Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Teknologi farmasi berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan tuntutan dalam pemenuhan kesehatan. Maka diperlukan
lebih banyak lagi studi teknik pembuatan sediaan obat untuk mendapatkan suatu
produk yang lebih baik dan lebih efisien. Sebagian besar produk obat konvensional
seperti tablet dan kapsul diformulasi untuk melepaskan obat aktif dengan segera
setelah pemakaian oral sehingga didapat absorpsi sistemik obat yang cepat dan
sempurna (Shargel dkk., 2004).
Pengobatan untuk mendapatkan efek sistemik, selain tablet yang biasa
diberikan secara oral terdapat pula tablet yang lain seperti tablet implant berupa
pellet, bulat atau oval pipih, steril dimasukkan secara implantasi dalam kulit badan
dengan cara merobek kulit sedikit, kemudian tablet dimasukkan dan kulit dijahit
kembali kemudian zat aktifnya akan dilepas perlahan-lahan. Implant obat polimerik
dapat menghantar dan mempertahankan kadar obat dalam tubuh untuk suatu jangka
waktu yang panjang. Obat dibebaskan secara terkontrol dari matriks polimer,
berdifusi dari permukaan masuk dalam peredaran darah untuk selanjutnya dibawa
ke organ atau reseptor. Kadar obat dalam plasma darah secara berkelanjutan
dipertahankan dalam batas kadar terapetik yang diinginkan (Shargel dkk., 2004).
Tablet implantasi atau pellet dibuat secara aseptik dan mesin tablet harus
steril. Biasanya digunakan pada obat-obatan kontrasepsi berisi hormone (estradiol
dan testosterone) untuk mencegah ovulasi contohnya seperti Levonogestrel,
Norplant, Implanon, dan Disulfiram Tablet Implantations. Terdapat 2 macam
implant yaitu Non Biodograndable implant dan Biodograndable implant.
Kelebihan dari tablet implant ini adalah kenyamanan (Convenience) terapi
dengan implan pasien mendapat pengobatan diluar rumah sakit dengan pengawasan
minimal, baik untuk pelepasan obat terkontrol dan memaksimalkan penghantaran
obat. Sedangkan kerugian dari sediaan tablet implant yaitu, diperlukan prosedur

1
bedah minor atau mayor untuk memulai terapi, pemberhentian obat implan polimer
non-biodegradabel dan pompa osmotik harus dikeluarkan atau diangkat pada akhir
pengobatan, dapat menyebabkan kegagalan terapi, ukuran implant yang kecil dalam
rangka kenyamanan pasien, menyebabkan hanya obat-obat poten seperti hormon
yang cocok untuk dibuat implan, dan biokompatibel, reaksi tubuh terhadap benda
asing yang masuk dan keamanan implant.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka pada makalah ini akan dibahas
mengenai perjalanan obat didalam tubuh dari sediaan tablet implant.

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah anatomi fisiologi kulit?
2. Bagaimanakah saluran pembuluh darah yang dilalui oleh tablet implant?
3. Bagaimanakah absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi pelepasan
obat dari sediaan tablet implant?
4. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi absorpsi sediaan tablet
implant?
5. Bagaimanakah evaluasi biofarmasetika dari sediaan tablet implant?
1.3.Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami anatomi fisiologi dari sediaan tablet implant.
2. Untuk memahami saluran pembuluh darah yang dilalui oleh tablet implan.
3. Untuk memahami absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi
pelepasan obat dari sediaan tablet implant?
4. Untuk memamahami faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi sediaan
tablet implant.
5. Untuk memahami evaluasi biofarmasetika dari sediaan tablet implan.
1.4.Manfaat Makalah
1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca terkait ilmu biofarmasi
tentang sediaan tablet implantasi.
2. Memberi pemahaman terhadap perjalanan obat dalam tubuh dari sediaan
tablet implant.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Fisiologi Kulit


Kulit adalah pembatas antara manusia dan lingkungannya. Kulit
mempunyai berat rata-rata 4 kg dan meliputi area seluas 2m². Kulit berperan sebagai
pembatas, melindungi tubuh dari lingkungan luar dan mencegah hilangnya zat-zat
tubuh yang penting, terutama air (Weller, et al, 2015). Kulit memiliki 3 lapisan,
yaitu:
1. Epidermis
Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling
tebal berukuran 1 milimeter, misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan,
dan lapisan yang tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi,
dahi, dan perut. Sel-sel epidermis disebut keratinosit.
a. Stratum Korneum
Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti,
tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit
mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, jenis protein
yang tidak larut dalam air, dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia.
Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit untuk memproteksi tubuh dari
pengaruh luar. Secara alami, sel-sel yang sudah mati di permukaan kulit
akan melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan stratum korneum
dilapisi oleh suatu lapisan pelindung lembab tipis yang bersifat asam,
disebut mantel asam kulit (Eroschenko, 2012).
b. Stratum Lucidum
Terletak tepat di bawah stratum korneum, merupakan lapisan yang
tipis, jernih, mengandung eleidin. Antara stratum lucidum dan stratum
granulosum terdapat lapisan keratin tipis yang disebut rein's barrier
(Szakall) yang tidak bisa ditembus (Eroschenko, 2012).

3
c. Stratum Granulosum
Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir
kasar, berinti mengkerut. Di dalam butir keratohyalin terdapat bahan logam,
khususnya tembaga yang menjadi katalisator proses pertandukan kulit
(Eroschenko, 2012).
d. Stratum Spinosum
Memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri. Intinya besar
dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut
protein. Cairan limfe masih ditemukan mengitari sel-sel dalam lapisan
malphigi ini (Eroschenko, 2012).
b. Stratum Germinativum
Adalah lapisan terbawah epidermis. Di dalam stratum germinativum
juga terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel-sel yang tidak mengalami
keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan
memberikannya kepada sel-sel keratinosit melalui dendrit-dendritnya. Satu
sel melanosit melayani sekitar 36 sel keratinosit. Kesatuan ini diberi nama
unit melanin epidermal (Eroschenko, 2012).
2. Dermis
Terdiri dari bahan dasar serabut kolagen dan elastin yang berada di dalam
substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari gelatin mukopolisakarida.
Serabut kolagen dapat mencapai 72% dari keseluruhan berat kulit manusia
bebas lemak. Di dalam dermis terdapat adneksa-adneksa kulit seperti folikel
rambut, papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot
penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut
lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (Eroschenko, 2012).
3. Hipodermis atau Subkutis Hipodermis atau Lapisan Subkutis (Tela Subcutanea)
Tersusun atas jaringan ikat dan jaringan adiposa yang membentuk fasia
superficial yang tampak secara anatomis. Hipodermis ini terdiri dari sel-sel
lemak, ujung saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh getah bening, kemudian
dari beberapa kandungan yang terdapat pada lapisan ini sehingga lapisan
hipodermis ini memiliki fungsi sebagai penahan terhadap benturan ke organ

4
tubuh bagian dalam, memberi bentuk pada tubuh, mempertahankan suhu tubuh
dan sebagai tempat penyimpan cadangan makanan (Eroschenko, 2012).

