Anda di halaman 1dari 24

1

KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK DAN PARTIKULAT

I.

TUJUAN PERCOBAAN
Mempelajari pengaruh keadaan bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat, solvate)

terhadap kecepatan disolusi partikulat dan intrinsiknya sebagai preformulasi


untuk bentuk sediaannya
II.

PRINSIP
Kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas permukaan bahan obat dan

kelarutannya.
III.

TEORI
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat

fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya
ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan
zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya
dalam media sekelilingnya.
Agar suatu obat diabsrbsi , mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh , suatu obat yang diberikan secara
oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikelpartikael obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus .
dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau
medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan
dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. (Ansel.1985)
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna,
obat tersebut mulai masuk kedalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet
tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalamindesintegrasi
menjadi granul-granul , dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi
partikel-partikel halus. Desintegrasi , deagregasi dan disolusi bisa berlangsung
secara serentak. Dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan. (Martin 1993).

Mekanisme disolusi tidak dipengaruhi oleh kekutan kimia atau reaktivitas


partikel-partikel padat terlarut kedalam zat cair , dengan mengalami 2 langkah
berturut-turut. (Gennaro. 1990).
Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap
atau film disekitar partikel difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair .
langkah pertama , larutan berlangsung sangat singkat. Langkah kedua , difusi
lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir . pada waktu suatu partikel
obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula
masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat larutan yang
membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai
lapisan difusi.
Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang
melarut dan erhubungan dengan membran biologis serta absorbsi teerjadi . jika
molekul-molekul obat diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan
partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut. (Martin. 1993)
Jika proses disolusi untuk partikel obat tertentu adalah cepat , atau jika obat
diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat
yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus
pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat,
misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan.
Proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam
proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak seluruhnya diabsorbsi atau
dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian oral , karena
batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal didalam lambung atau saluran
usus halus.(Martin 1993).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang
menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan
menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah:
A. Teori film (model difusi lapisan)
B. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)

C. Teori Solvasi terbatas / Inerfisial.


Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk
sediaan utuh / pecahan / partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri.
Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan
sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar
permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan. Kecepatan
pelarutan memberikan informasi tentang profil proses pelarutan persatuan waktu.
Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun
1897 dan diformulasikan secara matematik sebagai berikut :
dc / dt = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )
Cs

= kelarutan ( konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )

Ct

= konsentrasi bahan dalam larutan untuk waktu t

= konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan


jenuh dan tebal lapisan difusi.

Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan


konstannya suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien
konsentasi antara konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada waktu.
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis
larutan jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari
larutan di sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan
kelambatan difusi ini dapat menjadi persamaan dengan menggunakan hukum
difusi. Dengan mensubtitusikan hukum difusi pertama Ficks ke dalam persamaan
Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat memberikan kemungkinan perbaikan
kecepatan pelarutan secara konkret.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat,
koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t.
Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi.
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh

kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif
ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh
adanya kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai
lapisan yang tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan
sulit untuk ditentukan, namun umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang.
Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan
melarut:
A. Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut
B. Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
C. Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
D. Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
E. Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :
A. Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D
B. Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan
menaikkan nilai Cs.
C.1Macam-macam disolusi
3.2.1

Disolusi interinsik
Didefinisikan sebagai suatu kecepatan disolusi zat aktif murni dibawah

kondisi luas permukaan yang konstan. Kaplan dan wood menyarankan


bahwa absorbsi dengan kecepatan disolusi interinsik 1 mg/menit/cm2 akan
sangat mungkin bebas dari masalah kecepatan disolusi.
3.2.2

Disolusi Partikulat
Luas permukaan solida tidak dibuat konstan. Disolusi partikulat

digunakan untuk mempelajari pengaruh ukuran partikel terhadap kecepatan


disolusi.
3.3 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Proses Disolusi
Faktor - faktor yang mempengaruhi proses disolusi dibagi atas 3 kategori
yaitu :

3.3.1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat,

meliputi :
1. Efek kelarutan obat
Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam
menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju
disolusi yang cepat.
2. Efek ukuran partikel
Ukuran partikel berkurang, dapat memperbesar luas permukaan
obat yang berhubungan dengan medium sehingga laju disolusi
meningkat.
3.3.2

Faktor- faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi :


1. Efek formulasi
Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur
dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur
yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan
obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan
bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.
2. Efek faktor pembuatan sediaan
Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat - obat yang
kurang larut. Penggunaan bahan pengisi bersifat hidrofil seperti
laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah
laju disolusi.

3.3.2

Faktor-faktor yang berhubungan dengan faktor disolusi, meliputi :


1. Tegangan permukaan medium disolusi
Tegangan permukaan mempunyai pengaruh terhadap laju disolusi
bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena
itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks.
Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan
penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan
penambahan surfaktan ke dalam medium disolusi.

2. Viskositas medium
Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan
obat
3. Ph medium disolusi
Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat
dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi
(Gennaro, 1990). 0bat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam
medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar pada
medium basa karena terionisasi dan pembentukan garam yang larut
(Martin,et al.,1993;Sulaiman, 2007).
3.4 Uji Disolusi Obat
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu
pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut
menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan
tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan
tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan
jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan
dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat
bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering
ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet.
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat
dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas
dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu
tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna,
menjadi minat utama dari para ahli farmasi.
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet
diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa
penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang

diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya


keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia.; ketepatan yang
rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang
diperlukan;

pemakaian

manusia

sebagai

obyek

bagi

penelitian

yang

nonesensial; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna


antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan
demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan
secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat, terutama pada
penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda
pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada
setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes
bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in
vitro yaitu untuk menunjukkan pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati
100% dan laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama
dengan laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan
efektif secara klinis.
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat
aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui
sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga
tentang konsistensi dari batch satu ke batch lainnya. Tes disolusi ini didesain
untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu
sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi.
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada
zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap
kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin
cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul,
serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau
sediaan-sediaan

semisolid

(salep,krim,pasta)

mengalami

disolusi

dalam

media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi


sistemik.

Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan


kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran
cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif
tersebut, yaitu :
A. Zat aktif mula-mula harus larut
B. Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna.
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang
penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah
masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun
1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi
invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi
disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi
berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk.
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
A. Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam
model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila
dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
B. Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan
sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
C. Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian
mutu untuk produk akhir.
D. Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari
bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan
hayati telah ditetapkan.
E. Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan
manufaktur.
F. Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat
disolusi zat aktif yang baru.
G. Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat
sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh
karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan
dengan penggunaan sistem.

Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul


bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granulgranul telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya
ditentukan oleh proses disolusi dan difusi. Namun demikian, bagi tablet yang
berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari
apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu kecepatan.

IV.

ALAT DAN BAHAN PERCOBAAN


4.1

Alat
Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, alat-alat gelas, tabung
disolusi, Thermostat dengan penangas air, penyangga (holder), sampel
(berupa pellet), motor pemutar, stopwach, spektrofotometri UV.

4.2
V.

Bahan
bahan obat (Theofillin), medium disolusi, lilin cair.
PROSEDUR

Dibuat pellet bentuk tablet untuk disolusi intrinsik dengan mencetak 300 mg
bahan obat dengan tekanan 5 ton selama 5 menit, kemudian diletakkan pada
penyangga lalu bagian atas dituangi lilin cair, sehingga hanya ada 1 pellet terbuka
yang langsung dapat bersinggungan dengan medium disolusi. Tutup penyangga
yang sudah berisi sampel lalu ditutup dan dihubungkan dengan motor pemutar.
Kemudian, dimasukkan sebanyak 150 ml medium disolusi dengan thermostat
pada 37 0,50C. Dicelupkan pellet yang sudah dipasang pada penyangga dalam
medium disolusi untuk disolusi intrinsic dan dimasukan serbuk kedalam medium
untuk disolusi partikulat. Diatur agar tidak ada gelembung udara di bawahnya.
Dipasang pada motor pemutar dan segera diputar dengan kecepatan 100 put/menit

