UJI DIFUSI
Kelompok 1A
SEPTEMBER 2017
BAB 1
TEORI DASAR
Gel merupakan jejaring tiga dimensi yang terhubung antarmolekul atau partikel dan
memerangkap sejumlah pelarut seperti spons. Gel berupa serat-serat yang terbentuk dari
molekul-molekul polimer yang ditautkan oleh ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan
ionik, atau ikatan kovalen (Whistler & James 1976). Gel merupakan sistem semipadat dari
suspensi partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, yang terpenetrasi
oleh suatu cairan. Sementara hidrogel merupakan gel yang dapat menahan air dalam
strukturnya (Wang et al. 2004). Air yang terdapat dalam gel ini merupakan jenis air imbibisi,
yaitu air yang masuk ke dalam suatu bahan dan menyebabkan pengembangan volume, tetapi
bukan komponen penyusun bahan tersebut (Winarno 1997). Kunci utama dalam
pembentukan gel adalah pembentukan taut silang (cross-link) di antara molekul-molekul
polimer yang 3 memperkuat jejaring gel (Fardiaz 1989). Tautsilang kovalen dalam hidrogel
kitosan dapat dibedakan menjadi 4, yaitu taut silang kitosankitosan, jejaring polimer hibrida
atau HPN (hybrid polymer network), jejaring semi- atau full-IPN (interpenetrating poly
Pelepasan obat dari basisnya merupakan faktor penting dalam keberhasilanterapi
dengan menggunakan sediaan salep. Pelepasan obat dari sediaan salep sangat dipengaruhi
oleh sifat fisika kimia obat seperti kelarutan, ukuran partikel dan kekuatan ikatan antara obat
dengan pembawanya, dan untuk basis yang berbeda faktor-faktor diatas mempunyai nilai
yang berbeda. Pemilihan formulasi yang baik sangat menentukan tercapainya tujuan
pengobatan. Benzokain umumnya digunakan sebagai anestetik lokal. Benzokain dapat
diabsorbsi melalui permukaan luka dan membran mukosa untuk meredakan nyeri yang
berhubungan dengan luka bernanah, luka tergores, dan permukaan mukosa yang meradang.
Kerjanya hanya selama kontak dengan kulit atau permukaan mukosa, bersifat tidak
mengiritasi serta tidak toksik (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
1. Kulit
Kulit merupakan organ tubuh terbesar yang menutupi permukaan kulit lebihdari
20.000 cm2 pada orang dewasa dan terletak paling luar (Lachman dkk, 1994). Kulit adalah
organ yang paling essential dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Berat
kulit kira-kira 15% berat badan yang mempunyai sifat elastis, sensitive, sangat komplek dan
bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh
(Djuanda dkk, 1999).
1). Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit, yang mempunyai fungsi sebagaisawar
pelindung terhadap bakteri, iritasi kimia, alergi, dan lain-lain. Lapisan ini mempunyai tebal
0,16 mm pada pelupuk mata, dan 0,8 mm pada telapak tangan dan kaki. Lapisan epidermis
terdiri atas stratum korneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan
stratum basale. Stratum korneum adalah lapisan paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel
gepeng yang mati. Lapisan ini merupakan membran yang 5% bagiannya merupakan elemen
pelindung yang paling efektif. Sel ini mampu menahan air yang berasal dari keringat dan
lingkungan luar (Aiache, 1982).
Stratum lucidum terdapat langsung dibawah lapisan korneum. Lapisantersebut tampak
lebih jelas ditelapak tangan dan kaki (Djuanda dkk, 1999). Stratum granulosum (lapisan
keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan
terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak
mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki
(Djuanda dkk, 1999).
Stratum spinosum (lapisan malphigi) atau lapisan akanta. Lapisan inimerupakan pusat
kegiatan metabolik yang mengendalikan pembelahan sel dan pembentukan sel subjunction
lainnya. Stratum basale merupakan lapisan epidermis yang paling bawah, sel ini
mengadakan mitosis dan berfungsi reproduktif.
