumlah yang cukup besar melalui empedu sehingga
kadarnya cukup tinggi; streptomisin dosis tinggi
menghasilkan kadar dalam empedu setinggi 10-20
pg/ml.

dan periliml telinga, menerangkan toksisitasnya terhadap alat tersebut. Penetrasi ke sekret saluran
napas buruk, Dilusi ke cairan pleura dan sinovium
lambat tetapi mencapai keseimbangan dengan
kadar plasma setelah pemberian berulang. Penetrasi ke dalam mata demikian buruk sehingga diperlukan pemberian secara periokular untuk terapi endoptalmitis. Distribusi aminoglikosid ke dalam cairan otak pada meningen normal sangat terbatas.
Berdasarkan hal tersebut aminoglikosid dianggap
tidak berguna untuk mengatasi meningitis kecuali
bila diberikan intratekal.
Ekskresi aminoglikosid berlangsung melalui
ginjal terutama dengan liltrasi glomerulus. Penggunaan tobramisin bersama dengan probenesid pada
pria usia lanjut tidak mempengaruhi bersihan ginjal
total untuk tobramisin. Keadaan ini sama dengan
streptomisin, dan menunjukkan bahwa ekskresi ginjal berlangsung hanya dengan liltrasi glomerular,
sedangkan sekresi tubular tidak berperan. Pada
amikasin terdapat proses reabsorpsi tubular. Hal ini

disimpulkan berdasarkan bersihan ginjal untuk


amikasin yang lebih kecil daripada untuk kreatinin,
masing-masing 83 ml/min dan 120 mUmin. Bersihan
kanamisin dan streptomisin juga demikian. Aminoglikosid yang diberikan dalam dosis tunggal, khususnya gentamisin, menunjukkan jumlah ekskresi
renal yang kurang dari dosis yang diberikan. Karena
ekskresi hampir seluruhnya berlangsung melalui

AMINOGLIKOSID NON-SISTEMIK
Neomisin, paromomisin dan framisetin tidak
digunakan secara parenteral, karena sifatnya yang
terlalu toksik dibandingkan dengan aminoglikosid
lainnya.
Pada orang yang fungsi ginjalnya baik, neomisin walaupun diberikan 10 g oral selama 3 hari,
tidak mencapai kadar toksik dalam darah, Absorpsi
lebih tinggi bila ada lesi di saluran cerna. Adanya
insulisiensi faal ginjal dan hati, cepat meningkatkan
kadar neomisin dalam darah, sehingga mungkin
timbul elek toksik; dosis oral 4-8 g sehari sudah
dapat menghasilkan kadar dalam plasma seperti
pemberian parenteral, Kalau diperlukan neomisin
oral pada insulisiensi ginjal, dosis harus sangat
dikurangi. Dalam hal ini lebih baik diganti saja dengan aminoglikosid lain misalnya kanamisin, yang
memiliki aktivitas sama tetapi kurang toksik dibanding dengan neomisin. Penggunaan neomisin oral
pada anak kecil harus dibatasi masa pemberiannya;
terlebih pada penyakit dengan lesi intestinal. Dosis
100 mg/kg BB seharijangan diberikan lebih dari tiga
minggu. Neomisin yang tidak diabsorpsi di usus,
akan keluar dalam bentuk utuh bersama tinia.

Framisetin, hanya digunakan topikal pada

ginjal, maka keadaan ini menunjukkan adanya


sekuestrasi ke dalam jaringan. Walaupun demikian
kadar dalam urin mencapai 50-200 prg/ml. Sebagian
besar ekskresi terjadi dalam 12 jam setelah obat
diberikan.
Gangguan fungsi ginial akan menghambat

ekskresi aminoglikosid, menyebabkan terjadinya


kumulasi dan kadar dalam darah lebih cepat mencapai kadar toksik. Keadaan ini tidak saja menimbulkan masalah pada penyakit ginjal, tetapi perlu diperhatikan pula pada bayi, terutama yang baru lahir
atau prematur, pada pasien usia lanJut dan pada

kulit.

5. EFEK SAMPING
Efek samping oleh aminoglikosid dalam garis
besarnya dapat dibagi dalam tiga kelompok : (1)
alergi; (2) reaksi iritasi dan loksik; dan (3)
perubahan biologik.

Farmakologi dan Terapi

5.1. ALERGI
Secara umu'm potensi aminoglikosid untuk
menyebabkan alergi rendah. Rash, eosinofilia,
demam, diskrasia darah, angioudem, dermatitis
eksfoliatif, stomatitis dan syok analilaksis, pernah
dilaporkan.

Ototoksisitas aminoglikosid ditingkatkan oleh


berbagai laktor antara lain : besarnya dosis, adanya
gangguan laal ginjal, usia tua, riwayat penggunaan
suatu obat ototoksik, pemberian bersama asam
etakrinat (suatu diuretik kuat), kadar puncak dan
kadar lembah yang meningkat, terapi berkepanjangan dan demam.
Gangguan vestibular. Pada streptomisin dan gen-

5.2. REAKSI IRITASI DAN TOKSIK


Reaksi iritasi berupa rasa nyeri terjadi di lempat suntikan diikuti dengan radang steril, dan dapat
disertai pula peningkatan suhu badan setinggi 1/2 1 lPoC. Reaksi ini sangat terkenal pada suntikan
streptomisin lM. Reaksi toksik terpenting oleh
aminoglikosid ialah pada susunan saraf, berupa
gangguan pendengaran dan keseimbangan, dan
pada ginjal. Gejala lain pada susunan saral ialah
gangguan pernapasan akibat efek kurariform pada
sistem neuromuskular, ensefalopati, neuritis periler, serta gangguan visus. Kadar plasma yang disertai elek toksik tidak ,iauh dari kadar yang dibutuhkan
untuk mencapai efek terapi. Penyesuaian dosis
dapat dilakukan dengan memperpanjang interval
pemberian atau mengurangi dosis atau keduanya.
Tidak ada informasi pasti cara mana yang paling
baik. Yang sering digunakan ialah penyesuaian
dosis dengan menggunakan nomogram dimana
bersihan kreatinin atau serum kreatinim dipakai
sebagai patokan. Monitoring kadar aminoglikosid
pada payah ginjal merupakan pendekatan yang
lebih tepat. Dikemukakan bahwa pengukuran kadar
lembah (trough) lebih bersifat prediktif untuk men-

tamisin, gejala dininya ialah sakit kepala, yang


kemudian diikuti oleh fase akut dengan gejala pusing, mual, muntah dan gangguan keseimbangan.
Selanjutnya, pada lase kronik, gejala menjadi nyata
bila berjalan atau melakukan gerakan tiba-tiba. Akhirnya pada lase kompensasi, gejala bersilat laten
dan hanya menjadi nyata bila menutup mata. Tidak
ada terapi khusus terhadap efek toksik ini. Pemulihan sempurna memerlukan waktu 12 sampai 18
bulan, dan pada beberapa pasien bisa tersisa
kerusakan menetap (sequelae) pada sistem vestibular. Elek samping ini dapat dikurangi bila pemberian aminoglikosid cepat dihentikan setelah diketahui timbulnya gejala ototoksik. Dari sudut patologi,
kerusakan terdapat pada nukleus kohlearis ventral
di batang otak yang meluas ke ujung serabut saraf
di kohlea.
Gangguan vestibular oleh streptomisin cukup
tinggi lrekuensinya. Dengan dosis 2 g sehari selama

60-120 hari gejala terlihat pada 75% pasien;

sedangkan dengan dosis 1 g sehari pada 25%.


lnsidens ototoksisitas gentamisin + 2o/0,660/o diantaranya berupa gangguan vestibular, sedangkan
insidens ototoksisitas kanamisin i 7%.

untuk efek terapi maupun toksisitas.

Gangguan akustik. Gangguan ini tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya
kepekaan terhadap gelombang lrekuensi tinggi

EFEK OTOTOKSIK. Efek toksik aminoglikosid

akan berkurang; dan ini tidak disadari oleh pasien.


Pada lase permulaan ini, gangguan dapat terung-

cegah toksisitas, sedang kadar puncak prediktil

pada saraf otak N. Vlll mengenai komponen vestibular maupun akustik. Setiap aminoglikosid berpotensi menyebabkan dua elek toksik tersebut
tetapi dalam derajat yang berbeda. Streptomisin
dan gentamisin lebih mempengaruhi komponen
vestibular; sebaliknya neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin lebih mempengaruhi
komponen akustik; tobramisin sama pengaruhnya
pada kedua sistem. Studi permulaan pada hewan
dan manusia menunjukkan bahwa netilmisin kurang
ototoksik dibanding dengan aminoglikosid lain.
Pendapat tersebut perlu pembuktian lebih lanjut
karena pada salah satu uji klinik 10% pasien mendapat komplikasi ototoksisitas.

kap dengan pemeriksaan audiometrik beruntun


(serial). Lambat laun, gangguan yang berkembang
terus secara klinis menjadi jelas sebagai tuli- saraf.
Mungkin pasien baru menyadari ketuliannya justru
beberapa waktu setelah pengobatan dihentikan.
Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi 'dapat
bertahan sampai dua minggu setelah pemberian
aminoglikosid dihentikan. Patologi kerusakan akus-

tik terutama berupa degenerasi berat sel rambut

organ Corti mulai dibagian basilar menjalar ke


apeks. Gangguan akustik larang terjadi pada anak.
Frekuensi kejadian gangguan akustik akibat
streptomisin 4-15%brla terapilebih dari 1 minggu;
gentamisin tobramisin dan amikasin sampai 25%

Aminoglikosid

tergantung dosis dan faktor lain; kanamisin + 3Oo/o


berdasarkan seruntun pemeriksaan audiometrik.
Neomisin, paling mudah menimbulkan tuli saraf

dibandingkan dengan aminoglikosid lainnya.


Penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan
neomisin 5%,pada pasien dengan laal ginjal normal
juga dapat menimbulkan tuli saral.
Dengan tobramisin terjadi gangguan vestibular sebanyak0,4%. Dengan amikasin, yang baru
tercatat hanyalah gangguan pendengaran; terjadi
terutama bila pengobatan lebih dari 14 hari.
EFEK NEFROTOKSIK. Kerusakan taraf permulaan
ditandai dengan ekskresi enzim dari brush border
tubulus renal (alanin-aminopeptidase, losfatase
alkali dan p-D-glukosaminidase). Setelah beberapa
hari, terjadi defek kemampuan konsentrasi ginjal,

proteinuria ringan dan terdapatnya hialin serta silinder granular, liltrasi glomerulus menurun setelahnya. Fase nonoliguria diduga akibat pengaruh aminoglikosid pada bagian nelron distal. Nekrosis tubuli

berat ditandai dengan kenaikan kreatinin, hipokalemia, hipokalsemia; dan hipofoslatemia kadangkadang dapat terjadi. Gangguan lungsi ginjal hampir selalu bersifat reversibel karena sel tubuli proksimal mempunyai kapasitas regenerasi.

