Anda di halaman 1dari 23

PENGELOLAAN PERBEKALAN SEDIAAN FARMASI

“PRODUKSI DAN DISPENSING”

Dosen Pengampu:
Fivy Kurniasari, M.sc.,Apt

Disusun Oleh Kelompok 3 / Kelas C


Apoteker Angkatan 37
Suci Tri Anggraini 1920374178
Syafitri Anggriyani Abidin 1920374179
Tri Utami Handayani 1920374180
Ulvia Nurmalia 1920374181
Winda Istikomah 1920374184
Wisky Amarta 1920374185
Widanditya Bagusagita Pradana 1920374207

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi
kepada pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Apoteker khususnya yang
bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma
Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi pasien. Untuk
itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar
perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus
dapat memenuhi hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan
termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian, para Apoteker Indonesia dapat
berkompetisi dan menjadi tuan rumah di negara sendiri (Depkes, 2016).
Strategi optimalisasi harus ditegakkan dengan cara memanfaatkan
Sistem Informasi Rumah Sakit secara maksimal pada fungsi manajemen
kefarmasian, sehingga diharapkan dengan model ini akan terjadi efisiensi
tenaga dan waktu. Efisiensi yang diperoleh kemudian dimanfaatkan untuk
melaksanakan fungsi pelayanan farmasi klinik secara intensif (Depkes, 2016).
Menurut WHO (1994), apoteker mempunyai peran profesional dalam
berbagai bidang pekerjaan meliputi regulasi dan pengelolaan obat, farmasi
komunitas, farmasi rumah sakit, industri farmasi, kegiatan akademik,
pelatihan tenaga kesehatan lainnya, dan penelitian. Peran professional dalam
semua bidang pekerjaan tersebut adalah memastikan hasil terapi obat optimal,
baik dengan cara berkontribusi pada pembuatan, pasokan, dan pengendalian
obat, maupun dengan cara memberikan informasi dan saran kepada pembuat
resep dan pengguna produk-produk farmasi. Apoteker merupakan
professional kesehatan paling mudah diakses oleh publik, mereka
menyediakan kebutuhan obat-obatan baik melalui resep ataupun tanpa resep.
Selain memastikan secara akurat pasokan produk-produk yang tepat, kegiatan
profesional mereka juga mencakup konseling pasien pada saat dispensing
obat baik melalui resep maupun tanpa resep, informasi obat kepada
profesional kesehatan lain, pasien dan masyarakat umum, dan berpartisipasi
dalam program promosi kesehatan.
Dispensing obat adalah proses berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
berbagai kegiatan. Kegiatan tersebut adalah menerima dan memvalidasi resep
obat, mengerti dan menginterpretasikan maksud resep yang dibuat dokter,
membahas solusi masalah yang terdapat dalam resep bersama-sama dengan
dokter penulis resep, mengisi Profil Pengobatan Penderita (P-3),
menyediakan atau meracik obat, memberi wadah dan etiket yang sesuai
dengan kondisi obat, merekam semua tindakan, mendistribusikan obat
kepada Penderita Rawat Jalan (PRJ) atau Penderita Rawat Tinggal (PRT),
memberikan informasi yang dibutuhkan kepada penderita dan perawat.
Praktik dispensing yang baik adalah suatu praktik yang memastikan suatu
bentuk yang efektif dari obat yang benar, ditujukan pada pasien yang benar,
dalam dosis dan kuantitas sesuai instruksi yang jelas, dan dalam kemasan
yang memelihara potensi obat.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana alur proses dan dispensing sediaan steril dan non steril?
2. Apa saja persyaratan produksi dan dispensing perbekalan farmasi?
3. Apa saja syarat instalasi Farmasi bisa melakukan produksi?
4. Bagaimana produksi dan dispensing dari sediaan IV admixture dan Total
Parentelar Nutrition?
5. Bagaimana persyaratan ruangan dan alat untuk produksi dan dispensing?
6. Bagaimana monitoring dan evaluasinya (meliputi inkompatibilitas dan
stabilitas sediaan)?
C. Tujuan
1. Mengetahui alur proses dan dispensing sediaan steril dan non steril
2. Mengetahui persyaratan produksi dan dispensing perbekalan farmasi
3. Mengetahui syarat Instalasi Farmasi bisa melakukan produksi
4. Mengetahui produksi dan dispensing dari sediaan IV admixture dan Total
Parentelar Nutrition
5. Mengetahui persyaratan ruangan dan alat untuk produksi dan dispensing
6. Mengetahui cara monitoring dan evaluasinya (meliputi inkompatibilitas
dan stabilitas sediaan)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Alur proses produksi dan dispensing