2). Dermis
Lapisan dermis jauh lebih tebal dari epidermis. Tersusun atas pembuluh darah dan
pembuluh getah bening. Peranan utamanya adalah pemberi nutrisi pada epidermis. Pembuluh
darah (pars papilare) yaitu bagian yang menonjol ke epidermis berisi ujung serabut dan
pembuluh darah. Pars retikulare bagian dibawahnya yang menonjol ke subkutan terdiri atas
serabut-serabut penunjang seperti kolagen, elastin dan retikulin (Djuanda dkk, 1999).
3). Jaringan subkutan lemak
Terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak yang berfungsi sebagai
cadangan makanan juga sebagai pemberi perlindungan terhadap dingin. Kulit mempunyai
organ-organ pelengkap yaitu kelenjar lemak, kelenjar keringat, kelenjar bau, rambut dan kuku
(Djuanda dkk, 1999).
Fungsi kulit
Menurut Mutchler (1991), kulit mempunyai peranan sangat penting bagi manusia,
selain fungsi utama yang menjamin kelangsungan hidup juga mempunyai arti lain yaitu
estetik, ras, indikator sistemik dan sarana komunikasi non verbal antara individu satu dengan
yang lain. Kulit merupakan organ tubuh yang pentingyang merupakan permukaan luar
organisme dan membatasi lingkungan dalam tubuh dan dengan lingkungan luar. Kulit
berfungsi:
1). Melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan fisika, terutama kerusakan mekanik
dan terhadap masuknya mikroorganisme.
2). Mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapan air secukupnya tetap
terjadi (perspiration insensibilis).
3). Bertindak sebagai pengatur panas dengan melakukan konstriksi dan dilatasi pembuluh
darah kulit serta pengeluaran keringat.
4). Dengan pengeluaran keringat ikut menunjang kerja ginjal, dan
5). Bertindak sebagai alat pengindera dengan reseptor yang dimilikinya yaitu reseptor tekan,
suhu dan nyeri.
Menurut Aiache (1982), kulit yang utuh merupakan rintangan efektif terhadap
penetrasi. Absorbsi melalui kulit dapat terjadi dengan:
1). Langsung menembus epidermis utuh.
2). Diantara atau menembus sel stratum korneum.
3). Menembus tambahan kulit seperti kelenjar keringat, kelenjar lemak dan gelembung
rambut.
Faktor yang mempengaruhi absorbsi oleh kulit, faktor utamanya ialah penetrasinya
dan cara pemakaian, temperatur dari kulit, sifat-sifat dari obatnya, pengaruh dari sifat basis
salep, lama pemakaian, kondisi atau keadaan kulit (Djuanda dkk, 1999).
Dibawah ini adalah gambar penampang anatomi kulit:
2). Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai tahapan dimana obat mulai masuk ke dalam larutan
dari bentuk padatnya (Martin dkk, 1993) atau suatu proses dimana suatu bahan kimia atau
obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam media
aqueous merupakan bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik (Shargel and Yu,
2005). Supaya partikel padat terdisolusi molekul solute pertama-tama harus memisahkan diri
dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan memasuki pelarut (Martin
dkk, 1993). Menurut Ansel (1989), kecepatan disolusi suatu zat dapat dinyatakan dalam
persamaan Noyes-Whitney
Untuk mengungkapkan hasil disolusi dapat dengan salah satu atau beberapa cara
seperti tersebut di bawah ini:
1). Waktu yang diperlukan oleh sejumlah zat aktif terlarut dalam medium disolusi misalnya
T20 artinya waktu yang diperlukan agar 20% zat terlarut dalam medium.
2). Jumlah zat aktif yang terlarut dalam medium pada waktu tertentu, misalnya C20 artinya
berapa jumlah obat terlarut dalam medium pada waktu 20 menit.
