Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengetahuan tentang kelarutan dan fenomena distribusi dari suatu sediaan
obat sangat penting untuk seorang farmasis, sebab hal ini dapat membantu
memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat.
Koefisien distribusi adalah suatu fenomena dimana suatu senyawa terdistribusi ke
dalam senyawa yang tidak saling bercampur, dimana hal ini bergantung pada
interaksi fisika dan kimia antara pelarut dan senyawa terlarut. Kelarutan suatu zat
dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu
dan tekanan tertentu. Kelarutan dinyatakan dalam mililiter pelarut yang dapat
melarutkan suatu gram zat, pelepasan zat dari bentuk sediaannya sangat
dipengaruhi oleh sifat-sifat fisika dan kimia zat-zat tersebut serta formulasinya
(Martin, 1990).
Daya kelarutan suatu zat memegang peranan penting dalam formulasi
suatu obat. Lebih dari 50% senyawa kimia baru yang ditemukan saat ini bersifat
hidrofobik. Kegunaan klinik dari obat-obatan hidrofobik menjadi tidak efisien
dengan rendahnya daya kelarutan, dimana akan mengakibatkan kecilnya penetrasi
obat tersebut di dalam tubuh. Kelarutan suatu zat berkhasiat yang kurang dari 1
mg/mL mempunyai tingkat disolusi yang kecil karena kelarutan suatu obat dengan
tingkat disolusi obat tersebut sangat berkaitan.
Untuk menentukan suatu jenis pelarut, harus mengetahui sifat polaritas
dari zat terlarut tersebut. Dalam farmasi fisika, ada istilah yang disebut
dengan like dissolve like, maksud dari istilah ini adalah suatu kelarutan
bergantung pada pengaruh kimia, listrik, struktur yang menyebabkan interaksi
timbal balik zat pelarut dan zat terlarut.
Untuk melarutkan suatu zat, sering juga ditemukan zat-zat pelarut yang
tidak saling bercampur. Dalam sistem dua cairan yang tidak saling bercampur,
dapat berlaku hukum distribusi. Hukum ini menyatakan bahwa, jika jika kedalam
sistem dua cairan tidak saling bercampur ditambahkan senyawa ketiga, maka
senyawa ini akan terdistribusi masuk ke dalam dua cairan tersebut. Hukum ini

1
digunakan hanya untuk konsentrasi zat yang umum pada kedua fase, yaitu
monomer atau molekul sederhana dari zat.
Dalam bidang farmasi kelarutan dan koefisien distribusi sangat penting,
karena dapat membantu dalam memilih medium pelarut yang paling baik untuk
obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu
yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetik (dibidang farmasi) dan
lebih jauh lagi dapat bertindak sebagai standar atau uji kelarutan.
Maka dari itu berdasarkan uraian diatas dilakukan percobaan penentuan
kelarutan dari asam mefenamat pada suhu kamar dan suhu 67°C dan penentuan
koefisien distribusi metronidazole dalam pelarut air dan minyak yang tidak saling
bercampur.
Dalam praktikum kali ini, akan dilakukan percobaan untuk menentukan
kelarutan dan koefisien distribusi dengan menggunakan sampel asam mefenamat
sebagai zat terlarut dan air sebagai pelarut.
1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
1.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan dan koefisien
distribusi zat padat dalam pelarut pada berbagai suhu dan dua pelarut yang tidak
saling bercampur antara fase air dan fase minyak.
1.2.2 Tujuan Percobaan
Menentukan perbandingan kelarutan asam mefenamat pada suhu kamar
dan suhu 67° C dan penentuan koefisien distribusi dari metronidazole pada pelarut
yang tidak saling bercampur antara fase air dan fase minyak.
1.3 Prinsip Percobaan
Penentuan kelarutan dari asam mefenamat pada suhu kamar dan pada suhu
67°C dengan cara melarutkan, menyaring, mengeringkan dan menimbang residu
zat yang tidak larut dan penentuan koefisien distribusi metronidazole dalam
pelarut air dan minyak berdasarkan perbandingan kelarutan zat dalam dua pelarut
yang tidak saling bercampur yang dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,1 N yang
ditandai dengan perubahan warna dari yang tidak berwarna menjadi merah mudah
keunguan dengan bantuan indikator fenoftalein.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar teori
2.1.1 Larutan
Larutan adalah campuran yang bersifat homogen antara molekul, atom
ataupun ion dari dua zat atau lebih. Disebut campuran karena susunannya atau
komposisinya dapat berubah. Disebut homogen karena susunanya begitu seragam
sehingga tidak dapat diamati adanya bagian-bagian yang berlainan, bahkan
dengan mikroskop optis sekalipun (Tungadi, 2009).
2.1.2 Jenis-jenis Larutan
a) Larutan jenuh adalah suatu larutan yang zat terlarutnya berada dalam
kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut) (Sinko, 2005).
b) Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang
mengandung zat trlarut dalam konsentrasi yang dibutuhkan untuk
penjenuhan sempurna pada temperature tertentu (Martin, 1990).
c) Larutan lewat jenuh adalah suatu laruta yang mengandung zat terlarut dalam
konsentrasi lebih banyak daripada seharusnya pada temperature tertentu dan
terdapat juga zat terlarut yang tidak larut (Sinko, 2005).
2.1.3 Kelarutan
1. Pengertian Kelarutan
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu,
zat terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan
dinyatakan dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut
pada kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat
larut dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut. Contohnya adalah
etanol di dalam air. Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa
zat murni ataupun campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau
padat. Kelarutan bervariasi dari selalu larut seperti etanol dalam air, hingga sulit
terlarut, seperti perak klorida dalam air. Istilah "tak larut" (insoluble) sering
diterapkan pada senyawa yang sulit larut, walaupun sebenarnya hanya ada sangat
sedikit kasus yang benar-benar tidak ada bahan yang terlarut. Dalam beberapa

