Anda di halaman 1dari 13

I.

Tujuan
Untuk mempelajari cara pengujian difusi suatu obat melalui membran
secara in vitro.

II. Prinsip
Berdasarkan perbedaan konsentrasi (suatu zat dalam pelarut dari bagian
berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah) yang ada pada
dua larutan disebut gradien konsentrasi. Difusi akan terus terjadi hingga
seluruh partikel tersebar luas secara merata atau mencapai
keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun
tidak ada perbedaan konsentrasi. Difusi obat berbanding lurus dengan
konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran. Di
samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh koefisien partisi, yaitu semakin
besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi obat.

III. Teori
3.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna
terhadap pengaruh luar baik fisik ataupun kimia. Kulit berfungsi
sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya subtansi-
subtansi penting dari dalam tubuh dan untuk mencegah masuknya
subtansi-subtansi asing yang berasal dari luar tubuh untuk masuk ke
dalam tubuh. Meskipun kulit relatif permeable terhadap senyawa-
senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus
oleh senyawa-senyawa obat atau bahan-bahan yang diaplikasikan ke
permukaanya. Secara mikroskopik kulit tersusun dari berbagai lapisan
yang berbeda-beda, berturut-turut dari luar kedalam yaitu lapisan
epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan
pembuluh getah bening dan lapisan jaringan di bawah kulit berlemak
atau yang disebut lapisan hypodermis (Aiache, 1993).
Kulit merupakan organ tubuh yang penting yang merupakan
permukaan luar organisme dan membatasi lingkungan dalam tubuh

1
dengan lingkungan luar (Mutschler,1991). Fungsi kulit
(Mutschler,1991):
1. Melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan fisika, terutama
kerusakan mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme.
2. Mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi
penguapan air secukupnya tetap terjadi (perspiration insensibilis).
3. Bertindak sebagai pengatur panas denga melakukan kontriksi dan
dilatasi pembuluh darah kulit serta pengeluaran keringat.
4. Dengan pengeluaran keringat ikut menunjang kerja ginjal, dan
5. Bertindak sebagai ala pengindera dengan reseptor yang dimilikinya
yaitu reseptor tekan, suhu dan nyeri.
Kulit terdiri atas (Mutschler,1991):
1. Bagian ectoderm yaitu epidermis (kulit luar) dan kelengkapannya
(kelenjar, rambut, kuku)
2. Bagian jaringan ikat, yaitu korium (kulit jangat).
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan yaitu stratum corneum
(lapisan tanduk), stratum lucidum (lapisan keratohialin, hanya terdapat
pada telapak kaki dan tangan), stratum granulosum (lapisan bergranul)
dan stratum germinativum (lapisan yang bertumbuh), yang dapat
dibagi lagi menjadi stratum spinosum (lapisan berduri) dan stratum
basal (lapisan basal) (Mutschler,1991).
Bagian atas kulit yang disebut stratum korneum terdiri atas sel tak
berinti yang disusun oleh brick (komponen selnya/korneosit) dan
mortasr (kandungan lipid interselular). Stratum kornemum dapat
ditembus oleh senyawa obat atau zat kimia yang diaplikasikan ke
permukaannya disebut pemberian obat secara perkutan. Tujuan
pengobatan obat secara perkutan dapat ditunjukkan untuk pengobatan
lokal hanya dipermukaan kulit atau pada jaringan yang lebih dalam
seperti otot dan dapat pula ditunjukkan untuk pengobatan sistemik.
Mekanisme kerja obat pemberian secara perkutan harus mampu
berpenetrasi kedalam kulit melalui stratum koneum, terjadi proses
difusi pasif. Difusi dapat terjadi melalui stratum korneum (jalur

2
transdermal), atau dapat juga melalui kelenjar keringat, minyak, atau
melalui folikel rambut (jalur transapendagel/transfolikular).