Produksi merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan
kembali sediaan farmasi steril atau non steril untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di Rumah sakit (Depkes, 2004) Tujuan pelayanan produksi :
melayani produksi obat yang sesuai dengan kebutuhan RS
Penanggung jawab : Farmasis/Apoteker dalam jabatan fungsional yang
bertanggung jawab kepada Kepala IFRS dan dibantu oleh AA dan tenaga lain
terlatih
Proses produksi dan dispensing
1) validasi,
2) interpretasi,
3) menyiapkan/meracik obat,
4) memberikan label/etiket,
5) penyerahan obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai
sistem dokumentasi.
B. Persyaratan produksi dan dispensing
Persyaratan produksi :
1. Produk Steril
Persyaratan teknis untuk produksi steril:
1) Ruangan aseptis,
2) Peralatan: Laminar air flow (horizontal dan vertikal) yang dilengkapi
lampu UV, autoclave, oven, cytoguard, alat pelindung diri, HEPA filter
yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk sehingga jumlah
dan ukuran partikel udara terkontrol dan lain-lain
3) SDM: petugas terlatih.
Contoh Pembuatan sediaan steril : TPN, IV-admixture, sitostatika.
a. Pembuatan methylen blue, triple dye, paten blue, aqua steril.
b. Total Parenteral Nutrisi (Nutrisi Parenteral Pelengkap)
TPN adalah nutrisi dasar yang diperlukan bagi penderita secara
intravena yang kebutuhan nutrisinya tidak dapat terpenuhi secara
enteral.
Contoh:
 Campuran sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin,
mineral,untuk kebutuhan perorangan.
 Mengemas kedalam kantong khusus untuk nutrisi
c. Pencampuran obat suntik/Sediaan Intravena (IV-admixture)
Penyiapan produk steril (pencampuran sediaan intravena dan
irigasi) adalah suatu bagian penting dari sistem pengendalian
perbekalan farmasi. Prosesnya yaitu pencampuran sediaan steril ke
dalam larutan intravena steril untuk menghasilkan suatu sediaan steril
yang bertujuan untuk penggunaan intravena. Prosesnya menggunakan
teknik aseptik.
Produk intravena yang digunakan dalam rumah sakit harus memenuhi
pernyaratan umum sbb:
1) Sesuai persyaratan terapeutik dan farmasetik (misalnya bebas dari
obat yang tidak tercampurkan).
2) Bebas dari kontaminan mikroba dan pirogen
3) Bebas dari partikulat pada tingkat yang dapat diterima dan
kontaminan toksis lainnya.
Contoh:
 Mencampur sediaan intravena kedalam cairan infus
 Melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelaru
yang sesuai
 Mengemas menjadi sediaan siap pakai
d. Rekonstitusi sediaan farmasi berbahaya
Produksi sediaan farmasi berbahaya merupakan penanganan obat
kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai oleh pasien yang
dilakukan oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian
keamanan terhadap lingkungan, petugas, maupun sediaan obatnya dari
efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri
pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada
pasien sampai pembuangan limbahnya. Sediaan yang termasuk dalam
sediaan farmasi berbahaya adalah obat-obat kanker, seperti agen
neoplastik, sitostatika; dan radiofarmaka.
Kegiatan yang dilakukan dalam rekonstitusi sediaan farmasi berbahaya
adalah :
- Melakukan perhitungan dosis secara akurat
- Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai
- Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan
- Mengemas dalam kemasan tertentu
- Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada proses rekonstitusi sediaan
farmasi berbahaya :
