Anda di halaman 1dari 24

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK BERDASARKAN METODE

ATC/DDD DAN DU 90% DI DUA PUSKESMAS KOTA JAMBI PERIODE

2017- 2018

NAMA : WAHYU PERDAKA

NIM : 1548201056

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan permasalahan dan

ancaman global bagi kesehatan terutama tingginya resistensi bakteri terhadap

antibiotik (Sholih, 2015). Resistensi ini dipicu dengan penggunaan antibiotik

yang sangat tinggi hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan

komsumsi antibiotik dari tahun 2000 hingga tahun 2015 sebanyak 65% dan

penisilin antibiotik yang paling umum digunakan meningkat 36%. Kemudian

dalam data Low and Middle Income Countries (LMICs) sefalosporin meningkat

399%, kuionolon 125%, dan makrolida 119% (Klein, E Y., 2018).

Untuk mengamati penggunaan antibiotik metode yang dapat digunakan

adalah metode ATC/DDD dimana metode tersebut telah ditetapkan sebagai

standar WHO untuk mengamati pengunaan antibiotik (WHO, 2018).

*) Sari proposal ini akan diseminarkan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Ibu
Jambi pada:
Hari / tanggal :
Pukul :
Tempat :
Pembimbing : 1. Desi Sagita, M.Si., Apt
2. Septa Pratama, A.Md.Li. M. Sc. T. H, Apt

1
Penggunaan sistem ATC/DDD untuk pasien rawat jalan telah digunakan

diberbagai negara seperti jerman, india, cina dan Belanda. Salah satu contoh di

Belanda dilihat dari data DART (Deutsche Antibiotika-Resistenzstrategie)

menyatakan bahwa antibiotik tertinggi disana adalah antibiotik spektrum luas

sedangkan di Indonesia belum ada data secara nasional (Bätzing-Feigenbaum,

Schulz, Schulz, Hering, & Kern, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian Annisa Kamila, monitoring penggunaan antibiotik

dengan metode ATC/DDD dan DU 90% di RSU Mayjen H.A Thalib Kerinci

periode 2016-2017 penggunaan antibiotik tertinggi adalah sefotaksim (Kamila,

2019). Sedangkan menurut Mulia Asti, profil penggunaan antibiotik berdasarkan

metode ATC/DDD dan DU 90% di RSUD Raden Mattaher Jambi periode 2016-

2017 pemakaian antibiotik terbanyak yaitu seftriakson (Asti, 2019).

Terus meningkatnya penggunaan antibiotik serta masih sangat sedikitnya

penelitian di beberapa Puskesmas di Indonesia terutama di Kota Jambi membuat

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian evaluasi penggunaan antibiotik dengan

metode ATC/DDD dan DU 90% di Dua Puskesmas Kota Jambi periode 2017 dan

2018 untuk mengetahui kuantitas penggunaan antibiotik di beberapa Puskesmas

Kota Jambi.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien rawat jalan di Dua

Puskesmas Kota Jambi menggunakan metode ATC/DDD dan DU 90% ?

2
1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuantitas penggunaan antibiotik

di Dua Puskesmas Kota Jambi menggunakan metode ATC/DDD dan DU 90%.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai data ilmiah untuk

puskesmas dan tenaga medis dan digunakan penelitian lebih lanjut untuk

meningkatkan rasionalitas dalam penggunaan obat antibiotik.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem ATC/DDD

2.1.1Sejarah Sistem ATC/DDD

Metode ATC/DDD lahir pada tahun 1960 telah menarik perhatian

seiring semakin meningkatnya penelitian penggunaan obat. Pada

symposium the comsumption of drugs di Olso tahun 1969 dan The Drugs

Utilization Research Group (DURG) menyetujui studi penggunaan obat

diperlukan suatu sistem klasifikasi internasional (WHO, 2018).

