Anda di halaman 1dari 24

TUGAS SISTEM PELEPASAN OBAT

TRANSFERSOM PADA SISTEM PELEPASAN OBAT


TRANSDERMAL

Disusun Oleh :
Zahrotunisa 1806281776

Dosen Pengampu : Dr. Silvia Surini, M.Pharm.Sc., Apt

PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Sistem
Pelepasan Obat yang berjudul ‘Transfersom pada Sistem Pelepasan Obat
Transdermal’. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat nilai mata
kuliah Sistem Pelepasan Obat Program Magister Ilmu Kefarmasian Universitas
Indonesia. Makalah ini berisi uraian tentang anatomi fisiologi dan struktur kulit,
sistem pelepasan obat transdermal, Transfersom pada sistem pelepasan obat
transdermal, dan uji in vivo dan in vitro pada transdermal. Penulis berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan
pembaca mengenai sistem pelepasan obat transfersom pada transdermal.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini


terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami berharap
adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah menjadi lebih baik. Dalam
penulisan makalah ini penulis juga banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak,
maka dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu.

Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan dan
bantuan yang telah diberikan selama penyusunan makalah ini dan semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Depok, September 2019

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sistem pelepasan obat transdermal merupakan suatu sistem pengiriman obat ke
dalam sirkulasi sistemik tubuh melalui pemberian secara topikal, yang
memungkinkan zat aktif dapat melakukan permeasi ke dalam lapisan kulit pada
tingkatan yang terkontrol (Yadav, 2012). Rute pemberian transdermal sekarang
menjadi salah satu inovasi penelitian yang paling sukses dalam sistem
penghantaran obat dibandingkan dengan pengobatan oral, hal ini disebabkan
karena pada rute transdermal memiliki beberapa kelebihan berupa terhindarnya
degradasi zat aktif oleh cairan gastrointestinal, terhindar dari first pass effect yang
menyebabkan molekul aktif menjadi tidak aktif atau molekul yang menyebabkan
efek samping, dapan menyediakan kadar plasma tunak, mudah digunakan dalam
pengaplikasiannya dan non-invansif, juga dapat dikontrol pelepasannya dengan
penghentian kapanpun dengan pengangkatan patch atau menghapus obat dari
permukaan kulit (Handayani, 2018).

Meskipun demikian, penggunaan sediaan obat dengan pelepasan transdermal


seringkali menemukan masalah dalam penetrasi obat kedalam kulit, obat harus
mampu melewati lapisan stratum korneum yang sangat kedap air sehingga hanya
molekul lipofilik yang kecil dan sedang (bobot molekul < 500 Da dan koefisien
partisi air (log P) 1-3) dapat dengan mudah permeabel di seluruh kulit (Dragicevic
et al, 2017). Solusi untuk mengatasi permasalahan dalam penetrasi tersebut adalah
salah satunya dengan menggunakan peningkat penetrasi vesikel seperti
Transfersom.

Transfersom merupakan vesikel buatan yang mirip dengan vesikel alami,


sehingga cocok untuk penghantaran obat terkontrol dan tertarget. Transfersom
terbuat dari tetesan lipid bilayer yang memiliki kemampuan deformabiliti dimana
mampu membuat penetrasi yang mudah melalui pori yang lebih kecil
dibandingkan ukuran droplet itu sendiri (Ermawati, 2014). Metode ini telah banyak

3
digunakan dan dipasarkan, karena dianggap cukup menjanjikan untuk
meningkatkan penetrasi obat melalui kulit.

B. PERUMUSAN MASALAH
Makalah ini disusun berdasarkan rumusan masalah berikut :
1. Apa yang disebut dengan transfersom?
2. Bagaimana mekanisme transfersom dalam meningkatkan penetrasi
pelepasan obat transdermal?
3. Bagaimana pelepasan obat secara in vivo dan in vitro didalam kulit?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada


pembaca mengenai “Transfersom pada Sistem Pelepasan Obat Transdermal”
yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif teknik dalam peningkatan
penetrasi pada sediaan transdermal, serta sebagai salah satu syarat yang harus
dipenuhi pada mata kuliah Sistem Pelepasan Obat.

D. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah


dengan menggunakan studi literatur yang bersumber dari data primer dari
internet dengan menggunakan mesin pencari secara online seperti Google,
websie, jurnal internasional dan nasional, seperti NCBI, Researchgate,
ScienceDirect, Wiley Online dengan kata kunci Transfersome, penetration
enhancer, Enhancer drug delivery, in vivo transfersome, in vitro transfersome.

