Anda di halaman 1dari 26

POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DENGAN METODE ATC/DDD

DAN DU 90% DI PUSKESMAS PAKUAN BARU DAN PUSKESMAS


PUTRI AYU KOTA JAMBI PERIODE 2017-2018

NAMA : FADHILLAH AYU MAHARANI

NIM : 1548201058

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumsi antibiotik global pada tahun 2016 diperkirakan lebih dari 70

miliar dosis per tahun yang didominasi oleh golongan penisilin, sefalosporin,

makrolid, fluoroquinolon, trimetoprin dan tetrasiklin (Woolhouse, Waugh,

Perry, & Nair, 2016). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat sering

menyebabkan banyak masalah seperti resistensi antibiotik, efek negatif pada

ekologi keseimbangan, efek samping pada pasien, pemicu infeksi dan

peningkatan biaya perawatan (Muslim, 2018).

Data konsumsi antibiotik yang di ungkapkan Akademi Sains Nasional

(PNAS) yang terjadi di 76 negara meningkat 65% pada tahun 2015 dimana

konsumsi antibiotik yang meningkat didominasi oleh negara-negara yang

berpenghasilan rendah dan menengah (Klein et al., 2018).

*) Sari proposal ini akan diseminarkan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Ibu
Jambi pada:
Hari / tanggal :
Pukul :
Tempat :
Pembimbing : 1. Rasmala Dewi, M.Farm., Apt
2. Septa Pratama, A.Md.Li. M. Sc. T. H, Apt

1
WHO telah merekomendasikan menggunakan metode ATC/DDD

sebagai standar pengukuran internasional untuk studi penggunaan obat yang

saat ini menjadi pusat perhatian dalam pengembangan penelitian penggunaan

obat rasional salah satunya antibiotik (Muslim, 2018). Anatomical

Therapeutic Chemical (ATC) Clasification untuk klasifikasi antibiotika dan

metoda pengukuran penggunaan antibiotika menggunakan metoda Defined

Daily Dose (DDD)/ 100 patient days. Metoda Drug Utilization 90% (DU

90%) adalah metoda yang menunjukkan pengelompokan obat yang termasuk

dalam kategori 90% penggunaan yang sering digunakan bersama dengan

analisis penggunaan obat ATC/DDD (Guidelines, 2019).

Berdasarakan hasil penelitian (Febrina Mahmudah dkk, 2016) antibiotik

yang masuk segmen DU 90% di beberapa rumah sakit yang ada di Indonesia,

diantaranya penggunaan antibiotik di rumah sakit Bandung pada periode Juli

- Desember 2013. Data di seluruh puskesmas kabupaten gorontalo utara

menunjukkan pemakaian antibiotik tertinggi yaitu antibiotik amoksisilin 500

mg pada periode September 2012 - Agustus 2013 (Pani, 2015).

Terus meningkatnya penggunaan antibiotik serta masih sangat

sedikitnya penelitian di beberapa Puskesmas di Indonesia dan belum adanya

penelitian di Puskesmas Kota Jambi membuat peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian pola penggunaan antibiotik dengan metode ATC/DDD

dan DU 90% di beberapa Puskesmas Kota Jambi periode 2017 dan 2018

untuk mengetahui kuantitas penggunaan antibiotik di beberapa Puskesmas

Kota Jambi.

2
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana kuantitas penggunaan antibiotik di Puskesmas Pakuan Baru

dan Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi berdasarkan metode ATC/DDD dan

DU 90% periode 2017 dan 2018?

1.3 Batasan Masalah

Penggunaan antibiotik di Puskesmas Pakuan Baru dan Puskesmas Putri

Ayu Kota Jambi periode 2017 dan 2018 yang memiliki kode ATC/DDD.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kuantitas

penggunaan antibiotik di Puskesmas Pakuan Baru dan Puskesmas Putri Ayu

Kota Jambi berdasarkan metode ATC/DDD dan DU 90% periode 2017 dan

2018.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat digunakan sebagai data ilmiah bagi Puskesmas serta

tenaga medis dan dapat digunakan peneliti lebih lanjut untuk meningkatkan

rasionalitas dalam penggunaan antibiotik.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik

2.1.1 Definisi

Antibiotik berasal dari bahasa Yunani kuno yang merupakan

gabungan dari kata anti yang berarti melawan dan biotikos yang berarti

kehidupan. Kegiatan antibiotis untuk pertama kali ditemukan secara

kebetulan oleh dr. Alexan der Fleming (Inggris, 1928, penisilin) ketika

obat-obat antibakteri diperlukan untuk infeksi dari luka (Endro, 2012).

