Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

PERCOBAAN VI

ABSORBSI PERKUTAN OBAT

Kelompok G/6 :

1. Intan Rahmawati (1041611079)

2. Alfin Afiatna (1041711005)

3. Annisa Nur P. E (1041711015)

4. Arilla Irsya Iftiani (1041711018)

5. Atiq Istifada (1041711020)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI

“YAYASAN PHARMASI SEMARANG”

2019
PERCOBAAN VI
ABSORBSI PERKUTAN OBAT

I. TUJUAN
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh absorbsi perkutan asam
salisilat dengan basis salep vaselin dan PEG.

II. DASAR TEORI


Kulit adalah suatu pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan, kulit juga merupakan alat tubuh terberat dan terluas
ukurannya yaitu 15% dari berat tubuh manusia, rata rata tebal kulit 1-2 mm, kulit
terbagi atas 3 lapisan pokok yaitu, epidermis, dermis dan subkutan atau subkutis.
(Wibisono, 2008).

1. Epidermis
Terbagi atas beberapa lapisan yaitu :
a. Stratum basal, lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal
karena selselnya terletak dibagian basal. Stratum germinativum
menggantikan sel-sel di atasnya dan merupakan sel-sel induk.
b. Stratum spinosum, lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan
dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan.
c. Stratum granulosum, terdiri dari sel–sel pipih seperti kumparan. Sel–sel
tersebut hanya terdapat 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit.
d. Stratum lusidum, langsung dibawah lapisan korneum, terdapat sel-sel
gepeng tanpa inti dengan protoplasma.
e. Stratum korneum, memiliki sel yang sudah mati, tidak mempunyai inti
sel dan mengandung zat keratin.
2. Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan
epidermis dilapisi oleh membran basalis dan disebelah bawah berbatasan
dengan subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya yang bisa dilihat sebagai
tanda yaitu mulai terdapat sel lemak pada bagian tersebut. Dermis terdiri
dari dua lapisan yaitu bagian atas, pars papilaris (stratum papilar) dan
bagian bawah pars retikularis (stratum retikularis).
3. Subkutis
Subkutis terdiri dari kumpulan sel lemak dan di antara gerombolan
ini berjalan serabut jaringan ikat dermis. Sel-sel lemak ini bentuknya bulat
dengan inti yang terdesak kepinggir, sehingga membentuk seperti cincin.
Lapisan lemak disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada
setiap tempat.
4. Adneksa Kulit
Terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku.Kelenjar kulit
terdapat di lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan kelenjar
palit.Terdapat 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang
berukuran kecil, terletak dangkal pada bagian dermis dengan sekret yang
encer, dan kelenjar apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan
sekretnya lebih kental (Djuanda, 2003).

Fungsi kulit :

1. Memberikan perlindungan mekanik, termal, fisik dan zat berbahaya.


2. Menghalangi kehilangan kelembaban
3. Mengurangi dampak berbahaya dari radiasi sinar UV
4. Berperan dalam pengaturan regulasi suhu
5. Berperan dalam fungsi imun
6. Sintesis vitamin D3 (cholecalciferol)
7. Memiliki peran kosmetik, sosial dan seksual.

Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari luar kulit ke dalam
jaringan di bawah kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan 6
mekanisme difusi pasif (Chien, 1987). Mengacu pada Rothaman, penyerapan
(absorpsi) perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan suatu senyawa
dari lingkungan luar ke bagian kulit sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari
struktur kulit ke dalam peredaran darah dan getah bening. Istilah perkutan
menunjukkan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan
dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (Aiache, 1993). Untuk obat-
obat dengan indeks terapi yang sempit dapat menggunakan rute transdermal
sebagai sistem penghantaran obat, juga untuk obat-obat dengan waktu paro yang
kecil. Pada penggunaan transdermal, pengobatan dapat dengan segera dihentikan
bila diinginkan, melalui penghilangan sediaan transdermal dari permukaan kulit
(Bannakar dan Osborne, 1991) Fenomena absorpsi perkutan (atau permeasi pada
kulit) dapat digambarkan dalam tiga tahap yaitu penetrasi pada permukaan
stratum corneum, difusi melalui stratum corneum, epidermis dan dermis,
masuknya molekul ke dalam mikrosirkulasi yang merupakan bagian dari sirkulasi
sistemik (Chien, 1987).

Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi melalui penetrasi


transepidermal dan penetrasi transappendageal. Pada kulit normal, jalur penetrasi
obat umumnya melalui epidermis (transepidermal), dibandingkan penetrasi
melalui folikel rambut maupun melewati kelenjar keringat (transappendageal).
Jumlah obat yang terpenetrasi melalui jalur transepidermal berdasarkan luas
permukaan pengolesan dan tebal membran. Kulit merupakan organ yang bersifat
aktif secara metabolik dan kemungkinan dapat merubah obat setelah penggunaan
7 secara topikal. Biotransformasi yang terjadi ini dapat berperan sebagai faktor
penentu kecepatan (rate limiting step) pada proses absorpsi perkutan (Swarbrick
dan Boylan, 1995).

a. Penetrasi Transepidermal
Sebagian besar penetrasi zat adalah melalui kontak dengan lapisan
stratum corneum. Jalur penetrasi melalui stratum corneum ini dapat
dibedakan menjadi jalur transeluler dan interseluler. Prinsip masuknya
penetran ke dalam stratum corneum adalah adanya koefisien partisi dari
penetran. Obat-obat yang bersifat hidrofilik akan berpartisi melalui jalur
transelular sedangkan obat-obat lipofilik akan masuk kedalam stratum
corneum melalui rute interseluler. Sebagian besar difusan berpenetrasi
kedalam stratum corneum melalui kedua rute tersebut, hanya kadang-
kadang obat-obat yang bersifat larut lemak berpartisi dalam corneocyt
yang mengandung residu lemak. Jalur interseluler yang berliku dapat
berperan sebagai rute utama permeasi obat dan penghalang utama dari
sebagian besar obat obatan (Swarbrick dan Boylan, 1995).
b. Penetrasi Transappendageal
Penetrasi melalui rute transappendageal adalah penetrasi melalui
kelenjarkelenjar dan folikel yang ada pada kulit. Setiap satu sentimeter
persegi kulit manusia terdapat 10 folikel rambut, 15 kelenjar minyak dan
100 kelenjar keringat yang dapat dilalui oleh obat. Rute transappendageal
ini sangat berarti bagi ion-ion dan molekul dengan ukuran besar yang
berpermeasi lambat melalui stratum corneum (Swarbrick dan Boylan,
1995). Rute transappendageal ini dapat menghasilkan difusi yang lebih
cepat segera setelah penggunaan obat karena 8 dapat menghilangkan
waktu yang diperlukan oleh obat untuk melintasi stratum corneum. Difusi
melalui transappendageal ini dapat terjadi dalam 5 menit dari pemakaian
obat (Swarbrick dan Boylan, 1995).
Berbagai tahap difusi zat aktif ke dalam lapisan kulit adalah
sebagaimana pada gambar :