3.2 Difusi
Difusi bisa diartikan sebagai usaha untuk menghilangkan
perbedaan kadar antara dua benda yang terpisah, seolah-olah tidak ada
batasan ataupun pemisah antara kedua benda tersebut. Pada peristiwa
difusi larutan akan bercampur menjadi suatu larutan yang homogen.
Apabila kedua larutan tersebut terpisahkan oleh membran atau
pemisah maka peristiwa itu dinamakan osmosis. Membran yang
membatasi peristiwa osmosis bersifat semipermeabel (Dwidjoseputro,
1980).
Menurut Campbell (2010) Difusi merupakan pergerakan zat
terlarut yang terjadi secara spontan (tanpa menggunakan energi) yang
menuruni gradiennya dari daerah berkonsentrasi tinggi ke daerah
berkonsentrsai rendah.
Menurut Salisbury (1995) Difusi terjadi akibat adanya gradient
konsentrasi. Konsentrasi adalah jumlah zat per satuan volume yang
dapat berubah secara bertahap dari satu volume ruang ke volume
ruang lain.
Difusi merupakan penyebaran partikel berupa air, molekul zat
terlarut, gas atau ion-ion dari potensial kimia yang tinggi menuju
potensial kimia yang rendah. Menurut Suyitno (2014) Difusi dapat
terjadi karena adanya gerakan molekul dan potensial kimia yang
berbeda. Difusi dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi zat, tekanan,
kecepatan gerak kinetik, partikel adsorptif dan permeabilitas
membran.
Kecepatan penetrasi obat dikulit melalui mekanisme difusi
sehingga terjadi sesuai dengan hukum fick.
(𝐾. 𝐷)
𝐽= (𝐶𝑠 − 𝐶)

3
Dimana:
J= fluks per satuan luas
K= koefisien partisi obat dalam membrane dan pembawa
h = tebal membrane
D = koefisien difusi obat
Cs = konsentrasi obat dalam pembawa
C = konsentrasi obat dalam medium reseptor

Menurut (Suryadi, 2011), ada beberapa faktor yang mempengaruhi


kecepatan difusi, yaitu:
1. Ukuran partikel, dimana semakin kecil ukuran partikel, semakin
cepat partikel itu bergerak, sehingga kecepatan difusi tinggi.
2. Ketebalan membrane, dimana semakin tebal membran semakin
lambat kecepatan difusi.
3. Luas suatu area, dimana semakin besar luas area, semakin cepat
kecepatan difusinya.
4. Suhu, dimana semakin tinggi suhunya, partikel mendapatkan
energi untuk bergerak dengan lebih cepat. Maka semakin cepat
pula kecepatan difusinya.
5. Jarak, dimana semakin besar jarak antara dua konsentrasi semakin
lambat kecepatan difusinya.
6. Perbedaan konsentrasi, makin besar perbedaan konsentrasi antara
dua bagian, makin besar proses difusi yang terjadi
Bahan tambahan yang dapat berfungsi untuk meningkatkan
penembusan zat aktif (penetrant enhancer) terkadang perlu
ditambahkan. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat
penetrasi antara lain air, sulfoksida, senyawa-senyawa azone,
pyrollidones, asam-asam lemak, alkohol danglikol, surfaktan, urea,
minyak atsiri, terpen dan fosfolipid. Air dapat berfungsi sebagai
peningkat penetrasi karena air akan meningkatkan hidrasi pada
jaringan kulit sehingga akan meningkatkan penghantaran obat baik
untuk obat-obat yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik. Adanya

4
air juga akan mempengaruhi kelarutan obat dalam stratum
korneum dan mempengaruhi partisi pembawa ke dalam membrane
(Williams dan Barry, 2004).
Pada asam lemak, semakin panjangnya rantai pada asam lemak
maka akan meningkatan penetrasi perkutan. Asam lemak yang biasa
digunakan adalah asam oleat, asam linoleat, dan asam laurat. Asam
laurat dapat meningkatkan penetrasi senyawa yang bersifat
hidrofilik maupun lipofilik. Mekanismenya dengan cara
berinteraksi dengan lipid pada stratum korneum menggunakan
konfigurasi cis (Swarbrick dan Boylan, 1995; Williams dan Barry,
2004).
Etanol dapat meningkatkan penetrasi dari levonorgestrel, estradiol,
dan hidrokortison. Efek peningkatan penetrasi etanol tergantung
dari konsentrasi yang digunakan. Fatty alcohol seperti propilen glikol
dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi pada konsentrasi
1-10% (Swarbrick dan Boylan, 1995; Williams dan Barry, 2004).
Persyaratan bahan yang digunakan sebagai peningkat penetrasi antara
lain (Williams dan Barry, 2004) :
1. Tidak toksis, tidak mengiritasi dan tidak menimbulkan alergi
2. Inert, tidak memiliki sifat farmakologi
3. Dapat mencegah hilangnya substansi endogen dari dalam tubuh
4. Dapat bercampur dengan bahan aktif dan bahan pembawa
dalam sediaan
5. Dapat diterima oleh tubuh dan dengan segera dapat
mengembalikan fungsi kulit ketika dihilangkan dari sediaan
6. Tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan relatif murah

