Anda di halaman 1dari 14

BAB I

LANDASAN TEORI

1.1 Tujuan Percobaan


1. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat.
2. Mempelajari pengaruh suhu dan kecepatan pengadukan terhadap
kecepatan disolusi suatu zat.

1.2 Landasan Teori


1.2.1 Larutan
Larutan adalah campuran homogen yang terdiri dari dua atau lebih zat. Zat
yang jumlahnya lebih sedikit didalam larutan disebut zat terlarut, sedangkan yang
jumlahnya lebih banyak daripada zat lain yang ada didalam larutan disebut
pelarut. Komposisi zat terlarut dan pelarut dalam larutan dinyatakan dalam
konsentrasi larutan, sedangkan proses pencampuran zat terlarut dan pelarut
membentuk larutan disebut pelarutan.
Konsentrasi larutan menyatakan secara kuantitatif komposisi zat terlarut dan
pelarut dalam larutan. Konsentrasi umumnya dinyatakan dalam perbandingan
jumlah zat terlarut dengan jumlah pelarut. Contoh beberapa satuan konsentrasi
adalah molar, molal, dan bagian perjuta. Sementara itu secara kualitatif komposisi
larutan dapat dinyatakan sebagai larutan encer (berkonsentrasi rendah) atau
larutan pekat (berkonsentrasi tinggi).
Bila komponen pada zat terlarut ditambahkan terus menerus ke dalam
pelarut, pada suatu titik komponen yang ditambahkan tidak akan dapat larut lagi.
Misalnya jika zat terlarutnya berupa padatan dan pelarutnya berupa cairan, pada
suatu titik padatan tersebut tidak dapat larut lagi dan terbentuklah endapan.
Jumlah zat terlarut dalam larutan adalah maksimal dan larutannya disebut larutan
jenuh. Titik tercapainya keadaan jenuh larutan sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor lingkungan seperti suhu, tekanan, dan kontaminasi. Secara umum,
kelarutan zat yang merupakan jumlah suatu zat yang dapat terlarut dalam pelarut
tertentu itu sebanding terhadap suhu. Hal ini terutama berlaku pada zat padat,
walaupun ada pengecualian. Kelarutan zat cair dalam cair lainnya secara umum
kurang peka terhadap suhu dari pada kelarutan padatan atau gas dalam zat cair.
Kelarutan gas dalam air umumnya berbanding terbalik terhadap suhu (Rara,
2008).
1.2.2 Difusi
Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata
atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi
walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Contoh yang sederhana adalah
pemberian gula pada cairan teh tawar. Lambar laun cairan menjadi manis. Contoh
lain adalah uap air dari ceret yang berdifusi dalam udara. Difusi yang paling
sering terjadi adalah difusi molekuler. Difusi ini terjadi jika terbentuk perpindahan
dari sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid atau fuida.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi, yaitu :
1. Ukuran partikel, semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikelitu
akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.
2. Ketebalan membran, semakin tebal membran, maka semakin lambat
kecepatan difusi.
3. Luas suatu area, semakin besar luas suatu area, maka semakin cepat
kecepatan difusinya.
4. Jarak, semakin besar jarak antara dua konsentrasi, maka semakin lambat
kecepatan difusinya.
5. Suhu, semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak
dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.

1.2.3 Disolusi
Disolusi merupakan proses ketika suatu zat padat masuk ke dalam pelarut
menghasilkan suatu larutan atau dengan kata lain proses saat zat padat melarut.
Maka kecepatan disolusi dapat dinyatakan sebagai jumlah zat dalam bentuk
padatan yang terlarut dalam pelarut tertentu sebagai fungsi dari waktu. Prinsip
disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut (Rara, 2008).
Tetapan laju disolusi merupakan suatu besaran yang menunjukkan jumlah
bagian senyawa zat yang larut dalam media per satuan waktu. Uji disolusi yang
diterapkan pada sediaan zat bertujuan untuk mengukur serta mengetahui jumlah
zat aktif yang terlarut dalam media pelarut yang diketahui volumenya pada waktu
dan suhu tertentu, menggunakan alat tertentu yang didesain untuk
uji parameter disolusi. Tahap disolusi meliputi proses pelarutan zat pada
permukaan partikel padat yang membentuk larutan jenuh di
sekeliling partikel yang dikenal sebagai lapisan diam (stagnant layer). Kemudian
zat yang terlarut dalam lapisan diam ini berdifusi ke dalam pelarut dari daerah
konsentrasi zat yang tinggi ke daerah konsentrasi zat yang rendah (Hadie, 2007).
Dalam bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau
kelarutan sangat diperlukan untuk membantunya memilih medium pelarut yang
paling baik untuk zat atau kombinasi zat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang
farmasi), dan lebih jauh lagi dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian.
Kelarutan zat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut US Pharmacopeia
dan National Formulary, definisi kelarutan zat adalah jumlah ml pelarut dimana
akan larut 1 gram zat terlarut. Sediaan zat yang diberikan secara oral di dalam
saluran cerna harus mengalami proses pelepasan dari sediaannya kemudian zat
aktif akan melarut dan selanjutnya diabsorpsi. Proses pelepasan zat aktif dari
sediaannya dan proses pelarutannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia dan
fisika zat tersebut serta formulasi sediaannya. Salah satu sifat zat aktif yang
penting untuk diperhatikan adalah kelarutan karena pada umumnya zat baru
diabsorpsi setelah terlarut dalam cairan saluran cerna. Oleh karena itu salah satu
usaha untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan adalah dengan
menaikkan kelarutan zat aktifnya (Rui, 2010).
Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat , diantaranya
yaitu :
1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang
bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.Menurut
Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut :
kT
D=
6 η r .........................................................(1.1)

Keterangan :
D: koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskositas pelarut
T: suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu
zat sesuai dengan persamaan Einstein. Tinggi suhu juga menurunkan
viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.
3. pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat
asam atau basa lemah.
a) Untuk asam lemah

dc  Ka 
 K.C.Cs 1   
dt   
H  ........................................(1.2)

Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
b) Untuk basa lemah

dc  H 
 K.C.Cs 1  
dt  Ka   ...……………………….(1.3)
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat.
Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika
pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat
berkurang.
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi
besar sehingga kecepatan disolusi meningkat.
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberika ntingkat kelarutan yang
berbeda juga.
7. Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat
hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan
antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah
terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah.

1.2.4 Pengaduk (Agitator)


Pengadukan adalah operasi yang menciptakan terjadinya gerakan di dalam
bahan yang diaduk. Tujuan operasi pengadukan yang utama adalah terjadinya
pencampuran. Pencampuran merupakan operasi yang bertujuan mengurangi
ketidaksamaan kondisi, suhu, atau sifat lain yang terdapat dalam suatu bahan.
Pencampuran dapat terjadi dengan cara menimbulkan gerak di dalam bahan itu
yang menyebabkan bagian-bagian bahan saling bergerak satu terhadap yang
lainnya, sehingga operasi pengadukan hanyalah salah satu cara untuk operasi
pencampuran.
Ada beberapa macam pengaduk yaitu :

a. Agitator Jenis Hellical-Ribon


Jenis pengaduk ini digunakan pada larutan pada kekentalan yang tinggi
dan beroperasi pada rpm yang rendah pada bagian laminer. Ribbon
(bentuk seperti pita) dibentuk dalam sebuah bagian helical (bentuknya
seperti baling-balling helicopter dan ditempelkan ke pusat sumbu
pengaduk). Cairan bergerak dalam sebuah bagian aliran berliku-liku pada
bagiam bawah dan naik ke bagian atas pengaduk.

Gambar 1.1 Agitator jenis Hellical-Ribon (Hajar,2011).


b. Agitator Jenis Jangkar/Anchor
Pengaduk ini mirip dengan jangkar kapal, maka di sebut pengaduk
jangkar. Ada banyak aplikasi yang dapat dipakai agitator yang
terintegrasi dengan pengaduk model jangkar ini. Impeler tipe jangkar
mampu menyapu permukaan dinding secara menyeluruh dan meng-
agitasi sebagian besar batch cairan melalui kontak fisik. Dinding
pencakar atau scraper dapat dipasang pada baling impeller jangkar yang
berfungsi untuk meningkatkan perpindahan panas melalui dinding tangki
pengolahan dan mencegah tidak lengketnya bahan baku pada dinding
tangki. Untuk menambah ratanya sistim pencampuran dapat di
kombinasikan dengan agitator ulir.

Gambar 1.2 Agitator Jenis Jangkar/Anchor (Hajar,2011).


c. Agitator Jenis Dayung (Paddle)
Pengaduk jenis ini sering memegang peranan penting pada proses
pencampuran dalam industri. Bentuk pengaduk ini memiliki minimum 2
sudut, horizontal atau vertical, dengan nilai D/T yang tinggi. Paddle
digunakan pada aliran fluida laminar, transisi atau turbulen tanpa baffle.
Pengaduk paddle menimbulkan aliran arah radial dan tangensial dan
hampir tannpa gerak vertikal sama sekali. Arus yang bergerak ke arah
horisontal setelah mencapai dinding akan dibelokkan ke atas atau ke
bawah. Bila digunakan pada kecepatan tinggi akan terjadi pusaran saja
tanpa terjadi agitasi.

Gambar 1.3 Agitator Jenis Dayung (Paddle) (Hajar,2011).

d. Agitator Jenis Turbin


Istilah turbin ini diberikan bagi berbagai macam jenis pengaduk tanpa
memandang rancangan, arah discharge ataupun karakteristik aliran.
Turbin merupakan pengaduk dengan sudu tegak datar dan bersudut
konstan. Pengaduk jenis ini digunakan pada viskositas fluida rendah
seperti halnya pengaduk jenis propeler. Pengaduk turbin menimbulkan
aliran arah radial dan tengensial. Di sekitar turbin terjadi daerah
turbulensi yang kuat, arus dan geseran yang kuat antar fluida. Salah satu
jenis pengaduk turbin adalah pitched blade. Pengaduk jenis ini memiliki
sudut sudu konstan. Aliran terjadi pada arah aksial, meski demikian
terdapat pule aliran pada arah radial. Aliran ini akan mendominasi jika
sudu berada dekat dengan dasar tangki.
Gambar 1.4 Agitator Jenis Turbin (Hajar,2011).

e. Agitator Jenis Baling-baling (Propeler)


Propeler merupakan agitator/impeller aliran aksial berkecepatan tinggi
untuk zat cair berviskositas rendah. Propeler kecil biasanya berputar
pada kecepatan motor penuh, yaitu 1150 atau 1750 putaran/menit, sedang
propeler besar berputar pada 400-800 putaran/menit. Arus yang
meninggalkan propeler mengalir melalui zat cair menurut arah tertentu
sampai dibelokkan oleh lantai atau dinding bejana.

Gambar 1.5 Agitator Jenis Baling-baling (Propeler) (Hajar,2011).

1.2.5 Asam Salisilat


Asam salisilat merupakan turunan dari senyawa aldehid. Senyawa ini
juga biasa disebut o-hidroksibensaldehid, o-formilfenol atau 2-formilfenol.
Senyawa ini stabil, mudah terbakar dan tidak cocok dengan basa kuat, pereduksi
kuat, asam kuat, dan pengoksidasi kuat.Turunan yang terpenting dari asam
salisilat ini adalah asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau
aspirin. Berbeda dengan asam salisilat, asam asetil salisilat memiliki efek
analgesik, antipiretik dan anti inflamasi yang lebih besar jika dibandingkan
dengan asam salisilat. Penggunaan obat ini sangat luas di masyarakat dan
digolongkan ke dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini juga digunakan
sebagai standar dalam menilai efek obat sejenis (suyitno,1988).
Asam salisilat biasanya digunakan untuk memproduksi ester dan garam
yang cukup penting. Asam salisilat menjadi bahan baku pembuatan aspirin.
Berikut adalah Sifat fisika dan kimia dari asam salisilat:
Tabel 1.1 Sifat Fisika Asam Salisilat
Rumus Molekul C7H6O3

Bobot molekul 138,12 gr/mol

Densitas 1,443 gr/ml

Titik leleh 156oC

Titik didih 211oC

Titik nyala 76oc

Tekanan uap 1 mmHg pada 33oC

Daya ledak 1,146 gr/cm3

Warna Tak berwarna

(suyitno,1988).
Tabel 1.2 Sifat Kimia Asam Salisilat
No. Sifat Kimia Asam Salisilat

Menyublim pada 76oC jika dipanaskan dengan cepat pada tekanan


1
atmosfer tertentu dan terurai menjadi fenol dan C02.
Kelarutan dalam air meningkat oleh Na phosphate, borax, alkali asetat,
2
atau sitrat.
3 Asam salisilat berwama kemerah-merahan jika diberi garam Fe.
Asam salisilat yang digunakan secara berlebihan akan menyebabkan efek
4 samping seperti muntah, sakit perut, gangguan pernafasan, gangguan
mental dan kulit (kudis).
5 Berbahaya jika terkena sinar matahari langsung.

(suyitno,1988).
Asam salisilat dapat ditemukan pada banyak tanaman dalam bentuk metal
salisilat dan dapat disintesa dari fenol. Asam salisilat berbentuk kristal berwarna
putih dan berasa manis (suyitno,1988).

1.2.6 NaOH
(NaOH), juga dikenal sebagai soda kaustik atau sodium hidroksida, adalah
sejenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida terbentuk dari oksida basa natrium
oksida dilarutkan dalam air. Natrium hidroksida membentuk larutan alkali yang
kuat ketika dilarutkan ke dalam air. Bahan ini digunakan di berbagai macam
bidang industi, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur
kayu/kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen, natrium hidroksida adalah
basa yang paling paling umum digunakan dalam laboratorium kimia.
Natrium hidroksida mengandung unsur dari golongan alkali, yakni Natrium(
Na+). Ciri yang dimiliki golongan alkali seperti reduktor kuat dan mampu
mereduksi asam, mudah larut dalam air, merupakan penghantar arus listrik yang
baik dan panas,urutan kereaktifannya meningkat seiring dengan bertambahnya
berat atom. Pada umumnya NaOH digunakan sebagai pelarut, penggunaan NaOH
sebagai pelarut disebabkan kegunaan dan efektifitasnya seperti untuk menetralkan
asam (Linggih 1988).
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN

2.1 Alat-Alat yang Digunakan


1. Buret
2. Erlenmeyer 100 ml
3. Gelas Kimia 500 ml
4. Gelas ukur 100 ml
5. Mechanical Stirrer
6. Neraca analitik
7. Pipet ukur 20 ml
8. Pipet volume 100 ml
9. Statif dan Klem
10. Stopwatch
11. Termometer
2.2 Bahan yang Digunakan
1. Asam salisilat
2. NaOH 0,05 N
3. Indikator fenolftalein
4. Aquadest
2.2 Prosedur Percobaan
2.2.1 Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kecepatan Disolusi Zat
1. Gelas kimia diisi dengan 400 ml aquadest.
2. Untuk mengamati suhu larutan, termometer dipasang pada bejana.
3. Sebanyak 1 gram asam salisilat dimasukkan kedalam gelas kimia yang
berisi aquadest, motor pengaduk kecepatan 100 rpm dihidupkan.
4. 20 ml larutan diambil dari bejana setiap selang waktu 1,5,10,15, dan 20
menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel,
digantikan dengan penambahan aquadest sebanyak 20 ml.
5. Untuk menentukan kadar asam salisilat terlarut dalam sampel dengan
cara dititrasi menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator PP.
6. Percobaan yang sama diulangi untuk kecepatan pengadukan 200 dan
300 rpm.
2.2.2 Pengaruh Suhu terhadap Kecepatan Disolusi
1. Gelas kimia diisi dengan 400 ml aquadest.
2. Untuk mengamati suhu larutan, termometer dipasang apda bejana.
3. Tempatkan bejana diatas hot plate pada suhu ruang, dimasukkan 1 gram
asam salisilat dan motor pengaduk dihidupkan dengan kecepatan 100
rpm.
4. Sebanyak 20 ml larutan diambil dari bejana setiap selang waktu 1,3,5,7,
dan 9 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel,
digantikan dengan penambahan aquadest sebanyak 20 ml.
5. Untuk memastikan kadar asam salisilat terlarut dalam sampel dengan
cara dititrasi menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator PP.
6. Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40, dan 50 ℃.
2.3 Rangkaian Alat
:
Keterangan :
1. Statif
2. Hot Plate
3. Mixer
4. Gelas Kimia

3
1

Gambar 2.1 Rangkaian alat Mechanical Stirrer


KETERANGAN :
1. KLEM
2. STATIF
3. ERLENMEYER
4. BURET

4
1

Gambar 2.2 Rangkaian alat untuk titrasi


DAFTAR PUSTAKA

Hadie, Lannie. 2007.” Disolusi”. Jakarta : Universitas 17 Agustus 1945.


Hajar,ibnu.2011. “ Buku Petunjuk Praktikum Satuan Operasi ( Agitasi dan
Pencampuran)”. Palembang : Politeknik Negeri Sriwijaya.
Linggih, S. R dan P. Wibowo. 1988. “Ringkasan Kimia”.Bandung : ITB

Rara. 2008. “Uji Disolusi”: Ketersediaan Hayati In Vitro. Solo : UNS.


Rui, Reena. 2010. “Teknologi Sediaan Farmasi Disolusi”. Sidoarjo : Akademi
Farmasi Mitra Sehat Mandiri.
Suyitno. 1988.” Fisika Untuk Sains dan Teknik”. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai