Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN TUTORIAL FARMAKOTERAPI TERAPAN

KASUS PENCERNAAN DAN PERNAPASAN


ASITES PERMAGNA SIROSIS HEPATIK

Disusun Oleh:
KELOMPOK : 2

Arin Dwi Rachmawati I4C018053


Sri Putri Wulandari I4C018058
Khumrotin Entik Styaningsih I4C018063
Bina Maraya Lestyoningrum I4C018068
Siskha Novi Nugrahaheni I4C018073
Lena Lindaswastuti I4C018078
Dwi Esti Vania A. I4C018083
Nining Sriyanti I4C018088
Sukmawati Marjuki I4C018093

Tanggal : Selasa, 12 Maret 2019


Tutor : Bp. Dewanto, M.Farm., Apt

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
PURWOKERTO
2019
KASUS PENCERNAAN DAN PERNAPASAN
ASITES PERMAGNA SIROSIS HEPATIK

A. Kasus
Ny. L (P) berusia 56 tahun, BB 63 kg, TB 158 cm. Keluhan saat masuk
rumah sakit nyeri perut, perut membesar, lemas, demam (malam hari), sesak,
mual, muntah, BAB hitam, gelisah susah tidur, dan kurang nafsu makan.

Diangnosis dokter : Asites permagna sirosis hepatik

Data lab : Tanda-tanda vital pasien saat MRS suhu tubuh 370C, Nadi 80
x/menit, Nafas 20 x/menit, dan tekanan darah 130/80 mmHg.

Keluhan :

Keluhan 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2

Nyeri perut + - - Tidak ada - -


pemeriksaan
Perut membesar + + + - -

Lemas + + + - +

Demam (malam hari) + + + - +

Sesak nafas + - - - -

Mual + - - - -

BAB hitam + + ++ ++ +

Kurang nafsu makan ++ + + - -

Gelisah susah tidur + + + + +


Pemeriksaan :

Tanda-tanda vital

TTV Satuan 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2

TD mmHg 130/80 130/80 150/100 Tidak ada 120/100 110/70


pemeriksaan
Nadi x/menit 80 87 89 96 84

Suhu 0
C 37 37 37 36,7 36,4

Nafas x/menit 20 21 20 20 20

Data laboratorium

Parameter 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2

Albumin 1,52 - 2,13 - 2,13 -

Bilirubin direct 4,72 - - - - -

Bilirubin indirect 2,16 - - - - -

Bilirubin total 6,88 - - - - -

Globulin - - 4,13 - - -

Hemaglobin 8,9 - - - 10,4 -

Total protein 5,76 - 6,26 - - -

SGPT 77 - - - - -

SGOT 104 - - - - -
Terapi saat di rumah sakit

Terapi Obat Dosis 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2

Inj Cefataxime 2x1 gr √ √ √ √ √ √

Inj Omeprazole 1x1 amp √ √ √ √ √ √

Inj Vitamin K 3x1 amp √ √ √ √ √ √

Urdahex po 2x1 √ √ √ √ √ √

Albuforce po 3x1 - √ √ √ √ √

Spironolactone po 1-0-0 - - - - - √

Aminofusin hepar iv 10 tpm √ √ √ √ √ √

Transfusi albumin iv 100 cc - √ - - √ -

B. Dasar Teori

Hati merupakan organ kelenjar terbesar dengan berat kira-kira


1200-1500 gram. Hati terletak di dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya
di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat
ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara
memecahkan beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan
amonia, urea, dan asam urayty dengan memanfaatkan nitrogen dari asam
amino (Azma, 2016).
Hati memiliki peran sangat penting dalam metabolisme glukosa dan
lipid, membantu proses pencernaan, absorbsi lemak dan vitamin yang larut
dalam lemak, serta detoksifikasi tubuh terhadap zat toksik. Pemeriksaan
fungsi hati diindikasikan untuk penapisan atau deteksi adanya kelainan atau
penyakit hati, membantu menengakkan diagnosis, memperkirakan beratnya
penyakit, membantu mencari etiologi suatu penyakit, menilai hasil
pengobatan, membantu mengarahkan upaya diagnostik serta menilai
prognosis penyakit dan disfungsi hati (Azma, 2016).

Jenis uji fungsi hati dapat dibagi menjadi 3 besar yaitu penilaian fungsi
hati, mengukur aktivitas enzim, dan mencari etiologi penyakit. Pada
penilaian fungsi hati diperiksa fungsi sintesis hati, eksresi, dan detoksifikasi
(Azma, 2016). Hati merupakan organ yang memiliki kemampuan regenerasi
yang cepat, akan tetapi kemampuan tersebut dapat dirusak oleh penggunaan
alkohol jangka panjang maupun virus hepatitis. Dalam jangka panjang
kerusakan hati akan berkembang menjadi sirosis hati Sirosis hati ditandai
dengan peradangan, nekrosis sel hati, fibrosis difus dan nodul-nodul
regenerasi sel hati (Farida et al., 2014).

Ketika sel-sel hati sudah mengalami sirosis, maka akan timbul berbagai
kemungkinan komplikasi antara lain hipertensi portal, ascites, spontaneous
bacterial peritonitis (SBP), varises esofagus, dan hepatik ensefalopati.
Antara komplikasi satu dengan yang lain saling terkait. Asites hanya akan
muncul jika pasien mengalami hipertensi portal. Pasien yang mengalami
varises esofagus akan berisiko terjadi perdarahan karena ruptur esofagus,
pada keadaan perdarahan akan menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya
Hepatik ensefalopati (Farida et al., 2014).

B.1. Patofisiologi

B.1.1. Patofisiologi Sirosis Hati

Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang


menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung secara
progresif. Kerusakan akan berlanjut menjadi gangguan dari susunan hepar
dan peningkatan vaskularisasi yang menyebabkan terjadinya varises atau
pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun esophagus (Elfatma et
al., 2017).

World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan


783.000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling
banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus
hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak dihubungkan dengan infeksi
virus hepatitis B dan C karena penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi
dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati
terinfeksi hepatitis B atau C. South East Asia Regional Office (SEARO)
tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia Tenggara adalah
pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480.000 orang pembawa hepatitis
C. (WHO, 2011).

Akibat masukan alkohol, infeksi hepatitis virus tipe B/C, atau toxin
lain, mengakibatkan destruksi hepatosit yang berkepanjangan, muncul
fibroblas (termasuk miofibroblas yang memiliki kemampuan berkontraksi)
di tempat cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di zona
periportal dan perisentral muncul septa jaringan ikat seperti jaring yang
akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan
jaringan ikat halus ini mengelilingi massa kecil sel hati yang masih ada,
lalu mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Walaupun terjadi
regenerasi pada sel hati yang masih ada, kerusakan sel biasanya melebihi
perbaikannya. Akibat destruksi hepatosit dan penimbunan kolagen yang
berkelanjutan, ukuran hati menciut, tampak berbenjol-benjol (noduler),
dan menjadi keras karena berbentuk Cirrhosis “stadium akhir” (Setiawan,
2011).

Sumber utama pembentukan kolagen pada sirosis hepatis terutama


terjadi pada sel stelata hepatik perisinusoidal (sel Ito), yang terdapat di
Space of Disse. Walaupun pada umumnya berfungsi sebagai sel
penyimpan vitamin A, sel-sel tersebut teraktivasi sejalan dengan terjadinya
Cirrhosis Hepatis, penyimpanan retinil ester menghilang, dan berubah
menjadi sel seperti myofibroblas. Stimuli dari sintesis dan deposisi dari
kolagen juga dapat bersumber dari: (Setiawan, 2011).