3
kondisi, titik kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui untuk menghasilkan suatu
larutan yang disebut lewat jenuh (supersaturated) yang metastabil
(Woedepss) (Tungadi, 2009).
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat
terlarut didalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan
dinyatakan dalam satuan mililiter pelarut yang dapat melarutkan satu gram zat.
Misalnya 1 gram asam salisilat akan larut dalam 500 mL air. Kelarutan juga
dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas dan persen (Tungadi, 2009).
Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-
sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasinya. Pada prinsipnya obat baru
dapat di absorpsi setelah zat aktifnya terlarut dalam cairan usus, sehingga salah
satu usaha untuk mempertinggi efek Farmakologi dari sediaaan adalah dengan
menaikkan kelarutan zat aktifnya (Tungadi, 2009).
2. Jenis-Jenis Kelarutan
Menurut Multiani (2018), jenis-jenis kelarutan dapat dibagi sebagai
berikut:
a. Kelarutan gas dalam larutan, dapat diartikan konsentrasi gas yang terlarut
dalam larutan pada kesetimbangan dengan gas murni.
b. Kelarutan cairan dalam cairan, alkohol ditambahkan dalam air membentuk
larutan hidroalkohol.
c. Kelarutan zat padat dalam cairan, kelarutan zat padat dalam larutan ideal
dan non ideal yang bergantung pada temperatur, titik leleh zat padat, dan
panas peleburan molar.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelarutan
Menurut Dirjen POM (1979), faktor-faktor yang mempengaruhi
kelarutan adalah pengadukan, suhu, luas permukaan, fikositas, ukuran partikel, pH
larutan, dan polimerfisme. Selain faktor di atas penambah surfaktan juga akan
mempengaruhi kelarutan. Surfaktan adalah suatu zat yang digunakan untuk
menakkan kelarutan suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu
polar dan non polar.

4
Kelarutan juga tergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus
polar dan non polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar
suatu zat makin zat tersebut larut dalam air. Selain itu, penambahan surfaktan
dapat juga ditambahkan zat-zat pembentuk kompleks untuk menaikan kelarutan
suatu zat, misalnya penambahan uretan dalam pembuatan injeksi khinin (Tungadi,
2009).
4. Tingkatan Kelarutan
Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya dapat
ditunjukkan dengan istilah berikut (Dirjen POM, 1979) :
Jumlah bagian pelarut yang
Istilah Kelarutan diperlukan untuk melarutkan 1
bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 sampai 10
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampai 1000
Sangat sukar larut 1000 sampai 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000

Daya kelarutan suatu zat berkhasiat memegang peranan penting dalam


formulasi suatu sediaan zat. Lebih dari 50% senyawa kimia baru yang ditemukan
saat ini bersifat hidrofobik. Kegunaan secara klinik dari obat-obat hidrofobik
menjadi tikad efesien dengan rendahnya daya kelarutan, dimana akan
mengakibatkan kecilnya penetrasi obat tersebut didalam tubuh. Kelarutan seuatu
karena kelarutan suatu obat dengan tingkat disolusi obat tersebut sangat berkaitan
(Jufri dkk, 2004).
5. Teknik Memperbaiki Kelarutan
Teknik untuk memperbaiki kelarutan suatu obat dapat dikategorikan ke
dalam modifikasi fisik, modifikasi kimia, dan teknik lainnya (Savjani et al., 2012).