Beratnya nelrotoksisitas berhubungan dengan kadar obat yang tinggi dalam plasma. Kadar
puncak lebih dari 12-15 pg/ml gentamisin, tobramisin, sisomisin dan netilmisin diduga meningkatkan nefrotoksisitas. Demikian juga kadar puncak
lebih tinggi dari 32 pg/ml untuk amikasin dan kanamisin sedapat mungkin dihindarkan. Adanya insufisiensi faal ginjal, usia lanjut dan penggunaan bersama obat tertentu (diuretik kuat, sefalotin, atau
selaloridin) bertahan selama beberapa jam.
Potensi nefrotoksik terkuat dimiliki oleh neomisin, sedangkan yang terlemah ialah streptomisin.

Kanamisin dan gentamisin berada di antara keduanya; frekuensi kejadian untuk gentamisin ialah
2- 10%, atau rata-rata sekitar 4%. Nefrotoksisitas

amikasin sama dengan gentamisin; sebaliknya,


tobramisin memberi kesan kurang toksik, atau sekuran g-kurangnya nefrotoksisitasnya tidak melebihi

gentamisin. Dengan memantau kadar amino-

glikosid dalam darah, berbagai faktor risiko yang

669

kular. Selain dengan streptomisin, sifat kurarilorm

ini dimiliki juga oleh kanamisin, gentamisin dan


neomisin; aminoglikosid lain sebaiknya dianggap
potensial bersifat demikian pula. Elek ini terjadi bila
aminoglikosid dalam darah mencapai kadar yang
relatif sangat tinggi dalam waktu relatil singkat; umpamanya pada pemberian intraperitoneal, atau
infus lV yang terlalu cepat. Hambatan neuromuskular terjadi lebih mudah dan dengan gejala lebih
berat bila pasien juga mendapatkan obat pelumpuh
otot rangka.

Neuritis perifer. Selain sebagai reaksi lokal di tempat suntikan, neuritis terjadi pula sebagai elek sistemik. Yang terkenal ialah parestesia di sekitar
mulut, di muka dan di tangan yang timbul 112 -

1t2

jam setelah suntikan streptomisin dan bertahan

selama beberapa jam.


Aminoglikosid khususnya streptomisin pernah
dikailkan dengan skotoma yang berupa meluasnya
bintik buta. Selanjutnya, tergantung pada tempat
suntikan, streptomisin dan kanamisin menimbulkan
pula ensefalopati, radikulitis, arahnoiditis, mielitis
transversus dan paraplegia.

5.3. PERUBAHAN BIOLOGIK


Efek samping ini bermanilestasi dalam dua
bentuk, yaitu gangguan pada pola mikrollora tubuh
dan gangguan absorpsi di usus. Perubahan pola
mikroflora tubuh memungkinkan terjadinya superin-

feksi oleh kuman gram-positif, gram-negatil,

maupun jamur. Superlnfeksi Pseudomonas dapat

timbul akibat penggunaan kanamisin; sedangkan


penggunaan gentamisin oral cenderung menimbulkan kandidiasis. Frekuensi kejadian superinfeksi

tidak diketahui, untuk streptomisin parenteral


diperkirakan + 4%. Gangguan absorpsi dapat terjadi
akibat pemberian neomisin per oral 3 g atau lebih
dalam sehari. Jenis zat yang dihambat absorpsinya

meliputi karbohidrat, lemak, protein, mineral dan


vitamin. Mekanisme hambatan absorpsi ini antara
lain terjadi akibat gangguan sistem enzim dan nekrosis sel epitel kripta usus. Paromomisin oral juga
menimbulkan gangguan absorpsi.

dihubungkan dengan nelrotoksisitas dapat dikontrol.

EFEK NEUROTOKSIK LAtNNYA. Pemberian

6. INTERAKSI OBAT

streptomisin secara intraperitoneal sewaktu bedah


abdomen dapat menimbulkan gangguan pernapasan akibat hambatan konduksi neuromus-

Penisilin anti pseudomonas yaitu : karbenisilin, tikarsilin, mezlosilin, azlosilin dan piperazilin

670

Farmakolqi dan Terapi

yang umum diberikan dalam dosis besar, ternyata

menginaktivasi aminoglikosid, khususnya genta-

Dosis beberapa aminoglikosida utama untuk


penggunaan parenteral dapat dilihat di Tabel 45-5.

misin dan tobramisin. Karena itu jangan mencampur. aminoglikosid dan penisilin dosis besar dalam
larutan intravena. Digunakan terpisah interaksi
tidak akan merupakan masalah pada pasien dengan lungsi ginjal normal, tetapi antagonisme ini

7.1. STREPTOMISIN

terjadi in vivo pada pasien dengan gagal ginjal, Amikasin dan netilmisin dilaporkan bersilat kurang peka
daripada gentamisin dan tobramisin terhadap inaktivasi oleh penisilin anti pseudomonas ini.
Belum ada bukti bahwa lurosemid dan asam
etakrinat meningkatkan ototoksisitas aminoglikosid.
Sebelum ada kepastian bahwa lidak ada interaksi,
penggunaan gabungan kedua obat yang ototoksik
tersebut memerlukan pen gamatan cermat terhadap

tanda dan gejala nefrotoksisitas dan ototoksisitas. Juga jangan lupa mengontrol keadaan hidrasi
pasien pada pemberian kombinasi obat tersebut
karena keadaan dehidrasi meningkatkan kadar
obat dan toksisitasnya.

Blokade neuromuskular oleh pelumpuh otot


(suksinilkolin, tubokurarin) dapat diperberat oleh
aminoglikosid sehingga terjadi paralisis pernapasan. Bila blokade tersebut terjadi maka dapat diatasi
dengan pemberian kalsium dan prostigmin.
Penin gkatan nefrotoksisitas juga dilaporkan
terjadi bila aminoglikosid diberikan bersama metoksifluran, sefaloridin, amloterisin B, siklosporin atau
indometasin intravena yang diberikan untuk me-

nutup duktus arteriosus paten pada neonatus.


Absorpsi digoksin agaknya dipengaruhi oleh
neomisin yang diberikan oral sehingga kadar digoksin perlu dimonitor bila kedua obat ini diberikan bersamaan.

7. SEDIAAN DAN POSOLOGI


Sediaan aminoglikosid dapat dibagi dalam
dua kelompok : (1 ) sediaan aminoglikosid sistemik
untuk pemberian lM atau lV yaitu amikasin, gentamisin, kanamisin dan streptomisin; (2) aminogli-

kosid topikal terdiri dari aminosidin, kanamisin,


neomisin, gentamisin dan streptomisin. Dalam ke-

lompok topikal ini lermasuk juga semua aminoglikosid yang diberikan per oral untuk mendapatkan
elek lokal dalam lumen saluran cerna, Sediaan
aminoglikosid pada umumnya tersedia sebagai
garam sultat.

Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering


dalam vial yang mengandung 1 atau 5 g zat lindi.
Kadar larutan tergantung dari cara pemberian yang

direncanakan; dan cara penyuntikan tergantung


darijenis dan lokasi infeksi.

Suntikan lM merupakan cara yang paling


sering dikerjakan. Dosis total sehari berkisar 1-2 g
(15-25 mg/kgBB); 5OO mg - 1 g disuntikkan setiap
12 jam. Untuk inleksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 g dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Dosis
untuk anak ialah 20-30 mg/kgBB sehari, dibagi
untuk dua kali penyuntikan. Dosis untuk pengobatan tuberkulosis dapat dibaca pada Bab 41 .
Dewasa ini tidak ada lagi indikasi untuk memberikan streptomisin secara intravena, intratekal
atau intraperitoneal. Pemberian per oral untuk inleksi gastrointestinal saat ini telah ditinggalkan karena
terbukti tidak elektif.

7.2. GENTAMISIN
Tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau
ampul 60 mg/1,5 ml; 80 mg/2 ml; 120 mg/3 ml dan
280 mg/2 ml.
Salep atau krem dalam kadar 0,1 dan 0,3%,
salep mata 0,3%.
Sediaan parenteral ada di pasar tidak boleh digunakan untuk suntikan intratekal atau intraventrikular (otak) karena mengandung zat pengawet.
Tidak ada korelasi baik antara dosis dan efektivitas tetapi ada korelasi antara kadar dalam darah
dengan efektivitas. Jadi bila hasil pengobatan dengan dosis standar tidak efektif, perlu dilakukan
pemantauan kadar dalam darah.
Kadar gentamisin, juga aminoglikosid lain
perlu dipantau agar mendapat kadar tera;ii, pada
pasien dengan : (1) penyakit ginjal; (2) fungsi ginjal

yang labil; (3) lanjut usia; (4) kegemukan;

(5)

demam dengan kemungkinan perubahan bersihan

kreatinin; (6) sepsis; (7) volume distribusi labil,


misalnya pada gagal jantung dan asites; (8) luka
bakar; (9) librosis kistik; (10) dialisis; ('11) obat lain

yang berinteraksi dengan aminoglikosid, dan (12)


neonatus.

671

Aminoglikosid

Tabcl tl5-5. DOSIS AttIINOGLIKOSID

Genlamiein/
Tobramirin
(ms/ks BB)

Krnami3in/
Amikasln
(ms/ks BB)

Do3i3 awal
Dgl ras4anak

5 -7,5

dehkJtasi
normal

0,75 - 1,5

-2

cairan ekslrasol mningkat

1,5

- 2,5

7,5
7,5 - 10

-2,5

10

Noonatus
4.

Dorlr penunjang

1 -2

Dwasa : lungsi ginial normal

seliap6lungsi ginjal loryanggu

5 - 35 per hari

12 jam

1 - 1,5 mg/kg
setiap 12 - 48 lam
1 -2

Anak: lungsi ginjal normal

10 - 15 per hari

sotiap4-Ojam
1 - 1,5

lungsi ginjal lrganggu

setiapS-48jam

2-2,5

Nonalus

5 pr hari

stiap8-24jam

Dosis anjuran ini seringkali memberi kadar di luar kadar terapi.

Keterangan :
* Disesuaikan dengan kondisi pasien (lihat hal 61 1)
Untuk sisomisin dan netilmisin sama dengan gentamisin.
Dikutip dari : Walver RH dan Cipolle RJ. Applied clinical pharmacokinetics, New York : Raven Press, 1983.

2.3.