10

(jarak antara permukaan pellet dengan dasar tabung disolusi 2 cm). setelah itu
diambil sampel hasil disolusi tiap selang waktu dan cairan yang diambil segera
diganti medium disolusi dengan volume yang sama. Ditentukan kadar sampel
yang diperoleh dari spektrofotometris.
Dibuat grafik hubungan jumlah obat yang terdisolusi sebagai fungsi waktu
setelah dikoreksi karena adanya pengurangan kadar larutan oleh sampel yang
diambil kecepatan disolusi dihitung dan diekspresikan dalam DE60 atau tetapan
KWagner
Dihitung kecepatan disolusi ekstrinsik dan partikulat masing-masing sampel
tiap waktu pengambilan sampel dan disusun dalam suatu tabel, menurut data
kecepatan pelarut.

VI.

DATA PENGAMATAN, PERHITUNGANDAN GRAFIK


VI.1 Kurva Baku Teofilin monohidrat
Panjang Gelombang Maksimal : nm
konsentrasi
(ppm)

0.345

0.350

0.425

0.522

10

0.641

12

0.750

14

0.821

11

VI.2

Kurva Baku Teofilin anhidrat


Panjang Gelombang Maksimal : nm
konsentrasi
(ppm)

0.251

0.314

0.423

0.435

0.609

10

0.708

12

0.747

12

VI.3 Uji Disolusi Partikulat Teofilin Monohidrat


sampelkelompok 1
T

Sampel kelompok 3

faktor

Mg

pengenceran

(ppm)

Terdisolusi

faktor

Mg

pengenceran

(ppm)

terdisolusi

0,112

0.653

0.327

0,114

0.612

0,306

10

0,070

1.510

0.755

0.075

1,408

0,704

20

0,062

1.673

0.837

0,062

1,673

0,837

30

0,056

1.796

0.898

0,054

1,837

0,918

45

0,052

1.878

0.939

0,049

1,939

0,969

60

0,040

2.122

1.061

0,060

1,714

0,857

rata-rata

faktor

mg

mg terdisolusi
0.3165

koreksi

Terkoreksi
0.3165

0.7295

0.003165

0.732665

% disolusi
0.003956
0.009158

13

0.837

0.007295

0.844295

0.010554

0.908

0,00837

0.91637

0.011455

0.954

0.00908

0.96308

0.012039

0.959

0,00954

0.96854

0.012107

VI.4 Uji Disolusi Partikulat Teofilin Anhidrat


sampelkelompok 2
T

sampelkelompok 4

faktor

mg

pengenceran

(ppm)

terdisolusi

faktor

Mg

pengenceran

(ppm)

terdisolusi

-0.0191

0,100

0.049

0.0243

0,105

-0.038

10

0,069

0.586

0,052

0.880

0.4402

20

0,053

0.863

0.2929
0.4315

0,050

0.915

0.4575

30

0,048

0.950

0.4749

0,047

0.967

0.4835

45

0,047

0.967

0.4835

0,045

1.002

0.5009

60

0,057

0.794

0.3969

0,060

0.742

rata-rata
mg terdisolusi

faktorkoreksi

mg terkoreksi

% disolusi

0.003249
567
0.004627
0.0026

0.0026

708

0.3666

0.003666

0.3702

0.005612

0.4445

0.004445

0.4490

327

0.4792

0.004792

0.4840

0.006049

0.4922

0.004922

0.4971

935

0.3839

0.003839

0.3877

0.006214
038
0.004846
512

0.3709

14

VI.5 Uji Disolusi Intrinsik Teofilin Monohidrat


sampelkelompok 3
T

Sampel kelompok 1

faktor

Mg

pengenceran

(ppm)