Para peneliti di Norwegia memodifikasi dan mengembangkan

sistem anatomical therapeutic chemical (ATC) melalui The Europan

Pharmaceutical Market Research Association (EPhMRA) untuk

mengukur penggunaan obat penting memiliki klasifikasi ATC/DDD

dimana Define Daily Dose digunakan untuk memperbaiki unit

pengukuran tradisonal untuk digunakan dalam studi penggunaan obat

(WHO, 2018).

Sebagai standar internasional untuk studi pemanfaatan obat pada

tahun 1981 WHO merekomendasikan ATC/DDD. Sehingga pada tahun

1982 WHO collaborating centre untuk metodelogi obat statistik didirikan

dan di beri tanggung jawab untuk mengkoordinasi perkembangan dan

penggunaan ATC/DDD, kemudian itu pada tahun 1996 di akui sebagai

pusat akses informasi standar dan validasi pada penggunaan obat penting

untuk mengikuti audit pola penggunaan obat, identifikasi masalah,

4
edukasi atau intervensi lain dan memonitor outcome dari intervensi

(WHO, 2018).

Pada tahun 1996 WHO membuat perjanjian untuk pertama kalinya

dengan pemerintah Norwegia. Dalam perjanjian ini semua kegiatan yang

berkaitan dengan klasifikasi ATC/DDD telah harus dilakukan sesuai

dengan kebijakan yang ditetapkan oleh WHO (WHO, 2018).

2.1.2 Tujuan Sistem ATC/DDD

Tujuan dari sistem ATC/DDD sebagaialat untuk monitoring pemanfaatan

obat dan penelitian dalam rangka meningkatkan kualitas penggunaan obat.

Salah satunya adalah presentasi dan perbandingan statistik konsumsi obat

di tingkat internasional.Tujuan utama The Centre and Working Group

adalah untuk menjaga stabilitas kode ATC dan DDD sepanjang waktu untuk

mengikuti trend penggunaan obat, studi penggunaan obat ini tidak

dipengaruhi oleh perubahan sistem (WHO, 2018). Sebuah tujuan penting

dari pemanfaatan obat adalah untuk memantau rasional serta tidak rasional

penggunaan obat sebagai langkah penting untuk meningkatkan kualitas

penggunaan obat. Oleh karena itu, klasifikasi dari zat dalam sistem

ATC/DDD bukan merupakan rekomendasi untuk digunakan dan menilai

tentang khasiat atau keampuhan suatu obat (WHO, 2018).

2.1.3 Sistem Klasifikasi

Dalam sisitem klasifikasi ATC, obat diklasifikasikan dalam hirarki dengan

lima tingkat yang berbeda. Sistem ATC memiliki 14 kelompok berdasarkan

anatomi atau farmakologis pada tingkat utama (WHO, 2018).

5
1. Level 1, level yang paling luas, obat dibagi menjadi 14 kelompok

utamaanatomi. Kode level pertama berdasarkan huruf, contoh“J” untuk anti

infeksi yag bekerja secara sistemik.

a) A : untuk obat yang bekerja pada sistem digestif (saluran cerna)

b) B : untuk obat darah dan organ pembentuk darah

c) C : untuk obat yang bekerja pada sistem kardiovaskuler

d) D : untuk obat yang bekerja pada kulit

e) G : untuk obat yang bekerja pada sistem urinari

f) H : untuk obat yang bekerja padaa sistem hormonal

g) J : untuk obat antiinfeksi yang bekerja secara sistemik

J01 : penggunaan antibiotik secara sistemik

h) L : untuk obat yang bekerja menghambat dan membunuh sel kanker

i) M : untuk obat yang bekerja pada otot/tulang sendi

j) N : untuk obat yang bekerja pada sistem saraf

k) P : untuk obat yang bekerja sebagai antiparasit, insektisida dan anti

nyamuk

l) R : untuk obat yang bekerja pada sistem pernapasan

m) S : untuk obat yang bekerja pada alat panca indera

n) V : untuk obat yang sulit di tentukan DDDs-nya (misal allergen)