3). Metode Khan, metode ini dikenal dengan konsep Dissolution Efficiency (DE). Menurut
Khan dissolution efficiency didefinisikan sebagai perbandingan luas daerah dibawah kurva
disolusi pada waktu tertentu dengan luas daerah empat persegi panjang yang menggambarkan
100% zat aktif terlarut pada waktu yang sama, untuk lebih jelasnya dapat diteruskan dengan
kurva dibawah ini (Khan,1975).
3). Difusi
Difusi adalah suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh
gerakan molekuler secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran
molekul melalui suatu batas, misalnya membran polimer (Martin dkk, 1993). Difusi pasif
merupakan bagian terbesar dari proses trans-membran bagi umumnya obat. Tenaga
pendorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran
sel. Menurut hukum difusi Fick, molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi obat
tinggi ke daerah dengan konsentrasi obat rendah.
Tetapan difusi suatu membran berkaitan dengan tahanan yang menunjukkan keadaan
perpindahan. Dikaitkan dengan gerak brown, tetapan difusi merupakan fungsi bobot molekul
senyawa dan interaksi kimia dengan konstituen membran, ia juga tergantung pada kekentalan
media dan suhu. Bila molekul zat aktif dapat dianggap bulat dan molekul disekitarnya
berukuran sama, maka dengan menggunakan hukum Stokes-Einstein dapat ditentukan nilai
tetapan difusi (Aiache, 1982).
BAB 2
METODELOGI PRAKTIKUM
1. Pompa peristaltik
2. pengaduk
1. Chamber
2. Kertas saring
3. Thermometer
4. Selang dengan diameter 4mm
1. Membrane difusi
2. Kertas whatman
3. Cairan spangler
4. Paracetamol
5. Karbopol 940
6. HPMC
7. Trietanolamin
8. Etanol 95%
9. Natrium benzoate
10. Air suling
HASIL PRAKTIKUM
0.858290.3103
0.3103 0.85829 x 100% = 176.60%
0.3103
0.75450.3180
0.3180 0.7545 x 100% = 137.26%
0.3180
0.80340.3044
0.3044 0.8034 x 100% = 163.92%
0.3044
0.91110.3246
0.3246 0.9111 x 100% = 180.68%
0.3246
0.88710.3168
0.3168 0.8871 x 100% = 180.01%
0.3168
0.82320.3118
0.3118 0.8232 x 100% = 164.01%
0.3118
PCT
y = 0.0838x - 0.0151
0.9
R = 0.9995
0.8
0.7
0.6
0.5
PCT
0.4
Linear (PCT)
0.3
0.2
0.1
0
0 2 4 6 8 10 12
0.5
0.4
Absorbansi
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50
Waktu (menit)
3.5 Kurva Profil Farmakokinetik Gel PCT Basis Karbopol 940 Formula 2
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50
Waktu (menit)
Menit ke-30 :
y = 0.083x 0.015
0.476 = 0.083x 0.015
0.476+0.015
x= = 5.915 ppm
0.083
Menit ke-40 :
y = 0.083x 0.015
0.666 = 0.083x 0.015
0.666+0.015
x= = 8.2 ppm
0.083
y = 0.0842x + 0.0064
Kurva Kalibrasi R = 0.9971
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 2 4 6 8 10 12
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)
PEMBAHASAN
Pada praktik kali ini bertujuan untuk mengetahui factor yang mempengaruhi difusi
obat melalui kulit. Sediaan obat yang sudah banyak beredar di masyarakat yaitu obat dalam
bentuk topikal yang diaplikasikan melalui kulit. Obat dalam bentuk sediaan topikal ini harus
memberikan efek terapeutik yang berpenetrasi melalui lapisan-lapisan kulit. Baik obat yang
diharapkan memberikan efek topikal maupun sistemik, zat aktit tersebut harus dapat
terabsorpsi sempurna ke dalam targetnya masing-masing.