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat topical


diantaranya adalah:
1. Faktor fisika-kimia
Faktor ini meliputi variabel yang telah digambarkan dalam
persamaan Higuchi yaitu:
2. Kelarutan dari bahan obat (afinitas obat) terhadap bahan pembawa
Obat yang mempunyai aktivitas kuat terhadap basis salep
menunjukkan koefisien aktivitas yang rendah dengan kata lain aktivitas
termodinamik dari obat didalam basis salep keadaannya rendah, akibatnya
pelepasan obat didalam basis salep menjadi lebih lambat demikian pula
sebaliknya (Zopf dan Blang, 1974). Obat-obat terlarut terikat kuat dengan
bahan pembawa seperti yang terjadi jika obat membentuk kompleks yang
dapat larut dengan bahan pembawanya menghasilkan koefisien aktivitas
yang rendah, sehingga laju pelepasan dari kombinasi obat-pembawa lebih
lambat. Kemudian obat-obat yang terikat longgar oleh pembawanya
(pembawa mempunyai afinitas yang rendah terhadap obat), menunjukkan
koefisien aktivitasnya tinggi oleh karena itu laju pelepasan dari kombinasi
obat pembawa lebih cepat (Lachman dkk, 1994).
3. Waktu difusi
Dari persamaan Higuchi (5), terlihat bahwa semakin cepat waktu
difusi akan semakin besar obat yang dilepaskan, sebaliknya obat yang
dilepaskan akan semakin kecil bila waktu difusinya semakin lambat (Zopf
dan Blang, 1974).
4. Jenis basis salep
Setiap basis salep mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan jenis
basis salep yang lain misalnya mengenai pH, polaritas, viskositas, dan
sebagainya. Dengan adanya perbedaan harga koefisien partisi suatu obat
dalam suatu basis berbeda dengan koefisien obat tersebut dalam basis yang
lain, sehingga kecepatan pelepasan obat dari basis yang berbeda akan
berbeda pula. Jenis basis salep yang mempunyai viskositas tinggi akan
menyebabkan koefisien difusi suatu obat dalam basis menjadi rendah,
sehingga pelepasan obat dari basis akan kecil (Lachman dkk, 1994).
5. Faktor biologis
Menurut Lachman dkk (1994), absorbsi obat dari basisnya tidak
hanya tergantung pada komposisi dasar salep tetapi juga tergantung pada
beberapa faktor biologis yaitu: (a). Kondisi kulit (b). Daerah kulit yang
diobati (c). Keadaan hidrasi pada stratum corneum

III. ALAT DAN BAHAN


ALAT :
1. Sampel 10. Rak tabung reaksi
2. Alat pencukur bulu kelinci 11. Pipet mikro
3. Alumunium foil 12. Pipit volume 1 ml, 3 ml
4. Kain kasa 13. Pipet tetes
5. Ependrop 14. Labu takar
6. Tabung sentrifuge 15. Corong kaca
7. Fortex 16. Kuvet
8. Sentrifuge 17. Beaker glass
9. Tabung reaksi 18. Spetrofotometer
BAHAN :
1. Salep Asam Salisilat basis vaselin dan PEG
2. Heparin
3. TCA 10 %
4. Aquadest
HEWAN UJI : Kelinci

IV. SKEMA KERJA


a. Pembuatan larutan Stock Asam Salisilat
250 mg serbuk Asam Salisilat dimasukkan labu takar 50 ml

Dilarutkan dengan aquadest ad 50 ml

Diperoleh kadar 5000 ppm


b. Pembuatan Kurva Baku Asam Salisilat

Darah yang mengandung heparin

Ditambah larutan stok Asam Salisilat

Didapat kadar 250µg/ml, 500, 750, 1000, 1250 µg/ml

Ditambah 2 ml TCA 10%, divortexing

Disentrifuge 10 menit, 2500 rpm

Diambil 1 ml beningan

Dibaca absorbansinya pada λ maksimum

Diperoleh nilai absorban masing-masing konsentrasi

c. Pengambilan sampel darah


Diambil 2ml darah dari vena telinga
kelinci

Ditampung dalam tabung berisi heparin


Divortex
Diambil 1ml plasma
Ditambah TCA
10%

Dicentrifuge 15'
Diambil 1ml beningan
Ditambah 3ml air
Ditentukan konsentrasi obat dengan
spektrofotometer

d. Perlakuan Pada Kelinci


Kelinci dicukur bulu nya pada punggung seluas 20cm2
(panjang 5 cm dan lebar 4 cm )

Diolesi 2gr salep asam salisilat

Salep ditutup dengan aluminium foil dan di balut dengan kain kasa

Pengambilan sampel darah dilakukan menit ke 0,10, 20, 30, 45, 60,
90, dan 120

Darah di tampung dalam tabung reaksi berisi heparin


divortex
Diambil 1ml plasma
Ditambah TCA
10%
Dicentrifuge 15'
Diambil 1ml beningan
Ditambah 3ml air
Ditentukan konsentrasi asam salisilat dalam plasma
e. Analisa Data
Hasil percobaan dianalisa AUC, waktu vs konsentrasi