KANAMISIN

Untuk suntikan tersedia larutan dan

bubuk

basa

kering. Larutan dalam vial ekuivalen dengan


kanamisin 500 mg/2 ml dan 1 g/3 ml untuk orang
dewasa; serta 75 mg/2 ml untuk anak. Vial bubuk
kering berisi 1 g dan 0,5 g. Untuk pemberian oral
tersedia bentuk kapsuutablet 250 mg zat lindi dan

mg/ml.

dalam 4 kali pemberian; untuk orang dewasa dapal


mencapai 8 g sehari. Pada gangguan laal ginjal
perlu pengurangan dosis, baik parenteral maupun
oral, untuk menghindari toksisitas. Bila dilakukan
dialisis periloneum, perlu diadakan penyesuaian
dosis pula'

7.4. AMIKASIN
jarang
abkarena
dikerjakan,
Pemberian lV
Obal ini tersedia unluk suntikan lM dan lV,
sorpsi melalui suntikan lM sangat baik. Dosis oral
unruk anak adalah 50 mg/kg BB seharl, dlbagl dalam vlal berlsl 100; 250; 500; 1.000; dan 2'000

sirup 50

672

Farmakologi dan Terapi

mg. Dosis lazim dapat dilihat pada Tabel 45-5.


Dosis total sehari umumnya tidak lebih dari 1 ,5 gram

atau tetes hidung dan maia; masing-masing dengan


kadar 1o/o danO,So/o. Juga tersedia sebagai salep di

sehari. Penyesuaian dosis perlu dipertimbangkan

atas kasa, untuk pengobatan luka.

pada.berbagai keadaan. Adanya gangguan laal ginjal memerlukan pengurangan dosis dan perpanjangan interval waktu antara dosis, dengan berpedoman pada kadar elektil dalam darah yang berkisar
antara 5-10 ug/ml sampai 20-25 ug/ml. Untuk neonatus dianjurkan dosis 15 mg/kg BB sehari, terbagi
dalam dua kali pemberian.

7.5. TOBRAMISIN
Obat ini tersedia sebagai larutan 80 mg/2 ml
untuk suntikan lM. Dosis dan cara pemberian sama
dengan gentamisin (lihat Tabel 45- 5).

Untuk infus tobramisin dilarutkan dalam


dekstrose 5% atau larutan NaCl isotonis dan diberikan dalam 30-60 menit. Jangan diberikan lebih
dari 10 hari. Penyesuaian dosis sama dengan gen-

7.8. LAIN.LAIN

Paromomisin (aminosidin). Penggunaan


aminosidin parenteral tidak dianjurkan karena toksisitasnya sepadan dengan neomisin. Manfaat
utama paromomisin ialah sebagai amubisid intestinal dan antelmintik yang pemberiannya per oral.

Sisomisin. Larutan obat suntik sisomisin yang


mengandung 50 mg/ml terdapat dalam ampul berisi

1 dan 1,5 ml. Selain itu tersedia pula larutan mengandung 10 mg/ml dalam ampul berisi 1 dan 2 ml.
Obat ini dapat diberikan lM atau lV. Dosisnya ialah
3 mg/kg BB sehari yang dibagi dalam 3 kali pemberian,

tamisin.

7.6. NETILMISIN
Obat ini boleh diberikan lM atau lV, dan tersedia sebagai larutan 50 dan 100, 150 mg/2 ml.
Dosisnya ialah 4-6,5 mg/kg BB sehari yang dibagi
dalam 2-3 dosis.
Untuk penggunaan intravena dosis tunggal
diencerkan dalam 50 sampai 200 ml pelbagai
larutan (lihat petunjuk penggunaan). Pada anak
kecil dan anak, volum pelarut disesuaikan kebutuhan pasien, lalu diberikan dalam 30 menit - 2 jam.
Lama pengobatan 7-1 4 hari. Penyesuaian dosis
sama dengan gentamisin.

7.7. NEOMISIN
Neomisin tersedia untuk penggunaan lopikal

dan oral, penggunaan parenteral tidak lagi


dibenarkan karena toksisitasnya. Salep mata dan
kulit mengandung 5 mg/g untuk digunakan 2-3 kali
sehari. Untuk oral tersedia tablet 250 mg. Dosis oral
neomisin dapat mencapai 4-8 g sehari, dalam dosis
lerbagi; misalnya yang digunakan pada pengendalian koma hepatik, atau pembersihan lumen
USUS.

Framisetin sulfat (neomisin B) tersedia


hanya untuk penggunaan topikal sebagai salep

8. INDIKASI, KONTRAINDIKASI DAN


PENGGUNAAN KLINIK
Aminoglikosid, sekalipun berspektrum antimikroba lebar, jangan digunakan pada setiap jenis
inleksi oleh kuman yang sensitif, karena (1 ) resistensi terhadap aminoglikosid relatil cepat berkembang; (2) toksisitasnya relatif tinggi; (3) tersedianya
berbagai antibiotik lain yang cukup elektil dan toksisitasnya lebih rendah.
lndikasi penggunaan aminoglikosid sebaiknya
dibatasi untuk inleksi oleh kuman aerobik gramnegatil yang sensitif terhadapnya dan telah resisten
terhadap antimikroba lain yang kurang toksik; terutama inleksi sistemik berat, Pada berbagai infeksi
oleh kuman gram-negatif yang berat dan bersifat

latal, penggunaan aminoglikosid sebagai terapi


awal dapat menyelamatkan nyawa pasien, sekalF
pun belum dapat dipasiikan jenis kuman penyebab.
Termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah
bakteremia dan syok septik. Keputusan digunakannya aminoglikosid, sangat tergantung dari penga-

laman dan observasi dokter terhadap keadaan


klinik pasien. Keputusan ini perlu ditinjau kembali
setelah ada hasil kultur dan uji sensitivitas. Untuk
inleksi oleh kuman gram-positif dan kuman anaerobik penggunaan aminoglikosid lebih terbatas lagi;

sebab di samping ada obat yang lebih aman, juga


sebagian kuman khususnya yang anaerobik, resisten terhadap aminoglikosid.

673

Aminoglikosid

Manlaat aminoglikosid yang perlu dikemuka-

yang dikemukakan oleh berbagai kepustakaan

kan ialah terhadap infeksi oleh spesies Pseudomonas, yang pada umumnya resisten terhadap

hanya dapat digunakan sebagai pedoman umum


saja. Sensitivitas strain kuman sangat dipengaruhi
oleh berbagai keadaan, antara lain perkembangan
silat resistensi akibat penggunaan antimikroba.
Untuk aminoglikosid perlu dipertimbangkan pula
kemungkinan timbulnya resistensi silang, Gentamisin yang sudah cukup luas digunakan, di bebe-

penisilin.ataupun sefalosporin. Untuk terapi inleksi


Ps. aeruginosa, potensi tobramisin ialah kira-kira
2-4kali potensi gentamisin, berdasarkan dosis per
kg berat badan. Sekalipun silat larmakologi lalnnya
sama untuk kedua aminoglikosid ini, berdasarkan
perbedaan potensi tersebut di atas cukup beralasan

untuk memilih tobramisin pada inleksi

Ps.

aeruginosa.
Penetrasi yang baik dari aminoglikosid ke berbagai bagian tubuh tertentu, menghasilkan kadar
yang kira-kirg sama dengan kadar dalam darah.

lnfeksi oleh kuman yang sensitil di tempattempat


ini, dapat diharapkan tertanggulangi dengan
aminoglikosid. Organ atau bagian yang dimaksud-

kan adalah jaringan paru, rongga sendi, cairan


pleura serta asites. Dosis terapi untuk inleksi
saluran kemih dapat dicapai dengan dosis yang
lebih rendah daripada untuk inleksi sistemik lain
karena kadar obat dalam urin dapat berkisar antara

10 sampai 100 kali lebih tinggi daripada kadar


dalam serum. Sebaliknya untuk inleksi saluran empedu mungkin tidak memuaskan, karena kadar
yang tercapai dalam empedu berkisar antara 3050% kadar dalam darah.

Toksisitas aminoglikosid mudah meningkat


antara lain pada usia lanjut atau adanya gangguan ginjal. Pemantauan kadar obat dalam darah
dapat sangat membantu pengendalian dan pencegahan toksisitas. Dosis yang diberikan setiap saat
dapat disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan
hasil pantauan kadar obat dalam darah. Karena

aminoglikosid melintasi sawar uri, penggunaan


pada kehamilan hanya dibenarkan bila benar-benar

diperlukan sehubungan dengan kemungkinan


nefrotoksisitas, ototoksisitas dan elek toksik lainnya
terhadap neonatus. Pemberian streptomisin pada
wanita hamil dapal menimbulkan kerusakan N. Vlll
tetus.
Pada penggunaan aminoglikosid topikal, tetap

perlu diperhitungkan kemungkinan timbulnya elek

toksik sistemik. Hal ini antara lain dapat terjadi


dengan aplikasi aminoglikosid pada luka bakar
yang luas, pada gastroenteritis dan suntikan intraperitoneum.

rapa tempat sudah memperlihatkan resistensi yang

cukup tinggi. Di tempat di mana gentamisin masih


menunjukkan efektivilas yang tinggi, sebaiknya dibatasi penggunaan aminoglikosid lain yang relatif
baru agar tetap dimiliki pilihan penggantijika diperlukan.

Di samping ini, perlu dipertimbangkan silat


larmakokinetik dan kemungkinan terjadinya toksisitas.
STREPTOMISIN. Manfaat streptomisin pada tuber-

kulosis dapat dibaca pada Bab 41. Untuk inleksi


non-tuberkulosis dan inleksi kuman gram-negatil
penggunaan streptomisin sudah sangat terdesak
oleh aminoglikosid lain dan derivat kuinolon yang
lebih poten dan aman. lndikasi lain obat ini ialah
tularemia, sampar paru dan bubonik. Untuk berbagai inleksi kuman gram-negatif dan beberapa
infeksi kuman gram-positif, penggunaan streptomisin sering digabungkan dengan antimikroba lain.
Penggabungan dengan tetrasiklin digunakan pada
tularerria dan bruselosis berat (untuk terapi tularemia ringan digunakan terapi obat tunggal tetrasiklin); pada penyakit sampar, streptomisin digabung
dengan sulladiazin; kombinasi streptomisin dengan
penisilin digunakan pula pada endokarditis bakterial
yang disebabkan oleh Str. viridans alau Enterococcus, Dalam keadaan tertentu streptomisin dapat di-

pertimbangkan untuk meningitis oleh Ps. aeruginosa, chancroid dan granuloma inguinale.
Streptomisin jangan digunakan bersama obat
lain yang bersilat ototoksik, karena toksisitasnya
dapat bersilat aditil.
KANAMISIN DAN KELOMPOK NEOMISIN. KANA.
misin aklil terhadap E. coli, Enterobacter, Klebsiella, Proteus, Salmonella, Shigella, Vibrio, Neisseiia,
Staphylococcus, dan Mycobacterium. Kanamisin
parenteral digunakan pada inleksi oleh kuman yang
sensitif; antara lain inleksi perforasi abdomen dan

saluran kemih oleh Proteus, bakte-remia oleh


PEMILIHAN OBAT
Pedoman untuk memilih aminoglikosid tergan-

tung dari berbagai faktor. Spektrum antimikroba

kuman enterik. Terhadap inleksi S. aureus,


kanamisin sudah terdesak oleh antimikroba lain

yang lebih elektil dan kurang toksik. Sebagaituber'


kulostatik, penggunaan kanamisin hanya diterap'

674

Farmakologi dan Terapi

kan jika benar-benar diperlukan, berdasarkan pertimbangan toksisitasnya. Sekalipun in vitro aktif terhadap Sa/monella dan Shigella, secara klinik kanamisin tidak elektif terhadap infeksi oleh kedua jenis
kuman ini, Neomisin tidak digunakan parenteral,
karena ada obat lain yang kurang toksik.

