Anda di halaman 1dari 18

PERCOBAAN VI

KECEPATAN DISOLUSI

1.1 DASAR TEORI

Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat dapat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan.
Secara sederhana, disolusi merupakan proses dimana zat padat melarut secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat
padat dan pelarut. Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena
adanya pelepasan dan pemidahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat (Amir, 2007).
Maka kecepatan disolusi dapat dinyatakan sebagai jumlah zat dalam bentuk padatan yang terlarut dalam pelarut tertentu
sebagai fungsi dari waktu. Prinsip disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Proses pelarutan zat ini
dikembangkan oleh Noyes Whitney dalam bentuk persamaan berikut:

dM/ dt =DS / h (Cs-C)

keterangan :
dM/dt : kecepatan disolusi
D : koefisien difusi
S: luas permukaan zat
Cs : kelarutan zat padat
C : konsentrasi zat dalam larutan saat waktu t
h: tebal lapisan difusi

Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan sebagai berikut :


D = kT/ 6nr

Keterangan :
D: koefisien difusi
k: konstanta Boltzman (13,8 x 1024 J/atom K)
T: suhu
: jari-jari molekul
n: viskositas pelarut

Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama proses disolusi berlangsung pada permukaan
padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h. Bila konsentrasi zat
terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C)
dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi dapat disederhanakan menjadi:

dM /dt = DSCs / h
Ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam mana molekul molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi
dari C, sampai C. dibelakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi pencampuran dalam
larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang sama C pada seluruh bulk.

Pada antarmuka permukaan padat dan lapisan difusi, x=0, obat dalam bentuk padat berada dalam keseimbangan dengan obat
dalam lapisan difusi. Perbedaan, atau perubahan konsentrasi dengan berubahnya jarak untuk melewati lapisan difusi adalah
konstan, seperti terlihat oleh garis lurus yang mempunyai kemiringan (slop) menurun.

Dari persamaan tersebut di atas, tampak beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu
(Yelmida, 2015) :

1. Suhu:

Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga
koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut:

kT / 6ήr

Keterangan:

D :koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskosita pelarut
T : suhu

2. Viskositas

Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya
suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.

3. pH Pelarut

Kelarutan zat aktif yang bersifat asam lemah dan basa lemah pada umumnya dipengaruhi oleh pH pelarut. Suatu senyawa
asam lemah akan memiliki kelarutan. yang lebih besar pada pelarut dengan pH tinggi. Demikian dengan senyawa basa lemah
akan memiliki kelarutan yang lebih besar dalam pelarut dengan pH rendah. Berikut persamaan untuk masing-masing senyawa
adalah :

Untuk asam lemah :

Dc / dt =K.C.Cs [1+ Ka H+]

Jika (H") kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.

Untuk basa lemah :

dC / dt = K.S.Cs [1+ H+(Ka]


Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.

4. Kecepatan pengadukan

Kecepatan pengadukan mempengaruhi kecepatan disolusi beberapa jenis zat. Pada zat yang mudah menggumpal setelah
menjadi partikel, maka kecepatan pengadukan yang tinggi akan mencegah terjadinya aglomerat sehingga pengukuran
konsentrasi terdisolusi akan lebih baik. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan disolusi (h). Pengadukan
yang cepat akan memperkecil tebal lapisan difusi sehingga kecepatan disolusi akan meningkat.

5. Ukuran Partikel

Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat.

6. Polimorfisme

Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan
tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabilumumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga
kecepatan disolusinya besar.

7. Sifat Permukaan Zat


Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut,
tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya
bertambah.

Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain (Martin et al, 1990) :
a. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan
memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat
dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat
berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan
yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara
termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi
daripada bentuk kristal.

b. faktor alat dan kondisi lingkungan


Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan
pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin
cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta
pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

c. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan
mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung
dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan
antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat,
misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan
jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

Menurut (Isfilawati Z,2009) yang mempengaruhi kecepatan disolusi terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Faktor intrinsik obat

 Luas permukaan spesifik partikel


 Distribusi ukuran partikel
 Bentuk partikel
 Polimorfi
 Bentuk asam, basa, garam

b. Faktor lingkungan medium.

 Temperatur
 Viskositas cairan
 Konsentrasi partikel yang terdisolusi
 Kecepatan mengalirnya cairan
 Komposisi medium disolusi : pH, kekuatan ionisasi, tegangan permukaan.

c. Faktor teknologi

Perbedaan metode yang digunakan dalam produksi turut mempengaruhi disolusi obat. Demikian pula pengunaan bahan-bahan
tambahan dalam produksi. Contoh bahan tambahan yang sering digunakan pensuspensi yang akan menurunkan laju disolusi
karena kenaikan adalah kekentalan. Contoh lain adalah bahan pelicin yang bersifat hidrofob karena mampu menolak air
sehingga menurunkan laju disolusi obat.

Menurut Underwood dan Day (1981) Penentuan kecepatan disolusi suatu zat dapat dilakukan melalui metode :
1. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan eksak terhadap luas permukaan partikelnya.
Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlahzat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai.
2. Metode Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat
diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi.
Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi tipe dayung seperti yang
tercantum pada USP. Sedangkan untuk metode permukaan tetap, dapat digunakan alat seperti diusulkan oleh
Simonelli dkk sebagai berikut.
Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dapat
dilakukan pada beberapa tahap pembuatan suatu sediaan obat, antara lain (Martin et al, 1990) :

1. Tahap Pra Formulasi.


Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat dengan tujuan untuk memilih
sumber bahan baku dan memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut.
2. Tahap Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk memilih formula sediaan yang terbaik.
3. Tahap Produksi
Pada tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan kualitas sediaan obat yang diproduksi.
1.2 Cara Kerja
Pada percobaan penentuan kecepatan disolusi menggunakan menggunakan metode suspensi
A. Pembuatan dapar fosfat pH 5,8 ( FI Edisi III)
1. Pembuatan kalium fosfat monobasa 0,2 M dengan melarutkan 27,22 g kalium fosfat monobasa dalam
aqauadest dan di encerkan hingga 1000 ml
2. Ambil 50 ml kalium fosfat monobasa 0,2 M kemudian masukan kedalam labu takar volume 200 ml
3. Tambahakan 3,6 ml natrium hidroksida 0,2 M sampai tanda
4. Buat dapar fosfat pH 6,8 sebanyak 6 liter
B. Pembuatan kurva kalibrasi kadar paracetol dalam dapar fosfat Ph 5,8
1. Buat larutan induk paracetomol 100 ppm sebanyak 100 ml dalam dapar fosfat pH 5,8
2. Buat larutan dengan seri kadar 2,4,6,8,10,12 ppm sebanyak 100 ml yang di buat dari pengenceran larutan
induk.
3. Ukur absorbansi 6 larutan tersebut pada panjang gelombang maksimum 243 nm denga menggunakan dapar
fosfat pH 5,8 sebagai blanko
4. Tentukan persamaan kurva kalibrasi yang di gunakan menggunakan regresi linear (y= bx+a).
C. Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi zat
1. Isilah bejana disolusi dengan 900 ml dapar fosfat dan turunkan pengaduk alat tipe 2 sampai jarak antara
dasar bejana dengan baras bawah dayung 2,5 cm +- 2 mm.
2. Pasang thermostat pada suhu 30 derajat celcius. Jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai 30 derajat
celcius, masukan 500 mg serbuk paracetamol dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm.
3. Ambil larutan disolusidalam bejanana sebanyak 5 ml setiap selang waktu 1,5,10,15,20,25 dan 30 menit
setelah pengadukan.
4. Setiap selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 5 ml larutan pada fosfat
5. Tentukan serapan larutan disolusi dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang
maksimum 243 nm (blankodapar fosfat pH 5,8) dan lakukan pengenceran jika diperlukan.
6. Dengan menggunakan persamaan kurva baku tentukan kadar paracetomol yang terlaut dari setiap titik
pengambilan sampel
7. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan
karena penggantian larutan dengan apar fosfat.
8. Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40 dan 50 derajat celcius.
9. Tabelkan hasil yang diperoleh
10. 10. Buat kurva antara konsentasi paracetamol yang di peroleh (%) dengan waktu (menit) dalam satu grafik.
D. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecapatan disolusi
1. Isilah bejana disolusi denga 900 ml dapar fosfat dan turunkan ppengaduk alat tipe 2 sampai jarak antara
dasar chamber dengan batas bawah dayung 2,5 cm +_ 2 mm.
2. Pasang thermostat pada suhu 30 derajat celcius.
3. Jika suhu air di dalam bejanana sudah mencapai 30 dejat celcius, masukan 500 mg serbuk paracetamol dan
hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm.
4. Ambil larutan disolusi dari dalam bejana sebanyak 5 ml setiap selang waktu 1,5,10,15,20,25, dan 30 menit
setelah pengadukan.
5. Setiap selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 5 ml larutan dapar fosfat.
6. Tentukan serapan larutan dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang
maksimum 243 nm (blanko dapar fosfat pH 5,8) dan lakukan pengenceran jika diperukan.
7. Dengan menggunakan persamaan kurva baku tentukan kadar paracetamol yang terlarut dari setiap titik
penganbilan sampel.
8. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang di lakukan
karena penggantian larutan dengan dapar fosfat.
9. Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan pengadukan 100 dan 150 rpm.
10. Tabelkan hasil yang diperoleh
11. Buat kerva antara konsentrasi paracetamol yang diperoleh (%) dengan waktu (menit) dalam satu grafik.

1.3. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan

1.Alat uji disolusi

2. Spektrofotomer UV-Vis

3.Kuvet

4.Pipet volume

5.Neraca digital

6.Labu takar 10 ml,25 ml,50 ml

7. Gelas kimia
8.Kertas whatman
9.filter holder
10. Corong
11.Tabung reaksi

Bahan

Bahan yang digunakan


1.Serbuk Paracetamol
2.Etanol 96%
3. Dapat Phospat pH 5,8

1.4 PEMBAHSAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan uji kecepatan disolusi yang bertujuan untuk menentukan kecepatan diso
lusi suatu zat, menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu
zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu suhu, viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisme, dan sifat permukaan zat (Tim
Penyusun, 2009). Pada praktikum ini, faktor yang diperhatikan dalam uji kecepatan disolusi adalah faktor pengadukan dan
faktor suhu.

Dalam pratikum ini metode yang digunakan adalah metode penguapan pelarut. Prosesnya dilakukan dengan cara penyalut
dilarutkan dengan suatu pelarut yang mudah menguap, diikuti dengan penambahan bahan berkhasiat. Dengan pengadukan,
campuran bahan penyalut dan bahan inti terdispersi dalam cairan pembawa sehingga mendapatkan ukuran mikrokapsul
yang sesuai. Dan untuk tahap terakhir dilakukan penguapan pelarut untuk polimer (Benita, 1991).

Sebagai bahan aktif digunakan parasetamol yang berkhasiat sebagai analgetik dan antipiretik dengan 4- acetaminofenol,
tetapi tidak bersifat antiradang. Obat ini dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman, juga untuk pengobatan mandiri.
waktu paruh dalam plasma antara 1-3 jam. sehingga frekuensi pemberiannya 3-4 kali sehari sering kurang efektif karena
banyak pasien yang sering lupa minum obat, sehingga penelitian ini dibuat sedian lepas lambat dengan tujuan
mempertahankan kadar terapetik obat dalam darah atau jaringan selama waktu yang diperpanjang. Disamping
memperkecil efek samping yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh fluktuasi kadar obat dalam plasma (Ganiswara,
1995).

Parasetamol agak sukar larut dalam air tetapi diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Parasetamol bekerja
dengan cara menghambat sintesa prostaglandin sehingga dapat mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri serta
menurunkan suhu badan pada keadaan demam (Mutschler, 1991).

Penambahan matriks hidrofilik dilakukan untuk memperlambat pelepasan zat aktifnya. Dalam hal ini matriks hidrofilik
akan mengembang dan mengalami erosi. Kedua proses ini akan mengontrol pelepasan obat. Matriks yang ditambahkan
dalam penelitian ini yaitu natrium karboksimetil selulosa (NaCMC), merupakan suatu polimer hidrofilik yang mudah
terdispersi dalam air membentuk larutan koloidal dan sistem ini mampu mengembang diikuti oleh erosi dari bentuk gel
sehingga obat dapat terdisolusi dalam media cair. Jika kontak dengan air, maka akan terbentuk lapisan matriks terhidrasi.
Lapisan ini bagian luarnya akan mengalami erosi sehingga menjadi terlarut (Voight, 1994).

Dalam pembuatan mikrokapsul dengan metoda penguapan pelarut, proses terbentuknya mikrokapsul dimulai dengan
memisahnya emulsi tetesan fase terdispersi dalam fase pembawa membentuk droplet kecil. Apa bila pengadukan
dihentikan maka akan terlihat mikrokapsul yang terbentuk turun kedasar wadah (Sutriyo. et al., 2004).

Untuk membuat sediaan lepas lambat diperlukan penambahan penyalut yang dapat memperlambat pelepasan zat aktifnya.
NaCMC dapat digunakan untuk memperlambat pelepasan zat aktif dan berpengaruh terhadap sifat fisik tablet parasetamol.
Disamping itu keuntungan dari polimer hidrofilik ini adalah sederhana, relative murah dan aman, mampu memuat dosis
dalam jumlah yang besar dan mudah diproduksi (Sutriyo. et al., 2004).
Untuk membuat sediaan lepas lambat diperlukan penambahan penyalut yang dapat memperlambat pelepasan zat aktifnya.
NaCMC dapat digunakan untuk memperlambat pelepasan zat aktif dan berpengaruh terhadap sifat fisik tablet parasetamol.
Disamping itu keuntungan dari polimer hidrofilik ini adalah sederhana, relative murah dan aman, mampu memuat dosis
dalam jumlah yang besar dan mudah diproduksi (Sutriyo. et al., 2004).