Koefisien permeabilitas dari percobaan

Dibandingkan tiap formula

V. PERHITUNGAN DAN DATA PENGAMATAN


Absorbansi Baku
ppm Absorbansi
a : -0,02016
0 0
20 0,107 b : 0,005655
40,96 0,132
r : 0,941219
50,2 0,257
61,44 0,382 y = 0,005655x – 0,02016

Absorbansi asam salisilat dengan basis vaselin dan PEG

VASELIN PEG
t (menit)
KEL 1 KEL 2 KEL 3 KEL 4
0 -0,073 -0,087 0,048 0,112
10 -0,145 -0,376 0,125 -0,174
20 -0,348 0,041 0,125 -0,151
30 -0,341 -0,087 0,112 -0,243
40 -0,271 0,064 -0,484 -0,285
45 -0,301 0,101 0,052 0,465
60 -0,251 -0,491 0,209 -0,313
90 -0,109 -0,26 0,005 -0,055
120 -0,797 -0,044 0,09 -0,124
VASELIN PEG
WAKTU KEL 1 KEL 2 KEL 3 KEL 4
Cp ln Cp Cp ln Cp Cp ln Cp Cp ln Cp
0 -9,34318 #NUM! -11,8188 #NUM! 12,05288 2,489304 23,36981 3,151445
10 -22,0747 #NUM! -62,9217 #NUM! 25,66856 3,245267 -27,2027 #NUM!
20 -57,9706 #NUM! 10,8151 2,380943 25,66856 3,245267 -23,1357 #NUM!
30 -56,7328 #NUM! -11,8188 #NUM! 23,36981 3,151445 -39,4038 #NUM!
40 -44,3549 #NUM! 14,88211 2,70016 -82,019 #NUM! -46,8305 #NUM!
45 -49,6597 #NUM! 21,42471 3,064545 12,76019 2,54633 85,78971 4,451899
60 -40,8184 #NUM! -83,2568 #NUM! 40,52202 3,701846 -51,7816 #NUM!
90 -15,7089 #NUM! -42,4098 #NUM! 4,449326 1,492753 -6,16029 #NUM!
120 -137,366 #NUM! -4,21519 #NUM! 19,47961 2,969369 -18,3613 #NUM!

AUC TRAPEZOID

VASELIN PEG
WAKTU
KEL 1 KEL 2 KEL 3 KEL 4
t0-t10 -267,5 -688,3 248,9 97,68
t10-t20 -690,1 -206,5 385 -387,7
t20-t30 -857,2 -64,11 373,5 -428,4
t30-t40 -727,2 89,73 -176,4 -628,2
t40-t45 -359,2 144,3 -378,2 -19,68
t45-t60 -984,7 -1088 495,3 898,5
t60-t90 -1084 -2521 1282 -1646
t90-120 -4357 -762,6 425,7 -460,2
AUC
TOTAL -9326 -5097 2656 -2574
VI. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan absorbsi perkutan yang


bertujuan untuk mengetahui jumlah obat dalam sirkulasi sistemik yang diberikan
secara perkutan pada kulit punggung kelinci, untuk mengetahui bagaimana sifat
dan pengaruh polaritas basis salep terhadap proses absorbsi perkutan, dengan
demikian dapat diketahui basis salep yang paling cepat dan optimal dalam
memberikan efek terapi. Bahan obat yang digunakan dalam praktikum kali ini
adalah asam salisilat dalam sediaan salep vaselin dan salep PEG. Kali ini
digunakan kelinci sebagai hewan uji dengan alasan, kelinci mempunyai struktur
kulit yang hampir sama dengan struktur kulit manusia dan mempunyai permukaan
tubuh yang luas.