terdisolusi

0,070

10

0,046

20

0,044

30

0,041

45

0,050

60

0,051

faktor

Mg

pengenceran

(ppm)

terdisolusi

1,51

0,734

0,694

0,867

2,04
0
2,10
2
1,91
8

0,755

0,072

1,469

0.076

1,387

1,020

0,059

1,734

1,051

0,055

1,816

0,959

0,052

1,877

0,938

0,948

0,055

1,816

0,908

1,89
7

rata-rata

faktor

mg

mg terdisolusi

koreksi

Terkoreksi

0,7448979 -

% disolusi

0,744897

0,009311

59

0,007448

959

224

0,8469387

98

0,854387

0,010679

0,908

15

76

847

0,008469

755

388

0,952346

0,009438

939

776

0,989030

0,009795
918

612
0,958775

0,9285714

0,009489

51
0,938061

0,011725

29

796

224

765

0,9438775
51
0,9795918
37
0,9489795
92

0,011904
337
0,012362
883
0,011984
694

VI.6 Uji Disolusi Intrinsik Teofilin Monohidrat


sampelkelompok 4
T

sampelkelompok 5

faktor

mg

pengenceran

(ppm)

terdisolusi

faktor

Mg

pengenceran

(ppm)

terdisolusi

0,1228

0,029

1,280

0.6403

0,088

0.245

10

0,062

0,701

0,021

1.421

0.7105

20

0,034

1,193

0.3508
0.5964

0,023

1.385

0.6929

30

0,044

1,017

0.5087

0,022

1.403

0.7017

45

0,034

1,192

0.5964

0,023

1.385

0.6929

60

0,036

1,157

0.5789

0,027

1,315

rata-rata

faktorkoreksi

mg terkoreksi

% disolusi

0,381578947

0,381579

0,004769

0,530701754

0,00381578

0,534518

737

0,644736842

0,00812554

0,006681

0,605263158

0,00530701

469

0,644736842

0,00764638

0,008125

0,618421053

0,00644736

548

0,00813486

0,007646

0,00605263

382

mg terdisolusi

0.6578

16

2
0,00644736
8

0,008134
0,00781085

868

0,007810
855

17

VII.

PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi partikulat dan

intrinsik.Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh keadaan bahan


baku obat yaitu Theophyline Anhidrat dan Theophyiline Monohidrat sebagai
preformulasi untuk bentuk sediaannya. Adapun tujuan lainnya itu

untuk

mengetahui pengaruh teofilin anhidrat dengan teofilin monohidrat terhadap


kecepatan disolusi. Obat-obat tersebut umumnya meliputi obat-obat yang
kecepatan disolusinya sangat lambat disebabkan oleh kelarutannya yang sangat
kecil.
Disolusi obat merupakan suatu proses pelarutan senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat
penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan
zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.Uji
disolusi dapat digunakan untuk menentukan persentasi ketersediaan obat dalam
sirkulasi sistemik pada waktu tertentu, hal ini berhubungan dengan bioavailabilitas yang dapat menjadi parameter efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu
produk obat. Laju disolusi dijadikan sebagai laju disolusi dari suatu zat aktif
murni yang diperoleh dengan menjaga konstan kondisi-kondisi yang bisa
mempengaruhi laju disolusi zat tersebut, yaitu luas permukaan, suhu, laju
pengadukan, pH, dan kekuatan ionik dari medium disolusi yang digunakan.
Dengan demikian, besarnya laju disolusi intrinsik suatu zat aktif tidak dipengaruhi
oleh faktor formulasi sehingga bisa dijadikan ukuran kelarutan inharen obat
tersebut di dalam medium disolusi.
Sebelum melakukan uji disolusi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan
kurva baku sampel theophylin anhidrat dan theophylin monohidrat. Yang pertama
dilakukan yaitu dibuat larutan induk dengan konsentrasi 100 ppm dengan 50 mg
masing-masing theophylin monohidrat dan theophylin anhidrat yang dilarutkan di
dalam labu ukur 100mL.