1. Inflamasi kronis, dengan produksi sitokin inflamasi seperti Tumor


Necrosis Factor (TNF)-á, Transforming Growth Factor (TGF)-â, dan
interleukin-1

2. Produksi sitokin dari sel endogen yang terstimulasi (sel Kupffer, sel
endotel, hepatosit, dan sel epitel duktus biliaris)

3. Disrupsi dari matrix extraselular.

4. Stimulasi langsung dari sel stelata oleh toxin.


Klasifikasi Cirrhosis Hepatis menurut Child pugh juga digunakan
sebagai dasar diagnosis Cirrhosis Hepatis.

Sirosis menghasilkan peningkatan tekanan darah portal karena


perubahan fibrotic dalam sinusoid hati, perubahan kadar vasodilatasi dan
vasokonstriktor mediator, dan peningkatan aliran darah ke pembuluh darah
splanknik. Secara patofisiologis kelainan penyebab atau masalah yang
biasa ditemui yaitu asites, hipertensi portal dan varises esofagus, HE, dan
gangguan koagulasi (Dipiro, 2015).

B.1.2 Hipertensi Porta

Gejala utama Cirrhosis Hepatis adalah hipertensi portal. Tekanan


portal yang normal adalah antara 5-10 mmHg. Pada hipertensi portal
terjadi kenaikan tekanan dalam sistem portal yang lebih dari 15 mmHg dan
bersifat menetap. Keadaan ini akan menyebabkan limpa membesar
(splenomegali), pelebaran pembuluh darah kulit pada dinding perut
disekitar pusar (caput medusae), pada dinding perut yang menandakan
sudah terbentuknya system kolateral, wasir (hemorrhoid), dan penekanan
pembuluh darah vena esofagus atau cardia (varices oesophagus) yang
dapat menimbulkan muntah darah (hematemesis), atau berak darah
(melena). Jika pendarahan yang keluar sangat banyak maka penderita bisa
timbul syok (renjatan) ( Setiawan, 2011).

Hipertensi portal ditandai oleh hipervolemia, peningkatan indeks


jantung, hipotensi, dan penurunan resistensi vaskular sistemik. Gejala
terpenting hipertensi portal adalah perkembangan varises dan rute
alternatif aliran darah yang menghasilkan perdarahan varises akut.
Perkembangan menuju perdarahan dapat diprediksi oleh skor Child-Pugh,
ukuran varises, dan kehadiran tanda wale merah pada varices (Dipiro,
2015).

Perdarahan akibat pecahnya varises gastroesofagus (VGE)


merupakan komplikasi yang berbahaya bagi pasien sirosis hati. Varises
gastroesofagus adalah pelebaran pembuluh darah di gaster atau esofagus
yang terjadi semakin besar. Pecahnya varises tersebut akan menimbulkan
perdarahan. Varises terjadi pada hampir 50% pasien dengan sirosis hati.
Penyebab peningkatan aliran darah adalah peningkatan curah jantung dan
penurunan tahanan vaskuler sistemik. Hal tersebut mengakibatkan
sirkulasi meningkat dengan vasodilatasi arteri sistemik dan splanknik,
yang semakin memperburuk hipertensi porta. Peningkatan tekanan porta
(hipertensi porta) menyebabkan dilatasi pembuluh darah terutama yang
berasal dari vena azygos, yang kemudian menyebabkan varises. Varises
terjadi jika terdapat peningkatan perbedaan tekanan antara vena porta dan
vena hepatika lebih dari 10 mmHg. Varises akan semakin berkembang
akibat peningkatan aliran darah ke tempat varises dan terjadi rupture
(Widjaja dan karjadi, 2011). Keadaan ini dapat menimbulkan muntah
darah (Hematemesis) atau BAB berdarah (melena) (setiawan, 2011).

B.1.2 Asites

Asites adalah akumulasi patologis cairan getah bening di dalam


rongga peritoneum. Perkembangan asites terkait dengan vasodilatasi arteri
sistemik yang mengarah ke aktivasi baroreseptor di ginjal dan aktivasi
renin sistem angiotensin-aldosteron, aktivasi sistem saraf simpatis, dan
pelepasan hormon antidiuretik sebagai respons terhadap hipotensi arteri.
Perubahaan ini menyebabkan retensi natrium dan air (Dipiro, 2015). Asites
terjadi akibat tingginya tekanan portal yang disertai dengan kadar albumin
yang rendah dan retensi natrium. Albumin dan protein-protein opsonic
lainnya berperan protektif terhadap bakteri. Sehingga pada penderita asites
akan lebih mudah untuk berkembang menjadi Spontaneous Bacterial
Peritonitis (Setiawan, 2011).

Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) adalah infeksi cairan asites


oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intraabdominal.
Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen. Spontaneous Bacterial Peritonitis dapat disebabkan karena
perforasi usus yang dapat menyebabkan masuknya organisme patogen ke
dalam rongga peritoneum. Agen yang berperan dalam etiologi
Spontaneous Bacterial Peritonitis kebanyakan adalah monobakterial, yang
pada umumnya adalah flora intestinal (>90%). ¾ kasus Spontaneous
Bacterial Peritonitis disebabkan oleh organisme aerob gram negatif (50%
nya adalah Eschericia coli), dan ¼ nya disebabkan oleh organisme aerob
gram positif (19% pneumococci). Organisme anaerob jarang terjadi karena
cairan asites memiliki tekanan oksigen yang tinggi. Cairan asites
merupakan medium kultur yang baik untuk beberapa patogen, termasuk
Enteobacteriaceae (khususnya E.coli), group D streptokokus
(enterokokus), Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus viridian
(Setiawan, 2011).

B.1.4 Hepatik Ensefalopati (HE)

Hepatik Ensefalopati (HE) merupakan komplikasi yang sering


ditemukan pada pasien sirosis hepar. HE tidak hanya menyebabkan
penurunan kualitas hidup, namun juga memberikan prognosis buruk pada
pasien dengan sirosis hepar. HE merupakan kejadian penting dalam
perjalanan penyakit sirosis dan merupakan prediktor mortalitas independen
pada pasien dengan acute on chronic liver failure. Pada kasus yang berat
dapat menjadi koma atau meninggal (Caropeboka MD, 2013).

Hepatik ensefalopati adalah sebuah gangguan pada sistem saraf


pusat ditandai dengan perubahan personalitas, gangguan intelektual, dan
penurunan tingkat kesadaran. Hepatik ensealopati juga terjadi pada pasien
tanpa sirosis dengan shunt portosistemik spontan. Diagnosa Hepatik
ensefalopati harus dipikirkan pada pasien yang menunjukkan gangguan
fungsi motoric dengan tidak ada gangguan metabolik atau pengaruh obat,
dan sistem neurologis normal (Caropeboka MD, 2013). Pada keadaan
normal di dalam tubuh ammonia berasal dari metabolism protein dan
produksi bakteri usus. Hati berperan dalam detoksifikasi ammonia menjadi
urea yang akan dikeluarkan oleh ginjal. Gangguan fungsi detoksifikasi
oleh sel hati akan meningkatkan kadar ammonia menyebabkan gangguan
kesadaran yang disebut ensefalopati atau koma hepatikum (Rosida, 2016).
Hepatic Encephalophaty diklasifikasi menjadi 3 yaitu Tipe A diinduksi
oleh gagal hati akut, tipe B hasil dari portal-sistemik Bypass tanpa
penyakit hati intrinsik, dan tipe C terjadi dengan sirosis (Dipiro, 2015).