Absorbsi obat merupakan kemampuan obat untuk berpenetrasi melewati


membran tempat pemberian dan obat tersebut berada dalam bentuk yang tidak
mengalami perubahan. Pada absorbsi perkutan, sebelum obat menembus lapisan
kulit, obat harus mampu melepaskan diri dari pembawanya, kemudian obat akan
berpenetrasi ke dalam kulit menembus lapisan kulit lalu obat akan masuk ke
dalam sirkulasi sitemik. Pada saat masuknya obat ke dalam sirkulasi sistemik,
terjadilah proses difusi pasif. Difusi dapat terjadi melalui stratum corneum (jalur
transepidermal), atau dapat juga melalui kelenjar keringat, minyak, atau melalui
folikel rambut (jalur transfolikular). Difusi pasif merupakan proses perpindahan
massa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi
rendah. Oleh sebab itu, absorbsi perkutan sangat dipengaruhi oleh sifat kimia zat
aktif pembawa (sifat basis salep), konsentrasi obat, luas permukaan kulit yang
diolesi obat. Pada percobaan ini, konsentrasi obat dan luas permukaan yang
diolesi dikondisikan sama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat tersebut diantaranya
adalah:

1. Faktor fisika-kimia

2. Kelarutan dari bahan obat (afinitas obat) terhadap bahan pembawa

3. Waktu difusi

Dari persamaan Higuchi (5), terlihat bahwa semakin cepat waktu difusi
akan semakin besar obat yang dilepaskan, sebaliknya obat yang dilepaskan
akan semakin kecil bila waktu difusinya semakin lambat (Zopf dan Blang,
1974).

4. Jenis basis salep

Jenis basis salep yang mempunyai viskositas tinggi akan menyebabkan


koefisien difusi suatu obat dalam basis menjadi rendah, sehingga
pelepasan obat dari basis akan kecil (Lachman dkk, 1994).

5. Faktor biologis

Menurut Lachman dkk (1994), absorbsi obat dari basisnya tidak hanya
tergantung pada komposisi dasar salep tetapi juga tergantung pada
beberapa faktor biologis yaitu: - kondisi kulit, daerah kulit yang diobati ,
keadaan hidrasi pada stratum corneum, suhu kulit, ketebalan fase penebal
kulit perbedaan spesies dan kelembaban kulit.

Syarat obat dapat dijadikan topical :

1. Dosis tidak lebih dari 20 mg


2. BM tidak lebih dari 500 dalton
3. Log P
4. Tidak memengaruhi sifat imunologi kulit.
Tujuan suatu sediaan dibuat topical adalah untuk menghindari iritasi
saluran cerna dan menghindari first pass metabolism.