Diantara semua sifat dan reaksi obat yang penting untuk kita ketahui yaitu mengenai
difusi suatu obat. Dimana ini merupakan suatu tahapan yang yang sangat berperan penting
dalam menentukan hasil suatu efek obat dalam tubuh manusia. Difusi adalah suatu proses
perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan
berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas. Difusi
akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau mencapai
keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada
perbedaan konsentrasi.
1. Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu akan
bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.
2. Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan difusi.
3. Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya.
4. Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan
difusinya.
5. Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak dengan lebih
cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.
Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan
ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh koefisien partisi, yaitu
semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi obat.
Praktikum ini dilakukan uji difusi suatu obat dengan menggunakan metode Flow
Through yang merupakan percobaan pada uji difusi terhadap suatu zat tertentu dimana dibuat
suatu mekanisme kerja layaknya difusi didalam membran sel tubuh manusia. sediaan yang
diuji menggunakan bahan aktif parasetamol dalam bentuk sediaan gel dengan konsentrasi
bahan aktif 1 %. Kemudian dihitung konsentrasi obat yang terabsorbsi pada membran,
dimana obat yang terabsorbsi seolah-olah menembus membran sel yang ada didalam tubuh.
Parasetamol yang digunakan dalam praktikum berupa sediaan gel dengan basis
karbopol 1% dan 1.2% dan HPMC dengan konsentrasi 7 %. Gel juga dibuat dengan
konsentrasi yang berbeda-beda untuk mengetahui seberapa besar kemampuan obat
menembus membrane. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembuatan membran
difusi dengan menggunakan kertas whatman no. 1 yang diimpregnasikan terlebih dahulu
dengan cairan spangler. Cairan spangler terdiri dari asam palmitat, asam oleat, asam stearat,
minyak kelapa, parafin, dan lilin putih yang dilelehkan, Asam oleat berfungsi sebagai
peningkat penetrasi absorpsi perkutan dengan kemampuan yang dimiliki mengubah fluiditas
lipid dalam stratum korneum yang dapat meningkatkan permeabilitas lapisan stratum
korneum.
BtBo
% impregnasi = x 100%
Bo
Langkah kedua adalah mengoleskan gel parasetamol 1% dengan berbagai jenis dan
konsentrasi gelling agent berbeda yang telah dibuat sebelumnya. Propilen glikol pada formula
juga bertujuan untuk penambahan propilen glikol pada sediaan topikal juga dapat
meningkatkan laju difusi. Lalu, kertas saring yang telah diolesi gel parasetamol tersebut,
dipotong sesuai dengan bentuk dan ukuran mulut alat uji disolusi. Tiga formula uji ditimbang
1 gram kemudian diratakan diatas membran dengan diameter 1,5 cm . Uji difusi dilakukan
menggunakan metode Flow through yang terdiri dari sel difusi, pompa peristaltik, pengaduk,
gelas piala, tangas air, penampung reseptor, thermometer dan selang dengan diameter 4 mm.
metode flow-through dengan menggunakan alat sel difusi Franz. dilengkapi oleh pompa
peristaltik yang berfungsi untuk menghisap cairan reseptor dari gelas kimia kemudian
dipompa ke sel difusi melewati penghilang gelembung sehingga aliran terjadi secara
Hidrodinami. Alat flow through juga dilengkapi dengan donor yang berfungsi untuk
meletakkan membrane dan mengalirkan hasil cuplikan sample.
Suhu cairan dala alat tersebt disetting agar tetap 37oC menyerupai suhu normal tubuh.
cairan NaOH 0,1N di dalam alat siap menampung obat yang terdifusi sebagaimana plasma
darah, juga tersedia tempat khusus untuk pengambilan cuplikan pada waktu-waktu tertentu.
Pada interval waktu 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit dan 60 menit,
dilakukan pencuplikan larutan dari kompartemen reseptor sebanyak 7 ml dan akan digantikan
dengan 7 ml larutan NaOH 0,1 N. Larutan dari masing-masing interval waktu dianalisis
menggunakan spektrofotometer untuk mengetahui jumlah obat yang terpenetrasi melalui
membran difusi.
