PENDAHULUAN
1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Larutan
Larutan adalah campuran homogen yang terdiri dari dua atau lebih zat. Zat
yang jumlahnya lebih sedikit didalam larutan disebut zat terlarut, sedangkan yang
jumlahnya lebih banyak daripada zat lain yang ada didalam larutan disebut
pelarut. Komposisi zat terlarut dan pelarut dalam larutan dinyatakan dalam
konsentrasi larutan, sedangkan proses pencampuran zat terlarut dan pelarut
membentuk larutan disebut pelarutan. Konsentrasi larutan menyatakan secara
kuantitatif komposisi zat terlarut dan pelarut dalam larutan. Konsentrasi umumnya
dinyatakan dalam perbandingan jumlah zat terlarut dengan jumlah pelarut. Contoh
beberapa satuan konsentrasi adalah molar, molal, dan bagian perjuta. Sementara
itu secara kualitatif komposisi larutan dapat dinyatakan sebagai encer
(berkonsentrasi rendah) atau pekat (berkonsentrasi tinggi) (Atkins, 2006).
Bila komponen pada zat terlarut ditambahkan terus menerus ke dalam
pelarut, pada suatu titik komponen yang ditambahkan tidak akan dapat larut lagi,
Misalnya jika zat terlarutnya berupa padatan dan pelarutnya berupa cairan, pada
suatu titik padatan tersebut tidak dapat larut lagi dan terbentuklah endapan.
Jumlah zat terlarut dalam larutan adalah maksimal dan larutannya disebut larutan
jenuh. Titik tercapainya keadaan jenuh larutan sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor lingkungan seperti suhu, tekanan, dan kontaminasi. Secara umum,
kelarutan zat (yaitu jumlah suatu zat yang dapat terlarut dalam pelarut tertentu)
sebanding terhadap suhu. Hal ini terutama berlaku pada zat padat, walaupun ada
pengecualian. Kelarutan zat cair dalam cair lainnya secara umum kurang peka
terhadap suhu daripada kelarutan padatan atau gas dalam zat cair. Kelarutan gas
dalam air umumnya berbanding terbalik terhadap suhu (Atkins, 2006).
2.2 Difusi
Difusi adalah peristiwa mengalirnya atau berpindahnya suatu zat dalam
pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi kebagian yang berkonsentrasi rendah.
Perbedaan konsentrasi yang ada pada dua larutan disebut gradient konsentrasi.
Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau
2
3
pelarutan atau laju pelarutan adalah kecepatan melarutnya zat kimia atau senyawa
zat ke dalam medium tertentu dari suatu padatan (Dedi, 2011).
Tetapan laju disolusi merupakan suatu besaran yang menunjukkan jumlah
bagian senyawa zat yang larut dalam media per satuan waktu. Uji disolusi yang
diterapkan pada sediaan zat bertujuan untuk mengukur serta mengetahui jumlah
zat aktif yang terlarut dalam media pelarut yang diketahui volumenya pada waktu
dan suhu tertentu, menggunakan alat tertentu yang didesain untuk uji parameter
disolusi.
Tahap disolusi meliputi proses pelarutan zat pada permukaan partikel padat
yang membentuk larutan jenuh di sekeliling partikel yang dikenal sebagai lapisan
diam (stagnant layer). Kemudian zat yang terlarut dalam lapisan diam ini
berdifusi ke dalam pelarut dari daerah konsentrasi zat yang tinggi ke daerah
konsentrasi zat yang rendah (Voight, 1971).
Dalam bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau
kelarutan sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut yang
paling baik untuk zat atau kombinasi zat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang
farmasi), dan lebih jauh lagi, dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian.
Kelarutan zat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U.S. Pharmacopeia
dan National Formulary, definisi kelarutan zat adalah jumlah ml pelarut dimana
akan larut 1 gram zat terlarut. Sediaan zat yang diberikan secara oral di dalam
saluran cerna harus mengalami proses pelepasan dari sediaannya kemudian zat
aktif akan melarut dan selanjutnya diabsorpsi. Proses pelepasan zat aktif dari
sediaannya dan proses pelarutannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia dan
fisika zat tersebut serta formulasi sediaannya. Salah satu sifat zat aktif yang
penting untuk diperhatikan adalah kelarutan karena pada umumnya zat baru
diabsorpsi setelah terlarut dalam cairan saluran cerna. Oleh karena itu salah satu
usaha untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan adalah dengan
menaikkan kelarutan zat aktifnya (Shargel, 1998).
Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, diantaranya
yaitu (Yelmida, 2015):
5
1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang
bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut
Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut :
k .T
D= .................................................... (2.1)
6r
Keterangan :
D : koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskositas pelarut
T : suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat
sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas
dan memperbesar kecepatan disolusi.
3. pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam
atau basa lemah.
a. Untuk asam lemah
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.
b. Untuk basa lemah
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). Jika
pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar
sehingga kecepatan disolusi meningkat.
6
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda
juga.
7. Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat
hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar
partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan
kecepatan disolusinya bertambah.
Selain faktor-faktor tersebut dalam bentuk sediaan seperti tablet formulasi
juga sangat berpengaruh misalnya pengaruh bahan tambahan yang digunakan dan
tekanan kompresi yang digunakan saat mencetak tablet. Bahan tambahan dalam
hal ini berpengaruh terutama jika membentuk kompleks yang tidak larut.
Supaya partikel padat terdisolusi maka molekul solut pertama-tama harus
memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan
memasuki pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara proses
transport berlangsung maka perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika.
Dari segi kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni, ada 3 model fisika
umum diantaranya (Alache, 1993):
a. Model lapisan difusi (diffusion layer model).
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada
permukaan padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ,
merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan
dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung
cepat. Begitu model solut melewati antar muka “liquid film – bulk film”,
pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan
hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan
brown dari molekul dalam liquid film.
b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model).
7
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan
dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai
hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal
ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada
antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari
proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati
lapisan tipis statis (stagnant).
c. Model Dankwert (Dankwert model).
Model ini beranggapan bahwa transport solid menjauhi permukaan padat
terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antarmuka
padat-cair karena terjadi pusaran difusi secara acak.
Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suatu zat.
Selain persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan adalah sebagai
berikut (Alache, 1993):
1. Metode Klasik
Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t,
yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan
metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik
tersebut tidak diketahui. Titik tersebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut
pada waktu tertentu.
2. Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE)
area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Beberapa
peneliti menyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang
terlarut. Keuntungan metode ini adalah :
a. Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan
harga DE.
b. Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo
karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara
penggambaran percobaan in vivo.
3. Metode linierisasi
8
9
10
Diagram alir dari prosedur percobaan kecepatan disolusi dapat dilihat pada
Gambar 3.1 dan Gambar 3.2 berikut.
Mulai
1 gr asam
400 ml aquadest
salisilat
Titrasi dengan
NaOH 0,05 N
Selesai
Mulai
1 gr asam
400 ml aquadest
salisilat
40 C 50 C
Titrasi dengan
NaOH 0,05 N
Selesai
Keterangan
:
4 1. Statif
2. Klem
3. Buret
4. Erlenme
Keterangan:
1. Motor Pengaduk
3 2. Stirrer
1 3. Klem
4. Statip
5. Hot Plate
4
2 6. Gelas Kimia
6
5
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Kecepatan Pengadukan 100 rpm Pada Suhu Ruangan
Waktu Pengadukan Volume NaOH yang Konsentrasi Asam
No.
(menit) Terpakai (ml) Salisilat (M)
1. 1 8,5 0,02125
2. 5 10 0,0250
3. 10 13,5 0,03375
4. 15 15 0,0375
5. 20 16,5 0,04125
14
15
4.2 Pembahasan
Kecepatan disolusi merupakan suatu ukuran yang menyatakan
banyaknya suatu zat yang terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan
waktu. Dalam praktikum ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
kecepatan pengadukan terhadap suatu larutan dan suhu terhadap kecepatan
pengadukan tertentu terhadap kecepatan disolusi suatu zat. Pada percobaan
ini pengaruh kecepatan disolusi yang diamati adalah kecepatan
pengadukan pada 100 rpm dan 200 rpm dan pada suhu 400C, dan 500C.
