Anda di halaman 1dari 28

EKSPERIMEN 4

DISPERSI MOLEKULER DAN FENOMENA DISTRIBUSI

OLEH :
PRAKTIKAN FARMASI FISIKA

GOLONGAN JUMAT PAGI


CELL A

LABORATORIUM FARMASETIKA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang


Dalam membuat suatu sediaan, keamanan dan efektivitas obat menjadi
pertimbangan utama. Suatu bahan obat harus bekerja di lokasi yang tepat
di dalam tubuh agar dapat memberikan efek teraupetik yang diharapkan.
Untuk itu, dalam menformulasi suatu sediaan harus memerhatikan sifat
fisika, kimia dan biologi obat (Shargel et al, 2005).
Salah satu pertimbangan dalam formulasi sediaan adalah kelarutan
dan distribusi obat dalam tubuh. Seorang farmasis harus dapat memahami
tentang teori dan teknologi sistem terdirpersi. Dengan memahami konsep
tersebut, diharapkan permasalahan yang muncul pada pembuatan dan
formulasi sediaan emulsi, suspensi, salep, serbuk dan bentuk sediaan
kempa dapat diatasi (Sinko,2011).
Dispersi molekuler bersifat homogen serta dapat membentuk larutan
sejati. Dispersi molekuler ini memiliki kisaran ukuran partikel kurang dari
1 nm. Sifat sistemnya tidak dapat terlihat menggunakan mikroskop
elektron, tetapi dapat melewati ultrafilter dan membran semipermeabel,
serta mampu mengalami difusi dengan cepat. Contoh sederhana dari
dispersi molekuler adalah molekul oksigen, ion-ion biasa, dan juga glukosa
(Sinko, 2011).
Kelarutan juga menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan dalam
formulasi suatu sediaan. Kelarutan dalam besaran kuantitatif didefinisikan
sebagai konsentrasi larutan zat terlarut dalam larutan jenuh dan temperatur
tertentu. Sedangkan secara kualitatif kelarutan adalah interaksi spontan dari
dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen. Hal-hal
yang dapat mempengaruhi kelarutan yaitu sifat kimia dan fisika zat terlarut
dan pelarut, temperatur, tekanan, pH larutan. Untuk jumlah kelarutan yang
sedikit dipengaruhi oleh terbaginya zat terlaru (Marthin, 1993).
Kelarutan memegang peranan penting baik dalam sistem farmasetis
maupun sistem biologis. Bahan obat dapat diformulasi menjadi bentuk
sediaan larutan, namun tidak semua bahan obat dapat larut sempurna dalam
air. Dalam kasus ini, umumnya dibutuhkan pelarut pembantu atau kosolven
agar dapat menghasilkan sediaan yang jernih dan stabil. Untuk itu, gejala
distribusi dan kelarutan bahan obat penting untuk diketahui dan dipelajari
guna menunjang proses formulasi dan memastikan suatu sediaan mampu
memberikan efek teraupetik dan bekerja dengan efektif dalam tubuh.
Melalui praktikum ini, diharapkan praktikan mampu untuk
mengamati fenomena kelarutan dan menghitung kelarutan bahan-bahan
farmasi pada sistem pelarut (pelarut tunggal dan pelarut campuran), serta
mampu untuk mengamati fenomena distribusi bahan di antara dua pelarut
yang tidak saling bercampur (air dan oktanol), menentukan koefisien
partisi, dan nilai Log P bahan obat tertentu. Dengan demikian, praktikan
diharapkan mengetahui dan memahami konsep-konsep tersebut sebagai
dasar untuk masuk ke praktikum-praktikum berikutnya.

I.2 Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum dispersi molekuler dan fenomena


distribusi adalah sebagai berikut:
1. Menentukan kelarutan bahan obat dalam sampel dan menyatakan
dalam istilah kelarutan yang digunakan dalam farmakope
2. Menentukan koefisian partisi bahan obat dan menyatakan hasilnya
sebagai nilai log P.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Dispersi


Sistem dispersi atau sistem sebaran adalah suatu sistem yang menunjukkan bahwa
suatu zat dapat terbagi ke zat lainnya. Zat yang terbagi atau didispersikan
disebut fase terdispersi, fase intern atau fase diskontinu, sedangkan zat
yang digunakan untuk mendispersi disebut fase pendispersi, fase ekstern
atau fase kontinu. Fase pendispersi lebih dikenal sebagai medium
pendispersi. Berdasarkan perbedaan ukuran zat yang didispersikan, sistem
dispersi dibedakan menjadi dispersi kasar, dispersi halus, dan dispersi
molekuler (Sumardjo, 2009).
1. Dispersi kasar atau suspensi adalah sistem dua fase yang heterogen,
tidak jernih, dan memiliki diameter partikel lebih besar dari 10 -5
cm. Partikel-partikel suspensi dapat dilihat dengan mikroskop
biasa, mudah diendapkan, dan tidak dapat melewati kertas saring
biasa maupun membran semipermeabel (Sumardjo, 2009).
2. Dispersi halus atau koloid adalah dua fase yang ketercampurannya
berada di antara homogen dan heterogen, agak keruh, serta
memiliki diameter partikel 10-7 cm hingga 10-5 cm.
Partikelpartikel koloid tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa
tetapi dapat dilihat dengan mikroskop ultra, mudah diendapkan dan
dapat melewati kertas saring biasa maupun membran
semipermeabel (Sumardjo, 2009).
3. Dispersi molekuler atau larutan adalah sistem satu fase yang
homogen, jernih dan memiliki diameter tidak lebih dari 10 -7 cm,
partikel-partikel larutan tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa
maupun mikroskop ultra, sukar diendapkan, dan dapat melewati
kertas saring biasa maupun membran semipermeabel (Sumardjo,
2009).

2.2 Larutan
Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat
kimia (obat) yang terlarut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam
pelarut yang saling bercampur. Dikarenakan molekul-molekul dalam
larutan terdispersi secara merata maka penggunaan larutan sebagai bentuk
sediaan, umumnya memberikan jaminan keseragaman dosis dan memiliki
ketelitian yang baik jika larutan tersebut diencerkan atau dicampur. (Sinila,
2016).
Menurut kesetimbangan, larutan dibagi menjadi tiga yaitu (Sinila, 2016) :
1. Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam
kesetimbangan (tepat larut dalam batas kelarutannya) dengan fase
pelarutnya.
2. Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh Suatu larutan yang
mengandung zat terlarut dalam konsentrasi di bawah konsentrasi yang
dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu.
3. Larutan lewat jenuh Suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam
konsentrasi yang banyak pada suhu tertentu atau larutan yang tidak
dapat lagi melarutkan zat terlarut sehingga terjadi endapan.

Kelarutan dapat didefinisikan dalam istilah kuantitatif sebagai


konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada suhu tertentu dan secara
kuantitatif dapat pula dinyatakan sebagai interaksi spontan dari dua atau
lebih zat untuk membentuk dispersi molekul yang homogen (Sinilia,
2016).
Menurut U.S. Pharmacopeia and National Formulary, definisi
kelarutan obat adalah jumlah ml pelarut dimana akan larut 1 gram zat
terlarut. Tabel istilah-istilah kelarutan menurut (Dirjen POM, 1979), yaitu:
Istilah Bagian Pelarut yang Dibutuhkan
Untuk 1 Bagian Zat Terlarut
Sangat mudah larut Kurang dari 1 bagian
Mudah larut 1 sampai 10 bagian
Larut 10 sampai 30 bagian
Agak sukar larut 30 sampai 100 bagian
Sukar larut 100 sampai 1000 bagian
Sangat sukar larut 1000 sampai 10000 bagian
Praktis tidak larut Lebih dari 10000

Proses pelarutan pada prinsipnya adalah memindahkan suatu molekul


dari fase terlarut dan menyimpannya dalam pelarut. Proses pelarutan
terjadi melalui 3 tahap, yaitu (Martin, 1993):
1. Tahap pertama menyangkut pemindahan satu molekul dari fase
terlarut pada temperatur tertentu. Kerja yang dilakukan dalam
memindahkan satu molekul dari zat terlarut sehingga dapat lewat ke
wujud uap membutuhkan pemecahan ikatan antara molekul-molekul
yang berdekatan. Kerja pemecahan ikatan antara 2 molekul yang
berdekatan adalah 2w22, dimana notasi 22 adalah interaksi antara
molekul zat terlarut. Tetapi apabila molekul melepaskan diri dari fase
zat terlarut, lubang yang ditinggalkannya tertutup dan setengah dari
energi yang diterima kembali.
2. Tahap kedua menyangkut pembentukan lubang dalam pelarut yang
besar untuk menerima molekul zat tertentu. Kerja yang dibutuhkan
untuk tahap ini adalah w11, di mana angka itu adalah energi interaksi
antara molekul-molekul pelarut.
3. Tahap ketiga adalah penempatan molekul zat terlarut dan dalam
lubang pelarut.

Gambar 2.1 Gambaran sederhana tahapan proses pelarutan (Martin, 1993).

2.3 Faktor kelarutan


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kelarutan, diantaranya :
1. Sifat dari solute (zat terlarut) dan solvent (pelarut)
Zat terlarut yang sifatnya polar akan mudah larut dalam solvent
yang polar pula. Misalnya garam-garam anorganik larut dalam air.
Sedangkan zat terlarut yang nonpolar larut dalam solvent yang non
polar pula. Misalnya, alkaloid basa (umumnya senyawa organik) larut
dalam kloroform (Sinila, 2016).
2. Salting out
Salting out adalah peristiwa adanya zat tertentu yang mempunyai
kelarutan lebih besar dibanding zat utama, akan menyebabkan
kelarutan zat utama atau terbentuknya endapan karena ada reaksi
kimia. Contohnya pada kelarutan minyak atsiri dalam air akan turun
bila ke dalam air tersebut ditambahkan larutan natrium klorida jenuh
(Sanilia, 2016).

3. Temperatur
Panas pelarutan didefinisikan sebagai banyaknya panas yang
dibebaskan atau diperlukan apabila satu mol zat terlarut dilarutkan
dalam dalam suatu pelarut untuk menghasilkan satu larutan jenuh.
Kenaikan temperatur menaikkan kelarutan zat padat yang
mengabsorpsi panas (proses endotermik) apabila dilarutkan. Pengaruh
ini sesuai dengan asas Le Chatelier, yang mengatakan bahwa sistem
cenderung menyesuaikan diri sendiri dengan cara yang sedemikian
rupa sehingga akan melawan suatu tantangan misalnya kenaikan
temperatur. Sebaliknya jika proses pelarutan eksoterm yaitu jika panas
dilepaskan, temperatur larutan dan wadah terasa hangat bila disentuh.
Kelarutan dalam hal ini akan turun dengan naiknya temperatur. Zat
padat umumnya termasuk dalam kelompok senyawa yang menyerap
panas apabila dilarutkan (Martin, 1993)

4. Ion sekutu
Sebuah endapan secara umum lebih dapat larut dalam air murni
dibandingkan di dalam sebuah larutan yang mengandung satu dari ion
ion endapan (efek ion sekutu). Dalam menjalankan pengendapan,
analisis selalu menambahkan beberapa kelebihan unsur pengendapan,
analisis selalu menambahkan beberapa kelebihan unsur pengendapan
untuk memastikan pengendapan selesai. Dalam mencuci sebuah
endapan di mana pengurangan kelarutan cukup berarti, sebuah ion
sekutu dapat dipergunakan dalam cairan pencuci untuk dipergunakan
dalam cairan pencuci untuk mengurangi kelarutan. Dengan hadirnya
ion sekutu yang berlebih, kelarutan dari sebuah endapan bisa jadi lebih
besar daripada nilai yang telah diperkirakan melalui tetapan kelarutan
produk. Secara umum, yang biasanya diminta adalah penambahan
sekitar 10% kelebihan unsur pengendapan (Sanilia, 2016).

5. Konstanta dielektrik
Semakin besar nilai konstanta dielektriknya maka akan bersifat
polar sehingga akan mudah larut dalam senyawa polar begitu pula
sebaliknya (Sanilia, 2016).

6. Efek pH
Kelarutan dari garam sebuah asam lemah tergantung pada pH
larutan tersebut. Jika ke dalam larutan garam yang mengandung anion
dari asam lemah ditambahkan H+ dari asam kuat, maka anion dari asam
lemah tersebut akan bereaksi dengan H+ yang ditambahkan. Hal ini
terjadi karena anion dari asam lemah merupakan basa konjugasi yang
kuat. Akibatnya anion dari asam lemah tersebut akan bereaksi dengan
H+, sehingga kelarutan dari senyawa tersebut bertambah. Hal ini dapat
diterangkan dengan azas Le Chatelier atau hukum kesetimbangan (Day
dan Underwood, 2002).

7. Pembentukan kompleks
Gaya antar molekuler yang terlibat dalam pembentukan kompleks
adalah gaya Van der waals dari dispersi, dipolar dan tipe dipolar
diinduksi atau sebagai berikut (Chang, 2003):
1) Interaksi dipol-ion atau interaksi yang terjadi ketika daerah yang
menjadi pusat elektrik dari molekul tertarik menuju ion yang
memilki muatan berlawanan dengan momen dipolnya. Interaksi ini
bertanggung jawab atas kelarutan berbagai jenis elektrolit dalam
pelarut polar
2) Interaksi dipol-dipol atau interaksi yang bertanggung jawab untuk
pelarutan dalam pelarut polar diantaranya asam organik, alkohol,
amida, amina, ester, keton dan gula dengan bobot molekul rendah
di dalam pelarut polar.
3) Interaksi dipol-dipol terinduksi yaitu ketika molekul dengan
momen dipol kuat mendekati molekul non-polar, momen dipol
molekul tersebut dapat menginduksi medan listrik pada molekul
non-polar yang kemudian tertarik ke pusat elektrik molekul dengan
momen dipol kuat. Molekul yang beresonansi lebih mudah
diinduksi oleh dipole.
4) Interaksi dipol terinduksi-dipol terinduksi yaitu interaksi yang
bertanggung jawab atas kelarutan senyawa non-polar di dalam
pelarut non-polar.
Ikatan hidrogen memberikan gaya yang bermakna dalam beberapa
kompleks molekuler dan kovalen koordinat penting dalam beberapa
kompleks logam (Voigt, 1984).

2.4 Faktor Kosolvensi (Zat Penambah Kelarutan)

Kosolvensi adalah peristiwa meningkatnya kelarutan suatu zat karena adanya


penambahan pelarut lain atau modifikasi pelarut. Sebagai contoh, luminal
tidak dapat larut dalam air, namun dapat larut dalam campuran air dan
gliserin atau solutio petit (Sinila, 2016).
Kosolvensi mengurangi potensi kimiawi larutan dengan menurunkan
kerapatan ikatan hidrogen pada air dan menciptakan lingkungan yang
kurang polar dalam bulk, sehingga molekul obat dapat larut dalam fase
pelarutnya (Dzakwan, 2019).
Kosolvensi merupakan cara yang cukup potensial dan sederhana
dibanding beberapa cara lain yang digunakan untuk meningkatkan
kelarutan dan stabilitas suatu bahan. Penggunaan kosolven dapat
memengaruhi polaritas sistem, yang dapat ditunjukkan dengan perubahan
tetapan dielektrikanya (Swarbrick, 2007).
Mekanisme kerja dari kosolvensi yaitu dengan menurunkan tegangan
antarmuka antara zat terlarut hidrofobik dan lingkungan cairan
(mengandung air) atau dengan mengubah tetapan dielektrik (Yalkowsky,
1981).
Kosolvensi tidak hanya digunakan untuk mempengaruhi kelarutan
obat. tetapi juga untuk memperbaiki kelarutan dari konstituen-konstituen
yang mudah menguap yang digunakan untuk memberi rasa dan bau yang
diinginkan ke produk. Molekul-molekul dalam obat padat diikat bersama
oleh gaya intermolekular tertentu misalnya gaya dipol-dipol imbas,
dipoldipol dan interaksi ion-ion, demikian pula dengan solvent
(Yalkowsky, 1981).
Kosolven seperti etanol, propilen glikol, polietilen glikol dan
glikofural telah rutin digunakan sebagai zat untuk meningkatkan kelarutan
obat dalam larutan pembawa berair. Pada beberapa kasus, penggunaan
kosolven yang tepat dapat meningkatkan kelarutan obat hingga beberapa
kali lipat (Swarbrick, 2007).