2. Level 2, kelompok utama farmakologi dan terdiri dari dua digit.

3. Level 3, kelompok farmakologi dan terdiri dari satu huruf.

4. Level 4, kelompok kimia dan terdiri dari satu huruf.

5. Level 5, kelompok zat kimia dan terdiri dari dua digit

6
Selanjutnya obat diklasifikasikan dalam 5 level yang berbeda.

Sebagai contoh sistem hirarki untuk klasifikasi obat siprofloksasin dengan

kode ATC.

Antiinfeksi J

Obat antibiotik 01

Golongan quinolone M

Fluoroquinolones A `

siprofloksasin 02

Gambar 2.1 Klasifikasi Siprofloksasin berdasarkan kode ATC

Siprofloksasin diklasifikasikan dalam 5 level dan diberi kode 7 digit

yaitu J01MA02 dimana :

Level 1 = J, obat termasuk kelompok yang bekerja sebagai Antiinfeksi

sistemik.

Level 2 = 01, obat lebih spesifik termasuk subkelompok antibiotik.

Level 3 = M, obat termasuk subkelompok farmakologi antibiotik

golongan Quinolone.

Level 4 = A, obat termasuk subkelompok kimia derivate floroquinolones.

Level 5 = 02, obat substansi kimia siprofloksasin

2.1.4 Prinsip Umum Klasifikasi

1. Penggunaan terapi atau farmakologis

2. Satu kode untuk setiap sediaan

3. Suatu zat mempunyai kode ATC lebih dari satu jika mempunyai kekuatan

dan bentuk sediaan lebih dari satu untuk terapi yang berbeda

7
4. Suatu zat obat baru yang tidak jelas milik setiap tingkat ATC akan

ditempatkan dalam kelompok X (WHO, 2018).

2.1.5 DDD (Defined Daily Dose)

Defined Daily Dose (DDD) adalah dosis pemeliharaan harian rata-rata yang

diasumsikan untuk penggunaan obat dengan indikasi utama pada pasien

dewasa. DDD merupakan unit pengukuran dan tidak mencerminkan dosis

harian yang direkomendasikan atau ditentukan. DDD hanya ditetapkan

untuk obat-obat yang telah mempunyai kode ATC dan tidak dibuat untuk

produk topical, serum, vaksin, antineoplastik, ekstrak allergen, anestesi

umum/lokal dan media kontras. Prinsip dasarnya adalah untuk menetapkan

hanya satu DDD per rute administrasi dalam kode ATC (WHO, 2018).

Unit DDD yang digunakan untuk membandingkan penggunaan obat

sebagai berikut :

1) Jumlah DDD per 1000 populasi perhari, untuk total penggunaan rawat

jalan (WHO, 2018).

Rumus perhitungan DDD/1000 penduduk per hari :

DDD 1 tahun = Total penggunaan obat (g)

DDD obat (WHO)

DDD/1000 KPRJ = Total DDD (1 tahun)

Total KPRJ/1000

% Antibiotik = Total nilai DDD/1000 KPRJ antibiotik

Total nilai DDD/1000 KPRJ seluruh antibiotik

KPRJ : Kunjungan Pasien Rawat Jalan

1.2 Drug Utililization 90%

8
Metode Drug Utilization 90% (DU 90%) merupakan metode yang

menunjukkan pengelompokkan obat yang masuk kedalam segmen 90%

penggunaan, yang sering digunakan bersamaan dengan metode ATC/DDD.

Penilaian terhadap obat yang masuk kedalam segmen 90% diperlukan untuk

menekankan segmen obat tersebut dalam hal evaluasi, pengendalian

penggunaan dan perencanaan pengadaan obat (Mahmudah F, 2016).

