Disusun Oleh
OLEH
HANI SOFIANI AZIZAH I1C015035
INTENAS DASIH I1C015036
NADIYAH SYAFIRA I1C016018
FARIDAH LAELI SYARIFAH I1C015037
Purwokerto,
Disetujui oleh
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas segala berkat dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga
pelaksanaan dan penyusunan laporan Praktek Belajar Lapangan (PBL) ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. PBL ini dilaksanakan untuk memenuhi
tuntutan kurikulum yang berlaku di Jurusan Farmasi Universitas Jenderal
Soedirman. Praktek Belajar Lapangan ini berlangsung selama kurang lebih 18 hari
yang dimulai pada tanggal 21 Januari 2019 - 9 Februari 2019 bertempat di Apotek
Mentari Farma.
Dalam proses penyusunan laporan ini, penulis mengalami banyak
kesulitan, khususnya diakibatkan kurangnya ilmu pengetahuan. Pada kesempatan
ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya, kepada:
1. Ibu Dr. Tuti Sri Suhesti, M.Sc., Apt., selaku Ketua Jurusan Farmasi
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Ibu Hening Pratiwi, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing PBL.
3. Ibu Sumiyati, S.Farm., Apt., selaku Apoteker Pengelola Apotek Mentari
Farma
4. Karyawan Apotek Mentari Farma.
5. Semua pihak yang tidak dapat kami tuliskan satu persatu, yang telah
membantu dan mendukung pelaksanaan kegiatan Praktek Belajar
Lapangan jurusan farmasi di Apotek Mentari Farma.
Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang
ditinjau, penulis menyadari bahwa laporan praktek belajar ini masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar
laporan ini bisa menjadi lebih baik. Penulis berharap laporan ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang farmasi.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
v
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2. Tujuan Praktek Belajar Lapangan
a. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa sebagai calon
tenaga kefarmasian khususnya di bidang farmasi klinik dan komunitas.
b. Meningkatkan kemampuan problem solving mahasiswa dalam masalah-
masalah yang terjadi pada praktek farmasi klinik dan komunitas.
c. Meningkatkan interaksi mahasiswa dengan praktisi farmasi klinik dan
komunitas.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
dibutuhkan berdasarkan metode konsumsi perlu diperhatikan hal – hal
sebagai berikut :
1. Pengumpulan dan pengolahan data
2. Analisa data untuk informasi
3. Perhitungan perkiraan kebutuhan
4. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana
(Noviani, 2018).
Untuk memperoleh data kebutuhan obat yang mendekati
ketepatan, perlu dilakukan analisa trend pemakaian obat 1 (satu) tahun
sebelumnya atau lebih. Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan
dengan metode konsumsi diantaranya daftar obat, stok awal, penerimaan,
pengeluaran, sisa stok, obat hilang/rusak/kadaluarsa, kekosongan obat,
pemakaian rata-rata/pergerakan obat, waktu tunggu resmi sesuai
ketentuan peraturan/ perundang-undangan (Noviani, 2018).
b) Metode Epidemiologi
Metode epidemiologi merupakan metode pengadaan dengan
perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan adalah perkembangan pola penyakit, waktu
tunggu, dan stok pengaman (Noviani, 2018).
2. Pengadaan Obat
Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi,
fasilitas distribusi atau penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi.
Pengadaan Sediaan Farmasi harus dilakukan oleh Tenaga kefarmasian
(Kemenkes, 2009). Menurut Permenkes No. 73 tahun 2016 pengadaan
dilakukan untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian. Pengadaan
Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kegiatan pengadaan dipengaruhi oleh ketersediaan
obat dan total biaya kesehatan. Tujuan dari pengadaan barang adalah
memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga layak, mutu baik,
pengiriman obat terjamin, tepat waktu, serta proses berjalan lancar dengan
tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Bogadenta, 2012).
4
Menurut Permenkes No. 9 tahun 2017 Pengadaan obat dan/atau
bahan obat di Apotek menggunakan surat pesanan yang mencantumkan
SIA. Surat Pesanan tersebut harus ditandatangani oleh Apoteker pemegang
SIA dengan mencantumkan nomor SIPA.
Apotek memperoleh obat dan perbekalan farmasi harus bersumber
dari pabrik farmasi. Obat yang dipesan harus memenuhi dalam ketentuan
daftar obat dan dipesan melalui Surat Pesanan (SP) obat dan perbekalan
kesehatan (Hartono, 2003).
Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan melalui Surat pesanan. Surat
pesanan yang terdapat di Apotek terdiri dari 4 macam yaitu:
a. Surat Pesanan Umum Surat pesanan ini digunakan untuk pemesanan obat
bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, alat kesehatan,
kosmetik dll.
b. Surat Pesanan Prekursor Surat pesanan prekursor terdiri dari 2 atau 3
rangkap, satu SP bisa lebih dari 1 item obat. Contoh obat prekursor yaitu
tremenza, demakolin, alpara, dextral dll. 5
c. Surat Pesanan Narkotika Surat pesanan narkotika terdiri dari 4 rangkap,
surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis
Narkotika. Contoh obat narkotika adalah morfin, kodein dll.
d. Surat Pesanan Psikotropika Surat pesanan psikotropika terdiri dari 2 atau
3 rangkap, satu SP bisa lebih dari 1 item obat. Contoh obat psikotropika
adalah diazepam, alprazolam, luminal, metaneuron, dll.
5
Pengadaan dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat
dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada. Pengadaan barang
meliputi :
a. Pemesanan barang dilakukan oleh asisten apoteker berdasarkan catatan
yang ada dalam buku defecta
b. Cara pemesanan barang dilakukan dengan menuliskan Surat Pesanan
(SP)
c. Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan melalui Pedagang Besar
Farmasi (PBF) Kimia Farma. Pesanan narkotika bagi apotek
ditandatangani oleh APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap
empat, dimana tiap jenis pemesanan narkotika menggunakan satu surat
pesanan yang dilengkapi dengan nomor SIK apoteker dan stempel apotek
d. Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan Surat Pesanan
Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan
nomor SIK. Surat pesanan tersebut dibuat rangkap dua dan setiap surat
dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika
e. Mengatasi kekosongan obat akibat waktu antara pemesanan dan
kedatangan barang yang lama
f. Pembayaran dapat dilakukan dengan cara COD (Cash on delivery) atau
kredit
(Depkes RI, 2004).
3. Penerimaan Obat
Menurut Permenkes No. 73 tahun 2016 penerimaan merupakan
kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu
penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik
yang diterima. Barang yang datang dicocokkan dengan faktur dan SP (Surat
Pesanan). Faktur tersebut rangkap 4-5 lembar, dimana untuk apotek
diberikan 1 lembar sebagai arsip, sedangkan yang lainnya termasuk yang
asli dikembalikan ke PBF yang akan digunakan untuk penagihan dan arsip
PBF. Faktur tersebut berisikan nama obat, jumlah obat, harga obat, bonus
atau potongan harga, tanggal kadaluarsa, dan tanggal jatuh tempo. Faktur ini
6
dibuat sebagai bukti yang sah dari pihak kreditur mengenai transaksi
penjualan (Hartini dan Sulasmono, 2007).
Surat Pesanan digunakan untuk mencocokkan barang yang dipesan
dengan barang yang dikirim. Selain itu di cek apakah barang dalam keadaan
utuh, jumlah sama dengan permintaan dan sesuai pada faktur tanggal
kadaluarsa sesuai dengan faktur atau tidak. Setelah sesuai dengan pesanan,
APA atau AA yang menerima dan menandatangani faktur, memberi cap dan
nama terang serta nomor SIPA apoteker sebagai bukti penerimaan barang.
Barang yang telah diterima kemudian dimasukkan ke gudang dan dicatat
dalam kartu stok (Hartini dan Sulasmono, 2007).
Standar prosedur operasional dari penerimaan menurut pedoman
praktek apoteker tahun 2013 meliputi :
- Dicocokkan antara SP dan faktur meliputi nama PBF, jenis sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang dipesan, jumlah yang dipesan dan harga,
bila tidak sesuai segera konfirmasi dengan PBF.
- Dicocokkan antara isi faktur sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
datang meliputi jumlah sediaan, jenis sediaan dan nomor batch. Apabila
jumlah dan jenis yang diminta tidak sama, maka segera dikonfirmasi
pada petugas PBF.
- Diperiksa kondisi fisiknya meliputi wadah, tanggal kadaluarsa dan sediaan
rusak atau tidak. Bila pemeriksaan sudah selesai, faktur ditandatangani
oleh pihak apotek, yang asli diberikan kepada PBF dan faktur copy
disimpan sebagai arsip.
4. Penataan dan penyimpanan Obat
Penataan dan penyimpanan obat harus diperhatikan dan diatur
sebaik-baiknya, bertujuan untuk memudahkan bagian gudang atau tempat
penyimpanan dalam pengendalian dan pengawasan. Sediaan farmasi
disimpan dalam tempat yang aman tidak terkena sinar matahari langsung,
bersih dan tidak lembab, disusun sistematis berdasarkan bentuk sediaan,
khusus antibiotik disusun tersendiri. Penataan perbekalan farmasi di apotek
dapat digolongkan berdasarkan
7
a. Alphabetis, obat-obat yang tersedia disusun berdasarkan alphabet dari
huruf A sampai Z
b. Kriteria antara barang reguler dan askes. Barang regular dan barang askes
penempatannya dipisah untuk memudahkan dalam pengambilan obat
sehingga tidak terjadi kesalahan pengambilan antara barang reguler dan
askes
c. Golongan obat. Obat bebas dan obat bebas terbatas biasanya disimpan di
etalase bagian depan. Golongan narkotika dan psikotropika disimpan
pada lemari khusus dan terkunci sesuai dengan ketentuan yang berlaku
d. Prinsip First In First Out (FIFO) dan First Expired First Out (FEFO).
Prinsip FIFO yaitu obat-obat yang pertama masuk atau datang yang akan
pertama dikeluarkan, sedangkan prinsip FEFO, yaitu obat-obat yang
memiliki tanggal kadaluarsa lebih cepat yang akan pertama dikeluarkan
e. Efek farmakologis. Penataan obat didasarkan pada efek atau khasiat yang
sama dari obat. Hal ini dapat memudahkan untuk pencarian obat yang
apabila salah satu obat dengan khasiat tertentu kosong, akan digantikan
dengan obat merek lain yang memiliki khasiat sama
f. Bentuk sediaan
- Sediaan Padat
- Sediaan Suppositoria
- Sediaan Cair
- Sediaan Tetes
- Sediaan Salep
- Sediaan Injeksi
(Oscar dan Jauhar, 2016).
8
b. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a, dalam hal
diperlukan pemindahan dari wadah asli nya untuk pelayanan resep, obat
dapat disimpan di dalam wadah baru yang dapat menjamin keamanan,
mutu, dan ketertelusuran obat dengan dilengkapi dengan identitas obat
meliputi nama obat dan zat aktifnya, bentuk dan kekuatan sediaan, nama
produsen, jumlah, nomor bets dan tanggal kedaluwarsa
c. Pada kondisi yang sesuai dengan rekomendasi dari industri farmasi yang
memproduksi obat sebagaimana tertera pada kemasan dan/atau label obat
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.terpisah dari produk lain
dan terlindung dari dampak yang tidak diinginkan akibat paparan cahaya
matahari, suhu, kelembaban atau faktor eksternal lain; sedemikian rupa
untuk mencegah tumpahan, kerusakan, kontaminasi dan campur-baur; dan
tidak bersinggungan langsung antara kemasan dengan lantai
d. Dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi Obat
serta disusun secara alfabetis
e. Memperhatikan kemiripan penampilan dan penamaan obat (LASA, Look
Alike Sound Alike) dengan tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi
penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan
obat
f. Memperhatikan sistem First Expired First Out (FEFO) dan/atau sistem
First In First Out (FIFO)
Penyimpanan narkotik harus disimpan pada lemari khusus narkotik,
sedangkan psikotropik disimpan pada lemari khusus psikotropik dan
prekursor farmasi harus disimpan di tempat yang aman berdasarkan analisis
risiko berupa pembatasan akses personil, diletakkan dalam satu area dan
tempat penyimpanan mudah diawasi secara langsung oleh
penanggungjawab (BPOM, 2018).
Lemari khusus penyimpanan Narkotika harus mempunyai 2 (dua)
buah kunci yang berbeda, satu kunci dipegang oleh Apoteker Penanggung
Jawab dan satu kunci lainnya dipegang oleh pegawai lain yang dikuasakan.
Lemari khusus penyimpanan Psikotropika harus mempunyai 2 (dua) buah
kunci yang berbeda, satu kunci dipegang oleh Apoteker Penanggung Jawab
9
dan satu kunci lainnya dipegang oleh pegawai lain yang dikuasakan.
Apabila Apoteker Penanggung Jawab berhalangan hadir dapat menguasakan
kunci kepada pegawai lain (BPOM, 2018).
5. Pemusnahan Obat
Pemusnahan obat harus memperhatikan hal – hal sebagai berikut :
1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat
selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik
atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara
pemusnahan. Resep yang mencapai jangka waktu penyimpanan 5 (lima)
tahun dapat dimusnahkan
2. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-
kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan
Resep
3. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau
berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall)
dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM
5. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan
terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri
(Permenkes No.73 tahun 2016).
6. Pengendalian Obat
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan
10
atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian
persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik. Kartu stok sekurangkurangnya memuat nama Obat, tanggal
kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
7. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan
(surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau
struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal
merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek,
meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pencatatan keuangan
meliputi administrasi untuk uang masuk, uang keluar, buku harian
penjualan.Catatan mengenai uang masuk meliputi laporan penjualan harian
sedangkan uang yang keluar tercatat dalam buku pengeluaran apotek.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi
pelaporan narkotika, psikotropika, dan pelaporan lainnya (Kemenkes, 2014).
11
Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis Resep. Resep yang
lengkap harus memuat aspek sebagai berikut:
a. Nama, alamat dan nomor izin praktek, hari dan jam praktek dokter,
dokter gigi atau dokter hewan
b. Tanggal penulisan resep (inscriptio)
c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocatio)
d. Nama setiap obat dan komposisinya (praescriptio/ordonatio) Aturan
pemakaian obat yang tertulis (signatura)
e. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (subscription) Jenis hewan dan nama
serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan.
f. Tanda seru dan/atau paraf dokter untuk resep yang melebihi dosis
maksimalnya.
Dokter dapat menghendaki pengulangan resep dengan cara
menuliskan kata iter/iteratie beserta jumlah pengulangannya. Resep yang
mengandung narkotika dan psikotropika tidak boleh ada tulisan iter yang
berarti diulang, mihi ipsi yang berarti untuk dipakai sendiri, atau usus
cognitus yang berarti pemakaiannya diketahui. Apabila dokter menghendaki
resep ditangani segera, maka dapat diberikan tanda cito (segera), statim
(penting), urgent (sangat penting), atau periculum in mora (berbahaya jika
ditunda) (Syamsuni, 2006).
2. Penyimpanan Resep
Resep disimpan dan ditata menurut urutan tanggal dan nomor
penerimaan/pembuatan resep. Resep-resep yang mengandung narkotik dan
psikotropik harus disimpan terpisah dari resep-resep yang lain dan disimpan
di Apotek ± 5 tahun. Resep yang telah disimpan melebihi ± 5 tahun dapat
dimusnahkan dengan cara dibakar atau cara lain yang memadai oleh APA
dan sekurang-kurangnya 1 petugas Apotek yang dibuktikan dengan Berita
Acara Pemusnahan Resep menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir
dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota
(Kemenkes RI, 2016).
12
3. Pembuatan Copy Resep
Copy resep merupakan salinan resep yang dibuat Apoteker. Pasien
berhak meminta salinan Resep. Salinan Resep harus disahkan oleh Apoteker
dan harus sesuai dengan resep aslinya (Kemenkes RI, 2016). Selain
memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli harus memuat
pula:
a. Nama dan alamat Apotek
b. Nama, APA dan nomer SIA
c. Tanggal dan nomer urut pembuatan
d. Tanda det/detur untuk obat yang sudah diserahkan atau ne det/ ne detur
umtuk obat yang belum diserahkan
e. Tuliskan p.c.c (pro copy conform) menandakan bahwa salinan resep telah
di tulis sesuai dengan aslinya.
4. Pembuatan Etiket Resep
Penyerahan obat berdasarkan resep maupun obat bebas dan obat
bebas terbatas tanpa resep harus disertai dengan etiket berwarna putih untuk
obat dalam atau ditelan dan etiket berwarna biru untuk obat luar. Etiket
merupakan aturan pakai penggunaan obat sesuai dengan resep yang ditulis
dokter untuk diinformasikan kepada pasien (Anief, 2012). Etiket harus
mencantumkan:
a. Nama dan alamat apotek
b. Nama dan nomor SIPA Apoteker Pengelola Apotek (APA)
c. Nomor dan tanggal pembuatan
d. Nama pasien
e. Aturan pemakaian
13
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan Resep;
2. Dispensing;
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. Konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
(Kemenkes RI, 2016)
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis.
1) Kajian administratif meliputi:
a. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
b. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon
dan paraf; dan
c. tanggal penulisan Resep
2) Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
a. bentuk dan kekuatan sediaan;
b. stabilitas; dan
c. kompatibilitas (ketercampuran Obat)
3) Pertimbangan klinis meliputi:
a. ketepatan indikasi dan dosis Obat;
b. aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
c. duplikasi dan/atau polifarmasi;
d. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat,
manifestasi klinis lain);
e. kontra indikasi; dan
f. interaksi obat
(Kemenkes RI, 2016)
14
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep. Pelayanan resep dimulai
dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan obat,
pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap
alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan
pemberian Obat (medication error). Petunjuk teknis mengenai pengkajian
dan pelayanan Resep diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal (Kemenkes
RI, 2016).
