Anda di halaman 1dari 6

SUMBER : MILIST BALITA-ANDA sumber: http://www.tempo.co.id/medika/arsip/022002/pus-1.htm by: G.M. AMAN (Lab.

Farmakologi FK UNUD ) PENDAHULUAN Pemberian polifarmasi pada pasien tidak saja menjadi problema di negara-negara yang sedang berkembang, tapi juga merupakan masalah yang cukup serius di negara yang telah maju. Banyak obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit pasien diberikan pada pasien, yang tentu saja merupakan pemborosan dan meningkatkan insiden penyakit karena obat. Dalam suatu survei di Zimbabwe, dokter Raymond mendapatkan banyak dokter di Zimbabwe memberikan obat sampai 14 jenis. Tujuh jenis di antaranya sebenarnya tidak diperlukan sama sekali oleh pasien, sedangkan tiga jenis obat lainnya diberikan untuk melawan efek samping obat lain(1). Selain itu, dalam sebuah workshop tentang Penggunaan Obat Rasional di Pakistan terungkap masih banyak terdapat pemberian obat secara polifarmasi dengan perkiraan rata-rata 3,6 jenis obat per satu resep(2). Dalam sebuah survei di Denpasar juga didapatkan 84,4% resep yang diberikan pada pasien anak mengandung lebih dari 4 jenis zat aktif(3). Faktor penyebab dari pemberian obat secara polifarmasi tidak saja terletak pada dokter sebagai pemberi obat, tapi juga pada sediaan obat yang ada, yang memang sudah dalam bentuk polifarmasi. Sediaan obat dalam bentuk polifarmasi masih banyak dipasarkan di Indonesia, seperti sirup obat batuk, sirup obat flu, juga ada dalam bentuk tablet yang mengandung 4 sampai 6 bahan aktif. Dokter seringkali terjebak kalau kurang hati-hati, karena kurang hafal pada kandungan sediaan obat polifarmasi. Di samping penyebab di atas, penggunaan polifarmasi juga bisa disebabkan oleh faktor pasien. Beberapa pasien kadang-kadang minta supaya setiap gejala yang dirasakannya diberikan obat secara tersendiri, misalnya pasien minta obat sakit kepala, obat nyeri badan, atau obat demam. Padahal, sebenarnya semua gejala tersebut dapat diatasi dengan satu jenis obat karena semua gejala yang dideritanya merupakan kumpulan gejala dari suatu penyakit. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa jenis polifarmasi yang sering ditemukan dalam praktik, dan beberapa jenis sediaan polifarmasi yang beredar di pasaran Indonesia. JENIS POLIFARMASI YANG DIBERIKAN Beberapa jenis polifarmasi yang sering diberikan ialah: KOMBINASI ANTARA DUA JENIS OBAT ATAU LEBIH YANG MEMPUNYAI EFEK YANG SAMA ATAU MIRIP UNTUK MENGOBATI SATU SIMPTOM Seringkali parasetamol dikombinasi dengan salicylamide dan acetylsalicylic acid untuk mengobati pasien demam. Ketiga obat ini termasuk golongan antipyretic analgetic yang digunakan untuk menghilangkan demam dan rasa

