Disolusi /2019
Modul 6
KECEPATAN DISOLUSI
I. Prinsip Percobaan
Penentuan disolusi dari zat aktif asam salisilat pada suhu kamar
30oC, 37 oC dan 45oC dengan kecepatan pengadukan 50, 100, dan 150 rpm
dengan cara penentuan menggunakan metode titrasi menggunakan larutan
baku NaOH 0,05 N yang ditandai dengan perubahan warna dari tidak
berwarna menjadi merah muda dengan bantuan indikator fenolftalein.
air. Disolusi merupakan proses ketika suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasilkan suatu larutan atau dengan kata lain proses saat zat
padat melarut. Maka kecepatan disolusi dapat dinyatakan sebagai jumlah
zat dalam bentuk padatan yang terlarut dalam pelarut tertentu sebagai
fungsi dari waktu. Prinsip disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat
padat dengan pelarut. Proses pelarutan zat ini dikembangkan oleh Noyes
Whitney dalam bentuk persamaan berikut :
dM DS
= (Cs-C)
dt h
dM/dt : kecepatan disolusi
D : koefisien difusi
S : luas permukaan zat
Cs : kelarutan zat padat
C : konsentrasi zat dalam larutan saat waktu t
h : tebal lapisan difusi
Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan sebagai
berikut :
kT
D=
6π r
D : koefisien difusi
k : konstanta Boltzman (13,8 x 10 -24 J/atom K)
T : suhu
r : jari-jari molekul
η : viskositas pelarut
Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa
selama proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk
suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan
ketebalan h. Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih
kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka
harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan
disolusi dapat disederhanakan menjadi :
dM DSCs
=
dt h
Ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam
mana molekul-molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari Cs
sampai C. dibelakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang
lebih besar dari h, terjadi pencampuran dalam larutan, dan obat terdapat
pada konsentrasi yang sama C pada seluruh bulk (Alache. 1993).
Pada antarmuka permukaan padat dan lapisan difusi, x=0, obat
dalam bentuk padat berada dalam keseimbangan dengan obat dalam
lapisan difusi. Perbedaan, atau perubahan konsentrasi dengan berubahnya
jarak untuk melewati lapisan difusi adalah konstan, seperti terlihat oleh
garis lurus yang mempunyai kemiringan (slop) menurun.
Dari persamaan tersebut di atas, tampak beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu :
1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu
zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan
berikut :
kT
D=
6π r
Keterangan :
D : koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskosita pelarut
T : suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi
suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga
menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.
3. pH Pelarut
Kelarutan zat aktif yang bersifat asam lemah dan basa lemah pada
umumnya dipengaruhi oleh pH pelarut. Suatu senyawa asam lemah akan
memiliki kelarutan yang lebih besar pada pelarut dengan pH tinggi.
Demikian dengan senyawa basa lemah akan memiliki kelarutan yang lebih
besar dalam pelarut dengan pH rendah. Berikut persamaan untuk masing-
masing senyawa adalah :
dc
Asam Lemah = = K.C.Cs ¿
dt
Jika (H+) kecil atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
dc
Basa Lemah = = K.C.Cs ¿
dt
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
4. Kecepatan pengadukan
Kecepatan pengadukan mempengaruhi kecepatan disolusi beberapa
jenis zat. Pada zat yang mudah menggumpal setelah menjadi partikel,
maka kecepatan pengadukan yang tinggi akan mencegah terjadinya
aglomerat ehingga pengukuran konsentrasi terdisolusi akan lebih baik.
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan disolusi (h).
Pengadukan yang cepat akan memperkecil tebal lapisan difusi sehingga
kecepatan disolusi akan meningkat.
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif
menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat.
6. Polimorfisme
suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang
berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada
bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar.
7. Sifat Permukaan Zat
1. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan
eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-
waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang
sesuai.
2. Metode Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya
sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan.
Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan
seperti pada metode suspensi.
Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan
menggunakan alat uji disolusi tipe dayung.
Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan disolusi suatu zat
perlu dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi absorbsi obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan
disolusi suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan
suatu sediaan obat, antara lain :
1. Tahap Pra Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap
bahan baku obat dengan tujuan untuk memilih sumber bahan baku dan
memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut.
2. Tahap Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk
memilih formula sediaan yang terbaik.
3. Tahap Produksi
tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan
kualitas sediaan obat yang diproduksi.
