Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

PRAKTIKUM 1

KELARUTAN

Dosen mata kuliah : Apt.Intan Purnamasari, M. Farm.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Kelas 6 C

Fadilatun Nahidah : 1948201100

Fiyan Fauzi Rohman : 1948201101

Hani Fadiah : 1948201102

Hanifah Dwi Safitri : 1948201103

Ine Faridayanti : 1948201104

Ireniza Ratu Amalia : 1948201105

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SALSABILA SERANG

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Salah satu sifat fisika yang dapat kita amati setiap saat adalah peristiwa larutnya
suatu zat padat dalam pelarut air. Konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada
temperatur tertentu disebut sebagai kelarutan.
Agar suatu obat diabsorpsi, maka obat tersebut mula-mula harus larut dalam media
cairan tempat absorpsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam
bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorpsi sampai partikel-partikel obat larut dalam
cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung usus.
Larutan merupakan suatu campuran homogen antara 2 zat dari molekul, atom
ataupun ion dimana zat yang dimaksud disini adalah zat padat, minyak larut dalam air.
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut di dalam
larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.
Kelarutan suatu senyawa dalam zat pelarut tergantung sifat fisik dan kimia dari zat
terlarut tersebut. Dalam bidang farmasi, kelarutan dapat didefinisikan sebagai berikut
kelarutan suatu obat adalah 1 gram zat terlarut yang akan dilarutkan dalam sejumlah ml
pelarut. Larutan adalah campuran homogen antara dua zat dari molekul, atom ataupun ion
dimana zat yang dimaksud di sini ialah zat padat, minyak larut dalam air.
Dalam bidang farmasi kita dapat mengetahui dan dapat memilih medium pelarut
yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan. Kelarutan sangat penting untuk
diketahui karena hal ini diperlukan untuk memilih pelarut yang paling baik dalam
melarutkan suatu jenis obat atau kombinasi obat. Selain itu, kelarutan juga dapat dijadikan
sebagai standar atau uji kemurnian suatu pelarut serta informasi tentang struktur obat.
Oleh karena itu, dilakukanlah percobaan ini untuk mengetahui kelarutan jenis obat tertentu
di dalam suatu jenis pelarut sehingga dapat ditentukan pelarut yang paling sesuai untuk
jenis bahan obat tertentu. Senyawa obat untuk dapat memberikan efek farmakologisnya,
obat harus larut dalam air. Kelarutan dari suatu senyawa kimia (obat) ini menentukan juga
lama kerja obat akan memberikan efek farmakologisnya. Setelah obat masuk dalam tubuh
baik melalui oral, secara bukal atau sublingual maka faktor yang paling menentukan
adalah faktor kelarutannya dalam pelarut yang dalam hal ini adalah air.
Pengetahuan mengenai larutan sangat penting sebab sebagian besar reaksi kimia dan
biologis terjadi dalam bentuk cairan, terutama dalam bentuk larutan dengan suatu pelarut
(air). Untuk seorang ahli farmasi teori dan penerapan dari gejala kelarutan penting, sebab
dapat membantu memilih medium pelarut yang baik untuk obat atau kombinasi obat,
membantu kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada pembuatan larutan farmasetis,
dan lebih jauh lagi dapat bertindak sebagai standart atau zat uji kemurnian. Pengetahuan
yang mendetail mengenai kelarutan dan sifat-sifat yang berhubungan dengan itu juga
memberi informasi mengenai struktur obat dan gaya antar molekul obat.
Dalam bidang farmasi kelarutan sangat penting, karena dapat mengetahui dapat
membantu dalam memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi
obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu
pembuatan larutan farmasetis (dibidang farmasi) dan lebih jauh lagi dapat bertindak
sebagai standar atau uji kelarutan.

2. Tujuan Percobaan
a. Menentukan kelarutan suatu zat secara kuantitatif
b. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat
c. Menjelaskan usaha-usaha yang digunakan untuk meningkatkan kelarutan suatu zat aktif
dalam air untuk pembuatan sediaan zat cair
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Dasar Teori
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan jenuh
pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang berlainan.
Untuk dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat dalam cairan. Disamping
itu terdapat larutan dalam keadaan padat (misalnya gelas, pembentukan kristal campuran)
(Voight, 1994).
Perubahan kelarutan dengan tekanan tak mempunyai artipenting yang praktis dalam
analisis anorganik kualitatif, karena semua pekerjaan dilakukan dalam bejana terbuka pada
tekanan atmosfer, perubahan yang sedikit daritekanan atmosfer tak mempunyai pengaruh
yang berarti atas kelarutan. Terlebih penting adalah perubahan kelarutan dengan suhu
(Svehla, 1979).
Kelarutan yang pada angka adalah kelarutan pada suhu kamar.Istilah-istilah dalam
kelarutan sebagai berikut (Anief, 2003):