Gambar 3.1. Anatomi Kulit Manusia


Fisiologi Kulit
Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis tubuh.
Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi termoregulasi, reservoir
darah, proteksi, absorpsi dan cutaneous sensation sekskresi. Kulit juga sebagai
barier infeksi dan memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan
(Harien, 2010).
1. Termoregulasi Kulit
Berkontribusi pada termoregulasi tubuh dengan dua cara, yaitu dengan cara
melepaskan keringat dari permukaan dan menyesuaikan aliran darah di dermis.
Sebagai respon pada lingkungan bersuhu tinggi atau karena panas yang
disebabkan oleh olahraga, produksi keringat dari kelenjar ekrin akan
meningkat, hal ini menyebabkan menguapnya keringat dari permukaan kulit
dan menjadikan temperatur tubuh menurun. Pada saat itu pula, pembuluh darah
di dermis akan dilatasi sehingga aliran darah mengalir ke dermis, yang mana

5
akan menyebabkan semakin bertambahnya panas yang keluar dari tubuh. Pada
keadaan lingkungan dingin, maka sebaliknya, produksi dari kelenjar keringat
ekrin akan menurun dan aliran darah di dermis akan konstriksi untuk
mengurangi pengeluaran panas dari tubuh (Tortora & Derrickson, 2009).
2. Reservoir Darah Dermis
Mempunyai jaringan pembuluh darah yang luas yang mana membawa 8-
10% dari total pembuluh darah dalam manusia dewasa yang sedang beristirahat
(Tortora & Derrickson, 2009).
3. Proteksi Kulit
Memproteksi tubuh dengan berbagai cara. Keratin membantu proteksi
jaringan dibawahnya dari mikroba, abrasi, panas, dan kimia. Lipid dilepaskan
oleh lamellar granules menghambat penguapan air dari permukaan kulit,
sehingga menjaga tubuh dari dehidrasi. Lipid juga membantu memperlambat
air masuk pada saat renang atau mandi. Minyak sebum dari kelenjar sebasea
membantu kulit dan rambut kering dan mengandung bakterisidal yang dapat
membunuh bakteri di permukaan. Keringat, yang mana bersifat pH asam
membantu memperlambat tumbuhnya beberapa mikroba. Pigmen melanin
membantu proteksi dari efek berbahaya sinar ultraviolet (Tortora & Derrickson,
2009).
4. Ekskresi dan Absorbsi
Walaupun stratum korneum bersifat tahan air, sekitar 400 mL air menguap
melaluinya setiap hari. Keringat berperan sebagai melepas air dan panas dari
tubuh, selain itu keringat juga sebagai transportasi untuk ekskresi beberapa
jumlah garam, karbon dioksida, dan molekul organik yang dihasilkan oleh
pemecahan protein amonia dan urea. Beberapa vitamin yang larut lemak (A, D,
E, & K), beberapa obat, dan gas oksigen serta gas karbondioksida dapat
menembus kulit. Beberapa material toksik seperti aseton dan karbon
tetraklorida, garam dari logam berat seperti timah, arsen, merkuri juga dapat
diabsorbsi oleh kulit (Tortora & Derrickson, 2009).

6
5. Cutaneous Sensations
Cutaneous Sensations adalah sensasi yang timbul di kulit, termasuk sensasi
taktil; sentuhan, tekanan, dan getaran; sensasi termal seperti panas dan dingin.
Cutaneous Sensations yang lain adalah rasa sakit, biasanya sakit adalah indikasi
adanya jaringan yang akan atau rusak. Di kulit ada banyak susunan akhiran
saraf dan reseptor, seperti korpuskel di dalam dermis, dan pleksus akar rambut
di setiap folikel rambut (Tortora & Derrickson, 2009).

2.2. Pengertian Tablet Implant


Tablet implantasi adalah tablet yang disisipkan dibawah kulit dan dapat
melepaskan obat dalam jangka waktu yang lama. Tablet dengan diameter 2-3 mm
dan panjang 8 mm. Tablet implantasi berupa pellet, bulat atau oval pipih, steril
dimasukkan secara implantasi dalam kulit badan. Tablet implantasi digunakan
untuk hormone (misalnya penghambat ovulasi), kecepatan melarutnya dalam cairan
getah bening harus sangat rendah. Polimer yang dapat terdegradasi dan tidak dapat
terdegradasi dapat diresapkan dengan obat dalam suatu sistem penghantaran obat
terkendali. Akibat resorpsi yang lambat, satu pellet dapat melepaskan zat aktifnya
secara teratur selama 3-5 bulan lamanya (Shargel dkk., 2004).

2.3. Cara Menggunakan Tablet Implant


Tablet implant biasanya digunakan melalui bantuan dari tenaga kesehatan,
biasanya digunakan pada obat-obatan kontrasepsi. Cara penggunaan tablet implant:
1. Rekayasa tempat pemasangan dengan tepat (apabila terdiri dari 6 buah tablet,
seperti kipas terbuka).
2. Tempat pemasangan di lengan kiri atas, diberikan likokain 2%.
3. Dibuat insisi kecil sehingga trokar dapat masuk.
4. Trokar ditusukkan subkutan sampai batasnya.
5. Tablet dimasukkan ke dalam trokar dan didorong dengan alat pendorong sampai
terasa ada tahanan.
6. Untuk menempatkan tablet, trokar ditarik ke luar.

7
7. Untuk menyakinkan bahwa tablet telah di tempatnya, alat pendorong
dimasukkan sampai terasa tidak ada tahanan.
8. Setelah tablet dipasang, bekas insisi ditutup dengan tensoplas (band aid).
Teknik ini berlaku untuk semua jenis implan.
(Handayani, 2010).