2.2Antibiotik

2.2.1 Definisi

Antibiotik pertama kali ditemukan oleh paul erlrich pada tahun

1910, sampai saat ini masih menjadi obat pilihan dalam penanganan kasus-

kasus penyakit infeksi. Oleh karena itu obat antibiotik merupakan salah

satu obat yang paling sering diresepkan di seluruh dunia. Penggunaan

antibotik yang tidak sesuai mendorong bagi munculnya peningkatan dan

penyebaran resistensi antibiotik (Merriel et al., 2019).

Antibiotik merupakan senyawa yang dihasilkan dari mikroba yang

digunakan untuk membunuh atau menekan pertumbuhan bakteri.

Kelompok obat yang digunakan untuk mengobati berbagai infeksi bakteri

seperti radang tenggorokan, kulit, infeksi saluran kemih dan berbagai

penyakit yang disebabkan oleh bakteri lainnya. Infeksi merupakan proses

masuknya mikroorganisme dalam tubuh, kemudian berkembang biak dan

menimbulkan penyakit. Sensitivitasnya tergantung dari jumlah kuman,

tingkat keganasan, dan daya tahan tubuh (Nughroho, 2012).

9
Penggunaan antibiotik akan menguntungkan dan memberikan efek

bila dikonsumsi sesuai dengan aturan. Namun sekarang ini antibiotik telah

digunakan secara bebas dan luas oleh masyarakat tanpa mengetahui

dampak dari pemakaian tanpa aturan mengakibatkan keefektifan dari

antibiotic akan berkurang (Pratomo & Dewi, 2018).

2.2.2 Penggolongan Antibiotik

Penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimianya adalah

sebagai berikut (Katzung, B.G., Master, S.B,& Trevor, 2012).

1. Beta-laktam

Antibiotik beta-laktam merupakan senyawa obat yang memiliki

struktur cincin beta-laktam. Antibiotik golongan beta-laktam, antara lain

penisilin, sefalosporin, sefadroksil, fluokloksasilin, dan nafsilin.

2. Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari lebih dari satu

gugus asam amino. Antibiotik golongan aminoglikosida, antara lain

gentamisin, amikasin, netilmisin, tubramisin, dan kanamisin.

3. Tetrasiklin

Tetrasiklin adalah senyawa amfoterik yang memiliki spektrum luas

yang berikatan secara reversibel dengan subunit 30S ribosom bakteri.

Antibiotik golongan tetrasiklin, antara lain klortetrasiklin, oksitetrasiklin,

doksisiklin, dan demeklosiklin.

4. Kloramfenikol

Kristal kloramfenikol merupakan suatu senyawa netral stabil.

Antibiotik golongan kloramfenikol memiliki spektrum luas yang bersifat

10
bersifat bakteriostatik dan aktif terhadap organisme gram positif dan

negatif. Antibiotik golongan kloramfenikol antara lain kloramfenikol dan

tiamfenikol.

5. Makrolid

Makrolid adalah suatu golongan senyawa yang berkaitan erat dan

ditandai oleh sebuah cincin lakton makrosiklik, tempat gula-gula deoksi

melekat. Antibiotik golongan makrolida antara lain eritromisin,

klaritromisin, mirosamisin, tilosin, azitromisin, dan spiramisin, ketolid.

Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme aksinya adalah

sebagai berikut (Permenkes, 2011).

a. Penghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri

Antibiotik yang termasuk golongan ini ialah golongan beta-laktam

yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor

beta-laktamase dan golongan peptida yaitu basitrasin, dan

vankomisin.

b. Penghambat sintesis protein

Antibiotik yang termasuk golongan ini ialah golongan aminoglikosid,

kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin,

klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.

c. Penghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat

Antibiotik yang termasuk golongan ini ialah golongan trimetoprim

dan sulfonamid.

d. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat

11
Antibiotik yang termasuk golongan ini ialah golongan kuinolon dan

nitrofurantoin.