3.3 Uji Difusi In Vitro


Suatu uji perlu dilakukan untuk memperkirakan jumlah obat yang
mampu berdifusi menembus kulit. Uji tersebut dilakukan
secara in-vitro menggunakan bahan dan alat yang mewakili proses
difusi obat melewati stratum korneum. Salah satu metode yang

5
digunakan dalam uji difusi adalah metode flow through. Adapun
prinsip kerjanya yaitu pompa peristaltic menghisap cairan
reseptor dari gelas kimia kemudian dipompa ke sel difusi melewati
penghilang gelembung sehingga aliran terjadi secara hidrodinamis,
kemudian cairan dialirkan kembali ke reseptor. Cuplikan diambil dari
cairan reseptor dalam gelas kimia dengan rentang waktu tertentu dan
diencerkan dengan pelarut campur. Kemudian diukur absorbannya dan
konsentrasinya pada panjang gelombang maksimum, sehingga laju
difusi dapat dihitung berdasarkan hukum Fick di atas.
Membrane difusi dapat menggunakan membran sintesis yang
menyerupai stuktur stratum korneum ataupun bias menggunakan
bagian kulit dari hewan uji (membran stratum korneum ular)
(Gummer, 1989).
3.3 Monografi Zat
3.3.1 Asam Salisilat (Depkes RI, 1979)
A. Struktur kimia :

B. Rumus Molekul : C2H6O3


C. BM : 138,12
D. Pemerian : Hablur putih, biasanya berbentuk
jarum putih atau serbuk hablur halus
putih, rasa agak manis, tajam, dan
stabil di udara.
E. Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam
benzena, mudah laut dalam etanol dan
dalam eter, larut dalam air endidih,
agak sukar larut dalam kloroform

6
IV. Alat dan Bahan
4.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu alat difusi frans,
magnetic stirrer, pemanas dan menggunakan instrumen Spektrofotometer
UV-Visibel merk Shimizu tipe UV-1800. Selain instrumen dan alat tersebut
digunakan alat-alat yang pada umumnya digunakan di laboratorium. Alat
yang digunakan adalah gelas ukur, labu ukur, corong, termometer, vial,
syringe, dan pipet tetes.
4.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah dapar fosfat pH 7.4, isopropyl miristat,
dan Obat yang digunakan sebagai sampel pengujian difusi yaitu Asam
Salisilat dengan konsentrasi 2,5 mg/mL.

V. Prosedur
5.1 Penyiapan Membran
Disiapkan membrane lipid buatan sebagai membrane difusi. Kertas
whatman dipotong dibentuk dengan ukuran besaran lubang cincin
penghubung antar kompartemen aseptor pada sel difusi. Kertas
whatman direndam selama 15 menit dalam isopropyl miristat. Simpan
di kertas saring selama 5 menit. Selanjutnya direndam dalam dapar
posfat pH 7,4 selama 30 menit.
5.2 Uji difusi
Bagian aseptor diisi dengan dapar posfat pH 7,4 hingga penuh dan
ukur volumenya. Membrane ditempatkan diantara kompartemen donor
dan aseptor. Alat difusi Frans dipasang dengan mengencangkan per
yang ada sehingga terbentuk suatu sistem sel horizontal. Ditempatkan
larutan donor asam salisilat dengan konsentrasi 2,5 mg/ml dalam dapar
posfat pH 7,4 pada kompartemen donor. Jalankan pengaduk magnetic
pada kecepaan 120 rpm pada suhu 37oc, pada sisi donor dan aseptor.
Dilakukan pengukuran transport obat ke kompartemen aseptor pada
rentang waktu 5,15, 30, 45, 60 menit. Dibuat profil hubungan antara
kumulatif transport terhadap waktu dan dihitung flux.

7
VI. Hasil
6.1 Kurva Baku Asam Salisilat
Tabel 6.1 Hasil Absorbansi Asam Salisilat Standar
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
4 0.376
6 0.481
8 0.563
10 0.616
12 0.708
14 0.745

Gambar 6.1 Kurva Baku Asam Salisilat

6.2 Hasil Perhitungan Uji Difusi Asam Salisilat


Tabel 6.2 Hasil Perhitungan % mg Terdifusi
mg Terdifusi
Waktu (menit) Rata-rata % Terdifusi
1 2 3 4 5
0 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
5 0,005 0,122 0,226 0,139 0,056 0,109 4,379
15 0,068 0,238 0,398 0,313 0,436 0,290 11,620
30 0,193 0,330 1,224 0,405 0,585 0,547 21,893
45 0,349 0,455 1,304 0,476 0,919 0,701 28,028
60 0,356 0,588 1,467 0,620 1,085 0,823 32,932