2.5 Hukum Termodinamika II

Termodinamika adalah ilmu makroskopik, dan pada tingkat yang


paling mendasar, adalah studi tentang dua kuantitas fisik, energi dan
entropi. Energi dapat dianggap sebagai kapasitas untuk melakukan kerja,
sementara entropi dapat dianggap sebagai ukuran gangguan dari suatu
sistem. Termodinamika sangat erat kaitannya dengan interkonversi energi
panas dan kerja. Dalam konteks kimia, hubungan antara sifat-sifat ini dapat
dianggap sebagai kekuatan pendorong terjadinya reaksi kimia.
Termodinamika mampu memprediksi apakah reaksi dapat terjadi atau tidak
tanpa perlu mempertimbangkan sifat materi itu sendiri (Chang, 2003)
Entropi didefiniskan sebagai sejumlah gangguan dalam suatu sistem.
Menurut hukum II termodinamika, setiap sistem akan lebih suka memiliki
entropi yang lebih tinggi, dan reaksi spontan umumnya akan meningkatkan
entropi di dalam suatu sistem. Proses yang melibatkan peningkatan entropi
sistem (ΔS> 0) seringkali spontan. Atau dengan kata lain agar sebuah
reaksi spontan terjadi diperlukan ∆G (perubahan energi bebas) yang
bernilai negatif yang akan diperoleh apabila ∆H (perubahan entalpi)
bernilai negatif dan ∆S (perubahan entropi) bernilai positif. Diperlukan
proses spontan untuk melarutkan sebuah bahan (Chang, 2003).

2.6 Koefisien Partisi atau Koefisien Distribusi


Ketika suatu senyawa (atau zat terlarut) ditambahkan ke dalam campuran pelarut
yang saling tidak tercampur, zat terlarut tersebut akan mendistribusikan
dirinya ke kedua pelarut berdasarkan afinitasnya pada masing-masing fase.
Senyawa polar (misalnya gula, asam amino, atau obat-obat terion) akan
cenderung menyukai fase berair atau fase polar, sedangkan senyawa-
senyawa non polar (misalnya obat yang tidak terion), akan menyukai fase
organik atau fase non polar. Zat terlarut mendistribusikan dirinya sendiri di
antara kedua pelarut yang tidak bercampur berdasarkan hukum partisi,
yang menyatakan bahwa “senyawa tertentu yang saling tidak bercampur
pada perbandingan konsentrasi yang tetap ini dikenal dengan koefisien
partisi”.
Senyawa tersebut dinyatakan secara matematis sebagai berikut:
𝑃 = 𝐶𝑤/𝐶𝑜 Keterangan :
P = Koefisien partisi
Cw = Konsentrasi dalam air
Co = Konsentrasi dalam lemak/minyak
P>1 = memiliki nilai afinitas lebih besar pada air dibanding minyak
P=1 = memiliki nilai afinitas yang sama antara air dan minyak P
P<1= memilki afinitas lebih besar pada minyak

P adalah koefisien partisi senyawa organik adalah konsentrasi


senyawa dalam fase organik atau fase minyak dan air adalah konsentrasi
senyawa dalam fase air. Koefisien partisi adalah perbandingan konsentrasi
sehingga satuannya dihilangkan dan P tidak memiliki satuan (Cairns,
2009).
2.7 Penerapan Koefisien Partisi dan Koefisien Distribusi
Koefisien partisi umumnya mengacu pada perbandingan konsentrasi spesi
senyawa tidak terionisasi, sedangkan koefisien distribusi mengacu pada
perbandingan konsentrasi semua spesi senyawa (terionisasi dan yang tidak
terionisasi). Dalam ilmu kimia dan farmasi, kedua fase tersebut biasanya
merupakan pelarut. Umumnya, salah satu pelarutnya adalah air sedangkan
yang kedua adalah pelarut hidrofobik seperti 1-oktanol. Oleh karena itu,
koefisien partisi mengukur seberapa hidrofilik (cinta air) atau hidrofobik
(takut air) suatu zat kimia (Sangster, 1997).
Koefisien partisi berguna untuk mengestimasi distribusi obat dalam
tubuh. Obat hidrofobik dengan koefisien partisi oktanol/air tinggi terutama
didistribusikan ke daerah hidrofobik seperti selubung lipid dwilapis.
Sebaliknya obat hidrofilik (koefisien partisi oktanol/air rendah) ditemukan
terutama di daerah berair seperti serum darah (Golan, 2008).
Jika salah satu pelarutnya adalah gas dan lainnya adalah cairan, maka
koefisien partisi gas/cair dapat ditentukan. Misalnya, koefisien partisi
darah/gas dari anestesi umum digunakan untuk mengukur seberapa mudah
anestesi mengalir dari gas ke darah. Koefisien partisi juga dapat
didefinisikan bila salah satu fase adalah padatan, misalnya, bila satu fase
adalah logam dan yang kedua adalah logam padat, atau ketika keduanya
adalah padatan. Pemisahan suatu zat menjadi padatan menghasilkan
larutan padat (Shargel, 2012).
BAB 3
METODE KERJA
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah corong,
corong pisah, erlenmeyer 50 ml, erlenmeyer 100 ml, gelas ukur 25 ml, labu
tentukur 25 ml dan 200 ml, pipet skala 1 ml, pipet volume 5 ml, pipet
volume 25 ml, bulb, spektrofotometri UV-VIS, timbangan analitik dan
vial.