Pemeriksaan bahan baku dan bahan tambahan dilakukan menurut persyaratan yang tercantum dalam Farmakope Indonesia
edisi III dan IV, meliputi pemerian, kelarutan, susut pengeringan dan penetapan kadar. setelah dilakukan pengamatan
secara umum memenuhi persyaratan. Seperti susut pengeringan dalam Depkes 1995 tidak lebih dari 0,5% berdasarkan
pengamatan yang dilakukan didapatkan 0,34%, ini masih termasuk dalam persyaratan. Begitu juga pada penetapan kadar
persyaratan menurut Farmakope Indonesia 98.0 % - 101,0% dan dari percobaan didapatkan 100, 47 %, jadi masih
termasuk juga dalam persyaratan.

Penetapan kadar zat aktif dalam mikrokapsul Parasetamol dilakukan menurut prosedur yang tertera pada Farmakope
Indonesia Edisi IV. yaitu menggunakan spektrofotometer UV dengan medium aquadest. Sebelum dilakukan penetapan
kadar, terlebih dahulu dilakukan penentuan panjang gelombang serapan maksimum parasetamol dalam medium aquadest,
dengan cara melarutkan 25 mg parasetamol dalam 500 mL aquadest sehingga diperoleh konsentrasinya 0,05 mg/mL.
Kemudian dibuat larutan dengan konsentrasi 12 µg/mL. dari larutan induk, dan ukur serapanya pada panjang gelombang
200-400 nm dengan Spektrovotometer UV. Panjang gelombang serapan maksimum yang didapat adalah 243,5 nm, ini
sedikit berbeda dari panjang gelombang serapan maksimum yang tercantum dalam literatur yaitu 244 nm (Depkes,
1995), tapi perbedaan ini masih memenuhi persyaratan. Setelah itu dibuat kurva kalibrasi diperoleh dengan cara membuat
larutan parasetamol dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10,dan 12 µg/mL dan diukur serapanya pada panjang gelombang
maksimum yang didapat. Persamaan garis yang didapat adalah y = 0.03109 + 0,06344x dengan nilai regresi r = 0.99973.
Nilai yang didapat digunakan untuk menghitung persen kadar parasetamol yang ada dalam mikrokapsul parasetamol.
Dapat di lihat bentuk mikrokapsul parasetamol yang dihasilkan mendekati bulat (sferis), karena penyalut yang digunakan
sebagai pembentuk dinding mikrokapsul dapat mengelilingi inti dengan baik (Sutriyo, et al. 2004).

Penutup
Kesimpulan
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan
dan pemidahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat (Amir, 2007).
Maka kecepatan disolusi dapat dinyatakan sebagai jumlah zat dalam bentuk padatan yang terlarut dalam pelarut tertentu
sebagai fungsi dari waktu. Prinsip disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. dilakukan uji
kecepatan disolusi yang bertujuan untuk menentukan kecepatan diso
lusi suatu zat, menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu
zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu suhu, viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisme, dan sifat permukaan zat
Saran
Perlu dilakukan penelitian tentang kemampuan obat larut dalam tubuh

DAFTAR PUSTAKA

Amir, S., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi kelima, Gaya Baru, Jakarta.
Benita, S. 1991. Microencapsulation Methods and Industrial Application (1³Ed.). New York: Marcel Dekker Inc.

Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alami Underwood, A. L, dan Day, R. A. 1981. Analisa Kimia
Kuantitatif Edisi Keempat. Surabaya: Penerbit Erlangga

Ganiswarna, S., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 271-288 dan 800-810, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V, 88, Penerbit ITB, Bandung.

Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Martin, Alfred et al.
1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

Sutriyo, Djajadisastra, J. & Novitasari, A. 2004. Mikroenkapsulasi propa-nolol hidroklorida dengan penyalut etil selulosa
menggunakan metode penguapan pelarut. Majalah Ilmu Kefarmasian 1: 193-200.

Simonelli, A.P., Mehta, S.C., dan Higuchi, W.1. (1970),. Dissolution Rates of High Energy Polyvinylpyrrolidone(PVP) -
Sulphathiazole Coprecipitates. J. Pharm. Sci. 58: 538-549.

Tim Penyusun. 2009. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisika. Unversitas Islam Bandung: Program studi

Voigt R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi (Edisi V). Penerjemah Soendari Noerono. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Zikri, A., A. Amri., Zultiniar dan Yelmida. 2015. “Sintesa Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dari Cangkang
Kerang Darah (Anadara granonsa) dengan Variasi Jenis Asam dan Waktu Karbonasi”. JOM FTEKNIK.
Vol. 2 (2) : 1-6.

Anda mungkin juga menyukai