B.2. Guideline terapi sirosis dengan komplikasi

( Starr dan Raines, 2011).


C. Penatalaksanaan Kasus dan Pembahasan

1. Subjective

Nama pasien : Ny. L

Usia : 56 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

BB/TB : 63 kg/ 158 cm

Keluhan utama : Nyeri perut, perut membesar, lemas, demam


(malam hari), sesak, mual, muntah, BAB
hitam, gelisah susah tidur, dan kurang nafsu
makan.

Riwayat pengobatan : -

Diagnosis : Asites permagna sirosis hepatik

2. Objective

a. Parameter penyakit

TTV Normal 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 Ket.

TD (mmHg) 120/80 130/ 130/ 150/ Tidak ada 120/ 110/ Meningkat
80 80 100 pemeriksaan 100 70

Nadi (x/menit) 60-100 80 87 89 96 84 Normal

Suhu (0C) 36,5-37,3 37 37 37 36,7 36,4 Normal

Nafas 12-20 20 21 20 20 20 Normal


(x/ menit)

Nyeri perut - + - - - - Positif


Perut - + + + - - Positif
membesar

Lemas - + + + - + Positif

Demam - + + + - + Positif
(malam hari)

Sesak nafas - + - - - - Positif

Mual - + - - - - Positif

BAB hitam - + + ++ ++ + Positif

Kurang nafsu - ++ + + - - Positif


makan

Gelisah susah - + + + + + Positif


tidur

(Kemenkes RI, 2011).

Penjelasan :

1. Tekanan darah

Tekanan darah meningkat karena adanya bleading.

2. Nyeri perut

Nyeri perut disebabkan karena terjadinya inflamasi atau peradangan pada sel
hati pada sirosis hati. Nyeri perut hanya terjadi pada hari pertama dan mulai
hilang atau berkurang pada hari kedua perawatan. Adanya indikasi tidak
diterapi yaitu indikasi nyeri pada hari pertama.

3. Perut membesar

Perut membesar diakibatkan dari penumpukan cairan pada rongga perut atau
disebut ascites.
4. Lemas

Pasien lemas dikarenakan kekurangan nutrisi dan anemia.

5. Demam (malam hari)

Pasien dimungkinkan terkena infeksi.

6. Sesak nafas

Pasien mengalami sesak nafas karena adanya penekanan pada diafragma


ketika terjadi sirosis hati

7. Mual

Mual terjadi karena adanya penekanan lambung sehingga asam lambung


naik.

8. BAB hitam

BAB hitam karena terjadi pecahnya pembuluh darah yang ditandai dengan
peningkatan Tekanan darah.

9. Kurang napsu makan

Kurang napsu makan mulai berkurang pada hari ke 5 dan 6 selaras dengan
mulai berkurangnya rasa tidak nyaman akibat pembesaran perut.

10. Gelisah susah tidur

Gelisah susah tidur dialami dari awal hingga akhir sebagai akibat dari
ketidaknyamanan diperut untuk tidur, akan berkurang seiring dengan
tertanganinya asites.
b. Data Laboratorium

Parameter Normal 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 Ket.

Albumin 3,5 – 5,5 1,52 - 2,13 - 2,13 - Menurun


g/dL

Bilirubin 0,1-0,3 4,72 - - - - - Meningkat


direct mg/Dl

Bilirubin 0,2-0,7 2,16 - - - - - Meningkat


indirect mg/Dl

Bilirubin 0,3-1,0 6,88 - - - - - Meningkat


total mg/Dl

Globulin 1,5-3,5 - - 4,13 - - - Meningkat


g/Dl

Hemaglobin 12-16 8,9 - - - 10,4 - Menurun


g/Dl

Total 6,3-8 5,76 - 6,26 - - - Menurun


protein g/Dl

SGPT 0-30 U/l 77 - - - - - Meningkat

SGOT 0-40 U/l 104 - - - - - Meningkat

Penjelasan :

1. Albumin

Hipoalbuminuria terjadi akibat kematian sel hati, terapi transfusi albumin iv


pada hari kedua dan kelima sehingga sedikit memperbaiki hipoalbuminuria
yang dialami pasien meskipun pasien masih hipoalbuminuria.
2. Billirubin direct, bilirubin indirect, dan bilirubin total

Peningkatan billirubin direct, bilirubin indirect, dan bilirubin total


disebabkan oleh penurunan fungsi hati dalam metabolisme bilirubin dan
kemungkinan batu empedu.

3. Globulin

Peningkatan globulin karena adanya kerusakan inflamasi/peradangan pada


penyakit sirosis hepatis yang diderita

4. Hemoglobin

Hemoglobin menurun akibat pecahnya pembuluh darah yang dimungkinkan


anemia, HB meningkat pada pemeriksaan hari ke lima sebagai implikasi.

5. Total protein

Hipoprotein terjadi akibat kematian sel hati, terapi transfusi albumin iv pada
hari kedua dan kelima sehingga sedikit memperbaiki kadar protein total yang
dialami pasien meskipun pasien masih hipoprotein dan hal ini juga terkait
kadar albumin yang meningkat pada hari tersebut.

6. SGPT dan SGOT

Peningkatan SGPT dan SGOT disebabkan oleh kerusakan sel hati pada
penyakit sirosis hepatis yang diderita
3. Problem medik

Diagnosa pasien : Asites Permagna sirosis hepatik

Terapi yang diterima Pasien :

Terapi Obat Dosis 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2

Inj Cefataxime 2x1 gr √ √ √ √ √ √

Inj Omeprazole 1x1 amp √ √ √ √ √ √

Inj Vitamin K 3x1 amp √ √ √ √ √ √

Urdahex po 2x1 √ √ √ √ √ √

Albuforce po 3x1 - √ √ √ √ √

Spironolactone po 1-0-0 - - - - - √

Aminofusin hepar iv 10 tpm √ √ √ √ √ √

Transfusi albumin iv 100 cc - √ - - √ -

4. Assesment (DRP pasien)

Tgl. Problem Subjective Objective Assesment


medik

21/2 Sirosis hati Nyeri perut, Penurunan DRP : Adjusment dose (Inj.
sd. perut Albumin, Cefotaxime)
26/2 membesar, Peningkatan
Terapi cefotaxime digunakan sebagai
demam, bilirubin direct,
Terapi empiris pada pasien SBP
mual, indirect dan total,
adalah 2 gram setiap 8 jam selama 5
muntah, BAB Peningkatan SGPT
hari.
hitam, dan SGPT
gelisah susah
tidur.

21/2 Sirosis hati Nyeri perut, Penurunan DRP : Terapi kurang efektif (Inj.
sd. perut Albumin, Omeprazole)
26/2 membesar, Peningkatan
Omeprazole merupakan golongan
demam, bilirubin direct,
obat PPI (Proton Pump Inhibitor)
mual, indirect dan total,
ketika penggunaan jangka panjang
muntah, BAB Peningkatan SGPT
pada pasien sirosis hati dapat
hitam, dan SGPT
meningkatkan insiden patah tulang,
gelisah susah
infeksi clostridium difficile (CDI),
tidur.
HE dan SBP. Sehingga perlu
dilakukan pergantian terapi yaitu
terapi H2RA (ranitidin) yang tidak
memiliki resiko pada pasien sirosis
hati.

