Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi Fisika merupakan suatu ilmu yang menggabungkan antara ilmu Fisika
dengan ilmu Farmasi. Ilmu Fisika mempelajari tentang sifat-sifat fisika suatu zat baik
berupa sifat molekul maupun tentang sifat turunan suatu zat. Sedangkan ilmu Farmasi
adalah ilmu tentang obat-obat yang mempelajari cara membuat, memformulasi
senyawa obat menjadi sebuah sediaan jadi yang dapat beredar di pasaran. Gabungan
kedua ilmu tersebut akan menghasilkan suatu sediaan farmasi yang berstandar baik,
berefek baik, dan mempunyai kestabilan yang baik pula (Santi Sinala, 2016).
Ilmu farmasi erat hubungannya dengan dengan ilmu fisika yaitu senyawa obat
memiliki sifat fisika yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, dan sifat
sifat fisika ini akan sangat mempengaruhi cara pembuatan dan cara formulasi sediaan
obat, yang pada akhirnya akan mempengaruhi efek pengobatan dari obat serta
kestabilan dari sebuah sediaan obat.
Sifat-sifat fisika dari suatu senyawa obat mencakup massa jenis, momen dipole,
konstanta dielektrikum, indeks bias, rotasi optik, titik lebur, titik didih, pH, kelarutan,
dan lain-lain. Sifat-sifat fisika ini yang merupakan dasar dalam formulasi sediaan
farmasi dan yang akan menentukan kemurnian dari suatu zat yang akan dijadikan
obat (Santi Sinala, 2016).
Kelarutan adalah sifat instrinsik dari zat terlarut (solut) baik berupa padat, cair,
atau gas untuk dapat terlarut di dalam pelarut (solven) dan membentuk larutan yang
homogen. Kelarutan merupakan salah satu parameter fisikokimia yang penting dalam
studi preformulasi obat yang kemudian akan menentukan bentuk sediaan obat yang
cocok. Molekul obat umumnya harus memiliki kelarutan di dalam cairan fisiologis
usus atau berada di dalam larutan air, sehingga obat dapat diabsrobsi secara sistemik
dan menghasilkan efek farmakologis yang dinginkan (Stegemann dkk, 2007;
Chaurasia, 2016). Hal ini menjadikan kelarutan obat di dalam air sebagai indikator

1
utama yang mempengaruhi kelarutan obat di dalam cairan fisiologis usus dan potensi
yang dihasilkan dari bioavailibilitasnya.
Kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut didalam larutan
jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Larutan memainkan peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari. Di alam kebanyakan reaksi berlangsung dalam larutan air,
tubuh menyerap mineral, vitamin dan makanan dalam bentuk larutan.Sejalan dengan
pesatnya perkembangan penelitian di bidang obat, saat ini tersedia berbagai pilihan
obat, sehingga diperlukan pertimbangan yang cermat dalam pemilihan obat untuk
mengobati suatu penyakit, kelarutan sangat besar pengaruhnya terhadap pembuatan
obat dimana bahan-bahan dapat dicampurkan menjadi suatu larutan sejati, larutan
koloid, dan dispersi kasar.
Data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui dalam
pembuatan sediaan farmasi. Sediaan farmasi cairan seperti sirup, eliksir, obat tetes
mata, injeksi dan lain-lain dibuat dengan menggunakan pembawa air. Bahkan untuk
sediaan obat lainnya seperti suspensi, tablet atau kapsul yang diberikan secara oral,
data ini tetap diperlukan karena didalam saluran cerna obat harus dapat melarut dalam
cairan saluran cerna yang komponen utamanya adalah air agar dapat diabsorpsi.
Pada umumnya obat baru dapat diabsorpsi dari saluran cerna dalam keadaan
telarut kecuali kalau transport obat melalui mekanisme pinositosis. Oleh karena itu
salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan adalah dengan
menaikkan kelarutan zat aktifnya di dalam air.
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu adalah suhu, pH,
jenis pelarut, bentuk dan ukuran partikel, konstanta dielektrik bahan pelarut dan
penambahan surfaktan.
Dalam bidang farmasi kelarutan sangat penting, karena dapat mengetahui dan
dapat membantu dalam memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau
kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada
waktu pembuatan larutan farmasetis (dibidang farmasi) dan lebih jauh lagi dapat
bertindak sebagai standar atau uji kelarutan.