Kriteria inklusi makalah ini adalah mengandung pokok bahasan tentang


transfersom sebagai sistem pelepasan obat dalam sediaan transdermal dengan
disertakan penjelasan mengenai uji in vivo dan in vitro, terbit dalam 15 tahun
terakhir, jurnal nasional dan internasional yang terakreditasi.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI KULIT


Kulit merupakan organ tubuh terbesar pada manusia yang memiliki fungsi
proteksi. Kulit memiliki fungsi sebagai barrier fisik, perlindungan terhadap agen
infeksius, termoregulasi, sensasi, proteksi terhadap sinar ultraviolet (UV) serta
regenerasi dan penyembuhan luka (Murlistyarini, 2018). Berbagai fungsi kulit
tersebut diperankan oleh keseluruhan lapisan kulit. Terdapat 3 lapisan kulit yang
utama yaitu :
1. Epidermis
2. Dermis
3. Hipodermis (Subkutan)

(Gambar 1. Struktur kulit)

Masing-masing lapisan tersebut memiliki fungsi dan peran tersendiri, seperti yang
dapat dilihat dalam tabel berikut :

Lapisan Kulit Fungsi


Epidermis Barrier Permeabilitas, proteksi UV
Epidermis dan Dermis Proteksi dari patogen, Regenerasi /
penyembuhan luka
Epidermis, Dermis, dan Hipodermis Termoregulasi, sensasi
Tabel 1. Fungsi dan peran masing masing lapisan kulit

5
1. Epidermis

(Gambar 2. Struktur Epidermis Kulit)

Epidermis merupakan lapisan kulit terluar yang nampak oleh mata.


Ketebalan epidermis berkisan antara 0,4-1,5 mm. Mayoritas sel (80%) dari
keseluruhan sel yang terdapat pada epidermis adalah keratinosit. Epidermis
terdiri dari 5 keratinosit yang berbeda-beda. Lima lapis epidermis dimulai
dari lapisan paling luar yaitu (Susilowarno et al, 2007) :
a. Stratum Korneum
Stratum korneum merupakan lapisan kulit paling luar yang mengalami
deskuamasi (kehilangan sisiknya) secara terus menerus pada
permukaan ujungya. Inti sel-sel jaringannya menghilang, organel, dan
sitoplasma akan dihidrolisis membentuk keratin yang tahan air
sehingga sering disebut dengan sel mati. Sel-sel jaringan ini selalu
diganti dan untuk pematangannya memerlukan waktu ± 4 minggu.
b. Stratum Lucidum
Stratum Lucidum terdiri dari 4 lapis sel tidak berinti dan bening.
c. Stratum Granulosum
Stratum granulosum terdiri atas satu lapis sel dan mengandung butir
butir melanin (pigmen warna kulit).
d. Stratum Spinosum
Stratum spinosum merupakan lapisan sel berduri, dibentuk dari 8
lapisan sel yang tak beraturan bentuknya. Sel-sel jaringan ini masih
mempunyai kemampuan untuk memperbanyak diri.

6
e. Stratum Germinativum / Basale
Stratum germinativum, merupakan lapisan sel yang terus menerus
membelah untuk membentuk epidermis baru, 10% - 25% sel-sel dalam
stratum germinativum adalah sel melanosit yang mensintesis pigmen
hitam, pigmen coklat, dan melanin.

2. Dermis

(Gambar 3. Struktur Dermis Kulit)

Lapisan dermis merupakan sistem integrasi dari jaringan konektif fibrosa,


filamentosa, filamentosa dan difus yang juga merupakan lokasi terdapatnya
pembuluh darah dan saraf di kulit. Serabut kolgen merupakan komponen yang
paling banyak terdapat di dermis. Pada dermis juga didapat adneksa kulit yang
berasal dari epidermis, fibroblas, makrofag, dan sel mast. Fibroblas dapat
menyintesis jaringan elastis dan substansi dasar pada dermis yang terdiri dari
glikosaminoglikan dan asam mukopolisakarida.

Dermis merupakan komponen terbesar yang menyusun kulit dan membuat


kulit memiliki kemampuan elastisitas dan dapat diregangkan. Lapisan kulit ini
juga memiliki fungsi untuk melindungi tubuh dari trauma mekanik, mengikat
air, membantu dalam proses regulasi suhu tubuh dan mengandung reseptor
sensorik. Terdapat dua bagian dari dermis, yaitu papilla dermis, dan retikuler
dermis yang dapat terlihat secara histologis. Papilla dermis berbatasan dengan
epidermis, mengikuti kontur epidermis, dan biasanya ketebalannya tidak lebih

7
dari 2 kali tebal epidermis. Sedangkan retikuler dermis membentuk sebagian
besar dari lapisan dermal. Lapisan ini terutama tersusun dari serabut kolagen
dengan diameter besar.