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai
berikut:
a. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik
Obat.
b. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi
warna putih untuk Obat dalam/oral;
warna biru untuk Obat luar dan suntik;
menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi.
d. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat
yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan
yang salah
(Kemenkes RI, 2016)
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
a. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan
15
serta jenis dan jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
Resep)
b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien
d. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat
e. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait
dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang
harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan
lain-lain
f. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya
tidak stabil
g. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya
h. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan)
i. Menyimpan Resep pada tempatnya
j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan
Formulir 5 sebagaimana terlampir. Apoteker di Apotek juga dapat
melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus
memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep
untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas
yang sesuai
(Kemenkes RI, 2016)
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda
pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
16
interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan
lain-lain (Kemenkes RI, 2016).
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
a. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan
b. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan)
c. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien
d. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi
e. melakukan penelitian penggunaan Obat
f. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah
g. melakukan program jaminan mutu. Pelayanan Informasi Obat harus
didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu
yang relatif singkat
(Kemenkes RI, 2016)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi
Obat:
1. Topik Pertanyaan;
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti
riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data
laboratorium);
5. Uraian pertanyaan;
6. Jawaban pertanyaan;
7. Referensi;
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan data Apoteker
yang memberikan Pelayanan Informasi Obat
(Kemenkes RI, 2016)
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
17
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, Apoteker menggunakan Three Prime Questions. Apabila tingkat
kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health
Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan. Kriteria
pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui)
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,
AIDS, epilepsi)
c. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off)
d. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin)
e. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis Obat
f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah
(Kemenkes RI, 2016)
Tahap kegiatan konseling:
1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three
Prime Questions, yaitu:
- Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda?
- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan
setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat
18
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan Obat
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan
pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan
dalam konseling
(Kemenkes RI, 2016).
19
c. Adanya multidiagnosis
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati
e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit
f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang
merugikan
(Kemenkes RI, 2016).
20
BAB III
PEMBAHASAN DAN HASIL PRAKTEK BELAJAR LAPANGAN
21
menyediakan narkotika dan psikotropika namunn menyediakan SP
narkotika dan psikotropika.
Komponen yang harus dicantumkan dalam SP umum adalah tanggal,
nomor pesanan, nama barang, satuan barang, jumlah barang dan tanda
tangan APA. Komponen yang dicantumkan dalam SP prekursor adalah
identitas APA, nama PBF yang dituju, alamat PBF, tanggal, nomor pesanan,
nama obat yang mengandung prekursor, nama zat aktif prekursor farmasi,
bentuk dan kekuatan sediaan, satuan barang, jumlah barang, keterangan
tambahan, alamat Apotek, dan tanda-tangan APA. Komponen yang
dicantumkan dalam SP obat-obat tertentu adalah identitas APA, nama PBF
yang dituju, alamat PBF, tanggal, nomor pesanan, nama obat yang
mengandung obat-obat tertentu, nama zat aktif obat-obat tertentu, bentuk
dan kekuatan sediaan, satuan barang, jumlah barang, keterangan tambahan,
alamat Apotek, dan tanda-tangan APA. SP akan diambil oleh karyawan dari
masing-masing PBF. Menurut Permenkes No. 73 tahun 2016 untuk
menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi
harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan
bahwa pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum
yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan
farmasi dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Sehingga pengadaan yang dilakukan oleh Apotek Mentari Farma
sudah sesuai dengan peraturan karena pengadaan dilakukan secara langsung
pada PBF.
Lokasi Apotek Mentari Farma yang jauh dari rumah sakit, jarang
menerima resep atau copy resep, tidak bekerja sama dengan praktik dokter
dan terletak di lingkungan masyarakat menjadikan tidak dilakukan
pengadaan narkotik dan psikotropik. Pengadaan narkotika dan psikotropika
hanya dapat dilakukan di Kimia Farma. SP narkotika dan psikotropik terdiri
dari 4 rangkap yang diperoleh khusus dari Kimia Farma.
22
Adapun SOP pemesanan sediaan farmasi di Apotek Mentari Farma, antara
lain:
1. Mengontrol stok sediaan farmasi yang akan habis dan mencatat pada
buku defecta
2. Membuat perencanaan pembelian sediaan farmasi berdasarkan catatan
buku defecta yang memuat data obat yang akan habis atau masuk pada
stok minimal. Metode yang digunakan yaitu metode konsumsi atau
metode kombinasi
3. Memilih PBF yang dapat memberikan pelayanan cepat, harga lebih
murah, obat selalu ada, dan kelonggaran dalam pembayaran
4. Mengelompokkan obat yang akan dipesan kepada PBF
5. Menulis obat yang akan dipesan pada surat pesanan (SP) disertai
tindasan dan memberi nomor surat pesanan
6. Menandatangani surat pesanan
7. Apabila APA berhalangan maka penandatanganan surat pesanan dapat
dilakukan oleh Apoteker Pendamping
8. Menghubungi PBF (Apotek Mitra Kerja) yang dipilih dengan SMS atau
telepon
9. Memantau pemesanan obat tersebut, apabila terjadi kekosongan stok
maka segera pindah ke PBF lainnya
10. Apabila barang datang maka dilakukan pemeriksaan antara fraktur
barang PBF dengan surat pesanan
11. Apabila barang tidak sesuai dengan surat pesanan maka dilakukan retur
obat
12.
13.
Gambar 1 Gambar 2
23 Surat Pesanan Psikotropika
Surat Pesanan Reguler
Gambar 4
Gambar 3 Surat Pesanan Narkotika
Surat Pesanan Prekursor
Gambar 5 Gambar 6
Surat Pesanan Obat – obat Tertentu Buku defecta
3. Penerimaan
Obat yang dipesan oleh Apoteker, akan diantarkan oleh karyawan
dari PBF resmi. Proses penerimaan obat di Apotek Mentari Farma dilakukan
oleh Apoteker langsung atau Tenaga Administrasi yang mengikuti Standar
Operasional Prosedur di Apotek. Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
dilakukan oleh Apotek Mentari Farma untuk penerimaan faktur barang
datang sebagai berikut:
1. Menandatangani faktur barang dengan mencantumkan tanggal
penerimaan, nama petugas penerima, nomor SIK, serta membubuhkan
stampel.
2. Menyimpan salinan faktur sebagai arsip
3. Memasukkan data ke dalam buku pencatatan pembelian yang meliputi
tanggal terima faktur, nomor faktur, nama distributor, tanggal
faktur,nama barang datang, batch, tanggal kadaluarsa, jumlah barang,
24
harga netto, jumlah harga, diskon, total harga, jatuh tempo, dan
keterangan.
4. Membubuhkan tanggal penerimaan barang dan asal PBF pada kemasan
luar barang
5. Menyimpan di tempat yang sesuai dengan kondisi persyaratan
penyimpanan untuk masing - masing perbekalan farmasi
Selanjutnya untuk barang - barang yang datang akan dilakukan
pengecekan untuk mendapatkan barang yang sesuai dengan pesanan dengan
mutu yang baik. Standar Operasional Prosedur (SOP) penerimaan barang
datang di Apotek Mentari Farma sebagai berikut :
1. Memeriksa barang datang dengan cara mencocokkan antara barang,
faktur, dan surat pesanan
2. Memeriksa nomor batch, kadaluarsa, performa barang, jumlah, dan harga
barang
3. Menandatangani faktur barang disertai dengan nama lengkap, SIK, dan
tanggal penerimaan barang. Apabila pemeriksaan dibantu oleh tenaga
umum maka penandatanganan faktur dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian
4. Menyimpan copy faktur sebagai arsip barang datang
5. Mencatat penerimaan barang datang pada buku pembelian
6. Menghitung harga jual
7. Melakukan pengecekan harga jual
Kegiatan penerimaan di Apotek Mentari Farma sudah sesuai dengan
Permenkes No. 73 tahun 2016 yang menyatakan bahwa penerimaan
merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah,
mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan
kondisi fisik yang diterima.
25
Gambar 7 Gambar 8
Buku Pembelian Faktur
26
disimpan di etalase bagian depan, sedangkan untuk obat- obat bebas dan
obat bebas terbatas dalam bentuk sediaan sirup disimpan di etalase bagian
tengah, dan untuk obat - obat keras disimpan di bagian etalase bagian
belakang. Obat- obatan yang disimpan di etalase bagian depan dan tengah
ditata berdasarkan efek farmakologis obat tersebut, sedangkan untuk obat -
obatan yang disimpan di bagian etalase belakang ditata secara alphabetis
menggunakan sistem kombinasi FIFO dan FEFO. Penyimpanan obat
termolabil disimpan menurut stabilitasnya terhadap pengaruh suhu dan
udara seperti suppositoria dan obat - obatan yang harus disimpan dalam
suhu dingin maka diletakkan pada lemari pendingin. Sediaan ini tidak stabil
dalam suhu ruangan. Sediaan jenis ini harus disimpan dengan suhu diantara
2-8͒ C, sehingga harus disimpan di dalam lemari pendingin.
Apotek Mentari Farma memiliki tempat penyimpanan khusus untuk
narkotik dan psikotropik yang sesuai dengan persyaratan yang tertera dalam
Peraturan BPOM No. 4 tahun 2018 tentang pengawasan pengelolaan obat,
bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di fasilitas
pelayanan kefarmasian walaupun Apotek tidak menyediakan narkotik dan
psikotropik. Sedangkan untuk penyimpanan prekursor belum disediakan
tempat secara khusus.
Standar Operasional Prosedur (SOP) penyimpanan barang di tempat
pelayanan Apotek Mentari Farma sebagai berikut :
1. Menyimpan barang sesuai dengan pengelompokkan sediaan dan kriteria
distribusi obat
2. Menyusun penataan obat sesuai dengan farmakoterapi, FEFO, FIFO, dan
urut abjad
3. Dalam keadaan keterbatasan tempat dapat dilakukan urut abjad dan
FEFO
4. Jika sediaan obat tablet yang lebih dari satu box maka sisa obat box yang
lama diikat dalam box yang baru
5. Membersihkan lokasi penyimpanan dan barangnya
6. Melaksanakan supervisi penyimpanan
27
Sistem penyimpanan yang dilakukan di Apotek Mentari Farma
sudah sesuai dengan Permenkes No 73 tahun 2016 tentang standar
pelayanan kefarmasian di apotek bahwa dalam penyimpanan obat perlu
memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi.
Gambar 9 Gambar 10
Penyimpanan obat bebas dan obat bebas Penyimpanan obat bebas dan bebas
terbatas serta kosmetika terbatas sediaan cair serta alat – alat
kesehatan
Gambar 12
Gambar 11
Penyimpanan obat termolabil
Penyimpanan obat keras
Gambar 13
Tempat penyimpanan sementara Gambar 14
Tempat penyimpanan narkotika dan
psikotropika
28
disimpan terpisah. Obat tersebut dapat dilakukan retur apabila PBF
menerima atau dilakukan pemusnahan apabila tidak diterima oleh pihak
PBF atau obat telah rusak. Pemusnahan di Apotek Mentari Farma dilakukan
dengan mengumpulkan obat yang telah kadaluarsa dalam 1 tempat dan
dilakukan pemusnahan bersama-sama di dinas kesehatan. Pemusnahan di
dinas kesehatan wajib disaksikan oleh 2 karyawan apotek terdiri dari
Apoteker Penanggungjawab Apotek dan seorang karyawan apotek yang
memiliki surat izin kerja (SIK).
Resep dapat dilakukan pemusnahan ketika sudah dilakukan
penyimpanan minimal selama 5 tahun. Pemusnahan dilakukan oleh petugas
apotek yang terdiri dari Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA),
Apoteker Pendamping dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Pemusnahan resep
di Apotek Mentari Farma dilakukan dengan mengikuti Standar Operasional
Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan yaitu:
a. Mengumpulkan dan mengeluarkan resep kefarmasian yang sudah
disimpan lebih dari 5 tahun dalam suatu wadah khusus dan diberi label
pemusnahan resep kefarmasian
b. Membuat laporan kepada organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia
(IAI) tembusan Dinas Kesehatan kab. Banyumas bahwa akan
melaksanakan pemusnahan resep kefarmasian yang sudah disimpan lebih
dari 3 tahun
c. Melaksanakan pemusnahan apabila sudah ada disposisi dari organisasi
Profesi dan Dinas Kesehatan, dengan cara dibakar kemudian dibuang
melalui pengolahan limbah atau dengan cara lain yang sesuai dengan
disaksikan oleh Kepala Dinas Kesehatan dan saksi lain yang ditunjuk
d. Membuat berita acara pemusnahan
e. Menandatangani berita acara pemusnahan bagi petugas dan saksi yang
ditunjuk.
Berkaitan dengan berdirinya Apotek Mentari Farma di tahun 2016,
maka apotek belum pernah melakukan pemusnahan baik obat maupun
resep. Namun, Apotek Mentari Farma telah melakukan proses retur obat
kepada PBF.
29
6. Pengendalian
Pengendalian di Apotek Mentari Farma dilakukan menggunakan
kartu stok yang bertujuan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, menghindari terjadinya kelebihan,
kekurangan, kekosongan, kerusakan, dan kadaluwarsa.
Gambar 15
Kartu Stok
30
bulannya. Pencatatan dan Pelaporan yang dilakukan oleh Apotek Mentari
Farma sudah sesuai dengan Permenkes No. 73 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Gambar 17
Gambar 16
Laporan Prekursor
Buku Pencatatan Swamedikasi
Gambar 18
Laporan Pelayanan Kefarmasian
B. Bidang Administrasi
1. Kelengkapan Resep
Resep yang terdapat di Apotek Mentari Farma merupakan resep
umum dikarenakan Apotek Mentari Farma tidak menerima resep BPJS.
Resep yang datang di Apotek Mentari Farma akan dilakukan skrining resep
dan menginput informasi dalam buku resep. Kemudian obat dan etiket
disiapkan sesuai dengan resep. Sebelum obat diberikan ke pasien, Apoteker
memeriksa kembali kesesuaian etiket dan obat dengan resep. Setelah sesuai,
Apoteker memberikan obat tersebut dan memberikan informasi seperti
31
aturan pemakaian, hal-hal yang harus dihindari selama pemakaian obat
tersebut, dan kemungkinan efek samping yang akan timbul. Selanjutnya
apoteker meminta pasien untuk menandatangani resep.
Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan resep di Apotek
Mentari Farma sebagai berikut :
1. Menerima Resep yang dibawa pasien
2. Memberikan nomor urut resep
3. Memeriksa kelengkapan resep yaitu: nama pasien, alamat pasien, umur
pasien, serta berat badan pasien
4. Melakukan skrining resep dan menyelesaikan problem yang ada di
resep
5. Melakukan validasi/entry resep pada buku resep
6. Mengkonfirmasi harga obat pada pasien, dan apabila pasien menyetujui
harga tersebut maka ditulis di resep
7. Pasien melakukan pembayaran di kasir Apotek
8. Mengisi obat (dispensing) sesuai dengan jenis sediaan ke dalam wadah
obat/ plastik, untuk obat non racikan
9. Meracik obat sesuai dengan dosis yang diperhitungkan untuk obat
racikan
10. Menimbang bahan obat yang berbentuk serbuk sesuai dalam jumlah
yang diminta dalam resep racikan
11. Menyerahkan racikan tersebut kepada reseptir untuk dilakukan
pencampuran obat
12. Mencampur obat racikan sesuai dengan jumlah dosis yang
diperhitungkan menjadi sediaan yang diminta dalam resep (puyer,
kapsul, sirup, salep, dan lain - lain)
13. Memasukkan obat ke dalam wadah obat/ plastik yang telah disediakan
14. Melakukan pemeriksaan kesesuaian obat yang telah di dispensing
dengan permintaan dalam resep, yaitu :
- Identitas pasien
- Nama obat
- Jenis sediaan obat
32
- Jumlah obat
- Aturan pakai obat dalam etiket
15. Apabila terjadi ketidaksesuaian antara resep dan obat yang telah di-
dispensing, maka dikembalikan ke proses dispensing obat
16. Memanggil pasien/keluarganya serta memastikan identitas pasien sudah
benar
17. Menyerahkan obat yang telah diperiksa kepada pasien/keluarganya
18. Memberikan informasi yang tepat dan secukupnya
19. Apabila diperlukan, melakukan konseling obat
Resep yang datang di Apotek Mentari Farma sebagian sudah sesuai
dengan Permenkes No. 73 tahun 2016, sehingga Apoteker dapat langsung
memberikan obat pada pasien. Namun ada beberapa resep yang belum
lengkap seperti tidak adanya data pasien atau data dokter yang lengkap.
Apabila data pasien tidak lengkap, maka apoteker akan memastikan atau
menanyakan data pasien kepada pasien atau keluarga pasien yang
bersangkutan. Apabila dalam suatu resep terdapat kejanggalan atau
kecurigaan, seperti tidak adanya informasi lengkap terkait identitas dokter,
meliputi nama, nomor SIP, alamat, nomor telepon, serta paraf dan/atau obat-
obatan dalam resep meliputi narkotika dan psikotropika dalam jumlah
banyak, maka apoteker tidak akan melayani resep tersebut. Apabila dalam
suatu resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, maka
apoteker menanyakan kepada dokter penulis resep dan jika tidak dapat
dihubungi penyerahan obat dapat ditunda.