Pertama, dilakukan variasi kecepatan pengadukan dengan cara dilakukan
penambahan 1 gram asam salisilat kedalam 400 ml akuades di dalam gelas
kimia 1000 ml, lalu mulai dihidupkan magnetic stirrer dengan kecepatan
pengadukan sebesar 100 rpm. Setiap 1, 5, 10, 15, 20 menit pengadukan
diambil 20 ml larutan dari dalam gelas kimia tanpa menghantikan
pengadukan. Setelah itu ditambahkan 20 ml akuades untuk menjaga
volume dari larutan agar tidak berkurang. Lalu, larutan yang diambil di
titrasi untuk menentukan kadar asam salisilat yang terlarut dalam larutan
tersebut. Menurut teori, semakin lama pengadukan maka akan semakin
banyak asam salisilat yang terlarut dalam larutan tersebut yang berarti
bahwa semakin banyak pula volume NaOH yang terpakai untuk mencapai
titik akhir titrasi larutan tersebut. Dari percobaan ini didapatkan jumlah
volume NaOH untuk titrasi larutan tersebut semakin banyak seiring
dengan lamanya waktu pengadukan. Pada menit pertama didapatkan
volume NaOH yang terpakai sebesar 8,5 ml sampai pada waktu 20 menit
volume NaOH yang terpakai sebanyak 16,5 ml yang menunjukkan bahwa
semakin banyak kadar asam salisilat dalam larutan tersebut yang terlarut
16
0.05
0.04
0.04
Konsentrasi NaOH (N)
0.03
0.03
0.02
0.02
0.01
0.01
0
1 5 10 15 20
Waktu (Menit)
Gambar 4.1 Grafik perbandingan konsentrasi asam salisilat dengan waktu pada
kecepatan pengadukan sebesar 100 rpm dan 200 rpm.
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kadar asam
salisilat pada larutan seiring dengan lamanya pengadukan dan penambahan
kecepatan pengadukan terhadap larutan. Menurut teori, semakin cepat
pengadukan maka akan semakin besar kecepatan disolusinya karena
pengadukan yang dilakukan dapat membantu partikel-partikel zat terlarut
17
larut didalam zat pelarut atau akuades, sedangkan dari hasil percobaan
pada Gambar 4.1 tersebut, dapat dililhat bahwa lebih banyak kadar asam
salisilat yang terindikasi pada kecepatan 100 rpm dibandingkan pada
pengadukan dengan kecepatan 200 rpm hal ini dikarenakan pada saat
pengambilan sampel larutan di menit pertama pada kecepatan 100 rpm,
terjadi keterlambatan dan beberapa kali percobaan pengambilan larutan
yang dapat menyebabkan jumlah dari asam salisilat yang terlarut semakin
banyak dan hal ini tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya
dilakukan dimana kita ingin menentukan kadar asam salisilat pada menit
pertama pengadukan. Karena terjadi keterlambatan pengambilan larutan di
awal, sehingga larutan dalam gelas kimia masih tetap diaduk dan partikel
dari zat terlarut semakin banyak yang larut dalam pelarutnya. Hal tersebut
mengakibatkan pada menit kelima dan seterusnya, jumlah asam salisilat
yang terlarut akan meningkat akibat keterlambatan yang terjadi pada awal
pengambilan larutan.