3. Hipodermis

(Gambar 4. Struktur Hipodermis Kulit)

Hipodermis tersusun dari kumpulan sel-sel adiposit yang tersusun menjadi


lobulus-lobulus yang dibatasi oleh septum dari jaringan ikat fibrosa. Jaringan
pada hipodermis berfungsi untuk melindungi tubuh, berperan sebagai cadangan
energi, dan melindungi kulit dan berperan sebagai bantalan kulit. Lapisan ini
juga memiliki peran secara kosmetik yaitu dalam membentuk kontur tubuh
seseorang. Selain itu, lemak juga memiliki fungsi endokrin dengan melakukan
komunikasi dengan hipotalamus melalui sekresi leptin untuk mengubah energi
di tubuh dan regulasi nafsu makan. Sekitar 80% dari lemak pada tubuh manusia
terdapat di hipodermis. Pada laki-laki non-obesitas, sekitar 10-20% berat badan
tubuhnya merupakan lemak, sedangkan pada wanita sekitar 15-20% berat badan
merupakan lemak (Susilowarno et al, 2007)

B. SISTEM PELEPASAN OBAT TRANSDERMAL

Sistem pelepasan obat transdermal atau yang biasa disebut dengan TDDS
(Transdermal Drug Delivery System) adalah sistem pengantaran obat ke
sirkulasi sistemik kulit dimana obat akan kontak dengan permukaan kulit dan

8
berpenetrasi melalui saluran keringan, folikel rambut, kelenjar minyak, atau
langsung melalui stratum korneum. Stratum korneum yang merupakan lapisan
kulit yang paling luar, dan merupakan penghalang yang berarti bagi obat untuk
berpenetrasi karena terdiri dari lapisan-lapisan korneosit dengan kerapatan
tinggi (Benson, 2005). Sistem pelepasan obat transdermal memiliki beberapa
kelebihan dan kekurangan sebagai berikut (Yadav, 2012) :

Kelebihan pada transdermal delivery :

1. Sebagai pengganti rute pemberian oral.


2. Pemberian obat transdermal dapat menghindari first pass effect, iritasi
gastrointestinal, dan berbagai kesulitan yang disebabkan oleh aktivitas
enzimatik, pH, interaksi obat dengan makanan atau minuman, dan yang
lainnya yang diberikan secara oral.
3. Memungkinkan untuk dapat mengurangi dosis farmakologis karena jalur
metabolisme yang digunakan lebih pendek dibandingkan rute oral yang
melalui jalur gastrointestinal.
4. Menambah kepatuhan penggunaan obat, karena memungkinkan dosis yang
konstan dan terkontrol pada cukup satu kali penggunaan dalam sehari, dan
pengaplikasiannya yang mudah (non invansif)
5. Jika terjadi efek samping yang tidak diinginkan, atau dalam keadaan darurat
dapat diakhiri dengan segera efek terapi / farmakologisnya dengan cara
melepaskan atau menghapus sediaan dari kulit.

Kekurangan pada transdermal delivery :

1. Hanya dapat digunakan pada obat-obatan yang relatif cocok dan kuat untuk
pengiriman transdermal, karena terbatas pada batas alami obat yang dapat
melewati permeabilitas kulit.
2. Dapat menimbulkan dermatitis pasca kontak dilokasi pemberian.
3. Tidak dapat digunakan pada obat dengan dosis terapi yang besar
4. Perekat mungkin tidak melekat dengan baik pada semua jenis kulit, dan
dapat menyebabkan ketidaknyamanan saat dipakai.
5. Tingginya biaya produk, sehingga memungkinkan penerimaan produk
terhadap pengguna menurun.

9
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan perkutan :

Tidak semua substansi obat dapat cocok untuk sistem penghantaran


transdermal. Diantara faktor-faktor yang berperan dalam penyerapan perkutan
adalah sifat fisika dan kimia obat termasuk berat molekul, kelarutan, koefisien
partisi dan konstanta disosiasi, sifat pembawa dan kondisi kulit. Walaupun
pernyataan tersebut berlaku untuk semua kemungkinan kombinasi obat,
pembawa, dan kondisi kulit. Namun, sebagian besar hasil penemuan, faktor
yang mempengaruhi pernyerapan perkutan dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Konsentrasi obat, umumnya jumlah obat yang secara absorpsi diserap per
unit luas permukaan per interval waktu meningkat dengan peningkatan
konsentrasi obat dalam sistem penghantaran transdermal.
2. Obat dengan bobot molekul 100-800 dan lipid yang adekuat yang mampu
menyerap kedalam lapisan kulit (ideal untuk transdermal kurang dari 400).
3. Lama kontak aplikasi dengan kulit. Semakin lama kontak dengan kulit akan
semakin besar penyerapan obat.
4. Memiliki sifat daya tarik fisika kimia yang lebih besar pada kulit daripada
pembawa, sehingga obat mampu meninggalkan pembawa pada kulit.
5. Besarnya area pengaplikasian. Semakin besar area atau luasnya permukaan
aplikasi transdermal, semakin banyak obat yang terabsorpsi.
6. Absorpsi perkutan diperkuat ketika sistem transdermal diaplikasikan pada
lapisan kulit yang tipis, dibanding lapisan kulit yang tebal.
7. Hidrasi kulit pada umumnya meningkatkan absorpsi perkutan (Ansel, 2014)