Gambar 2.1 Cara Menggunakan Tablet Implan

2.4. Mekanisme Kerja Implant Kontrasepsi


Cara kerja implan menurut Saifuddin (2006:MK:54) adalah sebagai berikut:
1) Mengentalkan lendir serviks.
Kadar levonorgestrel yang konstan mempunyai efek nyata terhadap mucus
serviks. Mukus tersebut menebal dan jumlahnya menurun, yang membentuk sawar
untuk penetrasi sperma.
2) Menganggu proses pembentukan endometrium sehingga sulit terjadi implantasi.
Levonorgestrel menyebabkan supresi terhadap maturasi siklik endometrium
yang diinduksi estradiol dan akhirnya menyebabkan atrofi. Perubahan ini dapat
mencegah implantasi sekalipun terjadi fertilisasi.
3) Mengurangi transportasi sprema.
Perubahan lendir serviks menjadi lebih kental dan sedikit, sehingga
menghambat pergerakan sperma.

8
4) Menekan ovulasi.
Menekan ovulasi karena progesteron menghalangi pelepasan luteinizing
hormone (LH). Levonorgestrel menyebabkan supresi terhadap lonjakan LH, baik
pada hipotalamus maupun hipofisis, yang penting untuk ovulasi.

2.5. Jenis-Jenis Implant


Menurut Prawirohardjo (2006:MK-53) terdapat 3 jenis implant yaitu:
1. Norplant. Terdiri dari 6 batang silastik lembut berongga dengan panjang 3,4
cm, dengan diameter 2,4 mm, yang diisi dengan 36 mg Levonorgestrel dan
lama kerjanya 5 tahun.
2. Implanon. Terdiri dari satu batang putih lentur dengan panjang kira-kira 40
mm, dan diameter 2 mm, yang diisi dengan 68 mg Keto-desogestrel dan
lama kerjanya 3 tahun.
3. Jadena dan Indoplant. Terdiri dari 2 batang yang diisi dengan 75 mg
Levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun.
Menurut Handayani (2010) terdapat 2 macam implan yaitu Non
Biodograndable implan dan Biodograndable implant.
1. Non Biodograndable implant, dengan ciri – ciri sebagai berikut :
a. Norplant (6 “kasul”), berisi hormon Levonogrestel, daya kerja 5 tahun.
b. Norplant-2 (2 batang), berisi hormon Levonogrestel, daya kerja 3 tahun.
c. Satu batang, berisi hormon ST-1435, daya kerja 2 tahun.
d. Satu batang, berisi hormone 3-keto desogesteri daya kerja 2,5-4 tahun.
Non Biodograndable Implan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
a) Norplant
Dipakai sejak tahun 1987, terdiri dari 6 “kapsul” kosong silastik (karet
silicon) yang diisi dengan hormon Levonogrestel dan ujung – ujung kapsul
ditutup dengan silastic adhesive. Tiap “ kapsul” mempunyai panjang 34 mm,
diameter 2,4 mm, berisi 36 mg levonorgestrel, serta mempunyai ciri sangat
efektif dalam mencegah kehamilan untuk lima tahun. Saat ini Norplant banyak
dipakai.

9
b) Norplant -2
Dipakai sejak tahun 1987, terdiri dari dua batang silactik yang padat,
dengan panjang tiap batang 44 mm. Dengan masing – masing batang diisi 70 mg
Levonorgestrel di dalam matriks batangnya. Ciri norplant-2 adalah sangat efektif
untuk mencegah kehamilan 3 tahun.
2. Biodegrodable Implant
Implant biodegradable dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a) Carpronor, suatu “ kapsul” polymer yang berisi levonorgestrel, pada awal
penelitian dan pengembangannya, carpronor berupa suatu “kapsul”
biodegradable yang mengandung levonorgestrel yang dilarutkan dalam minyak
ethyl-aleate dengan diameter “ kapsul”< 0,24 cm dan panjang “ kapsul” yang
teliti terdiri dari 2 ukuran, yaitu 2,5 cm yang berisi 16 mg levonogestrel,
melepaskan 20 mcg hormonnya/ hari. Dan 4 cm yang berisi 25 levonorgestrel,
melepaskan 30 – 50 mcg hormonal/hari.
b) Narethindrone Pellets
1. Pellets dibuat dari 10 % kolesterol murni dan 90% norechindrone (NET).
2. Setiap pellets panjang 8 mm berisi 35 mg NET, yang akan dilepaskan saat
pellet dengan perlahan – lahan “melarut”.
3. Pellets berukuran kecil, masing – masing sedikit lebih besar dari pada butir
besar.
4. Dosis harian NET dan efektivitas kontrasepsi bertambah dengan
banyaknya jumlah pellets.

2.6. Contoh Sediaan Obat Implant


1. Levonogestrel
2. Norplant
3. Implanon dan
4. Disulfiram Tablet Implantations
5. Addtrex Naltrexone
6. Goserelin Implant (Zoladex)

10
2.7. Keuntungan Penggunaan Tablet Implant
1. Kadar obat dalam plasma secara berkelanjutan dipertahankan dalam batas
kadar terapetik yang diinginkan.
2. Efek samping pada pemberian langsung sistemik dapat dihindarkan atau
dikurangi
3. Pemberian obat relative lebih menguntungkan, terutama untuk daerah atau
periferi dimana supervise tenaga kesehatan tidak tersedia.
4. Pembebasan obat dalam jumlah kecil secara berkelanjutan kurang
memberikan rasa nyeri daripada bila diberikan berkali-kali dengan dosis
yang lebih besar.
5. Kepatuhan penderita mempergunakan obatnya tidak lagi menjadi problema
6. Pemberian obat dalam bentuk implant relative murah harganya, serta
kemubaziran obat dihindarkan.
(Prescibendi, 1994)

2.8. Kekurangan Penggunaan Tablet Implant


1. Kemungkinan implant tidak bikompatibel dengan penderita
2. Terbentuknya produk sampingan dari polimer bila bahan tidak didagradasi
secara biologis
3. Tidakan operatif pemasangan implant pada tempat yang cocok
4. Ada kemungkinan implant memberikan perasaan nyeri
5. Perlunya adanya jaminan tidak terjadi kebocoran matriks dan faktor-faktor
lain yang dapat menyebabkan kehilangan kontrol pembebasan obat.
(Prescibendi, 1994)

2.9. Pelepasan Obat dalam Tubuh


Nasib obat dalam tubuh merupakan peristiwa-peristiwa yang di alami obat
dalam tubuh. Aksi beberapa obat membutuhkan suatu proses untuk mencapai
konsentrasi yang cukup dalam jaringan sasarannya (Shargel dkk., 2004). Perjalanan
obat dalam tubuh melalui 3 fase yaitu:

11
1. Fase farmasetika, fase ini meliputi waktu mulai penggunaan sediaan obat
melalui mulut hingga pelepasan zat aktifnya kedalam cairan tubuh.
2. Fase farmakokinetika, fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke
organ yang ditentukan, setelah obat dilepas dari bentuk sediaan. Obat harus
diabsorpsi kedalam darah kemudian didistribusikan melalui tiap-tiap
jaringan tubuh. Dalam darah, obat akan dapat terikat protein darah dan
mengalami metabolisme kemudian diekskresikan.
3. Fase Farmakodinamika, bila obat berinteraksi dengan sisi reseptor, biasanya
protein membran, akan menimbulkan respon biologik. Tujuan pokok dari
fase ini adalah optimalisasi dari efek biologik.
Dua proses penting yang menentukan konsentrasi obat di dalam tubuh pada
waktu tertentu adalah translokasi dari molekul obat dan transformasi senyawa obat.
Translokasi obat yang menentukan proses absorpsi dan distribusi. Transformasi
obat menerangkan proses metabolisme obat atau proses eliminasi lain yang terlibat
dalam tubuh (Ansel, 1989).
2.9.1. ABSORPSI
Absoprsi menggambarkan kecepatan pada saat obat meninggalkan tempat
atau sisi pemberian. Obat agar dapat diabsorpsi harus dilepaskan dari bentuk
sediaannya sebagai contoh apabila obat dalam bentuk tablet maka harus mengalami
disintegrasi sediaan dan disolusi senyawa aktifnya. Pelepasam obat dari sediaannya
tergantung dari faktor fisika kimiawi obat, bentuk sediaan, dan lingkungan dalam
tubuh tempat obat diabsorpsi. Dalam hal ini, formulasi bentuk sediaan adalah
faktor paling penting dalam pelepasan obat. Apabila molekul obat terikat pada
permukaan kulit atau mukosa oleh ikatan ion, ikatan hidrogen atau van der Waal
dinamakan adsorpsi. Sedangkan jika obat mencapai lapisan yang lebih dalam tapi
tidak mencapai kapiler darah dinamakan peristiwa penetrasi. Kemudian, obat
menembus melalui dinding kapiler dan menuju sirkulasi sistemik dinamakan
absorpsi. Secara ringkas, Definisi absorpsi adalah perpindahan obat dari tempat
pemberian ke sirkulasi sistemik (peredaran darah). Obat harus berada dalam larutan
air pada tempat absorpsi agar dapat dapat diabsorpsi. Mekanisme absorpsi bisa

12
dengan cara difusi pasif, transport aktif, transport konvektif, difusi terfasilitasi,
transport pasangan ion dan pinositosis (Shargel dkk., 2004).
Faktor yang mempengaruhi Absorpsi
Proses awal farmakokinetika adalah absorpsi obat apabila obat diberikan secara
ekstravaskuler. Pada proses absorpsi obat melibatkan transport melewati membran
sel sebelum obat mencapai jaringan atau organ. Faktor-faktor yang mempengaruhi
absorpsi obat antara lain :
1. Kecepatan disolusi obat
Kecepatan disolusi obat merupakan syarat utama bagi obat-obat dalam
bentuk padatan misalnya tablet dan kecepatan disolusi ini dipengaruhi oleh luas
permukaan obat yang melarut.
2. Ukuran partikel
Untuk obat yang sukar larut dalam air, ukuran partikel sangat
mempengaruhi. Obat-obat dengan ukuran partikel kecil relatif mudah larut dalam
cairan dibandingkan partikel dengan ukuran yang besar.
3. Kelarutan dalam lipid atau air
Absorpsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi. Telah disampaikan
bahwa medium absorpsi sebagian besar berupa air sedangkan membran sel lebih
bersifat lipofilik. Oleh karena itu, suatu obat harus dapat larut dalam air maupun
lipid.
4. lonisasi
Sebagian besar obat merupakan suatu elektrolit lemah sehingga ionisasinya
dipengaruhi oleh pH medium. Dalam mediumnya obat tersebut dalam dua bentuk
yaitu bentuk terion yang lebih mudah larut dalam air dan bentuk tak terionkan yang
mudah larut dalam lipid dan lebih mudah diabsorpsi.
5. Aliran darah pada tempat absorpsi
Aliran darah pada tempat absorpsi adalah penting karena membantu proses
absorpsi yaitu mengambil obat menuju sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran
darah maka absorpsi juga semakin besar.

13
6. Pengaruh makanan atau obat lainnya.
Beberapa makanan atau obat dapat mempengaruhi proses absorpsi suatu
obat lainnya. Pemberian makanan atau obat dapat mempengaruhi variabel di atas
sehingga mempengaruhi keefektivan absorpsi obat.
2.9.2. DISTRIBUSI
Distribusi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke
suatu tempat di dalam tubuh (cairan dan jaringan). Tempat distribusi adalah cairan
pada berbagai jaringan yaitu protein plasma,hati, ginjal, tulang, lemak, barrier darah
otak, barter plasenta. Tempat distribusi tersebut merupakan parameter kualitatif
distribusi. Sedangkan mekanisme distribusi dapat melalui transport konvektif,
pinosrtosis ataudifusi pasif. Komposisi cairan tubuh meliputi caitan ekstraseluler
dan intraseluler.
Cairan ekstraseluler mengandung plasma darah (berkisar 4,5%
berat badan), cairan interstitial (16%) dan getah bening (1,2%). Cairan intraseluler
(30-40 %) merupakan penjumlahan kandungan cairan dariseluruh sel tubuh. Cairan
transeluler (2,5%) meliputi cairan synovinal, pleura, peritoneal, intraocular,
serebrospinal dan sekresi digestif. Supaya dapat masuk ke kompartemen seluler dari
kompartemen ekstraseluler, obat harus dapat menembus barter seluler (Shargel
dkk., 2004).
BARTER DARAH OTAK
Barter mengandung beberapa lapisan sel endotelial yang digabungkan oleh
tight junction. Otak sulit ditembus oleh beberapa obat misalnya beberapa obat
antikanker dan antibiotik misalnya aminoglikosida karena barter tersebut bersifat
lipid solubel. Pada kondisi inflamasi misalnya meningitis, dapat menggangu
integritas barter sehingga beberapa obat dapat menembusnya (Shargel dkk., 2004).
VOLUME DISTRIBUSI
Volume distribusi adalah volume cairan tubuh tempat suatu obat pada
akhirnya terdistribusikan, dinotasikan Vd. Volume distribusi menggambarkan luas
distribusi obat dalam tubuh. Volume distribusi merupakan parameter kuantitatif
distribusi.