5
Menurut Willybrordus (2014), berikut adalah teknik memperbaiki
kelarutan suatu obat beserta contohnya:
No. Teknik Contoh
Pengecilan ukuran partikel (mikronisasi
Modifikasi fisik/physical
1. & nanosuspensi) Ko-kristal Solid
modification
disperse Teknik kriogenik

Modifikasi kimia / Pembentukan garam Penggunaan


2.
chemical modification buffer Perubahan pH

Penggunaan adjuvant (surfaktan)


Penggunaan kosolven
3. Teknik lain
Hydrotrophy
Supercritial Fluid Process
2.1.4 Koefisien Distribusi
1. Pengertian Koefisien Distribusi
Koefisien distribusi merupakan suatu perbandingan kelarutan suatu zat
(sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta
mempunyai harga tetap pada suhu tertentu (Pratiwi, 2013).
Suatu zat dapat larut ke dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak
saling bercampur. Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke dalam
campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara
dua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan
kedalam pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk
menjenuhkan larutan, maka zat tersebut akan tetap terdistribusikan diantara kedua
lapisan dengan konsentrasi tertentu (Anita, 2013).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi diantaranya:
Menurut Martin (1990), faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien
distribusi yaitu:

6
a. Temperatur yang digunakan.
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi
menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai k.
b. Jenis pelarut.
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka
akan sangat mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh pada
perhitungan nilai k.
c. Jenis terlarut.
Apabila zat akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap atau
higroskopis, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut),
akibatnya mempengaruhi harga k.
d. Konsentrasi
Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar pula harga k.
3. Hukum Koefisien Distribusi
Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan
aktivitas zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivitas zat terlarut dalam pelarut lain
diketahui, asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Faktor
yang mempengaruhi tetapan distribusi adalah jenis zat pelarut, konsentrasi, jenis
zat terlarut dan suhu (Anita, 2013).
Menurut Martin (1990), koefisien distribusi adalah suatu perbandingan
kelarutan suatu zat dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur,
dimana hal ini bergantung pada interaksi fisika dan kimia antara pelarut dan
senyawa terlarut. Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat
kedalam pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul
semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans
membran terjadi lebih mudah.
Untuk memproduksi suatu respon biologis, molekul obat pertama-tama
harus menyeberangi suatu membran biologis beraksi sebagai suatu pembatas
lemak untuk kebanyakan obat-obat dan mengizinkan absorbsi zat-zat yang larut
dalam lemak dengan difusi pasif sedangkan zat-zat yang tidak larut dalam lemak
dapat mendifusi menyeberangi pembatasan hanya dengan kesulitan yang besar,

7
jika tidak sama sekali. Hubungan antara konstanta disolusi, kelarutan dalam
lemak, dan pH pada tempat absorbsi serta karakteristik absorbsi dari berbagai obat
merupakan dasar dari teori pH-partisi. Penentuan derajat disosiasi atau harga pKa
dari zat obat merupakan suatu karakteristik fisika-kimia yang relatif penting
terhadap evaluasi dari efek-efek yang mungkin pada absorbsi dari berbagai tempat
pemberian (Ansel, 2005).
Pengetahuan tentang koefisien partisi atau koefisien distribusi sangat
penting diketahui oleh seorang farmasis. Prinsip dari koefisien ini sangat banyak
berhubungan dengan ilmu farmasetik, termasuk disini adalah pengawetan system
minyak-air, kerja obat di tempat yang tidak spesifik, absorbsi dan distribusi obat
ke seluruh tubuh. Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase
tersebut. Hukum distribusi digunakan hanya untuk yang umum konsentrasinya
pada kedua fase, yaitu monomer atau molekul sederhana dari zat tersebut.
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik
dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan
makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien
partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1993).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh sifat
kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa senyawa
yang larut baik dalam bentuk lemak terkonsentrasi dalam jaringan yang
mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak
diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan terutama dalam ekstrasel.
Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa bahan obat
terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik kita
mengharapkan distribusi dapat diatur artinya konsentrasi obat pada tempat kerja
lebih besar dari pada konsentrasi di tempat lain pada organisme, walaupun
demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada distribusi dalam bentuk hal
kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian dicoba melalui penyuntikan atau
infus sitostatika ke dalam arteri memasok tumor untuk memperoleh kerja yang
terarah (Ernest, 1999).