3.2 Titrasi Asam Basa
Titrasi adalah teknik laboratorium kimia dasar untuk analisis
kuantitatif zat dengan konsentrasi yang tidak diketahui dengan
menggunakan larutan standar dengan konsentrasi yang diketahui. Zat
titrasi. Indikator yang dipakai harus dipilih agar titik akhir titrasi dan
teoritis berhimpit atau sangat berdekatan. Untuk itu harus dipilih indikator
yang memiliki trayek perubahan warnanya di sekitar titik akhir
teoritis (Sukardjo, 1984).
Titrasi asidimetri dan alkalimetri menyangkut reaksi dengan asam
dan basa diantaranya : (1) titrasi yang melibatkan asam kuat dan basa kuat,
(2) titrasi yang melibatkan asam lemah dan basa kuat, dan (3) titrasi yang
melibatkan asam kuat dan basa leamah. Titrasi asam lemah dan basa
lemah dirumitkan oleh terhidrolisisnya kation dan anion dari garam yang
terbentuk (Raymond. 2004).
Titik ekuivalen, sebagaimana kita ketahui, ialah titik pada saat
sajumlah mol ion OH– yang ditambahkan ke larutan sama dengan jumlah
mol ion H+ yang semula ada. Jadi untuk menentukan titik ekuivalen dalam
suatu titrasi, kita harus mengetahui dengan tepat berapa volume basa yang
ditambahkan dari buret ke asam dalam labu. Salah satu cara untuk
mencapai tujuan ini adalah dengan menambahkan beberapa tetes indikator
asam-basa ke larutan asam saat awal titrasi (Raymond. 2004).
Indikator biasanya ialah suatu asam atau basa organik lemah yang
menunjukkan warna yang sangat berbeda antara bentuk tidak terionisasi
dan bentuk terionisasinya. Kedua bentuk ini berikatan dengan pH larutan
yang melarutkan indikator tersebut (Raymond. 2004).
Titik akhir titrasi terjadi bila indikator berubah warna. Namun,
tidak semua indikator berubah warna pada pH yang sama, jadi pilihan
indikator untuk titrasi tertentu bergantung pada sifat asam dan basa yang
digunakan dalam titrasi (dengan kata lain apkah mereka kuat atau lemah).
Dengan demikian memilih indikator yang tepat untuk titrasi, kita dapat
menggunakan titik akhir untuk menentukan titik ekuivalen (Raymond.
2004).
3.3 Monografi Zat Aktif
Struktur Asam Salisilat
20×N1 = 1,8×0,05 V2 = Vt – V0
N1 = 4,5 × 10-3 N = 28,6 – 24,9
15 menit = 3,7 mL
V0 = 24,9 mL V1×N1 = V2×N2
Vt = 28,6 mL 20×N1 = 3,7×0,05
N1 = 9,25 × 10-3
20 menit
5 menit V0 = 28,6 mL
V0 = 20,1 mL Vt = 32,7 mL
Vt = 22,2 mL V2 = Vt – V0
V2 = Vt – V0 = 32,7 – 28,6
= 22,2 – 20,1 = 4,1 mL
= 2,1 mL V1×N1 = V2×N2
V1×N1 = V2×N2 20×N1 = 4,1×0,05
20×N1 = 2,1×0,05 N1 = 10,25 × 10-3 N
N1 = 5,25 × 10-3 N
10 menit
V0 = 22,2 mL
Vt = 24,9 mL
V2 = Vt – V0
= 22,2 – 24,9
= 2,7 mL
V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 2,7×0,05
N1 = 6,75 × 10-3 N
Faktor Koreksi Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kecepatan Disolusi
1. 50 rpm
N1´ = N1 = 0,75×10-3N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 3,5×10-3 + (0,75×10-3)
900
= 3,52×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 3,5×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3)
900
= 5,09×10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 5×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3 + 3,5×10-3)
900
= 5,17×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 7,25×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3 + 3,5×10-3 + 5×10-3)
900
= 7,53×10-3 N
2. 100 rpm
N1´ = N1 = 3,5×10-3N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 3×10-3 + (3,5×10-3)
900
= 3,08×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 5,75×10-3 + (3,5×10-3 + 3×10-3)
900
= 5,89×10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 6,5×10-3 + (3,5×10-3 + 3×10-3 + 5,75×10-3)
900
= 6,77×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 7×10-3 + (3,5×10-3 + 3×10-3 + 5,75×10-3 + 6,5×10-3)
900
= 7,42×10-3 N
3. 150 rpm
N1´ = N1 = 4,5×10-3N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 5,25×10-3 + (4,5×10-3)
900