14
Q
Vd =
CP
Dimana Q adalah jumlah obat total dan Cp adalah konsentrasi obat dalam
darah. Volume plasma berkisar 0,05 L/kg BB. Beberapa obat misalnya heparin
yang hanya didistribusikan pada kompartemen plasma karena molekulnya terlalu
besar untuk menembus dinding kapiler. Di samping itu juga disebabkan karena
ikatan yang kuat dengan protein plasma.Volume ekstraseluler berkisar 0,2 L/kg dan
tepat untuk obat-obat yang bersifat polar misalnya vekuronium, gentamisin dan
karbesilin. Obat tersebut sulit menembus sel karena kelarutan lipidnya rendah
sehingga tidak dapat menembus barrier darah-otak dan plasenta. Cairan total tubuh
berkisar 0,55 L/kg dan volume distribusi dicapai oleh obat yang larutdalam lipid
misalnya fenitoin. Ikatan obat diluar kompartemen plasma seperti pada lemak tubuh
akan meningkatkan volume distribusi (Shargel dkk., 2004).
IKATAN OBAT PADA MATERIAL BIOLOGI
Plasma darah mengandung 93 % air dan 7 % terdiri berbagai senyawa
terlarit terutama protein. Fraksi protein utama adalah albumin (5% dari total
plasma). Protein tidak hanya ditemukan pada plasma namun juga pada jaringan.
Obat biasanya terikat pada albumin meskipun beberapa obat terikat pada protein
lainnya. Ikatan obat dengan albumin bersifat reversibel dan ikatan yang
terlibat biasanya adalah lemah dan spesifik. Albumin serum manusia mempunyai
BM sebesar 67.500 dan tersusun oleh 20 asam amino yang berbeda. Jenis asam
amino dan posisinya dalam molekul protein menentukan ikatannya dengan obat.
Kelompok basa misalnya arginin, histidin dan lisin bertanggung jawab mengikat
obat asam, sedangkan kelompok asam amino basa misalnya asam aspartat, asam
glutamat dan tirosin mengikat obat basa. Pada pH 7,4 darah, kelompok karbonil
asam terprotonasi menjadi ion positif dan membentuk muatan positif maupun
negatif pada permukaannya. Sehingga dapat menarik ion yang bermuatan ion
berlawanan dengan kekuatan elektrostatik. Obat dapat terikat albumin melalui
ikatan hidrogen, van der Waals dan hidrofobik. Obat asam terikat kuat pada albumin
sedangkan obat basa terikat lemah pada albumin. Ikatan tersebut bersifat reversibel
dan tidak spesifik.

15
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi
Telah disampaikan bahwa efektivitas distribusi berkaitan langsung dengan
derajat pengikatan pada protein plasma. Derajat pengikatan obat pada protein
tergantung pada afinitas obat terhadap protein, jumlah tempat pengikatan, kadar
protein dan kadar obat. Keempat faktor tersebut dipengaruhi oleh kondisi penyakit
dan pendesakan. Penyakit seperti pada organ hati, ginjal, atau luka bakar dan trauma
dapat mengakibatkan kondisi yang dinamakan hipoalbuminemia (kadar albumin
mengalami penurunan di dalam plasma). Oleh sebab itu, kadar obat dalam bentuk
bebas akan meningkat sehingga akan meningkatkan efek farmakologi obat
bersangkutan. Pendesakan dapat terjadi manakala terdapat obat lain yang
mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein plasma sehingga
mengakibatkan kadar obat bebas meningkat dan pada akhirnya efek obat juga
meningkat. Pendesakan akan bermakna klinik manakala ikatan obat dan protein
sebesar lebih dari 80-90 % dan volume distribusinya kecil ( < 0,15 mL/g). Sebagai
contoh warfarin dapat didesak oleh klofibrat atau asam mefenamat sehingga
meningkatkan efek antikoagulasi warfarin sehingga penderita dapat mengalami
pendarahan.
2.9.3. METABOLISME
Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama yaitu menyediakan energi bagi
fungsi tubuh dan pemeliharaan; memecah senyawa misalnya katabolisme, menjadi
senyawa yang lebih sederhana dan biosintesis molekul yang lebih komplek
misalnya anabolisme, biasanya membutuhkan energy; dan mengubah senyawa
asing (obat) menjadi lebih polar, larut air dan terionisasi sehingga lebih mudah
diekskresi. Metabolisme obat disebut juga biotransformasi meskipun antara
keduanya juga sering dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah
metabolisme hanya ditujukan untuk perubahan-perubahan biokimiawi atau kimiawi
yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen sedang biotransformasi
peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika).
Metabolisme obat atau biotransformasi adalah suatu perubahan
secara biokimia atau kimiawi suatu senyawa di dalam organisme hidup. Definisi
lainnya adalah perubahan suatu senyawa menjadi senyawa lainnya yang disebut

16
metabolit yang terjadi pada sistem biologis. Reaksi metabolisme obat tersebut
sebagian besar terjadi pada oragn hati khususnya pada sub-seluler retikulum
endoplasma. Organ-organ yang bertanggung jawab dalam metabolism obat adalah
hati, paru, ginjal, mukosa dan darah merah (Ansel, 1989).
JALUR METABOLISME OBAT
Enzim yang berperan dalam metabolisme obat terdapat pada fraksi
mitokondrial atau mikrosomal. Bahkan metabolisme obat dapat terjadi manakala
enzim metabolisme diproduksi oleh sel-sel di sirkulasi sistemik. Obat kemungkinan
dimetabolisme dalam epitelium gastrointestinal selama absorpsi atau oleh hati
sebelum mencapai sirkulasi sistemik, proses terakhir ini dinamakan efek lintas
pertama (first-pass effect) yang mengakibatkan penurunan bioavailabilitas (Ansel,
1989).
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
Metabolisme obat di dalam tubuh dapat mengalami perubahan dan hal ini
membawa dampak pada perubahan efek farmakologi obat yang bersangkutan,
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat adalah:
1. Intrinsik obat
Faktor intrinsik obat ini meliputi kelarutannya dalam lipid, ikatan protein
plasma, dosis yang digunakan dan cara pemberian.
2. Fisiologi organisme
Faktor fisiologi ini adalah jenis makhluk hidup, galur (ras), jenis kelamin,
umur dan kondisi kehamilan. Malation suatu jenis pestisida, pada mamalia dan
manusia diubah menjadi malation diasid dan mengalami dekarboksilasi dan
dikonjugasikan dengan enzim metabolisme fase II untuk diekskresikan, sedangkan
pada insektisida malation diubah menjadi malaokson yang bersifat toksik.
3. Kondisi patologi
Kondisi patologi meliputi jenis dan tingkat penyakit dapat mempengaruhi
metabolisme suatu obat. Telah disampaikan bahwa hati merupakan organ utama
bagi reaksi metabolisme obat sehingga apabila terjadi kondisi patologi pada organ
tersebut misalnya nekrosis hepar atau hepatitis maka obat yang lebih dominan
dimetabolisme di hati seperti tolbutamid dapat mengalami gangguan metabolisme