2
Oleh karena itu, percobaan kelarutan sangat penting dilakukan agar kita dapat
mengetahui usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kelarutan suatu obat
yang dapat mempermudah absorpsi obat didalam tubuh manusia.
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
Maksud dari percobaan ini untuk mengetahui dan memahami cara penentuan
kelarutan dan koefisiensi distribusi zat padat dalam pelarut pada berbagai suhu dan
dua pelarut yang tidak saling bercampur.
1.2.2 Tujuan
Tujuan dari percobaan ini agar mahasiswa dapat mengetahui mengetahui dan
memahami cara penentuan kelarutan dan koefisiensi distribusi zat padat dalam
pelarut pada berbagai suhu dan dua pelarut yang tidak saling bercampur.
1.3 Manfaat Percobaan
Adapun manfaat dari praktikum kali ini kita dapat mengetahui dan menentukan
kelarutan dari asam borat dan koefisiensi distribusi dari Paracetamol
1.4 Prinsip Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan asam borat dan koefisiensi
distribusi Paracetamol dalam dua pelarut tidak saling bercampur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Kelarutan
Kelarutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut sampai
membentuk larutan jenuh. Adapun cara menentukan kelarutan suatu zat ialah dengan
mengambil sejumlah tertentu pelarut murni, misalnya 1 liter. Kemudian
memperkirakan jumlah zat yang dapat membentuk larutan lewat jenuh, yang ditandai
dengan masih terdapatnya zat padat yang tidak larut. Setelah dikocok ataupun diaduk
akan terjadi kesetimbangan antar zat yang larut dengan zat ynag tidak larut (Atkins,
1994).
Yang dimaksud dengan kelarutan dari suatu zat dakam suatu pelarut, adalah
banyaknya suatu zat dapat larut secara maksimum dalam suatu pelarut pada kondisi
tertentu. Biasanya dinyatakan dalam satuan mol/liter. Jadi, bila batas kelarutan
dicapai, maka zat yang dilarutkan itu dalam batas kesetimbangan, artinya bila zat
terlarut ditambah, maka akan terjadi larutan jenuh, bila zat yang dilarutkan dikurangi,
akan terjadi larutan yang belum jenuh. Dan kesetimbangan tergantung pada suhu
pelarutan (Sukardjo, 1997).
Dua komponen dalam larutan adalah solute dan solvent. Solute adalah
substansi yang melarutkan. Contoh sebuah larutan NaCl. NaCl adalah solute dan air
adalah solvent. Dari ketiga materi, padat, cair, dan gas, sangat dimungkinkan untuk
memiliki sembilan tipe larutan yang berbeda: padat dalam padat, padat dalam cairan,
padat dalam gas, cair dalam padat, cair dalam cairan, dan sebagainya. Dari berbagai
macam tipe ini, larutan yang lazim kita kenal adalah padatan dalam cairan, cairan
dalam cairan, gas dalam cairan, serta gas dalam gas (Sukardjo, 1997).
Pada umumnya, kelarutan kebanyakan zat padat dan zat cair dalam solven cair
bertambah dengan naiknya temperatur.Untuk gas adlam zat cair, kelakuan yang
sebaliknya terjadi. Proses larut untuk gas dalam zat cair hampir selalu bersifat
eksotermik, sebab partikel-partikel solut telah terpisah satu sama lain dan efek panas

4
yang dominan akan timbul akibat solvasi yang terjadi bilamana gas larut. Kaidah Le
Chatelier meramalkan bahwa kenaikan temperatur akan mengakibatkan perubahan
endotermik, yang untuk gas terjadi bilamana ia meninggalkan larutan. Oleh karen
aitu, gas-gas menjadi kurang larut jika temperatur zat cair di mana gas dilarutkan
menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, mendidihkan air. Gelembung-gelembung kecil
tampak pad apermukaan panci sebelum pendidihan terjadi. Gelembung-gelembung
tersebut mengandung udara yang diusir dari larutan jika air menjadi panas.Kita juga
menggunakan kelakukan kelarutan gas yang umum bilamana kita menyimpan botol
yang berisi minuman yang diberi CO2 dalam almari es dalam keadaan terbuka.
Cairan tersebut akan menahan CO2 yang terlarut lebih lama bilamana ia dijaga tetap
dingin, sebab CO2 lebih larut pada temperatur-temperatur rendah. Lain contoh dari
phenomenon ini adalah gas-gas yang terlarut dalam air mengalir dalam telaga-telaga
dan dalam sungai-sungai. Kadar oksigen yang terlarut, yang merupakan keharusan
bagi kehidupan marine, berkurang dalam bulan-bulan dimusim panas, dibanding
dengan kadar oksigen selama musim dingin (Moechtar, 1989).
Menurut metode kelarutan, sejumlah besar obat ditempatkan dalam wadah
yang tertutup baik, bersama-sama dengan larutan zat pengompleks dalam berbagai
konsentrasi dan botol dikocok dalam bak pada temperatur konstan sampai tercapai
kesetimbangan. Cairan supernatan dalam porsi yang cukup diambil dan dianalisis
(Alfred, 1990).
A. Istilah-istilah Kelarutan (Dirjen POM, 1995)