Penggolongan antibiotik berdasarkan sifat aktivitasnya adalah sebagai

berikut (Utami, 2017) :

1. Bakteriostatik

Senyawa antibiotik golongan ini adalah salah satunya dengan

penghambatan sintesis dinding sel bakteri sehingga dinding sel menjadi

rapuh dan terjadi lisis sel. Antibiotik yang memiliki sifat bakteriostatik,

dimana penggunaanya tergantung status imunologi pasien, antara lain

sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim,

linkomisin, klindamisin, dan Bakteriasida.

Senyawa antibiotik golongan ini bersifat dekstruktif yaitu dapat

membunuh sel bakteri. Antibiotik yang termasuk golongan bakterisida

antara lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar),

kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain.

Penggolongan antibiotik berdasarkan spektrumnya adalah sebagai

berikut (T.Kirana, 2008):

a. Spektrum Sempit

Antibiotik golongan ini hanya aktif terhadap jenis bakteri Gram

positif atau bakteri Gram negatif saja dan diuraikan oleh

penisilinase.

b. Spektrum Luas

12
Antibiotik golongan ini dapat mempengaruhi keseimbangan

flora normal tubuh, antibiotik tersebut antara lain tetrasiklin dan

kloramfenikol.

2.2.3 Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan Definitif

Berdasarkan ditemukannya kuman atau tidak, maka terapi antibiotika

dapat dibagi dua, yakni terapi empiris dan terapi definitif.

a. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris

Penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum

diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik

untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan

pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,

sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.

Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik berdasarkan data

epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia, kondisi klinis

pasien, ketersediaan antibiotik, dan kemampuan antibiotik untuk

menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi.

Rute pemberian antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan

pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Lama

pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72

jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data

mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya

(Permenkes, 2011).

13
b. Antibiotik untuk Terapi Definitif

Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah

penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis

bakteri penyebab dan pola resistensinya . Tujuan pemberian

antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan

pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan

hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi sesuai dengan hasil

mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.

Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik yaitu efikasi klinik

dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik, sensitivitas, biaya,

kondisi klinis pasien, diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum

sempit, ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit)

dan keseesuaian dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT)

setempat yang terkini.

Rute pemberian antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan

pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi

pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera

diganti dengan antibiotik per oral. Lama pemberian antibiotik

definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri

sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus

dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi

klinis pasien serta data penunjang lainnya (Permenkes, 2011).

2.2.4 Faktor-Faktor Terjadinya Resistensi

14
Menurut Nugroho, Endru Agung (2012) resistensi merupakan

kemampuan alami bakteri untuk terpengaruh terhadap agen anti-mikrobal.

Resistensi dalam populasi bakteri dapat disebarkan melalui tiga tingkatan,

yaitu transfer bakteri antar individu, transfer gen resisten antar bakteri,

transfer gen resisten antar elemen. Penyebab utama resistensi antibiotik

adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Lebih dari separuh pasien

dalam perawatan menerima antibiotik sebagai pengobatan. Sekitar 80%

konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia dan sedikitnya 40%

berdasarkan indikasi yang kurang tepat. Terdapat beberapa faktor yang

mendukung terjadinya resistensi, antara lain (Utami, 2011).

1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional)

Terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnosa awal yang

salah, dalam potensi yang tidak adekuat.

2. Faktor yang berhubungan dengan pasien.

Pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap

wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun

disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk - pilek, demam yang banyak

dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan finansial yang baik

akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal

meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri

tanpa peresepan dari dokter (self medication). Sedangkan pasien dengan

kemampuan finansial yang rendah seringkali tidak mampu untuk

menuntaskan regimen terapi.

3. Peresepan

15
Dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care

expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan

meningkat ketika diagnosa awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan

dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan

dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.

4. Penggunaan di rumah sakit

Adanya infeksi endemik atau epidemik memicu penggunaan antibiotika

yang lebih massif pada bangsal-bangsal rawat inap terutama di

intensivecare unit. Kombinasi antara pemakaian antibiotik yang lebih

intensif dan lebih lama dengan adanya pasien yang sangat peka terhadap

infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.

5. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak

Antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi

pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai

suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan

ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan

terjadinya resistensi.

6. Pengawasan

Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan

pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah

mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain

itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk

meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi.

16
III. PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Juli - September 2019,

pengambilan data rawat jalan di Puskesmas Kenali Besar dan Puskesmas

Simpang IV Sipin Jambi menggunakan data periode tahun 2017 dan 2018.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif. Pengambilan

sampel di dua puskesmas di Kota Jambi yang diperoleh dari rekam medik,

resep dan buku register pasien sesuai dengan kriteria inklusi.

3.2.2 Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Semua pasien rawat jalan yang mendapatkan terapi antibiotik di Dua

Puskesmas Kota Jambi pada periode Januari 2017- Desember 2018.

2. Sampel

17
Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik di Dua Puskesmas Kota

Jambi yang memenuhi kriteria inklusi pada periode Januari 2017- Desember

2018.

Kriteria inklusi meliputi :

a. Pasien yang menggunakan antibiotik periode Januari 2017- Desember

2018

b. Antibiotik yang digunakan memiliki kode ATC

c. Rekam medik, resep dan buku register pasien yang lengkap dan dapat

terbaca dengan jelas : usia pasien, jenis kelamin, nama antibiotik, kode

ATC, diagnosa penyakit, bentuk sediaan kekuatan sediaan, dan

frekuensi pemakaian.

d. Antibiotik tunggal/kombinasi

e. Pasien dewasa

Kriteria ekslusi :

a. Antibiotik sediaan topikal

b. Antibiotik yang tidak memiliki kode ATC

c. Pasien yang menggunakan obat anti TBC

d. Pasien anak-anak

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah seluruh rekam

medik, resep dan buku register pasien rawat jalan yang mendapatkan

terapi antibiotik yang sesuai dengan kriteria inklusi. Sampel yang terpilih

kemudian dilakukan pengambilan data penggunaan antibiotik berupa

18
nomor rekam medik, usia pasien, diagnosa penyakit, nama antibiotik,

kode ATC, bentuk sediaan, kekuatan sediaan, frekuensi pemakaian dan

total penggunaan.

3.3.2 Analisa Data

Data yang diperoleh akan dikumpulkan menjadi data dasar untuk

kemudian diolah dan dihitung penggunaan antibiotiknya. Data yang

diperoleh akan diolah menggunakan metode ATC/DDD dengan unit

pengukuran DDD/1000 pasien perhari. Kode ATC/DDD masing-masing

antibiotik yang digunakan dapat diakses melalui

http://www.whocc.no/atc-ddd-in-dex/.

Data masing-masing jenis antibiotik yang diperoleh, dikelompokkan

berdasarkan pengelompokkan ATC. Data tersebut kemudian dihitung

penggunaan nya selama periode Januari 2017 – Desember 2018

menggunakan satuan DDD/1000 per hari.

3.3.3 Data Pengolahan

a. Mendapatkan data jumlah penggunaan antibiotik pasien rawat jalan

yang memenuhi kriteria inklusi periode Januari 2017 – Desember 2018.

b. Antibiotik di kelompokkan berdasarkan Kode ATC.

c. Dihitung penggunaan antibiotik dan DDD untuk setiap antibiotik

d. Data diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

e. Dihitung menggunakan DDD/1000 pasien per hari.