= 5,35×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 6,75×10-3 + (4,5×10-3 + 5,25×10-3)
900
= 6,97×10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 9,25×10-3 + (4,5×10-3 + 5,25×10-3 + 6,75×10-3)
900
= 9,62×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 10,25×10-3 + (4,5×10-3 + 5,25×10-3 + 6,75×10-3 + 9,25×10-3)
900
= 10,82×10-3 N
a. Pengaruh Suhu
1. 30°C
1 menit = 0,3 – 0,0
V0 = 0,0 mL = 0,3 mL
Vt = 0,3 mL V1×N1 = V2×N2
V2 = Vt – V0 20×N1 = 0,3×0,05
3. 40°C
1 menit 15 menit
V0 = 0,0 mL V0 = 4,6 mL
Vt = 0,6 mL Vt = 8,0 mL
V2 = Vt – V0 V2 = Vt – V0
= 0,6 – 0,0 = 12,2 – 8,0
= 0,6 mL = 3,4 mL
V1×N1 = V2×N2 V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 0,6×0,05 20×N1 = 3,4×0,05
N1 = 1,5 × 10-3 N N1 = 8,5× 10-3 N
5 menit 20 menit
V0 = 0,6 mL V0 = 8,0 mL
Vt = 1,8 mL Vt = 12,2 mL
V2 = Vt – V0 V2 = Vt – V0
= 1,8 – 0,6 = 12,2 – 8,0
= 1,2 mL = 4,2 mL
V1×N1 = V2×N2 V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 1,2×0,05 20×N1 = 4,2×0,05
N1 = 3 × 10-3 N N1 = 10,5 × 10-3 N
10 menit
V0 = 1,8 mL
Vt = 4,6 mL
V2 = Vt – V0
= 4,6 – 1,8
= 2,8 mL
V1×N1 = V2×N2
20×N1 = 2,8×0,05
N1 = 7 × 10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 5×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3 + 3,5×10-3)
900
= 5,17×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 7,25×10-3 + (0,75×10-3 + 3,5×10-3 + 3,5×10-3 + 5×10-3)
900
= 7,53×10-3 N
2. 37°C
N1´ = N1 = 1,5×10-3N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 2×10-3 + (0,5×10-3)
900
= 2,03×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 4×10-3 + (0,5×10-3 + 10×10-3)
900
= 4,08×10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 6,25×10-3 + (0,5×10-3 + 10×10-3 + 3,75×10-3)
900
= 6,42×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 12×10-3 + (0,5×10-3 + 10×10-3 + 3,75×10-3 + 7,5×10-3)
900
= 12,31×10-3 N
3. 45°C
N1´ = N1 = 1,5 N
20
N5´ = N5 + (N )
900 1
20
= 3×10-3 + (1,5×10-3)
900
= 3,03×10-3 N
20
N10´ = N10 + (N + N5)
900 1
20
= 7×10-3 + (1,5×10-3+ 3×10-3)
900
= 7,1×10-3 N
20
N15´ = N15 + (N + N5 + N10)
900 1
20
= 8,5×10-3 + (1,5×10-3 + 3×10-3 + 7×10-3)
900
= 8,76×10-3 N
20
N20´ = N20 + (N + N5 + N10 + N15)
900 1
20
= 10,5×10-3 + (1,5×10-3 + 3×10-3 + 7×10-3 + 8,5×10-3)
900
= 10,94×10-3 N
V. Pembahasan
Pada praktikum kali ini bertujuan untuk untuk memahami
mengenai kecepatan disolusi suatu obat, termasuk cara-cara dalam
menentukan kecepatan disolusi suatu zat, menggunakan alat kecepatan
disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi suatu zat. Praktikum ini bermaksud untuk mengetahui
seberapa banyak konsentrasi dari asam salisilat yang diperoleh setiap
selang waktu pengenceran yang dilakukan dan mengetahui faktor koreksi
dari asam salisilat tersebut. Kecepatan disolusi adalah jumlah zat aktif
yang dikandung sediaan zat padat yang dapat larut ke dalam media pelarut
setiap satuan waktu.
Alat yang digunakan pada uji disolusi kali ini berbentuk dayung
yang terletak tepat di tengah-tengah media agar tidak terjadi turbulensi
aliran. Alat ini didalam tubuh manusia menggambarkan organ lambung
karena asam salisilat yang bersifat asam atau suatu obat yang bersifat asam
akan terionisasi pada pH basa dan perlu ketahui bahwa pada lambung pH
nya asam dan pada usus pHnya basa. Obat-obatan yang bersifat asam akan
terionisasi pada usus (basa), maka obat yang telah terionisasi ini akan sulit
menembus dinding usus yang sebagian besar komponennya adalah lipid/
zat non polar, maka obat-obatan asam ini lebih mudah diabsorpsi pada
lambung karena pada lambung pH-nya asam, sehingga obat tidak akan
terionisasi. Selain itu bukan hanya dilambung, karena suatu obat tidak
hanya diabsobsi di lambung. Dapat pula diabsobsi di rongga mulut, maka
untuk mengakalinya bila suatu obat diabsobsi si rongga mulut maka perlu
disesuaikan suhu dan pH dari suatu media.