- Operator harus mengenakan sarung tangan kemoterapi dan pakaian
yang sesuai selama penerimaan, distribusi, penyimpanan,
investarisasi, persiapan untuk administrasi, dan pembuangan limbah.
- Ruangan produksi dan penyimpanan harus bertekanan negatif dan
buffer area ISO Class 7 atau lebih. Ruang penyimpanan terpisah
dengan ruang produksi dan area lain.
- Produksi dilakukan dalam LAC dengan klasifikasi ISO Class 5 atau
Compounding Aseptic Containment Isolator (CACI).
2. Produk Nonsteril
Persyaratan teknis produksi non-steril:
1) Adanya Ruangan khusus untuk pembuatan
2) Adanya Peralatan: peracikan, pengemasan
3) Tersedianya SDM: petugas terlatih
Contoh produksi non-steril:
a. Pembuatan sirup
Sirup yang dibuat di rumah sakit: OBH, Inadryl loco, kloralhidrat
b. Pembuatan salep, Salep sulfadiazin, salep AAV, salep 2-4
c. Pengemasan kembali, Alkohol, H2O2, Povidon Iodin, washbensin
d. Pengenceran Antiseptik dan Desinfektan
Persyaratan produksi perbekalan farmasi di instalasi farmasi rumah sakit :
1) Sediaan yang diproduksi harus akurat dalam identitas, kekuatan,
kemurnian, dan mutu. Oleh karena itu, harus ada pengendalian proses dan
produk untuk semua sediaan farmasi yang diproduksi atau produksi
sediaan ruah dan pengemasan yang mqqqemenuhi syarat.
2) Formula induk dan batch sediaan yang diproduksi harus terdokumentasi
dengan baik (termasuk hasil pengujian produk).
3) Semua tenaga teknis harus di bawah pengawasan dan terlatih.
4) Kegiatan pengemasan dan penandaan harus mempunyai kendali yang
cukup untuk mencegah kekeliruan dalam pencampuran
produk/kemasan/etiket.
5) Nomor lot untuk untuk mengidentifikasi setiap produk jadi dengan sejarah
produksi dan pengendalian, harus diberikan pada tiap batch.
6) Cara pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan standar internasional ISO
9001 adalah standar sistem mutu yang harus diterapkan, agar mutu produk
yang dihasilkan selalu konsisten memenuhi persyaratan resmi dan
persyaratan rumah sakit serta memenuhi kepuasan konsumen.
7) Apoteker disarankan untuk membuat sediaan farmasi dengan potensi dan
kemasan yang dibutuhkan untuk terapi optimal, tetapi tidak tersedia
dipasaran. Dalam hal ini, harus diperhatikan persyaratan stabilitas,
kecocokan rasa, kemasan, dan pemberian etiket dari berbagai produk yang
dibuat.
Persyaratan dispensing perbekalan steril di instalasi farmasi rumah sakit :
1) Tersedia sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan untuk
peracikan dan penyiapan obat.
2) Sistem distribusi obat yang seragam di seluruh rumah sakit, dengan sistem
Unit Dose Dispensing (UDD) untuk rawat inap.
3) Menetapkan standar mutu yang meliputi response time (kecepatan
penyiapan obat).
4) Etiket resep individual meliputi identitas pasien (nama, tanggal lahir,
nomor rekam medik) nama obat, dosis/konsentrasi, tanggal penyiapan,
kadaluarsa, aturan pakai secara jelas.
5) Penyerahan obat pasien rawat jalanq dilakukan oleh apoteker dan dapat
dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang sudah terlatih disertai dengan
pemberian informasi obat.
C. Instalasi bisa melakukan produksi apabila
a. Sediaan farmasi tidak ada di pasaran
b. Desiaan farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri
c. Sediaan farmasi dengan formula khusus
d. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil atau re packaging
e. Sediaan farmasi untuk penelitian
f. Sediaan farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan harus dibuat baru