3.4 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

BULAN KE

19
No KEGIATAN 1 2 3 4

1. Penyusunan proposal

penelitian

2. Persiapan seminar proposal

3. Pelaksanaan penelitian dan

pengolahan data

4. Persiapan seminar hasil

5. Penyempurnaan skripsi dan

persiapan

ujian komprehensif

6. Ujian komprehensif

20
DAFTAR PUSTAKA

Asti, M. (2019). Profil Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Metode ATC/DDD


Dan DU 90% Dibangsal Bedah RSUD Raden Mattaher Jambi.
Bätzing-Feigenbaum, J., Schulz, M., Schulz, M., Hering, R., & Kern, W. V.
(2016). Outpatient Antibiotic Prescription. Deutsches Aerzteblatt Online,
(113), 454–459. https://doi.org/10.3238/arztebl.2016.0454
Kamila, S. (2019). Monitoring Penggunaan Antibiotik Dengan Metode
ATC/DDD Dan DU 90% Di Bangsal Penyakit Dalam RSU Mayjen H.A
Thalib Kerinci Tahun 2016-2017.
Katzung, B.G., Master, S.B,& Trevor, A. . (2012). Basic & Clinical
Pharmacology (12th ed.). San Francisco: Mc Graw Hill Medical. (12th ed.).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Klein, E Y., D. (2018). Global increase and geographic convergence in antibiotic
consumption between 2000 and 2015. Proceedings of the National Academy
of Sciences of the United States of America, 115(15), E3463–E3470.
https://doi.org/10.1073/pnas.1717295115
Mahmudah F, sumiwi a s & hartini s. (2016). Studi Penggunaan Antibiotik
Berdasarkan ATC/DDD dan DU90% di Bagian Bedah Digesif Di Salah Satu
Rumah Sakit Di Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 5(4), 293–298.
https://doi.org/10.15416/ijcp.2016.5.4.293
Merriel, A., Weeks, A., Mhango, C., Mataya, R., Taulo, F., Ngalawesa, T., …
Coomarasamy, A. (2019). A Randomized Trial of Prophylactic Antibiotics
for Miscarriage Surgery. The New England Journal Of Medicine, 380, 1012–
1021. https://doi.org/10.1056/NEJMoa1808817
Nughroho, A. E. (2012). Farmakologi : Obat-Obat Penting Dalam Pembelajaran
Ilmu Farmasi Dan Dunia Kesehatan (1st ed.). (1st ed.). yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

21
Permenkes. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik.
Pratomo, G. S., & Dewi, N. A. (2018). Tingkat Pengetahuan Masyarakat Desa
Anjir Mambulau Tengah Terhadap Penggunaan Antibiotik. Jurnal Surya
Medika, 4(1), 79–89.
Sholih, M. G. dkk. (2015). Rasionalitas Penggunaan Antibiotik di Salah Satu
Rumah Sakit Umum di Bandung Tahun 2010. Indonesian Journal of Clinical
Pharmacy, 4(1), 64–70. https://doi.org/10.15416/ijcp.2015.4.1.64
T.Kirana. (2008). OBAT-OBAT PENTING (6th ed.). Jakarta: Pt Alex Media
Kompetindo.
Utami, E. . (2011). Antibiotik, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. El-Hayah,
1(4), 191–198.
Utami, E. R. (2017). Antibiotika, Resistensi, Dan Rasionalitas Terapi. Sainstis,
1(4), 191–198. https://doi.org/10.18860/sains.v0i0.1861
WHO. (2018). Guidelines for ATC classification and DDD assignment 2019.
Norway: Norwegian Institute of Public Health.

22
LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema Penelitian

Penelitian
(Juli-September 2019)

Pengambilan data dari rekam medik, resep,


dan buku register pasien di Dua Puskesmas
Kota Jambi yang memenuhi kriteria inklusi

Lembar kerja

Analisa data

Hitung menggunakan
ATC/DDD

Pembahasan dan kesimpulan

23
Lampiran 2. Lembar Pengambilan Data

No No Resep Buku Usia Diagnosa Nama Kode Bentuk Kekuatan Frekuensi Total
Rekam Register Pasien penyakit Antibiotik ATC sediaan sediaan Pemakaian Penggunaan
Medik

24

Anda mungkin juga menyukai