3.1.2 Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah
dietilkarbamazin, asam benzoat, aquadest, polietilenglikol, dan baku
natrium hidroksida 0,1 M.

3.2 Prosedur Kerja


3.2.1 Kosolvensi dan Penentuan Kelarutan Bahan Obat
1. Siapkan pelarut dan campuran pelarut sebanyak masing-masing 15 ml dalam
vial bertutup (kosentrasi kosolven 0%, 10%, 20%, 30%)
2. Tambahkan sampel 300 mg ke dalam pelarut/campuran pelarut lalu sonikasi
selama 5 menit
3. Saring sampel dengan menggunakan kertas saring whattman
4. Ambil sebanyak 5 ml larutan sampel dengan bantuan pipet volume dan bulb
5. Titrasi sampel sesuai dengan prosedur titrasi yang terdapat di dalam
farmakope/referensi lainnya
6. Catat volume titran yang digunakan pada lembar observasi
7. Hitung jumlah zat terlarut menggunakan persamaan berikut dan catat
hasilnya ke dalam tabel pengamatan

%K : Persen kadar
Vt : Volume titran (ml)
N : Normalitas titran (N)
Bst : Berat setara
(mg) Bs : Berat sampel
(mg)
fk : Faktor koreksi

8. Nyatakan masing-masing hasil perhitungan dalam istilah kelarutan sesuai


farmakope
9. Buatlah kurva jumlah zat terlarut vs konsentrasi pelarut
3.2.2 Penentuan Koefisien Partisi dan Log P
1. Buat larutan stok 10.000 ppm dalam labu tentukur 10 mL
2. Encerkan sampel menjadi 100 ppm dalam labu tentukur 200 mL
3. Cuplik 5 ml larutan tersebut dan tentukan konsentrasi awal obat dalam air
dengan metode spektrofotometri
4. Cuplik 25 ml larutan dan pindahkan larutan sampel ke dalam corong pisah
5. Tambahkan 25 ml n-oktanol ke dalam corong pisah dan gojok beberapa kali
dengan sesekali membuka kran corong pisah untuk mengeluarkan tekanan
yang terbentuk selama penggojokan
6. Biarkan lapisan air dan oktanol memisah
7. Cuplik 5 ml larutan air hasil partisi dan tentukan konsentrasi obat didalamnya
dengan metode spektrofotometri
8. Hitung koefisien partisi (P) dan log P bahan obat dengan menggunakan
persamaan berikut

dan persamaan berikut

Kow : Koefisien partisi minyak/air


Co : Konsentrasi obat dalam fase minyak (mM)
Cw : Konsentrasi obat dalam fase air (mM) log
P: Log koefisien partisi minyak/air

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil Kosolvensi dan Penentuan Kelarutan Bahan Obat
Bs (mg)
Pernyataan Kelarutan
Kosentrasi Vt 𝒙̅
No.
Kosolven (ml) (mg) Istilah
5 ml 10,0 ml g/ml
Kelarutan
2,8 109,2 218,4
1 0% 122,85 3,90 Sukar larut
1,4 54,6 109,2

1,9 71,4 148,2


2 10% 99,45 5,94 Sukar larut
1,5 58,5 117

0,5 19,5 39
3 20% 33,175 56,82 Larut
0,6 23,4 46,8

3,4 132,6 265,2


4 30% 193,05 60,61 larut
3,2 124,8 249,6

Tabel 2. Hasil Penentuan Koefisien Partisi dan Log P


Nama Sampel Dietilkarbamazin
Konsentrasi Awal
Konsentrasi Akhir
(Fase Air)
C0 Cair Coktanol
Abs (mM) Abs (mM) (mM)
0,646 5,608 x 10-4 0,680 5,88 x 10-4 0,272 x 10-4

0,613 5,342 x 10-4 0,816 6,98 x 10-4 1,637 x 10-4

0,641 5,568 x 10-4 1,266 1,086 x 10-3 5,292 x 10-4

0,674 5,834 x 10-4 1,065 8,98 x 10-4 3,146 x 10-4

Konsentrasi Obat (Akhir) Koefisien Partisi

Fase P (Ko/w) Log P


Fase Air nOktanol
(Cair) SE
(Coktanol) Nilai 𝒙̅ SEM Nilai 𝒙̅
M
5,88 x 10-4 0,272 x 10-4 0,0462 -1,335