21/2 Sirosis hati - Peningkatan DRP : Obat kurang tepat (Urdahex


sd Bilirubin direct, po)
26/2 Bilirubin indirect,
Urdahex kontraindikasi dengan
dan bilirubin total
penyakit hati kronis. Sehingga
pemberian urdahex po dihentikan.

21/2 Sirosis Hati - - DRP : Adjusment dose


sd. (Aminofusin hepar iv 10 tpm)
26/2
Berdasarkan perhitungan kebutuhan
aminofusin hepar adalah 25200
ml/hari dengan kecepatan 17 tpm.

26/2 Asites Perut Peningkatan SGPT DRP : Indikasi tanpa terapi


membesar, dan SGOT, ( Spironolakton po)
sesak dan
mual penurunan albumin Pemberian terapi spironolakton
sebaiknya diberikan pada awal
pasien masuk rumah sakit untuk
mengurangi cairan di peritonealnya.

- Asites Perut Peningkatan SGPT DRP : Kebutuhan terapi


membesar, dan SGOT, tambahan (Furosemid)
sesak dan penurunan albumin
Pengobatan asites berdasarkan
mual
guideline EASL (2017) adalah
menggunakan terapi kombinasi
spironolakton dan furosemid .

21/2 Acute BAB hitam Peningkatan TD DRP : Indikasi tanpa terapi


sd. variceal (23/2) dan
Pasien yang mengalami acute
26/2 bleeding penurunan Hb
variceal bleeding seharusnya
menurun (21/2;
diberikan obat vasoaktif (Octreotide)
25/2)
saat MRS.

21/2 Melena - Peningkatan DRP : Adjusment dose (Inj.


sd. Albumin, bilirubin Vitamin K)
26/2 direct, bilirubin
Pasien sirosis hati dekompensasi,
indirect dan
seharusnya diberi injeksi vitamin K
bilirubin total
10 mg yang diberikan selama tiga
Peningkatan hari untuk mengatasi defisiensi
SGOT dan SGPT vitamin K.

Penurunan Hb

22/2 Hipoalbumin - Penurunan albumin DRP : Indikasi tanpa terapi


(Transfusi albumin iv)

Pasien mengalami penurunan


albumin sejak tanggal 21, namun
pasien baru diberikan terapi albumin
iv pada tanggal 22 dan tanggal 25.

5. Plan

Rekomendasi Problem medik

Problem Subjektif Obyektif Assessment Plan


medik
Sirosis hati Nyeri perut, Penurunan DRP : Adjusment dose Inj. Cefotaxime
perut membesar, Albumin, 3 x 2 gram
demam, mual, Peningkatan Inj. Cefotaxime 2 x 3 selama 5 hari
muntah, BAB bilirubin direct, gram ( 21/2 sd. 26/2)
hitam, gelisah indirect dan total,
susah tidur. Peningkatan
SGPT dan SGPT
Sirosis hati Nyeri perut, Penurunan DRP : Terapi kurang Ranitidin 50 mg
perut membesar, Albumin, efektif (2 mL) infus
demam, mual, Peningkatan kontinyu selama
muntah, BAB bilirubin direct, Inj. Omeprazole 1x1 2-3 jam diulang
hitam, gelisah indirect dan total, amp (21/2 sd. 26/2) tiap 6-8 jam,
susah tidur. Peningkatan tidak melebihi
SGPT dan SGPT 400 mg/ hari.
Sirosis hati - Peningkatan DRP : Obat kurang Urdahex po
Bilirubin direct, tepat dihentikan
Bilirubin indirect,
dan bilirubin total Urdahex po 2x1 (21/2
sd. 26/2
Sirosis hati - - DRP : Adjusment dose Aminofusin
hepar iv 17 tpm
Amifusin hepar 10 tpm
Asites Perut membesar, Peningkatan DRP : Indikasi tanpa Spironolakton
sesak dan mual SGPT dan terapi 100 mg
SGOT, diberikan saat
penurunan Spironolaktone po MRS
albumin 1-0-0 (26/2)

Asites Perut membesar, Peningkatan DRP : Kebutuhan terapi Furosemid 40


sesak dan mual SGPT dan tambahan mg diberikan
SGOT, saat MRS
penurunan
albumin

Acute BAB hitam Peningkatan TD DRP : Indikasi tanpa Octreotide


variceal (23/2) dan terapi (sandostatin) 50
bleeding penurunan Hb mcg iv bolus
menurun (21/2; kontinyu 50
25/2) mcg/jam selama
5 hari
Melena - Peningkatan DRP : Adjusment dose Inj. Vitamin K
Albumin, dosis 1 x 1
bilirubin direct, ampul (10
bilirubin indirect Inj. Vitamin K 3x1 amp mg/ml) selama
dan bilirubin total (21/2 sd. 26/2) 3 hari.

Peningkatan
SGOT dan SGPT

Penurunan Hb

Hipoalbumin - Penurunan nilai DRP : Indikasi tanpa Transfusi


albumin terapi albumin iv 2
tpm ( 21/2 sd.
Transfusi albumin iv
22/2).
100 cc ( 22/2 dan 25/2)
6. Terapi Farmakologis

a. Terapi Sirosis Hati

1. Cefotaxime Inj
Terapi empiris pada SBP sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
asites yang mempunyai satu atau lebih tanda berikut:
a. Suhu diatas 37,8°C
b. Nyeri perut dan/atau perih
c. Perubahan status mental
d. Nilai PMN cairan asites ≥250 sel/mm3 (Runyon, 2016).
Pasien mempunyai 2 tanda tersebut di atas, yaitu demam pada malam
hari dan nyeri perut. Selain itu, menurut Starr dan Raines (2011) pasien
sirosis dengan asites yang mengalami gejala Ensefalopati Hepatik dapat
dikatakan positif terkena SBP. Maka pasien tersebut diberikan terapi
antibiotik untuk mengatasinya.

Pasien yang diduga atau didiagnosis SBP diberikan terapi antibiotik


spektrum luas. Hal ini dikarenakan bakteri yang diduga menginfeksi
cairan asites yaitu Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, and
Streptococcus pneumoniae (DiPiro et al., 2015; Runyon, 2016).
Antibiotik Cephalosporin generasi ketiga merupakan terapi yang dipilih
untuk mengatasi dan telah terbukti efikasinya pada SBP ( Starr dan
Raines, 2011). Cefotaxime dan Ceftriaxone merupakan cephalosporin
generasi ketiga yang digunakan untuk mengatasi SBP. Terapi
Cefotaxime sebagai antibiotik SBP diberikan pada pasien dengan resiko
tinggi (asites dan Ensefalopati Hepatik) (Dipiro et al, 2015; Starr dan
Raines, 2011).Ceftriaxone efektif dalam mengatasi SBP pada pasien
sirosis hati yang mengalami pendarahan gastrointestinal. Namun
Cefotaxime terbukti lebih efektif daripada Ceftriaxone dalam mengatasi
SBP. Cefotaxime memberikan cakupan mikroba yang tepat dan
mencapai tingkat cairan asites yang baik. Kelebihan Cefotaxime pada
terapi SBP yaitu :
1. Kemampuan membunuh bakteri tinggi
2. Tidak ada Nefrotoksisitas
3. Tidak ada superinfeksi (Runyon, 2016).
Cefotaxime sebagai terapi empiris SBP diberikan 2 gram setiap 8
jam selama 5 hari (DiPiro et al, 2015). Setelah 5 hari terapi dihentikan
jika kondisi pasien telah mengalami peningkatan (tidak ada demam dan
nyeri perut). Pemberian Cefotaxime selama lebih dari 5 hari hanya
diberikan untuk pasien yang menumbuhkan organisme yang tidak biasa
(misalnya, pseudomonas, Enterobacteriaceae), organisme yang resisten
terhadap terapi antibiotik standar, atau organisme yang secara rutin
dikaitkan dengan endokarditis (misalnya, S. aureus atau streptokokus
kelompok viridans). Selain itu, terapi yang lebih lama diperlukan untuk
pasien yang gagal merespons terapi dengan tepat (Runyon, 2016).

Pasien mendapatkan terapi injeksi Cefotaxime 2 x 1 gram mulai


tanggal 21/2 (MRS) sampai tanggal 26/2 (KRS). Hal tersebut berarti
pasien mendapatkan terapi Cefotaxime 1 gram tiap 12 jam selama 6 hari.
Oleh karena itu diperlukan adanya adjustment dose, yaitu pemberian
Cefotaxime 2 gram setiap 8 jam. Untuk mencegah terjadinya atau
memperparah SBP, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut
(Runyon, 2016):

a. Terapi diuretik dimana diuresis mengkonsentrasikan cairan asites,


sehingga meningkatkan aktivitas opsonik cairan asites, yang dapat
membantu mencegah SBP.
b. Pengenalan dini dan pengobatan agresif infeksi lokal (misalnya,
sistitis dan selulitis). Ini dapat membantu mencegah bakteremia dan
SBP.
c. Membatasi penggunaan inhibitor pompa proton. Penggunaan
inhibitor pompa proton telah dikaitkan dengan peningkatan risiko
SBP.
2. Ranitidine

Pasien mendapatkan terapi injeksi Omeprazole 1 x 1 ampul


mulai tanggal 21/2 (MRS) sampai tanggal 26/2 (KRS). Omeprazole
merupakan obat penekan asam lambung golongan PPI (Proton Pump
Inhibitor) yang bekerja menghalangi sekresi asam lambung melalui
penghambatan H+/K+ ATPase pada sel parietal. PPI dimetabolisme oleh
sitokrom CYP450 di hati (Zhu et al, 2017).

PPI umumnya dapat ditoleransi dengan baik, dengan reaksi


samping yang jarang diantaranya perut kembung, sakit kepala, diare,
sakit perut, dan mual, yang sering sembuh sendiri atau dapat diatasi
dengan beralih ke PPI yang berbeda (Vaezi et al., 2017). Penggunaan
PPI dapat mengurangi kelimpahan dan keanekaragaman mikrobiota usus
dan menyebabkan pertumbuhan patogen dan pertumbuhan berlebih dari
spesies yang tidak sehat. Penggunaan PPI jangka panjang pada pasien
sirosis hati dapat meningkatkan insiden patah tulang, infeksi clostridium
difficile (CDI), HE, dan SBP, yang mungkin terkait dengan
pertumbuhan bakteri yang berlebihan (Zhu et al, 2017; Vaezi et al.,
2017).

Sebagai salah satu komplikasi serius sirosis hati, SBP terkait


dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi jika tidak diterapi dengan
tepat. PPI dapat meningkatkan pertumbuhan berlebih bakteri usus kecil
dan mengubah motilitas usus, yang mungkin merupakan patogenesis
SBP. Pemberian PPI memiliki risiko SBP yang lebih tinggi
dibandingkan dengan terapi H2RA (Zhu et al, 2017). PPI mengubah
motilitas gastrointestinal dan memengaruhi penghalang mukosa,
sehingga meningkatkan penyerapan zat nitrogen. PPI juga meningkatkan
pertumbuhan berlebih dan translokasi bakteri. Dengan demikian, PPI
dapat meningkatkan risiko HE (Zhu et al, 2017).

Pasien mendapat terapi Omeprazol yang merupakan golongan


PPI, sehingga perlu dilakukan penggantian terapi ke golongan H2RA
yang lebih aman untuk kondisi pasien, yaitu sirosis hati dengan asites,
pendarahan variseal esofagus dan adanya gejala HE. H2RA yang
digunakan yaitu Ranitidine yang diketahui tidak mempunyai resiko
tambahan pada pasien sirosis hati (Weersink et al., 2018). Terapi
ranitidine diberikan 50 mg(2mL) IM atau IV bolus intermiten atau infus
selama 6-8 jam, tidak melebihi 400 mg/hari. Atau dapat diberikan 6,25
mg/hari infus kontinyu (Medscape, 2019).

3. Aminofusin hepar iv
Pasien menerima terapi aminofusin hepar iv dengan kecepatan
infus 10 tpm. Menurut Kalbemed (2019) dosis aminofusin hepar adalah
0,7-1 gr/KgBB/hari atau 14-20 ml/KgBB/hari. Berdasarkan perhitungan
kebutuhan aminofusin hepar adalah 25200 ml/hari dengan kecepatan 17
tpm. Berikut perhitungan aminofusin hepar

Dosis aminofusin hepar = dosis x BB


= 20 ml x 63 kg
= 1260 ml
Kecepatan infus = 1260x20/24 jam
= 2520/1440 menit
= 17 tpm
Aminofusin hepar mengandung asam amino 50 g dengan 45%
BCAA, xylitol, sorbitol, methionine, tryptophan, dan phenylalanine.
Kandungan per liternya yaitu L-Leucine 8,50 g L-Phenylalanine 0,25 g
L-Methionine 0,50 g L-Lysine 7,86 g L-Isoleucine 7,60 g L-Valine 6,40
g L-Histidine 0,60 g L-Threonine 1,20 g L-Tryptophan 0,10 g L-Alanine
2,10 g L-Arginine 4,90 g Glycine 0,70 g L-Proline 1,20 g L-Serine 2,75
g N-Acetyl-L-Cystein 0,20 g L-Glutamic acid 1,00 g LOLA 8,03 g
Sorbitol 25 g Xylitol 25 g Sodium 30 mmol Potassium 18 mmol
Magnesium 5 mmol Chloride 28 mmol Malate 28 mmol Phosphorus 15
mmol Osmolaritas: 800 mOsm/L (Kalbemed, 2019).
Pada pasien sirosis konsentrasi BCAA dalam darah menurun dan
terjadi peningkatan kadar asam amino aromatik yang bisa disebut
dengan ratio fischer. Perubahan ini dapat menyebabkan ensefalopati
hepatik karena peningkatan amonia kadar dalam serum dan otak (Park et
al.,2017). Suplementasi BCAA pada pasien sirosis dapat meningkatkan
metabolisme glukosa dan kadar albumin dalam darah. Sedangkan pada
pasien encephalophaty hepatic penggunaan BCAA bukan karena
menurunkan kadar amonia dalam darah melainkan karena adanya
penurunan rasio fischer (Tajiri dan Shimizu, 2018).