D. IV admixture dan Total Parenteral Nutrition


1. IV Admixture
Adalah suatu larutan steril yang dimaksudkan untuk penggunaan
perenteral yang dibuat dengan cara mencampurkan satu atau lebih produk
parenteral kedalam satu wadah.
Latar belakang iv-admixture menjadi tanggung jawab farmasis di
rumah sakit adalah pertimbangan :
a. Farmasis menguasai problem yang berkaitan dengan kontaminan,
inkompatibilitas fisika, kimia maupun inkompatibilitas terapeutik
serta sekaligus dapat mengatasinya jika problem ini muncul, serta
menguasai problem yang berkaitan dengan stabilitas.
b. Efisiensi cost
c. Menurunnya potensial errors (kesalahan)
d. Kualitas meningkat
e. Merupakan salah satu dari pengamalan pharmaceutical care
Kegiatan :

a. mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus;


b. melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang
sesuai; dan
c. mengemas menjadi sediaan siap pakai.

Faktor yang perlu diperhatikan :

a. ruangan khusus
b. lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
c. HEPA Filter.

Indikasi pemberian secara IV


a. Untuk menjamin tercapainya konsentrasi obat
b. Dapat menggantikan sediaan yang tak tersedia secara oral
c. Dapat digunakan pada pasien yang tidak sadarkan diri atau tidak
kooperatif
d. Dapat memudahkan untuk mengkoreksi/menghitung
keseimbangan cairan dan elektrolit serta nutrisi
e. Menjamin kepatuhan terapi
f. Lebih memudahkan memantau efek terapi dan konsentrasi puncak
g. Untuk mencapai efek biologi yang tidak dapat tercapai dengan
pemberian oral

Komplikasi pemberian iv :
a. Thrombosis : terjadinya bekuan darah
b. Emboli udara : adanya emboli udara bisa sampai ke jantung
c. Hipersensitifitas
d. Phlebitis : terjadinya radang di tempat disuntikkannya iv
e. Adanya over dose obat dan cairan
f. Adanya sepsis : infeksi sistemik, paling bahaya
Tujuan pelayanan iv admixture :
a. Untuk menjamin sediaan obat memiliki mutu dan sterilitas terjamin
b. Menghemat waktu perawat
c. Menunrunkan angka kejadian infeksi nosocomial
d. Ketepatan dosis
e. Penghematan biaya
Layanan farmasi IV admixture :
a. Obat sitostatika
b. Nutrisi parentral
c. Antibiotika
d. Analgesic
e. Anti jamur
f. Antivirus
g. Dll

2. Total Parenteral Nutrition


Di rumah sakit penyiapan parenteral nutrisi dilakukan oleh para
farmasis atas permintaan dari dokter. Dalam hal ini farmasis melakukan
pencampuran nutrisi parenteral, karena kondisi setiap pasien yang berbeda
membutuhkan komposisi nutrisi parenteral yang spesifik. Dan komposisi
yang spesifik dari nutrisi parenteral ini tidak terdapat dipasaran, sehingga
harus disiapkan oleh farmasi. Nutrisi parenteral diberikan kepada pasien
melalui dua rute. Rute manakah yang menjadi pilihan harus disesuaikan
dengan konsentrasi larutan (tonisitas larutan), serta sarana dan prasarana
yang terdapat di rumah sakit tersebut . Kedua rute pemberian obat nutrisi
parenteral adalah :
a. Vena sentral
b. Vena perifer

Dalam hal pencampuran, nutrisi parenteral terbagi atas komponen


dasar dan komponen additive (tambahan). Dalam pembuatananya
komponen dasar biasanya dicampur terlebih dahulu dan dibuat dalam
sejumlah volume tertentu. Komponen dasar yang terdiri dari :

a) Karbohidrat
Jenis karbohidrat yang digunakan dalam nutrisi parenteral adalah
dekstose dengan pertimbangan harganya yang relatif murah dan mudah
didapatkan. Dipasaran tersedia larutan infus deksrrosa dalam berbagai
konsentrasi antara 5 % - 70 %.
b) Protein
Protein biasanya diberikan dalam benruk asam amino.
c) Lemak (lipid )
Lemak biasanya diberikan dalam bentuk emulsi lemak. Dipasaran
lemak tersedia dalam konsentrasi 10 % atau 20 %. Lemak dapat
dicampurkan dengan komponen larutan nutrisi parenteral dan
campuran ini disebut larutan 3-in 1 atau total nutrient admixture.
Tehnik 3-in 1 mempunyai beberapa keuntungan tetapi dalam
pembuatannya harus dilakukan secara cermat dengan
mempertimbangkan beberapa aspek seperti stabilitas nutrisi parenteral
serta homogenitas campuran tersebut .
d) Air
Biasanya digunakan aqua pi (water for injection). Water for injection
ditambahkan untuk mendapatkan konsentrasi dan voleme akhir nutrisi
parenteral.