Untuk penentuan kecepatan disolusi kali ini diggunakan metode
suspensi,dimana serbuk asam salisilat di masukkan ke dalam bejana yang
berisi air suling tanpa pengontrolan eksak terhadap luas permukaan
partikelnya. Sampai di ambil pada waktu tertentu dan kadar zat yang larut
di tentukan.
Pada percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi
karena air merupakan komponen paling besar yang berada di dalam tubuh
manusia, obat seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh, selain itu karena
mengingat kelarutan dari obat yang digunakan. Adapun volume dari
bejana yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu
gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-
pori dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu
disolusi obat. Dan juga merupakan kapasitas lambung. Serta dimaksudkan
untuk mengetahui kecepatan kelarutan asam salisilat di dalam tubuh.
Walaupun cairan yang ada di dalam bejana disolusi berupa air suling, tidak
sekompleks apa yang ada dalam cairan tubuh, tetapi hal ini merupakan
metode pendekatan yang telah dilakukan penelitian sebelumnya.
Dipipet asam salisilat didalam bejana sebanyak 20 mL. Pemipetan
larutan dilakukan pada waktu-waktu yang berbeda yaitu menit ke-5, 10,
15, dan 20. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pada menit ke berapa atau
kapan waktu optimal asam salisilat dapat terdisolusi dengan baik pada
medium pelarutnya. Saat larutan diambil, diusahakan pada bagian yang
sama dari cairan karena pemipetan yang dilakukan pada tempat yang
berbeda dapat mengakibatkan perbedaan kadar zat aktif yang sangat
besar.Setelah asam salisilat dalam bejana dipipet kemudian dimasukkan
kedalam erlenmeyer.
Kecepatan pengadukan mempengaruhi konsentrasi asam salisilat.
Terlihat bahwa konsentrasi asam salisilat semakin bertambah seiring
cepatnya proses pengadukan dalam selang waktu 1, 5, 10, 15 dan 20
menit. Semakin lama pengadukan,konsentrasi asam salisilat semakin
besar. Pada kecepatan 100 rpm di suhu 30oC, konsentrasi asam salisilat
juga semakin besar dengan semakin lamanya proses pengadukan. Begitu
juga dengan kecepatan 150 rpm, ini di karenakan kecepatan pengadukan
mampu mengurangi tebalnya lapisan difusi dengan cepat. Lapisan difusi
merupakan lapisan molekul air yang tidak dapat bergerak oleh danya
kekuatan adhesi dengan lapisan padatan sehingga semakin tebal lapisan
difusi, suatu zat akan lebih sukar larut. Kosentrasi asam salisilat pada 100
rpm mengalami peningkatan yang konstan karena waktu menjenuhkan
larutan lebih lambat namun pada 50 rpm konsentrasinya pada menit 15
dan 20 mulai mengalami peningkatan, hal ini dapat disebabkan karena laju
disolusi yang besar sehingga mempercepat tercapainya kondisi dimana
asam salisilat telah jenuh sehingga konsentrasi asam salisilat tidak
mengalami peningkatan. Serta dapat dipengaruhi oleh ketidaktelitian
praktikan dalam melihat titik akhir titrasi dari asam salisilat sehingga
menyebabkan volume NaOH menjadi turun dan konsentrasi asam salisilat
semakin turun.
VI. Kesimpulan
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan
banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap waktu. Salah
satu faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat adalah faktor
kecepatan pengadukan dan suhu. Dari hasil praktikum yang telah
dilakukan adalah pada suhu 45⁰ dengan kecepatan rpm 50 telah
menghasilkan konsentrasi asam salisilat tertinggi karena suhu sangat
berpengaruh terhadap konsentrasi suatu zat. Pada suhu 30 oC dengan
kecepatan rpm 150 menyebabkan konsentrasi asam salisilat tinggi pula
karena semakin meningkat kecepatan pengadukan maka pengukuran
konsentrasi terdisolusi akan semakin baik. Karena pengadukan yang
semakin cepat memperbesar laju disolusi. Pada pengadukan dengan
kecepatan rpm 150 disuhu 30 oC konsentrasi asam salisilat mengalami
peningkatan relatif tinggi pada menit ke 20 karena ada kemungkinan
larutan asam salisilat yang terbentuk telah jenuh. Sedangkan pada rpm 50
suhu 45 oC peningkatan konsentrasi asam salisilat yang relatif tinggi pada
menit ke 5.