17
sehingga efek farmakologinya dapat meningkat. Dalam hal ini, pengetahuan
mengenai penyesuaian dosis pada penderita tersebut adalah penting bagi pada
apoteker yang akan berkerja di rumah sakit.
4. Susunan makanan
Unsur-unsur makanan meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, unsur
runutan dan alkohol dapat mempengaruhi metabolisme obat. Ini terkait bahwa
unsur makanan tersebut dapat memacu kemampuan baik secara kualitas maupun
kapasitas enzim metabolisme obat khususnya P-450 untuk mengkatalisis reaksi
metabolisme obat.
5. Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi produk petroleum, logam berat dan insektisida
yang berasal dari cemaran lingkungan. Mekanisme dari faktor tersebut adalah juga
terkait dengan kemampuannya menginduksi atau menghambat enzim
pemetabolisme.
2.9.4. EKSKRESI
Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju
ke organ ekskresi. Obat mengalami ekskresi untuk keperluan detokstfikasi obat
tersebut. Apabila obat tidak diekskresi maka obat akan tertinggal dalam tubuh dan
mengakibatkan ketoksikan pada organisme bersangkutan. Tempat atau jalur
ekskresi adalah melalui ginjal (organ utama), hati atau empedu, paru, kelenjar
saliva, kelenjar susu dan kelenjar keringat (Ansel, 1989).

2.10. TRANSPORT OBAT


Transport merupakan suatu peristiwa perpindahan dari satu tempat ke tempat
yang lain disertai dengan penembusan membrane seluler. Kecuali metabolisme,
proses farmakokinetika melibatkan transport membran tersebut. Obat berpindah-
pindah dalam tubuh melalui dua jalan yaitu transfer difusional misalnya molekul ke
molekul, dengan jarak yang pendek, transfer beraliran misalnya dalam aliran darah.
Dalam aliran darah (sistem kardiovaskuler), transfer beraliran tidak dipengaruhi
oleh sifat kimiawi obat. Sedangkan pada transfer difusi dipengaruhi oleh ukuran
molekul obat dan kelarutannya dalam lipid. Semakin kecil ukuran partikel suatu

18
obat maka proses transport obat juga semakin besar dan semakin larut dalam lipid
maka transfer pada barrier hidrofobik semakin besar pula (Shargel dkk., 2004).
MEMBRAN SEL
Barrier antara dua kompartemen dalam tubuh terdiri dari membran sel.
Membran tersebut memisahkan antara kompartemen ekstraseluler dengan
intraseluler. Yang dimaksud dengan membran sel adalah suatu organel yang
memisahkan isi sel dari lingkungan sekitarnya.
Membran sel mempunyai gugus yang dapat membentuk ikatan ionik atau
hidrogen dengan gugus yang sesuai dari suatu obat. Sehingga sifat dari suatu
membran adalah semipermiabel, mempunyai tegangan permukaan yang rendah dan
mempunyai tegangan listrik (potensial membran). Terdapat dua macam model
membran sel yaitu model Davson Danielli dan Mosaik Cair. Pada model Davson
Danielli, membran sel terdiri dari 2 lapis lipid yaitu gugus hidrofil
pada permukaan mebran dan gugus hidrofob berada dalam membran sel
(Ansel,1989).

Gambar 2.2. Struktur Membran Sel

Ilustrasi membran ini seperti pada gambar 2.2, dimana kedua gugus tersebut
diselubungi oleh protein. Bangunan membran pada model ini adalah statis. Di lain
pihak, model mosaik cair terdiri dari matrik cair dengan dua lapis molekul lipid.
Molekul protein terletak menyebar secara tidak merata. Protein membran ini dapat

19
berfungsi sebagai pemerkuat membran, molekul pembawa, enzim, pori senyawa
larut dalam air atau reseptor (Ansel, 1989).

2.11. Tahap Penentu dalam Absorpsi Obat


Absorpsi sistemik dari suatu produk obat terdiri atas suatu rangkaian proses
laju. Untuk obat-obat yang memiliki kelarutan kecil didalam air, laju pelarutan
(disolusi) sering kali merupkan tahap yang paling lambat, oleh karena itu
mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat.
Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju
pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus membrane merupakan tahap
yang paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan (Shargel dkk., 2004).

2.12. Sifat Fisikokimia Obat


Obat-obat yang secara fisika dan kimia tidak stabil memerlukan bahan
tambahan, penyalut atau proses fabrikasi khusus untuk melindungi produk obat dari
peruraian. Aktivitas farmakodinamik poten dari obat-obat seperti estrogen dan
hormone-hormon lain, antibiotika penisilin, bahan kemoterapeutik, dan lainnya
dapat menyebabkan reaksi yang merugikan pada personel yang terpapar pada obat-
obat tersebut selama fabrikasi dan juga menghadirkan suatu masalah (Shargel dkk.,
2004).

2.13. Kelarutan, pH dan Absorpsi Obat


Profil pH kelarutan merupakan suatu gambaran dari kelarutan obat pada
berbagai pH fisologis. Dalam formulasi obat controlled release, bahan pendapar
ditambahkan untuk memperlambat atau memodifikasi laju pelepasan dari suatu
pelarutan obat yang cepat. Untuk menjadi efektif, produk obat pelepasan terkendali
harus merupakan suatu bentuk sediaan yang nondisintegrasi. Bahan pendapar dapat
dilepaskan secara lambat sehingga obat tidak melarut dengan segera dalam cairan
pencernaan yang mengelilinginya (Shargel dkk., 2004).

20
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Anatomi Fisiologi Kulit

Gambar 3.1. Anatomi Kulit Manusia

3.1.1. Anatomi Kulit


Kulit mempunyai 3 lapisan yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis atau
lapisan subkutis. Lapisan epidermis merupakan lapisan terluar dari kulit dengan
ketebalan bervariasi mulai dari 1 mm terdapat pada telapak tangan dan kaki sampai
0,1 mm terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut. Lapisan epidermis terdiri
dari lima lapisan yaitu stratum korneum, stratum lucidum, stratum granulosum,
stratum spinosum, dan stratum germinativum. Lapisan dermis terletak dibawah
lapisan epidermis. Dermis terdiri dari jaringan fibrus rapat yang terdapat bersama-
sama dengan pembuluh darah dan limfe, folikel rambut, kelenjar sebaseus, kelenjar
keringat, serabut saraf dan otot. Dermis tersusun dari kurang lebih 80% protein yang
terikat pada mukopolisakarida. Lapisan hipodermis adalah lapisan kulit paling
dalam terdiri dari sel-sel lemak, ujung saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh
getah bening (Syaifuddin, 2016).

21
3.1.2. Fisiologi Kulit
a) Kulit Ari (epidermis)
Epidermis melekat erat pada dermis karena secara fungsional epidermis
memperoleh zat-zat makanan dan cairan antar sel dari plasma yang merembes
melalui dinding-dinding kapiler dermis ke dalam epidermis.
1. Lapisan tanduk (stratum corneum), Proses pembaruan lapisan tanduk,
terus berlangsung sepanjang hidup, menjadikan kulit ari memiliki self
repairing capacity atau kemampuan memperbaiki diri.
2. Lapisan bening (stratum lucidum), lapisan bening terdiri dari
protoplasma sel-sel jernih yang kecil kecil, tipis dan bersifat translusen
sehingga dapat dilewati sinar (tembus cahaya). Lapisan ini sangat tampak
jelas pada telapak tangan dan telapak kaki. Proses keratinisasi bermula
dari lapisan bening.
3. Lapisan berbutir (stratum granulosum), tersusun oleh sel-sel keratinosit
berbentuk kumparan yang mengandung butir-butir dalam
protoplasmanya, berbutir kasa dan berinti mengkerut. Lapisan ini paling
jelas pada kulit telapak tangan dan kaki.
4. Lapisan bertaju (stratum spinosum), di antara sel-sel taju terdapat celah
antar sel halus yang berguna untuk peredaran cairan jaringan
ekstraseluler dan pengantaran butir-butir melanin.
5. Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale), di dalam
lapisan ini sel-sel epidermis bertambah banyak melalui mitosis dan sel-
sel tadi bergeser ke lapisan-lapisan lebih atas, akhirnya menjadi sel
tanduk. Di dalam lapisan benih terdapat pula sel-sel bening (clear cells,
melanoblas atau melanosit) pembuat pigmen melanin kulit.
b) Kulit Jangat (dermis)
Keberadaan ujung-ujung saraf perasa dalam kulit jangat,
memungkinkan membedakan berbagai rangsangan dari luar. Masing-masing
saraf perasa memiliki fungsi tertentu, seperti saraf dengan fungsi mendeteksi
rasa sakit, sentuhan, tekanan, panas, dan dingin.

22
1. Kelenjar keringat, Kelenjar keringat mengatur suhu badan dan membantu
membuang sisa-sisa pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama
dirangsang oleh panas, latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu.
2. Kelenjar palit, pada kulit kepala, kelenjar palit menghasilkan minyak
untuk melumasi rambut dan kulit Kepala.
c) Jaringan penyambung (jaringan ikat) bawah kulit (hipodermis)
Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai bantalan atau penyangga
benturan bagi organ-organ tubuh bagian dalam, membentuk kontur tubuh dan
sebagai cadangan makanan.
(Syaifuddin, 2016).

2.2. Saluran Pembuluh Darah dari Sediaan Tablet Implant


Tablet implan dimasukkan kedalam lapisan dermis. Laju penyerapan zat
aktif tergantung pada permeabilitas kapiler darah, aliran darah, kepadatan jaringan
dan laju pelepasan zat aktif dari sediaan. Obat dibebaskan secara terkontrol dari
matriks polimer, berdifusi dari permukaan masuk dalam peredaran darah. Zat aktif
dibebaskan secara terkontrol dari matriks polimer dengan difusi stabil. Zat aktif
berdifusi melintasi lipida dalam kelenjar sebasea kemudian berdifusi melintasi
dinding pembuluh darah dan penyebaran sistemik.

2.3. Pelepasan Tablet Implan dalam Tubuh


Kadar obat dalam plasma darah secara berkelanjutan dipertahankan dalam
batas kadar terapetik yang diinginkan. Secara perlahan, implant akan melepaskan
progestin ke dalam aliran darah. Komponen cairan didalam cairan tisu berpenetrasi
melalui lapisan semipermeabel. Kecepatan ditentukan oleh permeabilitas cairan,
luas permukaan efektif dan ketebalan lapisan semipermeabel. Kompartemen
sediaan didorong untuk mengurangi volumenya dan obat dilepaskan dikontrol
dengan tujuan memberikan efek yang lama (berbulan-bulan sampai tahunan)
(Handayani, 2010).
Setelah berada dalam sirkulasi darah, obat akan didistribusikan keseluruh
tubuh mengikuti aliran darah. Selanjutnya akan dimetabolisme dihati yakni di

23
membrane endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Obat akan
mengalami proses perubahan struktur kimia dengan bantuan enzim CYP3A4. Hasil
metabolisme berupa tetrahydrolevonogestrel, hydroxinorgestren, dan bentuk
konjunggasi dengan sulfat atau glukoronidase. Senyawa obat akan diubah menjadi
senyawa yang lebih polar sehingga kurang larut dalam lemak dan lebih mudah larut
dalam air sehingga akan lebih mudah untuk dieksresi melalui ginjal. Partikel obat
yang dibutuhkan oleh organ target akan dedarkan ke organ target tersebut untuk
memberikan efek terapi, sedangkan bagian partikel yang tidak dibutuhkan tubuh
akan dieksresikan (dikeluarkan) dari tubuh melalui berbagai organ eksresi. Eksresi
etonogestrel dan metabolitnya, baik sebagai steroid bebas atau sebagai konjungasi
adalah melalui urin dan feses. Setelah penyisipan implant pada ibu menyusui,
etonogestrel dieksresikan ke dalam ASI selama 4 bulan pertama (Handayani, 2010).

2.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Absorpsi Sediaan Tablet Implan


Absorpsi sediaan tablet implant dipengaruhi oleh:
1. Bentuk sediaan, kecepatan disolusi dalam bentuk tablet yang ditanamkan
dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi menyebabkan absorpsi menjadi
lebih lambat.
2. Umur kulit, anak kecil stratum korneum sedikit terbentuk sehingga nisbah
absorpsi meningkat. Semakin bertambah umur kulit, maka semakin kurang
permeable kulit tersebut. Hal ini disebabkan oleh terjadinya proses dehidrasi
penetrasi kulit.
3. Kondisi kulit, kulit yang sehat merupakan barrier yang baik terhadap
penetrasi bahan melalui kulit. Apabila kulit mengalami trauma, maka
penetrasi melalui kulit akan meningkat.
4. Aliran darah, apabila aliran darah yang melalui pembuluh darah pada dermis
meningkat maka kecepatan penetrasi akan semakin meningkat. Sebaliknya
apabila aliran darah terjadi penurunan misalnya dalam keadaan
vasokontriksi akan menurunkan kecepatan penetrasi melalui kulit.

24
5. Kelembapan dan suhu tubuh, kenaikan suhu tubuh menambah kemampuan
penetrasi zat dipakai melalui kerja panas dari luar. Suhu tubuh yang lembab
memiliki afinitas yang sama terhadap senyawa yang larut air atau lipid.

2.5.Evaluasi Biofarmasetika Dari Sediaan Tablet Implan


Pada sediaan tablet implant dengan efek sistemik, dimungkinkan untuk
memperkirakan aktivitas farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar obat
dalam darah dan membandingkannya dengan kadar yang didapat dari cara
pemberian intravena atau jika mungkin dengan cara pemberian lainnya.
Tahapan uji evaluasi biofarmasetik meliputi:
1. Menentukan waktu aksi yang diharapkan,
2. Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai harapan dan
3. Evaluasi in vivo: Penentuan kadar obat didalam darah hewan dan manusia.

25
BAB IV
KESIMPULAN

4.1.1. Anatomi Fisiologi, kulit terdiri dari 3 lapisan yaitu epidermis, dermis, dan
hipodermis (subkutan). Lapisan epidermis merupakan lapisan terluar dari
kulit. Pada lapisan dermis terdapat ujung-ujung saraf perasa berfungsi untuk
membedakan berbagai rangsangan dari luar. Jaringan ikat bawah kulit
(hipodermis) berfungsi sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi
organ organ tubuh bagian dalam, membentuk kontur tubuh dan sebagai
cadangan makanan.
4.1.2. Saluran pembuluh darah, Tablet implan dimasukkan kedalam lapisan
dermis. Zat aktif dibebaskan secara terkontrol dari matriks polimer dengan
difusi stabil. Zat aktif berdifusi melintasi lipida dalam kelenjar sebasea
kemudian berdifusi melintasi dinding pembuluh darah dan penyebaran
sistemik.
4.1.3. Pelepasan tablet implant dalam tubuh, setelah tablet implant dimasukkan
dibawah kulit secara perlahan implant akan melepaskan progestin kedalam
aliran darah dan obat dilepaskan dikontrol dengan tujuan memberikan efek
yang lama (berbulan-bulan). Setelah berada dalam sirkulasi darah, obat akan
didistribusikan keseluruh tubuh mengikuti aliran darah. Selanjutnya akan
dimetabolisme di hati dan akan dieksresikan melalui urin dan feses.
4.1.4. Faktor yang mempengaruhi absorpsi sediaan tablet implant yaitu:
1. Bentuk sediaan, kecepatan disolusi dalam bentuk tablet yang
ditanamkan dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi menyebabkan
absorpsi menjadi lebih lambat.
2. Umur kulit, anak kecil stratum korneum sedikit terbentuk sehingga
nisbah absorpsi meningkat. Semakin bertambah umur kulit, maka
semakin kurang permeable kulit tersebut. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya proses dehidrasi penetrasi kulit.

26
3. Kondisi kulit, kulit yang sehat merupakan barrier yang baik terhadap
penetrasi bahan melalui kulit. Apabila kulit mengalami trauma, maka
penetrasi melalui kulit akan meningkat.
4. Aliran darah, apabila aliran darah yang melalui pembuluh darah pada
dermis meningkat maka kecepatan penetrasi akan semakin meningkat.
Sebaliknya apabila aliran darah terjadi penurunan misalnya dalam
keadaan vasokontriksi akan menurunkan kecepatan penetrasi melalui
kulit.
5. Kelembapan dan suhu tubuh, kenaikan suhu tubuh menambah
kemampuan penetrasi zat dipakai melalui kerja panas dari luar. Suhu
tubuh yang lembab memiliki afinitas yang sama terhadap senyawa yang
larut air atau lipid.
1.4.5. Evaluasi biofarmasetika dari sediaan tablet implant, yaitu pada sediaan
tablet implant dengan efek sistemik, dimungkinkan untuk memperkirakan
aktivitas farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar obat dalam
darah dan membandingkannya dengan kadar yang didapat dari cara
pemberian intravena atau jika mungkin dengan cara pemberian lainnya.
Tahapan uji evaluasi biofarmasetik meliputi:
1. Menentukan waktu aksi yang diharapkan,
2. Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai harapan
dan
3. Evaluasi in Vivo: Penentuan kadar obat didalam darah hewan dan
manusia.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Eroschenko, V.P. 2012. Atlas Histologi diFiore. Jakarta: EGC.

Handayani, Sri. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta:


Pustaka Rihama.

Harien. 2010. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Malang:


Universitas Muhammadiyah Malang.

Lachman, L., Schwartz, J.B., dan Lieberman H. A., 1989, Pharmaceutical Dosage
Forms., Tablets, 2nd Ed, 492, Marcell Dekker Inc., New York.

Prawirohardjo, S. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Pedoman Praktis Pelayanan Kesehatan


Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo.

Shargel, Leon., Wu-Pong, Susanna., dan Andrew. 2004. Biofarmasetika dan


Farmakokinetika terapan Edisi Kelima. Surabaya: Universitas Airlangga.

Sulistyowati, Eddy. 2010. Obat dan Pengaruhnya Terhadap Tubuh Manusia.


Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Syaifuddin. 2016. Anatomi Fisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

28
Tortora, G. J., & Derrickson, B. 2009. Principles of Anatomi & Physiology. USA:
John Wiley & Sons. Inc.

29

Anda mungkin juga menyukai