8
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat
tersebut dilarutkan dalam air sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
terionkan tergantung pada pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan lebih
mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil
atau bahkan praktis tidak larut. Dengan demikian pengaruh pH sangat besar
terhadap kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah
(Sardjoko, 1987).
2.2 Uraian Bahan
1. Air suling (Dirjen POM,1979)
Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Nama Lain : Air suling
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna.


Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan.
Kegunaan : Sebagai pelarut.
Khasiat : Untuk menghilangkan dahaga
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2. Alkohol (Dirjen POM, 1995 ; Rowe, 2009)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Alkohol
Rumus molekul : C2H6O
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur : .

H3C OH

9
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap
dan mudah bergerak, bau khas, rasa panas.
Mudah terbakar dengan memberikan nyala biru
yang tidak berasa.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform
P dan dalam eter P.
Kegunaan : Sterilisasi alat-alat praktikum
Khasiat : Sebagai desinfektan (mencegah pertumbuhan /
pencemaran jasad renik) pada benda mati.
Digunakan juga sebagai antiseptik untuk
menghambat mikroorganisme pada jaringan
hidup.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindungi dari
cahaya, ditempat yang sejuk, jauh dari
jangkauan api.
3. Asam Mefenamat (Dirjen POM, 1995; Siswandono dan Sukarjo, 2000)
Nama Resmi : ACIDUM SALICYLICUM
Nama Lain : Asam N-2,3-xililantranilat
Rumus Molekul : C15H15NO2
Berat Molekul : 241,29 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih,


melebur pada suhu lebih kurang 2300 C disertai
peruraian.
Kelarutan : Larut dalam larutan alkali hidroksida, agak
sukar larut dalam kloroform, sukar larut dalam

10
etanol dan dalam methanol, praktis tidak larut
dalam air
Kegunaan : Sampel
Khasiat : Sebagai analgesik dan obat anti inflamasi
nonsteroid
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus
cahaya.
4. Fenolftalein (Dirjen POM, 1995)
Nama Resmi : PHENOLPTHALEINUM
Nama Lain : Fenolftalein, Indikator PP
Rumus Molekul : C20H14O4
Berat Molekul : 318,33 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur putih atau putih kekuningan


lemah, tidak berbau, stabil di udara.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol.
Kegunaan : Sebagai indikator.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
5. Metronidazole (Ditjen POM, 1995; Martindale, 2012)
Nama Resmi : METRONIDAZOLE
Nama Lain : Metronidatsoli, metronidazolas,
metronidazolum
Rumus Molekul : C9H9N3O3
Berat Molekul : 171,2 g/mol
Rumus Struktur :

11
Pemerian : Serbuk hablur; putih atau kuning gading; bau
lemah; rasa pahit dan agak asin.
Kelarutan : Larut dalam 100 bagian air, dalam 200 bagian
etanol (95%) P dan dalam 250 bagian klorofom
P; sukar larut dalam eter P
Kegunaan : Sebagai sampel
Khasiat : Sebagai anti mikroba
Penyimpanan : Pada suhu ruangan (150-300 C); terhindar dari
cahaya
6. Natrium Hidroksida (Dirjen POM, 1979; Subandi, 2010)
Nama Resmi : NATRII HYDROXYDUM
Nama Lain : Natrium Hidroksida
Rumus Molekul : NaOH
Berat Molekul : 40,00 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur batang, butiran halus, hablur atau


kepingan.
Kelarutan : Mudah larut dalam etanol (95%), tidak larut
dalam eter.
Kegunaan : Sebagai larutan baku.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