Sedangkan LOLA merupakan subtrat perantara pada siklus urea,


menurunkan kadar amonia dengan merangsang ureagenesis (Hasan dan
Aramita, 2014). Menurut Bai et al., (2013) menyatakan bahwa
penggunaan lola memberikan manfaat pada pasien minimum
encephalophati hepatic karena dapat menurunkan amonia darah.

b. Terapi Asites

1. Diuretik (Spironolactone dan Furosemid)

Asites merupakan kondisi penumpukan cairan di perut. Adanya


penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan
jumlah glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens
substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan
menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan penurunan
klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum (Tsochatzis dan
Alexander, 2017). Hal tersebut dapat menimbulkan gangguan
metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea
maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh. Pada penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) urin tidak
dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan
meningkatkan, penderita dapat menjadi sesak nafas akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Tertahannya
natrium dan cairan inilah menyebabkan terjadinya edema dan ascites
(Tsochatzis dan Alexander, 2017).
Ada 3 tingkatan ascites yang terjadi pada pasien sirosis hati,
yaitu mild ascites, moderate ascites, dan large ascites (EASL, 2010).
Komplikasi ascites terberat yang dialami oleh pasien sirosis hati adalah
ascites permagna. Beberapa jenis ascites permagna adalah severe/large
ascites serta ascites refrakter. Ascites permagna dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu non-tense dan tense ascites. Non-tense ascites adalah
jenis ascites permagna yang tidak menekan diafragma (pasien tidak
mengalami sesak). Sedangkan tense ascites adalah jenis ascites
permagna yang menekan diafragma sehingga pasien mengalami sesak.
Pengobatan ascites bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien
dan mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan sindrom hepatorenal
(Kashani et al, 2008) Terdapat perbedaan dalam penatalaksanaan terapi
pada pasien sirosis hati dengan ascites ringan (mild dan moderate)
dengan ascites permagna (large ascites). Secara garis besar
penatalaksanaan ascites pada pasien sirosis hati adalah dengan diet
natrium 2000 mg/hari dan diuretik spironolakton oral dengan furosemid.
Penggunaan kombinasi diuretik pada pasien sirosis hati lebih dipilih
karena lebih efektif dibandingkan diuretik tunggal (Angeli et al, 2010).
Sejalan dengan guideline EASL (2017), jika pasien merupakan pasien
yang baru mengalami ascites baik ringan atau sedang diberikan
monoterapi spironolakton, terapi kombinasi diberikan jika penggunaan
spironolakton tidak menunjunjukkan perbaikan serta pada kasus ascites
yang berat.
2. Albuforce po

Pasien mengalami pembesaran perut, nyeri perut, sesak, mual yang


merupakan tanda dari asites. Pasien mengalami penurunan nilai albumin
(hipoalbumin) yaitu 1,52 g/dL pada tanggal (21/2) dan 2,13 g/dL pada
tanggal (22/2 - 26/2) dari nilai normalnya yaitu 3,5 – 3.9 g/dL. Albumin
dalam peredaran darah merupakan penentu utama tekanan osmotik
plasma darah. Akibatnya penurunan albumin dalam sirkulasi
menyebabkann pergeseran cairan dalam ruang intra vaskuler (Sacher,
2004).
Albumin yang rendah dalam darah mengakibatkan adanya
perubahan tekanan (tekanan osmosis) yang memungkinkan cairan keluar
dari pembuluh darah sehingga terjadi asites. Untuk mengatasi penurunan
albumin pasien dapat diberikan albumin. Albumin dapat diberikan
dalam bentuk suplemen oral. Jika pasien dilakukan terapi paracentesis
atau beresiko SBP, maka dapat diberikan tambahan albumin dalam
bentuk cairan infus.
Pada kasus ini pasien diberikan Albuforce PO. Albuforce PO
mengandung ekstrak ikan gabus yang mengandung albumin tinggi.
Ekstrak ikan gabus diketahui memiliki nutrisi yang tinggi dan manfaat
kesehatan yang baik. Ekstrak ikan gabus memiliki banyak kandungan
albumin (2,17 ± 0,14 g/100 mL). Banyaknya kandungan albumin yang
dimiliki dapat membantu pasien dengan hypoalbuminemia atau pasien
post operasi (PPHI, 2017). Administrasi ekstrak ikan gabus sebanyak 2
g selama 5 hari pada pasien dengan hypoalbuminemia terbukti
meningkatkan kadar albumin dari 1,8 g/100 mL ke kondisi normal,
yaitu>3,5 g/100 ml (Mustafa, 2012). Administrasi albumin umumnya
dalam bentuk intravena memiliki kendala dimana harganya yang cukup
mahal. Adanya perkembangan terapi dengan albumin oral, yang diambil
dari ekstrak ikan gabus memberikan harapan untuk menaikkan kadar
albumin pada penderita penyakit hati kronik dengan harga yang cukup
terjangkau (PPHI, 2017). Diberikan kapsul suplemen albumin dengan
dosis 3x sehari 1-4 kapsul, dengan terus monitoring terhadap kadar
albumin pasien.

c. Terapi Acute vericed bleading

1. Octreotide

Pada kasus pasien mengalami BAB hitam selama 6 hari selama di


rumah sakit. Menurut Suk et al. (2012) dan Reiberger et al. (2017) dan
pasien masuk dalam kategori acute variceal bleeding dengan tanda
terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas (melena) yang terjadi
lebih dari 24 jam. Terapi yang disarankan untuk pasien acute variceal
bleeding yaitu pemberian obat vasoaktif untuk menghentikan dan
memperlambat perdarahan (Dipiro, 2011). Octreotide dan vasopressin
merupakan obat vasoaktif yang bekerja sebagai vasokonstriktor
splanknik, sehingga mengurangi aliran dan tekanan darah portal.
Octreotide lebih dipilih dalam mengatasi variceal bleeding karena dan
memiliki resiko efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan
vasopressin (Dipiro, 2011). Oleh karena itu diberikan terapi Octreotide
(Sandostatin) dengan dosis 50 mcg IV bolus; diikuti dengan infus iv
kontinu 50 mcg/jam selama 5 hari (Medscape, 2019).
(Dipiro, 2011)

Dosis Octreotide infus kontinyu yang diberikan : 50 mcg/jam infus


kontinyu

R th
50 mcg/jam  R ݁ ݊
= 0,833 mcg/menit

 0,833 mcg/menit x 20 tetes = 16 tpm

d. Terapi melena

Pasien sirosis hati dekompensasi umumnya mengalami defisiensi


vitamin K, pada kasus pasien diberi injeksi vitamin K selama masuk
rumah sakit dengan dosis 3x1 ampul. Menurut Nursat et al. (2014). injeksi
vitamin K 10 mg yang diberikan selama tiga hari dianggap cukup untuk
memperbaiki defisiensi vitamin K pada pasien dengan sirosis hati
dekompensasi. Oleh karena itu, injeksi vitamin K diberikan pada pasien
dengan dosis 1 x1 ampul (10 mg/ml) selama 3 hari (Medscape, 2019).
Nursat et al. (2014).

e. Terapi Hipoalbumin

1. Transfusi albumin iv

Pasien mengalami penurunan albumin sejak tanggal 21 hingga


1,52 mg/dl, namun pasien baru diberikan terapi albumin iv pada tanggal
22 dan tanggal 25. Sehingga pasien perlu diberikan terapi untuk
mengatasi hipoalbumin pada tanggal 21. Penggunaan albumin iv sangat
kotroversial, namun dilihat dari kondisi pasien jika tidak diberikan terapi
albumin akan memperburuk kondisi pasien. Berikut perhitungan koreksi
albumin:

Koreksi albumin = 0,8 x BB x (3,5 - A)


= 0,8 x 63 x (3,5 - 1,5)
= 99,792 dibulatkan menjadi 100 gr
= 100 gr x 4(Perubahan dalam ml dikali 4)
= 400 ml albumin 25%
Kecepatan infus = 400 ml/48 jam
= 8000 ml/2880 menit
= 2,78 tpm atau 2 tpm
Sehingga berdasarkan perhitungan koreksi albumin, albumin
diberikan selama 2 hari atau 24 jam pada tanggal 21 dan 22.
7. Terapi MRS

Terapi Obat Dosis 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2

Inj Cefataxime 3 x 2 gr √ √ √ √ √ -

Inj Ranitidin 50 mg (2mL) √ √ √ √ √ √


infus kontinyu
selama 2 jam
diulang tiap 6-8
jam, tidak
melebihi 400
mg/hari

Octreotide 50 mcg IV √ √ √ √ √ -
(Sandostatin) bolus diikuti
dengan infus iv
kontinyu 50
mcg/jam.

Injeksi vitamin K 3 x 1 ampul √ √ √ - - -


(10mg/ml).
Albuforce po 3x1 - √ √ √ √ √

Spironolactone po 100 mg √ √ √ √ √ √

Furosemid 40 mg √ √ √ √ √ √

Aminofusin hepar iv 17 tpm √ √ √ √ √ √

Transfusi albumin iv 2 tpm √ √ - - - -


8. Terapi non Farmakologis

1. Diet pembatasan Natrium

Pada pasien asites, penurunan ekskresi natrium menyebabkan


keseimbangan natrium. Asupan dibatasi hingga 88 mmol per hari
(sekitar 2000mg per hari). (Alnajjar et al., 2017).

2. Istirahat total

Pasien sirosis dengan asites diposisikan baring dengan postur tubuh


tegak. Bedrest dapat meningkatkan kadar aldosteron yang
berhubungan dengan proses retensi natrium (Moore et al., 2009)

3. Menghindari minuman beralkohol

Jika pasien mengkonsumsi alkohol sebaiknya dihentikan karena


penghentian konsumsi alkohol dapat meningkatkan perbaikan
komponen dari sirosis hati (Runyon, 2012).

4. Diet rendah kalori

Tata laksana nutrisi pada penyakit hati bertujuan menjaga dan


memperbaiki status nutrisi, mencegah kerusakan lebih lanjut dan
membantu proses regenerasi serta mencegah atau meringankan
ensefalopati hepatik dan gangguan metabolik lainnya (Virgonita dan
Zulkarnain, 2012).

5. Pemberian hepatoprotektor dan sumplement

Pada pasien sirosis hati biasanya terjadi malnutrisi yang disebabkan


salah satunya karena tidak adekuatnya asupan nutrisi per oral.
Hepatoprotektor digunakan untuk melindungi hati sehingga dapat
memperlambat kerusakan hati (Virgonita dan Zulkarnain, 2012).
9. KIE

a. Kepada pasien :
1. Menjaga kebugaran pasien agar tidak lemas
2. Obat diminum secara teratur
3. Istirahat yang cukup

b. Kepada Keluarga pasien:

1. Mencaga pola tidur


2. Mencaga pola makan
3. Memberikan informasi frekuensi minum obat dan cara minum obat.
4. Menginformasikan untuk mencaga kalori (dapat menyebabkan
penimbunan lemak pada hati)
5. Diet rendah Na

c. Kepada tenaga kesehatan :


1. Informasi jadwal penggunaan obat
2. Mengingatkan pasien agar rendah kalori
3. Diet rendah Na
4. Diet tinggi albumin

10. Monitoring

a. Monitoring data laboratorium

Parameter Nilai Normal Jadwal Pemantauan

Tekanan darah 120/80 mm/Hg Setiap hari

Nadi 60-100 x/ menit Setiap hari

Suhu 36,5-37,3 0C Setiap hari

Albumin 3,5 – 5,5 g/dL Sebelum setelah 1 jam


dan 24 jam
Natrium 135 – 144 mmol/L Dua hari

SGPT 0-30 u/L Dua hari

SGOT 0-40 u/L Dua hari

Hb 12 - 16 g/dL Dua hari

Berat badan Menurun 0,5 kg Setiap hari

Lingkar perut - Setiap hari

(Kemenkes RI, 2011).

b. Monitoring Obat

Obat Monitoring Target Keberhasilan

Keberhasilan ESO

Inj Cefataxime Mengechek Radang usus Albumin : 3,5 – 5,5


g/dL
albumin, bilirubin besar, diare,
inderect, bilirubun peningkatan nilai Bilirubin indirect :
0,2-0,7 mg/Dl
direct, bilirubin BUN dan
Biliribun direct :
total, SGPT dan kreatinin,
0,1-0,3 mg/Dl
SGOT setiap 2 peningkatan
Bilirubin total :
hari sekali transaminase hati, 0,3-1,0 mg/Dl
eosinofilia, SGPT : 0-30 U/l
demam, nyeri di
SGOT: 0-40 U/l
tempat suntikan,
mual, ruam,
trombositopeni,
dan muntah

Inj Ranitidin Mengechek nilai Sakit kepala dan Albumin : 3,5 – 5,5
g/dL
albumin, bilirubin sakit perut
inderect, bilirubun Bilirubin indirect :
0,2-0,7 mg/Dl
direct, bilirubin
Biliribun direct :
total, SGPT dan
SGOT setiap 2 0,1-0,3 mg/Dl
hari sekali Bilirubin total :
0,3-1,0 mg/Dl
SGPT : 0-30 U/l
SGOT: 0-40 U/l

Octreotide Pengecekan BAB Gangguan saluran Hb antara 12-16 gr/dL


(Sandostatin) hitam, setiap hari. empedu, ALP 30-130 U/L
Dicek Hb, ALP, bradikardi, GGT ≤ 94 U/L
GGT setiap 2 hari hipotiroid BAB hitam berkurang
sekali.
Injeksi vitamin K Mengechek Hb Gatal-gatal, Hb : 12-16 gr/dL
setiap 2 hari sekali berkeringat
Albuforce po Mengechek - Albumin : 3,5 – 5,5
g/dL
albumin 2 hari
sekali

Spironolakton po Mengechek Pusing dan sakit SGPT : 0-30 U/l


SGPT, SGOT, kepala ringan, SGOT: 0-40 U/l
albumin 2 hari mual dan muntah,
Albumin : 3,5 – 5,5
sekali diare, kram pada
g/dL
kaki, impotensi.

Furosemid Mengechek Hiperurisemia dan SGPT : 0-30 U/l


SGPT, SGOT dan Hipokalemia SGOT: 0-40 U/l
albumin 2 hari
Albumin : 3,5 – 5,5
sekali
g/dL

Aminofusin Mengechek SGPT - SGPT : 0-30 U/l


hepar iv dan SGOT 2 hari SGOT: 0-40 U/l
sekali
Transfusi Mengechek Anafilaksis, Albumin : 3,5 – 5,5
g/dL
albumin iv albumin 2 hari edema, hipertensi,
sekali dan takikardi.

D. Kesimpulan

1. DRP pada kasus asites permagna sirosis hepatik yaitu adjusment dose (Inj.
Cefotaxime, Aminofusin hepar iv dan Inj. Vitamin K), terapi kurang efektif
(Inj. Omeprazole), obat kurang tepat (Urdahex po), indikasi tanpa terapi
(spironolakton po, Octreotide dan Transfusi Albumin iv), dan kebutuhan
terapi tambahan (Furosemid).

2. Terapi farmakologi yang dipilih kasus asites permagna sirosis hepatik yaitu
inj. Cefataxime, Inj. Ranitidine, Ocreotide, Inj. Vitamin K, Albuforce po,
Spironolactone po, Furosemid, Aminofusin Hepar iv, dan Transfusi Albumin
iv.
DAFTAR PUSTAKA

Alnajjar Asma, Abaalkhail Faisal, Beidas Tala, Abdelfattah Mohamed R., dan
Elsiesy Hussein, 2017, Non-pharmacological Treatment of Ascites, Intech.
Angeli P, Fasolato S, Mazza E, et al. 2010, Combined versus sequential diuretic
treatment of ascites in non-azotaemic patients with cirrhosis, results of an
open randomised clinical trial, Vol.59(1):98-104.
Azma Rosida, 2016, Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati, Jurnal Patologi
Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarmasin. Vol.2(1) : 123-131.
Bai M., Yang, Z., Qi, X., Fan, D., and Han, G., 2013, L-ornithine L-Aspartate for
Hepatic Encephalopathy in Patients with Cirrhosis: a Meta-analysis of
Randomized Controlled Trials, Journal Gastroenterol Hepatol, 28 (5):
783-792.
Caropeboka, M.D., 2013, Ensefalopati Hepatikum pada Pasien Sirosis Hepatis,
Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, Vol.1(4) : 108-116.
Dipiro et al., 2011, Pharmacotherapy Pathophisiologic Approach,Mc Graw Hill,
USA.
Dipiro, Cecily, V.,et al., 2015, Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. The
McGraw-Hill Companies, USA.
Elfatma, Y., Arnelis, dan Rachmawati, N., 2017, Gambaran Derajat Varises
Esofagus Berdasarkan Beratnya Sirosis Hepatis, Jurnal Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas, Padang, Vol.6(2):457-462.
European Association for the Study of the Liver, 2010, EASL: clinical practice
guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis,
and hepatorenal syndrome in cirrhosis, J Hepatol, Vol.53(1) :397-417.
Farida,Y., Andayani, T.M., dan Ratnasari, N., 2014, Analisis Penggunaan Obat
Pada Komplikasi Sirosis Hati, Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi,
Vol. 4(2):77-84.
Hasan, I. dan Araminta, A.P., 2014, Encefalopati hepatik: Apa, Mengapa dan
Bagaimana, Leading Article, 27 (3) : 1-11
Kalbe, 2019, Aminofusin, http://www.kalbemed.com/CDK/Read-CDK-
Article/ArtMID/471/ArticleID/159/AMINOFUSIN-HEPAR, diakses pada
tanggal 16 maret 2019.
Kashani, A., Landaverde, C., Medici, V., dan Rossaro, L., 2008, Fluid retention in
cirrhosis, Pathophysiology and management, Vol.101(2):71-85.
Kemenkes RI, 2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik, Kemenkes RI, Jakarta.
Medscape, 2019, Ranitidine, www.medscape.com diakses pada 17 Maret 2019.
Medscape, 2019, Octreotide, www.medscape.com diakses pada 17 Maret 2019.
Moore, K.P., dan Aithal, G.P, 2009, Guidelines on the management of ascites in
cirrhosis, Gut.bmj.com. Diakses pada 17 Maret 2019.
Mustafa, A, Widodo, M.A., dan Kristianto, Y., 2012, Albumin and zinc content of
snakehead fish (Channastriata) extract and its role in health, IJSTE,
Vol.1(2):1-8.
Nursat S, Muhammad S, Javid F, dan Mohammad F M., 2014, Cirrhosis and its
complications: Evidence based treatment, World J Gastroenterol, Vol
20(18): 5442–5460.
Park, J.G., Won, Y.T., Soo, Y.P., Young, O.K., 2017, Effect of Branched-chain
Amino Acids (BCAAs) on the Progression of Advanced Liver Disease,
Medicine, 96 (24): 1-7.
PPHI, 2017, The 10th Liver Update and The Annual Scientific Meeting of INA
ASL/PPHI 2017, Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, Jakarta.
Reiberger T, Andreas P, Maria S, Franziska B, Theresa B, Christian D, Werner D,
Arnulf F, Armin F, Ivo G, Stephanie H, Franz K, Elisabeth K, Andreas M,
Mattias M, Markus P, Florian R, Philipp S, Vanessa S, Rudolf S, Herbert
T, Michael T, Heinz Z, Rainer S, dan Peter F., 2017, Austrian Consensus
Guidelines On The Management And Treatment Of Portal Hypertension
(Billroth III), Wien Klin Wochenschr, Vol 129 (3): 135-158.
Runyon, Bruce A., 2012, Management of Adult Patients with Ascites Due to
Cirrhosis, Practice Guideline The American Association for the Study of
Liver Diseases, America.
Runyon, Bruce A., 2016, Spontaneous bacterial peritonitis in adults: Treatment
and prophylaxis, www.uptodate.com, diakses pada 17 maret 2019.
Setiawan, M., 2011, Hubungan Antara Kejadian Asites Pada Cirrhosis Hepatis
Dengan Komplikasi Spontaneous Bacterial Peritonitis, Jurnal Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Malang, Vol.7(15) :79-92.
Starr, S. P., dan D., Raines, 2011, Cirrhosis: Diagnosis, Management, and
Prevention , American Family Physician , 84(12) : 1353-1359.
Suk K. T, Soon K, Jung H, Jae Y, Yong H, Chang H, Young S, Jin W, Dong J,
Sung W, Seong G, Joo H, Moon Y, Young B, Jae G, Yong K, Moon S,
Hyung J, Hyun W, Seung U, Ja K, Jin Y, Dae W, Won Y, Byung S,
Byoung K, Woo J, Hong S, Jae Y, Soung W, Sang G, Oh S, Young K,
Won H, June S, In H, Jae J, Gab J, Si H, Yeon S, Dae H, and Se J., 2012,
Revision and Update On Clinical Practice Guideline for Liver Cirrhosis,
The Korean Journal of Hepatology, Vol 18: 1-21.
Tajri, K. Dan Shimizu, Y., 2018, Branched-chain Amino Acids in Liver Diseases,
Review Article, 3 (47): 1-11.
Tsochatzis E.A, and Alexander L Gerbes, 2017, Diagnosis and treatment of
ascites, Journal of Hepatology,Vol 67 (1):184–185.
Vaezi, Michael F., Yu-Xiao Yang, dan Colin W., Howden, 2017, Reviews In
Basic And Clinical Gastroenterology And Hepatology : Complications of
Proton Pump Inhibitor Therapy, Gastroenterology, 153:35–48.
Virgonita Septina dan Zulkarnain A. Karim, 2012, Pola Penggunaan Obat pada
Pasien Sirosis Hati di Instalasi Rawat Inap Bangsal Penyakit Dalam
Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Majalah Farmasetik UGM.
WHO, 2011, Global Hepatitis Report , World Health Organization, Geneva.
Widjaja, F.F., dan Karjadi, T., 2011, Pencegahan Perdarahan Berulang pada
Pasien Sirosis Hati, Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan, Vol.61(10) : 417-424.
Zhu, Jia, Haonan Yu, Andrea Mancuso, dan Xingshun Qi, 2017, Proton pump
inhibitors in liver cirrhosis: a review of benefits and harms, AME Med J,
2(36) : 1-9.

Anda mungkin juga menyukai