Antibiotik merupakan senyawa yang dihasilkan dari mikroba

yang digunakan untuk membunuh atau menekan pertumbuhan bakteri.

Kelompok obat yang digunakan untuk mengobati berbagai infeksi

bakteri seperti radang tenggorokan, kulit, infeksi saluran kemih dan

berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri lainnya. Infeksi

merupakan proses masuknya mikroorganisme dalam tubuh, kemudian

berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Sensitivitasnya

tergantung dari jumlah kuman, tingkat keganasan, dan daya tahan tubuh

(Endro, 2012).

2.1.2 Penggolongan Antibiotik

Penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimianya adalah

sebagai berikut (Katzung, 2012) :

1. Beta-laktam

Antibiotik beta-laktam merupakan senyawa obat yang

memiliki struktur cincin beta-laktam. Antibiotik golongan beta-

4
laktam, antara lain penisilin, sefalosporin, sefadroksil,

fluokloksasilin, dan nafsilin.

2. Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari lebih

dari satu gugus asam amino. Antibiotik golongan aminoglikosida,

antara lain gentamisin, amikasin, netilmisin, tubramisin, kanamisin.

3. Tetrasiklin

Tetrasiklin adalah senyawa amfoterik yang memiliki spektrum

luas yang berikatan secara reversibel dengan subunit 30S ribosom

bakteri. Antibiotik golongan tetrasiklin, antara lain klortetrasiklin,

oksitetrasiklin, doksisiklin, dan demeklosiklin.

4. Kloramfenikol

Kristal kloramfenikol merupakan suatu senyawa netral stabil.

Antibiotik golongan kloramfenikol memiliki spektrum luas yang

bersifat bersifat bakteriostatik dan aktif terhadap organisme gram

positif dan negatif. Antibiotik golongan kloramfenikol antara lain

kloramfenikol dan tiamfenikol.

5. Makrolid

Makrolid adalah suatu golongan senyawa yang berkaitan erat

dan ditandai oleh sebuah cincin lakton makrosiklik, tempat gula-gula

deoksi melekat. Antibiotik golongan makrolida antara lain

eritromisin, klaritromisin, mirosamisin, tilosin, azitromisin,

spiramisin, dan ketolid.

5
Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme aksinya

adalah sebagai berikut (Permenkes, 2011):

a. Penghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri

Antibiotik yang termasuk golongan ini ialah golongan beta-

laktam yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem,

inhibitor beta-laktamase dan golongan peptida yaitu basitrasin,

dan vankomisin.

b. Penghambat sintesis protein

Antibiotik yang termasuk golongan ini ialah golongan

aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin,

azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan

spektinomisin.

c. Penghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat

Antibiotik yang termasuk golongan ini ialah golongan

trimetoprim dan sulfonamid.

d. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat

Antibiotik yang termasuk golongan ini ialah golongan kuinolon

dan nitrofurantoin.

Penggolongan antibiotik berdasarkan sifat aktivitasnya adalah

sebagai berikut (Utami, 2011):

1. Bakteriostatik

Senyawa antibiotik golongan ini adalah salah satunya dengan

penghambatan sintesis dinding sel bakteri sehingga dinding sel

menjadi rapuh dan terjadi lisis sel. Antibiotik yang memiliki sifat

6
bakteriostatik, dimana penggunaanya tergantung status imunologi

pasien, antara lain sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol,

eritromisin, trimetropim, linkomisin, dan klindamisin.

2. Bakteriasidal

Senyawa antibiotik golongan ini bersifat dekstruktif yaitu

dapat membunuh sel bakteri. Antibiotik yang termasuk golongan

bakterisida antara lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis

besar), kotrimoksazol, rifampisin, dan isoniazid.

Penggolongan antibiotik berdasarkan spektrumnya adalah

sebagai berikut (Kirana, 2008):

1. Spektrum Sempit

Antibiotik golongan ini hanya aktif terhadap jenis bakteri

Gram positif atau bakteri Gram negatif saja dan diuraikan oleh

penisilinase.

2. Spektrum Luas

Antibiotik golongan ini dapat mempengaruhi keseimbangan

flora normal tubuh, antibiotik tersebut antara lain tetrasiklin dan

kloramfenikol.

2.1.3. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan Definitif

Berdasarkan ditemukannya kuman atau tidak, maka terapi

antibiotika dapat dibagi menjadi dua, yakni terapi empiris dan terapi

definitif.

7
a. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris

Penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum

diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik

untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan

pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,

sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.

Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik berdasarkan data

epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia, kondisi klinis

pasien, ketersediaan antibiotik, dan kemampuan antibiotik untuk

menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi.

Rute pemberian antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan

pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Lama

pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72

jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data

mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.

b. Antibiotik untuk Terapi Definitif

Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah

penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis

bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian

antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan

pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan

hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi sesuai dengan hasil

mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.

8
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik yaitu efikasi klinik

dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik, sensitivitas, biaya,

kondisi klinis pasien, diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum

sempit, ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit) dan

kesesuaian dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat

yang terkini.

Rute pemberian antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan

pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi

pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera

diganti dengan antibiotik per oral. Lama pemberian antibiotik

definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri

sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus

dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis

pasien serta data penunjang lainnya (Permenkes, 2011).

2.1.4 Faktor-Faktor Terjadinya Resistensi

Menurut Nugroho, Endro Agung (2012) resistensi merupakan

kemampuan alami bakteri untuk terpengaruh terhadap agen anti-

mikrobal. Resistensi dalam populasi bakteri dapat disebarkan melalui

tiga tingkatan, yaitu transfer bakteri antar individu, transfer gen resisten

antar bakteri, transfer gen resisten antar elemen. Penyebab utama

resistensi antibiotik adalah penggunaannya yang meluas dan irasional.

Lebih dari separuh pasien dalam perawatan menerima antibiotik sebagai

pengobatan.

9
Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan

manusia dan sedikitnya 40% berdasarkan indikasi yang kurang tepat.

Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistensi, antara

lain (Utami, 2011) :

1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional)

Terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnosa awal yang

salah, dalam potensi yang tidak adekuat.

2. Faktor yang berhubungan dengan pasien.

Pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap

wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun

disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak

dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan finansial yang

baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan

mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika

sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication). Sedangkan

pasien dengan kemampuan finansial yang rendah seringkali tidak

mampu untuk menuntaskan regimen terapi.

1) Peresepan

Dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care

expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru.

Peresepan meningkat ketika diagnosa awal belum pasti. Klinisi sering

kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya

pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.

10
2) Penggunaan di rumah sakit

Adanya infeksi endemik atau epidemik memicu penggunaan

antibiotika yang lebih massif pada bangsal-bangsal rawat inap

terutama di intensive care unit. Kombinasi antara pemakaian

antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien

yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi

nosokomial.

3) Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak

Antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati

penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik

digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang

pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik,

akan meningkatkan terjadinya resistensi.

4) Pengawasan

Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam

distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan

mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari

dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik

untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran

infeksi.

11
2.1.5 Mekanisme Terjadinya Resistensi

Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal

yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa

kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau

mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan

berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri

terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat

menghentikan perkembangan bakteri. Timbulnya resistensi terhadap

suatu antibiotik terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme,

antara lain (Utami, 2011):

1. Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur

antibiotika.

2. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat.

3. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi

obat.

4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang

langsung dihambat oleh obat.

5. Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat

melakukan fungsi metabolismenya, tetapi lebih sedikit

dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan.

12
2.2 Sistem ATC/DDD

2.2.1 Sejarah Sistem ATC/DDD

Bidang Penelitian Pemanfaatan obat mulai menarik perhatian

sejak adanya metode ATC/DDD tahun 1960. Pada simposium di Oslo

pada tahun 1969 The Consumption of Drugs menyetujui bahwa

diperlukan suatu sistem klasifikasi yang dapat diterima secara

internasional untuk studi penggunaan obat. Pada simposium yang sama

The Drug Utilization Research Group (DURG) mengembangkan

metode untuk penelitian penggunaan obat. Dengan modifikasi dan

pengembangan sistem klasifikasi The European Pharmaceutical

Market Research Association (EPhMRA), para peneliti Norwegian

mengembangkan sistem yang dikenal sebagai sistem Anatomical

Therapeutic Chemical (ATC) (Guidelines, 2019).