12
BAB 3
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum Farmasi Fisika Kelarutan dan Koefisien Distribusi dilakukan
pada hari Sabtu, tanggal 20 Oktober 2018 pukul 17.00-20.00 WITA. Praktikum
farmasi fisika Kelarutan dan Koefisien Distribusi bertempat di Labolatorium
Teknologi Farmasi Kampus 1, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan
Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Batang Pengaduk, Buret, Cawan Porselen, Corong Pisah, Gelas Beaker 500
ml (iwaki), Gelas Beaker 250 ml (pyrex), Gelas Ukur 100 ml (pyrex), Gelas Ukur
50 ml (iwaki), Lumpang dan Alu, Neraca Analitik, Oven, Penangas, Pipet Tetes,
Spatula, Statif dan Klem, Termometer.
3.2.2 Bahan
Alkohol 70%, Aluminium foil, Aquadest, Asam Mafenamat 2 gr, Corn oil,
Fenoftalein, Kertas Perkamen, Kertas saring, Label, Lumpang dan Alu,
Metronidazole 0,2 gr, NAOH 0,1 N dan Tisu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Penetuan Kelarutan
a. Suhu Kamar
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Digerus asam mafenamat sebanyak 500 mg kemudian ditimbang
sebanyak 0,2 gr
4. Ditimbang kertas saring kosong
5. Dijenuhkan kertas saring terlebih dahulu
6. Disiapkan 50 ml aquadest kedalam gelas kimia
7. Dilarutkan Serbuk kedalam 50 ml aquadest, sampai homogen.
8. Disaring larutan menggunakan kertas saring kedalam gelas kimia.

13
9. Diambil residu kemudian dimasukkan kedalam oven selama beberapa
menit dalam suhu 60oC
10. Ditimbang residu yang telah kering kemudian dihitung kelarutannya.
b. Suhu 67o C
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Digerus asam mafenamat sebanyak 500 mg kemudian ditimbang
sebanyak 0,2 gr
4. Dipanaskan air dalam penangas sebanyak 100 ml
5. Ditimbang kertas saring kosong
6. Dikalibrasi termometer sampai suhunya 0oC
7. Diukur suhu dari air yang dipanaskan dengan termometer hingga 67o C
8. Dilarutkan serbuk asam mafenamat dalam 55 ml air panas, dan diaduk
hingga homogen
9. Disaring menggunakan kertas saring
10. Diambil residu kemudian dimasukkan kedalam oven selama beberapa
menit dengan suhu 60o C
11. Ditimbang residu yang telah kering kemudian dihitung kelarutannya.
3.3.2 Koefisien Distribusi
a. Pembuatan NaOH 0,1 N sebagai larutan baku
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang 0,2 gr NaOH
4. Digerus NaOH sampai halus pada lumpang
5. Disiapkan 50 ml aquadest kedalam gelas kimia
6. Dilarutkan NaOH kedalam 0,5 ml
7. Dimasukkan 50 ml NaOH kedalam buret
8. Ditutup buret dengan aluminium foil
b. Koefisien distribusi Tanpa Minyak
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%

14
3. Digerus Metronidazole menggunakan lumpang dan alu
4. Ditimbang Metronidazole sebanyak 0,1 gr
5. Diukur aquadest sebanyak 100 ml kedalam gelas ukur
6. Dilarutkan Metronidazole kedalam gelas kimia
7. Diaduk sampai homogen
8. Diambil 25 ml larutan Metronidazole dan diletakkan dalam gelas kimia
9. Ditambahkan indikator fenoftelen sebanyak 3 tetes
10. Dititrasi dengan menggunakan NaOH sambil dkocok
11. Diambil sampel sampai terjadi perubahan kimia dari bening menjadi
ungu
12. Dicatat volume yang berkurang pada buret
c. Koefisien distribusi dengan minyak
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Digerus Metronidazole menggunakan lumpang dan alu
4. Ditimbang Metronidazole sebanyak 0,1 gr
5. Diukur aquadest sebanyak 100 ml kedalam gelas ukur
6. Dilarutkan Metronidazole kedalam gelas kimia
7. Diaduk sampai homogen
8. Diambil 25 ml larutan Metronidazole dan diletakkan dalam gelas kimia
9. Dimasukkan kedalam corong pisah
10. Dimasukkan 25 ml minyak jagung kedalam corong pisah
11. Dikocok sampai bercampur
12. Didiamkan beberapa menit sampai membentuk 2 lapisan
13. Diambil larutan bawah dan diletakkan ke dalam gelas kimia
14. Ditambahkan indikator fenoftalen sebanyak 3 tetes
15. Dititrasi sambil dikocok
16. Diamati sampai terjadi perubahan warna
17. Dicatat volume yang berkurang pada buret

15
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kelarutan
Kertas saring
Kertas saring
Sampel Pelarut Suhu pelarut +
kosong
residu
Asam 50 ml Suhu kamar 0,7807 gram 1,6322 gram
Mefenamat
Asam 50 ml Suhu 67°C 0,7807 gram 1,0711 gram
Mefenamat

4.1.1 Koefisien distribusi


Volume titran
Sampel
Tanpa minyak Dengan minyak
Metronidazole 0,5 ml 2 ml

4.2 Perhitungan
4.2.1 Kelarutan
Diketahui:
kertas saring kosong suhu kamar = 0,7807 gram
kertas saring kosong suhu 67°C = 0,7807 gram
kertas saring + residu suhu kamar = 1,6322 gram
kertas saring + residu suhu 67C = 1,0711 gram
Penyelesaian :
a. Berat residu
Suhu kamar = kertas saring + residu – kertas saring kosong
= 1,6322 gram - 0,7807 gram
= 0,8515 gram
Suhu 67°C = kertas saring + residu – kertas saring kosong
= 1,0711 gram - 0,7807 gram

16
= 0,2904 gram
b. Banyaknya zat terlarut
Suhu kamar = berat sampel – residu
= 2 gram – 0,8515 gram
= 1,1485 gram
Suhu 67°C = berat sampel – residu
= 2 gram – 0,2904 gram
= 1,7096 gram
c. Kosentrasi kelarutan
Zat terlarut
Suhu kamar =
Volume pelarut
1,1485 gr
=
50 ml
= 0,02297 gr/ml
Zat terlarut
Suhu 67°C =
Volume pelarut
1,7096 gr
=
50 ml
= 0.034192 gr/ml
4.2.2 Koefisien distribusi
𝑉titran × Ntitran× BE
a. % kadar tanpa minyak = × 100%
berat sampel
0,5 ml × 0,1 N × 171,15
= × 100%
0,1 gr
8,55 gr
= × 100%
0,1 gr
= 8.550 %
𝑉titran × Ntitran× BE
b. % kadar dengan minyak = × 100%
berat sampel
2 Ml ×0,1 N× 171,15
= × 100%
0,1 gr

17
34,23 gr
= × 100%
0,1 gr
= 34,230 %
c. Koefisien fase minyak = %tanpa minyak - %minyak
= 8.550 % - 34.230 %
= -25,68 %
C2
d. Koefisien distribusi =
C1
34,230 %
=
8,550%
= 3,7695
= > 1 (Lebih cenderung ke minyak)
4.3 Pembahasan
4.3.1 Kelarutan
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kelarutan salah satunya adalah suhu. Suhu sangat
mempengaruhi kelarutan karena kenaikan suhu akan meningkatkan kelarutan zat
yang proses melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotemik) dan
akan menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran
panas/kalor (reaksi endotemik) (Lund, 1994).
Pada praktikum ini akan menetukan perbandingan kelarutan dari asam
mefenamat pada suhu yang berbeda yaitu suhu kamar dan suhu 67oC. Menurut
Adam et al (2005) asam mefenamat sukar larut dalam air dan sangat hidrofobik
sering menimbulkan masalah dalam formulasi dan disolusinya.
Langkah awal yang dilakukan yaitu menyiapkan semua bahan yang
diperlukan, setelah itu dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%. Tujuan dari
pembersihan alat ini untuk membunuh mikroorganisme yang ada pada alat karena
menurut Dirjen POM (1979), alkohol berfungsi sebagai antiseptik (membunuh
atau mematikan mikrorganisme pada jaringan hidup dan desinfektan (mematikan
mikroorganisme pada benda mati).

18
Kemudian ditimbang asam mefenamat 2 gr. Menurut Subroto (2000), tujuan
dari penimbangan adalah untuk mengetahui presentasi berat. Digerus asam
mefenamat menggunakan lumpang dan alu, alasan penggerusan menurut Aulton
(1994), proses penggerusan bertujuan untuk memperkecil ukuran zat padat ,
proses ini melibatkan perusakan dan pengahalusan materi dengan konsekuensi
meningkatnya luas permukaan. Disiapkan air pada gelas beker sebanyak 2,
masing-masing 50 ml air pada gelas beker yang pertama dibiarkan pada suhu
kamar dan yang kedua dipanaskan menggunakan penangas air lalu diukur
menggunakan termometer hingga suhu 67°C. tujuan dilakukan pada dua suhu
adalah untuk mengetahui perbandingan kelarutan dari asam mefenamat, dimana
menurut Martin (1990), kelarutan suatu zat padat dalam air akan semakin tinggi
bila suhunya dinaikkan.
Kemudian pengujian kelarutan pertama dilakukan pada suhu kamar yaitu
dengan melarutkan 2 gr asam mefenamat pada 50 ml aquadest diaduk sampai
homogen, setelah itu disaring menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan
sebelumnya kemudian yang diambil adalah filtratnya dibuang dan residunya
diambil untuk dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC. Setelah residu tersebut
kering maka hasilnya di timbang menggunakan neraca analitik dan dicatat
hasilnya.
Selanjutnya dilakukan pengujian kelarutan dengan suhu 67oC dengan cara
memanaskan air sebanyak 80 ml dalam penangas air hingga mencapai suhu 67oC.
Setelah mencapai suhu 67oC, dimasukkan sampel pada masing-masing gelas
beker dalam waktu yang bersamaan dan diaduk dengan batang pengaduk sampai
larut. Menurut Dewi dkk, (2010), pengadukan betujuan untuk memperbanyak
kontak antara bahan dengan pelarut dan mendapatkan derajat homogenitas yang
tinggi, semakin besar kontak bahan dengan pelarut maka hasil yang diperoleh
akan semakin meningkat.
Selanjutnya, ditimbang masing-masing kertas saring kosong, dijenuhkan
kedua kertas saring yang akan digunakan dengan cara ditetesi air pada permukaan
kertas, agar pori-pori pada kertas saring terbuka. Menurut Effendi (2003),
penjenuhan kertas saring dilakukan untuk mempercepat lewatnya air pada kertas

19
saring. kemudian disaring residu dari kedua larutan asam mefenamat
menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan. Lalu kertas saring yang berisi
residu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100°C sampai mengering. Menurut
Hasibuan (2005), tujuan pengeringan adalah untuk penghidratan atau
penghilangan sebagian atau keseluruhan uap air dari suatu bahan.
Setelah residu kering, kemudian ditimbang masing-masing residu dan
dihitung kelarutannya. Dari penimbangan tersebut, didapatkan hasil residu kering
pada suhu 67oC memiliki berat 0,2904 gr dan pada suhu kamar memiliki berat
0,8515 gr. Setelah dihitung maka didapatkan nilai dari kelarutan pada suhu 67oC
yaitu 1,7096 gr/ml dan nilai kelarutan pada suhu kamar yaitu 1,1485 gr/ml.
Dapat disimpulkan bahwa kelarutan dari asam mefenamat lebih tinggi pada
suhu 67ºC dibandingkan pada suhu kamar jadi suhu merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kelarutan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martin, Alferd
(1993) bahwa kenaikan temperatur akan menaikkan kelarutan zat padat yang
mengabsorpsi panas (proses endotermik) apabila dilarutkan.
4.3.2 Koefisien Distribusi
Koefisien distribusi adalah suatu perbandingan kelarutan suatu zat di dalam
dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta merupakan suatu
harga tetap pada suhu tertentu (Kasmiyatun, 2010).
Pada praktikum kali ini akan menentukan koefisien distribusi dari
Metronidazole dalam pelarut air dan Corn Oil yang tidak saling bercampur yang
dititrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,1 N dengan menggunakan indikator
fenolftalein.
Langkah awal yang dilakukan yaitu ditimbang Metronidazole sebanyak 0,1
g. Kemudian diukur aquadest sebanyak 100 ml. Setelah itu dimasukkan
metronidazole ke dalam aquadest dan diaduk larutan hingga homogen.
Selanjutnya dipipet 25 ml dari asam dari larutan stok dan dimasukkan ke
dalam gelas beker. Kemudian ditambahkan tiga tetes indikator fenoltalein.
Menurut Khopkar (1990), tujuan penggunaan indikator fenolftalein adalah untuk
mengetahui apakah larutan yang diuji bersifat asam ataupun basa dan titik akhir
titrasi karena jika menggunakan indikator lain trayek pHnya sangat jauh dari