Kanamisin dan neomisin digunakan oral


dalam berbagai keadaan. Penggunaan dengan
tujuan "membersihkan' lumen usus sebagai "persiapan' prabedah usus, membawa risiko superinfeksi, Penekanan llora usus dengan neomisin oral,
bermanlaat dalam terapi koma-hepatik; dalam hal
ini kanamisin digunakan sebagai obat tambahan.
Penggunaan kanamisin oral tidak terbukti dapat
mempercepat sembuhnya gastroenteritis E. coli
enteropatogenik.

Neomisin terbanyak digunakan topikal, baik


untuk infeksi kulit maupun untuk inleksi mukosa
oleh kuman yang sensitif,
GENTAMISIN, TOBRAMISIN, NETILMISIN DAN
SISOMISIN. Gentamisin sistemik (parenteral) diindikasikan untuk infeksi oleh kuman gram- negatif
yang sensitif; antara lain Proteus, Pseudomonas,

Klebsiella, Serratia, E.

coli dan

Enterobacter.
Kuman-kuman ini antara lain menyebabkan bakteremia, meningitis, osteomielitis, pneumonia, inleksi
luka bakar, inleksi saluran kencing, inleksi telingahidung-tenggorok dan tularemia. Dalam keadaan

krobanya; karena itu, tobramisin dapat digunakan


sebagai pengganti gentamisin. Aktivitas tobramisin
yang superior terhadap Ps. aeruginosa dibanding
gentamisin menyebabkan obat ini terpilih untuk
mengatasi inleksi oleh kuman tersebut. Obat ini
tidak memperlihatkan sinergisme dengan penisilin
terhadap enterokok dan inaktif terhadap mikobak-

terium, Dibandingkan terhadap gentamisin, terdapat petunjuk bahwa tobramisin bersilat kurang
nefrotoksik; tetapi hal ini belum terbukti secara
klinis.

Netilmisin dikatakan memperlihatkan efek


sama dengan gentamisin. Obat ini dikembangkan
untuk mengatasi masalah resistensi terhadap gentamisin atau tobramisin. Penelitian eksperimental
mendapatkan bahwa toksisitasnya lebih ringan
dibanding aminoglikosid pendahulunya, tetapi hal
ini memerlukan konlirmasi pada manusia.
Sisomisin mempunyai spektrum antibakteri,
sifat larmakokinetik dan toksisitas yang sama dengan gentamisin. Data uji klinik hingga saat ini menunjukkan bahwa obat ini kelihatannya tidak mem-

punyai kelebihan apapun dibandingkan dengan


gentamisin atau tobramisin.
AMIKASIN. Kuman yang sensitif terhadap amikasin

tertentu gentamisin digunakan pula terhadap


gonore dan inleksi S. aureus. Sedapat mungkin,

antara lain ialah E. coli, Kl. pneumoniae, Ps.


aeruginosa, Serratia marcescens, Providentia
stuartii, Proteus, Salmonella, Enterobacter, S.
aureus dan S. a/bus. Amikasin sangat berguna

gentamisin sistemik hanya diterapkan pada inleksi


yang berat saja. Pada septisemia yang diduga dis-

untuk inleksi gram- negatif, terutama yang telah


resisten terhadap gentamisin. Terhadap inleksi

ebabkan kuman gram-negatil, secara empirik dapat

berat oleh kuman gram-negatil, amikasin sekurangkurangnya sama elektil dengan gentamisin.
Secara in vitro, berdasarkan ukuran berat,

diberikan gentamisin sambil menunggu hasil identilikasi dan penentuan sensitivitas kuman penyebab.
Penggunaan gentamisin secara topikal khususnya
dalam lingkungan rumah sakit, perlu dibatasi sedapat mungkin; untuk menghambat perkembangan
resistensi pada kuman-kuman sensitif.
Tobramisin tidak jauh berbeda silatnya de-

ngan gentamisin, termasuk spektrum antimi-

amikasin kurang poten dibandingkan dengan


aminoglikosid lainnya; tetapi amikasin cukup efektif
secara klinis, sebab obat ini resisten terhadap ber-

bagai enzim yang menginaktifkan gentamisin,


tobramisin atau kanamisin.

Antimikroba Lain

675

46. ANTIMIKROBA LAIN


R. Setiabudy

1.

Eritromisin dan makrolid lain

3.2. Kolistin

1.1. Eritromisin
1.2. Spiramisin
1.3. Roksitromisin dan klaritromisin

4. Basitrasin

Linkomisin dan klindamisin


2.1. Linkomisin
2.2. Klindamisin

6. Mupirosin

Golongan Polimiksin
3.1. Polimiksin B

8. Vankomisin

5. Natrium lusidat

7. Spektinomisin

9. Golongan kuinolon

OH N (CHs)e

1. ERITROMISIN DAN MAKROLID LAIN


Antibiotika golongan makrolid mempunyai
persamaan yaitu terdapatnya cincin lakton yang
besar dalam rumus molekulnya. Eritromisin yang
dianggap paling penting dari golongan ini akan dibi-

carakan sebagai contoh utama dari kelompok ini.


Dalam kelompok ini lermasuk juga spiramisin, roksitromisin dan klaritromisin.

1.1. ERITROMISIN
ASAL DAN KIMIA
Eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus. Struktur kimia eritromisin dapat
dilihat pada Gambar 46-1. Zal ini berupa kristal

AKTIVITAS ANTIMIKROBA

berwarna kekuningan, larut dalam air sebanyak 2

Golongan makrolid menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara reversi-

mg/ml. Eritromisin larut lebih baik dalam etanol atau


pelarut organik.

bel dengan ribosom subunit 50S, dan bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung dari jenis kuman

Antibiotik ini tidak stabil dalam suasana asam,


kurang stabil pada suhu kamar tetapi cukup stabil
pada suhu rendah. Aktivitas in vitro paling besar
dalam suasana alkalis. Larutan netral eritromisin

yang disimpan pada suhu kamar akan menurun


potensinya dalam beberapa hari, tetapi bila disimpan pada suhu 50 biasanya tahan sampai beberapa
minggu.

dan kadarnya.

Spektrum antimikroba. ln vitro, elek terbesar eritromisin terhadap kokus gram positif, seperti Sfr.
pyogenes dan Sfr. pneumoniae. Str. vmdans mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap eritromisin. S. aureus hanya sebagian yang peka terhadap obat ini. Strain S. aureus yang resisten ter-

676

Farmakologi dan Terapi

hadap eritromisin sering dijumpai di rumah sakit

adalah 5-20o/o dari kadar obat dalam sirkulasi darah

(strain nosokomial).
Batang gram positil yang peka terhadap erilromisiri ialah Cl. pertringens, C. diphtheriae, dan L.

ibu.

monocytogenes.
Eritromisin tidak aktil terhadap kebanyakan
kuman gram negatif, namun ada beberapa spesies
yang sangat peka terhadap eritromisin yaitu lV.
gonorrhoeae, Campylobacter jejuni, M. pneumoniae, Legionella pneumophila, dan C. trachomatis.

Obat ini diekskresi terutama melalui hati. Dialisis peritoneal dan hemodialisis tidak dapat mengeluarkan eritromisin dari tubuh.
Pada wanita hamil pemberian eritromisin stearat dapat meningkatkan aktivitas serum aspartat
aminotranslerase (AST) yang akan kembali ke nilai
normal walaupun terapi diteruskan.

H. influenzae mempunyai kepekaan yang bervariasi

terhadap obat ini.


EFEK SAMPING DAN INTERAKSIOBAT

Resistensi.
Resistensi terhadap eritromisin terjadi melalui
3 mekanisme yang diperantarai oleh plasmid yaitu:
(1) menurunnya permeabilitas dinding sel kuman,
(2) berubahnya reseptor obat pada ribosom kuman,
dan (3) hidrolisis obat oleh esterase yang dihasilkan
oleh kuman tertentu (Enterobacteriaceae).

Elek samping yang berat akibat pemakaian


eritromisin dan turunannya jarang terjadi.
Beaksi alergi murrgkin timbul dalam bentuk
demam, eosinolilia dan eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Hepatitis kolestatik adalah reaksi kepekaan yang terutama ditimbulkan oleh

eritromisin estolat (sekarang tidak dipasarkan lagi


di lndonesia). Fleaksi initimbul pada hari ke 10-20
setelah dimulainya terapi. Gejalanya berupa nyeri
perut yang menyerupai nyeri pada kolesistitis akut,
mual dan muntah. Kemudian timbul ikterus, demam,

FARMAKOKINETIK

leukositosis dan eosinolilia; transaminase serum

dan kadar bilirubin meninggi; kolesistogram tidak


Basa eritromisin diserap baik oleh usus kecil
bagian atas; aktivitasnya hilang oleh cairan lambung dan absorpsi diperlambat oleh adanya makanan dalam lambung. Untuk mencegah pengrusakan oleh asam lambung, basa eritromisin diberi
selaput yang tahan asam atau digunakan dalam
bentuk ester stearat atau etilsuksinat. Dengan dosis
oral 500 mg eritromisin basa dapat dicapai kadar
puncak 0,3-1,9 ug/ml dalam waktu 4 jam.
Hanya2-5% erilromisin yang diekskresi dalam
bentuk aktil melalui urin. Eritromisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar obat aktil dalam
cairan empedu dapat melebihi 100 x kadar yang
tercapai dalam darah.
Masa paruh eliminasi eritromisin adalah sekitar 1,6 jam. Dalam keadaan insulisiensi ginjal tidak
diperlukan modilikasi dosis.
Eritromisin berdifusi dengan baik ke berbagai
jaringan tubuh kecuali ke otak dan cairan serebro
spinal. Kadarnya dalam jaringan prostat hanya sekilar 400/o dari kadar yang tercapai dalam darah. Pada
ibu hamil, kadar eritromisin dalam sirkulasi fetus

menunjukkan kelainan. Gejala klinis dan pqtologis

sangat mirip dengan gangguan yang ditimbulkan


oleh klorpromazin. Kelainan ini biasanya menghilang dalam beberapa hari setelah terapi dihentikan.
Elek samping ini dijumpai pula pada penggunaan
eritromisin etilsuksinat tetapi jarang sekali terjadi.
Eritromisin oral (terutama dalam dosis besar) sering menimbulkan iritasi saluran cerna seperti mual,
muntah, dan nyeri epigastriurn. Suntikan lM lebih
dari 100 mg menimbulkan sakit yang sangat hebat. Pemberian 1 g dengan infus lV sering disusul
oteh timbutnya trombo{lebitis.
Kelulian sementara dapat terjadi bila eritromisin diberikan dalam dosis tinggi secara lV.

