Anda di halaman 1dari 9

KEWAJIBAN DAN KEWENANGAN APOTEKER DI INDUSTRI KOSMETIK

FISHBONE ANALYSIS

Gambar 1. Fishbone Analisis Tupoksi Apoteker di Industri Kosmetik

UU No 36 Tahun 2009
PER-BPOM Tahun 2020 tentang CPKB
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian
luar tubuh manusia seperti epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar, atau
gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik.

BAHAN KOSMETIK
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR HK.00.05.4.1745 TENTANG KOSMETIK
Bahan kosmetik adalah bahan yang berasal dari alam atau sintetik yang digunakan untuk
memproduksi kosmetik
BAB III
BAHAN KOSMETIK
Pasal 4
 bahan kosmetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf (a) harus memenuhi
persyaratan mutu sesuai dengan Kodeks Kosmetik Indonesia atau standar lain yang
diakui.
Pasal 5
Bahan yang digunakan harus memenuhi persyaratan:
a. Bahan yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan pembatasan dan persyaratan
penggunaan sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I
b. Zat warna yang diizinkan digunakan dalam kosmetik sesuai dengan yang ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam lampiran 2
c. Zat pengawet yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan persyaratan
penggunaan dan kadar maksimum yang diperbolehkan dalam produk akhir sesuai
dengan yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran 3.
d. Bahan tabir surya yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan persyaratan
kadar maksimum dan persyaratan lainnya sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana
tercantum dalam lampiran 4.
Pasal 6
 bahan, zat warna, zat pengawet dan bahan tabir surya yang dilarang digunakan dalam
kosmetik sesuai dengan yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran 5.

Kodesk Kosmetika Indonesia


Kodeks kosmetika Indonesia merupakan sebuah pedoman yang memuat spesifikasi
bahan yang digunakan sebagai zat aktif atau zat tambahan pada pembuatan sediaan kosmetika
yang digunakan sebagai acuan untuk melakukan pengujian umum bahan baku, untuk
mengetahui proses pengujian dan mengetahui peralatan yang digunakan untuk proses
pengujian.
IZIN INDUSTRI KOSMETIK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO 3 TAHUN 2014 TENTANG
PERINDUSTRIAN
Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau
memanfaatkan sumber daya Industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai
tambahan atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.

PERMENKES RI NO. 1175/MENKES/PER/VII/2010 TENTANG IZIN PRODUKSI


KOSMETIKA
Industri kosmetika adalah industri yang memperoduksi kosmetika yang telag
memiliki izin usaha industri atau tanda daftar industri sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/Menkes/Per/VIII/2010 Tentang Izin
Produksi Kosmetika
Pasal 1
 Izin produksi adalah izin yang harus dimiliki oleh pabrik kosmetika untuk melakukan
kegiatan pembuatan kosmetika
Pasal 2 Ayat 1 dan 2
(1) Kosmetika yang beredar harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan Kodeks Kosmetika Indonesia dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 3
 Pembuatan kosmetika hanya dapat dilakukan oleh industri kosmetika
Pasal 4 Ayat 1 dan 2
(1) Industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki izin produksi.
(2) Izin produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 6 Ayat 1, 2, dan 3
(1) Izin produksi kosmetika diberikan sesuai bentuk dan jenis sediaan kosmetika yang
akan dibuat.
(2) Izin produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan atas 2 (dua) golongan
sebagai berikut; a. Golongan A yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang
dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetika; b. Golongan B yaitu izin
produksi untuk industri kosmetika yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan
kosmetika tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana.
(3) Bentuk dan jenis sediaan kosmetika tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 8 Ayat 1,2, dan 3
(1) Izin produksi industri kosmetika Golongan A diberikan dengan persyaratan:
a. Memiliki apoteker sebagai penanggung jawab
b. Memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat
c. Memiliki fasilitas laboratorium d. Wajib menerapkan CPKB
(2) Izin produksi industri kosmetika Golongan B diberikan dengan persyaratan:
a. Memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung jawab
b. Memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang akan
dibuat
c. Mampu menerapkan higiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin produksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jendral.

PROSES PRODUKSI KOSMETIK


UU NO 36 TAHUN 2009
Pasal 1
(4) Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika
Pasal 108
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
PP NO 72 TAHUN 1998
BAB II PERSYARATAN MUTU, KEMANANAN DAN KEMANFAATAN
Pasal 2
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) untuk sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan persyaratan dalam
buku Kodeks Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri

 Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan


farmasi, dll harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai perundang-undangan.
 Industri kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya satu apoteker sebagai
penanggung jawab.

KEP. MENKES RI NO. 965/MENKES/XI/1992 TENTANG CARA PRODUKSI


KOSMETIK YANG BAIK
Cara Produksi Kosmetik yang Baik (CPKB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut
produksi dan pengendalian mutu untuk menjamin produk jadi kosmetika yang diproduksi
senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan, aman, dan bermanfaat bagi
pemakainya.