6,98 x 10-4 1,637 x 10-4 0,2345 -0,623


0,2
0,283 0,095 -0,679
1,086 x 10-3 5,292 x 10-4 0,4992 -0,302 28

8,98 x 10-4 3,146 x 10-4 0,3503 -0,455


4.2 Pembahasan

Kelarutan sejatinya merupakan konsentrasi zat terlarut dalam suatu


larutan jenuh dengan suhu tertentu. Kelarutan dapat didefinisikan secara
kuantitatif dan juga kualitatif. Secara kuantitatif, kelarutan zat dalam
pelarut ialah kelarutan dalam 20oC dan kecuali dinyatakan lain,
menunjukkan bahwa 1 bagian zat padat atau 1 bagian volume cair zat larut
dalam bagian volume tertentu suatu pelarut (Depkes, 2014). Sedangkan
secara kualitatf, kelarutan didefinisikan sebagai interaksi dua atau lebih zat
secara spontan untuk membentuk disperse molekul yang homogen (Sinko,
2011).
Berbicara mengenai kelarutan, ada dua hal yang menjadi fokus utama
yaitu pelarut dan juga zat terlarut. Dalam pembuatan suatu bahan,
dibutuhkan penambahan pelarut untuk menciptakan keadaan homogen. Hal
yang perlu diperhatikan ialah penambahan jenis pelarut tertentu. Terdapat
suatu keadaan dimana suatu zat lebih mudah larut atau homogen dalam
pelarut campuran. Keadaan ini disebut kosolvensi. Bahan campuran yang
terdapat dalam suatu pelarut sendiri dinamakan kosolven. Kosolven adalah
bahan pelarut campuran yang dapat meningkatkan kelarutann suatu bahan
atau zat. Jenis kosolven yang paling umum digunakan sebagai bahan
campuran dalam pelarut ialah etanol, gliserin, dan juga propilen glikol
(Dzakwan, 2019).
Pada percobaan pertama ini, dilakukan penentuan kelarutan dari bahan
obat berupa Asam Benzoat menggunakan pelarut campuran yang terdiri
dari aquadest dan juga propilen glikol. Percobaan penentuan kelarutan
asam benzoat kali ini dilakukan dengan metode titrasi dimana pada
prosesnya, asam benzoat dilarutkan kedalam 4 pelarut campuran dengan
konsentrasi kosolven yang berbeda-beda yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30%
dalam 2 kali replikasi. Berdasarkan percobaan tersebut, didapatkan hasil
kelarutan dari keempat pelarut dengan konsentrasi kosolven yang berbeda
berupa pada konsentrasi kosolven 0% dan 10% didapati bahan asam
benzoat sukar larut. Sedangkan pada pelarut dengan konsentrasi kosolven
20% dan 30% asam benzoat dapat larut. Hal ini sudah sesuai dengan
pustaka yang menyebutkan bahwa asam benzoat sukar larut dalam
aquadest (Depkes, 2014). Hal ini dapat kita lihat bahwa pada pelarut
dengan konsentrasi kosolven 0% dan 10% bahan sukar larut dikarenakan
pelarut mengandung kadar aquadest yang banyak, namun pada konsentrasi
20% dan 30% yang mana pelarut memiliki kadar kosolven yang lebih
banyak dibandingkan pelarut sebelumnya, asam benzoat dapat larut dengan
mudah. Hal ini menandakan bahwa penambahan kosolven yaitu propilen
glikol memberikan pengaruh pada kelarutan suatu bahan (Simamora,
2001).
Ada keadaan dimana suatu zat saat ditambahkan pada campuran
pelarut yang tidak tercampur satu sama lain, maka zat tersebut akan
terdispersi di antara dua pelarut tersebutberdasarkan afinitasnya. Terdapat
sebuah hukum partisi yang menyebutkan bahwa senyawa tertentu pada
suhu tertentu akan memisahkan diri diantara dua pelarut yang tidak
bercampur pada perbandingan konsentrasi yang tetap. Hukum inilah yang
menjadi landasan dari suatu keadaan dimana sebuah zat terlarut akan
terdispersi diantara dua pelarut berdasarkan afinitasnya (Donald, 2008).
Pada percobaan penentuan Koefisien Partisi dan Log P kali ini,
digunakan sampel berupa Dietilkarbamazin. Berdasarkan hasil praktikum,
didapati hasil berupa nilai rata-rata Log P ialah 0,690 dan nilai P ialah
0,273. Berdasarkan perbandingan dengan pustaka yang menyebutkan
bahwa nilai Log P dari Dietilkarbamazin ialah 0,1 hal ini tidak sesuai
dengan hasil yang didapatkan saat praktikum (Anonim, 2021). Perbedaan
hasil yang didapatkan dengan referensi dapat terjadi dikarenakan zat belum
terpartisi secara keseluruhan. Hal ini menyebabkan tidak meratanya pH
larutan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan pada penentuan koefisien
partisi ialah pH larutan harus selalu terjaga sehingga ketidakmerataan pH
larutan ini berakibat pada nilai absorbansi yang tidak sesuai (Melinda,
2010).