18

Pada pelarutan sampel yang digunakan dapar posfat kurva bakunya.


Kemudian kurva baku dilakukan pengujian absorbansi dari masing-masing bahan
baku pada panjang gelombang 271,6 nm. Dilakukan pengenceran theophylin
monohidrat dengan berbagai konsentrasi. Pada pembuatan kurva baku absorbansi
yang dihasilkan sebaiknya antara 0,2-0,8. Pada rentang 0,2-0,8 merupakan batas
rentang absorbansi yang mendekati akurat 100%. Jika absorbansi menyimpang
dikhawatirkan akan didapatkan hasil yang buruk dan jika terlalu besar juga
rentang absorbansinya dikhawatirkan diatas kemampuan alat yang digunakan
sehingga absorbansi tidak terbaca. Pada spektrofotometer digunakan 2 kuvet,
kuvet 1 berisi blanko dan 1 kuvet satu lagi berisi sampel yang akan di uji. Setelah
diketahui hasilnya, dibuat kurva baku yang berisi perbandingan antara konsentrasi
dengan absorbansi. Dibuat persamaan garisnya dengan menggunakan metode
regresi linier, dan didapat persamaannya adalah y=0.049x + 0.1443 dengan nilai
R2 adalah 0,9966.
Selanjutnya dilakukan uji disolusi terhadap sampel bahan baku obat yaitu
Theophylin Monohidrat dengan menggunakan kecepatan disolusi partikulat.
Medium disolusi yang digunakan yaitu dapar posfat dengan pH 4,6 sebanyak 500
mL, penggunaan dapar posfat sebagai medium disolusi karena theophylin
diabsorpsi didalam lambung dan memiliki pH asam yang sesuai dengan dapar
posfat. Pada alat disolusi suhu diatur yaitu 37oC.hal ini bertujuan agar suhu
percobaan dengan suhu tubuh sama sehingga bisa sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya jika obat sudah berada di dalam tubuh. Metode disolusi ini
menggunakan metode dayung yang dasarnya terdiri atas batang dan daun
pengaduk dengan dayung berputar dengan dimensi tertentu sesuai dengan radius
bagian labu dengan dasar bundar. Di alat disolusi terdapat 2 tabung yang berisi
medium disolusi yang berisi dapar asetat. Ditabung pertama ditambahkan sampel,
sedangkan di tabung disolusi kedua hanya berisi dapar.kecepatan putaran alat
disolusi yaitu 100 rpm.
Disolusi theofilin monohidrat dilakukan selama 60 menit, dan diambil
sampel untuk di ukur absorbansinya yaitu pada menit ke 5, 10, 20, 30, 45, dan 60
menit. Cara pengambilan menggunakan spuit 5mL lalu dimasukkan ke dalam vial

19

yang telah dicuci dan dibersihkan. Di tiap menit yang telah ditetapkan maka
larutan harus diambil dengan spuit 5mL setelah itu dimasukkan ke dalam vial
yang telah bersih, tapi sebelumnya saat akan dimasukkan ke dalam vial maka
harus dimasukkan dengan menggunakan bakteri filter. Hal ini dikarenakan agar
bakteri filter bisa menyaring bakteri yang ada dilarutan tersebut. Di waktu
bersamaan maka ditambahkan pula 5mL dapar asetat di tabung disolusi. Proses
penambahan dikarenakan media disolusi ditabung 1 diibaratkan sebagai cairan
tubuh. Proses yang sama pun dilakukan dengan menit-menit yang telah
ditentukan. Perlakuan yang sama pun dilakukan untuk theofilin monohidrat untuk
pengujian disolusi.
Berdasarkan hasil dari perhitungan % disolusi dari theophyllin
monohidrat dan theophyllin anhidrat didapatkan bahwa % disolusi theophyllin
monohidrat lebih baik dalam proses disolusinya dikarenakan pada theophyllin
monohidrat telah mengandung gugus air sehingga pada saat di masukkan kedalam
media disolusinya tidak lagi menyerap air untuk pecah. Sedangkan pada
theophyllin anhidrat yang tidak memiliki gugus air / Kristal air sehingga pada saat
dimasukan ke dalam media harus menyerap terlebih dahulu air lalu setelah itu
pecah dan mulai terdisolusi.
Dilakukan pengujian disolusi