Proses Penyerapan Perkutan :

Penyerapan obat dari sistem penghantaran transdermal ke dalam sirkulasi


sistemik dapat dianggap sebagai perjalanan obat dalam melalui / menembus
lapisan kulit secara berurutan, berikut tahapan proses penyerapan obat kedalam
perkutan :

1. Obat lepas dari formulasi pembawa


2. Penetrasi ke dalam subkutan dan permeasi / difusi melaluinya

10
3. Memartisi obat dari subkutan ke dalam epidermis kemudian masuk kedalam
kapiler yang terletak di dermis (Benson, 2012).

Jalur Penetrasi Obat Menembus Kulit :


1. Penetrasi Interseluler
Molekul obat melewati celah sempit antara sel stratum korneum. Umumnya
terlihat pada kasus obat – obat hidrofilik. Stratum korneum terhidrasi dan
terjadi akumulasi air dekat permukaan luar dari filamen protein. Molekul
polar nampak bergerak melewati air.
2. Penetrasi Transeluler
Bahan – bahan non polar mengikuti rute dari penetrasi interseluler. Molekul
– molekul ini melarut dan berdifusi melalui matriks lipid non aqueous yang
selanjutnya diserap antara filamen protein.
3. Penetrasi Transappendegeal
Rute penetrasi ini juga disebut sebagai jalur shunt. Pada rute ini, molekul obat
kemungkinan melintasi melalui folikel rambut, jalur sebasea dari
pilosebaseus atau jalur aqueous dari kelenjar keringat. Jalur transappendegeal
dipertimbangkan sebagai jalur minor yang penting karena secara relatif
memiliki area yang sangat kecil (kurang dari 0,1% dari total permukaan).
Namun rute ini kemungkinan penting untuk beberapa senyawa - senyawa
polar yang berukuran besar (Dhamecha et al, 2009)

(Gambar 5. Jalur Penetrasi Obat)

11
Peningkat Penetrasi Perkutan (Penetration Enhancer)

Untuk meningkatkan permeabilitas obat menembus kulit tanpa


menyebabkan iritasi atau kerusakan permanen dapat digunakan peningkat
penetrasi (Penetration Enhancer) yang bekerja berdasarkan sifat fisika-kimia
atau sistem partikulat. Peningkat penetrasi pada sisterm transdermal dibagi 3
kelompok berdasarkan sifat pembawanya :

1. Physical Enhancer
Physical enhancer yang telah digunakan untuk meningkatkan penetrasi obat
antara lain iontoforesis, elektroforasi, magnetoforesis, microneedle dan
ultrasound atau dikenal juga sebagai sonoforesis.
2. Chemical Enhancer
Bahan kimia yang biasa digunakan sebagai peningkat penetrasi obat antara
lain sulfoksida, glikol, alkanol, terpen, azon dan lain-lain. Enhancer kimia ini
meningkatkan penetrasi obat dengan cara meningkatkan permeabilitas obat
melalui kulit yang menyebabkan lapisan stratum korneum rusak secara
reversibel dan dengan cara meningkatkan koefisien partisi obat sehingga obat
dapat lepas dari pembawanya.
3. Particulate System
Partikulat yang dapat meningkatkan penetrasi obat antara lain liposom,
microemulsion, transfersome, niosome dan nanopartikel (Sharma et al, 2015)