Jumlah bagian pelarut diperlukan untuk


Istilah kelarutan
melarutkan 1 bagian zat

Sangat mudah larut Kurang dari 1 bagian

Mudah larut 1 sampai 10 bagian

5
Larut 10 sampai 30 bagian

Agak sukar larut 30 sampai 100 bagian

Sukar larut 100 sampai 1000 bagian

Sangat sukar larut 1000 sampai 10.000 bagian

Praktis tidak larut Lebih dari 10.000 bagian

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelarutan


1. Temperatur
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses
melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan
menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran panas/kalor
(reaksi endotermik) (Lund, 1994).
2. Ukuran Partikel
Perbedaan dalam energi bebas permukaan yang menyertai disolusi partikel
dalam ukuran yang bervariasi yang menyebabkan kelarutan zat meningkat dengan
penurunan ukuran partikel (Tungadi, 2014).
3. Tekanan
Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan
tekanan kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar untuk dapat mengubah
kelarutan suatu zat (Sienko dan Plane, 1961).
4. Intensitas Pengadukan
Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak bergerak
dan kecepatan aliran pelarutan tergantung pada bagaimana karakter zat padat tersebut
menghambar dari dasar wadah (Martin, 1993).

6
5. Konsentrasi Bahan Pelarut
Suatu bahan mampu membentuk agregat besar atau misel dalam larutan jika
konsentrasinya melebihi nilai yang ditentukan (Tungadi, 2014).
6. Pengaruh Surfaktan
Jika digunakan surfaktan dalam formulasi obat, maka kecepatan larutan obat
akan bergantung jumlah dari jenis surfaktan. Pada umumnya, dengan adanya
penambahan surfaktan dalam suatu formula akan menambah kecepatan pelarut dan
bahan obat.
7. pH
Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena tidak mudah
terionisasi. Semakin kecil pKanya maka suatu zat semakin sukar larut, sedangkan
semakin besar pKa maka suatu zat akan mudah larut (Lund, 1994).
2.1.2 Koefisien Distribusi
Koefisien distribusi merupakan perbandingan kelarutan suatu zat di dalam dua
pelarut berbeda dan tidak saling bercampur, serta mempunyai harga tetap pada suhu
tertentu (Voight, 1995).
Koefisien partisi menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut
sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut lemak,
maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi lebih
mudah. Selain itu, organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien
partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut akan menjadi hambatan
pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi
dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan
koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1999).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan: bila suatu zat terlarut
terdistribusi antara dua pelarut yang tidak dapat campur, maka pada suatu temperatur
yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi yang

7
konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distribusi ini tidak tergantung
pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga angka banding berubah
dengan sifat dasar pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperatur (Svehla, 1990).
Menurut hukum distribusi Nerst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling
bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka
akan terjadi pembagian kelarutan. Kedua pelarut tersebut umumnya pelarut organic
dan air. Dalam praktek solute akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua
pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi
solute di dalam kedua pelarut tersebut tetap, dan merupakan suatu tetapan pada suhu
tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi. Koefisien
distribusi dinyatakan dengan rumus KD= C2/C1atau KD = Co/Ca (Soebagio, 2002).
Jika harga KDbesar, solute secara kuantitatif akan cenderung terdistribusi
lebih banyak ke dalam pelarut organik begitu pula sebaliknya (Soebagio, 2002).
Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa bahan obat
terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik kita mengharapkan
distribusi dapat diatur artinya konsentrasi obat pada tempat kerja lebih besar dari pada
konsentrasi di tempat lain pada organisme, walaupun demikian kemungkinan untuk
mempengaruhi pada distribusi dalam bentuk hal kecil, pada kemoterapi tumor ganas
sebagian dicoba melalui penyuntikan atau infus sitostatika ke dalam arteri memasok
tumor untuk memperoleh kerja yang terarah (Ernest, 1999).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh sifat
kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa senyawa
yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi dalam jaringan yang mengandung
banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak diambil oleh jaringan
lemak karena itu ditentukan terutama dalam ekstrasel (Ernest, 1999).
Zat terlarut terlarut dalam satu fase, dalam kesetimbangan dengan fase
bercampur lain, didistribusikan antara dua fase sehingga rasio konsentrasi dalam dua
fase adalah konstan pada temperatur tertentu. Pada kesetimbangan ini konstan, K ,
disebut sebagai konstanta distribusi atau koefisien partisi, didefinisikan oleh Nerst