8
Kurva % Terdifusi
35.000
30.000
25.000

% terdifusi
20.000
15.000
10.000
5.000
0.000
0 10 20 30 40 50 60 70
waktu (menit)

Gambar 6.2 Kurva % Terdifusi Asam Salisilat

6.3 Hasil Perhitungan Fluks


Tabel 6.3 Hasil Perhitungan Fluks (Y)
Fluks
Waktu (menit) Rata-rata
1 2 3 4 5
0 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
5 0,000 0,004 0,007 0,005 0,002 0,004
15 0,001 0,003 0,004 0,004 0,004 0,003
30 0,001 0,002 0,007 0,002 0,003 0,003
45 0,001 0,002 0,005 0,002 0,003 0,003
60 0,001 0,002 0,004 0,002 0,003 0,002

Kurva Fluks
0.004
0.004
0.003
0.003
Fluks

0.002
0.002
0.001
0.001
0.000
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Gambar 6.3 Kurva Fluks

9
VII. Pembahasan
Pada praktikum ini telah dilakukan uji difusi dengan menggunakan
sampel asam salisilat. Tujuan dari pengujian difusi ini adalah untuk
mengetahui seberapa banyak obat yang dapat menembus membran pada tiap
waktu yang telah ditentukan. Waktu yang digunakan untuk mengambil
cuplikan yaitu pada menit 5, 15, 30, 45 dan 60.
Proses masuknya obat ke dalam kulit secara umum terjadi melalui
proses difusi pasif. Difusi tersebut secara umum terjadi melalui stratum
korneum (jalur transepidermal), tetapi dapat juga terjadi melalui kelenjar
keringat, minyak atau folikel rambut (jalur transpendagel/transfolikular)
penetrasi transpendagel ini sangat sedikit digunakan untuk transport
molekul obat, karena hanya mempunyai daerah yang kecil (< 0,1% dari total
permukaan kulit), akan tetapi, penetrasi ini berperan penting pada beberapa
senyawa polar dan molekul ion yang hampir tidak berpenetrasi melalui
stratum korneum.
Difusi pasif yaitu proses di mana suatu substansi bergerak dari daerah
suatu sistem ke daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradien diikuti
bergeraknya molekul. Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses
trans-membran bagi umumnya obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif
ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel.
Membran yang padat digunakan sebagai model pendekatan membran
biologis. Menurut hukum difusi Fick, molekul obat berdifusi dari daerah
dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah konsentrasi obat rendah.
Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi,
viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi
oleh koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin
cepat difusi obat. Kemampuan berdifusi suatu zat melalui kulit dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain ukuran partikel, semakin kecil ukuran
partikel maka semakin cepat partikel itu bergerak sehingga kecepatan difusi
semakin tinggi. Kelarutan zat aktif, semakin mudah larut zat aktif pada
media pelarutnya maka semakin cepat kecepatan difusi. Ketebalan
membran, semakin tebal membran maka semakin lambat kecepatan difusi.

10
Kemudian suhu, semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk
bergerak dengan lebih cepat maka semakin cepat pula kecepatan difusinya.
Ataupun juga dipengaruhi oleh karakteristik sediaan, basis dan zat-zat
tambahan dalam sediaan.
Pada simulasi invitro hal pertama yang dilakukan dengan membuat
membran difusi buatan dari kertas whatman no.1. Penggunaan kertas
whatman tersebut disimulasikan sebagai kulit manusia. Kemudian kertas
whatman dicelupkan ke dalam cairan isopropil miristat. Cairan isopropil
miristat disimulasikan sebagai kandungan lemak pada membran kita.
Isopropil miristat adalah ester dari isopropil alkohol (isopropanol) dan asam
miristat. Pada praktikum ini juga digunakan dapar phospat dengan pH 7,4
penggunaan dapar tersebut dimaksudkan untuk menirukan keadaan biologis
pada tubuh yaitu darah. Selain kertas whatman no 1 bisa pula digunakan
membran dari kulit tikus yang segar, kulit yang diambil yaitu pada bagian
punggung tikus yang sebelumnya sudah dibuang lapisan subkutan atau
lemaknya.
Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode flow-
through dengan menggunakan alat difusi tipe horizontal. Alat difusi ini
terdiri dari dua kompartemen, kompartemen atas disebut kompartemen
donor dan kompartemen bawah disebut kompartemen aseptor.
Kompartemen donor berisi cairan sampel sedangkan kompartemen akseptor
berisi cairan dapar yang nantinya akan menerima cairan dari kompartemen
donor. Pada alat juga ditambahkan selang yang mengalirkan air untuk
pendingin dimana menjaga suhu pada alat agar tidak kepanasan. Bagian
tengah antara kedua kompartemen diletakkan membran tiruan yang
berfungsi sebagai sawar yang memisahkan antara obat (asam salisilat) dan
dapar phospat (media melarut). Saat melakukan pengujian alat di setting
sedemikian rupa untuk memaksimalkan proses difusi. Suhu tetap dijaga
37ºC yang disesuaikan dengan suhu tubuh manusia, pada alat dan dengan
kecepatan putaran 120 rpm yang berguna agar konsentrasi obat tetap merata
pada bagian kompartemen aseptor. Cuplikan yang diambil sebanyak 3 ml,
pengambilan cuplikan juga harus berhati-hati agar cairan tidak tumpah, saat