nyeri. Tujuan utama kombinasi obat sebenarnya untuk tercapainya potensiasi dan menurunkan efek samping obat. Tapi, contoh kombinasi di atas tidak menunjukkan adanya tujuan tersebut, malah menimbulkan efek samping yang lebih banyak, yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing obat. Jenis kombinasi seperti ini tidak saja ditulis secara tersendiri oleh dokter, tapi juga telah ada sediaan obat dalam bentuk kombinasi tetap seperti kombinasi antara parasetamol dengan salicylamide, antara acetyl salicylic acid dengan parasetamol, atau antara metampyron dengan salicylamide. Kombinasi analgesik ini tidak memberikan keuntungan secara nyata, malah mungkin dapat menimbulkan bahaya dan yang jelas harganya akan menjadi lebih mahal. Menggunakan kombinasi analgesik juga akan mengkombinasi efek samping masing-masing kelas analgesik sebagai konsekuensinya. Kombinasi ini lebih sering menyebabkan kerusakan ginjal daripada penggunaan secara tunggal. Banyak lagi contoh-contoh polifarmasi yang tersedia dalam bentuk kombinasi tetap seperti obat reumatik, obat batuk, obat diare, obat asma bronkhiale, dsb yang dianggap tidak rasional dan mengundang lebih bayak timbulnya efek samping. MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD MENGURANGI ATAU MENGHILANGKAN EFEK SAMPING OBAT UTAMA Sama seperti contoh di atas, kombinasi sejenis ini tidak saja ditulis secara tersendiri oleh dokter, tapi juga tersedia dalam bentuk kombinasi tetap. Obat anti rheumatic (anti inflamasi) secara umum dapat menimbulkan iritasi mukosa lambung, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui proses penekanan synthese prostaglandin. Untuk mengurangi efek iritasi ini maka obat anti rheumatic ini dikombinasi dengan antasida, antagonis reseptor H2 (cimetidine, ranitidine), proton pump inhibitor (PPI), atau dengan derivate PGEI (misoprostol). Tujuan kombinasi obat di sini ialah mengurangi efek samping obat utama, tidak mengharapkan terjadinya potensiasi, tapi mengabaikan proses interaksi obat yang dikombinasi, yang mungkin saja mengurangi efek obat utama. Dalam hal ini, obat kombinasi yang diberikan juga mempunyai efek samping dan kemungkinan lebih besar daripada obat utama. Kalau demikian halnya, maka akan berderet jumlah obat yang fungsinya menghilangkan efek samping obat lainnya, tapi justru akan menambah efek samping yang baru, sehingga akhirnya menyimpang dari tujuan pengobatan semula. Selain contoh obat kombinasi di atas, masih banyak lagi ditemukan di pasaran obat kombinasi yang sejenis. Misalnya, efek ngantuk Chlorpheniramine maleate dihilangkan dengan cafein, efek insomnia dari Aminophyline atau ephedrine dengan phenobarbital. MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD MENINGKATKAN ABSORPSI (RATE OF

ABSORPTION AND EXTEND OF ABSORPTION) OBAT UTAMA Secara klinis, kombinasi ini ada yang bermakna dan ada pula yang tidak bermakna. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan tentang efikasi obat, risk/benefit ratio, dan tentu saja harga. Contoh yang menarik ialah kombinasi antara parasetamol dengan metoklopramid. Metklopramid mempengaruhi rate of absorption paracetamol sehingga puncak konsentrasi parasetamol dalam darah cepat dicapai. Tetapi, tidak mempengaruhi extend of absorption, sehingga jumlah parasetamol yang terdapat dalam darah tidak berubah. Efek yang sama efektifnya akan didapat dengan memberikan parasetamol dosis yang agak lebih tinggi. Kalau dipertimbangkan secara cost/benefit ratio maka didapat bahwa kombinasi antara metoklopramid dan parasetamol sama efektifnya dengan parasetamol dosis agak tinggi dengan harga yang jauh lebih murah dan tidak menambah efek samping obat. Berbeda halnya dengan kombinasi antara ergotamin dengan kafein. Ergotamin sulit diabsorpsi di saluran cerna sehingga untuk membantu absorspsinya (rate & extend of absorption) setiap 1 mg ergotamin/dikombinasi dengan 100 mg cafein. Kombinasi ini akan mempercepat dan memperbanyak absorpsi ergotamin (4). Walaupun kombinasi ini secara cost/benefit ratio menguntungkan, tapi tetap dianggap kurang rasional, karena ada cara pemberian yang lebih efektif, yaitu pemberian secara intravena atau intramuskuler. MEMBERIKAN KOMBINASI OBAT YANG TAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN KINETIK DAN DINAMIK OBAT SERTA DENGAN PENYAKIT PASIEN. Kombinasi antara metampiron dengan vitamin neurotropik (B1, B2, B6, B12) banyak beredar di pasaran yang dikemas alam bentuk kombinasi tetap. Indikasi utama pemberian vitamin adalah penderita defisiensi vitamin(5). Vitamin neurotropik ini tidak menyembuhkan mialgia, sefalgia, ataupun atralgia dan pemberiannya pada pasien yang tak memerlukan akan membuang-buang obat dan uang. Contoh lain ialah pemberian antara antasid dengan tranquilizer seperti diazepam atau klordiazepam pada pasien yang menderita gastritis. Tranquilizer bukan obat gastritis, tapi obat penenang yang diberikan pada pasien yang mengalami ansietas. Tidak menjadi masalah kalau pasiennya juga menderita ansietas, tapi kalau tidak maka diazepam atau klordiazepoksid yang diberikan akan menjadi mubazir. Malah akan menambah efek samping atau menimbulkan masalah ketergantungan. MEMBERIKAN OBAT LEBIH DARI 3 JENIS DALAM SEKALI PEMBERIAN, JUGA TERMASUK KATEGORI POLIFARMASI. Pemberian obat jenis ini sering diberikan pada pasien dengan banyak keluhan atau memang menderita banyak penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi,