8
sebagai K = Cu/Cl dimana Cu dan Cl adalah konsentrasi di fase atas dan bawah,
masing-masing hubungan berlaku ketika molekul setiap fase dalam keadaan yang
sama agregasi. Jika zat terlarut dipisahkan atau berhubungan, bentuk-bentuk yang
lebih kompleks dari persamaan harus diterapkan. Itu juga diakui bahwa hanya dalam
sistem yang ideal adalah koefisien partisi independen dari total zat terlarut ini,
penyimpangan ini begitu terkenal sehingga dalam literatur teknik kimia persamaan di
atas dianggap kasus membatasi. Partisi lemak / air dari suatu molekul merupakan
indeks yang berguna dalam kecenderungan untuk absorpsi oleh difusi pasif (Gandjar,
2007).
Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan bukan
air. Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya yang
bekerja antara dua muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja pada
muatan itu dalam dua pelarut. Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana tingkat
kemampuan melarutkan pelarut tersebut. Misalnya air dengan tetapan dielektriknya
yang tinggi (E = 78,5) pada suhu 25°C, merupakan pelarut yang baik untuk zat-zat
yang bersifat polar, tetapi juga merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat-zat non
polar. Sebaliknya, pelarut yang mempunyai tetapan dielektrik yang rendah
merupakan pelarut yang baik untuk zat non polar dan merupakan pelarut yang kurang
baik untuk zat berpolar (Rifai, 1995).
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat
tersebut dilarutkan dalam air sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
terionkan tergantung pada pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan lebih
mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau
bahkan praktis tidak larut. Dengan demikian pengaruh pH sangat besar terhadap
kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah (Sardjoko, 1987).

9
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Latin : Alkohol, Etanol, Etil alkohol
RM/BM : C2H5OH / 46,07
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap


dan mudah bergerak; bau khas; rasa, mudah
terbakar dengan memerikan nyala biru
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam
kloroform P dan eter p
Kegunaan : Membunuh bakteri pada sampel
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, di tempat sejuk, jauh dari nyala api
2.2.2 Aquadest (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AQUA DESTILATA
Nama Latin : Air suling
RM/BM : H2O / 18,02
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak berasa dan


tidak berwarna
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

10
2.2.3 Asam Borat (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : ACIDIUM BORICU
Nama Latin : Asam Borat
RM/BM : H3BO3 / 61,88
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur, serbuk hablur putih atau sisik


mengkilap tidak berwarna ; kasar ; tidak
berbau ; rasa agak asam dan pahit kemudian
manis tidak berwarna
Kelarutan : Larut dalam 20 menit bagian air, dalam 3
bagian air mendidih, dalam 16 bagian etanol
(95%) P dan dalan 5 bagian gliserol P
Kegunaan : Antiseptikum ekstern
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.4 Fenolftalen (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : FENOLFTALEIN
Nama Latin : Fenolftalein, Indikator PP
RM/BM : H20H14O4 / 318,33
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur putih atau putih kekuningan


lemah, tidak berbau, stabil diudara
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol
(95%) P

11
Kegunaan : Sebagai zat tambahan, Indikator
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.5 NaOH (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : NATRII HYDROXYDUM
Nama Latin : Natrium Hidroksida
RM/BM : NaOH / 40,00
Rumus Struktur :

Na OH

Pemerian : Bentuk batang, butiran, massa hablur atau


keeping, keras, rapuh dan menunjukkan `
susunan hablur ; putih, mudah meleleh basah.
Sangat alkalis dan korosif. Segera menyerap
karbondioksida
Kelarutan : Sangat mudah larut dalan air dan dalam etanol
(95%) p
Kegunaan : Sebagai zat tambahan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.6 Paracetamol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : ACETAMINOPHEN
Nama lain : Asitominofen
Nama Kimia : N – Asefil – 4 – aminofenol
Struktur kimia :

Rumus Molekul : C8H9NO2

12
Berat Molekul : 151,16 g/mol
Pemerian : Hablur atau hablur putih, tidak berbau, rasa
pahit
Kelarutan : Larut dalam 70% bagian air, dalam 7 bagian
etanol, dalam 40 bagian gliserol, dan dalam 9
bagian propileskinol : larut dalam alkali
hidroksida
Kegunaan : Analgetin ; antiseptic/penurunan demam

13
BAB III
METODOLOGI KERJA
3.1 Waktu dan tempat percobaan
Dilaksanakannya praktikum kelarutan ini pada tanggal 25 September Pukul
07.00 WITA yang bertempat di Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi,
Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan saat praktikum antara lain : batang pengaduk, corong,
corong pisah, gelas beker 250 ml, neraca analitik, oven, pipet tetes, pot salep dan
spatula.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan saat praktikum antara lain : kertas saring, asam borat 2
gr, Paracetamol 0,1 gr, corn oil, NaOH, aquadest, kertas perkamen, tisu dan
fenoftalen.
3.3 Cara kerja
1. Penentuan kelarutan
a) Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
b) Dibersihkan alat dengan alcohol 70%
c) Ditimbang asam borat 2 gr
d) Diukur air 25 ml pada gelas ukur dan dimasukkan ke dalam gelas beker.
e) Dimasukkan asam borat 2 gr ke dalam 25 ml air
f) Diaduk hingga homogeny
g) Ditimbang kertas saring kosong
h) Dijenuhkan kertas saring terlebih dahulu dengan cara di basahi dengan
aquades ke seluruh bagian kertas.
i) Disaring asam borat menggunakan kertas saring melalui corong
j) Diambil residu dari asam borat yang telah disaring
k) Dimasukkan kedalam oven residu asam borat

14
l) Ditimbang kertas saring yang berisi residu dari asam borat
2. Penentuan koefisien distribusi
a) Disiapkan alat dan bahan
b) Dibersihkan alat dengan alcohol 70%
c) Ditimbang 0,2 gr Naoh
d) Disiapkan 50 ml aquades pada gelas kimia
e) Dicampur Naoh dan aquades
f) Diaduk hingga homogen
3. Penentuan koefisien distribusi tanpa minyak
a) Disiapkam alat dan bahan yang akan di gunakan
b) Di bersihkan alat dengan alcohol 70%
c) Di timbang pct sebanyak 0,2 gr
d) Dilarutkan paracetamol di dalam aquades
e) Di aduk hingga homogen
f) Diambil paracetamol sebanyak 25 ml untuk di titrasi
g) Di tambahkan indikator fenolftalen sebanyak 2 tetes
h) Dititrasi dengan Naoh 2,5 ml sampai terjadi perubahan warna menjasdi
merah muda keunguan
i) Dicatat volume evaluasi
j) Dihitung koefisien distribusinya
4. Penentuan koefien distribusi dengan minyak
a) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b) Dibersihkan alat dengan alcohol 70%
c) Ditimbang paracetamol sebanyak 0,2 gr
d) Dilarutkan paracetamol di dalam aquades 100 ml
e) Di aduk hingga homogen
f) Di ambil pct sebanyak 25 ml untuk di titrasi
g) Dimasukkan ke dalam corong pisah

15
h) Ditambahkan corn oil sebanyak 25 ml kedalam corong pisah lalu di
kocok.
i) Didiamkan beberapa saat sampai minyak dan larutan pct tadi terpisah
ataumemberikan batas.
j) Dipisahkan lapisan air dan lapisan minyak
k) Diambil lapisan air dan ditambahkan indikator fenolftalen sebanyak 2
tetes
l) Dilakukan titrasi dengan Naoh sebanyak 3 ml sampai terjadi perubahan
warna menjadi merah muda keunguan
m) Dicatat volume titrasi
n) Dihitung koefisien distribusinya.

16
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Perhitungan


4.1.1 Hasil

Tanpa minyak Dengan minyak

1. Kelarutan

Sampel Suhu Kertas saring Kertas saring


kosong residu

Asam borat Kamar 1,5468 g 1,8832 g

2. Koefisien Distribusi

Volume titran
Sampel Tanpa minyak Dengan minyak

Paracetamol 2,5 ml 3 ml

17
4.1.2 Perhitungan
1. Penentuan kelarutan asam borat

Dik : Kertas saring kosong = 1,5468 g

Kertas saring residu = 1, 8832 g

Dit : Kelarutan asam borat ?

Peny : 1) berat residu = kertas saring residu – kertas saring kosong

= 1,8832 g – 1,5468 g

= 0, 3364 g

2) Zat terlarut = Berat sampel – residu

= 2 g – 0,3364 g

= 1, 6636 g

zat terlarut
3) Konsentrasi =
volume

1,6636 g
=
25 ml

g
= 0, 06654
ml

2. Penentuan koefisien distribusi paracetamol

Vtitran × Ntitran × BE
1) % Kadar tanpa minyak = ×100 %
Berat sampel

2,5 ml ×0,1 × 40
= ×100 %
0,2 g

18
10
= 0,2
×100 %

= 5%

Vtitran × Ntitran × BE
2) % Kadar dengan minyak = ×100 %
Berat sampel

3 ml ×0,1 × 40
= ×100 %
0,2 g

12
= 0,2 g ×100 %

= 6%

3) Koefisien fase minyak = % kadar minyak - % kadar tanpa minyak

= 6% - 5%

= 1%

Fase minyak
4) Koefisien distribusi =
% kadar tanpa minyak

1%
= 5%

= 0,2

= < 1 ( lebih cenderung ke air )

4.2 Pembahasan
Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia (obat)
yang terlarut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang saling
bercampur. Oleh karena molekul-molekul dalam larutan tersebut terdispersi secara
merata maka penggunaan larutan sebagai bentuk sediaan, umumnya memberikan

19
jaminan keseragaman dosis dan memiliki ketelitian yang baik jika larutan tersebut
diencerkan atau dicampur (Santi Sinala, 2016).
Larutan adalah campuran homogen yang terdiri atas satu atau lebih zat terlarut
dalam pelarut yang sesuai membentuk sistem termodinamika yang stabil secara fisika
dan kimia di mana zat terlarut terdispersi dalam sejumlah pelarut tersebut. Bentuk
larutan dapat dilihat dalam kehidupan kita sehari-hari seperti teh manis, larutan
garam, dan lain-lain. Dalam bidang Farmasi, larutan dapat diaplikasikan dalam
bentuk sediaan sirup obat, mouthwash, tetes hidung, tetes telinga, tetes mata, gargle,
betadine, dan lain-lain (Santi Sinala, 2016).
Kelarutan merupakan parameter penting bagi suatu obat dalam mencapai
konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan respon farmakologi. Banyak obat
memiliki kelarutan yang buruk di dalam air, padahal obat harus berada dalam bentuk
terlarut ketika akan diabsorpsi. Banyak teknik yang telah dikembangkan untuk
peningkatan kelarutan obat meliputi modifikasi fisik, modifikasi kimia, ataupun
teknik lain (Willybrordus Yoga dan Rini Hendriani).
Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat
terlarut dalam larutan jenuh pada suhu tertentu, dan secara kualitatif didefinisikan
sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekul
homogen (Martin dkk., 2009). Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang
penting untuk diperhatikan dalam formulasi suatu bahan obat menjadi sediaan
farmasi karena kelarutan mempengaruhi laju disolusi obat dan menentukan
ketersediaan hayati obat dalam tubuh. Untuk mencapai ketersediaan hayati yang
optimal, obat harus melalui proses absorbsi dan pelarutan. Jika obat sudah berada
dalam bentuk dispersi molekuler atau sudah terlarut, maka obat dapat melalui proses
absorpsi sehingga pada akhirnya dapat memberikan efek farmakologi yang
diinginkan dalam jangka waktu tertentu (Florence dan Attwood, 2006).
Pada praktikum kali ini kami akan melakukan percobaan “Kelarutan”, pertama-
tama siapkan alat dan bahan. Alat yang digunakan saat praktikum antara lain : batang
pengaduk, corong, corong pisah, gelas beker 250 ml, neraca analitik, oven, pipet