Defined Daily Dose (DDD) digunakan untuk memperbaiki unit

pengukuran internasional dengan tujuan penelitian yang digunakan

dalam studi penggunaan obat (Patel, 2016). Pada tahun 1981, kantor

regional WHO Eropa merekomendasikan sistem ATC/DDD untuk studi

penggunaan obat internasional. Sehubungan dengan ini, dan untuk

membuat agar metode ini digunakan lebih luas, diperlukan sebuah

badan pusat yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasi

penggunaan metodologi ini. The WHO Collaborating for Drug Statistic

Methodology didirikan dan diberi tanggung jawab untuk

mengembangkan dan penggunaan sistem ATC/DDD di Oslo pada

13
tahun 1982. Pusatnya sekarang di Norwegian Institute of Public Health

(Guidelines, 2019).

Pada tahun 1996, WHO menyatakan perlu untuk mengembangkan

penggunaan sistem ATC/DDD sebagai suatu standar internasional

untuk studi penggunaan obat. Hal ini penting untuk menyeragamkan

studi penggunaan obat internasional dan untuk direalisasikan dalam

pencapaian akses universal kebutuhan obat dan penggunaan obat yang

rasional di negara-negara berkembang. Edukasi atau intervensi lain dan

memonitor outcome dari intervensi (Guidelines, 2019).

2.2.2 Tujuan Sistem ATC/DDD

Tujuan dari sistem ATC/DDD adalah sebagai suatu metode

kuantitatif yang digunakan dalam penelitian penggunaan obat untuk

mengetahui dan meningkatkan kualitas penggunaan obat. Sistem

ATC/DDD ini telah direkomendasikan oleh WHO dan dijadikan acuan

internasional dalam studi penggunaan (Muslim, 2018).

Tujuan utama The Centre and Working Group adalah untuk menjaga

stabilitas kode ATC dan DDD sepanjang waktu untuk mengikuti trend

penggunaan obat, dan studi penggunaan obat ini tidak dipengaruhi oleh

perubahan sistem (Guidelines, 2019).

2.2.3 Sistem Klasifikasi ATC

Dalam sistem ATC, obat dibagi dalam kelompok yang berbeda

berdasarkan organ atau sistem dimana mereka bertindak sebagai sifat

terapi, sifat farmakologi dan kimia. Obat diklasifikasikan dalam

14
kelompok pada lima tingkat yang berbeda. Level pertama, obat dibagi

dalam 14 kelompok utama anatomi (Guidelines, 2019).

1. Level 1, level yang paling luas, obat dibagi menjadi 14 kelompok

utama anatomi. Kode level pertama berdasarkan huruf, contoh“J”

untuk anti infeksi yag bekerja secara sistemik.

a) A untuk obat yang bekerja pada sistem digestif (saluran cerna)

b) B untuk obat darah dan organ pembentuk darah

c) C untuk obat yang bekerja pada sistem kardiovaskuler

d) D untuk obat yang bekerja pada kuit

e) G untuk obat yang bekerja pada sistem urinari

f) H untuk obat yang bekerja padaa sistem hormonal

g) J untuk obat antiinfeksi yang bekerja secara sistemik

J01 : penggunaan antibiotik secara sistemik

h) L untuk obat yang bekerja menghambat dan membunuh sel

kanker

i) M untuk obat yang bekerja pada otot/tulang sendi

j) N untuk obat yang bekerja pada sistem saraf

k) P untuk obat yang bekerja sebagai antiparasit dan insektisida

l) R untuk obat yang bekerja pada sistem pernapasan

m) S untuk obat yang bekerja pada alat panca indera

n) V untuk obat yang sulit di tentukan DDDs-nya (misal allergen)

2. Level 2, kelompok utama farmakologi dan terdiri dari dua digit.

3. Level 3, kelompok farmakologi dan terdiri dari satu huruf.

4. Level 4, kelompok kimia dan terdiri dari satu huruf.

15
5. Level 5, kelompok zat kimia dan terdiri dari dua digit

Sebagai contoh sistem hirarki untuk klasifikasi obat

siprofloksasin dengan kode ATC.

Struktur ATC Level Makna


J 1 Antiinfeksi
01 2 Obat Antibiotik
M 3 Golongan Quinolon
A 4 Floroquinolon
02 5 Siprofloksasin
Gambar 2.1 Klasifikasi Siprofloksasin berdasarkan kode ATC

Siprofloksasin diklasifikasikan dalam 5 level dan diberi kode 7 digit

yaitu J01MA02 (Guidelines, 2019) dimana :

Level 1 = J, obat termasuk kelompok yang bekerja sebagai Antiinfeksi.

Level 2 = 01, obat lebih spesifik termasuk subkelompok antibiotik.

Level 3 = M, obat termasuk subkelompok antibiotik golongan Quinolon

Level 4 = A, obat termasuk subkelompok kimia derivate floroquinolon

Level 5 = 02, obat substansi kimia siprofloksasin.

2.2.4 DDD (Defined Daily Dose)

Defined Daily Dose (DDD) merupakan suatu unit pengukuran

yang diasumsikan sebagai dosis pemeliharaan rata-rata per hari yang

diperkirakan untuk indikasi utama orang dewasa. DDD hanya

ditetapkan untuk obat yang mempunyai ATC. DDD didefinisikan

sebagai unit pengukuran dan tidak selalu mencerminkan dosis harian

yang direkomendasikan atau diresepkan. DDD harus mencerminkan

dosis secara umum yang terlepas dari variasi genetik. Data penggunaan

obat yang masuk pada DDD hanya memberi perkiraan dari

16
penggunaan, bukan gambaran yang tepat tentang penggunaan yang

sebenarnya. Hanya satu DDD yang diberikan ATC (WHO, 2018)

Penggunaan obat dapat dibandingkan dengan menggunakan unit DDD

(WHO, 2018):

1) Jumlah DDD/ 1000 populasi per hari, untuk total penggunaan rawat

jalan. Perhitungan unit DDD untuk pasien rawat jalan menggunakan

rumus sebagai berikut (WHO, 2018):

DD 1 tahun = Total penggunaan obat (g)

DDD obat (WHO)

DDD/1000 KPRJ = Total DDD (1 tahun)

Total KPRJ/1000

% Antibiotik = Total nilai DDD/1000 KPRJ antibiotik x 100%

Total nilai DDD/1000 KPRJ seluruh antibiotik

KPRJ : Kunjungan Pasien Rawat Jalan

2.2.5 Drug Utilization ( DU 90% )

Metode Drug Utilization 90% merupakan metode yang

menunjukkan pengelompokan obat yang masuk dalam segmen 90%

penggunaan, yang sering digunakan bersamaan dengan menggunakan

metode ATC/DDD. Penilaian terhadap obat yang masuk kedalam

segmen 90% diperlukan untuk menekankan segmen obat tersebut dalam

hal evaluasi, pengendalian penggunaan dan perencanaan pengadaan

obat.

17
Metode ini bertujuan untuk membuat pengelompokkan data dari

penggunaan obat, sehingga dapat menilai kualitas dari penggunaan

obat. Keuntungan dari metode DU 90% dibandingkan dengan indikator

lain adalah menggunakan perhitungan jumlah penggunaan obat, dengan

data penggunaan obat berdasarkan metode ATC/DDD dengan

perbandingan bertaraf internasional (WHO, 2018).

18
BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Juli - Agustus 2019 di Puskesmas

Pakuan Baru dan Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi dengan data periode

Januari 2017 - Desember 2018.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif

dengan pengambilan data secara retrospektif di Puskesmas Pakuan Baru

dan Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi periode 2017 dan 2018. Data

yang digunakan adalah data rekam medik, resep, dan buku register

pasien rawat jalan yang mendapat terapi antibiotik sesuai dengan

kriteria inklusi.

3.2.2 Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Semua data rekam medik, resep, dan buku register pasien di

Puskesmas Pakuan Baru dan Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi

periode 2017 dan 2018.

2.Sampel

Data rekam medik, resep, dan buku register pasien rawat

jalan yang mendapat terapi antibiotik di Puskesmas Pakuan Baru dan

19
Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi yang memenuhi kriteria inklusi

pada periode 2017 dan 2018.

Kriteria inklusi meliputi :

a. Pasien yang menggunakan antibiotik pada periode 2017 dan

2018

b. Antibiotik yang digunakan memiliki kode ATC

c. Rekam medik, resep dan buku register yang lengkap dan dapat

terbaca dengan jelas : usia pasien, jenis kelamin, nama antibiotik,

kode ATC, diagnosa penyakit, bentuk sediaan kekuatan sediaan,

frekuensi pemakaian).

d. Antibiotik tunggal dan kombinasi

e. Pasien dewasa

Kriteria eksklusi meliputi :

a. Pasien yang menggunakan obat anti TBC

b. Antibiotik yang tidak memiliki kode ATC J01

c. Antibiotik yang tidak memiliki kode ATC

d. Pasien anak-anak

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah seluruh rekam

medik, resep, buku register pasien rawat jalan yang mendapatkan terapi

antibiotik yang sesuai dengan kriteria inklusi. Sampel yang terpilih

kemudian dilakukan pengambilan data penggunaan antibiotik berupa

nomor rekam medik, resep, buku register, usia pasien, diagnosa

20
penyakit, nama antibiotik, kode ATC, bentuk sediaan, kekuatan

sediaan, frekuensi pemakaian dan total penggunaan.

3.4 Analisa data

Data yang diperoleh akan dikumpulkan menjadi data dasar untuk

kemudian dihitung penggunaan antibiotiknya. Data yang diperoleh dihitung

dengan unit pengukuran DDD/1000 pasien/hari. Data masing-masing

antibiotik yang diperoleh, dikelompokkan berdasarkan pengelompokkan ATC

dengan kode J01 yang menujukkan kode antiinfeksi untuk penggunaan

sistemik. Kode ATC/DDD antibiotik yang digunakan pada periode penelitian

dapat diakses melalui http://www.whocc.no/atc-ddd-in-dex/.

3.5 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Bulan Ke
No Kegiatan
1 2 3 4 5 6
1 Penyusunan proposal
2. Persiapan dan Seminar
Proposal
3. Pelaksanaan
penelitian/pengolahan
data
4. Penyusunan hasil
penelitian/ seminar hasil
5. Penyempurnaan skripsi
dan persiapan ujian
komprehensif
6. Ujian Komprehensif

21
DAFTAR PUSTAKA

Endro, nugroho agung. (2012). farmakologi obat-obat penting dalam


pembelajaran ilmu farmasi dan dunia kesehatan (1st ed.). yogyakarta:
Pustaka Belajar.

Katzung, B. G. (2012). Basic & Clinical Pharmacology Edisi 12 (12th ed.).


jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Kirana, T. T. H. & R. (2008). Obat-Obat Penting (6th ed.). jakarta: PT Alex


Media Komputindo.

Klein, E. Y., Boeckel, T. P. Van, Martinez, E. M., Pant, S., Gandra, S., & Levin,
S. A. (2018). Global increase and geographic convergence in antibiotic
consumption between 2000 and 2015. PNAS Lates Article, 1–8.
https://doi.org/10.1073/pnas.1717295115

Mahmudah, F., Sumiwi, S. A., & Hartini, S. (2016). Studi Penggunaan Antibiotik
Berdasarkan ATC / DDD dan DU 90 % di rumah sakit Bandung, 5(4), 1–6.
https://doi.org/10.15416/ijcp.2016.5.4.293

Muslim, Z. (2018). Antibiotic Prescription To Pediatric In Hospital Bengkulu ,


Indonesia : ATC / DDD INDEX, 10(5), 10–13.

Pani, S. (2015). Monitoring the Use of Antibiotics by the ATC / DDD Method
and DU 90 %: Observational Studies in Community Health Service Centers
in North Monitoring Penggunaan Antibiotik dengan Metode ATC / DDD dan
DU 90 %: Studi Observasional di Seluruh Puskesmas Kabupa, (December).
https://doi.org/10.15416/ijcp.2015.4.4.280

Menkes. (2011). Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor


2406/Menkes/per/XII/2011 tentang pedoman umum penggunaan
antibiotik

Utami, E. R. (2011). Antibiotika, Resistensi, Dan Rasionalitas Terapi, 193.

22
World health organization. (2019). Guidelines for ATC clasification and DDD
asigment.

World health organization. (2018). Collaborating centere for drug statistic


methodology ATC and DDD.

Woolhouse, M., Waugh, C., Perry, M. R., & Nair, H. (2016). Global disease
burden due to antibiotic resistence, 6(1), 6–10.

Pani,Sarini, Melisa I, Eli melisa, pradipta ivan, anissa nurul. (2015).


MonitoringPenggunaan Antibiotik Dengan Metode ATC/DDD Dan DU
90 %: Studi Observasional Di Seluruh PuskesmasKabupaten
Gorontalo Utara. Jurnal farmasi klinik 4(4): 275 80

23
Lampiran 1 : Skema Kerja Penelitian

Survey awal

Puskesmas

Rekam Medik Pasien, Resep,


dan Buku Register Rawat Jalan

Kriteria inklusi dan Ekslusi

Pengambilan Data

Analisa Data

Pembahasan

Kesimpulan
dan saran

24
Lampiran 2 : Lembar Pengambilan Data

N No Rese Buku Usia Diagnosa Nama Kode Bentuk Kekuata Frekuensi Total
o Rekam p Registe penyakit Antibioti ATC sediaan n sediaan Pemakaian Penggu
Medik r Pasien k naan

25
Lampiran 3 : Kode ATC

26

Anda mungkin juga menyukai