terhadap

bahan baku

obat yaitu

Theophylline Monohidrat. Melalui pengujian ini, dipelajari pengaruh keadaan


bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat, solvate) terhadap kecepatan disolusi
intrinsiknya. Praktikum bertujuan sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya.
Laju disolusi intrinsik dapat didefinisikan sebagai laju disolusi dari suatu zat aktif
murni yang diperoleh dengan menjaga konstan kondisi-kondisi yang bisa
mempengaruhi laju disolusi zat tersebut, yaitu luas permukaan, suhu, laju
pengadukan, pH, dan kekuatan ionik dari medium disolusi yang digunakan.
Dengan demikian, besarnya laju disolusi intrinsik suatu zat aktif tidak dipengaruhi
oleh faktor formulasi sehingga bisa dijadikan ukuran kelarutan inharen obat
tersebut di dalam medium disolusi. Pelarutan intrinsik merupakan pelarutan dari
suatu serbuk yang mempertahankan luas permukaan yang tetap, yang biasanya
dinyatakan dalam mg/cm2 menit. Obat-obat tersebut umumnya meliputi obat-obat

20

yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabkan oleh kelarutannya


yang sangat lambat atau oleh kelarutannya yang sangat kecil. Obat-obatan yang
memiliki kecepatan disolusi intrinsik kurang dari 0,1 mg menit-1 cm-1 biasanya
menimbulkan masalah serius pada abrsorpsinya, sedangkan obat-obat yang
memiliki kecepatan disolusi intrinsik lebih besar dari 1,0 mg -1

cm-1, pada

umumnya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tetapi kecepatan


absorpsinya (Kaplan,1973).
Tahap selanjutnya adalah pembuatan kurva baku terhadap kedua bahan
baku Theophylline Monohidrat. Yang pertama dilakukan yaitu dibuat larutan
induk dengan konsentrasi 100 ppm dengan 50 mg masing-masing theophylin
monohidrat dan theophylin anhidrat yang dilarutkan di dalam labu ukur 100mL.
Pembuatan larutan dilarutkan didalam labu ukur 100 ml bertujuan agar
pembuatanya dilakukan secara kuantitatif dikarenakan labu ukur termasuk
kedalam alat ukur kuantitatif. Pembuatan kurva baku dilakukan dengan menguji
absorbansi dari masing-masing bahan baku pada panjang gelombang 271.6 nm.
Pada pembuatan kurva baku absorbansi yang dihasilkan sebaiknya diantara 0,2
sampai 0,8 sesuai dengan hukum Lambert-Beer karena pada absorbansi tersebut
dihasilkan maksimum, dan pada absorbansi tersebut dihasilkan konsentrasi yang
lebih akurat. Selain itu rentang absorbansi 0,2-0,8 merupakan batas ketelitian alat
yang optimum dan diharapkan dalam rentang absorbansi tersebut keterulangan
hasil lebih baik sehingga recovery mendekati 100%.
Setelah itu dilakukan uji disolusi terhadap sampel bahan baku obat
Theophylline Monohidrat yang masing-masing sudah di bentuk pellet dengan
bobot 80 mg. Pellet ditaruh pada penyangga dengan kondisi bagian atas pellet
telah dituangi lilin cair dan satu permukaan pellet lainnya dalam keadaan terbuka
yang langsung bersinggungan dengan medium disolusi sehingga diperoleh hasil
yang valid. Medium disolusi yang digunakan adalah HCl 0,1 N sebanyak 500 ml,
penggunaan HCl sebagai medium disolusi karena theophylin diabsorpsi didalam
lambung dan memiliki pH asam yang sesuai dengan HCl dan suhunya sudah
diatur dengan thermostat pada 370,5oC. Hal ini bertujuan agar suhu percobaan
sama dengan suhu tubuh sehingga bisa sesuai dengan keadaan yang sebenarnya

