Anda di halaman 1dari 30

Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H

Disolusi /2019

Modul 6
KECEPATAN DISOLUSI
I. Prinsip Percobaan
Penentuan disolusi dari zat aktif asam salisilat pada suhu kamar
30oC, 37 oC dan 45oC dengan kecepatan pengadukan 50, 100, dan 150 rpm
dengan cara penentuan menggunakan metode titrasi menggunakan larutan
baku NaOH 0,05 N yang ditandai dengan perubahan warna dari tidak
berwarna menjadi merah muda dengan bantuan indikator fenolftalein.

II. Tujuan Percobaan


Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu,
untuk :
1. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi
suatu zat

2. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat

3. Menggunakan alat penentu kecepatan disolusi

III. Teori Dasar


Istilah kelarutan dalam pengertian umum kadang-kadang perlu
digunakan, tanpa mengindahkan perubahan kimia yang mungkin terjadi
pada pelarut tersebut. Pernyataan kelarutan zat dalam bagian tertentu
pelarut adalah kelarutan pada suhu 20 derajat dan kecuali dinyatakan lain
menunjukan bahwa, 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair
larut dalam volume tertentu pelarut (Arief, 1997).
Pernyataan kelarutan yang tidak disertai angka adalah kelarutan
dalam suhu kamar. Kecuali dinyatakan lain, zat jika dilarutkan boleh
menunjukan sedikit kotoran mekanik seperti bagian kertas saring, serat
dan butiran debu. Pernyataan bagian dalam kelarutan berarti bahwa 1 g zat
padat atau 1 ml zat cair dalam sejumlah ml pelarut. Jika kelarutan zat tidak

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 1 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

diketahui dengan pasti, kelarutanya dapat ditunjukan dengan istilah


berikut:

Istilah Kelarutan Jumlah Pelarut yang diperlukan


Sangat Mudah Larut Kurang dari 1 bagian
Mudah Larut 1 Sampai 10
Larut 10 Sampai 30
Agak Sukar Larut 30 Sampai 100
Sukar Larut 100 Sampai 1.000
Sangat Sukar Larut 1.000 Sampai 10.000
Praktis Tidak Larut Lebih sampai 10.000
(Farmakope III)
3.1 Kelarutan
Kelarutan adalah kapasitas sebuah zat terlarut untuk larut dalam
pelarut murni. Atau lebih tepatnya batas maksimal zat terlarut yang dapat
terlarut dalam larutan, pada kondisi lingkungan tertentu. Kelarutan suatu
zat adalah proporsi relatif dalam suatu campuran yang jenuh pada padatan
suatu zat tersebut pada suhu dan tekanan tertentu. Besarnya kelarutan
suatu zat dipengaruhi oleh beberapa faktor,antara lain sebagai berikut:
1. Jenis pelarut
a. Senyawa polar (mempunyai kutub muatan) akan mudah larut dalam
senyawa polar.Misalnya gula, NaCl, alkohol, dan semua asam
merupakan senyawa polar.
b. Senyawa non polar akan mudah larut dalam senyawa non
polar,misalnya lemak mudah larut dalam minyak.Senyawa non
polar umumnya tidak larut dalam senyawa polar,misalnya NaCl
tidak larut dalam minyak tanah.
2. Suhu
Kelarutan zat padat dalam air semakin tinggi bila suhunya
dinaikkan.Adanya panas (kalor) mengakibatkan semakin renggangnya
jarak antara molekul zat padat tersebut. Merenggangnya jarak antara
molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar molekul tersebut
menjadi lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-molekul

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 2 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

air. Disolusi merupakan proses ketika suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasilkan suatu larutan atau dengan kata lain proses saat zat
padat melarut. Maka kecepatan disolusi dapat dinyatakan sebagai jumlah
zat dalam bentuk padatan yang terlarut dalam pelarut tertentu sebagai
fungsi dari waktu. Prinsip disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat
padat dengan pelarut. Proses pelarutan zat ini dikembangkan oleh Noyes
Whitney dalam bentuk persamaan berikut :
dM DS
= (Cs-C)
dt h
dM/dt : kecepatan disolusi
D : koefisien difusi
S : luas permukaan zat
Cs : kelarutan zat padat
C : konsentrasi zat dalam larutan saat waktu t
h : tebal lapisan difusi
Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan sebagai
berikut :
kT
D=
6π r
D : koefisien difusi
k : konstanta Boltzman (13,8 x 10 -24 J/atom K)
T : suhu
r : jari-jari molekul
η : viskositas pelarut
Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa
selama proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk
suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan
ketebalan h. Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih
kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka
harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan
disolusi dapat disederhanakan menjadi :

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 3 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

dM DSCs
=
dt h
Ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam
mana molekul-molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari Cs
sampai C. dibelakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang
lebih besar dari h, terjadi pencampuran dalam larutan, dan obat terdapat
pada konsentrasi yang sama C pada seluruh bulk (Alache. 1993).
Pada antarmuka permukaan padat dan lapisan difusi, x=0, obat
dalam bentuk padat berada dalam keseimbangan dengan obat dalam
lapisan difusi. Perbedaan, atau perubahan konsentrasi dengan berubahnya
jarak untuk melewati lapisan difusi adalah konstan, seperti terlihat oleh
garis lurus yang mempunyai kemiringan (slop) menurun.
Dari persamaan tersebut di atas, tampak beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu :
1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu
zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan
berikut :
kT
D=
6π r
Keterangan :
D : koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskosita pelarut
T : suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi
suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga
menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.
3. pH Pelarut

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 4 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

Kelarutan zat aktif yang bersifat asam lemah dan basa lemah pada
umumnya dipengaruhi oleh pH pelarut. Suatu senyawa asam lemah akan
memiliki kelarutan yang lebih besar pada pelarut dengan pH tinggi.
Demikian dengan senyawa basa lemah akan memiliki kelarutan yang lebih
besar dalam pelarut dengan pH rendah. Berikut persamaan untuk masing-
masing senyawa adalah :
dc
Asam Lemah = = K.C.Cs ¿
dt
Jika (H+) kecil atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
dc
Basa Lemah = = K.C.Cs ¿
dt
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
4. Kecepatan pengadukan
Kecepatan pengadukan mempengaruhi kecepatan disolusi beberapa
jenis zat. Pada zat yang mudah menggumpal setelah menjadi partikel,
maka kecepatan pengadukan yang tinggi akan mencegah terjadinya
aglomerat ehingga pengukuran konsentrasi terdisolusi akan lebih baik.
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan disolusi (h).
Pengadukan yang cepat akan memperkecil tebal lapisan difusi sehingga
kecepatan disolusi akan meningkat.
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif
menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat.
6. Polimorfisme
suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang
berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada
bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar.
7. Sifat Permukaan Zat

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 5 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat


hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan
antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah
terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah (Devussaques, 1993).
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor,
antara lain :
a. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi.
Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran
partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada
permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju
disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari
pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk
suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang
berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk
kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil
daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih
mudah terdisolusi daripada bentuk Kristal.
b. Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan
menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan
akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan
maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan
kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari
medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan
pelarutan obat.
c. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat
dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi
tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat,
ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 6 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat


menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa
bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat,
misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks
tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi
menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang
diabsorpsi.
Menurut sumber lain, yang mempengaruhi kecepatan disolusi
terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Faktor intrinsik obat
a. Luas permukaan spesifik partikel
b. Distribusi ukuran partikel
c. Bentuk partikel
d. Polimorfi
e. Bentuk asam, basa, garam
2. Faktor lingkungan medium
a. Temperatur
b. Viskositas cairan
c. Konsentrasi partikel yang terdisolusi
d. Kecepatan mengalirnya cairan
e. Komposisi medium disolusi : pH, kekuatan ionisasi, tegangan
permukaan.
3. Faktor teknologi
Perbedaan metode yang digunakan dalam produksi turut
mempengaruhi disolusi obat. Demikian pula pengunaan bahan-bahan
tambahan dalam produksi. Contoh bahan tambahan yang sering digunakan
pensuspensi yang akan menurunkan laju disolusi karena kenaikan adalah
kekentalan. Contoh lain adalah bahan pelicin yang bersifat hidrofob karena
mampu menolak air sehingga menurunkan laju disolusi obat (Isfilawati
Z,2009).
Penentuan kecepatan disolusi suatu zat dapat dilakukan melalui metode :

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 7 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

1. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan
eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-
waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang
sesuai.
2. Metode Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya
sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan.
Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan
seperti pada metode suspensi.
Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan
menggunakan alat uji disolusi tipe dayung.
Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan disolusi suatu zat
perlu dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi absorbsi obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan
disolusi suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan
suatu sediaan obat, antara lain :
1. Tahap Pra Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap
bahan baku obat dengan tujuan untuk memilih sumber bahan baku dan
memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut.
2. Tahap Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk
memilih formula sediaan yang terbaik.
3. Tahap Produksi
tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan
kualitas sediaan obat yang diproduksi.
3.2 Titrasi Asam Basa
Titrasi adalah teknik laboratorium kimia dasar untuk analisis
kuantitatif zat dengan konsentrasi yang tidak diketahui dengan
menggunakan larutan standar dengan konsentrasi yang diketahui. Zat

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 8 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