12
BAB III
TRANSFERSOM

A. TRANSFERSOM
Transfersom merupakan sistem penghantaran obat yang potensial berupa
vesikel fosfolipid yang dapat bepenetrasi ke dalam stratum korneum. Konsep
transfersom pertama kali dikenalkan oleh Gregor Cevc pada tahun 1991.
Transfersom dianggap lebih cocok dalam penghantaran transdermal
dibandingkan dengan liposom, karena transfersom mampu menunjukan
elastisitas yang lebih baik dan mampu masuk menyelipkan diri melalui celah
celah sel pada jalur intraselular didalam stratum korneum dan menembus kulit.
Hidrasi atau kekuatas osmotik juga berperan dalam peningkatan penetrasi
didalam stratum korneum. Transfersom dapat digunakan sebagai pembawa
dalam sistem penghantaran transdermal yang potensial untuk obat dengan berat
molekul dan kerja farmakologis yang beragam, seperti analgesik, anestesi,
hormon, antikanker, steroid, hingga insulin. Sifat transfersom yang
biokompatible, biodegradable dan sifat penjerapan yang tinggi dan efisien,
transfersom bertindak sebagai depot pelindung dalam enkapsulasi obat yang
melindungi obat dari degradasi metabolisme, dan melepaskan obat secara
perlahan dan bertahap. Transfersom yang sederhana dapat dibentuk dengan
menggunakan phospolipid (sebagai bahan pembentuk vesikel), surfaktan untuk
memberikan fleksibilitas, alkohol sebagai pelarut dan buffering agent sebagai
medium hidrasi.

(Gambar 6. Struktur Transfersom)

13
Transfersom dapat menembus stratum korneum utuh secara spontan
disepanjang dua rute dalam lipid intraseluler yang berbeda. Gambar berikut
menunjukan rute yang memungkikan obat berpenetrasi melintasi intraseluler
dan transeluler kulit manusia (Pawar et al, 2016).

(Gambar 7. Gambaran jalur penetrasi transfersom)

B. MEKANISME PENETRASI TRANSFERSOM


Mekanisme transfersom dalam berpenetrasi dijelaskan melalui 3
mekanisme, yaitu :
1. Interaksi antara bagian lipid hidrofilik dan air dari permukaan kulit
menyebabkan lipid polar menarik molekul air dan merangsang hidrasi
sehingga vesikel transfersom bergerak menuju bagian yang konsentrasi
airnya lebih tinggi
2. Transfersom merangsang terjadinya hidrasi pada jalur yang dilewatinya
sehingga akan memperlebar pori hidrofilik pada kulit.
3. Transfersom beraksi sebagai peningkat penetrasi yang akan merusak
susunan lipid interseluler pada stratum sehingga memudahkan masuknya
transfersom melewati stratum. (Jadupati et al, 2012)

14
15
C. TRANSFERSOM SEBAGAI PENINGKAT PENETRASI
TRANSDERMAL
Sistem penghantaran obat transdermal merupakan teknologi yang didesain
untuk menghantarkan obat secara efektif untuk meningkatkan efek terapetik
kedalam tubuh melalui penembusan obat terhadap kulit. Namun, dalam
penghantarannya seringkali ditemukan masalah dalam penetrasi seperti
pembawa dan zat aktif yang tidak mampu menembus melewati stratum
korneum pada kulit, sehingga dibutuhkan peningkat penetrasi. Peningkat
penetrasi dapat berbagai macam jenisnya seperti bahan kimia peningkat
penetrasi azone, alkohol, asam lemak, dan terpen. Bahan-bahan tersebut
umumnya merusak tau melunakan struktur lipid stratum korneum sehingga
meningkatkan penetrasi ke dalam kulit. Transfersom merupakan salah satu
sistem pembawa pada sistem penghantaran transdermal yang mampu
meningkatkan efektivitas penghantaran obat. Transfersom secara alternatif
dapat digunakan sebagai transdermal delivery dengan alasan sebagai berikut :
1. Meningkatkan pemenuhan kebutuhan pasien
2. Pasien dengan kesulitan menelan tablet / kapsul
3. Menghindari iritasi mukosa yang disebabkan oleh first pass efect
4. Mengurangi tingkat fluktuasi untuk penghantaran obat yang terkontrol
5. Fleksibilitas dosis yang tinggi, dimana dosis obat dapat dengan mudah
dihentikan apabila terjadi reaksi yang tidak diinginkan (Tanner & Marks,
2008).

D. KOMPOSISI TRANSFERSOM
Kandungan utama pada transfersom adalah fosfolipid dan surfaktan, dimana
fosfolipid merakit diri menjadi lipid bilayer pada lingkungan berair dan
menutup membentuk vesikel atau gelembung. Surfaktan berperan sebagai
pelembut struktur lipid bilayer dan meningkatkan fleksibilitas dan permeabilitas
bilayer pada lipid. Kedua komponen tersebut berfungsi sebagai aktivator tepi
(Edge Activator), contohnya natrium deoxycholate yang terdiri dari rantai
tunggal surfaktan yang menyebabkan destabilisasi lipid bilayer dan fluiditas

16
serta elastisitasnya meningkat (Jadupati et al, 2012). Secara umum komposisi
transfersom dapat dilihat pada tabel berikut :
Jenis Bahan Contoh Fungsi
Fosfolipid Fosfatidilkolin kedelai Membentuk vesikel
Dipalmitoil fosfatidilkolin
Surfaktan Sodium cholate Memberikan fleksibilitas
Tween -80
Span-80
Alkohol Etanol, metanol Pelarut
Pendapar PBS (Phospate Buffer Saline) Media hidrasi vesikel
Pewarna Rhodamin, Fluorescein, Nile red Untuk pewarnaan uji in
vitro menggunaka CLSM
Tabel 2. Komposisi transfersom dan fungsinya.