Sedangkan komponen additive (tambahan) merupakan nutrisi dalam


jumlah kecil:

a) Vitamin
Vitamin yang biasa ditambahkan ke dalam nutrisi parenteral adalah
vitamin AJD, C, E, Bl, B2, B6, B12 , asam folat, asam pantotenat, biotin
dan niasin. Sedangkan vitamin K (phitomenadiori) biasanya diberikan
terpisah melalui rute intra muscular
b) Trace elemen
Diperlukan dalam reaksi enzymatic dalam rubuh. Beberapa jenis trace
elaman yang sering dicampurkan kedalam nutrisi parenteral adalah :
besi (Fe), Selenium, mangan, chromium, zinc (Zn).
c) Elektrolit
Elektrolit yang sering digunakan : kalium, natrium, klor, acetat, fosfat,
magnesium dan kalsium. Elektrolit ini biasanya diberikan dalam bentuk
garamnya seperti NaCl, KC1, Kalium Fosfat, Kalium Asetat. Jumlah
elektrolit yang diberikan kepada penderita disesuaikan edengan hasil
tes laboratorium pasien yang bersangkutan Obat-obatan
Faktor yang perlu diperhatikan:

1) tim yang terdiri dari dokter, Apoteker, perawat, ahli gizi


2) sarana dan peralatan
3) ruangan khusus
4) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
5) kantong khusus untuk nutrisi parenteral.
Kondisi yang membutuhkan tambahan nutrisi :Pasien kanker, luka
bakar, gangguan saluran pencernaan, operasi abdomen, trauma, gagal hati,
gagal ginjal, gagal nafas.

Tujuan pemberian TPN :


– Menjaga agar nutrisi pasien tercukupi dalam keadaan sakit
– Menghindari komplikasi
– Meningkatkan kualitas hidup
– Menjaga fungsi organ
– Peningkatkan penyembuhan

Peranan farmasis :

Absolute : penyediaan, penyimpanan, pemberian, quality control, stock


Potential : mengawasi o rder TPN, konsultan TPN, identifikasi interaksi
TPN dengan obat, identifikaso ESO TPN

Indikasi pemberian TPN :


– Mengalami penurunan BB > 10 %
– Mengalami gangguan fungsi pencernaan
– Tidak ada asupan makanan oral selama 3-5 hari (dengan status gizi
buruk)
Penyimpanan TPN :
1. Pada suhu 2-60C
2. Lemati Es harus rutin dikalibrasi
3. Zat-zat yang mengandung lemak, tidak boleh disimpan di suhu ruangan

Efek Samping TPN:

1. Infeksi
2. Dapat menginduksi kolestasis
3. Thrombosis
4. Hiperglikemia
5. Rasa Haus
6. Ganguang jantung
7. Kejang
8. Demam
9. Mual
10. Gangguan pernapasan
E. Persyaratan ruangan dan alat untuk produksi dan dispending
Pesyaratan bangunan untuk ruangan produksi harus memenuhi kriteria:
a) Lokasi
Lokasi jauh dari pencemaran lingkungan (udara, tanah dan air tanah).
b) Konstruksi
Terdapat sarana perlindungan terhadap:

(1) Cuaca
(2) Banjir
(3) Rembesan air
(4) Binatang/serangga
c) Rancang bangun dan penataan gedung di ruang produksi harus
memenuhi kriteria :
1. Disesuaikan dengan alur barang, alur kerja/proses, alur
orang/pekerja.
2. Pengendalian lingkungan terhadap:
(a) Udara;
(b) Permukaan langit-langit, dinding, lantai dan peralatan/sarana lain;
(c) Barang masuk;
(d) Petugas yang di dalam.
3. Luas ruangan minimal 2 (dua) kali daerah kerja + peralatan,
dengan jarak setiap peralatan minimal 2,5 m.
4. Di luar ruang produksi ada fasilitas untuk lalu lintas petugas dan
barang.