Gambar 19
Contoh Resep
33
2. Penyimpanan Resep
Pengelolaan resep yang telah dikerjakan yaitu resep yang telah
dibuat, disimpan menurut urutan tanggal dan nomor penerimaan/pembuatan
resep. Resep yang mengandung narkotik harus dipisahkan dari resep
lainnya, tandai dengan garis merah dibawah nama obatnya. Resep yang
telah disimpan melebihi tiga tahun dapat dimusnahkan dengan cara dibakar
atau dengan cara lain yang memadai (Anief, 2010).
Penyimpanan resep di Apotek Mentari Farma yang sudah diberikan
disimpan oleh Apoteker di dalam suatu wadah yang disatukan dengan
lembar swamedikasi. Resep tersebut disimpan berdasarkan tanggal resep
yang disatukan setiap bulannya. Tujuan dari penyimpanan resep yaitu untuk
memudahkan penelusuran resep kembali jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
3. Copy Resep dan Etiket
Apotek Mentari Farma akan memberikan copy resep apabila resep
tersebut membutuhkan copy resep/butuh pengulangan atau terdapat obat
yang belum diserahkan kepada pasien tersebut, serta apabila pasien meminta
dibuatkan copy resep. Copy resep umumnya harus memuat semua
keterangan yang terdapat dalam resep asli , selain itu copy resep juga harus
memuat (Anief, 2012):
a. Nama dan alamat apotek
b. Nama dan nomer S.I.K. apoteker pengelola apotek
c. Tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotek
d. Tanda det (detur) untuk obat yang sudah diserahkan dan tanda nedet
(nedetur) untuk obat yang belum diserahkan
e. Nomor resep dan tanggal pembuatan
f. Cap apotek pembuat copy resep
34
diinformasikan kepada pasien. (Anief, 2010). Apotek Mentari Farma
memiliki dua jenis etiket yaitu etiket berwarna putih untuk obat yang
melewati saluran cerna dan etiket berwarna biru untuk obat yang tidak
melalui saluran cerna. Menurut Syamsuni (2006) Etiket terdiri dari nama
dan alamat apotek, nama dan nomor SIPA Apoteker Pengelola Apotek,
nomor dan tanggal pembuatan, nama pasien, aturan pemakaian dan tanda
lain yang diperlukan, misalnya : kocok dahulu, tidak boleh diulang tanpa
resep baru dari dokter. Etiket yang terdapat di Apotek Mentari Farma belum
sesuai dengan literatur, dimana belum terdapat nomor SIPA Apoteker
Pengelola Apotek. Penulisan etiket di Apotek Mentari Farma dilakukan
dengan cara menulis nomor resep, tanggal dan nama pasien, kemudian
menulis aturan pakai obat dan informasi lain yang diperlukan.
Gambar 20
Contoh Etiket
Gambar 21
Contoh Copy Resep
35
C. Bidang Pelayanan
Pelayanan kefarmasian yang disediakan di Apotek Mentari Farma
meliputi pelayanan obat secara langsung, pelayanan swamedikasi, dispensing,
Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), dan Pelayanan Informasi Obat
(PIO).
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Apotek Mentari Farma tidak bekerja sama dengan praktik dokter,
dan letaknya jauh dari Rumah Sakit sehingga resep yang masuk berjumlah
sedikit, rata-rata 3-4 resep per bulan. Setiap resep yang masuk di Apotek
Mentari Farma dicatat dalam buku pencatatan resep. Pelayanan resep di
Apotek Mentari Farma sesuai dengan SOP pelayanan resep. Hal pertama
yang dilakukan setelah menerima Resep yang dibawa pasien yaitu
memberikan nomor urut resep dan melakukan skrining resep baik itu
administratif, farmasetis, dan farmakologis. Apabila obat yang diressepkan
tidak terdapat di Apotek Mentari Farma, maka obat akan diganti dengan
kandungan atau indikasi yang sama, namun telah mendapat persetujuan
pasien. Setelah itu, obat akan disiapkan sesuai dengan yang diresepkan baik
itu resep racikan atau resep non - racikan. Selanjutnya obat akan
dimasukkan ke dalam wadah obat/ plastik yang telah disediakan dan
melakukan pemeriksaan kesesuaian obat yang telah di dispensing dengan
permintaan dalam resep meliputi identitas pasien, nama obat, jenis sediaan
obat, jumlah obat, dan aturan pakai obat dalam etiket. Apabila terjadi
ketidaksesuaian antara resep dan obat yang telah di-dispensing, maka
dikembalikan ke proses dispensing obat yaitu memanggil
pasien/keluarganya serta memastikan identitas pasien sudah benar. setelah
itu dijelaskan mengenai informasi obat kepada pasien dan dilakukan
konseling apabila diperlukan.
2. Dispensing
Kegiatan dispensing selama masa Praktik Belajar Lapangan (PBL) di
Apotek Mentari Farma dilakukan pada pelayanan swamedikasi dan Over
The Counter (OTC) karena selama PBL tidak terdapat resep yang masuk.
Kegiatan dispensing pelayanan swamedikasi dilakukan dengan tahapan
berupa
36
a. Menyiapkan obat sesuai dengan swamedikasi meliputi pengambilan obat
yang dibutuhkan dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa
dan keadaan fisik obat.
b. Melakukan peracikan obat apabila diperlukan.
c. Memberikan etiket putih untuk obat dalam, etiket biru untuk obat luar
dan menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan suspensi.
d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang sesuai
Gambar 22
Format Pelayanan Swamedikasi
37
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat di Apotek Mentari Farma dilakukan oleh
Apoteker atau Tenaga Teknis Kefarmasian. Informasi yang diberikan di
Apotek Mentari Farma belum mencakup semua Pelayanan Informasi Obat
di Permenkes No. 73 tahun 2016. Pelayanan Informasi Obat yang dilakukan
di Apotek Mentari Farma hanya mencakup dosis, bentuk sediaan, rute
pemberian, efek terapeutik, alternatif, penyimpanan dan harga. Pelaksanaan
PIO di Apotek Mentari Farma dilakukan untuk obat - obatan dengan
penanganan khusus seperti suppositoria, suspensi, dan lain-lain. Standar
Operasional Prosedur di Apotek Mentari Farma sebagai berikut :
1. Menjelaskan tentang jenis dan jumlah obat khusus
2. Memberikan informasi tentang khasiat dari obat khusus dan apabila
diperlukan disertai penjelasan tentang kemungkinan efek samping yang
membahayakan pasien
3. Obat - obat khusus seperti sediaan suppositoria, produk inhalasi, dan obat
lain yang tidak stabil pada suhu diatas 8͒ C
4. Memberikan informasi tata cara penyimpanan obat khusus kepada
pasien, keluarga, atau penerima obat khusus
5. Penjelasan dilakukan dengan bahasa yang mudah diterima dan mudah
dimengerti oleh pasien/keluarga/penerima obat
6. Apabila belum jelas, pasien/keluarga/penerima obat khusus dirujuk ke
ruang konseling obat
Gambar 23
Pelayanan Informasi Obat
38
4. Konseling
Apotek Mentari Farma rutin melakukan kegiatan konseling, terutama
untuk kasus swamedikasi. Kegiatan konseling di Apotek Mentari Farma
dilakukan pada penyerahan obat di kegiatan swamedikasi yang dilaksanakan
dengan mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP).
SOP pelayanan swamedikasi adalah sebagai berikut
a. Menyambut kedatangan pasien dengan salam dan senyuman
b. Mengucapkan “bapak/ibu/mas/mba… ada yang perlu saya bantu…”
c. Mendengar keinginan pasien dengan aktif
d. Apabila pasien ingin menyerahkan pemilihan obat kepada kita dengan
adanya problem obat dan kesehatan maka harus diserahkan serta dilayani
oleh apoteker
e. Mencatat identitas pasien pada formulir swamedikasi meliputi nama,
umur, alamat lengkap dan nomor telepon
f. Mencatat karakteristik pasien meliputi berat badan, pekerjaan, riwayat
sakit penyerta, riwayat alergi obat, status keuangan (M=mampu,TM =
tidak mampu)
g. Melaksanakan amnesa, menanyakan data laboratorium klinik dan
mencatatnya
h. Memilih obat berdasarkan amnesa dan data penunjang medik yang sudah
dimiliki
i. Menyiapkan obat dengan etiket obat
j. Memberikan informasi penggunaan obat, resiko penggunaan obat dengan
cara yang bijak
k. Mengamati respon pasien atas informasi yang diberikan oleh petugas
l. Menawarkan biaya swamedikasi
m. Mencari titik temu antara pasien dengan petugas
n. Jikalau pasien memerlukan monitoring penggunaan obat maka kita harus
meminta izin pasien untuk menelpon di hari berikutnya
o. Mencatat pada buku swamedikasi
39
Adapun SOP kegiatan konseling di Apotek Mentari Farma adalah sebagai
berikut :
a. Membuka komunikasi dengan pasien
b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui three prime
question yaitu: apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?; apa
yang dijelaskan oleh dokter tentang pemakaian obat anda?; apa yang
dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang telah diharapkan setelah anda
mendapatkan terapi obat tersebut? dan apabila tingkat kepatuhan pasien
dianggap rendah perlu dilanjutkan dengan metode health belief model
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberikan kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
f. Mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pada “Nota
Informed Consent” sebagai bukti bahwa pasien telah memahami
konseling yang diberikan
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Kegiatan Home pharmacy care di Apotek Mentari Farma belum
dilakukan, karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang dan Apotek
Mentari Farma belum lama berdiri sekitar 2 tahun sehingga masih fokus
kepada kegiatan internal.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat di Apotek Mentari Farma belum dilakukan
dikarenakan belum terdapat pasien yang menerima obat lebih dari 5 jenis
dan juga belum adanya pelaporan mengenai reaksi obat yang merugikan.
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Kegiatan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) di Apotek
Mentari Farma belum dilaksanakan karena tidak adanya keluhan
masyarakat terkait hal tersebut.
40
A. Analisis Kasus Swamedikasi
Kasus Swamedikasi 1
Kasus : Bapak Doyo datang ke Apotek Mentari Farma dengan keluhan rasa
nyeri pada ulu hati dan mual
A. Assesment
Rekomendasi
Subjektif Objektif Assesment
Apoteker
nyeri pada ulu hati - Berdasarkan Apoteker
dan mual data subjektif memberikan
pasien Gasela dan
mengalami Trianta suspensi
dyspepsia
B. Plan
1. Tujuan Terapi
Menurunkan kadar HCl pada lambung
2. Terapi Non Farmakologi
- Perbaiki pola hidup
- Menurunkan berat badan
- Hindari merokok
- Mengurangi kopi, alkohol, dan coklat
- Hindari asupan makanan berlemak
- Tidur dengan posisi kepala lebih tinggi
- Makan malam dengan baik 2 jam sebelum tidur
(National Insitute for Health and Care Excellence, 2014)
3. Terapi Farmakologi
a) Tepat Indikasi
41
(National Institute for Health and Care Excellence, 2014).
Dispepsia merupakan suatu gejala yang di tandai dengan nyeri
ulu hati, rasa mual dan kembung (Sukarmin, 2011). Memberikan
terapi pertama golongan antasida/alginat untuk terapi pertama.
Apabila pasien tidak merespons dengan pemberian antasida maka
dipilih obat golongan PPI atau H2RA. PPI lebih efektif dibandingkan
dengan H2RA, tetapi dalam banyak kasus pasien dapat merespons
pemberian H2RA. Penggunaan PPI juga lebih mahal dibandingkan
dengan H2RA. Terapi kombinasi H2RA dengan Antasida dipilih
karena dapat meningkatkan efek terapi yang signifikan (National
Institute for Health and Care Excellence, 2014).
b) Tepat Obat
Dipilih kombinasi terapi Ranitidine dengan Alumunium
Hidroksida dan Magnesium Hidroksida karena memiliki efektivitas
yang tinggi dalam menurunkan kadar asam pada lambung (National
Institute for Health and Care Excellence,2014). Aluminium hidroksida
adalah antasid yang bekerja lambat yang mengikat fosfat dalam
saluran pencernaan untuk membentuk kompleks yang tidak larut dan
mengurangi penyerapan fosfat. Bertindak sebagai zat dan dapat
menyebabkan diare, sedangkan Magnesium hidroksida adalah antasid
42
yang bekerja cepat yang menangkal efek sembelit dari aluminium
hidroksida (MIMS,2016)
c) Tepat Pasien
Tepat diberikan kepada pasien karena pasien tidak mengalami
gangguan ginjal, nyeri perut hebat, obstruksi usus dan tidak sedang
mengonsumsi obat – obatan ciprofloxacin, chlorpromazine,
ketoconazole, levothyroxine, rifampicin, rosuvastatin, tetracyclines
(MIMS,2016)
d) Tepat Dosis
Ranitidine diberikan 150 mg 2x sehari bersamaan makanan
atau tanpa makanan, sedangkan Alumunium Hidroksida 200 mg dan
Magnesium Hidroksida 200 mg diminum 15mL 4xsehari dalam
keadaan perut kosong atau sebelum tidur (MIMS,2016)
e) Waspada Efek Samping
Ranitidine memiliki efek samping yaitu takikardi, agitasi,
gangguan penglihatan, alopesia, nefritis interstisial. Magnesium
hydroxide bisa mengganggu penyerapan asam folat dan zat besi
(PIONAS,2019).
Monitoring
Nama Obat KIE
Keberhasilan Efek Samping
Gasela tablet Kadar asam takikardi, agitasi, - Mematuhi penggunaan
lambung gangguan obat dengan tepat untuk
kembali normal penglihatan, memberikan efektivitas
alopesia, nefritis maksimal.
interstisial - Menghindari makanan dan
(PIONAS). minuman yang dapat
Trianta mengganggu meningkatkan asam
Suspensi penyerapan asam lambung, makanan pedas,
folat dan zat besi asam, kopi, soda, dan
(PIONAS). alkohol. Serta
- mengurangi konsumsi
makanan yang
mengandung garam
berlebih.
- Memperbaiki posisi tidur.
43
D. Kesimpulan
Apotek Mentari Farma memberikan obat kombinasi H2RA dengan
antasida dengan merk dagang gasela tablet dengan Trianta suspensi
dengan dosis pemberian gasela 2xsehari setelah makan dan trianta
suspensi 3-4xsehari 15Ml, hal tersebut telah sesuai dengan literatur.
Kasus Swamedikasi 2
Kasus: Fani (17 tahun) dengan keluhan batuk berdahak , gejala flu dan
merasakan pusing
A. Assesment
Subjektif Objektif Assesment Rekomendasi
Apoteker
batuk berdahak, - Berdasarkan data Apoteker
gejala flu dan subjektif dan memberikan dextral
merasakan pusing objektif pasien dan sistenol
mengalami
Common cold
B. Plan
1. Tujuan Terapi
- Mengencerkan sputum
- mengurangi frekuensi batuk
- Menghilangkan pusing
2. Terapi Non - Farmakologi
- Penggunaan madu
- Memperbanyak minum air putih
- Istirahat cukup
(Driel et al., 2018)
44
3. Terapi Farmakologi
a) Tepat Indikasi
45
antimuskarinik. Phenylpropanolamine HCl digunakan sebai obat
simpatomimetik yang memiliki efek langsung pada reseptor
adrenergik yang memproses aktivitas alphaadrenergic tanpa
menstimulasi efek SSP pada dosis biasa, obat ini dimaksudkan untuk
digunakan dalam meredakan gejala batuk dan pilek (Ragab et
al.,2018).
c) Tepat Pasien :
N-asetyl sistein dapat digunakan pada pasien untuk mengobati
batuk dan tidak ada interaksi dengan obat lain maupun kontraindikasi
pada obat tersebut (Tse & Tseng, 2014). Dextral dapat digunakan
pasien untuk mengatasi gejala flu dan meredakan batuk dengan
kontraindikasi terhadap asma,bronkitis, hipersensitivitas terhadap obat
tersebut sehingga pasien aman diberikan obat ini karena pasien tidak
mengalami hal tersebut (MIMS,2016)
d) Tepat Dosis :
Dosis sistenol yang mengandung n-asetyl sistein yang
digunakan adalah 1200mg 1 x sehari selama 12 minggu (Tse & Tseng,
2014). Dosis pemakaian Dextral yang mengandung
Dextromethorphan HBr 10 mg, Phenylpropanolamine HCl 12,5 mg,
Chlorpheniramine Maleate 1mg diminum 3xsehari 1 kaplet
(MIMS,2016).
e) Waspada ESO :
Efek samping dalam penggunaan n-asetyl sistein adalah
gangguan Gastrointestinal dan diare ringan (Tse & Tseng, 2014). Efek
samping penggunaan dextral yaitu mengantuk, gangguan pencernaan
dan psikomotor, mulut kering, dan retensi urin (MIMS,2016).
46
C. Monitoring Efek Samping Obat (ESO) dan KIE Pasien
Monitoring
Nama Obat KIE
Keberhasilan Efek Samping
Sistenol Mengencerkan Gangguan 1. Mematuhi
mukus Gastrointestinal dan penggunaan obat
diare ringan (Tse & dengan tepat untuk
Tseng, 2014). memberikan
Dextral Mengurangi mengantuk, efektivitas maksimal.
frekuensi batuk, gangguan 2. Memperbanyak
mengatasi hidung pencernaan dan minum air putih
tersumbat, psikomotor, mulut 3. Memperbaiki pola
menghilangkan kering, dan retensi tidur.
rasa pusing urin (MIMS,2016).