E. METODE PEMBUATAN TRANSFERSOM


Untuk menyiapkan vesikel yang mampu beradaptasi dengan bentuk yang
berbeda, konsentrasi relatif surfaktan sebagai pelembut struktur dan
destabilisasi dibuat bervariasi. Terdapat dua teknik yang biasa digunakan untuk
membentuk transfersom, yaitu:
1. Hidrasi Lapis Tipis
Teknik hidrasi lapis tipis digunakan untuk membentuk transfersom terdiri
dari 3 langkah :
a. Lapisan tipis dibuat dari campuran bahan pembentuk vesikel yaitu
fosfolipid dan surfaktan, dibuat dengan cara melarutkan kedua bahan
tersebut dalam pelarut organik yang mudah menguap. kemudian
campuran tersebut diuapkan diatas suhu transisi lipid (meleleh)
biasanya pada suhu kamar, atau pada penggunaan dipalmitoil
fosfatidilkolin 50ºC menggunakan rotary evaporator. Sisa sisa pelarut
dihilangkan dengan cara divakum selama semalam.
b. Lapisan tipis dihidrasi dengan larutan dapar (ph 6.5) dengan kecepatan
rotasi 60 rpm selama 1 jam pada suhu yang sesuai. Vesikel yang

17
terbentuk akan membesar saat didiamkan selama 2 jam pada suhu
kamar.
c. Untuk mendapatkan vesikel kecil, vesikel yang didapat disonikasi pada
suhu kamar selama 30 menit menggunakan bath sonicator atau probe
sonicator pada suhu 4ºC selama 30 menit. Hasil sonikasi vesikel
kemudian diekstrusi manual sebanyak 10 kali.
2. Metode Pengocokan dengan Tangan yang Dimodifikasi
a. Obat, fosfatidilkolin kedelai, dan aktivator tepi dilarutkan dalam
campuran etanol-kloroform 1:1. Pelarut organik dihilangkan dengan
cara penguapan menggunakan pengocokan diatas suhu transisi lipid
(43ºC). Lapisan tipis film yang terbentuk pada dasar labu disimpan
selama semalam untuk memastikan pelarut telah hilang seluruhnya.
b. Lapisan tipis yang terbentuk dihidrasi menggunakan larutan dapar pH
7.4 dengan pengocokan lembut selama 15 menit pada suhu kamar.
Suspensi transfersom akan lebih terbentuk pada hidrasi lebih dari 1 jam
pada suhu 2-8ºC (Pawar et al 2016).

F. MEKANISME AKSI TRANFERSOM

(Gambar 9. Gambaran penetrasi transfersom secara interseluler)


Mekanisme aksi dibalik penetrasi transfersom adalah pengembangan
gradien osmotik, karena saat suspensi lipid transfersom digunakan pada
permukaan kulit, kandungan airnya akan menguap. Transfersom memiliki

18
deformabilitas bilayer yang kuat dan memungkinkan untuk meningkatkan
afinitas dalam mengikat dan menahan air. Dehidrasi tidak terjadi jika vesikel
yang sangat mudah berubah bentuk sangat hidrofilik, hal ini tidak identik terkait
dengan proses osmosis, tetapi terlibat dalam proses transportasi dorongan
osmosis lebih jauh.
Setelah aplikasi pada permukaan kulit, transfersom masuk menembus
stratum korneum dan mencapai lapisan yang lebih dalam (bagian kaya air)
dimana zat terhidrasi dan sampai pada lapisan epidermis yang lebih dalam
melalui hidrasi vesikel pada stratum korneum yang disebabkan oleh aktivitas
transepidemial alami. Oleh karena itu transfersom meningkatkan fungsi gradien
hidrasi saat melintasi epidermis, stratum korneum, dan lingkungannya (Pawar
et al, 2016).
Selain metode diatas terdapat beberapa metode yang digunakan untuk
membuat transfersom, karena pada umumnya pembuatan transfersom sama
dengan metode pembuatan liposom (Setyawati, 2016).
Prinsip Metode Metode
Metode Mekanik  Vortex (pengocokan) dispersi fosfolipid.
 Ekstrusi (penyaringan) melalui membran
polikarbonat dengan tekanan rendah atau sedang.
 Ekstrusi menggunakan microfluidizer
 High Pressure homogenizer
 Ultrasonikasi
Metode Penggantian  Penguapan pelarut organik
Pelarut Organik  Penggunaan pelarut tidak larut air, seperti eter dan
dengan Media petroleum
Berair  Injeksi Etanol
 Infusi Eter
 Evaporasi fase balik
Metode Pemisahan  Kromatografi ekslusi gel
Detergen  Dialisis Pelan
 Dilusi Cepat