PER-BPOM TAHUN 2020 TENTANG CPKB


Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik yang selanjutnya disingkat CPKB adalah
seluruh aspek kegiatan pembuatan Kosmetika yang bertujuan untuk menjamin agar produk
yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan
penggunaannya.
Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik meliputi:
1. Personalia
2. Produksi
3. Pengawasan Mutu
4. Penyimpanan
5. Dokumentasi
6. Penanganan Keluhan
7. Kontrak Produksi dan Pengujian
8. Peralatan
9. Bangunan dan Fasilitas
10. Sanitasi dan Higiene
11. Audit Internal

PerKa BPOM RI NO HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan


Produksi Dan Peredaran Kosmetika
 Pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa pengawasan sarana distribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1d dilakukan namun tidak terbatas pada:
a. Distributor
b. Agen
c. Klinik kecantikan, salon, spa
d. Swalayan, apotek, toko obat, toko kosmetika
e. Stokis Multi Level Marketing (MLM)
f. Pengecer
 pasal 5 menyebutkan bahwa pengawasan kosmetika sebagaimana dimaksud pada
pasal 3 meliputi:
a. Legalitas kosmetika
b. Keamanan, kemanfaatan, dan mutu
c. Penandaan dan klaim, pemenuhan terhadap persyaratan penandaan, komposisi,
klaim, kesesuaian antara komposisi dengan klaim yang tercantum dalam
penandaan kosmetik.
d. Promosi dan iklan, pengawasan promosi dan periklanan kosmetika pada media
antara lain meliputi media cetak, media elektronik, dan media luar ruang

NOTIFIKASI KOSMETIKA
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1176/Menkes/Per/Viii/2010
Tentang Notifikasi Kosmetika pada Pasal 3 ayat 1 berbunyi “Setiap kosmetika hanya dapat
diedarkan setelah mendapat izin edar dari Menteri”. Pasal 3 ayat 2 berbunyi “Izin edar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa notifikasi”. Pasal 21 ayat 1 berbunyi “Pada saat
Peraturan ini mulai berlaku, izin edar kosmetika yang telah dikeluarkan berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 140/Menkes/Per/III/1990 tentang Wajib Daftar Alat
Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, dinyatakan tetap berlaku
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak tanggal Peraturan ini diundangkan”.
Pasal 21 ayat 2 berbunyi “Permohonan izin edar kosmetika yang telah diajukan sebelum
berlakunya Peraturan ini diproses berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
140/Menkes/Per/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga”.
Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Tata
Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika pada Pasal 4 ayat 1 menyatakan untuk menjamin
Kosmetika yang diedarkan di wilayah Indonesia memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pelaku Usaha wajib mengedarkan Kosmetika yang telah memiliki izin edar
berupa notifikasi. Pasal 6 ayat 1 menyatakan Permohonan notifikasi Kosmetika sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 diajukan oleh pemohon notifikasi.
Pasal 6 ayat 2 menyatakan Pemohon notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. Industri Kosmetika yang berada di wilayah Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan;
b. Usaha Perorangan/badan usaha di bidang Kosmetika yang melakukan kontrak
produksi dengan industri Kosmetika yang berada di wilayah Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
c. Importir yang bergerak di bidang Kosmetika sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

HARMONISASI KOSMETIK DI ASEAN


Perlu regulasi dan harmonisasi karena ASEAN mendukung proses AFTA (ASEAN
Free Trade Area) sehingga harmonisasi ASEAN dalam bidang Regulasi Kosmetik berkaitan
dengan kegiatan standar dan penilaian kesesuaian dalam produk beredar di ASEAN nantinya.
Sehingga hal yang diperlukan dalam Harmonisasi ASEAN
 Cosmetic GMP
 Menginterpretasikan dan menetapkan CPKB (Cara Produksi Kosmetik yang
Baik) ASEAN yang konsisten antar pemerintah dan industri diantara negara
ASEAN
 Product Safety Evaluation/ Post Marketing Surveillance
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan terhadap konsumen diatur dalam:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pada pasal 28H ayat 1 dijelaskan bahwa “setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan. Pada pasal 34
ayat 3 menyatakan bahwa “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan yang layak.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pada pasal 8 ayat
1a menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan keterntuan peraturan perundang-undangan. Pada pasal 8 ayat 3 diatur
juga bahwa “pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pada pasal 98 ayat 1
dinyatakan bahwa “Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau”. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa “Setiap
orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,
mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat”.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan Pasal 2 menyatakan:
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) untuk :
a. Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan
persyaratan dalam buku Farmakope atau buku standar lainnya yang
ditetapkan oleh Menteri;
b. Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai dengan persyaratan
dalam buku Materia Medika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri;
c. Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan persyaratan dalam
buku Kodeks Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri;
d. Slat kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri
 Pasal 3 menyatakan: Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh
badan usaha yang telah memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Pasal 5 menyatakan:
(1) Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi
yang baik.
(2) Cara produksi yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri
Pasal 28H ayat 1
 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
Pasal 34 ayat 3
 Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak.

PerKa BPOM RI NO. Hk. 03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang Pengawasan


Produksi dan Peredaran Kosmetika
1). Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap kosmetik yang beredar wajib:
a. memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, manfaat, mutu, penandaan,
klaim dan
b. dinotifikasi
2). Pasal 3 menyebutkan bahwa pengawasan dilakukan melalui pemeriksaan terhadap (a)
sarana dan (b) kosmetika
3). Pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa pengawasan sarana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 huruf (a) dilakukan terhadap:
a. industri kosmetika
b. importir kosmetika
c. usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi dengan industri
kosmetika yang memiliki izin produksi
d. distribusi, dan
e. penjualan kosmetika melalui media elektronik

Anda mungkin juga menyukai