Penggunaaan asam salisilat dapat berfungsi sebagai keratolitik untuk


pemakaian topikal. Keratolitik merupakan sediaan yang berfungsi untuk
mengangkat sel kulit mati lalu mengelupas. Sebagai keratolitik asam salisilat
bekerja pada daerah epidermis bagian stratum granulosum dan stratum
germinativum. Karena asam salisilat bekerja pada bagian stratum granulosum dan
stratum germinativum, maka asam salisilat harus dapat menembus stratum
corneum terlebih dahulu agar dapat mencapai targetnya. Untuk memperoleh efek
keratolitik, maka diperlukan basis yang cocok untuk membuat sediaan topikal.
Karena berdasarkan teori, sediaan topikal untuk keratolitik hanya bekerja pada
permukaan kulit dan tidak sampai masuk ke dalam saluran sistemik. Parameter
yang digunakan untuk mengetahui apakah basis tersebut baik untuk sediaan
topikal asam salisilat adalah dengan mengukur seberapa banyaknya (jumlah) asam
salisilat yang masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Untuk mengetahui berapa jumlah asam salisilat yang terabsorbsi, maka
dilakukan perhitungan AUC sampel. Semakin kecil nilai AUC artinya semakin
kecil konsentrasi asam salisilat yang terserap masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Begitu pula sebaliknya, semakin besar nilai AUC maka semakin besar pula
konsentrasi asam salisilat yang terserap masuk ke sirkulasi sistemik. Laju absorbsi
obat dalam darah dapat diamati berdasarkan hukum Fick. Dimana luas area
membran sangat berpengaruh pada laju absorbsi suatu obat. Oleh karena itu
dilakukan pengontrolan luas area membran dengan cara mengukur luas area kulit
yang akan diolesi dengan sediaan, sehingga diharapkan hanya faktor permeabilitas
membran sajalah yang dapat mempengaruhi hasil praktikum. Permeabilitas
membran dapat dipengaruhi salah satunya oleh basis salep yang digunakan. Basis
lipofil atau yang bersifat lemak akan menyebabkan zat aktif lebih mudah
menembus membran dibandingkan basis hidrofil atau basis non lemak. Hal ini
dikarenakan sebagian besar komponen kulit tersusun oleh lipid.
Percobaan dilakukan dengan mengoleskan sediaan vaselin dan PEG pada
punggung kelinci yang bulunya sudah dicukur sebelumnya dan diukur seluas 20
cm2. Pencukuran bertujuan untuk menghilangkan bulu kelinci yang dapat
mengganggu proses penyerapan asam salisilat pada kulit. Dalam pencukuran bulu
kelinci tidak boleh menimbulkan luka atau lecet pada kulit kelinci tersebut karena
akan mempengaruhi perbedaan aborbsi obat perkutan. Obat yang masuk melalui
kulit yang luka atau lecet tidak dapat dimaksudkan sebagai absorbsi perkutan
yang benar. Setelah itu, bagian yang diberi salep ditutup dengan aluminium foil
dan dibalut dengan kain kassa. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan keadaan
hidrasi. Hidrasi secara fisik mengubah jaringan kulit (pori –pori kulit membuka)
dan mengakibatkan perubahan dalam koefisien difusi serta koefisien aktivitas obat
yang akan berpenetrasi. Hal ini akan mempercepat penyerapan atau absorbsi
perkutan asam salisilat.
Pada kelompok 1 dan 2 digunakan asam salisilat dengan basis vaselin yang
merupakan basis salep golongan hidrokarbon. Sifat minyak yang dominan pada
basis hidrokarbon menyebabkan basis ini sulit tercuci oleh air dan tidak
terabsorbsi oleh kulit. Namun Sifat minyak yang hampir anhidrat juga
menguntungkan karena memberikan kestabilan optimum pada beberapa zat aktif
seperti antibiotik. Vaselin juga menyerap atau mengabsorbsi sedikit air dari
formulasi serta menghambat hilangnya kandungan air dari sel-sel kulit dengan
membentuk lapisan film yang waterproff. Vaselin juga mampu meningkatkan
hidrasi pada kulit. Sifat-sifat tersebut sangat menguntungkan karena mampu
mempertahankan kelembaban kulit sehingga basis ini juga memiliki sifat
moisturizer dan emollient. Kelembaban dapat mengembangkan lapisan tanduk.
Sehingga asam salisilat akan lebih mudah terpetrasi ke dalam lapisan epidermis,
karena sebagian komponen membrane merupakan lipid, asam salisilat yang
bersifat non polar akan mudah larut dalam lipid dan dapat berdifusi ke dalam
lapisan epidermis.

Sedangkan pada kelompok 3 dan 4 menggunakan basis hidrofilik, yaitu


PEG, tersusun dari adanya gugus polar dan ikatan eter yang banyak, dan sifatnya
larut dalam air, dapat dicuci sehingga nyaman setelah pemakaian, dan tidak
mengiritasi. Basis salep hidrofil memiliki kandungan air yang dapat menghidrasi
kulit untuk mempermudah penetrasi bahan obat.