Dari hasil praktikum menunjukan hasil bahwa % impregnasi yang akan digunakan
untuk basis gel kabopol adalah 176.60% dan 180.01%. Sedangkan data %impregnasi
membran untuk difusi gel dengan basis HPMC 154.921% . Hasil cuplikan menit ke-x setelah
diukur dengan spektrofotometri UV-VIS menghasilkan absorbansi dan setelah dihitung
menggunakan persamaan linear dari kurva kalibrasi sebelumnya untuk mengetahui berapa
banyak zat yang berdifusi pada membrane adalah sebagai berikut
Pelepasan obat dari pembawa tergantung kepada sifat fisikokimia obat. Dimana,
partikel obat harus berada dalam keadaan terlarut agar dapat berdifusi dan terlepas dari
pembawa. Semakin larut zat aktif dalam pembawa, semakin cepat proses difusinya. Hasil
praktikum menunjukan bahwa konsentrasi obat yang terdifusi kedalam cairan NaOH yang
dianalogikan sebagai sistem sirkulasi darah manusia, tidak menunjukan hasil yang optimum.
Menurut literature difusi obat pada awal waktu menunjukan peningkatan saat awal waktu dan
terus meningkat hingga mencapai keadaan setimbang. Lalu pada saat tertentu mengalami
penurunan.
Hasil praktikum baik dari difusi gel dengan basis Karbopol F1 dan F2 maupun Gel
Basis HPMC menunjukan hasil yang tidak beraturan. Hukum Fick I dan II dimana laju difusi
berbanding lurus dengan konsentrasi dan waktu merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi laju difusi. Ada ketidak sesuaian pengujian dengan teori di beberapa titik
waktu Hal ini mungkin teradi akibar adanya kelalaian dalam pencuplikan sehingga waktu
pencuplikan mejadi lebih panjang yang berpengaruh pada konsentrasi obat tsb, kemungkinan
lainnya akibat adanya perbedaan ketebalan pengolesan gel parasetamol di mebran. Lalu
adanya kelebihan pengisian ulang cairan NaOH sehingga cairan menyentuh gel, yang
menyebabkan konsentrasi meningkat padahal diwaktu yang berbeda. Perbedaan jenis dan
konsentrasi gelling agent juga mepengaruhi difusi obat, semakin kecil ukuran partikel maka
semakin cepat berdifusi. Ketebalan mebran juga mempengaruhi hasil yang didapatkan,
semakin tebal membrane akan menghalangi obat untuk berdifusi.
KESIMPULAN
1. Metode yang digunakan untuk menentukan uji difusi adalah metode flow trough
dengan alat sel difusi Franz.
2. Difusi adalah suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh
gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan
konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas
3. faktor yang memengaruhi kecepatan difusi, yaitu ukuran partikel. ketebalan
membrane, luas suatu area, jarak, dan suhu
4. Jenis gelling agent dan konsentrasi yang digunakan juga mempengaruhi kecepatan
obat yang berdifusi
5. Kertas whatman yang diimpregnasikan dengan cairan spangler mewakili keadaan
kulit manusia dalam difusi transdermal. Suhu cairan dikondisikan sama dengan tubuh
manusia. Dan NaOH menggambarkan system sirkulasi darah
DAFTAR PUSTAKA
1. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor.
2. Hong et al. 2007. Synthesis of Biocompatible CS-g-CMC Ion Exchangers for Heavy
Metal Ions. J Ind Eng Chem 13: 1009- 1016.
3. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
4. Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
5. Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitunganny.
Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas
Indonesia.
6. Weller P.J., Rowe R.C. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Fourth Edition.
London : The Pharmaceutical Press.
7. Watson, David.G . 2009. Analisis Farmasi edisi 2. EGC. Jakarta.
8. Shargel, Andrew. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi Kedua.
Penerbit : Airlangga University-Press. Surabaya.