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum, dapat diketahui bahwa kelarutan bahan obat dapat
dipengaruhi oleh penambahan kosolven. Semakin tinggi konsentrasi
kosolven yang digunakan di dalam suatu pelarut, maka tingkat kelarutan
suatu zat terlarut juga semakin tinggi. Hal ini menunjukkan kosolven dapat
digunakan untuk meningkatkan kelarutan suatu bahan obat di dalam
pelarut tertentu.
Dari praktikum ini juga dapat diketahui bahwa koefisien partisi dan
nilai log P suatu bahan obat dalam fase air/oktanol yang tinggi,
menunjukkan tingginya konsentrasi zat yang terionisasi atau terpatisi
dalam pelarut air/oktanol atau fase air/minyak. Sebaliknya, koefisien
partisi dan nilai log P yang rendah dari suatu bahan obat menunjukkan
rendahnya konsentrasi zat yang terionisasi atau terlarut di dalam pelarut
air/oktanol atau fase air/minyak.
5.2 Saran
Untuk percobaan koefisien partisi dan log P, sebaiknya campuran
dicuplik saat sudah terpartisi sempurna agar nilai yang dihasilkan akurat
dan dapat mewakili nilai koefisien partisi dan log P yang sebenarnya dari
sampel yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2021. Pubchem: Diethylcarbamazine. National Liberty of Medicine.


Chang, R. 2003. Kimia Dasar: Konsep Konsep Inti. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Cairns, D. 2009. Intisari Kimia Farmasi. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Day, R.A., dan Underwood, L.A. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga.
Depkes, RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes, RI. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta: Departemes Kesehatan
Republik Indonesia.
Donald, C. 2008. Intisari Kimia Farmasi. Jakarta: EGC
Dzakwan, M,. Dan Priyanto, W. 2019. ‘Peningkatan Kelarutan Fisetin Dengan
Teknik ‘. 8(2). pp. 5-9.
Golan, D.E., et all. 2008. General Anesthetic Pharmacology”. Principles of
Pharmacology: The Pathophysiologic Basis of Drug Therapy. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Martin, A., Et al. 1993. Farmasi Fisik: Dasar Dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu
Farmasetik. Jakarta: UI Press.
Melinda, D. et al. 2010. Koefisien Partisi. Jurnal BiofarmasetikaFarmakokinetika,
1: 1-20
Sangster, J. 1997. Octanol-Water Partition Coefficients: Fundamentals and
Physical Chemistry. Chichester: John Wiley & Sons Ltd.
Shargel, L., Susanna, W.Y.A.B. 2012. Physiological Drug Distribution and
Protein Binding”. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics. Edisi 6.
New York: McGraw-Hill Medical.
Simamora, P. et al. 2001. Solubilization of Paramycin. International Journal of
Pharmaceutics, 213(1-2): 25-29.
Sinila, S. 2016. Farmasi Fisika. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Sinko, P. J. 2011. Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika. Jakarta: EGC.
Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia. Jakarta: EGC.
Swarbrick, J. 2007. Encyclopedia of Pharmaceutical. New York: Infarma
Healtcare USA.
Yalkowsky, S. H. 1981. Techniques of Solubilization of Drugs. New York: Marcel
Dekker.
Voight, R. 1994. Teknologi Farmasi. Edisi IV. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan

1.1 Kosolvensi dan Penentuan Kelarutan Bahan Obat

Diketahui:
Normalitas titran: 0,0975 M
Berat setara: 40,0 mg
Faktor koreksi: 0,1
%K Asam Benzoat: 100%

Ditanyakan: Perhitungan Bs, rata-rata, dan pernyataan kelarutan sampel

Penyelesaian:

1) Perhitungan Bs
%K = x 100%

• Konsentrasi kosolven 0%

x
100%

Bs1 (dalam 5 mL air) x 100 = 109,2 mg

Bs1 (dalam 10 mL air) = 109,2 mg x 2 = 218,4 mg

x 100%

Bs2 (dalam 5 mL air) x 100 = 54,6 mg

Bs2 (dalam 10 mL air) = 54,6 mg x 2 = 109,2 mg

• Konsentrasi Kosolven 10%

x 100%

Bs1 (dalam 5 mL air) x 100 = 74,1 mg


Bs1 (dalam 10 mL air) = 74,1 mg x 2 = 148,2 mg

x 100%

Bs2 (dalam 5 mL air) x 100 = 58,5 mg


Bs2 (dalam 10 mL air) = 58,5 mg x 2 = 117 mg

• Konsentrasi Kosolven 20%


x 100%

Bs1 (dalam 5 mL air) x 100 = 19,5 mg


Bs1 (dalam 10 mL air) = 19,5 mg x 2 = 39 mg

x 100%

Bs2 (dalam 5 mL air) x 100 = 23,4 mg


Bs2 (dalam 10 mL air) = 23,4 mg x 2 = 46,8 mg

• Konsentrasi Kosolven 30%

x 100%

Bs1 (dalam 5 mL air) x 100 = 132,6 mg


Bs1 (dalam 10 mL air) = 132,6 mg x 2 = 265,2 mg

x 100%

Bs2 (dalam 5 mL air) x 100 = 124,8 mg


Bs2 (dalam 10 mL air) = 124,8 mg x 2 = 249,6 mg

2) Perhitungan rata-rata (𝐗̅)

• = 122,85 mg

• = 99,45 mg

• = 33,175 mg

• = 193,05 mg
3) Pernyataan kelarutan sampel

• Konsentrasi kosolven 0%
3,90 g/mL (sukar larut)

• Konsentrasi kosolven 10%

g/mL (sukar larut)

• Konsentrasi kosolven 20%

g/mL (larut)

• Konsentrasi kosolven 30%

= 60,61 g/mL (larut)

1.2 Penentuan Koefisien Partisi dan Log P

Diketahui:
- Persamaan kurva baku: Y = 0,00623x – 0,0503 - Absorbansi konsentrasi
awal (fase air):
Abs1 = 0,646
Abs2 = 0,613
Abs3 = 0,641
Abs4 = 0,674

- Absorbansi konsentrasi akhir:


Abs1 = 0,680
Abs2 = 0,816
Abs3 = 1,266
Abs4 = 1,065

- Volume konsentrasi awal (C0) = 200 mL


- Volume konsentrasi akhir (Cair) = 25 mL
- BM Dimetil Karbamazin = 199,29
Ditanyakan: C0, Cair, Coktanol, P (Ko/w), Log P, X
̅ , SEM

Penyelesaian:

1) Konsentrasi Awal (C0)

• 0,646 = 0,00623x – 0,0503 X


= 111,766 ppm
X = 111,766 𝜇g/mL
X = 22.353,2 𝜇g/200 mL X
= 22,3532 g/200 mL

C0 = 0,5608 M
C0 = 5,608 x 10-4 mM

• 0,613 = 0,00623x – 0,0503

X = 106,47 ppm
X = 106,47 𝜇g/mL
X = 21.294 𝜇g/200 mL X
= 21,294 g/200 mL

C0 = 0,5342 M
C0 = 5,342 x 10-4 mM

• 0,641 = 0,00623x – 0,0503

X = 110,96 ppm
X = 110,96 𝜇g/mL
X = 22.192,62 𝜇g/200 mL
X = 22,193 g/200 mL

C
C0 = 0,5568 M
C0 = 5,568 x 10-4

• 0,674 = 0,00623x – 0,0503


X = 116,26 ppm
X = 116,26 𝜇g/mL
X = 23.252 𝜇g/200 mL X
= 23,252 g/200 mL

C0 = 0,5834 M
C0 = 5,834 x 10-4 mM

2) Konsentrasi pada fase air (Cair)

• 0,680 = 0,00623x – 0,0503


X = 117,22 ppm
X = 117,22 𝜇g/mL
X = 2930,5 𝜇g/25 mL X
= 2,93 g/25 mL

C0 = 0,588 M
C0 = 5,88 x 10-4 mM

• 0,816 = 0,00623x – 0,0503

X = 139,05 ppm
X = 139,05 𝜇g/mL
X = 3.476,25 𝜇g/25 mL X
= 3,48 g/25 mL

C0 = 0,698 M
C0 = 6,98 x 10-4 mM

• 1,266 = 0,00623x – 0,0503

X = 216,58 ppm
X = 216,58 𝜇g/mL
X = 5.414,5 𝜇g/25 mL
X = 5,41 g/25 mL

C0 = 1,086 M
C0 = 1,086 x 10-3 mM

• 1,065 = 0,00623x – 0,0503

X = 179,02 ppm
X = 179,02 𝜇g/mL
X = 4.475,52 𝜇g/25 mL X
= 4,475 g/25 mL

C0 = 0,898 M
C0 = 8,98 x 10-4 mM

3) Konsentrasi Oktanol (Coktanol)



Coktanol1 = 5,608 x 10-4 mM – 5,88 x 10-4 mM = 0,272 x 10-4 mM

Coktanol2 = 5,342 x 10-4 mM – 6,98 x 10-4 mM = 1,637 x 10-4 mM

Coktanol3 = 5,568 x 10-4 mM – 1,086 x 10-3 = 5,292 x 10-4

Coktanol4 = 5,834 x 10-4 – 8,98 x 10-4 = 3,146 x 10-4
4) P (Ko/w) dan Log P

P (Ko/w) = Coktanol / Cair = 0,272 x 10-4 mM/ 5,88 x 10-4 mM = 0,0462
Log P = log 0,0462 = -1,335


P (Ko/w) = Coktanol / Cair = 1,637 x 10-4 mM / 6,98 x 10-4 mM = 0,2345
Log P = log 0,2345 = -0,623


P (Ko/w) = Coktanol / Cair = 5,292 x 10-4 mM / 1,06 x 10-3 mM = 0,4992
Log P = log 0,4992 = -0,302


P (Ko/w) = Coktanol / Cair = 3,146 x 10-4 mM / 8,98 x 10-4 mM = 0,3503
Log P = log 0,3503 = -0,455

5) Rata-rata ( )

• Rata-rata P (Ko/w)

• Rata-rata Log P

6) SEM

 SEM P (Ko/w)
=

SEM

SEM log P
=

SEM
Lampiran 2. Kurva Kalibrasi

2.1 Grafik Jumlah Zat Terlarut vs Konsentrasi Kosolven

70

60
Konsentrasi Obat (g/mL)

50

40

30

20

10

0
0 10 20 30 40 50 60
Konsentrasi Kosolven (%)

Grafik 1. Jumlah Zat Terlarut vs Konsentrasi Kosolven

2.2 Kurva Kalibrasi

Kurva Kalibrasi
0,7
0,6 y = 0,0062x- 0,0503
R² = 0,9914
Absorbansi (nm) 0,5
0,4
Absorbansi (nm)
0,3
0,2 Linear (Absorbansi
(nm))
0,1
0
0 50 100 150
Konsentrasi Dietilkarbamazin (ppm)

Kurva 1. Kurva baku konsentrasi deret dietilkarbamazin dalam pelarut aquadest

Anda mungkin juga menyukai