hiperkolesterolemia, dan rheumathoid arthritis. Dalam keadaan seperti ini, dokter harus bijaksana dalam mempertimbangkan dan menentukan penyakit dasarnya serta penyakit yang merupakan komplikasi penyakit dasar. MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN TUJUAN TIMBULNYA EFEK POTENSIASI. Pemberian kombinasi obat ini sering dilakukan pada antibiotika, baik secara kombinasi tetap atau tidak tetap. Sampai saat sekarang, hanya ada dua jenis antibiotika kombinasi tetap yang benar-benar bermakna secara klinik dan diakui oleh WHO, yaitu kotrimaksazol (kombinasi antara trimethoprim dengan sulfametoksazol) dan koamoksiklaf (kombinasi antara amoksilin dengan asam klavulonat). Sedangkan kombinasi lainnya harus dapat dibuktikan secara laboratoris sebelum dipakai. Kombinasi jenis ini juga sering dilakukan pada analgesik, terutama kombinasi dengan kafein. Banyak orang menganggap bahwa kafein adalah suatu analgesik yang poten dan dapat meningkatkan efek analgesik obat lain. Namun belum ada bukti penelitian yang menunjang pernyataan tersebut. SEDIAAN OBAT POLIFARMASI Tersedianya sediaan obat polifarmasi banyak memberi andil pada pemberian obat secara polifarmasi. Sirup batuk bahkan ada yang mengandung 6 zat aktif, seperti difeenhidramin, amonium klorida, mentol, alkohol, natrium sitrat, dan dekstrometorfan. Yang paling tidak rasional terlihat dalam antara ekspektoran (amonium klorida, natrium sitrat) dengan antitusif dekstrometorfan(6). Harus diingat bahwa batuk merupakan proses fisiologi untuk mengeluarkan dahak atau lendir yang mengental pada bronkhus pada jenis batuk yang produktif. Kalau dikombinasi dengan antitusf maka batuk akan terhenti dan dahak dan lendir yang kental tidak bisa keluar dengan lancar. Sedangkan antitusif hanya digunakan pada pasien yang batuk nonproduktif yang sampai mengganggu tidurnya. Kalau diperhatikan maka sediaan obat batuk di atas banyak mengandung zat aktif yang sebenarnya tidak diperlukan. Ada pula sediaan obat flu yang mengandung 6 bahan aktif dalam satu tablet, yaitu parasetamol, salisilamid, phenylpropanolamine (PPA), dekstrometorfan, klorfeniramin, dan kafein. Obat flu ini dibuat untuk pasien flu dengan gejala demam, hidung buntu, batuk, alergi dan ngantuk. Kombinasi ini maksudnya ada untuk menguatkan obat lainnya. Ada pula yang bertujuan untuk menghilangkan efek samping obat utama. Kalau semua gejala ada pada pasien, mungkin obat kombinasi ini cocok dan pas untuk pasien ini. Tetapi, kalau pasien hanya demam dan hidung buntu maka bahan aktif lainnya seperti dektrometorfan, klorfeniramin, dan kafein menjadi mubazir, tidak diperlukan, dan dapat menimbulkan efek samping obat. Ada pula sediaan obat untuk asma bronkial yang terdiri dari prednisolon, efedrin, teofilin, fenobarbital, dan klorfeniramin maleat(7). Penderita asma bronkial yang ringan cukup diberikan efedrin dan teofiline, sedangkan penggunaan prednisolon seharusnya diberikan pada pasien yang mengalami