21

jika obat di dalam tubuh. Metode pengujian disolusi ini adalah metode dayung
yang dasarnya terdiri atas batang, dan daun pengaduk yang merupakan dayung
berputar dengan dimensi tertentu sesuai dengan radius bagian dalam labu dengan
dasar bundar (Siregar, 2010). Di dalam bak terdapat dua tabung, kedua tabung
diisi dengan medium disolusi HCl 0,1 N sebanyak 500 ml. Hal ini dianalogikan
terhadap suatu gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke
pori-pori dan bekerja sebagai barier pada interfase yang dapat menggangu proses
disolusi obat. Alat disolusi di atur dengan

perputaran 100 rpm karena

diumpamakan sebagai gerak peristaltik usus. Setelah 5 menit larutan dalam


tabung 2 diambil sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit yang sudah terpasang
membrane filter (penggunaan membrane filter ditujukan untuk menyaring bakteri
yang mungkin ada dalam larutan) dan dimasukkan ke dalam vial yang telah dicuci
dan dibersihkan. Dalam waktu yang bersamaan air dalam tabung 1 diambil 5 ml
dan dimasukkan ke dalam tabung 2, penggantian volume air yang diambil ini
dilakukan agar volume dalam tabung 2 tetap 500 ml, karena media dianalogikan
sebagai cairan tubuh. Kemudian dilakukan hal yang sama pada menit ke 10, 20,
30, 45 dan 60 menit. Pada pengambilan cuplikan sebaiknya tempat pengambilan
cuplikan di tempat yang sama supaya kondisi juga sama karena jika diambil di
tempat yang berbeda kemungkinan akan menghasilkan konsentrasi yang berbeda
pula sehingga pada pengukuran hasil yang diperoleh tidak akurat.
Masing-masing cuplikan yang telah diambil, satu persatu diuji nilai
absorbansinya menggunakan metode Spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 271,6 nm dengan menganalisis serapan cahaya oleh gugus kromofor
yang terdapat dalam struktur kimia Theophylline Monohidrat . Dari serapan
cahaya ini dapat diketahui nilai serapannya (absorbansi). Dengan demikian dapat
diketahui kadar Theophylline Monohidrat dengan cara memplot nilai absorbansi
yang diperoleh pada persamaan regresi linier dari masing-masing kurva baku.
Setelah pengukuran selesai kemudian didapatkan nilai absorbansi dan dihitung %
terlarut dari
ditentukan.