Setelah salep dioleskan pada kulit, maka asam salisilat akan keluar dari
bahan pembawa atau basis kemudian akan kontak dengan stratum corneum. Obat
akan menuju epidermis dan masuk ke sirkulasi secara difusi pasif. Diharapkan
asam salisilat sebagai keratolitik tidak sampai berdifusi pasif masuk ke sirkulasi
sistemik. Untuk mengetahui ada atau tidaknya asam salisilat yang masuk ke
saluran sistemik maka dilakuaan pengambilan darah kelinci untuk dihitung
konsentrasi asam salisilat yang ada dalam darah. Darah diambil melalui vena
telinga pada kelinci. Darah diambil pada menit ke 0 sebagai blanko dan
selanjutnya pada menit ke 10, 20, 30, 45, 60, 90, dan 120 setelah pengolesan
salep.
Darah yang diambil ditempatkan pada ependrof yang telah diberi heparin.
Penambahan heparin bertujuan untuk mencegah penggumpalan darah hewan uji.
Darah dimasukkan tabung centrifuge dan ditambah 2ml TCA 20% kemudian
divortex dengan tujuan untuk menghomogenkan larutan. Penambahan 2ml TCA
20% bertujuan untuk mengendapkan makromolekul protein dalam larutan (darah).
Protein dalam darah (albumin) akan mengganggu dalam proses pengukuran
serapan dengan spektofotometer UV karena protein dapat mengikat obat dalam
plasma. Setelah itu disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Hal
ini bertujuan untuk memperoleh beningannya yang berupa plasma darah.
Beningan yang diperoleh diambil sebanyak 1,0 mL kemudian ditambah 3,0 mL
aquadest dan diukur serapannya dengan metode spektrofotometri UV. Digunakan
metode spektrofotometri UV karena asam salisilat memiliki gugus auksokrom dan
gugus kromofor dalam strukturnya. Setelah diketahui kadar asam salisilat dalam
darah kemudian dihitung luas area di bawah kurva atau area under curve (AUC).
Tujuan penghitungan AUC untuk mengetahui kadar obat dalam sirkulasi sitemik.
Berdasarkan data pengamatan di dapatkan AUC PEG lebih besar dari pada
vaselin, maka dapat disimpulkan bahwa vaslin lebih bagus sebagai basis dari asam
salisilat. Hal itu sesuai dengan teori, bahwa AUC PEG lebih besar dari pada vaselin,
karena vaselin yang sifatnya mmilih dengan vaselin sehinga susah dilepas.
Dalam pratikum, asam salisilat digunakan sebagai keratolitik yang
seharusnya kontak lama dengan kulit. Obat yang lebih mudah menembus kulit
adalah yang bersifat lipofil. Sehingga dibutuhkan basis yang cocok dengan asam
salisiilat adalah bersifat lipofil pula yaitu vaselin karena ikatannya dengan obat
asam salisilat akan kuat sehingga memungkinkan kontak yang lama dengan kulit.

Hal ini dapat terjadi karena beberapa factor antara lain


1. Adanya perbedaan konsentrasi asam salisilat yang terdapat dari sediaan,
2. Luas permukaan kontak berukuran 20 cm2 dimana dalam pencukuran
bulu kelinci tidak boleh menimbulkan luka atau lecet pada kulit kelinci
tersebut karena akan mempengaruhi perbedaan absorbsi obat perkutan.
Mungkin saja saat melakukan pencukuran tanpa sengaja menimbulkan
lecet pada kulit kelinci sehingga absorbansi pada Salep VASELIN lebih
banyak dari PEG

VII. KESIMPULAN
1. Absorbsi perkutan merupakan penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar
ke bagian kulit sebelah dalam dan penyerapan dari struktur kulit ke dalam
sirkulasi darah atau bagian getah bening.
2. Faktor yang mempengaruhi absorbsi perkutan obat, antara lain luas permukaan
kulit, konsentrasi obat, bobot molekul obat, koefisien partisi obat, profil
pelepasan obat dari pembawanya, waktu kontak obat dengan kulit, dan faktor
vasodilatasi pembuluh darah.
3. AUC total basis vaselin sebesar

a.
AUCtotal  9325,999761g.menit / ml
b.
AUCtotal  5096,741632 g.menit / ml
4. AUC total basis PEG sebesar

c.
AUCtotal  2656,23517 g.menit / ml
d.
AUCtotal  2573,86339 g.menit / ml
5. Berdasarkan data pengamatan di dapatkan AUC PEG lebih besar dari pada
vaselin, maka dapat disimpulkan bahwa vaslin lebih bagus sebagai basis dari
asam salisilat. Hal itu sesuai dengan teori, bahwa AUC PEG lebih besar dari pada
vaselin, karena vaselin yang sifatnya mmilih dengan vaselin sehinga susah
dilepas.
VIII. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai