Anda di halaman 1dari 4

A.

Uji Difusi
Difusi bebas atau transpor pasif suatu zat melalui cairan, zat padat, atau
melalui membran adalah salah satu proses yang sangat penting dalam ilmu farmasi
(Martin,1983). Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul
suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekuler secara acak dan berhubungan dengan
adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu
membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk menyelidiki proses difusi
(Martin, 1983) Metode uji difusi ini menerapkan hukum Fick, Menurut hukum Fick I,
molekul obat berdifusi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.

𝑑𝑀
J = 𝑆.𝑑𝑡

J atau fluks menggambarkan jumlah obat yang melewati suatu membran tiap
satu satuan luas pada waktu tertentu. Besarnya fluks berbanding lurus dengan gradien
kadar dC/dx dan koefisien difusi obat dalam membran.

𝑑𝐶
J =−𝐷 𝑑𝑥

Tanda negatif pada persamaan menggambarkan bahwa proses difusi terjadi


dalam arah yang berlawanan dengan kenaikan konsentrasi, yang mana D diketahui
sebagai koefisien difusi (satuan = cm2/det). Koefisien difusi adalah ukuran laju
permeabilitas dari molekul melintasi suatu area. Jadi difusi terjadi dalam arah
penurunan konsentrasi difusan. Difusi akan berhenti jika tidak terdapat lagi gradien
konsentrasi.

Uji difusi secara in–vitro dilakukan untuk mengetahui profil difusi dari suatu
produk obat. Uji difusi ini dapat digunakan untuk memperoleh parameter kinetik
transpor obat melalui membran usus, serta mempelajari pengaruh bahan obat terhadap
profil transpor obat (Deferme, 2008). Menurut buku Jennifer tahun 2000, dikatakan
bahwa untuk pengujian kemampuan absorbsi obat oral secara in-vitroterdapat 3
metode yaitu dengan Franz Diffusion Cells, Flow-through dan Ussing Chamber.

Adapun prinsip kerja dari metode flow trough yaitu pompa peristaltik
menghisap cairan reseptor dari gelas kimia kemudian dipompa ke sel difusi melewati
penghilang gelembung sehingga aliran terjadi secara hidrodinamis, kemudian cairan
dialirkan kembali ke reseptor. Cuplikan diambil dari cairan reseptor dalam gelas
kimia dengan rentang waktu tertentu dan diencerkan dengan pelarut campur.
Kemudian diukur absorbannya dan konsentrasinya pada panjang gelombang
maksimum, sehingga laju difusi dapat dihitung berdasarkan hukum Fick di atas.
Membrane difusi dapat menggunakan membran sintesis yang menyerupai stuktur
stratum korneum ataupun bisa menggunakan bagian kulit dari hewan uji (membran
stratum korneum ular (Gumer, 1989)

B. Anatomi dan fisiologi kulit


Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh
luar baik fisik ataupun kimia. Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk
menjaga keluarnya subtansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan untuk mencegah
masuknya subtansi-subtansi asing yang berasal dari luar tubuh untuk masuk ke dalam
tubuh. Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawasenyawa kimia, namun
dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau bahan-
bahan yang diaplikasikan ke permukaanya. Secara mikroskopik kulit tersusun dari
berbagai lapisan yang berbeda-beda, berturut-turut dari luar kedalam yaitu lapisan
epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah
bening dan lapisan jaringan di bawah kulit berlemak atau yang disebut lapisan
hipodermis .

Stratum korneum adalah lapisan terluar dari kulit yang terpapar ke permukaan
yang masuk ke dalam bagian epidermis kulit. Stratum komeum sebagai jaringan
keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat
mempenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi
lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat.
Penggunaam obat dengan mengaplikasikannya pada kulit disebut dengan
pemberian obat secara perkutan. Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat
dari kulit ke dalam jaringan di bawah kulit, kemudian masuk kedalam sirkulasi darah
dengan mekanisme difusi pasif. Mengacu pada Rothaman, penyerapan perkutan
merupakan gabungan fenomena penembusan senyawa dari lingkungan luar ke bagian
dalam kulit dalam peredaran darah dan kelenjar getah bening. Istilah perkutan
menunjukan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat
terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda. Absorbsi perkutan suatu obat pada
umumnya disebabkan oleh penetrasi obat melalui stratum korneum yang terdiri dari
kurang lebih 40% protein (pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa
trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak.

C. Definisi gel
Gel adalah sistem semipadat di mana fase cairnya dibentuk dalam suatu
matriks polimer tiga dimensi (terdiri dari gom alam atau gom sintetis) yang tingkat
ikatan silang fisik (atau kadang-kadang kimia)-nya tinggi. Polimer-polimer yang
biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam tragakan,
pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti
metilselulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetil selulosa, dan Carbopol (Lachman,
1994: 1092). Gel adalah sistem dua komponen berbentuk setengah padat yang banyak
mengandung air. Pada gel yang bersifat polar (berasal dari polimer alam atau sintetik)
dalam konsentrasi rendah (<10%) membentuk matriks tiga dimensi pada keseluruhan
masa hidrofilik. Karena zat pembentuk gel tidak larut sempurna atau karena
membentuk agregat yang dapat membiaskan cahaya maka sistem ini dapat bersifat
jernih atau keruh. Polimer ini terdiri atas: gom alam, tragakan, karagen, pektin, agar,
asam alginat; bahan semisintetik antara lain metil selulosa, hidroksietil selulosa,
CMC; polimer sintetik antara lain carbopol dan juga digunakan beberapa jenis ”clay”
(Agoes, 1993:169).

D. Parasetamol
Parasetamol atau asetaminophen, N –asetil -4Aminofenol (C8H9NO2),
dengan BM 151,16 dan mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari
101,0% C8H9NO2. Pemerian hablur atau serbuk hablur berwarna putih tidak berbau
dan rasa pahit. Kelarutan dalam 70 bagian air dan 7 bagian etanol (95%) P dalam 13
bagian aseton P, dalam 40 bagian g liserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P,
larut dalam larutan alkalihidroksida. Khasiat dan kegunaan yaitu ana lgetikum,
antipiretikum(Anonim, 1979). Parasetamol mempunyai aktivitas analgetik dan
antipiretik, dengan sedikit mempunyai aktivitas antiinflamasi. Parasetamol
mempunyai mekanisme aksi yang sama seperti pada aspirin yaitu menghambat
sintesis prostaglandin di otak, tetapi penghambatan sintesis prostaglandin di
peripheral sangat kecil Parasetamol mempunyai serapan maksimal pada panjang
gelombang 257 nm (Moffat et al.,2005).

E. Carbopol
Bahan pembentuk gel yang saat ini juga banyak digunakan dalam bidang
farmasi dan kosmetik adalah polimer karboksivinil yaitu karbomer. Karbomer
merupakan polimer sintetik dengan berat molekul tinggi dari asam akrilat yang
disambung silang dengan alil sukrosa atau alil eter dari pentaeritriol. Contoh grade
farmasetika dari karbomer adalah Carbopol®934. Pada formulasi yang mengandung
air atau pelarut polar, gelasi karbomer dapat diinduksi dengan penambahan basa
organik, misalnya sodium atau potasium hidroksida. Sedangkan pada sistem yang
kurang polar ataupun nonpolar dapat dinetralkan dengan golongan amina, misalnya
trietanolamin, dietanolamin, ataupun dengan basa amina misal diisopropanolamin,
aminoetil propanol, tetra hidroksi propel etilendiamin dan trometamin. Netralisasi
yang berlebihan pada karbomer dapat berakibat turunnya viskositas dari karbomer.
(Voight, 1971: 359).

F. Hidroksipropil metilselulosa (HPMC)


Hidroksipropil metilselulosa adalah eter propilen glikol dari metilselulosa,
mengembang dalam air dan menjadi koloid kental bening sampai buram, tidak berbau
(Depkes RI, 1997). Koloid tersebut stabil pada pH 3-11 dengan titik gel pada suhu
50º-90ºC, tergantung pada tingkat konsentrasi bahan yang digunakan. Larut dalam air
dingin dan polietilen glikol namun tidak larut dalam alkohol (Ofner dan Klech-
Gelotte, 2007). Jika digunakan sebagai basis gel aqueous, maka akan mudah rusak
karena ditumbuhi mikroba, sehingga dibutuhkan bahan tambahan yaitu antimikroba
(Wade dan Weller, 1994).
HPMC mampu meningkatkan waktu kontak dengan kulit sehingga dapat
meningkatkan efektivitas penggunaan gel sebagai antibakteri (Miswida, 2012).
HPMC juga dapat menghasilkan gel yang netral, jernih, tidak berwarna, tahan
terhadap pengaruh asam dan basa, stabil pada pH 3-11, mempunyai resistensi yang
baik terhadap serangan mikroba dan tahan panas (Suardi et al., 2008).

Anda mungkin juga menyukai