20
ekivalen. Setelah itu buret ditutup menggunakan aluminium foil, menurut
Lachman (1989) tujuan dari penutupan menggunakan aluminium foil agarlarutan
yang berada didalamnya tidak mudah menguap dan tidak mempengaruhi
voulmenya. Lalu dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N. Menurut Padmaningrum
(2006), tujuan memakai metode titrasi karena titrasi merupakan suatu proses
analisis dimana suatu volume larutan standar ditambahkan ke dalam larutan
dengan tujuan mengetahui komponen yang tidak dikenal. Sedangkan menurut
Daintith (1997), NaOH sebagai larutan baku basa yang digunakan untuk
menentukan jumlah asam yang ada, dalam hal ini titrasi alkalimetri. Titrasi
dihentikan setelah terjadi perubahan warna larutan dari bening menjadi merah
muda keunguan. Setelah itu, dicatat volume titrasinya dan dihitung % kadarnya.
Langkah selanjutnya, dipipet 25 ml dari larutan stok dan dimasukan ke
dalam corong pisah dan di tambahkan 25 ml corn oil. Setelah itu dikocok hingga
larut. Menurut Harjadi (1993), Fungsi dari pengocokan adalah untuk melihat
berapa banyak asam borat yang terdistribusi ke dalam corn oil. Kemudian
didiamkan selama beberapa saat hingga membentuk dua lapisan yang jelas, yaitu
lapisan minyak dan lapisan air. Hal ini dikarenakan berat molekul dari air lebih
besar dari berat molekul minyak.
Setelah itu, lapisan air diambil, sedangkan lapisan minyak dibuang. Menurut
Golib (2007), apabila lapisan minyak yang dititrasi maka akan terjadi reaksi
saponifikasi (penyabunan). Kemudian ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein
dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan
warna larutan dari bening menjadi merah muda keunguan. Setelah itu, dicatat
volume titrasinya dan dihitung % kadarnya.
Berdasarkan dari hasil perhitungan, didapatkan % kadar metronidazole tanpa
minyak yaitu 8.550 % dan % kadar metronidazole dengan minyak yaitu 34,230 %,
serta koefisien distribusi yang di dapatkan sebesar 3,7695 (>1) Jadi, dapat
disimpulkan bahwa asam borat cenderung terdistribusi ke dalam fase minyak. Hal
ini tidak sesuai dengan literatur dimana dikatakan bahwa metronidazole sangat
larut dalam air, alkohol dan mempunyai pKa 2,6. Jadi kemungkinan kesalahan

21
terjadi dalam praktikum kelarutan koefisien distribusi antara lain kurangnya
ketelitian praktikan dalam kegiatan praktikum tersebut.

22
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa kelarutan dari asam mefenamat lebih tinggi pada suhu 67º C dibandingkan
pada suhu kamar jadi suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kelarutan. Dalam percobaan koefisien distribusi metronidazole dalam fase air
terjadi perubahan warna dari bening menjadi merah muda keunguan dan koefisien
distribusi asnatrium diklofenak dalam fase minyak terjadi perubahan warna dari
bening menjadi merah muda keunguan juga. Dari percobaan ini, diperoleh hasil
koefisien distribusi metronidazole yaitu 3,7695 artinya <1 maka metronidazole
lebih terdistribusi ke minyak. Hal ini tidak sesuai dengan literatur dimana
dikatakan bahwa metronidazole sangat larut dalam air, alkohol dan mempunyai
pKa 2,6.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk Asisten
Diharapkan kerja sama antara asisten dan praktikan lebih ditingkatkan
dengan banyak memberi materi atau pengetahuan mengenai yang akan
dipraktekan dilaboratorium farmasi fisika.
5.2.2 Saran Untuk Praktikan
Diharapkan praktikan lebih menguasai materi praktikum, dan lebih teliti
dalam melakukan praktikum agar praktikum berjalan dengan benar dan baik.
5.2.3 Saran Untuk Laboratorium
Diharapkan untuk dapat menambah jumlah alat-alat laboratorium agar
waktu praktikum lebih efektif.
5.2.4 Saran Untuk Jurusan
Diharapkan adanya penambahan sarana dan prasarana laboratorium agar
lebih lengkap sehingga jalannya praktikum dapat terlaksana dengan baik dan
sesuai dengan yang diinginkan.

23
24

Anda mungkin juga menyukai