D. Kesimpulan
Dari keluhan pasien tersebut, apotek Mentari Farma memberikan
obat dextral dan sistenol. Kedua obat tersebut tepat diberikan pasien
dimana sistenol mengandung n-acetyl sistein sebagai agen mukolitik dan
dextral mengandung Dextromethorphan HBr, Phenylpropanolamine HCl,
Chlorpheniramine Maleate yang digunakan sebagai anti alergi pasien dan
mencegah terjadinya flu. Pasien tidak mengalami demam sehingga tidak
perlu diberikan antipiretik, pusing dari pasien disebabkan adanya gejala
flu tersebut (Tse & Tseng, 2014; Ragab et al., 2018).
Kasus swamedikasi 3
Kasus: Seorang ibu bernama Ibu Darsen berusia 50 tahun datang ke apotek
mengeluhkan sakit dibagian pundak bagian kanan kurang lebih 3 hari. Ibu
tersebut memiliki pekerjaan sebagai penjual pecel dan menjual dagangannya
dengan digendong berkeliling. Sebelum datang ke apotek, ibu tersebut belum
mengkonsumsi obat apapun.
A. Assesment
Rekomendasi
Subjektif Objektif Assesment
Apoteker
Nyeri dibagian - Berdasarkan subjektif dan objektif Meloxicam dan
pundak sebelah menunjukkan ibu Darsen menderita Nutralix
kanan kurang lebih nyeri nosiseptif dalam akut tingkat
3 hari keparahan moderat
47
B. Plan
1. Tujuan Terapi
- Intervensi awal dengan penyesuaian cepat dalam rejimen untuk rasa
sakit yang tidak terkontrol
- Pengurangan rasa sakit ke tingkat yang dapat diterima
- Memfasilitasi pemulihan dari penyakit atau cedera yang mendasarinya
(HCANJ, 2017).
2. Terapi Non-farmakologi
Istirahat yang cukup
Kompres dengan es selama 15-20 detik
(NHS, 2016).
3. Terapi Farmakologi
a) Tepat Indikasi
Ibu Darsen mengeluhkan nyeri dibagian pundak atas bagian kanan
kurang lebih selama 3 hari. Ibu Darsen sendiri merupakan penjual
pencel yang menjual dagangannya keliling. Nyeri didefinisikan
sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi
rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan
jaringan tersebut (HCANJ, 2017). Menurut Yam et al., (2018) nyeri
dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropatik. Berdasarkan keluhan yang dialami oleh Ibu Darsen
dapat diketahui bahwa nyeri yang diderita adalah nyeri nosiseptif.
Berdasarkan karakteristik nyeri nosiseptif yang dinyatakan oleh NPC
(2012) maka nyeri nosiseptif yang diderita termasuk dalam nyeri
nosiseptif dalam akut tingkat moderat yang terjadi akibat adanya luka.
48
(NPC, 2012)
Tatalaksana nyeri menurut HCANJ (2017) adalah mengikuti
“Ladder” yang ditetapkan oleh WHO. Tatalaksana terapi tersebut
yaitu
(HCANJ, 2017)
Berdasarkan Ladder tersebut terapi untuk nyeri tingkat moderat
dimulai dengan pemberian nonopioid dan bisa ditambahkan dengan
adjuvant. Nonopiod yang dapat diberikan adalah paracetamol/NSAID
/COX-2 selektif. Menurut Crofford (2013), NSAID efektif sebagai
sebagai agen analgesik untuk mengatasi nyeri. Sehingga terapi yang
direkomendasikan untuk Ibu Darsen adalah menggunakan NSAID dan
ditambah suplemen sebagai adjuvant untuk meningkatkan
kesembuhan.
b) Tepat Obat
NSAID sebagai agen analgesik dan antiinflamasi efektif mengatasi
nyeri. Menurut Kuritzky & Samraj (2012), ada berbagai jenis NSAID
49
yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri. NSAID tersebut
meliputi,
50
adjuvant dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesembuhan dan vit
b12 mampu melindungi syaraf untuk mencegah teradinya luka lebih
lanjut (Gazoni et al., 2016)
d) Tepat dosis
Menurut Kuritzky & Samraj (2012) dosis meloxicam yang
direkomendasikan untuk pasien dewasa adalah 15 mg 1 kali sehari
selama. Sedangkan Vitamin B komplek dengan dosis thiamin
(100mg), piridoksin (100mg) and cyanocobalamin (5000μg)
direkomendasikan untuk mengatasi nyeri pada otot (Gazoni et al.,
2016).
e) Waspada Efek Samping Obat
Meloxicam: sakit kepala, muntah diare dan sakit perut (MIMS, 2019)
51
Kasus swamedikasi 4
Kasus: Ny. Nia berusia 20 tahun beralamat di Wlahar Kulon Rt 8 Rw 2 datang
ke apotek dengan keluhan panas dingin (menggigil), kepala senut dan tidak
nafsu makan kurang lebih selama 2 hari. Ny. Nia belum mengkonsumsi obat
apapun.
A. Assesment
Plan/ Rekomendasi
Subjektif Objektif Assesment
Apoteker
Panas dingin - Berdasarkan Neuropyron,
(menggigil), subjektif dan Curcuma dan
kepala senut dan objektif Renovit
tidak nafsu makan menunjukkan Ny.
kurang lebih 2 hari Nia menderita
tention type
headache
B. Plan
1. Tujuan Terapi
Tujuan yang dicapai meliputi pengurangan frekuensi sakit kepala,
penurunan intensitas sakit kepal, menurunkan durasi sakit kepala,
peningkatan respon terhadap terapi yang gagal, dan peningkatan kualitas
hidup secara keseluruhan (Lenaert, 2009).
2. Terapi Non-farmakologi
Menurut Bendtsen et al., (2010) terapi nonfarmakologi yang
direkomendasikan untuk tention-type headache adalah terapi perubahan
kognitif dan relaksasi.
3. Terapi Farmakologi
a) Tepat Indikasi
Sakit kepala adalah gejala klinis yang sangat sering terjadi, yang
mungkin didasarkan pada berbagai penyakit atau hanya menjadi
ekspresi ketegangan dan kelelahan. Menurut NICE (2015), sakit
kepala dikalsifikan dalam tiga kategori yaitu tention-type headache,
migrain (with or without aura) dan cluster headache. Bersakan gejala
yang dikeluhkan oleh Ny. Nia berupa kepala senut maka dapat
diketahui bahwa sakit yang kepala yang diderita termasuk dalam
52
tension-type headache. Lenaert (2009) melaporkan bahwa tidak ada
terapi abortif spesifik untuk mengatasi tention-type headache (TTH)
sehingga NSAID dan analgesik direkomedasikan untuk terapi. Untuk
meningkatkan tingkat kesembuhan dan melindungi syaraf dapat
diberikan suplementasi. Menurut Bendtsen et al., (2010) TTH
seringkali diikuti dengan munculnya anorexia yang ditandai dengan
hilangnya nafsu makan. Untuk mengembalikan nafsu makan perlu
diberikan suplemen.
(NICE, 2015)
b) Tepat obat
Analgesik dan NSAID direkomendasikan untuk mengatasi TTH
dan telah dilakukan penelitian randomaized control trial yang
menunjukkan kemanjuran. Metampiron merupakan salah satu agen
yang umum digunakan untuk terapi TTH selama 20 tahun,
berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa metampiron efektif dan
53
aman dibandingkan dengan obat NSAID lainnya. Efek yang lebih
tersebut dikarenakan adanya onset terapi yang cepat (Lenaert 2009;
Kotter et al., 2015). Sehingga terapi yang direkomendasikan untuk
Ny. Nia adalah metampiron. Vitamin b kompleks memiliki efek
analgesik dan memiliki efektifitas yang baik apabila digunakan
sebagai adjuvant terapi analgesik (Gazoni et al., 2016). Curcumin
sebagai salah satu suplemen yang dapat meningkatkan nafsu makan.
Salah satu curcumin yang tersedia di pasaran adalah curcumin yang
diproduksi oleh SOHO Global Health.
c) Tepat Pasien
Metampiron direkomendasikan karena memiliki onset yang cepat
sehingga sakit kepala yang dialami oleh pasien dapat tertangani
dengan cepat (Lenaert, 2009). Curcumin dipilih karena mengadung
Curcuma xanthorriza sudah terbukti dapat meningkatkan nafsu makan
(SOHO Global Health, 2019). Vitamin b kompleks dipilih untuk
menjaga syaraf dan mempercepat kesembuhan (Gazoni et al., 2016).
d) Tepat dosis
Metampiron: dosis yang direkomendasikan adalah 500 mg 3 kali
sehari (Lenaert, 2009).
Curcumin : dosis yang direkomendasikan adalah 1-2 tablet setiap hari
(SOHO Global Health, 2019)
Vitamin b komplek : dosis thiamin (100mg), piridoksin (100mg) and
cyanocobalamin (5000μg) direkomendasikan untuk mengatasi nyeri
pada otot (Gazoni et al., 2016).
e) Waspada efek samping
Metampiron : Hipotensi, leukopenia dan nyeri dada (MIMS, 2019)
54
Curcuma Meningkatkan Iritasi lambung
nafsu makan dan mual (SOHO
Global Health,
2019)
Vitamin b Vit b bermanfaat
kompleks untuk melindungi
syaraf
D. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terapi rasional menggunakan prinsip 4T+1W terapi
yang direkomendasikan untuk Ny. Nia adalah Metampiron, Curcuma dan
Vitamin B kompek, sehingga terapi yang direkomendasikan oleh apoteker
berupa Neuropyron v (Methampyron, vitamin b1, b6 dan b12), Curcuma
dan Renofit (mengandung vitamin dan mineral yang lengkap) sudah sesuai.
Kasus Swamedikasi 5
Kasus : Seorang pasien bernama Tn. Samsi berusia 53 tahun datang ke Apotek
Mentari Farma dengan keluhan nyeri didaerah persendiran seperti lutut dan jari-
jari kaki yang sering muncul ketika pagi hari. Sebelumnya pasien terdiagnosis
asam urat dan dan melalukan pengecekan asam urat dan diperoleh hasil 10,1
ml/dL. Pasien sebelumnya hanya mendapatkan obat allopurinol. Pasien meminta
obat untuk mengatasi asam uratnya dan pegal-pegal yang dialaminya.
A. Assessment
Plan /Rekomendasi
Subjektif Objektif Assessment
Apoteker
Nyeri didaerah Kadar asam Berdasarkan data Apoteker memberikan
persendian urat 10,1 subjektif dan terapi Alofar 100 mg,
seperti lutut dan ml/dL objektif, pasien Flasicox 7,5 mg dan
jari-jari kaki, menderita asam urat. Neurosanbe
muncul pada
pagi hari.
55
B. Plan
1. Tujuan Terapi
- Mencegah adanya komplikasi
- Mengatasi serangan akut
- Mengurangi rasa nyeri
- Mempertahankan fungsi sendi
2. Terapi NonFarmakologi
- Istirahat yang cukup
- Melakukan kompres dingin
- Modifikasi diet
- Mengurangi berat badan
(Kanna, et al., 2012)
3. Terapi Farmakologi
a. Tepat indikasi
Tn. Samsi mengeluhkan nyeri dibagian persendian seperti
lutut dan jati-jari kaki dan sering muncul ketika pagi hari. Nyeri
tersebut didefinisikan sebagai gejala asam urat yang diperketat
dengan tingginya kadar asam urat yaitu 10 ,1 ml/dL dengan nilai
normal 4-8,3 ml/ dL (Sari M. 2010). Asam urat merupakan
penyakit yang terjadi akibat tingginya kadar asam urat (lebih dari
7,0 mg/dL untuk pria dan 6,0 mg/dL untuk perempuan) di dalam
cairan tubuh sehingga membentuk kristal monosodium urat (MSU)
pada sendi, tulang, maupun jaringan lunak yang menimbulkan
adanya rasa nyeri (Becker, 2016).
56
Algoritma Terapi Gout (Kanna, et al., 2012)
57
Penatalaksanaan first line therapy untuk mengurangi
pembentukan asam urat dalam tubuh menurut Kanna, et al. tahun
2012 yaitu golongan xantin oksidase inhibitor seperti allopurinol dan
Febuxostat. Jika kontraindikasi terhadap XOI atau intoleran maka
diberikan terapi alternative yaitu Probenesid. Obat golongan xantin
oksidase inhibitor yang menjadi pilihan yaitu allopurinol.
Penatalaksanaan terapi nyeri mild-moderete untuk gout
berdasarkan algoritma yaitu monoterapi NSAID, kolkisin, atau
kortikosteroid. Penggunaan kolkisin dapat menyebabkan diare akut
dan tidak dianjurkan pada penderita yang onset serangannya telah
lebih dari 36 jam. Sehingga kurang efektif dan digunakan sebagai
alternatif pilihan terakhir (Kanna, et al., 2012). NSAID lebih
dipilih karena efikasi serta resiko potensial NSAID biasanya lebih
dapat ditolerir dibanding kolkhisin dan lebih mempunyai efek yang
dapat diprediksi (Kanna, et al., 2012). Menurut guedline, NSAID
yang digunakan sebagai terapi nyeri pada gout seperti naproksen,
indometasin, dan sulindak.
b. Tepat Obat
Terapi yang diberikan untuk menurunkan kadar asam urat
didalam tubuh adalah Allopurinol yang merupakan obat golongan
XOI dengan mekanisme kerja menghambat pembentukan
hiposantin menjadi xantin dan xantin menjadi asm urat. Terapi
nyeri pada asam urat menggunakan obat golongan NSAID.
Apoteker meberikan terapi meloxicam, Menurut Kuritzky &
Samraj (2012), ada berbagai jenis NSAID yang dapat digunakan
untuk mengatasi nyeri. NSAID tersebut meliputi,
58
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa meloxicam
merupakan NSAID yang memiliki selektifitas terhadap
penghambatan COX-2, sehingga akan menurunkan resiko
terjadinya efek samping berupa perdarahan pada saluran
gastrointestinal. Apoteker memberikan obat tambahan berupa
Vitamin B Complex yang berisi vitamin B1, B6 dan B12. Menurut
Gazoni et al., (2016) Vitamin B komplek memiliki efek analgesik
dan baik untuk dikombinasikan pada obat analgesik sebagai
adjuvan.
c. Tepat Pasien
Pemberian XOI berupa Allopurinol yang memiliki selektifitas
dalam menghambat pembentukan hipoxantin menjadi xantin dan
xantin menjadi asam utar dan dengan cepat dapat dimetabolisme
menjadi metabolisme aktifnya yaitu oxypurinol
(Dalbeth et al., 2016). Allopurinol dipilih untuk meneruskan terapi
yang telah diberikan pasien sebelumnya.Pemberian NSAID berupa
meloxicam yang memiliki selektifitas dalam penghambatan COX-2
memberikan manfaat untuk mencegah untuk risiko terjadinya
masalah pada saluran pencernaan berupa pendarahan, selain itu
memiliki t1/2 yang panjang sehingga pemberiannya lebih jarang
yang memberikan keuntungan bagi pasien (Crofford 2013).
59
Penambahan adjuvant (vitamin B Complex) dapat bermanfaat
untuk meningkatkan kesembuhan dan mampu mencegah teradinya
luka lebih lanjut (Gazoni et al., 2016)
d. Tepat Dosis
- Flasicox (meloxicam) 7,5 mg diminum 2 x sehari/ tablet sesudah
makan pada pagi dan malam hari (Medscape, 2019).
- Dosis awal Allopurinol yang diberikan sebaiknya tidak lebih dari 100
mg perhari (Kanna, et al., 2012). Apoteker memberikan Allopurinol
merk dagang yaitu Alopar 100 mg diminum 1 x sehari/ tablet sesudah
makan pada pagi hari.
- Vitamin B Complex ( vitamin B1 (100 mg), B6 (200 mg) dan B12
(200 mcg)) diminum 1 x sehari/ tablet sesudah makan pada pagi hari
(Medscape, 2019).
e. Wapada Efek Samping
- Flasicox (meloxicam) : Gangguan pencernaan, pusing, mual, muntah,
nyeri abdomen
- Alopar (allopurinol) : Ruam kulit, mual, muntah dan memburuknya
fungsi ginjal.
- Vitamin B Complex : Reaksi alergi, ruam, diare, mual
(Medscape, 2018)
60
Complex perbaikan diare, mual 4. Edukasi pasien jika dalam
penyakit 3 hari tidak ada perbaikan
maka disarankan untuk
periksa ke dokter untuk
pengobatan lebih lanjut
D. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terapi rasional menggunakan prinsip 4T+1W terapi
yang direkomendasikan untuk Tn. Samsi adalah Alopar (allopurinol),
Flasicox (meloxicam) dan Vitamin B kompek, sehingga terapi yang
direkomendasikan oleh apoteker sudah sesuai.
Kasus Swamedikasi 6
Keluhan : Datang seorang pasien bernama Ny. Desi berusia 24 tahun ke Apotek
Mentari Farma dengan gejala sakit gigi, berlubang, timbulnya rasa cenat-cenut ±
sudah 2 hari, sedang menyusui bayinya berusia 4 bulan. Belum mengkonsumsi
obat sebelumnya, hanya diberikan koyo.
A. Assessment
Subjektif Objektif Assessment Rekomendari
B. Plan
1. Tujuan Terapi
- Menghilangkan nyeri
- Mengatasi Inflamasi
61
2. Terapi Nonfarmakologi
- Menghindari atau membatasi makanan yang mengandung gula dan
pemanis buatan
- Meghindari minuman yang panas disertai minum air dingin secara
beruntun
- Periksa gigi secara teratur minimal 6 bulan sekali
- Berkumur menggunakan air panas atau dingin
- Kompres menggunakan es batu
3. Terapi Farmakologi
a. Tepat indikasi
Sakit gigi atau nyeri odontogenik merupakan penyakit yang
biasanya menyerang jaringan pulpa atau struktur periodontal (Afif,
2015). Sakit gigi merupakan indikator kesehatan mulut. Sakit gigi
dapat disebabkan oleh aktivitas rangsangan terhadap gigi, kimia dan
rangsangan termal, atau dapat muncul secara spontan sehingga dapat
menyebabkan peradangan parah pada pulpa gigi (Machado et al.
2014).
Nyeri yang timbul ketika sakit gigi merupakan reaksi fisiologis
yang timbul oleh rangsangan yang mencapai nilai ambang rasa nyeri
pada reseptor nyeri . Mekanisme nyeri gigi berawal dari ransangan
berbahaya yang diubah impuls nyeri sampai persepsi nyeri gigi.
Rangsangan di terima oleh email, di sampaikan ke reseptor di dentin.
Kemudian ransang di ubah menjadi impuls yang kemudian di
sampaikan ke pulpa. Dan akhirnya sampai di pusat nyeri, tempat nyeri
di persepsi (Machado et al. 2014).
62
Berdasarkan Ladder tersebut terapi untuk nyeri tingkat mild dimulai
dengan pemberian nonopioid dan bisa ditambahkan dengan adjuvant.
Nonoipid yang dapat diberikan adalah paracetamol dan ibuprofen.
Menurut Crofford (2013), NSAID efektif sebagai sebagai agen analgesik
untuk mengatasi nyeri. Sehingga terapi yang direkomendasikan untuk Ny.
Desi adalah menggunakan NSAID dan ditambah suplemen sebagai
adjuvant untuk meningkatkan kesembuhan.
b. Tepat Obat
NSAID efektif sebagai sebagai agen analgesik untuk mengatasi
nyeri. Ny. Desi mengalami sakit gigi berlubang dan sedang
menyusui bayinya yang berusia 4 bulan, sehingga NSAID yang
tepat untuk ibu menyusui adalah ibuprofen. Menurut Depkes RI
(2006), ibuprofrn masuk masuk dalam kategori L1 (aman)
digunakan untuk terapi nyeri akibat sakit gigi .
63
yang merupakan asam amino pembentuk kolagen, serta
merangsang peningkatan aktivitas sel-sel pertahanan tubuh.
Sehingga Vitamin C baik digunakan sebagai adjuvant.
c. Tepat Pasien
Pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap obat tersebut dan
penyakit tertentu (Medscape, 2019).
d. Tepat Dosis
- Ibuprofen 400 mg diminum 2 x sehari/tablet sesudah makan pada
pagi dan siang hari.
- Vitalog-C 500 mg diminum 1 x sehari/tablet sesudah makan pada
pagi hari.
(Medscape, 2019)
e. Waspada Efek Samping Obat
- Ibuprofen : pusing, nyeri uluhati, konstipasi, ruam, dan mual
(PIONAS, 2019).
- Vitalog-C : nyeri panggul, sakit kepala, diare, dyspepsia, mual,
muntah (Medscape, 2019).
64
gigi agar makanan yang
tersisa di dalam gigi
berlubang terangkat dan
terhindar dari kuman
4. Edukasi pasien agar
memberbanyak makan
makanan yang banyak
mengandung Vitamin C
5. Edukasi pasien jika 3 hari
tidak ada perbaikan maka
disaran untuk periksa ke
dokter gigi untuk
pengobatan lebih lanjut.
D. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terapi rasional menggunakan prinsip 4T+1W terapi
yang direkomendasikan untuk Ny. Desi adalah ibuprofen dan Vitalog C
(Vitamin C), sehingga terapi yang direkomendasikan oleh apoteker sudah
sesuai.
Kasus swamedikasi 7
Kasus : Ibu Sumini datang ke Apotek Mentari Farma dengan keluhan perut
mulas dan diare sejak 2 hari yang lalu.
A. Assesment
65
B. Plan
1. Tujuan terapi
- Mengganti cairan yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit
- Mencegah dehidrasi
2. Terapi Non Farmakologi
- Perbanyak mengkonsumsi Air putih
- Cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½
sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda dan 3 sendok makan gula per
liter air (Dipiro et al, 2009).
3. Terapi Farmakologi
a. Tepat indikasi
Pasien merasa mulas dan mengalami diare lebih dari 2 hari tanpa
disertai demam. Sehingga dapat disimpulkan pasien menderita diare akut,
karena berlangsung kurang dari 2 minggu.
Diare didefinisikan sebagai buang air besar (BAB) dengan feses tidak
berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali
dalam 24 jam. Gejala penyerta dapat berupa mulas, demam, mual, muntah
(Amin, 2015).
Hal yang yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan terapi diare
adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama
episode akut (Amin, 2015). Sehingga pasien perlu diberikan rehidrasi oral.
Pasien diberikan terapi untuk mengatasi diare, berupa Loperamide
HCl. Loperamide HCl merupakan agen golongan Opiat yang memiliki efek
penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan, sehingga dapat
memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekuensi diare (Amin, 2015).
Pada saat diare, biasanya terjadi pergerakan motilitas saluran cerna
yang terjadi lebih cepat dari biasanya (Amin, 2015). Sehingga pasien
diberikan obat Spasminal sebagai relaksan otot, supaya pergerakan motilitas
saluran cerna kembali normal.
b. Tepat Obat
Pasien diberikan Pharolit sebagai terapi rehidrasi oral, Loperamide
HCl. Obat yang dipilih telah sesuai dengan algoritma terapi diare menurut
66
Riddle (2016), berdasarkan data subjektif pasien. Sedangkan Spasminal
diberikan sebagai terapi penunjang.
c. Tepat Dosis
Loperamide diberikan mula-mula 2 tablet (4 mg), kemudian 2 mg
setiap keluar fases yang tidak berbentuk (cair), dosis yang diberikan tidak
boleh lebih dari 16 mg/hari. Loperamide diberikan selama ≤ 5 hari (Regnard
et al, 2011). hal ini sesuai dengan dosis dan aturan pakai yang diberikan oleh
Apoteker.
d. Tepat Pasien
Kontraindikasi dari loperamid adalah pasien diare yang disertai
demam (>38,5°C) atau terdapat darah pada feses, konstipasi. Pasien pada
kasus ini tidak mengalami kondisi dikotraindikasikan tersebut, sehingga
Loperamid aman digunakan pada pasien ini (Hill, 2008).
e. Waspada Efek Samping Obat
Efek samping dari Oralit relatif tidak ada (Guandalini, 2017).
sedangkan operamide memiliki efek samping berupa kembung,
konstipasi,nafsu makan berkurang mual, muntah, nyeri abdomen dan reaksi
67
hipersentif, tetapi efek samping ini jarang terjadi (IAI, 2016). Efek samping
Spasminal antara lain sedasi, pusing, konstipasi (Drugs, 2019).
Monitoring
Nama Obat KIE
Keberhasilan Efek Samping
Oralit Tidak terjadi - - Memberikan informasi
dehidrasi mengenai jadwal
pemakaian obat
D. Kesimpulan
Pasien mengalami diare > 2 hari tanpa disertai demam, feses tidak berdarah,
konsistensi feses cair, dan frekuensi BAB ± 3 kali dalam sehari, Kondisi tersebut
mengakibatkan aktivitasnya sedikit terganggu. Terapi yang diberikan pada pasien,
yaitu Oralit, tablet salut selaput Loperamide 2mg dengan aturan pemakaian
pertama 4mg/hari dan diteruskan 2mg/hari, serta Spasminal dengan aturan pakai
1x sehari 1 tablet. Terapi tersebut sudah sesuai dengan prinsip 4T+1W.
68
Kasus swamedikasi 8
Kasus : Bapak Slamet datang ke Apotek Mentari Farma dengan keluhan
muncul kutu air disertai rasa gatal di sela-sela jari kaki, kulit menebal,
mengeras, dan kasar di bagian sisi kaki. Keluhan pasien muncul sejak
seminggu yang lalu dan belum mendapatkan pengobatan sama sekali. Pasien
sering pergi ke kebun tanpa memakai alas kaki
A. Assesment
B. Plan
1. Tujuan terapi
Mencapai penyembuhan sesegera mungkin dan meminimalkan kekambuhan.
2. Terapi Non Farmakologi
-Mengeringkan kaki dan jari kaki dengan teliti setelah mandi
- Menggunakan serbuk kaki yang kering sekali atau dua kali sehari
- Memakai alas kaki setiap keluar rumah
- Membersihkan lantai kamar mandi menggunakan produk yang mengandung
pemutih
69
3. Terapi Farmakologi
a. Tepat indikasi
Pasien merasakan gatal di sela-sela kaki dan terdapat kutu air, kulit di
bagian sisi kaki menebal, mengeras, dan kasar. Pasien memiliki kebiasaan
pergi keluar rumah tanpa memakai alas kaki. Berdasarkan gejala-gejala
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami tinea pedis. Lesi yang
muncul di kaki pasien tergolong minimal, sehingga rekomendasi terapi yang
dianjurkan adalah terapi topikal. Terapi yang diberikan pada pasien berupa
krim topikal klotrimazol.
b. Tepat Obat
Firstline therapy untuk tinea pedis adalah topikal imidazole (Dipiro,
2009). Pasien menerima krim klotrimazol 1%. Klotrimazol merupakan
golongan imidazole, sehingga terapi yang diberikan sudah tepat.
c. Tepat Dosis
Berdasarkan Dipiro (2009), obat topikal untuk penderita tinea pedis
adalah krim klotrimazol 1% 20 mg dengan aturan pakai dioleskan tipis-tipis
2-3x sehari selama 1 bulan. Hal ini sesuai dengan aturan pakai yang diberikan
Apoteker kepada pasien
d. Tepat Pasien
Obat yang diberikan merupakan sediaan topikal, sehingga sesuai
untuk pasien geriatri karena tidak akan menimbulkan permasalahan terhadap
penyerapan obat.
e. Waspada Efek Samping Obat
Efek samping dari krim klotrimazol 1% adalah reaksi hipersentifitas
(MIMS, 2019)
70
C. Monitoring Efek Samping Obat (ESO) dan KIE
Monitoring
Nama Obat KIE
Keberhasilan Efek Samping
Krim Lesi dan rasa Reaksi - Memberikan informasi
klotrimazol hipersensitifit mengenai jadwal pemakaian obat
gatal di kaki
1% as (MIMS, - Memakai alas kaki yang benar-
menghilang 2019).
benar kering saat keluar rumah
- Mengeringkan kaki dan jari kaki
dengan teliti setelah mandi
- Menggunakan serbuk kaki yang
kering sekali atau dua kali sehari
- Membersihkan lantai kamar
mandi menggunakan produk yang
mengandung pemutih
D. Kesimpulan
Pasien mengalami gejala tinea pedis berupa munculnya kutu air di sela-sela jari
kaki, kulit menebal, mengeras, dan kasar di bagian sisi kaki. Terapi yang
diberikan pada pasien adalah krim klotrimazol 1% dengan aturan pakai dioleskan
tipis-tipis pada bagian yang gatal 2-3x sehari. Terapi tersebut sudah sesuai dengan
prinsip 4T+1W.
71
B. Analisis Resep
Resep 1
Skrining Resep
1. Skrining Administrasi (Kelengkapan Resep)
Pada Resep
No Uraian
Ada Tidak
Inscription
1 Identitas dokter, meliputi :
Nama dokter
SIP dokter
Nomor telepon
2 Tanggal penulisan resep
3 Tanda resep diawal penulisan
resep
Prescriptio
4 Nama Obat
5 Jumlah Obat
72
Signatura
6 Nama pasien
7 Umur pasien
8 Alamat pasien
9 Aturan pakai obat
Subscriptio
10 Tanda Tangan/paraf dokter
Kesimpulan
Resep tersebut belum lengkap dikarenakan kurangnya data pasien berupa alamat
pasien
2. Skrining Farmasetis
No Kriteria Permasalahan Pengatasan
1 Bentuk Sediaan - Sesuai
2 Stabilitas Obat - Sesuai
3 Inkompatibilitas - Sesuai
4 Cara Pemberian - Sesuai
5 Jumlah dan Aturan Kalsium laktat Kalsium laktat
Pakai direkomendasikan untuk diminum sebelum
diminum sebelum makan makan
3. Pertimbangan Klinis
Nama Indikasi dan Dosis Indikasi dan
No Kontraindikasi Keterangan
Obat literatur Dosis Resep
1 Nifedipin Nifedipin Obat pada Syaok Terdapat Drug
merupakan obat resep ini kardiogenik, Related
golongan calcium ditujukkan akut angina Problem (DRP)
canal bloker (CCB) untuk unstable berupa interaksi
dihidropiridin yang mengontrol (MIMS, 2019) moderat antara
memiliki indikasi tekanan darah. nifedipin dan
untuk murunkan Dosis Kalk (kalsium
tekanan darah pemberian 10 laktat) yang
melalui mekanisme mg 1xsehari 1 dapat
penghambatan kanal tablet. menurunkan
kalsium (Dipiro, efektifitas
73
2015). Menurut JNC nifedipin
8 (2014) dosis yang dengan adanya
direkomendasikan saturasi kanal
adalah 10 mg. kalsium
(drug.com)
2 Kalk Kalk (kalsium laktat) Obat pada Kondisi
(kalsium merupakan suplemen resep ini hiperkalsemia
laktat) yang digunakan ditujukkan dan
untuk mencegah dan untuk hiperkalsiuria
mengobati defisiensi mengobati (MIMS, 2019)
kalsium. Dosis yang defisiensi
direkomendasikan kalsium. Dosis
untuk pasien dewasa pemberian 500
adalah 325-625 mg mg 2x sehari 1
oral diminum 2-3 tablet.
kali sehari sebelum
makan (drug.com).
A. Assesment
B. Plan
1. Tujuan Terapi
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah :
Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi.
Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target
74
(misal: kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan
penyakit ginjal)
Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan
terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan
pengurangan resiko.
75
Menurut JNC 8 (2014) tatalaksana hipertensi adalah :
(JNC 8, 2014)
Berdasarkan resep dapat diketahui bahwa pasien bernama Ny. Mukti berusia 24
tahun, sehingga menurut JNC 8 (2014) rekomendasi terapi untuk mengontrol
tekanan darah pada pasien berusia kurang dari 60 tahun nonblack adalah dengan
menggunakan diuretik/ACEI/ARB/CCB tunggal maupun kombinasi. Wu et al.,
(2014) dalam penelitian meta analisis membandingkan efektifitas CCB dan ARB
pada pasien hipertensi. Melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
apabila dilihat dari angka kematian, namun CCB lebih efektif dalam mencegah
terjadinya stroke dan kejadian infark miokardial. Hasil meta analisis tersebut
merekomendasikan terapi awal menggunakan CCB lebih superior dibandingkan
dengan ARB untuk mencegah terjadinya stroke dan infark miokardium. Nguyen
et al., (2009) dalam penelitian meta analisis mengenai efek CCB monotherapi
pada ras black dan nonblack melaporkan bahwa CCB memiliki efektifitas yang
sama dalam menurunkan tekanan pada kedua ras. CCB terdiri dari 2 jenis yaitu
dihidropiridin dan nondihidropirin. CCB dihidropiridin memiliki efek
penghambatan kanal kasium di perifer. Nefedipin merupakan salah satu CCB
dihidropiridin yang tersedia dalam sediaan sustain release dan long acting
76
sehingga hanya perlu digunakan 1 atau 2 kali sehari yang dapat meningkatkan
kepatuhan pasien. Kepatuhan pasien sangat diperlukan dalam terapi hipertensi
karena obat hipertensi perlu digunakan secara teratur setiap hari untuk mengontrol
tekanan darah. Tekanan darah yang terkontrol akan mencegah terjadinya penyakit
lain yang dapat menurunakn kualitas hidup pasien. Dosis yang direkomendasikan
untuk nifedipin adalah 10 mg yang diminum 1 kali sehari (JNC 8, 2014; Dipiro,
2015).
Berdasarkan resep yang diterima oleh pasien berupa nifedipin dan kalk
(kalsium laktat), menurut drug interaction checker (2019) terdapat interaksi
moderat diantara kedua obat yang dapat menurunkan efektifitas nifedipin. Untuk
mengatasi masalah tersebut diperlukan adanya monitoring, selain itu dapat pula
dengan mengatur jadal minum obat. Menurut drug.com (2019), suplemen kalk
(kalsium laktat) sebaiknya diminum sebelum makan. Sehingga dengan adanya
perbedaan jadwal minum akan menurunkan resiko terjadinya interaksi.
Defisiensi kalsium
Defisiensi kalsium merupakan keadaan. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian suplementasi kalsium berupa kalk (kalsium laktat) dengan dosis 325-
625 mg diberikan 2-3 kali sehari dan direkomedasikan untuk diminum sebelum
makan (drug.com)
C. Monitoring Efek Samping Obat (ESO) dan KIE
Monitoring
Obat KIE
Keberhasilan Efek Samping
77
Resep 2
dr. Siti Farida Setyaningrum
Skrining Resep
1. Skrining Administrasi (Kelengkapan Resep)
Pada Resep
No Uraian
Ada Tidak
Inscription
Nama dokter
SIP dokter
Nomor telepon
Prescriptio
78
4 Nama Obat
5 Jumlah Obat
Signatura
6 Nama pasien
7 Umur pasien
8 Alamat pasien
Subscriptio
Kesimpulan
2. Skrining Farmasetis
3 Inkompatibilitas - Sesuai
79
3. Pertimbangan Klinis
Indikasi
Indikasi dan Dosis
No Nama Obat dan Dosis Kontraindikasi Keterangan
literatur
Resep
80
golongan H2RA ranitidin (Pionas, 2015)
yang bermanfaat diberikan
untuk mengatasi sebagai
tukak lambung. mencegah
Dosis yang terjadinya
direkomendasikan perdarahan
adalah 150 mg gastrointesti
diberikan 2x sehari nal akibat
(Dipiro, 2015). pemberian
NSID
berupa
meloxicam.
Aturan
pakai 2x
sehari 1
tablet
81
untuk mengatasi
gelisah pada
dewasa adalah 2
mg 3x sehari
(MIMS, 2019)
A. Assesment
B. Plan
1. Tujuan Terapi
Mengontrol kejang
Mengatasi nyeri
Mengatasi kegelisahan
1. Terapi Non – Farmakologi
Melakukan diet ketogenik untuk meningkatkan kesembuhan epilepsi dan
menjaga agar tidak terjadi serangan. Untuk mengatasi kegelisahan dapat
melakukan atur pernapasan dan yoga (NICE, 2018).
82
2. Terapi Farmakologi
Epilepsi
Epilepsi merupakan gangguan sistem saraf pusat akibat pola
aktivitas listrik otak yang tidak normal, sehingga menimbulkan keluhan
kejang, sensasi dan perilaku yang tidak biasa, hingga hilang kesadaran.
Gangguan pada pola aktivitas listrik otak saraf dapat terjadi karena
kelainan pada jaringan otak, ketidakseimbangan zat kimia di dalam otak,
atau kombinasi dari beberapa faktor penyebab tersebut (Dipiro, 2015).
Menurut NICE (2018), tatalakasana pasien epilepsi adalah
(NICE, 2018)
Berdasarkan diagram diatas maka diperlukan adanya terapi farmakologi
untuk pasien epilepsi. Pemilihan obat untuk terapi epilepsi didasarkan
pada jenis kejang yang dialami oleh pasien (NICE, 2018). Berkaitan
83
dengan keterbatasan data maka pemilihan terapi menggunakan obat yang
umum digunakan pada psaien epilepsi. Sebagai lini pertama terapi adalah
menggunakan agen antikonvulsan. Apabila agen konvulsan lini pertama
tidak efektif atau pasien tidak dapat menoleransi maka dapat diberikan
terapi adhunctive untuk menggantikan agen antikonvulsan tersebut (NICE,
2018). Berdasarkan resep dapat diperkirakan bahwa pasien kurang
mentolerasi agen antikonvulsan lini pertama sehingga dokter meresepkan
agen adjunctive. Salah satu agen adjunctive yang direkomendasikan oleh
NICE (2018) adalah gabapentin. Gabapentin merupakan agen
antikonvulsan yang termasuk dalam GABA mimetik, memiliki efektivitas
yang baik dan mampu ditolerasi oleh pasien dengan baik (Honarman et al.,
2011). Dosis yang direkomendasikan adalah 300 mg/ hari yang dapat
dititrasi hingga 900-1800 mg/hari selama 1-2 minggu (Honarman et al.,
2011).
Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya
atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan
kerusakan jaringan tersebut (HCANJ, 2017). Menurut Yam et al., (2018)
nyeri dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik dapat disebabkan oleh beberapa hal
salah satunya disebabkan oleh kejang yang terjadi padaa pasien epilepsi.
84
memiliki efektifitas yang baik, selain itu dengan t1/2 yang panjang dan
memiliki selektifitas terhadap COX-2 dapat menurunkan risiko terjadinya
efek samping berupa perdarahan pada saluran gastrointestinal (Kuritzky &
Samraj, 2012). Dosis yang direkomendasikan adalah 7,5-15 mg/hari
(Dipiro, 2015). Walaupun memiliki selektifitas terhadap COX-2 namun
meloxicam merupakan NSAID nonselektif yang bekerja dengan
menghambat COX-1. Penghambatan tersebut dapat menyebabkan
penghambatan sekresi prostaglandin. Sedangkan prostaglandin dibutuhkan
untuk memproduksi mukus yang bertujuan untuk melindungi saluran
gastrointestinal dari agen-agen yang berisfat iritatif salah satunya adalah
NSAID. Untuk mencegah hal tersebut maka dapat diberikan agen yang
daapat melindungi saluran gastrointestinal. Menurut NICE (2014) obat
golongan PPI memiliki efektifitas yang lebih baik dibandingkan dengan
obat golongan H2RA. Sedangkan dalam resep, obat yang digunakan
adalah ranitidine yang merupakan obat golongan H2RA. Sehingga
terdapat DRP berupa terapi kurang efektif. Untuk mengatasi DRP tersebut,
ranitidin diganti dengan obat golongan PPI berupa lansoprazol. Menurut
NICE (2014), lansoprazol merupakan PPI yang paling efektif
dibandingkan dengan PPI lainnya. Dosis lansoprazole yang
direkomendasikan adalah 30 mg 2x sehari selama 4 minggu (Dipro, 2015).
Gelisah (Anxietas)
Gelisah pada pasien epilepsi berkaitan kontrol kejang yang kurang baik,
prevalensi kasus gelisah pada pasien epilepsipun tinggi (Thapar et al.,
2009). Menurut Davidson (2009) agen yang digunakan untuk mengatasi
gangguan gelisah adalah antidepresan, antianxietas dan antipsykotik. Salah
satu obat antianxietas golongan benzodiazepin adalah diazepam.
Dibandingkan dengan agen lain diazepam memiliki efektifitas yang baik
dan memiliki efek antianxietas yang cepat. Efek antianxetas yang cepat ini
diakibatkan lipofilisitas yang tinggi sehingga terabsorbsi dan terdistribusi
cepat pada CNS dan memiliki t1/2 yang lama dibandingkan dengan obat
golongan benzodiazepine lainnya. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi kegelisahan adalah 2-40 mg/hari (Dipiro, 2015).
85
(Dipiro, 2015)
C. Monitoring Efek Samping Obat (ESO) dan KIE
Monitoring
Obat KIE
Keberhasilan Efek Samping
86
Resep 3
Skrining Resep
1. Skrining Administrasi (Kelengkapan Resep)
No Uraian Pada Resep
Ada Tidak
Inscription
Nama dokter
SIP dokter
Nomor telepon
Prescriptio
4 Nama Obat
5 Jumlah Obat
87
Signatura
6 Nama pasien
7 Umur pasien
8 Alamat pasien
Subscriptio
Kesimpulan
Resep tersebut belum lengkap dikarenakan tidak terdapat data pasien dan
paraf dokter
2. Skrining Farmasetis
3 Inkompatibilitas - Sesuai
3. Pertimbangan Klinis
88
urogenital, bakteri untuk dan Metronidazole
vaginosis, penyakit infeksi pada nitroimidazole dengan
radang panggul, gigi. Dosis lainnya ibuprofen
infeksi bakteri, pemberian (MIMS,2016) (Medscape,201
parasit, amoeba yang 500 mg 9).
ditujukkan pada 3xsehari 1
mulut dan tablet.
tenggorokan
(MIMS,2016). Dosis
maksimal untuk
infeksi gigi pada
dewasa sehari 2 gram
(Stahlberg et
al.,2015).
89
maksimal 3,2 g per
hari (MIMS,2016)
A. Assesment
Dental injuries DRP : Interaksi minor obat Pemantauan efek terapi ibuprofen
Metronidazole dengan
ibuprofen. Metronidazole akan
menurunkan efek dari
ibuprofen dengan
mempengaruhi metabolisme
enzim CYP2C9/10
(Medscape,2019).
B. Plan
1. Tujuan Terapi
- Membunuh mikroba pada gigi
- Menghilangkan rasa sakit pada gigi
- Menghilangkan bengkak
2. Terapi Non – Farmakologi
- Kompres Es Batu
- Kompres dengan air dingin atau hangat
- Sikat gigi secara teratur
- Penggunaan pasta gigi yang sesuai dengan kondisi gigi
- Memijat gusi apabila terjadi pembengkakan
3. Terapi Farmakologi
Dental Injuries merupakan cedera gigi yang biasanya diakibatkan setelah
proses pencabutan gigi. Dalam kasus ini, pencegahan kontaminasi bakteri
menjadi perhatian besar karena prognosisnya mungkin terpengaruh secara
dramatis, terutama ketika bakteri dapat mengakses situs cedera. Komplikasi yang
sering terjadi yaitu terjadinya inflamasi. (Egea et al.,2016)
90
(Egea et al.,2016)
Metronidazole merupakan antibiotik golongan nitroimidazole yang
memiliki aktivitas terhadap berbagai protozoa, bakteri Gram positif dan
bakteri Gram negative anaerob . (Bennet, 2008). Obat ini diindikasikan untuk
trikomoniasis urogenital, bakteri vaginosis, penyakit radang panggul, infeksi
bakteri, parasit, amoeba yang ditujukkan pada mulut dan tenggorokan
(MIMS,2016). Dosis pemberian metronidazole 400 mg setiap 8 jam
(PIONAS,2019), dengan dosis maksimal untuk infeksi gigi pada dewasa sehari
2 gram (Stahlberg et al.,2015).
(HCANJ, 2006)
Terapi pertama untuk nyeri ringan hingga sedang dipilih obat golongan
nonopioid seperti Parasetamol dan Ibuprofen (HCANJ, 2016), dipilih obat
Ibuprofen dikarenakan efeknya sebagai analgesik dan antiinflamasi, pada
parasetamol hanya analgesik (MIMS,2016). Sehingga untuk nyeri dan bengkak
dipilih Ibuprofen. Ibuprofen merupakan obat antiinflamasi nonsteroid yang
91
sering digunakan.Ibuprofen memiliki waktu paruh biologis yang pendek yaitu
lebih kurang dua jam sehingga perlu digunakan berulangkali dalam sehari. Dalam
bentuk tablet, pada umumnya digunakan dengan dosis 200 mg sampai 800 mg,
tiga sampai empat kali sehari (Hdisoewignyo dan Fudholi,2008). Obat ini
diindikasikan untuk nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada penyakit
gigi atau pencabutan gigi, nyeri pasca bedah, sakit kepala, gejala artritis
reumatoid, gejala osteoartritis, gejala juvenile artritis reumatoid, menurunkan
demam pada anak (PIONAS,2019). Dosis pemberian 400 – 800 mg 3 – 4 x sehari,
dengan dosis maksimal 3,2 g per hari (MIMS, 2016).
92
nekrosis atau kali sehari.
kegagalan hati),
sindrom Stevens-
Johnson, dermatitis
eksfoliatif, nekrolisis
epidermal toksik
(PIONAS, 2019)
Resep 4
Skrining Resep
1. Skrining Administrasi (Kelengkapan Resep)
No Uraian Pada Resep
Ada Tidak
Inscription
Nama dokter
SIP dokter
Nomor telepon
93
2 Tanggal penulisan resep
Prescriptio
4 Nama Obat
5 Jumlah Obat
Signatura
6 Nama pasien
7 Umur pasien
8 Alamat pasien
Subscriptio
Kesimpulan
2. Skrining Farmasetis
3 Inkompatibilitas - Sesuai
94
3. Pertimbangan Klinis
95
tonsilitis
(Medscape,2019).
Dosis pemberian
cefixime untuk
dewasa 200-400 mg
tiap 12 jam
(MIMS,2016).
96
A. Assesment
B. Plan
1. Tujuan Terapi
- Membunuh mikroba pada gigi
- Menghilangkan rasa nyeri pada gigi
- Menghilangkan bengkak
2. Terapi Non – Farmakologi
- Kompres Es Batu
- Kompres dengan air dingin atau hangat
- Sikat gigi secara teratur
- Penggunaan pasta gigi yang sesuai dengan kondisi gigi
- Memijat gusi apabila terjadi pembengkakan
3. Terapi Farmakologi
Periodontitis atau peradangan pada gusi merupakan penyakit parah
dengan gambaran klinis yang bermanifestasi pada peradangan gingiva, resesi
gusi, pembentukan kantong periodontal dengan konten patologis yang sesuai
dan penampilan kerutan subgingiva, gigi kendur dan migrasi gigi patologis.
Periodontitis menyebabkan kehilangan gigi sebagai komplikasi utama
penyakit. Terapi utama penyaki ini yaitu dengan pemberian antibiotik (Dukic
et al.,2016). Dalam kasus ini dipilih kombinasi antibiotik dikarenakan.
Kombinasi terapi antibiotik dapat mengurangi infeksi secara cepat terlebih
kombinasi yang digungakan antara spektrum luas dan sempit (Tobin,2017).
Metronidazole merupakan antibiotik golongan nitroimidazole yang
memiliki spektrum aktivitas yang terbatas meliputi berbagai protozoa,
97
bakteri Gram positif dan bakteri Gram negative anaerob . (Bennet, 2008).
Obat ini diindikasikan untuk trikomoniasis urogenital, bakteri vaginosis,
penyakit radang panggul, infeksi bakteri, parasit, amoeba yang ditujukkan
pada mulut dan tenggorokan (MIMS,2016). Dosis pemberian metronidazole
400 mg setiap 8 jam (PIONAS,2019), dengan dosis maksimal untuk infeksi
gigi pada dewasa sehari 2 gram (Stahlberg et al.,2015). Cefixime merupakan
antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga oral, mempunyai aktifitas
antimikroba terhadap kuman Gram positif maupun negatif termasuk
Enterobacteriacea. Pada pemberian secara oral, hampir 50% segera mencapai
konsentrasi bakterisidal dan menembus jaringan dengan baik (Hadinegoro et
al.,2011). Obat ini diindikasikan untuk infeksi yang dicurigai dari bakteri
E.coli; H.influenzae; N. Gonorrhoeae;P. Mirabilis; S.pneumoniae;
S.pyogenes;Enterobacteriaceae; Salmonella sp;Shigella sp, faringitis, dan
tonsilitis (Medscape,2019). Dosis pemberian cefixime untuk dewasa 200-400
mg tiap 12 jam (MIMS,2016).
98
penyebab sering terjadi yaitu penggunaan obat
infeksi pada gigi pusing, sakit kepala, dengan tepat
terbunuh dispepsia, diare, mual, untuk memberikan
muntah, nyeri efektivitas
abdomen, konstipasi, maksimal, yaitu
hematemesis, melena, metronidazole dan
perdarahan lambung, ibuprofen
ruam (PIONAS, 2019) diminum 3x sehari
1 tablet. Obat
Cefixime Mikroba Efek samping yang
metronidazole
penyebab berpotensi fatal yaitu
harus dihabiskan.
infeksi pada gigi diare dan kolitis yang
- Menghindari
terbunuh, gusi berhubungan dengan
makan – makanan
tidak bernanah Clostridium difficile
yang mengandung
(MIMS, 2016)
gula.
Asam Bengkak dan gangguan sistem darah - Rajin menggosok
mefenamat nyeri hilang dan limpatik berupa gigi minimal dua
agranulositosis, kali sehari.
anemia aplastika,
anemia hemolitika
autoimun, hipoplasia
sumsum tulang,
penurunan hematokrit,
eosinofilia,
leukopenia,
pansitopenia, dan
purpura
trombositopenia.
99
meningitis aseptik,
pandangan kabur;
konvulsi, mengantuk.
Diare, ruam kulit
(hentikan pengobatan),
kejang pada overdosis
(PIONAS, 2019).
Resep 5
Skrining Resep
1. Skrining Administrasi (Kelengkapan Resep)
No Uraian Pada Resep
Ada Tidak
Inscription
1 Identitas dokter, meliputi :
Nama dokter
SIP dokter
Nomor telepon
2 Tanggal penulisan resep
3 Tanda resep diawal penulisan resep
Prescriptio
4 Nama Obat
5 Jumlah Obat
Signatura
6 Nama pasien
7 Umur pasien
100
8 Alamat pasien
9 Aturan pakai obat
Subscriptio
10 Tanda Tangan/paraf dokter
Kesimpulan
Resep tersebut belum lengkap dikarenakan tidak terdapat identitas dokter
2. Skrining Farmasetis
No Kriteria Permasalahan Pengatasan
1 Bentuk Sediaan Pemberian amox tidak tepat Amoxicillin diberikan
jika dicampur dengan obat dalam bentuk sediaan
yang lain dalam bentuk sediaan terpisah
pulveres
2 Stabilitas Obat - Sesuai
3 Inkompatibilitas - Sesuai
4 Cara Pemberian - Sesuai
5 Jumlah dan Aturan Pakai - Sesuai
3. Pertimbangan Klinis
No Nama Obat Indikasi dan Indikasi dan Dosis Kontraindikasi Keterangan
Dosis literatur Resep
1 Paracetamo Obat ini Obat pada resep ini Hipersensitif
l syr diindikasikan ditujukkan sebagai terhadap
untuk pereda antipiretik untuk paracetamol,
nyeri dan menurunkan penderita
penurun demam demam anak gangguan hepar
(PIONAS, berat (MIMS,
2019). 2019).
2 Amoxicilli Obat ini Obat pada resep ini Hipersensitif Penggunaan
n diindikasikan ditujukan untuk terhadap antibiotik
sebagai menurunkan amoxicillin dan harus
antibiotik untuk demam turunan dilakukan
penyakit penicillin secara tepat
respirasi yang (MIMS, 2019).
disebabkan
bakteri, biasanya
ditandai dengan
demam > 3 hari
3. CTM Obat ini Obat ini ditujukan Hipersensitif
(Chlorphen diindikasikan untuk mengatasi terhadap CTM,
iramine untuk alergi, gejala alergi, penggunaan
Maleat) bekerja sebagai seperti batuk, pada neonatus
antihistamin. pilek, dan hidung (MIMS, 2019).
Dosis lazim tersumbat. Dosis
CTM untuk anak yang diberikan
usia 1-6 tahun dalam sediaan
adalah 1 mg pulveres untuk
setiap 6 jam-12 sekali minum
101
jam (BPOM, adalah 1 mg
2019).
4. GG Obat ini Obat ini ditujukan Hipersensitif
(Gliseril diindikasikan untuk mengatasi terhadap GG
Guaicolat) untuk gejala batuk (Drugs, 2019)
mengurangi berdahak. Dosis
gejala batuk, yang diberikan
bekerja sebagai adalah 60mg per
antitusif dan bungkus pulveres
ekspektoran.
Dosis lazim
untuk anak 2-6
tahun adalah 50-
100 mg setiap 8
jam (Depkes,
2006).
5. Vitamin B Obat ini Obat ini ditujukan Hipersensitif
kompleks diindikasikan untuk memelihara terhadap
sebagai kesehatan tubuh kandungan
suplemen. Dosis dan memenuhi vitamin B
lazimnya adalah kebutuhan vitamin kompleks
2-1 tablet sehari B. (MIMS, 2019).
(Drugs, 2019).
A. Assesment
Problem Medik Assesment Rekomendasi
Berdasarkan DRP : terapi kurang tepat (Amoxicillin) Amoxicillin tidak
obat yang Gejala common cold yang dialami pasien diberikan
diterima pasien, disebabkan oleh virus, sehingga pemberian
pasien antibiotik kurang tepat
mengalami
gejala selesma
(common cold)
B. Plan
1. Tujuan Terapi
• Meredakan demam
• Menghilangkan gejala batuk
• Menghilangkan gejala pilek
2. Terapi Non – Farmakologi
• Istirahat yang cukup
• Meningkatkan gizi makanan dengan protein dan kalori tinggi, seperti
ikan daging dan telur.
102
• Minum air yang banyak dan makan buah segar yang banyak
mengandung vitamin, misalnya jeruk, anggur, dan melon.
• Menghindari makanan yang merangsang tenggorokan (makanan dingin
atau berminyak), seperti gorengan, permen, es
• Konsumsi madu dan pelega tenggorokan dapat meringankan iritasi
tenggorokan dan dapat membantu mencegah batuk
• Menghirup uap air panas (dari semangkung air panas) untuk
mencairkan sekresi hidung yang kental supaya mudah dikeluarkan.
• Kompres dengan air hangat untuk meringankan demam
(Depkes RI, 2006)
3. Terapi Farmakologi
Problem medik: Selesma (Common cold)
103
Batuk pilek merupakan infeksi primer nasofaring dan hidung yang
sering menyerang anak maupun dewasa. Batuk pilek sebagian besar
disebabkan oleh rhinovirus, adenovirus, virus influenza, enterovirus, RSV,
dan coronavirus (Qdn, Edzdk and Penelitian, 2013). Penyebab lain infeksi
pernapasan akut adalah bakteri. Gejala yang paling banyak muncul adalah
batuk berdahak, hidung beriar, demam dan batuk kering (Qdn, Edzdk and
Penelitian, 2013). Berdasarkan ICSI (2017), penyakit pada saluran
pernapasan yang disebabkan karena virus perlu diterapi untuk mengatasi
simptom dan tidak memberikan antibiotik. Terapi yang dapat diberikan
kepada anak untuk mengatasi batuk pilek berupa terapi farmakologi dan
terapi non-farmakologi. Terkait terapi farmakologi yang dapat diberikan
berupa :
1. Antihistamin untuk menghambat kerja histamin yang menyebabkan
terjadinya reaksi alergi
2. Dekongestan untuk efek mengurangi hidung tersumbat
3. Antitusif/ekspektoran untuk menurunkan frekuensi batuk dan mendorong
pengeluaran dahak
4. Antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh saat terjadi demam
(Depkes RI, 2006).
104
ditujukan untuk menurunkan suhu tubuh anak. Kemudian pasien juga
mendapatkan terapi CTM (Chlorpheniramine Maleat) yang bekerja sebagai
antihistamin. Penggunaan antihistamin bertujuan untuk menghambat kerja
histamin yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi, berupa hidung
tersumbat, pilek, batuk. Selain itu, pasien juga mendapatkan GG (gliseril
guaicolat) yang merupakan ekspektoran untuk mengatasi batuk yang dialami
pasien. Menurut Depkes RI. (2006) dosis pemberian GG pada anak usia 2-6
tahun yaitu 50mg-100mg tiap 8 jam. Pasien menerima 3 tablet GG 200 mg
yang dibuat menjadi 10 bungkus pulveres dengan aturan pakai 3xsehari 1
bungkus pulveres,, sehingga dosis GG yang didapatkan pasien per bungkus
pulveres adalah 60 mg. Hal ini sesuai dengan dosis pemberian pada anak usia
2-6 tahun. Pasien mendapatkan terapi tambahan berupa vitamin B kompleks
yang ditujukan untuk membantu memelihara kesehatan tubuh. Gejala selesma
(common cold) yang dialami pasien disebabkan oleh virus, sehingga
pemberian amoxan tidak diperlukan.
C. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan KIE
Obat Monitoring KIE
Keberhasilan Efek Samping
Paracetam Suhu tubuh Mual, muntah, - Memberikan informasi terkait aturan pakai
ol syrup anak normal konstipasi dan jadwal minum obat pada keluarga
(36± 0,5oC) (MIMS, 2019). pasien karena pasien merupakan pasien
anak.
CTM Gejala pilek Sedasi, pusing,
reda atau pandangan - Memberikan saran untuk menambahkan
hilang kabur (MIMS, madu atau sirup saat memberikan obat pada
2019). anak untuk menutupi rasa obat yang pahit,
GG Gejala batuk Mual, muntah, sehingga dapat menghindari ketidakpatuhan
hilang diare, pusing, pasien dalam minum obat.
tapi jarang
terjadi - Memberikan motivasi pada keluarga pasien
(Drugs.com, untuk memberikan obat pada pasien anak
2019).
Vitamin B Gejala - - Memberikan konseling tentang apa yang
common harus dihindari dan dianjurkan saat anak
cold yang mengalami demam, batuk dan pilek, seperti
diderita menghindari makanan atau minuman yang
pasien dapat merangsang tenggorokan (gorengan,
reda/hilang permen, es)
105
Resep 6
Skrining Resep
1. Skrining Administrasi (Kelengkapan Resep)
No Uraian Pada Resep
Ada Tidak
Inscription
1 Identitas dokter, meliputi :
Nama dokter
SIP dokter
Nomor telepon
2 Tanggal penulisan resep
3 Tanda resep diawal penulisan resep
Prescriptio
4 Nama Obat
5 Jumlah Obat
Signatura
6 Nama pasien
7 Umur pasien
8 Alamat pasien
9 Aturan pakai obat
Subscriptio
10 Tanda Tangan/paraf dokter
Kesimpulan
Resep tersebut belum lengkap dikarenakan tidak terdapat SIP dokter
106
2. Skrining Farmasetis
No Kriteria Permasalahan Pengatasan
1 Bentuk Sediaan - Sesuai
2 Stabilitas Obat - Sesuai
3 Inkompatibilitas - Sesuai
4 Cara Pemberian - Sesuai
5 Jumlah dan Aturan Pakai - Sesuai
3. Pertimbangan Klinis
No Nama Obat Indikasi dan Dosis Indikasi dan Dosis Kontraindi Ketera
literatur Resep kasi ngan
1. Amoksan Obat ini Obat ini ditujukan Hipersensi Pengg
drop syrup diindikasikan untuk untuk menurunkan tif unaan
disentri yang ditandai demam dan terhadap antibio
dengan feses mengobati diare. amoxicilli tik
berdarah. Dosis yang Dosis yang n dan harus
dianjurkan untuk diberikan adalah turunan dilaku
anak <6bulan adalah 1ml tiap 8 jam penicillin kan
0,5-1 ml (Kemenkes (MIMS, secara
RI, 2011; MIMS, 2019). tepat
2019)
2. Zinc syrup Zinc diindikasikan Zinc diberikan - Pasien
sebagai suplemen untuk mengurangi berum
mineral dan penderita durasi diare dan ur 3
diare untuk tingkat keparahan bulan
mengurangi tingkat diare. Dosis yang
keparahan diare. diberikan adalah
Dosis yang 2,5mg/ hari.
direkomendasikan
untuk bayi <6 bulan
adalah 10mg/hari
selama 10 hari
(Kemenkes RI,
2011).
3. Lacto B Lacto B Lacto B diberikan -
diindikasikan sebagai untuk mengatasi
probiotik, dapat diare pada anak.
digunakan untuk Aturan pakai yang
atasi diare pada bayi diberikan adalah 2x
(MIMS, 2019). sehari 1 sachet
107
A. Assesment
Problem Medik Assesment Rekomendasi
Berdasarkan DRP : kebutuhan terapi tambahan (ORS) Terapi yang
obat yang Pada kasus penyakit diare, hal yang perlu direkomendasikan
diterima pasien, diperhatikan adalah terapi oral rehidrasi (ORS) adalah oralit, karena
pasien pasien, untuk mengganti cairan yang hilang dan mudah dalam
mengalami mencegah dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).. membuatnya
diare akut Sedangkan pasien belum diberikan terapi ORS .
DRP : terapi kurang efektif (Amoxsan drop ) Amoxsan drop tidak
Pasien diberikan antibiotik Amoxicillin, hal ini diberikan
kurang tepat karena pasien menderita diare biasa.
Amoxicillin hanya diberikan pada penderita
disentri yang ditandai dengan feses berdarah
B. Plan
1. Tujuan Terapi
• Mengganti cairan yang hilang dan mengembalikan keseimbangan
elektrolit
• Mencegah dehidrasi
2. Terapi Non – Farmakologi
•Memberikan ASI lebih sering pada bayi penderita diare
•Meminum cairan rehidrasil oral-oralit atau larutan gula & garam
•Merebus air sebelum diminum
•Menjaga kebersihan lingkungan
(Depkes RI, 2006)
3. Terapi Farmakologi
Problem medik: Diare
Diare didefinisikan sebagai buang air besar (BAB) dengan feses tidak
berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam
24 jam. Biasanya disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau parasit yang
108
sumber kontaminannya berasal dari makanan, air, atau tangan (Amin, 2015;
Wittenberg, 2012). Penatalaksanaan diare menggunakan prinsip LINTAS Diare
(Lima Langkah Tuntaskan Diare), yaitu:
1. Berikan oralit
2. Berikan suplemen Zinc selama 10 hari berturut-turut
3. Teruskan ASI
4. Berikan antibiotik secara selektif, hanya diindikasikan untuk diare
disentri
5. Berikan nasihat pada ibu/keluarga
Pasien diberikan resep berisi amoxsan sirup drop, sanmol sirup drop,
zinc sirup, dan lacto B. Diare yang dialami pasien merupakan diare akut
biasa, sehingga pemberian antibiotik Amoxicillin tidak diperlukan, karena
Amoxicillin diindikasikan untuk diare disentri yang ditandai dengan feses
berdarah (Kemenkes RI, 2011). Sedangkan suplemen zinc diberikan dengan
tujuan untuk mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi
frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan
kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan. Zinc tetap diberikan selama 10 hari
walaupun diare sudah berhenti Dosis yang direkomendasikan untuk bayi
berumur < 6 bulan adalah 10mg/hari (Kemenkes RI, 2011). Sedangkan
pasien berumur 3 bulan dan mendapatkan dosis Zinc 2,5mg/hari. Sehingga
aturan pakai Zinc sirup perlu diganti menjadi 10mg/hari.
Lacto B yang diberikan pada pasien merupakan probiotik yang
ditujukan untuk penderita gannguan gastrointestinal akibat virus. Pemberian
probiotik dapat menurunkan durasi lamanya diare (Anderson, 2009). Terapi
non farmakologi yang dapat diberikan untuk mengatasi diare pada bayi,
antara lain menjaga higienitas lingkungan dan personal dan memberikan ASI
lebih sering, karena dapat membantu memelihara hidrasi pasien, selain itu
pasien tidak diperbolehkan untuk meminum susu formula saat sedang
mengalami diare (Wittenberg, 2012).
109
C. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan KIE
Obat Monitoring KIE
Keberhasilan Efek Samping
Zinc sirup Berkurangnya - - Memberikan informasi terkait
frekuensi defekasi aturan pakai dan jadwal minum
(mencret) < dari 3x obat pada keluarga pasien karena
sehari, konsistensi pasien merupakan pasien anak.
Lacto B feses normal, tidak -
encer - Memberikan saran untuk
memberikan ASI pada bayi lebih
sering
Oralit Pasien tidak -
mengalami
dehidrasi
Resep 7
Kasus : Seorang pasien bernama Ny. Yanti berusia 27 tahun datang ke Apotek
Mentari Farma membawa sebuah resep dari Dokter.
Skrining Resep
1. Skrining Administrasi (Kelengkapan Resep)
No URAIAN PADA RESEP
110
ADA TIDAK
Inscription
Identitas Dokter
1 Nama Dokter √
2 SIP Dokter √
3 Nomer Telpon √
Invocation
Presciptio/Ordonatio
7 Nama Obat √
8 Jumlah Obat √
Signatur
9 Nama Pasien √
10 Umur Pasien √
11 Alamat Pasien √
Subsciptio
Kesimpulan :
111
Resep Belum Cukup Lengkap
2. Skrining Farmasetik
No. Kriteria Permasalahan Pengatasan
3 Inkompatibilitas - Sesuai
3. Pertimbangan Klinik
No Nama Obat Indikasi dan Dosis Indikasi Kontraindikasi Keterangan
Literatur dan Dosis
Resep
112
ciprofloxacin 2019). Serta
termasuk untuk interaksi obat
saluran kemih, metronidazole
(BPOM., 2008). dengan
Menurut Dipiro dexametason yang
(2015), Dosis yang dapat meningkatkan
direkomentasikan efektifitas
untuk ISK tanpa dexametason
komplikasi adalah 500 (Medscape,2019).
mg 2 x sehari
113
kortikosteroid yang an sebagai sistemik
dapat digunakan untuk Anti (Medscape,
Antiinflamasi dan inflamasi 2019).
imunosupresone
(International
myeloma foundation,
2018).
Dosis 2 mg 3 x sehari
(Medscape, 2019)
A. Assessment
Plan Penatalaksanaan
Problem Medik DRP dan Uraian DRP
DRP
114
anti-inlamasi. Pemberian
metronidazole dapat meningkatkan
efektifikat dexametason dan
menurunkan metabolism enzim
CP3A4 pada usus (Medscape,
2019)
B. Plan
1. Tujuan Terapi
a. Infeksi saluran kemih
- Mengurangi gejala ISK
- Menentukan terapi yang tepat bagi pasien ISK
- Mencegah berulangnya infeksi pada pasien ISK
b. Keputihan
- Mengurangi gejala vaginitis
- Menentukan terapi yang tepat pada pasien vaginitis
- Mencegah berulangnya infeksi pada pasien vaginitis
2. Terapi Nonfarmakologi
a. Infeksi saluran kemih
- Minum air putih yang banyak agar produksi urin yang dihasilnya
meningkat
- Membuang air kecil sesuai kebutuhan untuk membilas
mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra
- Menjaga kebersihan organ vital dengan baik
115
- Jangan menahan ketika ingin berkemih
(IDAI, 2011)
b. Keputihan
- Menjaga kebersihan organ vital dengan baik
- Mengganti celana dalam dengan rutin dan sebelum menggunakan
celana dalam sebaiknya dikeringkan menggunakan handuk atau
tissue
- Memilih sabun khusus vagina yang sesuai
(Yanti, 2014)
3. Terapi Farmakologi
Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman
atau mikroba tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih
dalam jumlah bermakna (IDAI, 2011). ISK merupakan penyakit
dengan kondisi dimana terdapat mikroorganisme dalam urin yang
jumlahnya sangat banyak dan mampu menimbulkan infeksi pada
saluran kemih (Dipiro, 2015). Menurut klasifikasi ISK dibagi
menjadi 2, yaitu ISK bawah dan ISK atas (Dipiro, 2015).
116
Menurut Dipiro (2015), rekomendasi terapi untuk infeksi
saluran kemih (ISK) adalah Trimethoprin-Sulfamethoxazole
(kotrimoksazol), Floroquinolon (Ciprofloxacin dan Levoflxacin),
dan β-lactam (Ceftriaxone dan Cefepime). Ciprofloxacin
merupakan antibiotik yang banyak digunakan sebagai terapi pada
pasien ISK. Ciprofloxacin merupakan obat pilihan kedua setelah
kotrimoksasol dengan resistensi E. coli > 20% pada terapi ISK.
Ciprofloxacin adalah antibiotik golongan flourokuinolon yang
bekerja dengan cara menghambat kerja DNA gyrase selama proses
pertumbuhan dan reproduksi bakteri (Kurniawati, 2012). Terdapat
beberapa hal yang harus di monitoring dari penggunaan obat
Floroquinolon yaitu, CBC, baseline serum creatinine, dan
BUN.Dosis yang direkomendasikan untuk Ciprofloxacin sebagai
terapi ISK adalah 500 mg 2 x sehari. Durasi Ciprofloxacin adalah 3
hari (Dipiro, 2015).