20
tetes, pot salep dan spatula. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu: Paracetamol,
Asam Borat, NaOH, Alkohol 70%, kertas saring, corn oil, aquadest, kertas perkamen,
tisu dan indikator fenolftalen. Sebelum menggunakan alat dibersihkan dengan alkohol
70% terlebih dahulu guna mencegah adanya mikroba, menurut Farmakope Belanda
tahun 2011 alkohol 70% digunakan sebagai antiseptik dan desinfektansia serta
sterilisasi penyuntikan.
Percobaan yang dilakukan kali ini yaitu menentukan kelarutan suatu zat dalam
pelarut pada suhu tertentu, yang dilakukan pada sampel asam borat dengan
menggunakan pelarut aquadest pada suhu kamar. Percobaan pertama dilakukan
dengan menimbang kertas saring kosong bertujuan untuk mengetahui berat kertas
saring. Selanjutnya percobaan dilakukan pada sampel asam borat 2 gram yang
ditambahkan dengan pelarut aquadest sebanyak 25 mL pada suhu kamar bertujuan
untuk mengetahui kelarutan asam borat dalam pelarut aquadest. Setelah dilarutkan,
larutan sampel diaduk selama selama beberapa menit untuk membantu mempercepat
difusi antar partikel sehingga mempercepat kelarutan. Setelah diaduk hingga
homogen, larutan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan
terlebih dahulu bertujuan untuk memisahkan larutan dengan residu. Setelah disaring
diambil residu dan dimasukkan ke dalam oven sampai kering. Kemudian dikeluarkan
dari oven dan ditimbang bertujuan untuk mengetahui berat residu. Berdasarkan
percobaan maka diperoleh berat residu asam borat dalam pelarut aquadest pada suhu
kamar yaitu 1,8832 gram.

Pada percobaan kedua yaitu menentukan koefisien distribusi, langkah yang


dilakukan yaitu menimbang NaOH sebanyak 0,2 gram, kemudian dilarutkan ke dalam
pelarut aquadest sebanyak 50 ml dan dicampur hingga homogen. Percobaan ini
bertujuan untuk menentukan koefisien distribusi zat terlarut NaOH dalam air
berdasarkan ekstraksi pelarut, di mana sampel NaOH diharapkan dapat terpisah
dalam salah satu pelarut. Ekstraksi pelarut adalah ekstraksi yang menggunakan fase
cair yang berperan sebagai pelarut, dalam hal ini adalah air.

21
Percobaan selanjutnya yaitu menentukan koefisien distribusi tanpa minyak,
langkah pertama yang dilakukan yaitu menimbang paracetamol sebanyak 0,2 gram
dan dilarutkan ke dalam pelarut aquadest sebanyak 100 ml, kemudian diaduk hingga
homogen. Selanjutnya, diambil Paracetamol sebanyak 25 ml untuk di titrasi dan
ditambahkan indicator fenolftalen sebanyak 2 tetes, kemudian di titrasi dengan NaOH
sebanyak 2,5 ml sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda keunguan.
Setelah terjadi perubahan warna, catat volume evaluasi dan didapatkan koefisien
distribusinya yaitu 0,2 (lebih cenderung ke air).

Pada percobaan terakhir yakni penentuan koefisien distribusi dengan minyak,


langkah pertama yang dilakukan yaitu menimbang paracetamol sebanyak 0,2 gram
dan dilarutkan ke dalam pelarut aquadest sebanyak 100 ml, kemudian diaduk hingga
homogen. Selanjutnya, diambil larutan Paracetamol sebanyak 25 ml untuk di titrasi
dan dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian menambahkan corn oil sebanyak
25 ml ke dalam corong pisah lalu dikocok. Setelah itu didiamkan beberapa menit
sampai minyak dan larutan paracetamol terpisah atau memberikan batas. Selanjutnya
memisahkan lapisan air dan lapisan minyak, kemudian diambil lapisan air dan
ditambahkan indicator fenolftalen sebanyak 2 tetes. Langkah selanjutnya yaitu
dititrasi dengan NaOH sebanyak 3 ml sampai terjadi perubahan warna menjadi merah
muda keunguan. Setelah terjadi perubahan warna, catat volume evaluasi dan
didapatkan koefisien distribusinya yaitu 0,2 (lebih cenderung ke air).

22

Anda mungkin juga menyukai