dengan konsentrasi yang tidak diketahui dan larutan standarnya masing-


masing disebut analit dan titran. Asam didefinisikan sebagai senyawa yang
mengandung Hidrogen yang bereaksi dengan basa. Basa adalah senyawa
yang mengandung  ion OH– atau menghasilkan OH– ketika bereaksi
dengan air. Basa bereaksi dengan asam untuk menghasilkan garam dan
air (Golberg, 2002).
Teori Brownsted memperluas definisi asam dan basa dengan
menjelaskan lebih banyak mengenai suatu larutan kimia. Misalnya, teori
Bronsted menjelaskan lebih banyak mengenai suatu larutan amonium
klorida bersifat asam dan larutan natrium asetat bersifat basa. Dalam teori
Bronsted, asam didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat memberikan
proton  kepada zat yang lain . Dalam hali ini , proton adalah atom hidrogen
yang kehilangan elektronnya. Basa adalah zat yang menerima proton dari
zat lain. Reaksi asam dan basa menghasilkan menghasilkan asam dan basa
yang lain (Golberg, 2002).
Menurut Arrhenius asam adalah zat yang bila dilarutkan dalam air
terionisasi menghasilkan ion H+ dalam larutannya. Sedangkan basa adalah
zat yang bila dilarutkan dalam air terionisasi menghasilkan ion
OH– (Anonim, 2008).
Menurut lewis, asam adalah suatu spesies yang dapat menerima
pasangan elektron bebas (akseptor pasangan elektron) dalam suatu reaksi
kimia. Basa adalah suatu spesies yang dapat memberikan pasangan
elektron bebas (donor pasangan elektron).
Dalam analisis kuantitatif, indikator digunakan untuk menentukan
titik ekuivalen dari titrasi asam-basa. Karena indikator mempunyai interval
pH yang berbeda-beda dan karena titik ekuivalen dari titrasi asam-basa
berubah-ubah sesuai dengan kekuatan relatif asam basanya, maka
pemilihan indikator merupakan hal terpenting (Sukardjo, 1984).
Titik ekuivalen titrasi ini dapat dicapai setelah penambahan 100 ml
basa, pada saat ini pH larutan besarnya 7. Titik ekuivalen ini disebut titik
akhir teoritis. Titik akhir yang dinyatakan oleh indikator disebut titik akhir

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 9 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

titrasi. Indikator yang dipakai harus dipilih agar titik akhir titrasi dan
teoritis berhimpit atau sangat berdekatan. Untuk itu harus dipilih indikator
yang memiliki trayek perubahan warnanya di sekitar titik akhir
teoritis (Sukardjo, 1984).
Titrasi asidimetri dan alkalimetri menyangkut reaksi dengan asam
dan basa diantaranya : (1) titrasi yang melibatkan asam kuat dan basa kuat,
(2) titrasi yang melibatkan asam lemah dan basa kuat, dan (3) titrasi yang
melibatkan asam kuat dan basa leamah. Titrasi asam lemah dan basa
lemah dirumitkan oleh terhidrolisisnya kation dan anion dari garam yang
terbentuk (Raymond. 2004).
Titik ekuivalen, sebagaimana kita ketahui, ialah titik pada saat
sajumlah mol ion OH– yang ditambahkan ke larutan sama dengan jumlah
mol ion H+ yang semula ada. Jadi untuk menentukan titik ekuivalen dalam
suatu titrasi, kita harus mengetahui dengan tepat berapa volume basa yang
ditambahkan dari buret ke asam dalam labu. Salah satu cara untuk
mencapai tujuan ini adalah dengan menambahkan beberapa tetes indikator
asam-basa ke larutan asam saat awal titrasi (Raymond. 2004).
Indikator biasanya ialah suatu asam atau basa organik lemah yang
menunjukkan warna yang sangat berbeda antara bentuk tidak terionisasi
dan bentuk terionisasinya. Kedua bentuk ini berikatan dengan pH larutan
yang melarutkan indikator tersebut (Raymond. 2004).
Titik akhir titrasi terjadi bila indikator berubah warna. Namun,
tidak semua indikator berubah warna pada pH yang sama, jadi pilihan
indikator untuk titrasi tertentu bergantung pada sifat asam dan basa yang
digunakan dalam titrasi (dengan kata lain apkah mereka kuat atau lemah).
Dengan demikian memilih indikator yang tepat untuk titrasi, kita dapat
menggunakan titik akhir untuk menentukan titik ekuivalen (Raymond.
2004).
3.3 Monografi Zat Aktif
Struktur Asam Salisilat

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 10 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

Gambar 3.3 Struktur molekul asam salisilat (Gringauz, 1997)


Pemerian : Hablur putih, biasanya berbentuk jarum halus atau
serbuk hablur halus putih, rasa agak manis, tajam dan stabil di udara.
Bentuk sintetis warna putih dan tidak berbau. Jika dibuat dari metal
salisilat alami dapat berwarna kekuningan atau merah jambu dan berbau
lemah mirip mentol.
Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam benzene, mudah larut
dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih, agak sukar larut
dalam kloroform.
Penetapan kadar : Timbang saksam lebih kurang 500 mg,
larutkan dalam 25 ml etanol encer P yang sudah dinetralkan dengan
natrium hidroksida 0,1 N, tambahkan fenolftalein LP dan titrasi dengan
natrium hidroksida 0,1 N LV.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Khasiat dan penggunaan : Sebagai obat analgesik (Farmakope edisi III).

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 11 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

IV. Prosedur Kerja


A. Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Disolusi Zat

Bejana diisi dengan 900ml air suling dan


dipasangi termometer pada suhu 30⁰

Saat suhu air mencapai 30⁰C dimasukan 2 gram asam


salisilat dan dihidupkan motor penggerak dengan
kecepatan 50 rpm.

Bejana diambil 20ml air dari selang waktu 1,5,10,15


dan 20 menit setelah pengadukan. Setiap selesai
pengambilan digantikan air dengan 20ml air suling.

Kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel


ditentukan dengan metode titrasi asam basa
menggunakan NaOH 0,05N dan 3 tetes indikator
fenolftalein, faktor koreksi asam salisilat dihitung
pada setiap selang waktunya karena pergantian larutan
dengan air suling.

Untuk melihat pengaruh suhu dilakukan juga pada


suhu 37⁰C dan 45⁰C. Hasil yang diperoleh
ditabelkan dan dibuatkan kurva asam salisilat
dengan waktu.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 12 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

B. Pengaruh Kecepatan Pengadukan Terhadap Kecepatan Disolusi Zat

Bejana diisi dengan 900ml air suling dan


dipasangi termometer pada suhu 30⁰C

Saat suhu air mencapai 30⁰C dimasukan 2 gram asam


salisilat dan dihidupkan motor penggerak dengan
kecepatan 50 rpm.

Bejana diambil 20ml air dari selang waktu 1,5,10,15


dan 20 menit setelah pengadukan. Setiap selesai
pengambilan digantikan air dengan 20ml air suling.

Kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel


ditentukan dengan metode titrasi asam basa
menggunakan NaOH 0,05N dan 3 tetes indikator
fenolftalein, faktor koreksi asam salisilat dihitung
pada setiap selang waktunya karena pergantian larutan
dengan air suling.

Untuk melihat pengaruh kecepatan dilakukan juga


pada kecepatan pengadukan 100 dan 150 rpm.
Hasil yang diperoleh ditabelkan dan dibuat kurva
asam salisilat dengan waktu.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 13 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

IV. Data Pengamatan


IV.1 Perhitungan
a. Perhitungan Larutan NaOH 0,05 N (volume 250 mL)
g 1000
N= ×
BE V (mL)
g 1000
0,05 N = ×
40 250
g = 0,5 gram
b. Pengaruh Kecepatan Pengadukan
1. 50 rpm
 1 menit  10 menit
V0 = 0,0 mL V0 = 1,7 mL
Vt = 0,3 mL Vt = 3,1 mL
V2 = Vt – V0 V2 = Vt – V0
= 0,3 – 0,0 = 3,1 – 1,7
= 0,3 mL = 1,4 mL
V1×N1 = V2×N2 V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 0,3×0,05 20×N1 = 1,4×0,05
N1 = 0,75 × 10-3 N N1 = 3,5 × 10-3 N
 5 menit Vt = 5,1 mL
V0 = 0,3 mL V2 = Vt – V0
Vt = 1,7 mL = 5,1 – 3,1
V2 = Vt – V0 = 2,0 mL
= 1,7 – 0,3 V1×N1 = V2×N2
= 1,4 mL 20×N1 = 2,0×0,05
V1×N1 = V2×N2 N1 = 5 × 10-3 N
20×N1 = 1,4×0,05  1 menit
N1 = 3,5 × 10-3 N  20 menit
V0 = 5,1 mL
 15 menit Vt = 8,0 mL
V0 = 3,1 mL V2 = Vt – V0

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 14 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

= 8,0 – 5,1 Vt = 12,9 mL


= 2,9 mL V2 = Vt – V0
V1×N1 = V2×N2 = 12,9 – 10,6
20×N1 = 2,9×0,05 = 2,3 mL
N1 = 7,5 × 10-3 N V1×N1 = V2×N2
 10 menit 20×N1 = 2,3×0,05
V0 = 10,6 mL N1 = 5,75 × 10-3 N
2. 100 rpm = 15,5– 12,9
 1 menit = 2,6 mL
V0 = 8,0 mL V1×N1 = V2×N2
Vt = 9,4 mL 20×N1 = 2,6×0,05
V2 = Vt – V0 N1 = 6,5 × 10-3 N
= 8,0– 9,4  20 menit
= 1,4 mL V0 = 15,5 mL
V1×N1 = V2×N2 Vt = 18,4 mL
20×N1 = 1,4×0,05 V2 = Vt – V0
N1 = 3,5 × 10-3 N = 18,4– 15,5
 5 menit = 2,8 mL
V0 = 9,4 mL V1×N1 = V2×N2
Vt = 10,6 mL 20×N1 = 2,8×0,05
V2 = Vt – V0 N1 = 7 × 10-3 N
= 10,6 – 9,4
= 1,2 mL
V1×N1 = V2×N2 3. 150 rpm
20×N1 = 1,2×0,05  1 menit
N1 = 3 × 10-3 N V0 = 18,4 mL
Vt = 20,1 mL
 15 menit V2 = Vt – V0
V0 = 12,9 mL = 20,1 – 18,4
Vt = 15,5 mL = 1,8 mL
V2 = Vt – V0 V1×N1 = V2×N2

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 15 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

20×N1 = 1,8×0,05 V2 = Vt – V0
N1 = 4,5 × 10-3 N = 28,6 – 24,9
 15 menit = 3,7 mL
V0 = 24,9 mL V1×N1 = V2×N2
Vt = 28,6 mL 20×N1 = 3,7×0,05
N1 = 9,25 × 10-3
 20 menit
 5 menit V0 = 28,6 mL
V0 = 20,1 mL Vt = 32,7 mL
Vt = 22,2 mL V2 = Vt – V0
V2 = Vt – V0 = 32,7 – 28,6
= 22,2 – 20,1 = 4,1 mL
= 2,1 mL V1×N1 = V2×N2
V1×N1 = V2×N2 20×N1 = 4,1×0,05
20×N1 = 2,1×0,05 N1 = 10,25 × 10-3 N
N1 = 5,25 × 10-3 N
 10 menit
V0 = 22,2 mL
Vt = 24,9 mL
V2 = Vt – V0
= 22,2 – 24,9
= 2,7 mL
V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 2,7×0,05
N1 = 6,75 × 10-3 N
Faktor Koreksi Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kecepatan Disolusi
1. 50 rpm
N1´ = N1 = 0,75×10-3N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 16 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

20
= 3,5×10-3 + (0,75×10-3)
900
= 3,52×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 3,5×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3)
900
= 5,09×10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 5×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3 + 3,5×10-3)
900
= 5,17×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 7,25×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3 + 3,5×10-3 + 5×10-3)
900
= 7,53×10-3 N
2. 100 rpm
N1´ = N1 = 3,5×10-3N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 3×10-3 + (3,5×10-3)
900
= 3,08×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 5,75×10-3 + (3,5×10-3 + 3×10-3)
900
= 5,89×10-3 N

20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 6,5×10-3 + (3,5×10-3 + 3×10-3 + 5,75×10-3)
900

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 17 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

= 6,77×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 7×10-3 + (3,5×10-3 + 3×10-3 + 5,75×10-3 + 6,5×10-3)
900
= 7,42×10-3 N
3. 150 rpm
N1´ = N1 = 4,5×10-3N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 5,25×10-3 + (4,5×10-3)
900
= 5,35×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 6,75×10-3 + (4,5×10-3 + 5,25×10-3)
900
= 6,97×10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 9,25×10-3 + (4,5×10-3 + 5,25×10-3 + 6,75×10-3)
900
= 9,62×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 10,25×10-3 + (4,5×10-3 + 5,25×10-3 + 6,75×10-3 + 9,25×10-3)
900
= 10,82×10-3 N
a. Pengaruh Suhu
1. 30°C
 1 menit = 0,3 – 0,0
V0 = 0,0 mL = 0,3 mL
Vt = 0,3 mL V1×N1 = V2×N2
V2 = Vt – V0 20×N1 = 0,3×0,05

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 18 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

N1 = 0,75 × 10-3 N = 5,1 – 3,1


 15 menit = 2,0 mL
V0 = 3,1 mL V1×N1 = V2×N2
Vt = 5,1 mL 20×N1 = 2,0×0,05
V2 = Vt – V0 N1 = 5 × 10-3 N
 5 menit  20 menit
V0 = 0,3 mL V0 = 5,1 mL
Vt = 1,7 mL Vt = 8,0 mL
V2 = Vt – V0 V2 = Vt – V0
= 1,7 – 0,3 = 8,0 – 5,1
= 1,4 mL = 2,9 mL
V1×N1 = V2×N2 V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 1,4×0,05 20×N1 = 2,9×0,05
N1 = 3,5 × 10-3 N N1 = 7,5 × 10-3 N
 10 menit
V0 = 1,7 mL
Vt = 3,1 mL
V2 = Vt – V0
= 3,1 – 1,7
= 1,4 mL
V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 1,4×0,05
N1 = 3,5 × 10-3 N
2. 37°C
 1 menit 20×N1 = 0,6×0,05
V0 = 32,7 mL N1 = 1,5 × 10-3 N
Vt = 33,3 mL  15 menit
V2 = Vt – V0 V0 = 3,57 mL
= 32,7 – 33,3 Vt = 38,2 mL
= 0,6 mL V2 = Vt – V0
V1×N1 = V2×N2 = 38,2 – 35,7

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 19 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

= 2,5 mL 20×N1 = 2,5×0,05


V1×N1 = V2×N2 N1 = 5× 10-3 N
 5 menit  20 menit
V0 = 33,3 mL V0 = 38,2 mL
Vt = 34,1 mL Vt = 43,0 mL
V2 = Vt – V0 V2 = Vt – V0
= 33,3 – 34,1 = 38,2 – 43,0
= 0,8 mL = 4,8 mL
V1×N1 = V2×N2 V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 0,8×0,05 20×N1 = 4,8×0,05
N1 = 2 × 10-3 N N1 = 12 × 10-3 N
 10 menit
V0 = 34,1 mL
Vt = 35,7 mL
V2 = Vt – V0
= 35,7 – 34,1
= 1,6 mL
V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 1,6×0,05
N1 = 4 × 10-3 N

3. 40°C
 1 menit  15 menit
V0 = 0,0 mL V0 = 4,6 mL
Vt = 0,6 mL Vt = 8,0 mL
V2 = Vt – V0 V2 = Vt – V0
= 0,6 – 0,0 = 12,2 – 8,0
= 0,6 mL = 3,4 mL
V1×N1 = V2×N2 V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 0,6×0,05 20×N1 = 3,4×0,05
N1 = 1,5 × 10-3 N N1 = 8,5× 10-3 N

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 20 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

 5 menit  20 menit
V0 = 0,6 mL V0 = 8,0 mL
Vt = 1,8 mL Vt = 12,2 mL
V2 = Vt – V0 V2 = Vt – V0
= 1,8 – 0,6 = 12,2 – 8,0
= 1,2 mL = 4,2 mL
V1×N1 = V2×N2 V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 1,2×0,05 20×N1 = 4,2×0,05
N1 = 3 × 10-3 N N1 = 10,5 × 10-3 N
 10 menit
V0 = 1,8 mL
Vt = 4,6 mL
V2 = Vt – V0
= 4,6 – 1,8
= 2,8 mL
V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 2,8×0,05
N1 = 7 × 10-3 N

Faktor Koreksi Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Disolusi


1. 30°C
N1´ = N1 = 0,75×10-3N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 3,5×10-3 + (0,75×10-3)
900
= 3,52×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 3,5×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3)
900
= 5,09×10-3 N

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 21 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 5×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3 + 3,5×10-3)
900
= 5,17×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 7,25×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3 + 3,5×10-3 + 5×10-3)
900
= 7,53×10-3 N
2. 37°C
N1´ = N1 = 1,5×10-3N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 2×10-3 + (0,5×10-3)
900
= 2,03×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 4×10-3 + (0,5×10-3 + 10×10-3)
900
= 4,08×10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 6,25×10-3 + (0,5×10-3 + 10×10-3 + 3,75×10-3)
900
= 6,42×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 12×10-3 + (0,5×10-3 + 10×10-3 + 3,75×10-3 + 7,5×10-3)
900
= 12,31×10-3 N
3. 45°C
N1´ = N1 = 1,5 N

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 22 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 3×10-3 + (1,5×10-3)
900
= 3,03×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 7×10-3 + (1,5×10-3+ 3×10-3)
900
= 7,1×10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 8,5×10-3 + (1,5×10-3 + 3×10-3 + 7×10-3)
900
= 8,76×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 10,5×10-3 + (1,5×10-3 + 3×10-3 + 7×10-3 + 8,5×10-3)
900
= 10,94×10-3 N

V. Pembahasan
Pada praktikum kali ini bertujuan untuk untuk memahami
mengenai kecepatan disolusi suatu obat, termasuk cara-cara dalam
menentukan kecepatan disolusi suatu zat, menggunakan alat kecepatan
disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi suatu zat. Praktikum ini bermaksud untuk mengetahui
seberapa banyak konsentrasi dari asam salisilat yang diperoleh setiap
selang waktu pengenceran yang dilakukan dan mengetahui faktor koreksi
dari asam salisilat tersebut. Kecepatan disolusi adalah jumlah zat aktif

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 23 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

yang dikandung sediaan zat padat yang dapat larut ke dalam media pelarut
setiap satuan waktu.
Alat yang digunakan pada uji disolusi kali ini berbentuk dayung
yang terletak tepat di tengah-tengah media agar tidak terjadi turbulensi
aliran. Alat ini didalam tubuh manusia menggambarkan organ lambung
karena asam salisilat yang bersifat asam atau suatu obat yang bersifat asam
akan terionisasi pada pH basa dan perlu ketahui bahwa pada lambung pH
nya asam dan pada usus pHnya basa. Obat-obatan yang bersifat asam akan
terionisasi pada usus (basa), maka obat yang telah terionisasi ini akan sulit
menembus dinding usus yang sebagian besar komponennya adalah lipid/
zat non polar, maka obat-obatan asam ini lebih mudah diabsorpsi pada
lambung karena pada lambung pH-nya asam, sehingga obat tidak akan
terionisasi. Selain itu bukan hanya dilambung, karena suatu obat tidak
hanya diabsobsi di lambung. Dapat pula diabsobsi di rongga mulut, maka
untuk mengakalinya bila suatu obat diabsobsi si rongga mulut maka perlu
disesuaikan suhu dan pH dari suatu media.
Untuk penentuan kecepatan disolusi kali ini diggunakan metode
suspensi,dimana serbuk asam salisilat di masukkan ke dalam bejana yang
berisi air suling tanpa pengontrolan eksak terhadap luas permukaan
partikelnya. Sampai di ambil pada waktu tertentu dan kadar zat yang larut
di tentukan.
Pada percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi
karena air merupakan komponen paling besar yang berada di dalam tubuh
manusia, obat seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh, selain itu karena
mengingat kelarutan dari obat yang digunakan. Adapun volume dari
bejana yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu
gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-
pori dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu
disolusi obat. Dan juga merupakan kapasitas lambung. Serta dimaksudkan
untuk mengetahui kecepatan kelarutan asam salisilat di dalam tubuh.
Walaupun cairan yang ada di dalam bejana disolusi berupa air suling, tidak

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 24 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

sekompleks apa yang ada dalam cairan tubuh, tetapi hal ini merupakan
metode pendekatan yang telah dilakukan penelitian sebelumnya.
Dipipet asam salisilat didalam bejana sebanyak 20 mL. Pemipetan
larutan dilakukan pada waktu-waktu yang berbeda yaitu menit ke-5, 10,
15, dan 20. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pada menit ke berapa atau
kapan waktu optimal asam salisilat dapat terdisolusi dengan baik pada
medium pelarutnya. Saat larutan diambil, diusahakan pada bagian yang
sama dari cairan karena pemipetan yang dilakukan pada tempat yang
berbeda dapat mengakibatkan perbedaan kadar zat aktif yang sangat
besar.Setelah asam salisilat dalam bejana dipipet kemudian dimasukkan
kedalam erlenmeyer.
Kecepatan pengadukan mempengaruhi konsentrasi asam salisilat.
Terlihat bahwa konsentrasi asam salisilat semakin bertambah seiring
cepatnya proses pengadukan dalam selang waktu 1, 5, 10, 15 dan 20
menit. Semakin lama pengadukan,konsentrasi asam salisilat semakin
besar. Pada kecepatan 100 rpm di suhu 30oC, konsentrasi asam salisilat
juga semakin besar dengan semakin lamanya proses pengadukan. Begitu
juga dengan kecepatan 150 rpm, ini di karenakan kecepatan pengadukan
mampu mengurangi tebalnya lapisan difusi dengan cepat. Lapisan difusi
merupakan lapisan molekul air yang tidak dapat bergerak oleh danya
kekuatan adhesi dengan lapisan padatan sehingga semakin tebal lapisan
difusi, suatu zat akan lebih sukar larut. Kosentrasi asam salisilat pada 100
rpm mengalami peningkatan yang konstan karena waktu menjenuhkan
larutan lebih lambat namun pada 50 rpm konsentrasinya pada menit 15
dan 20 mulai mengalami peningkatan, hal ini dapat disebabkan karena laju
disolusi yang besar sehingga mempercepat tercapainya kondisi dimana
asam salisilat telah jenuh sehingga konsentrasi asam salisilat tidak
mengalami peningkatan. Serta dapat dipengaruhi oleh ketidaktelitian
praktikan dalam melihat titik akhir titrasi dari asam salisilat sehingga
menyebabkan volume NaOH menjadi turun dan konsentrasi asam salisilat
semakin turun.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 25 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

Setelah diambil sampel asam salisilat sebanyak 20 mL maka harus


ditambahkan kembali dengan air suling sebanyak 20 mL sebagai
penggantinya, hal ini diibaratkan dalam tubuh manusia, yang mana ketika
ada cairan yang keluar maka akan segera tergantikan. Tujuan ditambahkan
kembali dengan air suling untuk mempertahankan keadaan konstan dari
volume larutan. Karena apabila tidak digantikan pelarutnya, maka semakin
lama jumlahnya akan semakin berkurang dan akan mempengaruhi nilai
konsentrasi asam salisilat (konsentrasinya akan meningkat tajam).
Saat asam salisilat sebanyak 2 gram dimasukkan kedalam bejana yang
berisi air suling terjadi penumpukan atau tidak bercampur hal ini
disebabkan karena asam salisilat termasuk zat yang sukar larut dalam air,
dimana asam salisilat memiliki rumus molekul C7H6O3 yang artinya asam
salisilat sukar larut pada air yang merupakan pelarut polar dan benzena
yang merupakan pelarut nonpolar, tetapi mudah larut pada etanol dan eter
yang merupakan pelarut semi polar. Serta sukar larut pula dalam
kloroform. Sehingga, agar asam salisilat larut didalam air perlu lebih dari
100 mL pelarut untuk melarutkan asam salisilat.
Selanjutnya untuk menentukan penetapan kadar asam salisilat
dapat dilakukan dengan titrasi menggunakan metode asam basa, karena
titran atau sifat zat aktif yang digunakan yaitu asam salisilat yang berupa
asam. Jumlah relatif asam dan basa yang diperlukan untuk mencapai titik
ekivalen ditentukan oleh perbandingan asam (H+) dan basa (OH-) yang
bereaksi sehingga titrat atau titer yang digunakan untuk mentitrasi asam
salisilat yaitu NaOH untuk bereaksi dengan asam salisilat seluruhnya..
Sebelumnya dititrasi dengan NaOH, asam salisilat yang telah ditambahkan
dengan air suling dalam erlenmeyer di tetesi dengan indikator fenolftalein
yang merupakan salah satu indikator asam basa sintetik yang memiliki
rentang pH antara 8,00 – 10,0. Tujuan ditambahkannya indikator
fenolflatlein sebelum titrasi yaitu untuk menetapkan atau mengetahui titik
akhir titrasi atau titik ekuivalennya sehingga jika tahap ini diabaikan maka
titik akhir titrasi akan tercapai tetapi tidak dapat diketahui sampai dimana