status asthmaticus atau pasien dengan eksaserbasi akut yang berat(8). Pemberian fenobarbital malah merupakan indikasi kontra pada pasien asma bronkial karena dapat menyebabkan depresi nafas dan spasme bronkhus yang menambah sesaknya pasien(9). Begitu juga pemberian klorfeniramin maleat suatu antihistamin yang mempunyai efek antikolinergik (atropin like effect) merupakan indikasi kontra pada pasien asma bronkhiale, karena dapat mengentalkan cairan lendir bronkhus sehingga pasien bertambah sulit bernapas. Selain sediaan obat seperti disebutkan di atas, di bawah ini beberapa contoh sediaan obat polifarmasi yang tidak rasional seperti: (a) obat antasid tersedia dalam bentuk kombinasi antara magnesium trisikat, alumunium hidrosid, papaverin HCl, klordiazepoksid, vitamin B1, B2, B6, B12 kalsium pantothenat, nikotinamid; (b) obat anti asma yang terdiri dari ekstrak belladona, efedrin, kafein, parasetamol, teofilin, khlorfeniramin, (c) obat antikolik yang terdiri dari metampiron, salisilamid, fenobarbital, cafein, hiosin N, metilbromide, (d) obat analgesik yang terdiri dari metampiron, khlordiazepoksid, diazepam, vitamin B1, B2, B6, B12, kafein, (e) obat anti reumatik yang terdiri dari prednisolon, sulfirin, fenilbutazone, magnesium trisilicate(7). Dari contoh di atas, terlihat banyak penggunaan kafein. Kafein bukanlah suatu analgesik atau antiinflamasi, juga tidak dapat memperkuat efek analgesik atau anti inflamasi obat lain. Malah, ia dapat meningkatkan efek iritasi aspirin terhadap lambung. RESIKO YANG DIHADAPI Semakin banyak bahan aktif yang diminum oleh pasien, semakin banyak kemungkinan efek samping yang akan timbul. Kalau pasien ternyata alergi obat, sulit untuk menentukan bahan aktif yang mana sebagai penyebab alerginya. KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan seperti berikut: 1. Pemberian obat secara polifarmasi lebih banyak ruginya daripada untungnya bagi pasien. 2. Banyak bahan obat aktif yang mubazir sehingga timbul pemborosan obat dan uang. 3. Kemungkinan timbulnya interaksi obat semakin besar. 4. Kemungkinan timbulnya efek toksik dan efek samping serta penyakit karena obat semakin meningkat. SARAN Supaya pengobatan lebih mendekati rasional maka disarankan hal-hal berikut: 1. Sediaan obat polifarmasi harus dikurangi di pasaran. 2. Sediaan obat kombinasi tetap yang dalam bentuk polifarmasi sebaiknya yang bersifat potensiasi dengan harga yang tidak lebih mahal dari masing-masing

komponen. 3. Obat sirup batuk atau sirup obat flu sebaiknya berisi tidak lebih dari 3 bahan aktif. 4. Kurangi penjualan obat bebas (over the counter). 5. Promosi obat harus dibatasi. Sebaiknya dilakukan oleh medical representative yang terlatih, dan tidak lagi lewat media masa, radio, serta televisi. 6. Para dokter harus mengetahui dan memahami kandungan obat kombinasi yang diresepkan. Jangan meresepkan obat yang belum diketahui kandungannya. 7. Pemakaian obat harus tetap berpegang pada paling sedikit 4 faktor, yaitu efficacy khasiat obat, safety keamanan obat, suitability kesesuaian obat pada pasien, dan cost harga obat sehingga dapat dipilih obat yang efektif, aman, tidak ada indikasi kontra, serta harganya dapat dijangkau masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. Raymond T. Mossop. Essential Drugs Monitor No. 21,1996 2. Rational drug use workshop for universities in Pakistan. Essential Drugs Monitor No. 16,1993 3. Aman G.M. Polypharmacy in pediatric practice in Denpasar. Majalah Kedokteran Udayana Vol.31, No. 109, Juli 2000 4. Burkhalter A, Julius D.J, Katzung B.G. Clinical pharmacology of ergot alkaloids in Basic & Clinical Pharmacology a Lange Medical Book, seventh edition. Edited by Bertram G Katzung MD, PhD, 1998 5. Chetley A. Vitamine preparation. Problem Drugs, Amsterdam, Health Action International, 1993 6. Chetley A. Cough and cold preparations. Problem drugs, Amsterdam, Health Action International, 1993 7. IIMS, 1994 8. Xaliner .M.A, Barnes P.J, Persson CLG.A. Asthma, Its Pathology and Treatment, Vol. 49, 195) 9. Hartog R. Barbitutate Combinations, risks without benefits. Essential Drugs Monitor No. 16.1993

Anda mungkin juga menyukai