Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan
padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan, merupakan komponen
kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi
pada permukaan padat-cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar
muka liquid film-bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien
konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi
gerakan Brown dari molekul dalam liquid film.
b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model).
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan
dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak
dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal ini harus dijadikan
pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat-cair
sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang
relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).
c. Model Dankwert (Dankwert model).
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat
terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair
karena terjadi pusaran difusi secara acak (Martin et al, 1990).
Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau
senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Laju disolusi
suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam
medianya setiap waktu tertentu. Jadi disolusi menggambarkan kecepatan obat
larut dalam media disolusi. Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif
larut dari suatu bentuk sediaan utuh/pecahan/partikel yang berasal dari bentuk
sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari
sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu
di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang
dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses
pelarutan persatuan waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh
Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara matematik
sebagai berikut :
dc
=K . S .(CsC )
dt
(1)
Cs
Ct
(2)
Dengan J = fluks bahan obat, yaitu jumlah obat yang per satuan waktu
melalui suatu satuan luas dengan arah tegak lurus (mg cm-2 det -1)
D = Koefisiensi distribusi
c
x
= Gradient kadar
Pada jarak (x) = h cm dan permukaan bahan obat yang terdisolusi, akan
berlaku persamaan :
c
t
CCs
h
(3)
D(CCs)
h
(4)
(5)
CCs
=
D
V . dC
dt
D(CCs)
V .h.K
(6)
(7)
2. Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan
menaikkan nilai Cs (Ansel, 1989)
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
a. Sifat fisika kimia obat.
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas
permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju
disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan
obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada
umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika
pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat
bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil
dari pada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah
terdisolusi daripada bentuk kristal.
b. Faktor alat dan kondisi lingkungan.
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan
perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi
kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan
semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu
temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga
dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
c. Faktor formulasi.
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka
antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara
langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob
seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan
medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks
dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang
membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah
obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat
yang diabsorpsi (Martin et al,1990).
penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan
untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan
yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia; ketepatan yang rendah serta
besarnya penyimpangan pengukuran; pemakaian manusia sebagai obyek bagi
penelitian yang nonesensial; besarnya biaya yang diperlukan; dan keharusan
menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan
tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in
vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai
untuk mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari
faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan
mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk
menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran
dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju
penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara
klinis (Shargel, 1988).
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat
aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui
sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga
tentang konsistensi dari batch satu ke batch lainnya. Tes disolusi ini didesain
untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu
sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada
zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap
kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin
cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul,
serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau
sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam
media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi
sistemik (Voigt, 1995).
penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah
masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun
1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi
invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi
disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi
berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
a.
b.
f.
manufaktur.
Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat
Konsentrasi (PPM)
2
4
6
8
10
12
14
10
Absorbansi
0,247
0,369
0,45
0,56
0,639
0,74
0,859
Absorbansi
1
0.8
0.6
Absorbansi 0.4
0.2
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Konsentrasi (ppm)
Waktu (menit)
5
10
20
30
45
60
Absorbansi
0,112
0,070
0,062
0,056
0,052
0,045
ppm
0,905
1,755
1,917
2,038
2,119
2,261
Mg
terdisolusi
0,452
0,878
0,959
1,019
1,060
1,131
Faktor
koreksi
0,000
0,005
0,009
0,010
0,010
0,011
Mg terdisolusi setelah
koreksi
0,452
0,882
0,967
1,029
1,070
1,141
11
%
terdisolusi
0,452
0,882
0,967
1,029
1,070
1,141
Waktu (menit)
5
10
20
30
45
60
Absorbansi
0,105
0,062
0,048
0,049
0,047
0,050
ppm
1,047
1,917
2,200
2,180
2,221
2,160
Mg
terdisolusi
0,523
0,959
1,100
1,090
1,110
1,080
Faktor
koreksi
0,000
0,005
0,010
0,011
0,011
0,011
Mg terdisolusi setelah
koreksi
0,523
0,964
1,110
1,101
1,121
1,091
%
terdisolusi
0,523
0,964
1,110
1,101
1,121
1,091
Waktu (menit)
5
10
20
30
45
60
Absorbansi
0,114
0,075
0,062
0,054
0,049
0,061
ppm
0,864
1,654
1,917
2,079
2,180
1,937
Mg
terdisolusi
0,432
0,827
Faktor
koreksi
0,000
0,004
Mg terdisolusi setelah
koreksi
0,432
0,831
12
% disolusi
0,432
0,831
0,959
1,039
1,090
0,969
0,008
0,010
0,010
0,011
0,967
1,049
1,100
0,980
0,967
1,049
1,100
0,980
Waktu (menit)
5
10
20
30
45
60
Absorbansi
0,105
0,052
0,050
0,047
0,045
0,063
ppm
1,047
2,119
2,160
2,221
2,261
1,897
Mg
terdisolusi
0,523
1,060
1,080
1,110
1,131
0,948
Faktor
koreksi
0,000
0,005
0,011
0,011
0,011
0,011
Mg terdisolusi setelah
koreksi
0,523
1,065
1,091
1,121
1,142
0,960
% disolusi
0,523
1,065
1,091
1,121
1,142
0,960
Waktu (menit)
5
10
20
30
45
60
Teofilin Anhidrat
(%)
0.478
0.923
0.948
1.039
1.029
1.065
1.085
1.096
1.121
1.116
0.970
13
0.800
% terdisolusi 0.600
0.400
0.200
0.000
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu(menit)
7. Pembahasan
14
15
16
17
9. Daftar Pustaka
Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Gaya Baru.
Jakarta.
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat.
Penerjemah Farida Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia
Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan.
18