d) Pembagian ruangan :
 Ruang terpisah antara Obat jadi dan bahan baku
 Ruang terpisah untuk setiap proses produksi
 Ruang terpisah untuk produksi Obat luar dan Obat dalam
 Gudang terpisah untuk produksi antibiotik (bila ada)
 Tersedia saringan udara, efisiensi minimal 98%
 Hindari bahan dari kayu, kecuali dilapisi cat epoxy/enamel
 Permukaan lantai, dinding, langit-langit dan pintu harus:
(a) Kedap air;
(b) Tidak terdapat sambungan;
(c) Tidak merupakan media pertumbuhan untuk mikroba;
(d) Mudah dibersihkan dan tahan terhadap bahan
pembersih/desinfektan.
(e) Daerah pengolahan dan pengemasan

Persyaratan ruang produksi dan ruang peracikan harus memenuhi kriteria


sesuai dengan ketentuan cara produksi atau peracikan obat di Rumah Sakit.
Rumah Sakit yang memproduksi sediaan parenteral steril dan/atau sediaan
radiofarmaka harus memenuhi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

e) Ruang aseptic dispensing harus memenuhi persyaratan:

a) Ruang bersih: kelas 10.000 (dalam Laminar Air Flow = kelas 100)
b) Ruang/tempat penyiapan :kelas 100.000
c) Ruang antara :kelas 100.000
d) Ruang ganti pakaian :kelas 100.000
e) Ruang/tempat penyimpanan untuk sediaan yang telah disiapkan Tata
ruang harus menciptakan alur kerja yang baik sedangkan luas ruangan
disesuaikan dengan macam dan volume kegiatan.

Ruang aseptic dispensing harus memenuhi spesifikasi:

a) Lantai : Permukaan datar dan halus, tanpa sambungan, keras,


resisten terhadap zat kimia dan fungi, serta tidak mudah rusak.
b) Dinding
(1) Permukaan rata dan halus, terbuat dari bahan yang keras, tanpa
sambungan, resisten terhadap zat kimia dan fungi, serta tidak mudah
rusak.
(2) Sudut-sudut pertemuan lantai dengan dinding dan langit-langit
dengan dinding dibuat melengkung dengan radius 20 – 30 mm.
(3) Colokan listrik datar dengan permukaan dan kedap air dan dapat
dibersihkan.
c) Plafon
Penerangan, saluran dan kabel dibuat di atas plafon, dan
lampu rata dengan langit-langit/plafon dan diberi lapisan untuk
mencegah kebocoran udara.
d) Pintu
Rangka terbuat dari stainless steel. Pintu membuka ke arah
ruangan yang bertekanan lebih tinggi.
e) Aliran udara
Aliran udara menuju ruang bersih, ruang penyiapan, ruang ganti
pakaian dan ruang antara harus melalui HEPA filter dan memenuhi
persyaratan kelas 10.000. Pertukaran udara minimal 120 kali per jam.
f) Tekanan udara
Tekanan udara di dalam ruang bersih adalah 15 Pascal lebih
rendah dari ruang lainnya sedangkan tekanan udara dalam ruang
penyiapan, ganti pakaian dan antara harus 45 Pascal lebih tinggi dari
tekanan udara luar.
g) Temperatur
Suhu udara diruang bersih dan ruang steril, dipelihara pada suhu 16 –
25° C.
h) Kelembaban
1) Kelembaban relatif 45 – 55%.
2) Ruang bersih, ruang penyangga, ruang ganti pakaian steril dan ruang
ganti pakaian kerja hendaknya mempunyai perbedaan tekanan udara
10-15 pascal. Tekanan udara dalam ruangan yang mengandung risiko
lebih tinggi terhadap produk hendaknya selalu lebih tinggi
dibandingkan ruang sekitarnya. Sedangkan ruang bersih penanganan
sitostatika harus bertekanan lebih rendah dibandingkan ruang
sekitarnya.
F. Monitoring dan Evaluasi (meliputi inkompatibilitas dan stabilitas
sediaan)
Problem-problem yang dapat timbul sebagai akibat pencampuran yang
dilakukan secara sembarangan terkait dengan sterilitas sediaan serta
inkompatibilitas.
1. Inkompatibilitas invitro
Ditandai dengan adanya kekeruhan, cloudness, endapan atau perubahan
warna Jikompatibilitas invitro terbagi atas :
− Inkompatibilitas fisika yang ditandai dengan berkurangnya atau
solubilitas bahan
obat, terjadinya supersaturasi pada suhu rendah.
− Inkompatibilitas kimia terjadi akibat dari peristiwa oksidasi, reduksi,
pembentukan
senyawa komplek, hidrolisis .
Beberapa kemungkinan interaksi invitro dapat terjadi akibat dari :
a. Interaksi antara obat dengan obat lain yang ditambahkan. Selain
inkompatibilitas
invitro, inkompatibilitas terapeutik juga dapat terjadi apabila terdapat
lebih dari satu macam obat yang ditambahkan kedalam larutan infus.
b. Interaksi antara obat dengan bahan pembantu (buffer, co-solven,dll)
c. Interaksi antara bahan pembantu dengan bahan pembantu
d. Interaksi antara obat dengan wadah (gelas, plastik)
e. Interaksi antara bahan pembantu dengan wadah (gelas, plastik)
f. Interaksi antara obat dengan larutan infuse
Adanya interaksi-interaksi ini dikhawatirkan dapat merubah sifat
fisika dan kimia obat tersebut, sehingga akan dapat berakibat:
− Menurunnya aktivitas obat dan potensi larutan infusnya sendiri
− Obat menjaditidak aktif
− Obat dapat berubah respons terapeutiknya
− Meningkatkan toksisitas obat
Timbulnya partikel halus juga dapat menyebabkan trombophlebitis pada
penderita.
2. Inkompatibilitas farmakologi
Inkompatibilitas farmakologi dapat terjadi akibat interaksi obat-obat,
interaksi obat dengan penyakit yang di derita pasien. Adanya interaksi
farmakologi dapat mengakibatkan efek obat meningkat sehingga terjadi
toksisitas, atau menurunkan efek obat sehingga pengobatan menjadi
subterapetik.
3. Problem sterilitas.
Pencampuran bahan obat ke dalam larutan infus yang tidak menggunakan
cara-cara aseptik dapat mengakibatkan masuknya mikroorganisme
kedalam sediaan.
4. Adanya partikel dalam sediaan parenteral
Partikel dapat berasal dari tutup karet vial, pecahan kaca pada saat
mematahkan ampul, rambut, atau kain petugas .
5. Stabilitas produk iv admixture
Stabilitas produk iv admixture berkaitan dengan waktu kadaluwarsa obat-
obatan yang telah mengalami pencampuran.

Expired date hanya diberikan pada obat-obat hasil produksi dari


pabrik dan dapat digunakan saat produk obat tersebut masih dalam kemasan
asli dari pabriknya atau dalam kontainer tertutup dengan kondisi yang sudah
ditentukan. Apabila terjadi pemindahan obat dari pengemas aslinya untuk
dikemas ulang menjadi unit-dose packing maka expired date tidak boleh
digunakan melainkan menggunakan beyond use date (Anonim, 2001).
Menurut cara peracikan obat yang baik, sediaan obat hasil racikan
harus mencantumkan beyond use date. Definisi beyond use date sesuai
dengan USP (795) adalah tanggal dimana setelah tanggal tersebut, sediaan
racikan tidak dapat digunakan lagi, ditetapkan dari tanggal pembuatan
racikan (Kupiec, 2003). Menurut USP (797) ada tiga metode yang tepat
yang dapat digunakan untuk menentukan beyond use date yaitu dari sumber
literatur yang tepat, tes secara langsung, dan menurut USP (795) (Kupiec,
2003).
1. Sumber literatur yang tepat
Menurut USP (795), apoteker dapat menggunakan naskah
publikasi untuk mengetahui informasi mengenai stabilitas,
kompatibilitas, dan degradasi suatu obat. Prediksi beyond use date
berdasarkan hasil publikasi, diagram, tabel, dan sebagainya dapat
digunakan untuk mengetahui beyond use date teoritis. Prediksi beyond
use date secara teori dapat menyebabkan asumsi yang berbeda,
kesalahan, atau ketidakakuratan. Besarnya kesalahan atau
ketidakakuratan tergantung pada perbedaan antara karakteristik produk
hasil racikan; seperti, komposisi, konsentrasi, volume, tipe kemasan,
bahan dari kemasan, dan karakteristik dari data stabilitas produk yang
akan digunakan. Semakin besarnya ketidakpastian dari penentuan
beyond use date secara teori menyebabkan perlunya penentuan beyond
use date secara eksperimental dari suatu racikan (Kupiec, 2003).
2. Tes secara langsung
Perlu diketahui bahwa beyond use date yang valid hanya dapat
diperoleh melalui studi stabilitas produk spesifik. Stabilitas kuantitatif
dapat menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography)
dan GC (Gas Chromatography) untuk preparasi campuran tertentu
(Kupiec, 2003).
3. USP (795)
Menurut USP (795) untuk sediaan racikan berbentuk nonaqueuos
liquid dan padat, dimana obat hasil dari produksi pabrik merupakan
bahan untuk zat aktifnya, penentuan beyond use date tidak boleh lebih
dari 25% dari sisa waktu kadaluwarsa obat aslinya atau 6 bulan, dipilih
yang lebih singkat. Sediaan yang mengandung air yang dibuat dari
sediaan padat, penentuan beyond use date tidak boleh lebih dari 14 hari
dengan penyimpanan pada suhu dingin (Kupiec, 2003).
Data stabilitas primer adalah data pada produk obat yang disimpan
pada kemasan untuk dipasarkan dibawah kondisi penyimpanan untuk
merencanakan shelf life. Data ini merupakan akumulasi dari tes pada
waktu ke nol (sesaat setelah produksi) dan pada titik waktu penetapan
sebelumnya dari beyond use date yang diinginkan. Frekuensi dari tes
yang dilakukan harus cukup untuk dapat menentukan stabilitas dari obat.
Frekuensi dari tes secara normal untuk kondisi jangka panjang adalah
setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama, setiap 6 bulan pada tahun kedua
dan kemudian dilakukan setiap tahunnya. Untuk mengetahui beyond use
date selama 6 bulan, perlu dilakukan tes pertama pada saat awal (waktu-
0) kemudian dilakukan tes lagi pada bulan ketiga dan keenam dengan
kondisi penyimpanan 250C ± 20C/60% RH ± 5%, dengan menggunakan
kondisi yang dipercepat, stabilitas selama 6 bulan dapat diprediksi
setelah melakukan tes selama 1 bulan untuk mendapatkan data beyond
use date yang lebih cepat (Kupiec, 2003).
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
 Alur proses produksi dan dispensing meliputi validasi, interpretasi,
penyiapan/peracikan obat, pemberian label/etiket, dan penyerahan dengan
pemberian informasi obat, serta dokumentasi.
 Produksi dan dispensing meliputi produk steril dan produk nonsteril.
 Instalasi dapat melakukan produksi apabila sediaan farmasi tidak ada
dipasaran, lebih murah jika diproduksi sendiri, sediaan dengan formula
khusus, repackaging, untuk penelitian, dan tidak stabil dalam penyimpanan.
 Kegiatan dispensing pada rumah sakit meliputi pencampuran obat suntik
(IV admixture) dan TPN (Total Parenteral Nutrition).
 Monitoring dan evaluasi sediaan meliputi inkompatibilitas, problem
sterilitas, adanya partikel dalam sediaan parenteral dan stabilitas sediaan iv
admixture
B. SARAN
Proses produksi dan dispensing perbekalan farmasi RS merupakan proses
yang sangat penting, oleh karena itu dibutuhkan kerja sama semua pihak
khususnya peran farmasi klinis.
DAFTAR PUSTAKA.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar


Pelayanan Rumah Sakit.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit.
KEMENKES RI, Direktorat Jendral Kefarmasian dan alat Kesehatan. Pedoman
pengelolaan Perbekalan Farmasi Rumah Sakit. 2010
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

Anda mungkin juga menyukai