Vaginosis bakterial
Vaginosis bakterial (VB) adalah sindrom klinis akibat pergantian
Lactobacillus spp. VB merupakan penyebab paling sering dari
keluhan duh tubuh vagina dan keputihan yang bau, namun 50%
pasien VB tidak memberikan gejala apapun. VB dapat memberikan
komplikasi berupa infeksi traktus urinarius. Menurut Berry L
(2011), tatalaksana Vaginosis bacterial adalah
117
Berdasarkan resep yang diberikan dokter terhadap Ny. Desi
(27 thn), menutut Barry L (2011), rekomendari terapi untuk infeksi
akibat bakteri anaerob, vaginosis, trikomoniasis, amebiasis dan lain
sebagainya. Penatalaksanaan lini pertama VB pada wanita yang
tidak hamil adalah metronidazol 500 mg secara oral sebanyak dua
kali dalam satu hari selama 7 hari, atau metronidazol gel 0,75%,
satu aplikator penuh (5 g) intravagina, sekali sehari selama 5 hari
atau klindamisin krim 2%, satu aplikator penuh (5 g) intravagina
pada waktu tidur selama 7 hari. Regimen alternatif lainnya adalah
tinidazol 2 g secara oral sekali sehari selama 3 hari atau tinidazol 1
g secara oral sekali sehari selama 5 hari atau klindamisin 300 mg
secara oral dua kali sehari selama 7 hari atau klindamisin 100 mg
intravagina bentuk ovula sekali sehari pada waktu sebelum tidur 3
selama 3 hari. Hal ini sesuai dengan Pedoman Nasional
Penanganan IMS tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI
bersama KSMKI yaitu pada wanita yang tidak hamil dapat
diberikan metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal atau
metronidazol dua kali 500 mg selama 7 hari atau klindamisin 300
118
mg dua kali sehari 19secara oral selama 7 hari (Kemenkes RI,
2011).
C. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan KIE
Monitoring
Nama Obat KIE
Keberhasilan Efek Samping Obat
Resep 8
RS SIAGA MEDIKA
Nama Dokter: dr. Joyo Santoso
SIP :
Hari dan Jam Praktek :
Jadwal Praktek:
S1dd1
R/ HCT No. XV
S1dd1
Umur :
Alamat : Soekawera
119
Skrining Resep
1. Skrining Administrasi (Kelengkapan Resep)
PADA RESEP
No URAIAN
ADA TIDAK
Inscription
Identitas Dokter
1 Nama Dokter √
2 SIP Dokter √
3 Nomer Telpon √
Invocation
Presciptio/Ordonatio
7 Nama Obat √
8 Jumlah Obat √
Signatur
9 Nama Pasien √
10 Umur Pasien √
11 Alamat Pasien √
Subsciptio
120
13 Tanda Tangan/ Paraf Dokter √
Kesimpulan :
2. Skrining Farmasetik
3 Inkompatibilitas - Sesuai
121
3. Pertimbangan Klinik
A.Assessment
Obat dalam resep ini tidak terdapat Drug Related Problem (DRP).
Kombinas Nifedipin dan Hidroklorotiazid tersebut dapat menurunkan
secara signifikan tekanan darah pasien karena HCTZ dapat meningkatkan
aktivitas renin plasma (Shiga et al.,2017).
B. Plan
1. Tujuan Terapi
122
- Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan
hipertensi
- Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan
pilihan terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang
menunjukkan pengurangan resiko.
(Gabb et al.,2016
123
Terapi Hipertensi dimulai apabila tekanan darah pasien ≥140 mmHg. Pada
Pasien hipertensi tanpa mengalami komplikasi sebagai first line therapy dapat
diberikan obat golongan nhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE) atau
angiotensin-receptor blocker (ARBs), Calcium Channel Blocker (CCB) dan
diuretik thiazide baik sebagai monoterapi atau dalam beberapa kombinasi kecuali
kontraindikasi (Gabb et al.,2016). Dalam resep ini dipilih obat adalat adalat oros
yang mengandung nifedipine dikombinasikan dengan hidroklorthiazid. Kombinasi
kedua golongan tersebut dapat menurunkan secara signifikan tekanan darah pasien
karena HCTZ dapat meningkatkan aktivitas renin plasma (Shiga et al.,2017).
Nifedipine merupakan obat golongan CCB sedangkan Hidroklorthiazide
merupakan obat golongan diuretik thiazid yang keduanya memiliki efek
antihipertensi (PIONAS,2019). HCT diminum saat pagi hari dikarenakan
pengeluaran urin yang sering agar tidak mengganggu waktu istirahat pasien
Monitoring
Obat KIE
Keberhasilan Efek Samping
124
thrombositopenia, anemia
aplastik, anaemia hemolitik,
depresi sumsum tulang
belakang, reaksi
fotosensitivitas, ruam, reaksi
seperti cutaneous lupus
erythematosus,
reaktivasi cutaneous lupus
erythematosus, urtikaria,
vaskulitis, cutaneous
vasculitis, reaksi anafilaksis,
keracunan epidermal
nekrolisis, demam, penekanan
saluran pernafasan, gangguan
ginjal, nefritis interstisial,
kejang otot, lemas, gelisah,
kepala terasa ringan, vertigo,
paraesthesia, hipotensi
postural, kardiak aritmia,
gangguan tidur dan depresi
(PIONAS,2019)
125
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bidang manajemen di Apotek Mentari Farma sudah cukup baik, meliputi
a. Kegiatan pengadaan atau pemesanan barang dilakukan dengan cara
pengecekan buku defekta dan kartu stok, kemudian melakukan
pemesanan ke PBF resmi dan legal dengan melampirkan surat pesanan.
b. Penerimaan obat dilakukan sesuai dengan SOP Apotek Mentari Farma.
c. Pencatatan manajemen obat meliputi pencatatan di buku pembelian, buku
penjualan bebas, buku pencatatan swamedikasi, buku pencatatan resep,
buku layanan kefarmasian, catatan pelaporan prekursor, dan buku
defekta.
d. Penataan obat di Apotek Mentari Farma dilakukan berdasarkan golongan
obat, efek farmakologis, alfabetis, sifat khusus obat, dan prinsip FIFO
serta FEFO.
e. Penyimpanan obat di Apotek Mentari Farma dilakukan berdasarkan
alfabetis, efek farmakologis, sifat obat, dan bentuk sediaan. Penyimpanan
obat dilengkapi dengan kartu stok.
f. Pemusnahan di Apotek Mentari Farma dilakukan dengan mengumpulkan
obat yang telah kadaluarsa dalam 1 tempat dan dilakukan pemusnahan
bersama-sama di dinas kesehatan.
2. Bidang administrasi di Apotek Mentari Farma sudah cukup baik, yaitu
meliputi kelengkapan resep, pembuatan copy resep, pembuatan etiket, dan
penyimpanan resep.
3. Bidang Pelayanan Kefarmasian yang ada di Apotek Mentari Farma sudah
cukup baik, meliputi Pelayanan Resep, Pelayanan Swamedikasi,
Dispensing Obat, Konseling, dan PIO, namun masih perlu dikembangkan
dalam bidang MESO, dan Home Pharmacy Care.
126
B. Saran
1. Untuk Apotek Mentari Farma :
Menjaga kualitas pelayanan, apotek melakukan pelatihan dan pembinaan
serta evaluasi berkala bagi semua karyawan.
127
Daftar Pustaka
Amin, L.Z. 2015. Tatalaksana Diare Akut. CDK-230/ vol. 42 no. 7. Jakarta.
Anderson, Evan J. 2009. Prevention and Treatment of Viral Diarrhea in
Pediatrics. Expert Rev Anti Infect Ther 8(2), 205-217
Andries S C., 2016, Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Anak Yang
Mengalami Gingivitis Erupsi Pada Siswa Kela I-VI SD IT Ar-Rahmah.
Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin, Makassar.
Becker M. 2016. Treatment of Acute Gout.
http://www.uptodate.com/contents/treatment-of-acute-gout. Diakses
tanggal 10 Februari 2019.
Bendtsen, L., Evers, S., Linde, M., Mitsikostas, D. D., Sandrini, G., & Schoenen,
J. 2010. EFNS guideline on the treatment of tension‐type headache–Report
of an EFNS task force. European journal of neurology, 17(11), 1318-1325.
Bennet PM. 2008. Plasmid encoded antibiotic resistance: acquisition and transfer
of antibiotic resistance genes in bacteria. British Journal of
Pharmacology. 153. 347–57.
Berry L. et al.,2011, Vaginitis: Diagnosis and Treatment, American Academy of
Family Physicians, Medical University of South Carolina, Charleston,
South Carolina.
Bogadenta, A. 2012. Managemen Pengelolaan Apotek. D-Medika. Yogyakarta
BPOM RI.2013. Peraturan Kepala BPOM Nomor 40 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung
Prekursor Farmasi. BPOM. Jakarta
BPOM RI. 2018. Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 4
Tahun 2018 Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi Di Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian. BPOM. Jakarta.
BPOM. 2019. Chlorpheniramine Maleat. www.ik.pom.go.id diakses pada tanggal
11 Februari 2019
Center for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted diseases
treatment guidelines. MMWR Morb Mortal Wkly Rep; 2010; p.56-8.
Diakses tanggal 11 Februari 2019.
128
Crofford, L. J. 2013. Use of NSAIDs in treating patients with arthritis. Arthritis
research & therapy, 15(3), S2.
Dalbeth, Nicola, Merriman Tony R., Stamp Lisa K. 2016. Gout. Thelancet. pp.1-
14.
Davidson, J. R. 2009. First-line pharmacotherapy approaches for generalized
anxiety disorder. The Journal of clinical psychiatry, 70(suppl 2), 25-31.
Davis F. A Company, 2015, Ciprofloxacin, PT. Ikhapharmindo Putra Mas,
Pharmaceutical Laboratories, Jakarta.
Depkes RI. 2004. Pharmaceutical care. Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Depkes RI. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Ibu Hamil dan Menyusui.
Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2016. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Dipiro, J.T., Robert L.T., Gary R.M., Barbara G.W., dan Michael P. 2009.
Pharmacotherapy 7th Edition. Mc. Graw Hill. New York
Dipiro. 2015. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 9ed. McGraw-
Hill Education Companies. UK
Driel, Van L Mieke, Sophie,Laura, dan Phillpie. 2018.What Treatments are
Effective for Common Cold in Adults and Children. Practice. Vol 3(2).
Drugs. 2019. Drug Interaction Checker. www.drugs.com diakses pada tanggal 11
Februari 2019
Dukic, Smiljka , Stevo Matijevic, Dragana Dakovic , Tatjana Cutovicc.2016.
Comparison of cefixime and amoxicillin plus metronidazole in the
treatment of chronic periodontitis. Vojnosanit Pregl . 73(6): 526–530.
Egea, J. J. Segura, K. Gould, B. Hakan S , P. Jonasson4 , E. Cotti , A. Mazzoni,
H. Sunay , L. Tjaderhane & P. M. H. Dummer. 2016. Antibiotics in
Endodontics: a review. International Endodontic Journal. Vol. 50 :1169–
1184.
Gazoni, F. M., Malezan, W. R., & Santos, F. C. 2016. B complex vitamins for
analgesic therapy. Revista Dor, 17(1), 52-56.
129
Gierthmühlen & Baron. 2016. Pearls and Pitfalls: Neuropathic Pain. Semin
Neurol. Vol 36, pp. 462–468.
Guadalini, Stefano. 2017. Diarrhea Treatment and Management. Medscape.
Emedicine.medscape.com diakses pada tanggal 10 februari 2019.
Hadinegoro, Rezeki, Timbelaka, dan Satari, Irawan. 2011. Pengobatan Cefixime
pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri. Vol 2(4):182-187
Hadisoewignyo, Lani dan Fudholi, Achmad. 2008. Studi pelepasan in vitro
ibuprofen dari matriks xanthan gum yang dikombinasikan dengan suatu
crosslinking agent. Majalah Farmasi Indonesia. 18(3) :133 – 140
Hartini, Yustina, S. 2009. Relevansi Peraturan Dalam Mendukung Praktek Profesi
Apoteker di Apotek. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. VI, No. 2, Hlm: 97-
106.
Hartono, H. 2003. Manajemen Apotik. Depot Informasi Obat. Jakarta
HCANJ. 2017. Health Care Association of New Jersey : Pain Management
Guideline. Hamilton
Hill, David R., Edward T Ryan. 2008. Management of traveller’s of diarrhoea.
BMJ. Vol 337. Boston,USA.
ICSI. 2017. Health Care Guideline Diagnosis and Treatment of Respiratory Illness
in Children and Adults Fifth Edition. Institute for Clinical Systems
Improvement
IDAI, 2011, Kumpulan Tips Pediatri, Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
JNC 8. 2014. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the
Eighth Joint National Committee (JNC 8). Jama, 311(5), 507-520.
Kemenkes RI.2017. Peranturan Menteri Ksehatan Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2017 Tentang Apotek. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Kemenkes R.I. 2016. Permenkes Nomor 73 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Kementerian kesehatan RI. 2011. Data dan Informasi Kesehatan. ISSN 2088-
270X. Jakarta.
130
Khanna et al. 2012. Guidelines for Management of Gout. Part 1: Systematic
Nonpharmacologic and Pharmacologic Therapeutic Approaches to
Hyperuricemia. American College of Rheumatology. Vol. 64, No. 10, pp.
14311446
Khanna et al. 2012. Guidelines for Management of Gout. Part 2: Therapy and
Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis. American
College of Rheumatology. Vol. 64, No. 10, pp. 1447-1461
Koda-kimbel. 2015. Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 10 ed.
Philadelphia. USA
Kötter, T., da Costa, B. R., Fässler, M., Blozik, E., Linde, K., Jüni, P., ... &
Scherer, M. 2015. Metamizole-associated adverse events: a systematic
review and meta-analysis. PLoS One, 10(4), e0122918.
Kuritzky, L., & Samraj, G. P. 2012. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs in the
treatment of low back pain. Journal of pain research, 5, 579.
Lenaerts, M. E. 2009. Pharmacotherapy of tension-type headache (TTH). Expert
opinion on pharmacotherapy, 10(8), 1261-1271.
Medscape, 2019, Cefixime, https://reference.medscape.com/Cefixime/, diakses
pada tanggal 11 Februari 2019.
Medscape, 2019, Metronidazole, https://reference.medscape.com/Metronidazole/,
diakses pada tanggal 11 Februari 2019.
Medscape. 2019. https://reference.medscape.com Diakses pada tanggal 11
Februari 2019
MIMS. 2019. Monthly Index of Medicinal Specialities.
www.mims.com/indonesia. Diakses tanggal 11 Februari 2019
National Institute for Health and Care Excellence.2014. Dyspepsia and gastro-
oesophageal reflux disease: investigation and management of dyspepsia,
symptoms suggestive of gastro-oesophageal reflux disease, or both.
National Institute for Health and Care Excellence.
Nguyen, T. T., Kaufman, J. S., Whitsel, E. A., & Cooper, R. S. 2009. Racial
differences in blood pressure response to calcium channel blocker
monotherapy: a meta-analysis. American journal of hypertension, 22(8),
911-917.
131
NHS. 2016. NHS : Adult Paint Management Guideline. UK
NICE. 2015. NICE: headache Guideline. NICE. UK
NICE. 2018. Epilepsies: diagnosis and management. UK
NPC. 2012. Pain : Current Understanding of Assesment Management and
Treatments. National Pharmacetical Council
Oscar, Lydianita dan Muhammad Jauhar. 2016. Dasar-Dasar Manajemen
Pionas. 2015. Pionas.pom.go.id diakses 11 februari 2019
Pionas.2019. pionas.pom.go.id diakses 11 februari 2019
Qdn, S., Edzdk, G. L. and Penelitian, M. 2013. Profil Penggunaan Obat Bebas
Batuk Pilek pada Pasien Dibawah Umur 6 Tahun. 14(6).
132
Sukarmin, Sujono Riyadi. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan
Gangguan Eksokrin&Endokrin pada Pankreas. Graha Ilmu. Yogyakarta
Thapar, A., Kerr, M., & Harold, G. 2009. Stress, anxiety, depression, and
epilepsy: investigating the relationship between psychological factors and
seizures. Epilepsy & Behavior, 14(1), 134-140.
Tse, H. N., & Tseng, C. Z. S. 2014. Update on the pathological processes,
molecular biology, and clinical utility of N-acetylcysteine in chronic
obstructive pulmonary disease. International journal of chronic obstructive
pulmonary disease, 9, 825.
Tubin, J.,Erick. 2017. Recent Coating Development Combination Devices in
Orthopedic and Dental Applications : A Literature Review. Advanced
Drug Delivery Reviews. Vol 112 : 88-100
Wittenberg, D.F. 2012. Management Guidelines for Acute Infective
Diarrhoea/Gastroenteritis in Infants. South African Medical Journal Vol.
102 No. 02
Wu, L., Deng, S. B., & She, Q. 2014. Calcium Channel Blocker Compared With
Angiotensin Receptor Blocker for Patients With Hypertension: A
Meta‐Analysis of Randomized Controlled Trials. The Journal of Clinical
Hypertension, 16(11), 838-845.
Yanti, S, Angrina, Elita, V., 2014, Hubungan Pengetahun Remaja Putri Tentang
Menstruasi Terhadap Perilaku Higienis Pada Saat Menstruasi, Jom PSIK,
1(2): 34-42.
Yam, M., Loh, Y., Tan, C., Khadijah Adam, S., Abdul Manan, N., & Basir, R.
2018. General Pathways of Pain Sensation and the Major Neurotransmitters
Involved in Pain Regulation. International journal of molecular sciences,
19(8), 2164.
133
LAMPIRAN LAMPIRAN
134