Pada percobaan kedua, dilakukan variasi suhu larutan mulai dari
suhu ruang, 400C, dan 500C dengan kecepatan pengadukan yang konstan
yaitu 100 rpm dengan cara yang pertama, dilakukan penambahan 1 gram
asam salisilat kedalam 400 ml akuades di dalam gelas kimia 1000 ml lalu
dilakukan pengadukan dengan kecepatan 100 rpm untuk menentukan
kecepatan disolusi suatu zat pada suhu ruangan. Setiap 1, 5, 10, 15, 20
menit pengadukan diambil 20 ml larutan dari dalam gelas kimia tanpa
menghantikan pengadukan. Setelah itu ditambahkan 20 ml akuades untuk
menjaga volume dari larutan agar tidak berkurang. Lalu, larutan yang
diambil di titrasi untuk menentukan kadar asam salisilat yang terlarut
dalam larutan tersebut Lalu dilakukan kembali dengan dipanaskan diatas
hot plate yang suhunya dijaga 400C, lalu mulai dihidupkan magnetic
stirrer dengan kecepatan pengadukan sebesar 100 rpm. Setiap 1, 5, 10, 15,
20 menit pengadukan diambil 20 ml larutan dari dalam gelas kimia tanpa
menghantikan pengadukan. Setelah itu ditambahkan 20 ml akuades untuk
menjaga volume dari larutan agar tidak berkurang. Lalu, larutan yang
18
0.05
0.04
0.04
Konsentrasi NaOH (N)
0.03
0.03
0.02
0.02
0.01
0.01
0
1 5 10 15 20
Waktu (Menit)
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Konsentrasi Asam Salisilat dengan Waktu pada
Suhu Ruang, 400C, dan 500C Kecepatan Pengadukan Sebesar 100 rpm.
Pada Gambar 4.2, dapat dililhat bahwa lebih banyak kadar asam
salisilat yang terindikasi pada pengadukan yang dilakukan pada suhu
ruang dibandingkan dengan pengadukan yang dilakukan pada suhu 400C
dan 500C karenakan pada saat pengambilan sampel larutan di menit
pertama pada kecepatan 100 rpm di suhu ruang, terjadi keterlambatan dan
beberapa kali percobaan pengambilan larutan yang dapat menyebabkan
jumlah dari asam salisilat yang terlarut semakin banyak dan hal ini tidak
sesuai dengan prosedur yang seharusnya dilakukan dimana kita ingin
menentukan kadar asam salisilat pada menit pertama pengadukan. Karena
terjadi keterlambatan pengambilan larutan di awal, sehingga larutan dalam
gelas kimia masih tetap diaduk dan partikel dari zat terlarut semakin
banyak yang larut dalam pelarutnya. Hal tersebut mengakibatkan pada
menit kelima dan seterusnya, jumlah asam salisilat yang terlarut akan
meningkat akibat keterlambatan yang terjadi pada awal pengambilan
larutan.
Kecepatan disolusi suatu zat juga dipengaruhi oleh suhu dari larutan
tersebut dimana jika semakin tinggi suhunya dan semakin lama waktu
20
5.1 Kesimpulan
1. Kecepatan disolusi suatu zat dipengaruhi oleh kecepatan pengadukan karena
akan lebih banyak dan cepat terjadi tumbukan pada larutan dan konsentrasi
zat terlarut semakin meningkat.
2. Semakin tinggi suhu, maka konsentrasi zat terlarut akan semakin meningkat
pula seiring dengan lamanya waktu pengadukan.
3. Pada pengaruh kecepatan pengadukan, pada kecepatan pengadukan sebesar
100 rpm diperoleh konsentrasi asam salisilat sebesar 0,02125; 0,0250;
0,03375; 0,0375; dan 0,04125 dan pada kecepatan pengadukan 200 rpm
diperoleh konsentrasinya sebesar 0,015; 0,02125; 0,02375; 0,0275; dan
0,0325.
4. Pada pengaruh suhu larutan, pada kecepatan pengadukan sebesar 100 rpm di
suhu 400C diperoleh konsentrasi asam salisilat sebesar 0,0205; 0,02375;
0,0265; 0,02825; dan 0,0325, dan pada kecepatan pengadukan sebesar 100
rpm di suhu 500C diperoleh konsentrasi asam salisilat sebesar 0,02275;
0,025; 0,0275; 0,0295; dan 0,03375.
5.1 Kesimpulan
1. Sebaiknya lebih berhati-hati dan teliti dalam melakukan titrasi agar titik
akhir titrasi benar-benar tercapai dan tidak berlebihan.
2. Sebaiknya pastikan terlebih dahulu mampu menggunakan pipet volume agar
waktu pengambilan larutan lebih tepat.
21