Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu bahan kimia menjadi terlarut
dalam suatu pelarut. Disolusi secara singkat didefinisikan sebagai suatu proses
melarutnya suatu zat padat. Pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan
melarutnya dalam media sekelilingnya.
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk zat
yang berasal dari bentuk zat itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan
polar atau dari sediannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi
per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan komposisi
media yang dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil
proses pelarutan persatuan waktu (Shargel, 1988).
Pengetahuan mengenai kecepatan disolusi sangat diperlukan dalam industri
obat. Uji kecepatan disolusi dijadikan kontrol pengembangan formulasi obat dan
kualitasnya. Hal ini tidak hanya dapat digunakan sebagai alat utama untuk
memantau konsistensi dan stabilitas produk obat tetapi juga sebagai teknik yang
relatif cepat dan murah untuk memprediksi penyerapan in vivo suatu obat.
Pada percobaan ini, uji kecepatan disolusi dilakukan dalam dua metode.
Pertama, dilakukan dengan memvariasikan kecepatan pengadukan untuk
mengetahui pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi dan
yang kedua, dilakukan dengan memvariasikan suhu larutan untuk mengetahui
pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi.

1.2 Tujuan Percobaan


1. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
2. Mempelajari pengaruh suhu dan kecepatan pengadukan terhadap kecepatan
disolusi suatu zat.

1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Larutan
Larutan adalah campuran homogen yang terdiri dari dua atau lebih zat. Zat
yang jumlahnya lebih sedikit didalam larutan disebut zat terlarut, sedangkan yang
jumlahnya lebih banyak daripada zat lain yang ada didalam larutan disebut
pelarut. Komposisi zat terlarut dan pelarut dalam larutan dinyatakan dalam
konsentrasi larutan, sedangkan proses pencampuran zat terlarut dan pelarut
membentuk larutan disebut pelarutan. Konsentrasi larutan menyatakan secara
kuantitatif komposisi zat terlarut dan pelarut dalam larutan. Konsentrasi umumnya
dinyatakan dalam perbandingan jumlah zat terlarut dengan jumlah pelarut. Contoh
beberapa satuan konsentrasi adalah molar, molal, dan bagian perjuta. Sementara
itu secara kualitatif komposisi larutan dapat dinyatakan sebagai encer
(berkonsentrasi rendah) atau pekat (berkonsentrasi tinggi) (Atkins, 2006).
Bila komponen pada zat terlarut ditambahkan terus menerus ke dalam
pelarut, pada suatu titik komponen yang ditambahkan tidak akan dapat larut lagi,
Misalnya jika zat terlarutnya berupa padatan dan pelarutnya berupa cairan, pada
suatu titik padatan tersebut tidak dapat larut lagi dan terbentuklah endapan.
Jumlah zat terlarut dalam larutan adalah maksimal dan larutannya disebut larutan
jenuh. Titik tercapainya keadaan jenuh larutan sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor lingkungan seperti suhu, tekanan, dan kontaminasi. Secara umum,
kelarutan zat (yaitu jumlah suatu zat yang dapat terlarut dalam pelarut tertentu)
sebanding terhadap suhu. Hal ini terutama berlaku pada zat padat, walaupun ada
pengecualian. Kelarutan zat cair dalam cair lainnya secara umum kurang peka
terhadap suhu daripada kelarutan padatan atau gas dalam zat cair. Kelarutan gas
dalam air umumnya berbanding terbalik terhadap suhu (Atkins, 2006).

2.2 Difusi
Difusi adalah peristiwa mengalirnya atau berpindahnya suatu zat dalam
pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi kebagian yang berkonsentrasi rendah.
Perbedaan konsentrasi yang ada pada dua larutan disebut gradient konsentrasi.
Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau

2
3

mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi


walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Contoh yang sederhana adalah
pemberian gula pada cairan teh tawar. Lambat laun cairan menjadi manis. Contoh
lain adalah uap air dari cerek yang berdifusi dalam udara. Difusi yang paling
sering terjadi adalah difusi molekuler. Difusi ini terjadi jika terbentuk perpindahan
dari sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid atau fluida (Sukardjo,
1997).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi, yaitu (Sukardjo,
1997):
1. Ukuran partikel, semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu
akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.
2. Ketebalan membran, semakin tebal membran, maka semakin lambat
kecepatan difusi.
3. Luas suatu area, semakin besar luas area, maka semakin cepat kecepatan
difusinya.
4. Jarak, semakin besar jarak antara dua konsentrasi, maka semakin lambat
kecepatan difusinya.
5. Suhu, semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak
dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.

2.3 Kecepatan Disolusi


Disolusi merupakan proses ketika suatu zat padat masuk ke dalam pelarut
menghasilkan suatu larutan atau dengan kata lain proses saat zat padat melarut.
Maka kecepatan disolusi dapat dinyatakan sebagai jumlah zat dalam bentuk
padatan yang terlarut dalam pelarut tertentu sebagai fungsi dari waktu. Prinsip
disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut.
Disolusi atau pelarutan didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu zat
dari sediaan padat dalam medium tertentu. Selain itu disolusi juga dikatakan
sebagai hilangnya kohesi suatu padatan karena aksi dari cairan yang menghasilkan
suatu dispersi homogen bentuk ion (dispersi molekuler) sedangkan kecepatan
4

pelarutan atau laju pelarutan adalah kecepatan melarutnya zat kimia atau senyawa
zat ke dalam medium tertentu dari suatu padatan (Dedi, 2011).
Tetapan laju disolusi merupakan suatu besaran yang menunjukkan jumlah
bagian senyawa zat yang larut dalam media per satuan waktu. Uji disolusi yang
diterapkan pada sediaan zat bertujuan untuk mengukur serta mengetahui jumlah
zat aktif yang terlarut dalam media pelarut yang diketahui volumenya pada waktu
dan suhu tertentu, menggunakan alat tertentu yang didesain untuk uji parameter
disolusi.
Tahap disolusi meliputi proses pelarutan zat pada permukaan partikel padat
yang membentuk larutan jenuh di sekeliling partikel yang dikenal sebagai lapisan
diam (stagnant layer). Kemudian zat yang terlarut dalam lapisan diam ini
berdifusi ke dalam pelarut dari daerah konsentrasi zat yang tinggi ke daerah
konsentrasi zat yang rendah (Voight, 1971).
Dalam bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau
kelarutan sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut yang
paling baik untuk zat atau kombinasi zat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang
farmasi), dan lebih jauh lagi, dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian.
Kelarutan zat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U.S. Pharmacopeia
dan National Formulary, definisi kelarutan zat adalah jumlah ml pelarut dimana
akan larut 1 gram zat terlarut. Sediaan zat yang diberikan secara oral di dalam
saluran cerna harus mengalami proses pelepasan dari sediaannya kemudian zat
aktif akan melarut dan selanjutnya diabsorpsi. Proses pelepasan zat aktif dari
sediaannya dan proses pelarutannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia dan
fisika zat tersebut serta formulasi sediaannya. Salah satu sifat zat aktif yang
penting untuk diperhatikan adalah kelarutan karena pada umumnya zat baru
diabsorpsi setelah terlarut dalam cairan saluran cerna. Oleh karena itu salah satu
usaha untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan adalah dengan
menaikkan kelarutan zat aktifnya (Shargel, 1998).
Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, diantaranya
yaitu (Yelmida, 2015):
5

1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang
bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut
Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut :
k .T
D= .................................................... (2.1)
6r
Keterangan :
D : koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskositas pelarut
T : suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat
sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas
dan memperbesar kecepatan disolusi.
3. pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam
atau basa lemah.
a. Untuk asam lemah
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.
b. Untuk basa lemah
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). Jika
pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar
sehingga kecepatan disolusi meningkat.
6

6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda
juga.
7. Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat
hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar
partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan
kecepatan disolusinya bertambah.
Selain faktor-faktor tersebut dalam bentuk sediaan seperti tablet formulasi
juga sangat berpengaruh misalnya pengaruh bahan tambahan yang digunakan dan
tekanan kompresi yang digunakan saat mencetak tablet. Bahan tambahan dalam
hal ini berpengaruh terutama jika membentuk kompleks yang tidak larut.
Supaya partikel padat terdisolusi maka molekul solut pertama-tama harus
memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan
memasuki pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara proses
transport berlangsung maka perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika.
Dari segi kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni, ada 3 model fisika
umum diantaranya (Alache, 1993):
a. Model lapisan difusi (diffusion layer model).
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada
permukaan padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ,
merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan
dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung
cepat. Begitu model solut melewati antar muka “liquid film – bulk film”,
pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan
hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan
brown dari molekul dalam liquid film.
b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model).
7

Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan
dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai
hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal
ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada
antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari
proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati
lapisan tipis statis (stagnant).
c. Model Dankwert (Dankwert model).
Model ini beranggapan bahwa transport solid menjauhi permukaan padat
terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antarmuka
padat-cair karena terjadi pusaran difusi secara acak.
Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suatu zat.
Selain persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan adalah sebagai
berikut (Alache, 1993):
1. Metode Klasik
Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t,
yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan
metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik
tersebut tidak diketahui. Titik tersebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut
pada waktu tertentu.
2. Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE)
area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Beberapa
peneliti menyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang
terlarut. Keuntungan metode ini adalah :
a. Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan
harga DE.
b. Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo
karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara
penggambaran percobaan in vivo.
3. Metode linierisasi
8

Metode ini menggunakan kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan


sebagai contoh persamaan Wagner.
Berdasarkan pada asumsi sebagai berikut:
a. Kondisi percobaan harus dalam keadaan zink yaitu Cs >>> C.
b. Proses pelarutan mengikuti orde I.
c. Luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi waktu.
d. Kondisi proses pelarutannya non reaktif.
2.4 Asam Salisilat
Asam salisilat merupakan kelompok senyawa obat yang telah dipergunakan
secara luas karena memiliki efek sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi.
Turunan asam salisilat yang paling umum digunakan adalah asam asetil salisilat
(asetosal). Asetosal sering digunaka untuk mengurangi sakit kepala, inflamasi,
nyeri sendi, juga beberapa pengobatan serangan jantung dan stroke pada orang tua
(Fadeyi dkk, 2004).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat yang digunakan


1. Gelas kimia 1000 ml
2. Gelas ukur 100 ml
3. Buret 50 ml
4. Pipet ukur 20 ml
5. Erlenmeyer 50 ml
6. Hot plate
7. Mechanical stirrer
8. Termometer
9. Stopwatch
10. Statif dan klem
11. Neraca
12. Corong kaca
13. Pipet tetes
14. Spatula

3.2 Bahan yang digunakan


1. Asam salisilat
2. NaOH 0,05 N
3. Indikator PP
4. Aquadest

3.3 Prosedur Percobaan


3.3.1 Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kecepatan Disolusi Zat
1. Gelas kimia diisi dengan 400 ml aquadest.
2. Gelas kimia ditempatkan pada mechanical stirrer pada suhu ruang, lalu 1
gram asam salisilat dimasukkan ke dalam bejana, motor pengaduk
dihidupkan pada kecepatan 100 rpm.

9
10

3. Sebanyak 20 ml larutan diambil dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15


dan 20 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel,
segera digantikan dengan 20 ml aquadest.
4. Kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel ditentukan dengan cara
dititrasi menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator pp.
5. Percobaan diulangi untuk kecepatan pengadukan 200 rpm.
6. Hasil yang diperoleh ditabelkan.
3.3.2 Pengaruh Suhu terhadap Kecepatan Disolusi Zat
1. Gelas kimia diisi dengan 400 ml aquadest.
2. Suhu larutan diamati menggunakan termometer.
3. Gelas kimia ditempatkan pada hot plate pada suhu 40 C , sebanyak 1 gram
asam salisilat dimasukkan ke dalam bejana, motor pengaduk dihidupkan
pada kecepatan 100 rpm.
4. Sebanyak 20 ml larutan diambil dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15
dan 20 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel,
segera digantikan dengan 20 ml aquadest.
5. Kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel ditentukan dengan cara
dititrasi menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator pp.
6. Percobaan diulangi untuk suhu 50 C.
7. Hasil yang diperoleh ditabelkan.
11

Diagram alir dari prosedur percobaan kecepatan disolusi dapat dilihat pada
Gambar 3.1 dan Gambar 3.2 berikut.

Mulai

1 gr asam
400 ml aquadest
salisilat

Diaduk, suhu ruang

100 rpm 200 rpm

Setiap 1. 5. 10. 15 dan 20 menit


1 tetes
20 ml larutan
indikator PP

Diganti dengan 20 ml aquadest

Titrasi dengan
NaOH 0,05 N

Catat hasil percobaan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram alir pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan


disolusi
12

Mulai

1 gr asam
400 ml aquadest
salisilat

Diaduk 100 rpm

40 C 50 C

Setiap 1. 5. 10. 15 dan 20 menit


1 tetes
indikator PP 20 ml larutan

Diganti dengan 20 ml aquadest

Titrasi dengan
NaOH 0,05 N

Catat hasil percobaan

Selesai

Gambar 3.2 Diagram alir pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi


13

3.4 Rangkaian Alat


Rangkaian alat titrasi pada percobaan kecepatan disolusi dapat dilihat pada
Gambar 3.3 dan Gambar 3.4 berikut.

Keterangan
:
4 1. Statif
2. Klem
3. Buret
4. Erlenme

Gambar 3.3 Rangkaian alat titrasi

Keterangan:
1. Motor Pengaduk
3 2. Stirrer
1 3. Klem
4. Statip
5. Hot Plate
4
2 6. Gelas Kimia

6
5

Gambar 3.4 Rangkaian alat mechanical stirrer


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 4.1 Kecepatan Pengadukan 100 rpm Pada Suhu Ruangan
Waktu Pengadukan Volume NaOH yang Konsentrasi Asam
No.
(menit) Terpakai (ml) Salisilat (M)
1. 1 8,5 0,02125
2. 5 10 0,0250
3. 10 13,5 0,03375
4. 15 15 0,0375
5. 20 16,5 0,04125

Tabel 4.2 Kecepatan Pengadukan 200 rpm Pada Suhu Ruangan


Waktu Pengadukan Volume NaOH yang Konsentrasi Asam
No.
(menit) Terpakai (ml) Salisilat (M)
1. 1 6 0,015
2. 5 8,5 0,02125
3. 10 9,5 0,02375
4. 15 11 0,0275
5. 20 13 0,0325

Tabel 4.3 Kecepatan Pengadukan 100 rpm Pada Suhu Ruangan


Waktu Pengadukan Volume NaOH yang Konsentrasi Asam
No.
(menit) Terpakai (ml) Salisilat (M)
1. 1 8,5 0,02125
2. 5 10 0,0250
3. 10 13,5 0,03375
4. 15 15 0,0375
5. 20 16,5 0,04125

Tabel 4.4 Kecepatan Pengadukan 100 rpm Pada Suhu 400C


Waktu Pengadukan Volume NaOH yang Konsentrasi Asam
No.
(menit) Terpakai (ml) Salisilat (M)
1. 1 8,2 0,0205
2. 5 9,5 0,02375
3. 10 10,6 0,0265
4. 15 11,3 0,02825
5. 20 13 0,0325

14
15

Tabel 4.5 Kecepatan Pengadukan 100 rpm Pada Suhu 500C


Waktu Pengadukan Volume NaOH yang Konsentrasi Asam
No.
(menit) Terpakai (ml) Salisilat (M)
1. 1 9,1 0,02275
2. 5 10 0,025
3. 10 11 0,0275
4. 15 11,8 0,0295
5. 20 13,5 0,03375

4.2 Pembahasan
Kecepatan disolusi merupakan suatu ukuran yang menyatakan
banyaknya suatu zat yang terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan
waktu. Dalam praktikum ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
kecepatan pengadukan terhadap suatu larutan dan suhu terhadap kecepatan
pengadukan tertentu terhadap kecepatan disolusi suatu zat. Pada percobaan
ini pengaruh kecepatan disolusi yang diamati adalah kecepatan
pengadukan pada 100 rpm dan 200 rpm dan pada suhu 400C, dan 500C.
Pertama, dilakukan variasi kecepatan pengadukan dengan cara dilakukan
penambahan 1 gram asam salisilat kedalam 400 ml akuades di dalam gelas
kimia 1000 ml, lalu mulai dihidupkan magnetic stirrer dengan kecepatan
pengadukan sebesar 100 rpm. Setiap 1, 5, 10, 15, 20 menit pengadukan
diambil 20 ml larutan dari dalam gelas kimia tanpa menghantikan
pengadukan. Setelah itu ditambahkan 20 ml akuades untuk menjaga
volume dari larutan agar tidak berkurang. Lalu, larutan yang diambil di
titrasi untuk menentukan kadar asam salisilat yang terlarut dalam larutan
tersebut. Menurut teori, semakin lama pengadukan maka akan semakin
banyak asam salisilat yang terlarut dalam larutan tersebut yang berarti
bahwa semakin banyak pula volume NaOH yang terpakai untuk mencapai
titik akhir titrasi larutan tersebut. Dari percobaan ini didapatkan jumlah
volume NaOH untuk titrasi larutan tersebut semakin banyak seiring
dengan lamanya waktu pengadukan. Pada menit pertama didapatkan
volume NaOH yang terpakai sebesar 8,5 ml sampai pada waktu 20 menit
volume NaOH yang terpakai sebanyak 16,5 ml yang menunjukkan bahwa
semakin banyak kadar asam salisilat dalam larutan tersebut yang terlarut
16

terus menerus dengan adanya bantuan pengadukan dari magnetic stirrer.


Percobaan tersebut dilakukan kembali pada kecepatan pengadukan sebesar
200 rpm. Pada kecepatan pengadukan 200 rpm, juga didapatkan hasil
bahwa semakin lama pengadukan, maka akan semakin banyak pula
volume NaOH yang terpakai untuk megindikasi kadar asam salisilat dari
zat tersebut. Pada menit pertama, sebanyak 6 ml NaOH terpakai untuk
mencapai titik akhir titrasi dari 20 ml larutan yang diambil dari dalam
gelas kimia dan pada menit ke 20, sebanyak 13 ml NaOH yang terpakai
untuk mentitrasi 20 ml larutan tersebut. Hal ini menunjukkan kenaikan
kadar asam salisilat pada larutan seiring dengan bertambahnya waktu
pengadukan dan kecepatan pengadukannya. Grafik hasil percobaan
tersebut dapat digambarkan dalam Gambar 4.1 berikut ini.

0.05
0.04
0.04
Konsentrasi NaOH (N)

0.03
0.03
0.02
0.02
0.01
0.01
0
1 5 10 15 20
Waktu (Menit)

100 rpm 200 rpm

Gambar 4.1 Grafik perbandingan konsentrasi asam salisilat dengan waktu pada
kecepatan pengadukan sebesar 100 rpm dan 200 rpm.

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kadar asam
salisilat pada larutan seiring dengan lamanya pengadukan dan penambahan
kecepatan pengadukan terhadap larutan. Menurut teori, semakin cepat
pengadukan maka akan semakin besar kecepatan disolusinya karena
pengadukan yang dilakukan dapat membantu partikel-partikel zat terlarut
17

larut didalam zat pelarut atau akuades, sedangkan dari hasil percobaan
pada Gambar 4.1 tersebut, dapat dililhat bahwa lebih banyak kadar asam
salisilat yang terindikasi pada kecepatan 100 rpm dibandingkan pada
pengadukan dengan kecepatan 200 rpm hal ini dikarenakan pada saat
pengambilan sampel larutan di menit pertama pada kecepatan 100 rpm,
terjadi keterlambatan dan beberapa kali percobaan pengambilan larutan
yang dapat menyebabkan jumlah dari asam salisilat yang terlarut semakin
banyak dan hal ini tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya
dilakukan dimana kita ingin menentukan kadar asam salisilat pada menit
pertama pengadukan. Karena terjadi keterlambatan pengambilan larutan di
awal, sehingga larutan dalam gelas kimia masih tetap diaduk dan partikel
dari zat terlarut semakin banyak yang larut dalam pelarutnya. Hal tersebut
mengakibatkan pada menit kelima dan seterusnya, jumlah asam salisilat
yang terlarut akan meningkat akibat keterlambatan yang terjadi pada awal
pengambilan larutan.
Pada percobaan kedua, dilakukan variasi suhu larutan mulai dari
suhu ruang, 400C, dan 500C dengan kecepatan pengadukan yang konstan
yaitu 100 rpm dengan cara yang pertama, dilakukan penambahan 1 gram
asam salisilat kedalam 400 ml akuades di dalam gelas kimia 1000 ml lalu
dilakukan pengadukan dengan kecepatan 100 rpm untuk menentukan
kecepatan disolusi suatu zat pada suhu ruangan. Setiap 1, 5, 10, 15, 20
menit pengadukan diambil 20 ml larutan dari dalam gelas kimia tanpa
menghantikan pengadukan. Setelah itu ditambahkan 20 ml akuades untuk
menjaga volume dari larutan agar tidak berkurang. Lalu, larutan yang
diambil di titrasi untuk menentukan kadar asam salisilat yang terlarut
dalam larutan tersebut Lalu dilakukan kembali dengan dipanaskan diatas
hot plate yang suhunya dijaga 400C, lalu mulai dihidupkan magnetic
stirrer dengan kecepatan pengadukan sebesar 100 rpm. Setiap 1, 5, 10, 15,
20 menit pengadukan diambil 20 ml larutan dari dalam gelas kimia tanpa
menghantikan pengadukan. Setelah itu ditambahkan 20 ml akuades untuk
menjaga volume dari larutan agar tidak berkurang. Lalu, larutan yang
18

diambil di titrasi untuk menentukan kadar asam salisilat yang terlarut


dalam larutan tersebut. Menurut teori, semakin lama pengadukan dan suhu
yang semakin meningkat maka akan semakin banyak asam salisilat yang
terlarut dalam larutan tersebut yang berarti bahwa semakin banyak pula
volume NaOH yang terpakai untuk mencapai titik akhir titrasi larutan
tersebut. Dari percobaan ini didapatkan jumlah volume NaOH untuk titrasi
larutan tersebut semakin banyak seiring dengan lamanya waktu
pengadukan dan meningkatnya suhu larutan tersebut. Pada menit pertama
percobaan yang dilakukan pada suhu ruang, didapatkan volume NaOH
yang terpakai sebanyak 8,5 ml hingga pada menit ke 20 didapatkan
volume NaOH sebesar 16,5 ml. Pada percobaan yang dilakukan pada suhu
400C didapatkan volume NaOH yang terpakai sebesar 8,2 ml sampai pada
waktu 20 menit volume NaOH yang terpakai untuk titrasi 20 ml larutan
tersebut sebanyak 13 ml yang menunjukkan bahwa semakin banyak kadar
asam salisilat dalam larutan tersebut yang terlarut terus menerus dengan
adanya bantuan pengadukan dari magnetic stirrer. Percobaan tersebut
dilakukan kembali pada kecepatan pengadukan 100 rpm pada suhu 50 0C.
Pada percobaan yang dilakukan pada suhu 50 0C, didapatkan volume
NaOH yang terpakai sebesar 9,1 ml sampai pada waktu 20 menit volume
NaOH yang terpakai untuk titrasi 20 ml larutan tersebut sebanyak 13,5 ml.
Hasil dari percobaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut ini.
19

0.05
0.04
0.04
Konsentrasi NaOH (N)

0.03
0.03
0.02
0.02
0.01
0.01
0
1 5 10 15 20
Waktu (Menit)

Suhu Ruang 40ᵒC 50ᵒC

Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Konsentrasi Asam Salisilat dengan Waktu pada
Suhu Ruang, 400C, dan 500C Kecepatan Pengadukan Sebesar 100 rpm.

Pada Gambar 4.2, dapat dililhat bahwa lebih banyak kadar asam
salisilat yang terindikasi pada pengadukan yang dilakukan pada suhu
ruang dibandingkan dengan pengadukan yang dilakukan pada suhu 400C
dan 500C karenakan pada saat pengambilan sampel larutan di menit
pertama pada kecepatan 100 rpm di suhu ruang, terjadi keterlambatan dan
beberapa kali percobaan pengambilan larutan yang dapat menyebabkan
jumlah dari asam salisilat yang terlarut semakin banyak dan hal ini tidak
sesuai dengan prosedur yang seharusnya dilakukan dimana kita ingin
menentukan kadar asam salisilat pada menit pertama pengadukan. Karena
terjadi keterlambatan pengambilan larutan di awal, sehingga larutan dalam
gelas kimia masih tetap diaduk dan partikel dari zat terlarut semakin
banyak yang larut dalam pelarutnya. Hal tersebut mengakibatkan pada
menit kelima dan seterusnya, jumlah asam salisilat yang terlarut akan
meningkat akibat keterlambatan yang terjadi pada awal pengambilan
larutan.
Kecepatan disolusi suatu zat juga dipengaruhi oleh suhu dari larutan
tersebut dimana jika semakin tinggi suhunya dan semakin lama waktu
20

pengadukannya, maka akan semakin besar pula kecepatan disolusinya dan


semakin banyak volume NaOH yang terpakai untuk titrasi karena
banyaknya kadar asam salisilat dalam larutan tersebut yang sudah terlarut.
Dapat dilihat pada menit pertama zat tersebut diambil, pada suhu 500C
lebih banyak kadar asam salisilatnya dibandingkan dengan pengadukan
pada suhu 400C meskipun hasil pada percobaan yang dilakukan pada suhu
ruang masih kurang sesuai dengan teori. Hal ini berarti bahwa selain
waktu pengadukan dan kecepatan pengadukan, suhu juga dapat membantu
kecepatan disolusi suatu zat.
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
1. Kecepatan disolusi suatu zat dipengaruhi oleh kecepatan pengadukan karena
akan lebih banyak dan cepat terjadi tumbukan pada larutan dan konsentrasi
zat terlarut semakin meningkat.
2. Semakin tinggi suhu, maka konsentrasi zat terlarut akan semakin meningkat
pula seiring dengan lamanya waktu pengadukan.
3. Pada pengaruh kecepatan pengadukan, pada kecepatan pengadukan sebesar
100 rpm diperoleh konsentrasi asam salisilat sebesar 0,02125; 0,0250;
0,03375; 0,0375; dan 0,04125 dan pada kecepatan pengadukan 200 rpm
diperoleh konsentrasinya sebesar 0,015; 0,02125; 0,02375; 0,0275; dan
0,0325.
4. Pada pengaruh suhu larutan, pada kecepatan pengadukan sebesar 100 rpm di
suhu 400C diperoleh konsentrasi asam salisilat sebesar 0,0205; 0,02375;
0,0265; 0,02825; dan 0,0325, dan pada kecepatan pengadukan sebesar 100
rpm di suhu 500C diperoleh konsentrasi asam salisilat sebesar 0,02275;
0,025; 0,0275; 0,0295; dan 0,03375.
5.1 Kesimpulan
1. Sebaiknya lebih berhati-hati dan teliti dalam melakukan titrasi agar titik
akhir titrasi benar-benar tercapai dan tidak berlebihan.
2. Sebaiknya pastikan terlebih dahulu mampu menggunakan pipet volume agar
waktu pengambilan larutan lebih tepat.

21

Anda mungkin juga menyukai