11
memasukan dapar kembali ke dalam aseptor juga menggunakan tehnik agar
tidak menimbulkan gelembung yang akan menyebabkan cairan tidak
sakarena kedua cairan tidak saling tersentuh di permukaan membran.
Keuntungan dari alat difusi horizontal adalah korelasi yang baik dengan data
permeabilitas invivo, memungkinkan untuk mengevaluasi semua saluran
gastrointestinal dan juga mengevaluasi mekanisme transfor. Keterbatasan
dari alat difusi tipe horizontal adalah kesulitan pada proses pengadukan.
Berdasarkan data percobaan % disolusi yang didapat berbanding lurus
untuk setiap masing masing interval waktu, sesuai dengan teori
konsenterasi rata rata obat yang dapat menembus membran berbanding lurus
dengan konsentrasi asam salisilat, artinya semakin lamanya waktu maka
semakin besar jumlah atau konsentrasi yang dapat menembus membran
hingga mencapai puncak sampai nantinya mengalami penurunan.
Sedangkan berdasarkan analisis yang menggunakan parameter
farmakokinetik yaitu berdasarkan data fluks yang didapat, J atau fluks
disini sendiri mengartikan jumlah obat tertransport atau melewati membran
tiap satuan waktu tiap satuan luas, besarnya fluks berbanding lurus dengan
gradien kadar (dc/dx) dan koefisien difusi obat dalam membran. Data fluks
yang didapat tiap satuan waktu menurun dan ini sesuai dengan teori fluks
akan menurun jika konsenterasi substrat awal turun, hal ini akan terjadi jika
konsterasi produk akhirnya meningkat.

VIII. Kesimpulan
Difusi pasif yaitu proses di mana suatu substansi bergerak dari daerah
suatu sistem ke daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradien diikuti
bergeraknya molekul dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Difusi
obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas
dan ketebalan membran. Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah
metode flow-through dengan menggunakan alat difusi tipe horizontal.
Persen disolusi yang didapat berbanding lurus untuk setiap masing-masing
interval waktu, sesuai dengan teori yaitu semakin lamanya waktu maka
semakin besar jumlah atau konsentrasi yang dapat menembus membran.

12
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, 1993, Farmasetika 2: Biofarmasi, terjemahan Widji Soeratri, Airlangga


University Press,Surabaya.

Campbell, Neil A. 2008. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 3. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Depkes, RI. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi Ketiga.Departemen Kesehatan


Republik Indonesia. Jakarta.

Dwidjoseputro. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Gramedia

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. ITB. Bandung.

Salisbury, Frank B. & Cleon W. Ross, 1995, Fisiologi Tumbuhan, Jilid 1,


Bandung: ITB Press.

Sasmitradihardja, Dardjat dan Siregar, Arbayah., 1996. Fisiologi


Tumbuhan. Bandung: ITB Press.

Suryadi. 2011. Difusi osmosis. http://blogs.unpad.ac.id (dikses tanggal: 31


Oktober 2015 )

Suyitno. 2015. Osmosis & Penyerapan Zat Pada


Tumbuhan. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/suyitno-
aloysius-drs-ms/osmosis-dan-penyerapan-zat-pada-tumbuhan.pdf. Diakses
pada 10 Mei 2017.

Swarbrick, J. dan Boylan, J., 1995, Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of


Pharmaceutical Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., New York.

Williams, A. C., dan Barry, 2004, Penetration Enhancer, Advanced Drug Delivery
Review.

13

Anda mungkin juga menyukai