Theophylline monohidrat tersebut pada menit-menit yang

22

Theophylline Monohidrat mengandung kristal air didalamnya sedangkan


Theophylline Anhidrat tidak mempunyai struktur air di dalamnya. Dengan bentuk
monohidrat biasanya dapat membantu meningkatkan kecepatan disolusi karena
dengan adanya kandungan air maka dapat memperluas permukaannya ketika
kontak dengan medium disolusi. Luas permukaan yang besar maka porinya
banyak sehingga mempermudah proses kelarutannya. Oleh karena itulah
kecepatan disolusi Theophylline Monohidrat lebih cepat dibandingkan dengan
Theophylline Anhidrat (Kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas
permukaan obat dan kelarutannya).
Selain itu jika kita hitung melalui Grafik hubungan W/A (massa terlarut
persatuan luas) versus t (waktu) maka hasil pengeplotan akan diperoleh sebuah
garis lurus dari regresi linier t vs W/A yang merupakan slope, dan inilah yang
dinamakan laju disolusi intrinsik. Persamaan regresi linier untuk Theophylline
Monohidrat yaitu y =0.049x +0.1443 R = 0.9966 dan untuk Theophylline Anhidrat
yaitu y = 0.0577x + 0.1028 R = 0.9672 sehingga didapatkan harga slope yang
merupakan kecepatan disolusi intrinsik Theophyllin Monohidrat sebesar 0,049
mg/menit/cm2dan untuk Theophylline Anhidrat sebesar 0,0577 mg/menit/cm 2.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecepatan disolusi intrinsik dari Theophylline
Monohidrat lebih kecil dibandingkan dengan Theophylline Anhidrat. Dengan
hasil kecepatan disolusi intrinsik Theophylline Monohidrat dan Theophylline
Anhidrat lebih kecil dari 1,0 mg/menit/cm 2 menunjukkan bahwa pada umumnya
kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tetapi kecepatan absorbsinya.
Berdasarkan hasil dari perhitungan % disolusi dari theophyllin
monohidrat dan theophyllin anhidrat didapatkan bahwa % disolusi theophyllin
monohidrat lebih baik dalam proses disolusinya dikarenakan pada theophyllin
monohidrat telah mengandung gugus air sehingga pada saat di masukkan kedalam
media disolusinya air tidak lagi menyerap air untuk pecah. Sedangkan pada
theophyllin anhidrat yang tidak memiliki gugus air / Kristal air sehingga pada saat
dimasukan ke dalam media harus menyerap terlebih dahulu air lalu setelah itu
pecah dan mulai terdisolusi.

23

Secara teori jika pH dinaikkan, maka kelarutannya pun ikut meningkat,


karena selain terbentuk larutan jenuh obat dalam bentuk molekul yang tidak
terionkan (kelarutan intrinsic) juga terlarut obat yang berbentuk ion (Martin,dkk,
1990).
Selain bisa membandingkan kecepatan disolusi antara teofilin monohidrat
dan teofilin anhidrat dalam masing masing kecepatan disolusi baik itu yang
partikulat maupun yang intrinsik, dibandingkan juga dengan hasil praktikum yang
didapatkan antara kecepatan disolusi partikulat dengan kecepatan disolusi
intrinsik. Hasil yg diperoleh kecepatan disolusi intrinsik lebih baik dibandingkan
dengan kecepatan disolusi partikulat, jika dikaitkan dengan teori hal ini
disebabkan karena selain pada disolusi intrinsik yang luas permukaannya
ditentukan juga berkaitan dengan media disolusi yang digunakan. Pada disolusi
intrinsik media yang digunakan adalah HCl 0,1 N sedangkan pada disolusi
partikulat media yang digunakan adalah dapar posfat, dimana dalam keasamannya
HCl lebih asam daripada asam posfat sehingga kelarutan teofilin dalam HCl pun
lebih larut dan kecepatan disolusinya lebih baik.
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa % disolusi
theophyllin monohidrat lebih baik dibandingkan theophyllin anhidrat dan
kecepatan disolusi intrinsik lebih baik dibandingkan dengan kecepatan disolusi
partikulat dapat dilihat dari peningkatan absorbansi yang semakin lama waktu
disolusinya absorbansinya semakin meningkat sehingga % disolusinya juga
semakin meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

24

Ansel,C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Penerjemah
Farida Ibrahim. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Ansel HC, Loyd VA, Nicholas GP, Pharmaceutical dosage forms and Drug Delivery
System, 7th ed , Lipin Williams and wilkins, Baltimore, 1999, 106-111
Badan POM Republik Indonesia, Pedoman Uji Bioekivalensi, 2004.
Banakar Vu, Pharmaceutical Dissolution Testing, Marcel Dekker, New York, 1992,
192-194, 143-149, 172-176.
Martin. 1993. Praktikum Biofarmasi: Jakarta UI
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan. Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt.
Surabaya : Airlangga University Press.
Voigt, R.,1984, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soewandhi,
S.N., UGM Press, Yogyakarta Abdou . H.M . 1989. Disolution Bioavalibility
and Bioequivalen., Mac publishing Company , Pennsylvania, 53-72.

Anda mungkin juga menyukai