19
G. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TRANSFERSOM
Menurut Jadupati et al (2012), kekurangan dan kelebihan transfersom
adalah sebagai berikut :
Kelebihan Kekurangan
Biocompatibel dan biodegradable. Tidak stabil secara kimiawi, karena
Mudah terurai dan mampu melindungi cenderung terdegradasi secara
enkapsulasi dari degradasi oksidatif
metabolisme
Dapat mengangkut zat aktif melewati Kurangnya kemurnian fosfolipid
jalur yang sangat sempit diantara alami merupakan kriteria lain yang
sebagian sel kulit tanpa kehilangan mempengaruhi transfersom
yang signifikan sebagai sistem pembawa
Tidak melibatkan prosedur yang rumit Mahal
dan tanpa hambatan, karena
transfersom mampu melewati matriks
lipid yang berlapis dari stratum
korneum, sebagai akibat dari hidrasi
osmotik kulit.
Non-invansif

20
BAB IV
UJI PENETRASI IN VITRO & IN VIVO

A. UJI PENETRASI IN VITRO


Salah satu kualitas kritis yang perlu dibuktikan dalam pengembangan
sediaan transdermal adalah penetrasi obat melalui kulit secara in vitro. Uji
penetrasi secara in vitro biasanya dilakukan untuk mengevaluasi formula suatu
obat, dan bukan dilakukan rutin untuk setiap bacth. Secara umum transpo obat
melewat kulit dibagi dalam 3 tahap, yaitu :
1. Penetrasi, dimana obat akan masuk ke dalam lapisan struktur atau kulit,
misalnya obat masuk ke stratum korneum.
2. Permeasi, dimana obat berpenetrasi dari satu lapisan ke lapisan lain yang
berbeda secara struktur maupun fungsi.
3. Resorpsi. Dimana obat akan masuk ke sirkulasi darah.
Metode in vitro didesain untuk mengukur penetrasi obat dan selanjutnya
permeasi obat melewati kulit dan masuk ke dalam media reseptor. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam uji penetrasi seperti tipe sistem difusi sel,
sumber kulit yang digunakan, komposisi media reseptor dan perhitungan hasil.
Sistem sel difusi yang digunakan untuk uji penetrasi terdapat 2 tipe, vertikal
dan horizontal. Uji penetrasi horizontal biasa digunakan untuk penghantaran
obat oral yang melalui gastrointestinal, sedangkan uji penetrasi vertikal
digunakan untuk penghantaran obat dengan sediaan semisolid seperti gel, krim,
salep dan lain lain. Sel difusi yang paling umum digunakan adalah Difusi Franz.
Difusi Franz terdiri dari 2 kompartemen (donor dan reseptor) yang dipisahkan
oleh suatu membran.
Membran yang digunakan pada uji in vitro adalah kulit manusia atau tikus.
Pada umumnya kulit tikus lebih mudah digunakan karena ketersediaan dan cara
perawatannya paling mudah.
Media reseptor pada uji dengan sel difusi adalah cairan yang mampu
melarutkan dan mendukung stabilitas bahan yang diuji. Pada obat yang
hidrofilik biasa digunakan PBS, sedangkan untuk obat lipofilik ditambahkan
serum albumin atau bahan pengemulsi (Setyawati, 2016)