Eritromisin dilaporkan meningkatkan toksisi-

tas karbamazepin, kortikosteroid, siklosporin, digoksin, warlarin, dan teotilin,

SEDIAAN DAN POSOLOGI


Sediaan dan posologi eritromisin dapat dilihat
dalam Tabel 46-1.

Antimikroba Lain

677

Tabel 46-1. POSOLOGI ERITFOMISIN


Preparat')
Erilromisin

Kcmasan
Kapsulitablet 250 mg
dan 500 mg

Posologi/cara pemberian

Keterangan

Dewasa:1-2 g/hari, dibagi dalam


4 dosis

Dosis dapat ditingkat-

kan2xlipalpada
inteksi bsrat.

Anak 30-50 mglkg berat badan


sehari dibagi dalam 4 dosis.
Eritromisin stearat

Kapsul 250 mg dan tablet


500 mg

Dewasa: 250-5OO mg tiap 6 jam atau


500 mg tiap 12 jam.

Suspnsi oral mengandung


250 mg/s ml

Anak: 30-50 mglkg brat badan


sehari dibagi dalam beberapa

Obat dibrikan
sbelum makan

idem

dosis.
Eritromisin tilsuk
sinat.

Tablot kunyah 200 mg.


Suspnsi oral mengandung 200 mg/
5 mldalam botol 60 ml.

Dewasa : 4O0-800 mg tiap 6 jam


atau 800 mg tiap 12 jam.

Obat tidak prlu


diberikan

s6blum makan
Anak: 30-50 mg/kg berat badan
sehari dibagi dalam beberapa
dosis.

Teles oral mengandung 100 mg/


2.5 ml dalam botol 30 ml-

Kterangan : ') berat berbagai sstr eritromisin ini dinyatakan dalam kesetaraannya dengan eritromisin basa

PENGGUNAAN KLINIK

Pertusis. Bila diberikan pada awal inleksi, eritro-

lnfeksi Mycoplasma pneumoniae. Eritromisin


yang diberikan 4 kali 500 mg sehari per oral mempercepat turunnya panas dan mempercepat penyembuhan sakil.
Penyakit Legionnaire. Eritromisin merupakan obat
yang dianjurkan untuk pneumonia yang disebabkan oleh Legionella pneumophila. Dosis oral ialah 4

kali 0,5-1 g sehari alau secara intravena 1-4

sehari.

lnfeksi Klamidia. Eritromisin merupakan alternatil


tetrasiklin untuk infeksi klamidia tanpa komplikasi
yang menyerang uretra, endoserviks, rektum atau
epididimis. Dosisnya ialah 4 kali sehari 500 mg per
oral yang diberikan selama 7 hari. Eritromisin merupakan obat terpilih untuk wanita hamil dan anakanak dengan inleksi klamidia.

misin dapat mempercepat penyembuhan.

lnfeksi streptokokus. Faringitis, scar/et lever dan


erisipelas oleh Str. pyogenes dapat diatasi dengan
pemberian eritromisin per oral dengan dosis 30 mg/

kgBB/hari selama 10 hari. Pneumonia oleh pneumokokus juga dapat diobati secara memuaskan
dengan dosis 4 kali sehari 250-500 mg

lnfeksi stafilokokus. Eritromisin merupakan alternatif penisilin untuk inleksi ringan oleh S. aureus
(termasuk strain yang resisten terhadap penisilin).
Tetapi munculnya strain-strain yang resisten telah
mengurangi manfaat obat ini. Untuk inleksi berat
oleh stafilokokus yang resisten terhadap penisilin
lebih elektif bila digunakan penisilin yang lahan
penisilinase (misalnya dikloksasilin atau llukloksasilin) atau sefalosporin. Dosis eritromisin untuk inteksi statilokokus pada kulit atau luka ialah 4 kali
500 mg sehari yang diberikan selama 7-10 hari per

Difteri. Eritromisin sangat elektif untuk membasmi

oral.

kqman ditteri baik pada inleksi akut maupun pada


carrier state. Perlu dicatat bahwa eritromisin maupun antibiotik lain tidak mempengaruhi perjalanan
penyakit pada inleksi akut dan komplikasinya.
Dalam hal ini yang penting antitoksin.

lnfeksi Campylobacfel. Gastroenteritis oleh Campylobacter jejuni dapat diobali dengan eritromisin
per oral 4 kali 250 mg sehari. Dewasa ini fluorokuinolon telah menggantikan peran eritromisin untuk
inleksi ini.

678

Farmakologi dan Terapi

Tetanus. Eritromisin per oral 4 kali 500 mg sehari


selama 10 hari dapat membasmi C/. tetani pada
penderita tetqnus yang alergi terhadap penisilin.
Antitoksin, obat anti kejang dan pembersihan luka
merupakan tindakan lain yang sangat penting.

Sifilis. Untuk penderita sililis stadium diniyang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan eritromisin per

oral dengan dosis 2-4 g sehari selama 10-1 5 hari.

Gonore. Eritromisin mungkin bermantaat untuk


gonore diseminata pada wanita hamil yang alergi
terhadap penisilin. Dosis yang diberikan ialah 4 kali
500 mg sehari yang diberikan selama 5 hari per oral.
Angka relaps hampir mencapai 25%. Settriakson
merupakan obat terpilih untuk indikasi ini.

Penggunaan profilaksis. Obat terbaik untuk mencegah kambuhnya demam reumatik ialah penisilin.
Sullonamid dan eritromisin dapat dipakai bila penderita alergi terhadap penisilin. Eritromisin juga
dapat dipakai sebagai pengganti penisilin untuk
penderita endokarditis bakterial yang akan dicabut
giginya. Dosis eritromisin untuk keperluan ini ialah
1 g per

oral yang diberikan 1 iam sebelum dilakukan


tindakan, dilanjutkan dengan dosis tunggal 500 mg
yang diberikan 6 jam kemudian.

1.2. SPtRAMtStN
Spiramisin adalah antibiotik yang dihasilkan
oleh Sfieptomyces ambofaciens. Obat ini elektil terhadap kuman stafilokokus, streptokokus, pneumokoku s, en tero koku s, Neissera, B o rd ete I I a pertusig
Rickettsia, ameba dan toksoplasma. Secara in vitro
aktivitas antibakteri spiramisin lebih rendah daripada eritromisin.
Spiramisin umumnya diberikan per oral. Absorpsi dari saluran cerna tidak lengkap, namun tidak

dipengaruhi adanya makanan dalam lambung.


Dalam waklu 2 jam setelah pemberian 2 gram per
oral dicapai kadar tertinggi dalam darah (3 mcg/ml).
Kadarantibiotik inidalam cairan empedu, air liur dan
air susu lebih tinggi daripada dalam darah. Kadar
spiramisin dalam berbagai jaringan pada umumnya
lebih tinggi daripada kadar antibiotik makrolid lainnya dan bertahan lama walaupun kadar obat ini
dalam serum sudah turun rendah sekali.
Preparat spiramisin yang tersedia ialah
bentuk tablet 500 mg.

Dosis oral untuk penderita dewasa ialah 3-4


kali 500 mg sehari. Pada infeksi berat, dosis dapat
ditingkatkan 2 kali lipat. Dosis oral untuk anak ialah
50-75 mg/kgBB sehari, terbagidatam 2-3 kati pemberian.
Seperli eritromisin, spiramisin digunakan untuk lerapi inleksi rongga mulut dan saluran napas.
Spiramisin juga digunakan sebagai obat alternatil untuk penderita toksoplasmosis yang karena
sesuatu sebab tidak dapat diobati dengan pirimetamin + sullonamid (misalnya pada wanita hamil,
atau ada kontraindikasi lainnya). Efektivitasnya ti-

dak sebaik pirimetamin + sulfonamid. Dosis yang


digunakan untuk indikasi ini ialah 2-3 g/hari yang
dibagi dalam beberapa dosis selama tiga minggu.
Terapi diulang 2 minggu kemudian.
Pemberian spiramisin oral kadang-kadang
menimbulkan iritasi saluran cerna.

1.3. ROKSITROMISIN DAN

KLABITROMISIN
Roksitromisin adalah derivat eritromisin yang
diserap dengan baik pada pemberian oral. Obat ini
lebih jarang menimbulkan iritasi lambung dibandingkan dengan eritromisin. Bioavailabilitasnya tidak banyak terpengaruh oleh adanya makanan dalam lambung. Kadarnya dalam plasma dan jaringan
lebih tinggi dari eritromisin. Masa paruh eliminasinya sekitar 10 jam sehingga obat ini dapat diberikan
dua kali sehari. Penggunaannya sama dengan eritromisin. Dosis oral untuk orang dewasa ialah 2 kali
150 mg sehari. Untuk anak diberikan 5-10 mg/kgBB/
hari yang dibagi dalam 2 dosis,
Klaritromisin juga digunakan untuk indikasi
yang sama seperti eritromisin. Secara in vitro, obat
ini adalah makrolid yang paling aktil terhadap Chlamydia trachomafls, Dosis oral untuk orang dewasa
ialah 2 kali 250-500 mg sehari. Absorpsinya tidak
banyak dipengaruhi oleh adanya makanan dalam
lambung. Efek sampingnya adalah iritasi saluran
cerna (lebih jarang dibandingkan dengan eritromisin) dan peningkatan sementara enzim hati. Pada
hewan coba, dosis tinggi menimbulkan embrioloksisitas. Klaritromisin juga meningkatkan kadar
teolilin dan karbamazepin bila diberikan bersama
obat-obat tersebut.

679

Antimikroba Lain

2. LINKOMISIN DAN KLINDAMISIN

2.1. LINKOMISIN

Linkomisin adalah antibiotik yang dihasilkan


oleh Streptomyces lincolnensis. Antibiotik ini terdiri
dari satu asam amino yang terikat pada suatu gula
amino.

Linkomisin merupakan antibiotik pertama dari


golongan linkosamid yang digunakan diklinik. Tetapi dewasa ini praktis tidak ada alasan lagi untuk
menggunakan obat ini karena derivatnya, klindamisin, mempunyai sifat yang lebih baik. Klindamisin lebih aktif, lebih sedikit elek sampingnya serta
pada pemberian per oral tidak terlalu dihambat oleh
adanya makanan dalam lambung. Sifat-sitat farmakologik linkomisin dapat dilihat pada edisi terdahulu buku ini.
Linkomisin tersedia dalam bentuk kapsul 250
dan 500 mg serta sirup yang mengandung 250 mg/5
ml. Obat suntik yang mengandung 600 mg tersedia
dalam ampul 2 ml.
Dosis oral ialah 500 mg tiap 6-8 jam untuk
penderita dewasa; untuk anak 30-60 mg/kgBB terbagi dalam 3 atau 4 kali pemberian tiap hari. Terapi
lM menggunakan dosis 600 mg tiap 6, I atau 12 jam
tergantung dari beratnya infeksi. Linkomisin tidak
boleh diberikan sebagai bolus lV dalam waktu cepat
karena dapat menimbulkan henti jantung-paru.

tidak banyak mempengaruhi absorpsi obat ini. Setelah pemberian dosis oral 'l 50 mg biasanya tercapai

kadar puncak plasma 2-3 mcg/ml dalam waktu


jam. Masa paruhnya kira- kira 2,7 iam.

Klindamisin palmitat, yang digunakan sebagai

preparat oral pediatrik, tidak aktil secara in vitro.


Tetapi setelah mengalami hidrolisis akan dibebaskan klindamisin yang aktif. Setelah pemberian beberapa kali dengan dosis 8-16 mg/kgBB dengan
interval 6 jam, tercapai konsentrasi 2-4 mcg/ml.
Klindamisin didistribusi dengan baik ke berbagai cairan tubuh, jaringan dan tulang, kecuali ke
CSS walaupun sedang terjadi meningitis. Obat ini
dapat menembus sawar uri dengan baik. Kira- kira
90% klindamisin dalam serum terikat dengan albumin. Klindamisin berakumulasi dalam leukosit polimorfonuklear dan makrolag alveolar tetapi makna
klinik dari {enomena ini belum jelas.
Hanya sekitar 10% klindamisin diekskresi dalam bentuk asal melalui urin. Sejumlah kecil klindamisin ditemukan dalam leses. Sebagian besar
obat dimetabolisme menjadi N-demetilklindamisin
dan klindamisin sulfoksid untuk selanjutnya diekskresi melalui urin dan empedu. Masa paruh eliminasi dapat memanjang pada penderita gagal ginjal
sehingga diperlukan penyesuaian dosis berdasar-

kan pengukuran kadar obat dalam plasma. Hal ini


dapat pula terjadi pada penderita dengan gangguan

fungsi hati yang berat.

2.2. KLINDAMISIN
EFEK SAMPING
KIMIA
Rumus bangun klindamisin mirip dengan linkomisin. Perbedaannya hanya pada 1 gugus hidroksil pada linkomisin yang diganti dengan atom Cl.

AKTIVITAS ANTIBAKTERI
Spektrum antibakterinya menyerupai linkomisin hanya in vitro klindamisin lebih aktil. Obat ini
pada umumnya aktil terhadap S. aureug D. pneumoniae, Str. pyogeneg Str. anaerobic, Str. viridans
dan Actinomyces israelli. Obat ini juga aktil terhadap Eacfercidesfragilis dan kuman anaerob lainnya.

Diare dilaporkan terjadi pada2-20% penderita


yang mendapat klindamisin. Sekitar 0,01-'l 0% penderita dilaporkan menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh demam, nyeri abdomen,
diare dengan darah dan lendir pada tinja. Pada
pemeriksaan proktoskopik terlihat adanya mem-

bran putih kuning pada mukosa kolon. Kelainan


yang dapat bersilat latal ini disebabkan oleh toksin
yang diekskresioleh Cl. difficile. Penyakit inisekarang disebut antibiotic associated pseudomembra'
nous colrtis karena dapat terjadi pada pemberian
kebanyakan antibiotika, tetapi paling sering pada
klindamisin. Timbulnya penyakit tersebut tidak tergantung dari besarnya dosis dan dapat terjadi pada

FAiiMAKoKINETIK
Klindamisin diserap hampir lengkap pada
pemberian oral. Adanya makanan dalarn lambung

pemberian oral maupun parenteral. Gejala dapat


muncul selama terapi atau beberapa minggu
setelah terapi dihentikan. Bila selama terapi limbul
diare atau kolitis, maka pengobatan harus dihenti-

680

Farmakologi dan Terapi

kan. Obat terpilih untuk keadaan ini adalah vankomisin yang diberikan 4 kali 125-500 mg sehari per

kin menimbulkan kolitis. Klindamisin terutama bermanlaat untuk inleksi kuman anaerobik, terutama

oral selama 7-1 0 hari. Pemberian basitrasin, metronidazol (3 kali 500 mg sehari) per oral dan kolestiramin (3-4 kali 4 g sehari) dapat bermanfaat pula.
Obat penghambat peristalsis dapat memperburuk
keadaan. lndikasi penggunaan klindamisin harus
dipertimbangkan dengan baik sebelum obat ini diberikan.
Kemerahan kulit terjadi pada sekitar 10% penderita. Reaksi lain yang jarang terjadi ialah sindrom
Stevens-Johnson, peningkatan kadar SGOT dan
SGPT sementara, granulositopenia, trombositopenia dan reaksi anafilaksis. Tromboflebitis dapat terjadi akibat pemberian intravena. Klindamisin dapat

B. fragilis.

menghambat transmisi neuromuskular dan dapat


meningkatkan efek obal lain yang mempunyai sitat
seperti ini.

Untuk pengobatan abses paru, pemberian


klindamisin 3 kali 600 mg lV lebih elektif daripada
penisilin 1 juta unit tiap4 jam. Peranan obat ini untuk
pneumonia aspirasi, pneumonia pasca obstruksi
atau abses paru belum dipastikan, letapi didapat
kesan bahwa klindamisin merupakan alternatil yang
baik untuk penisilin.

3. GOLONGAN POLIMIKSIN
Golongan polimiksin yaitu polimiksin B dan
kolistin sekarang hanya digunakan per oral atau topikal, jarang secara parenteral karena sangat nefrotoksik.

SEDIAAN DAN POSOLOGI

3.1. POLIMIKSIN B

Klindamisin tersedia dalam bentuk kapsul ber-

isi klindamisin HCI hidrat yang setara dengan 75


dan 150 mg klindamisin basa. Selain itu terdapat
granul klindamisin palmitat HCI untuk suspensi oral
dengan konsentrasi 75 mg/5 ml.
Dosis oral untuk orang dewasa ialah 150-300
mg tiap 6 jam. Untuk infeksi berat dapat diberikan
450 mg tiap 6 jam. Dosis oral unluk anak ialah 8-12
mg/kgBB sehari yang dibagi dalam beberapa dosis.

Untuk infeksi berat dapat diberikan sampai 25 mgl


kgBB sehari.
Untuk pemberian secara lM atau lV digunakan
larutan klindamisin foslat 150 mg/ml dalam wadah
2 dan 4 ml, Dosis unluk inleksi berat kokus gram
positil aerobik ialah 0,6-1,2 g sehari, dibagi dalam
beberapa kali pemberian. Untuk inleksi berat oleh
B. fragilis, Peptococcus atau Clostridium (kecuali

d. pertringens) diberikan dosis 1 ,2-2,7 g sehari


yang dibagi dalam beberapa kali pemberian. Dosis
lebih dari 600 mg sebaiknya tidak disuntikkan pada
satu tempat.

Untuk anak atau bayi berumur lebih dari

bulan diberikan 15-25 mg/kgBB sehari; untuk inleksi


berat dosisnya 25-40 mg/kgBB sehari yang dibagi
dalam beberapa dosis pemberian.

PENGGUNAAN KLINIK
Walaupun beberapa infeksi kokus gram positil
dapat diobati dengan klindamisin, penggunaan obat
ini harus dipertimbangkan baik-baik karena mung-

KlMlA. Polimiksin B sullat sangat mudah larut


dalam air. Stabilitasnya sangal baik dalam bentuk
kering maupun dalam bentuk larutan dengan suhu
dan pH fisiologik.
AKTIVITAS ANTIMIKROBA. Kedua obat ini aktif
terhadap berbagai kuman gram negatif, khususnya
Ps. aeruginosa. Kuman lain yang peka ialah Escherichia, Haemophilus, Klebsiella, Enterobacter,

Salmonella, Shigella, Pasteurella, Bordetella dan


Vibrio. Obal ini bekerja dengan mengganggu lungsi
pengaturan osmosis oleh membran sitoplasma kuman. Resisten terhadap antibiotik ini jarang terjadi.

FARMAKOKINETIK. Polimiksin praktis tidak diserap melalui mukosa atau kulit dengan luka bakar.
Pada pemberian parenteral, obat ini dapat menem-

bus sawar uri, tetapi tidak dapat mencapai CSS,


cairan sendi dan jaringan intra-okuler kecuali bila
disuntikkan lokal. Polimiksin B diekskresi melalui
urin dan pada gagal ginjal, kumulasi terjadi dengan
cepal.
EFEK SAMPING. Reaksi alergi jarang sekati timbut
akibat pemberian topikal. Efek samping terpenting
dari obat ini ialah neurotoksisitas dan nelrotoksisitas yang khususnya mudah terjadi pada penderita gagal ginjal karena terjadinya kumulasi. Dosis

rendah parenteral yang menghasilkan kadar 1-2


pg/ml dalam darah dapat menimbulkan kemerahan
pada muka, vertigo, ataksia, rasa mengantuk dan

Antimikroba Lain

parestesia, Dengan dosis terapi juga dapat terjadi


paralisis dan henti nafas akibat blokade neuromuskular yang sulit di aiasi dengan neostigmin tetapi
mungkin dapat ditolong dengan kalsium glukonat.

SEDIAAN DAN POSOLOGI. Penggunaan sistemik obat ini sekarang praktis telah ditinggalkan
orang karena toksisitasnya yang tinggi. Oleh karena
itu dosis untuk penggunaan sistemik tidak dicantumkan lagi dalam edisi ini.
Untuk penggunaan topikal tersedia krem atau

Basitrasin tersedia dalam bentuk salep kulit

dan mata yang mengandung 500 unit/g. Garam


seng basitrasin iuga sering dicampur dengan neomisin sullat, polimiksin B sulfat dan lain-lain untuk
penggunaan topikal. Kombinasi ini dianggap rasional karena obat-obat ini relatif aman pada penggunaan topikal dan tidak praktis untuk melakukan
identilikasi kuman setiaP kali.
Basitrasin stabil dalam bentuk salep, tetapi
tidak stabil dalam bentuk krem.

salep kulit dan salep mata yang mengandung


5.000-10.000 unit polimiksin B/g' Obat tetes mata
atau telinga mengandung 20'000 unit/ml.

3.2. KOLISTIN
Kolistin sullat mudah larut dalam air dan diberikan per oral untuk mengobati diare pada anak dan
bayi yang disebabkan oleh E coli, Ps. aeruginosa,
dan kuman gram negatil lainnya yang peka. Spektrum antibakterinya secara in vitro sama dengan
polimiksin B. Obat ini praktis lidak diserap melalui
saluran cerna.
Obat ini iarang sekali diberikan secara parenteral. Kolistin sullat diberikan per oral untuk mendapatkan elek antibakteri lokal di saluran cerna.
Kadang-kadang obat ini juga diberikan secara topikal untuk tetes mata dan telinga.
Obal ini tersedia dalam bentuk bubuk yang
setelah ditambahkan air mengandung 25 mg kolistin/s ml suspensi. Dosis oral untuk anak dan bayi
ialah 5-15 mg/kgBBlhari dibagi dalam 3 pemberian'

4. BASITRASIN
Antibiotik ini dihasilkan oleh strain tertentu 8.
subtl/is dan bersilat bakterisid terhadap kuman-kuman gram positil dan Neissena. Basitrasin tidak

aktil terhadap kuman gram negatif lainnya dan


beberapa strain StaphY/ococcus.
Obat ini sekarang hanya digunakan secara
topikal untuk berbagai infeksi kulit dan mata karena

pada pemberian sistemik bersifat nefrotoksik'


Reaksi alergi jarang teriadi pada penggunaan topikal. Salep mata yang mengandung basitrasin elektil

untuk mencegah oltalmia neonatorum karena


gonore.

5. NATRIUM FUSIDAT
Asam fusidat tersedia dalam bentuk garam
natrium untuk mempermudah kelarutannya' Di lndonesia hanya tersedia salep natrium fusidal 2%
untuk inleksi kulit superfisial oleh stalilokokus. Di

Eropa, obat ini diberikan secara sistemik untuk in{eksi sta{ilokokus yang resisten terhadap penisilin'
khususnya untuk osteomielitis karena obat ini terdapat dalam tulang dengan kadar cukup tinggi. Elek
samping yang timbul pada pemberian sistemik ialah
mual, muntah, erupsi kulit, ikterus dan kelainan laal
hatiyang daPat Pulih'

6. MUPIROSIN
Obat ini bekerja dengan menghambat enzim
isoleusil-t-RNA sintetase pada kuman.
Kebanyakan stalilokokus (termasuk S. epider'
mrdls dan S. aureus yang resisten terhadap metisilin) dan streptokokus (kecuali S' faecalis) peka
terhadap mupirosin. Kuman gram negatif tertentu
(E. coli, H. influenzae, N' meningitidis, N. gonorrhoeae) juga peka terhadap obat ini. Mupirosin

tidak mempunyai efek yang berarti terhadap


klamidia, jamur, dan llora normal kulit. Obat ini
bersilat bakterisidal dalam bentuk salep2o/o dengan

vehikulum polietilen glikol, Namun vehikulum ini


sendiri dapat diserap terlalu banyak pada lesi yang
luas hingga menimbulkan efek nefrotoksik.
Pada umumnya pemberian topikal mupirosin

dapat ditoleransi dengan baik' Jarang sekali dapat


terjadi iritasi kulit.
Mupirosin topikal diindikasikan untuk berbagai
inleksi kulit (baik primer maupun sekunder) yang
disebabkan oleh stafilokokus aureus dan streptoko'
kus piogenes. Untuk inleksi kulit yang luas diperlukan pemberian antimikroba sistemik.

682

Farmakologi dan Terapi

7. SPEKTINOMISIN
Obat ini dihasilkan oleh Sfrepfornyces specfabilis dan aktif terhadap kebanyakan strain N. gonorthoeae. Tidak terdapat resistensi silang antara obat
ini dengan penisilin. Spektinomisin digunakan bila
gonokokus resisten atau penderita alergi terha-

dap penisilin G.
Spektinomisin diserap dengan cepat dari tempat suntikan. Dalam darah praktis tidak terikat oleh
protein plasma dan diekskresi melalui urin dalam
bentuk aktil.

Setelah suntikan dosis tunggal mungkin tim-

bul mual, menggigil, demam, insomnia, urtikaria

dan oliguria. Elek samping ini relatil jarang terjadi.


Setelah pemberian berulang kali, beberapa nilai kimia darah mungkin berubah, misalnya kadar hemoglobin, hematokrit dan bersihan kreatinin menurun,
kadar alkali lostatase serum, ureum dan SGpT me-

ningkat. Belum diketahui jelas elek toksik obat ini


terhadap fetus, bayi dan anak.

Spektinomisin digunakan untuk mengatasi inleksi /V. gonorrhoeae dalam bentuk uretritis akut

Vankomisin merupakan obat terpilih untuk kolitis


oleh Clostridium difficile akibat pengguoian lrrtibiotik.

Karena sangat toksik, obat ini hanya diguna-

kan bila penderita alergi terhadap obat lain yang


lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang
fatal dapat terjadi pada pemberian dosis besar,
terapi yang lama atau bila diberikan pada penderita
payah ginjal. Karena itu perlu pemeriksaan audiogram dan laal ginjal secara teratur, lebih-lebih bila
terapi berlangsung lebih dari 1 minggu. Tromboflebitis dapat terjadi pada pemberian lV yang lama.
Vankomisin HCI tersedia dalam bentuk bubuk
500 mg untuk pemberian lV. Dosis untuk dewasa
ialah 2-4 g/hari yang dibagi dalam beberapa pem-

berian dan untuk anak 40 mg/kgBB/hari. Dosis ini


dilarutkan dalam 100-200 ml garam laal atau dekstrosa 5% dan diberikan lV perlahan-lahan untuk
mencegah tromboflebitis. Untuk penggunaan oral
tersedia bubuk 10 g untuk dilarutkan dengan 1 15 ml
air.

dan proktitis pada pria serta servisitis akut dan


proktitis pada wanita bila obat utama yaitu penisilin
atau tetrasiklin tidak elektif atau tidak dapat diberi-

9. GOLONGAN KUINOLON

kan karena suatu sebab. Dahulu obat ini merupakan

obat terpilih untuk gonore tanpa komplikasi yang


disebabkan oleh gonokokus penghasil penisilinase.
Sekarang obat terpilih untuk ini ialah seftriakson
(suntikan tunggal 125-250 mg),

8. VANKOMISIN
Vankomisin dihasilkan oleh Streptomyces
orientalis. Obat ini tidak diserap melalui saluran
cerna, dan untuk mendapatkan elek sistemik selalu
harus diberikan lV karena pemberian lM menimbulkan nekrosis setempat.
Obat ini hanya aktil terhadap kuman gram
positif, khususnya golongan kokus, lndikasi utama
vankomisin ialah septikemia dan endokarditis yang
disebabkan oleh stafilokokus, streptokoku.s atau
enterokokus bila penderita alergi terhadap penisilin
dan sefalosporin. Penggunaannya dapat dikombinasikan dengan gentamisin atau aminoglikosid lainnya. Pada pemberian per oral obat ini juga bermanfaat untuk enterokolitis oleh stalilokokus yang
biasanya merupakan elek samping antibiotik lain.

Asam nalidiksat adalah prototip golongan kui-

nolon lama yang dipasarkan sekitar tahun .1 g60.


Walaupun obat ini mempunyai daya antibakteri
yang baik terhadap kuman gram negatif, eliminasinya melalui urin berlangsung terlalu cepat sehingga
sulit dicapai kadar terapeutik dalam darah. Karena
itu penggunaan asam nalidiksat praktis terbatas
sebagai antiseptik saluran kemih saja. Selain itu
resistensi timbul cepat terhadap obat ini. Kuinolon
lainnya yang menyusul yaitu asam piromidat, asam
pipemidat, sinoksasin, dan lain-lain, juga tidak
mempunyai kelebihan yang berarti.
Pada awal tahun 1980, diperkenalkan golong-

an kuinolon baru dengan atom fluor pada cincin


kuinolon (karena itu dinamakan juga fluorokuinolon). Perubahan struktur ini secara dramatis me-

ningkatkan daya antibakterinya, memperlebar


spektrum antibakteri, memperbaiki penyerapannya
dari saluran cerna, serta memperpanjang masa
kerja obat. Golongan lluorokuinolon ini dapat digunakan untuk infeksi sistemik. Yang termasuk golongan ini antara lain ialah siprolloksasin, enoksasin,
ofloksasin, pelloksasin dan norfloksasin.

Antimikroba Lain

MEKANISME KERJA

paling panjang. Bioavailabilitasnya pada pemberian

Bentuk double helx DNA harus dipisahkan


menjadi 2 utas DNA pada saat akan berlangsungnya replikasi dan transkripsi. Pemisahan ini selalu

per oral sama dengan pemberian parenteral. Penyerapan siprolloksasin (dan mungkin juga lluorokuinolon lainnya) terhambat bila diberikan bersama
antasida. Fluorokuinolon hanya sedikit lerikat dengan protein. Golongan obat ini didistribusi dengan

akan mengakibatkan terjadinya puntiran berlebihan


(overwinding) pada double helx DNA sebelum titik
pisah. Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman
dengan bantuan enzim DNA girase (topoisomerase
ll) yang kerjanya menimbulkan negative supercoi/rng. Golongan lluorokuinolon menghambat kerja
enzim DNA girase pada kuman dan bersilat bakterisidal.
Mekanisme resistensi melalui plasmid seperti
yang banyak terjadi pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun dapat terjadi
dengan mekanisme mutasi pada DNA atau membran sel kuman.

SPEKTRUM ANTIBAKTERI
Golongan fluorokuinolon aktif sekali terhadap
enterobacteriaceae (E. coli, Klebsiella, Entercbacter, Proteus), Shigella, Salmonella, Vibio, C. jejuni,
B. catarrhalis, H. influenzae, dan lV. gonorrhoeae

baik pada berbagai organ tubuh. Dalam urin semua

lluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui


Kadar Hambat Minimal untuk kebanyakan kuman
patogen selama minimal 12 jam. Salah satu silat
fluorokuinolon yang menguntungkan ialah bahwa
golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi
dalam jaringan prostat. Beberapa lluorokuinolon seperti siprofloksasin dan olloksasin dapat mencapai
kadar tinggi dalam cairan serebrospinal bila ada
meningitis. Sifat lain lluorokuinolon yang mengun-

tungkan ialah masa paruh eliminasinya panjang


sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari. Kebanyakan lluorokuinolon dimetabolisme di hati dan
diekskresikan melalui ginjal. Masa paruh eliminasi
olloksasin akan sangat memanjang dalam keadaan
gagal ginjal. Sebagian kecil obat akan dikeluarkan
melalui empedu. Hemodialisis hanya sedikit me-

ngeluarkan lluorokuinolon dari tubuh sehingga penambahan dosis umumnya tidak diperlukan.

(termasuk galur-galur penghasil penisilinase


kuman-kuman ini). Golongan obat ini juga aktil terhadap Ps. aeruginosa (yang paling aktil untuk ini
ialah siprolloksasin). Berbagai kuman yang telah
resisten terhadap golongan aminoglikosida dan

betalaktam ternyata masih peka terhadap


lluorokuinolon.
Dengan aktivitas yang lebih rendah, golongan
obat ini juga dapat menghambat stafilokokus (termasuk S. aureus yang resisten lerhadap metisilin).

Streptokokus (termasuk S. pyogenes,


Enterococcus f aec alis, dan Sfreptoco cc u s virid ans)
termasuk kuman yang kurang peka terhadap fluorokuinolon.

Secara in vitro, fluorokuinolon tertentu aktil


terhadap beberapa galur mikobakteria.
Kuman-kuman anaerob pada umumnya resisten terhadap lluorokuinolon.

FARMAKOKINETIK
Fluorokuinolon diserap dengan cepat melalui
saluran cerna. Semua lluorokuinolon mencapai kadar puncaknya dalam 1-2 jam setelah pemberian
obat, Pefloksasin adalah lluorokuinolon yang absorpsinya paling baik dan masa paruh eliminasinya

EFEK SAMPING DAN INTERAKSI OBAT


Golongan kuinolon baru umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Etek sampingnya yang terpenting ialah pada saluran cerna dan susunan saraf
pusat. Manifestasi pada saluran cerna, terutama
berupa mual dan hilang nafsu makan, merupakan
efek samping yang paling sering dijumpai. Dibandingkan dengan antimikroba lain yang berspektrum
luas, lluorokuinolon jarang menimbulkan gangguan
keseimbangan llora usus. Hal ini mungkin disebabkan golongan obat ini tidak mempunyai aktivitas
antibakteri terhadap kuman anaerob.

Efek samping pada susunan saral pusat


umumnya bersilat ringan berupa sakit kepala, vertigo, dan insomnia. Efek samping yang lebih berat

pada SSP seperti reaksi psikotik, halusinadi,


depresi dan kejang, jarang terjadl. Penderita berusia lanjut, khususnya dengan arteriosklerosis afau
epilepsi, lebih cenderung mengalami efek samping
susunan saraf pusat ini.
Reaksi hipersensitivitas berupa eritema dan
pruritus. Reaksi lotoloksik pernah dilaporkan terjadi
setelah pemberian asam nalidiksat. Penderita yang
mendapal lluorokuinolon dianjurkan agar menghin-

Farmakologi dan Terapi

darkan diri dari paparan berkepanjangan terhadap


sinar matahari.

Pada beberapa spesies hewan percobaan,


golgngan kuinolon ternyata dapat menimbulkan
artropati pada hewan muda. Meskipun belum dike-

tahui apakah elek samping ini dapat terjadi pada


manusia, golongan obat ini tidak diindikasikan pada

wanita hamil dan anak yang belum mencapai usia

akilbalik.
Enoksasin menghambat metabolisme teolilin
dan dapat menyebabkan peningkatan kadar teolilin.
Siprofloksasin dan beberapa lluorokuinolon lain
juga memperlihatkan elek iniwalaupun tidak begitu
dramatis.

lnfeksi ealuran cerna. Semua patogen penyebab


utama diare bakterial dapal dihambat oleh lluorokulnolon dengan kadar kurang dari 1 pg/ ml, Untuk
traveller's diarrhoea, golongan obat ini memperlihatkan elektivitas yang setara dengan kotrimoksazol. Diduga lluorokuinolon tidak mudah menimbulkan masalah resistensi untuk indikasi ini karena
obat terdapat dalam kadar tinggidalam lumen usus.

Selain itu keseimbangan llora usus juga tidak


mudah terganggu karena lluorokuinolon tidak mempengaruhi kuman anaerob maupun streptokokus di
lumen usus. Namun perlu diperhatikan bahwa
dewasa ini tidak dianjurkan pemberian antimikroba
untuk pencegahan Vaveller's diarrhea (NlH Consensus Development Conference, 1 985).
Siprolloksasin dilaporkan efektif untuk de-

PENGGUNAAN KLINIK

mam tifoid. Diperkirakan fluorokuinolon lain juga


mempunyai etektivitas ini walaupun masih harus

Kuinolon lama (asam nalidiksat, asam piromidat, asam pipemidat) hanya digunakan sebagai
antiseptik saluran kemih.

dibuktikan dengan uji klinik yang cukup.

Daya antibakteri lluorokuinolon jauh lebih kuat

dan spektrum antibakterinya lebih luas daripada


kuinolon lama. Oleh karena itu indikasi penggunaan

kliniknyapun lebih luas. Dalam garis besarnya


penggunaan klinik lluorokuinolon ialah untuk

lnfeksi saluran kemih. Golongan lluorokuinolon

elektif untuk infeksi saluran kemih dengan dan


tanpa komplikasi. Berbagai kuman gram negatif,
termasuk Ps. aeruginosa, kuman nosokomial, serta
kuman yang multiresisten lainnya biasanya masih
responsil terhadap lluorokuinolon, Walaupun penderita mengalami gangguan lungsi ginjal, fluorokuinolon masih berguna karena dalam keadaan ini
biasanya kadar obat dalam urin masih cukup untuk

Fluorokuinolon yang mencapai kadar tinggi


dalam empedu dan jaringan hati (misalnya siprolloksasin) merupakan obat yang baik untuk mengatasi inleksi pada saluran empedu.

lnfeksi saluran nafas bawah (lSB). Sekalipun lluorokuinolon bukan merupakan obat terpilih untuk
lSB, golongan obat ini mempunyai elektivitas yang
cukup baik, rnisalnya untuk eksaserbasi akut bronkitis kronis dan pneumonia akut. Beberapa kuman
yang sering menjadi penyebab ISB seperti Haemophilus influenzae dan Branhamella catarrhalis peka
sekali terhadap golongan obat ini. Enterobac\eriaceae yang sering menjadi penyebab ISB nosokomial pun peka. Namun perlu diperhatikan bahwa
Streptococcus pneumoniae yang juga sering jadi
penyebab ISB kurang peka terhadap lluorokuino-

mematikan kuman penyebab infeksi. Dalam keada-

lon. Demikian pula pneumonia aspirasi yang sering

an insufisiensi ginjal, seringkali urin tidak dapat


diasamkan. Keadaan ini malah "menguntungkann

disebabkan kuman anaerob tidak merupakan indikasi penggunaan obat ini karena jenis kumankuman ini tidak peka terhadap fluorokuinolon.

dalam terapi dengan lluorokuinolon karena pada pH


rendah aktivitas lluorokuinolon berkurang.

Untuk sistitis akut tanpa komplikasi, banyak


tersedia antimikroba lain yang lebih murah juga
memberikan hasil terapi yang sangat memuaskan
dengan pemberian dosis tunggal.
Fluorokuinolon juga etektil untuk prostatitis
akut (misalnya oleh E colr) karena mampu menembus masuk ke dalam jaringan prostat dengan baik.
Peranannya dalam pengobatan prostatitis kronis

belum jelas, namun siprofloksasin mungkin juga


elekif untuk indikasi ini.

Penyakit yang ditularkan melalui hubungan


kelamin. Semua lluorokuinolon dengan dosis tung-

gal per oral (misalnya 250 mg siprolloksash, 200


mg olloksasin, 800 mg norfloksasin) elektif untuk
mengobati gonore, termasuk yang disebabkan oleh

gonokokus penghasil penisilinase. Namun untuk


uretritis nonspesilik yang disebabkan oleh klamidia,

hanya siprofloksasin dan olloksasin yang efektif.


Untuk ini obat harus diberikan selama 7-10 hari.
Obat terpilih untuk penyakit ini ialah doksisiklin karena efehivitasnya lebih tinggi dan harganyapun

685

Antimikroba Lain

lebih murah. Fluorokuinolon dapat digunakan sebagai obat alternatil untuk kotrimoksazol dalam pengobalan ulcus molle.

lnfeksi iaringan lunak dan tulang. lnleksi kulit

umumnya disebabkan oleh stalilokokus dan streptokokus. Obat terpilih untuk inleksi ini ialah golongan betalaktam dan makrolid. Fluorokuinolon merupakan salah satu alternatil bila penyebabnya adalah

kuman gram negatif yang peka terhadap obat ini.


Fluorokuinolon bermanfaat untuk ulkus dekubitus
yang disebabkan oleh kuman gram negatif aerob di
rumah sakit.

Fluorokuinolon dapat digunakan untuk meng-

obati osteomielitis yang disebabkan oleh kumankuman yang peka. Oleh karena dapat diberikan per
oral, obat ini memungkinkan penderita yang seharusnya dirawat lama (karena membutuhkan antibio'

tika parenteral) dipulangkan lebih cepat. Selain itu


penderita yang sulit diberi obat per infus (misalnya
karena tromboflebitis) dapat diobati per oral dengan

fluorokuinolon,

klinik komparatif yang mendukung penggunaan


lluorokuinolon untuk indikasi ini belum memadai.
lndikasi potensial lain dari fluorokuinolon yang
masih memerlukan penelitian lebih lanjut ialah
untuk mengatasi kolonisasi saluran nafas atas oleh
methicitlin-resistant S. aureus atau N' meningitidis,

infeksi saluran nalas bawah oleh M. tubrculosis,


dan pencegahan infeksi pada penderita dengan
neutropenia.

SEDIAAN DAN POSOLOGI


Asam nalidiksat tersedia dalam bentuk tablet
500 mg dan diberikan dengan dosis 4 kali 1-2 tableV
hari. Asam pipemidat tersedia dalam bentuk tablet
400 mg dan diberikan dengan dosis 2 kali 1 tableV
hari.

Sediaan dan dosis untuk golongan fluorokuinolon dapat dilihat pada Tabel 46'2'

Tabel46-2. SEDIAAN DAN DOSIS GOLONGAN


FLUOROKUINOLON

lnleksi pasca bedah oleh kuman enteroko'


kus, Ps. aeruginosa,atau stafilokokus yang resisten
terhadap betalaktam atau aminoglikosid, dapat diobati dengan lluorokuinolon. Namun bila terdapat
infeksi campur dengan kuman anaerob, perlu ditambahkan melronidazol atau obat antianaerob

kin mempunyai potensi yang baik untuk mengobati


inleksi susunan saral pusat yang disebabkan oleh
kuman gram negatil pada penderita dewasa (obat
ini sekarang masih dikontraindikasikan pada anak)'
Pelloksasin mencapai kadar yang tinggi dalam

cairan serebrospinal. Siprolloksasin mungkin iuga


dapat dipakai sebagai alternatil untuk meningitis
bakterial oleh kuman gram negatil. Namun data uii

Tablet 250, 500,


750 mg
Cairan infus
200 mg/100 ml

Siprofloksasin

Oral: 2 kali 250750 mg/hari


Parenteral : 2 kali
100-200 mg/hari lV

Norfloksasin

Oral : 2 kali
400 mg/hari

Tablet 400 mg

Ofloksasin

Oral:2 kali 100-

Tablet 200 mg

lainnya.

lndikasi potensial lainnya. Fluorokuinolon mung-

Sediaan

Jenis lluorokuinolon

300 mg/hari
Pefloksasin

Oral : 2 kali
400 mg/hari
Parenteral : 2 kali
400 mg/hari lV

Tablet 400 mg
Cairan infus
400 mg/5 ml

Anda mungkin juga menyukai