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 26 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

proses titrasi tersebut akan berakhir. Penambahan fenolftalein pada


erlenmeyer perlu dilakukan jika sudah benar-benar siap melakukan titrasi
karena indikator fenolftalein sangat mudah untuk cepat bereaksi sehingga
akan mempengaruhi pH larutan.
Perubahan warna indikator disebabkan oleh perubahan struktur
fenolftalein dalam kondisi penambahan basa yang berlebih. Indikator
fenolftalein merupakan suatu asam diprotik dan tidak berwarna. Pada pH
dibawah 8,0 indikator ini akan tidak berwarna sedangkan pada larutan
dengan pH 8,0-10,0 akan berwarna merah muda sampai ungu. Adanya
perubahan warna indikator ini dapat terjadi karena adanya perbedaan
struktur molekul dan ionnya. Mula-mula berdisosiasi menjadi suatu bentuk
tidak berwarna dan kemudian dengan kehilangan hidrogen kedua, menjadi
ion dengan sistem terkonjugasi maka dapat dihasilkan warna merah muda.
Peningkatan suhu akan memperbesar harga koefisien disolusi sehingga
meningkatkan kecepatan disolusi, serta mengakibatkan peningkatan energi
kinetik baik pelarut ataupun zat terlarut. Untuk zat dalam padatan,
kenaikan suhu akan memperkecil kekuatan ikatan intermolekul sehingga
molekul padatan lebih mudah terbebaskan ke dalam larutan. Energi kinetik
zat pelarut yang semakin besar akan memperbesar kemungkinan tumbukan
dengan molekul zat padatan yang ada dipermukaan padatan. Tumbukan ini
dapat menimbulkan interaksi antara pelarut dan padatan, yaitu adanya
tarik-menarik. Gaya tarik-menarik ini bisa menyebabkan molekul dalam
padatan terbawa ke dalam larutan. Karena kemungkinan tumbukan
semakin tinggi akibat kenaikan suhu, penarikan molekul padatan menuju
larutan akan semakin tinggi intesitasnya.
Pada praktikum kali ini faktor-faktor yang akan diperhatikan
pengaruhnya dalam kecepatan disolusi adalah suhu dan kecepatan
pengadukan. Suhu yang akan digunakan dan dilihat pengaruhnya terhadap
kecepatan disolusi adalah 30⁰C, 37⁰C, dan 45⁰C. Sedangkan kecepatan
pengadukan yang akan digunakan dan dilihat pengaruhnya terhadap
kecepatan disolusi adalah 50 rpm, 100 rpm, dan 150 rpm.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 27 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

Berdasarkan pengamatan tentang pengaruh suhu terhadap


kecepatan disolusi yang telah dilakukan didapatkan hasil

Berdasarkan pengamatan tentang kecepatan pengadukan terhadap


kecepatan disolusi yang telah dilakukan didapatkan hasil

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 28 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

VI. Kesimpulan
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan
banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap waktu. Salah
satu faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat adalah faktor
kecepatan pengadukan dan suhu. Dari hasil praktikum yang telah
dilakukan adalah pada suhu 45⁰ dengan kecepatan rpm 50 telah
menghasilkan konsentrasi asam salisilat tertinggi karena suhu sangat
berpengaruh terhadap konsentrasi suatu zat. Pada suhu 30 oC dengan
kecepatan rpm 150 menyebabkan konsentrasi asam salisilat tinggi pula
karena semakin meningkat kecepatan pengadukan maka pengukuran
konsentrasi terdisolusi akan semakin baik. Karena pengadukan yang
semakin cepat memperbesar laju disolusi. Pada pengadukan dengan
kecepatan rpm 150 disuhu 30 oC konsentrasi asam salisilat mengalami
peningkatan relatif tinggi pada menit ke 20 karena ada kemungkinan
larutan asam salisilat yang terbentuk telah jenuh. Sedangkan pada rpm 50
suhu 45 oC peningkatan konsentrasi asam salisilat yang relatif tinggi pada
menit ke 5.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 29 dari 52
Laporan Praktikum Farmasi Fisika Kecepatan 1441H
Disolusi /2019

VII. Daftar Pustaka


Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. UGM Press. Yogyakarta.
Alache. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasetika, Edisi kedua. Surabaya: Airlangga
University Press.
Chang Raymond.2004.  Kimia Dasar, Edisi Ketiga.  Jakarta ; Erlangga
Depkes RI. 2014.Farmakope Indonesia edisi V. Hal 163.Jakarta. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Dissolution 711 . In United States Pharmacopeia and National Formulary
USP 29–NF 24; The United States Pharmacopeial Convention, Inc.: Rockville,
MD, 2005; pp 123–135.
Friedman, H.L. J.1960. Chern. Phys.!
Goldberg, David. 2004. Kimia Untuk Pemula. Jakarta ; Erlangga.
Gringauz, A.1997.Introduction to Medicinal Chemistry.How act and Why. Wiley-
VCH. Inc., New York, pp.
Palmieri II, Anthony. Dissolution, Theory, and Testing.USA. Dissolution T
echnologies, Incorporated9 Y orkridge T rail • Hockessin, DE 19707 •
USA
S. Nakai, Y. Inoue, M. Hosomi and A. Murakami, “Myriophyllum spicatum-
released allelopathic polyphenols inhibiting growth of blue-green algae
Microcystis aeruginosa” Water Research,34, 3026-3032, 2000.
Sigma Aldrich Safety data Sheet, According to Regulation (EC) No. 1907/2006,
Version 5.0 Revision Date 30.10.2012
Sujadi. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Sukardjo, 1984. Kimia Anorganik, Penerbit Rinika Cipta, Cetakan pertama.
Jakarta

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi |


Fakultas MIPA – Unisba 30 dari 52

Anda mungkin juga menyukai