21
B. UJI PENETRASI IN VIVO
Uji penetrasi in vivo merupakan pengujian kuantitatif untuk disposisi suatu
zat xenobiotik seperti obat secara in vivo. Uji In vivo dilakukan untuk:
1. Untuk manjamin bioavaibilitas pada perkutan pada penggunaan obat
secara topikal
2. Untuk menjamin bioavaibilitas sistemik pada obat transdermal
3. Untuk menetapkan bioeqivalensi pada formula topikal yang berbeda
pada substansi obat yang sama
4. Untuk menentukan kejadian dan derajat resiko toksikolgi sistemik
setelah penggunaan pada obat yang spesifik atau suatu produk.
5. Untuk menghubungkan kadar obat dalam darah manusia dengan efek
terapetiknya.
Farmakokinetika menggambarkan konsentrasi obat dalam plasma terhadap
waktu setelah pemberian obat dengan dosis yang telah diketahui melalui rute
tertentu. Parameter farmakokinetika menggambarkan paparan dan lama waktu
obat di dalam tubuh dan secara umum konsentrasi obat terhadap waktu (untuk
obat sistemik). Parameter yang perlu diperhatikan dalam uji in vivo berupa
Cmax, Tmax dan AUC.
Cmax merupakan konsentrasi obat maksimum dalam plasma, sedangkan
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi maksimum obat dalam
plasma adalah Tmax yang diperoleh dari data pengujian. AUC adalah luas area
dibawah kurva konsentrasi plasma terhadap waktu (Setyawati, 2016)

(Gambar 10. Kurva konsentrasi terhadap waktu)

22
KESIMPULAN

1. Transfersome dapat menjadi solusi untuk memperbaiki penetrasi obat


melalui kulit secara transdermal. Transfersome merupakan vesikel elastis
yang dapat membawa molekul obat yang kecil maupun besar, hidrofilik
ataupun hidrofob.
2. Transfersom dibuat menggunakan dua komponen penting yaitu surfaktan
sebagai pelembut penetrasi, dan fosfolipid untuk membentuk vesikel lipid
bilayer. Gabungan komponen tersebut disebut dengan aktivator tepi (Edge
Activator).
3. Pembuatan transfersom dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan cara
hidrasi lapis tipis dan metode pengocokan termodifikasi.
4. Mekanisme penetrasi transfersome karena adanya gradient hidrasi
transdermal.

23
REFERENSI
1. Andini, Septia. 2016. Formulasi dan Uji Penetrasi Sediaan Gel Transfersom
yang Mengandung Kojyl 3 Amino Propil Fosfat sebagai Pencerah Kulit.
Jurnal Kefarmasian Indonesia, 6(8), 129-136.
2. Ansel. H, Allen. L. 2014. Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and Drug
Delivery Systems. Wolter Kluwer. 10. 342-362
3. Benson, H.A.E. 2005. Transdermal Drug Delivery: Penetration
Enhancement Techniques. Current Drug Delivery.
4. Dhamecha. D, Rathi. A, Saifee. M, Lahoti. S, Hassan, M. 2009. Drug
Vehicle Bsed Approaches of Penetration Enhancement. International
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 1(9), 24-46.
5. Dragicevic. N, Maibach. H. 2017. Percutaneous Penetration Enhancers
Physical Methods in Penetration Enhancement. Springer.
6. Ermawati. Dian. 2014. Transfersom : Sistem Pengantaran Obat Topikal dan
Transdermal. Prosiding Fikes. 180-186.
7. Handayani, Resa. 2018. Strategi Baru Sistem Penghantaran Obat
Transdermal Menggunakan Peningkat Penetrasi Kimia. Farmaka. 13(1),
24-36.
8. Jadupati. M, Amites. G, Kumar. N. 2012. Transferosome: An Opportunistic
Carrier for Transdermal Drug Delivery System. International Research
Journal of Pharmacy. 3(3). 35-38.
9. Makhmalzadeh, B.S, Salimi. A, Nazarian. A, Eshafani. G. 2018.
Formulation, Characterization and in vitro / ex vivo Evaluation of
Trolamine Salicylate – Loaded Transfersomes as Transdermal Drug
Delivery Carriers. International Journal of Pharmaceutical Sciences and
Research, 16(9), 3725-31
10. Murlistyarini. S, Prawitasari, S. Setyowatie. L. 2018. Intisari Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. UB Press.
11. Pawar. A, Jadhav. K, Chaudhari, L. 2016. Transfersom: A Novel Technique
Which Improves Transdermal Permeability. Asian Journal of
Pharmaceutics. 10(4). 425-436.
12. Sharma. K, Mittal. A, Chauhan. N. 2015. Aloe Vera as Penetration
Enhancer. International Journal Drug Development & Research. 7(1). 280-
285.
13. Setiawati. Damai. 2016. Optimalisasi FormulaTransfersom Luteolin serta
Uji Penetrasi in Vitro dan In vivo Gel Transfersom Luteolin. TESIS.
Departemen Farmasi. Universitas Indonesia.
14. Susilowarno. G, Hartono. S, Mulyadi, Murtiningsih. 2007. BIOLOGI.
Grasindo.
15. Yadav, Virendra. 2012. Trasdermal Drug Delivery System : Review.
International Journal of Parmaceutical Sciences and Research, 3(11), 376-
38

24

Anda mungkin juga menyukai