Anda di halaman 1dari 4

Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari luar kulit ke dalam

jaringan di bawah kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme
difusi pasif (Remon JP, 2007). Penyerapan (absorpsi) perkutan merupakan gabungan
fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit sebelah
dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke dalam peredaran darah dan getah
bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan terjadi pada lapisan
epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (Aiache,
1993). Untuk obat-obat dengan indeks terapi yang sempit dapat menggunakan rute
transdermal sebagai sistem penghantaran obat, juga untuk obat-obat dengan waktu
paruh yang kecil. Pada penggunaan transdermal, pengobatan dapat dengan segera
dihentikan bila diinginkan, melalui penghilangan sediaan transdermal dari permukaan
kulit (Barry, BW. 2011)

Fenomena absorpsi perkutan (atau permeasi pada kulit) dapat digambarkan


dalam tiga tahap yaitu penetrasi pada permukaan stratum corneum, difusi melalui
stratum corneum, epidermis dan dermis, masuknya molekul ke dalam mikrosirkulasi
yang merupakan bagian dari sirkulasi sistemik (Barry, BW. 2011.)

Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi melalui penetrasi


transepidermal dan penetrasi transfolikular. Pada kulit normal, jalur penetrasi obat
umumnya melalui epidermis (transepidermal), dibandingkan penetrasi melalui folikel
rambut maupun melewati kelenjar keringat (transfolikular). Jumlah obat yang
terpenetrasi melalui jalur transepidermal berdasarkan luas permukaan pengolesan dan
tebal membran. Kulit merupakan organ yang bersifat aktif secara metabolik dan
kemungkinan dapat merubah obat setelah penggunaan secara topikal. Biotransformasi
yang terjadi ini dapat berperan sebagai faktor penentu kecepatan (rate limiting step)
pada proses absorpsi perkutan (Swarbrick dan Boylan, 1995).
a. Penetrasi Transepidermal
Sebagian besar penetrasi zat adalah melalui kontak dengan lapisan stratum
corneum. Jalur penetrasi melalui stratum corneum ini dapat dibedakan menjadi
jalur transeluler dan interseluler. Prinsip masuknya penetran ke dalam stratum
corneum adalah adanya koefisien partisi dari penetran. Obat-obat yang bersifat
hidrofilik akan berpartisi melalui jalur transelular sedangkan obat-obat lipofilik
akan masuk kedalam stratum corneum melalui rute interseluler. Sebagian besar
difusan berpenetrasi kedalam stratum corneum melalui kedua rute tersebut,
hanya kadang-kadang obat-obat yang bersifat larut lemak berpartisi dalam
corneocyt yang mengandung residu lemak. Jalur interseluler yang berliku dapat
berperan sebagai rute utama permeasi obat dan penghalang utama dari sebagian
besar obat-obatan (Ahmed, Mohammed Gulzaret.al, 2014).

b. Penetrasi Transfolikular
Penetrasi melalui rute transappendageal adalah penetrasi melalui kelenjar
kelenjar dan folikel yang ada pada kulit. Setiap satu sentimeter persegi kulit
manusia terdapat 10 folikel rambut, 15 kelenjar minyak dan 100 kelenjar
keringat yang dapat dilalui oleh obat. Rute transappendageal ini sangat berarti
bagi ion-ion dan molekul dengan ukuran besar yang berpermeasi lambat
melalui stratum corneum (Swarbrick dan Boylan, 1995). Rute transappendageal
ini dapat menghasilkan difusi yang lebih cepat segera setelah penggunaan obat
karena dapat menghilangkan waktu yang diperlukan oleh obat untuk melintasi
stratum corneum. Difusi melalui transappendageal ini dapat terjadi dalam 5
menit dari pemakaian obat (Swarbrick dan Boylan, 1995).

Absorbsi perkutan dari obat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adaah :

1. Struktur kulit
Stratum corneum dapat menjadi depot/reservoir untuk obat yangdiberikan
secara topikal; ini telah dibuktikan dengan pemberian secara
topikalglukokortikosteroida, terutama flouro-kortikosteroid. Lamanya
stratumcorneum brfungsi sebagai depot 7-8 hari. Pemanfaatan terapeutik
stratumcorneum sebagai reservoir obat masih terus dalam penyelidikan.
2. Difusi Pasif
Difusi pasif ialah transpor melalui membran yang semipermeabel. Obatyang
akan diabsorbsi terlebih dahulu harus berada dalam larutan murni(terdispersi
secara molekuler) pada situs penyerapan.
3. Karakteristik kelarutan obat
Bahan obat untuk dapat diabsorpsi secara perkutan ialah bahan yang larutdalam
lemak dan dalam air (partisi koefisien lemak atau air). Kecepatandifusi obat
untuk melewati kulit tergantung pada partisi-koefisien lemak atauair.
Kecepatan difusi paling besar bila ratio-distribusi lemak (atau lemak- pelarut)
dan air antara 1 dan 2
4. Konsentrasi obat dalam bentuk sediaannya
Penetrasi obat melalui kulit dipengaruhi oleh konsentrasi obat
dalamsediaannya, di samping difusi-koefisien dari molekul obat dan kelrutan
obatdalam vehikel atau bahan pembawa yang dipergunakan untuk formulasi
obat.
5. Hidrasi kulit

Hidrasi kulit sangan berpengaruh dan perlu diperhatikan dalam hal penetrasi
obat melalui kulit. Karena hidrasi secara fisik merubah kuliit dan
mengakibatkan perubahan dalam difusi-koefisien serta aktivitas-koefisien obat
yang akan berpenetrasi, sehingga mempercepat obat melalui kulit.Rintangan
utama penetrasi obat melalui kulit terletak pada lapisan keratin daristratum
corneum. Salep yang mengandung cukup air untuk hidrasi lapisan keratin,
misalnyadasar emulsi minyak air (o/w) akan meningkatkan penetrasi perkutan
dariobat-obat tertentu.

(Roberts, M.S., and Walters KA. 2008)


Aiache, 1993, Farmasetika 2: Biofarmasi, terjemahan Widji Soeratri, Airlangga

University Press, Surabaya, 156-177, 213-224, 450-470.

Ahmed, Mohammed Gulzar., and Diwakar Khadka. 2014. Formulation and

Evaluation Of Transdermal Gel Of Lornoxicam in Combination with

Chemical Enhancers. International Journal of Research in Pharmacy

and Chemistry ISSN: 2231−2781 (4): 996-1003.

Barry BW. 2011. Novel mechanisms and devices to enable successful


transdermal drug delivery. European Journal Pharmacy (14): 101-114.).

Mortazavi, S.A., dan Aboofazeli, R., 2003, An Investigation into the Effect of

Various Penetration Enhancers on Percutaneous Absorption of

Piroxicam, Iranian Journal of Pharmaceutical Research, 135-140.

Remon JP, 2007, Absorption Enhancers, in in Encyclopedia of Pharmaceutical

Technology, 3rd edition, Swarbrick. J (ed.), Informa, New York, 13.

Roberts, M.S., and Walters KA. 2008. Dermal Absorption and Toxicity

Assessment. 2nd edition. Informa Healthcare. USA: 119.

Swarbrick, J. dan Boylan, J., 1995, Percutaneous Absorption, in Encyclopedia


of Pharmaceutical Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., New York,
413-445.

Anda mungkin juga menyukai