Jumlah bagian pelarut yang diperlukan untuk


Istilah kelarutan
melarutkan 1 bagian zat

Sangat mudah larut Kurang dari 1

Mudah larut 1 –10

Larut 10 – 30

Agak sukar larut 30 – 100

Sukar larut 100 – 1000

Sangat sukar larut 1000 – 10000

Praktis tidak larut Lebih dari 10000

Hasil kali kelarutan adalah suatu tetapan yang menggambarkan kelarutan suatu
ion zat padat dan memberikan harga hasil kali konsentrasi ionnya (aktivitas ion) dalam
larutan jenuh. Jika hasil kelarutan dicapai, maka senyawa yang terbentuk dari ion-ion
ini akan mengendap. Rumus umum hasil kali kelarutan (Roth, 1988):
K = C a + Cb
Keterangan : K = Hasil kali kelarutan
Ca = Konsentrasi jumlah kation A
Cb = Konsentrasi jumlah anion B
Suhu merupakan faktor yang penting dalam menentukan kelarutan suatu obat dan
dalam mempersiapkan larutannya. Kebanyakan bahan kimia menyerap panas bila
dilarutkan dan dikatakan mempunyai panas larutan negative, yang menyebabkan
meningkatnya kelarutan dengan menaikkan suhu. Segolongan kecil bahan kimia
mempunyai panas larutan positif dan menunjukkan berkurangnya kelarutan dengan suatu
kenaikan suhu. Disamping suhu, faktor-faktor lain juga mempengaruhi kelarutan. Ini
meliputi bermacam-macam bahan kimia dan sifat-sifat fisika lainnya dari zat terlarut dan
pelarut, faktor tekanan, keasaman atau kebasaan dari larutan, keadaan bagian dari zat
terlarut, dan pengadukan secara fisik yang dilakukan terhadap larutan selama
berlangsungnya proses melarut. Kelarutan suatu zat kimia murni pada suhu dan tekanan
tertentu adalah tetap; tetapi, laju larutnya yaitu kecepatan zat itu melarut, tergantung pada
ukuran partikel dari zat dan tingkat pengadukan. Makin halus bubuk makin luas
permukaan kontak dengan pelarut, makin cepat proses melarut. Juga makin kuat
pengadukan, makin banyak pelarut yang tidak jenuh bersentuhan dengan obat, makin
cepat terbentuknya larutan (Ansel, 1989).
Kelarutan suatu senyawa dinyatakan dalam gr/lt. Besarnya kelarutan suatu senyawa
adalah jumlah maksimal senyawa bersangkutan yang larut dalam sejumlah pelarut tertentu
pada suatu suhu tertentu dan merupakan larutan jenuh yang ada dalam kesetimbangan
dengan bentuk padatnya (Roth, 1988).
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan konsentrasi
maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut. Bila suatu pelarut
pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas daya melarutnya, larutan ini
disebut larutan jenuh. Agar supaya diperhatikan berbagai kemungkinan kelarutan diantara
dua macam bahan kimia yang menentukan jumlah masing-masing yang diperlukan untuk
membuat larutan jenuh, disebutkan dua contoh sediaan resmi larutan jenuh dalam air,
yaitu larutan Topical Kalsium HIdroksida, USP (Calcium Hydroxide Topical Solution,
USP), dan larutan oral Kalium Iodida, USP (Potassium Iodida Oral Solution, USP).
Larutan yang pertama dibuat dengan mencampur kalisihidroksida dalam jumlah yang tepat
dengan air murni, mengandung hanya 140 mg zat terlarut yang larut per 100 ml. Lrutan
pada suhu 250 C, sedangkan larutan yang berikutnya mengandung kira-kira 100 g zat
terlarut per 100 ml larutan, lebih dari 700 kali sebanyak zat terlarut yang terdapat dalam
larutan topikal kalsium hidroksida (Ansel, 1989).
Larutan Jenuh adalah suatu larutan di mana zat terlarut berada dalam kesetimbangan
dengan fase padat (zat terlarut). Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu
larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi di bawah konsentrasi yang
dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu. Suatu larutan lewat
jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi lebih banyak
daripada yang seharusnya ada pada temperatur tertentu, terdapat juga zat terlarut yang
tidak larut. Keadaan lewat jenuh mungkin terjadi apabila inti kecil zat terlarut yang
dibutuhkan untuk pembentukan kristal permulaan adalah lebih mudah larut daripada
kristal besar sehingga menyebabkan sulitnya inti terbentuk (Martin, 1990).
Dalam istilah fisika kimia, larutan dipersiapkan dari campuran yang mana saja dari
tiga keadaaan zat yaitu padat, cair, dan gas. Dalam istilah farmasi, larutan yang
didefinisikan sebagai sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat
larut, biasanya dilarutkan dalam air yang karena bahannya, cara peracikan atau
penggunaannya dalam golongan produk lainnya. Sesungguhnya banyak produk farmasi
melarut prinsip kimia fisika merupakan campuran homogen dari zat terlarut yang
dilarutkan dalam pelarut, menurut prinsip farmasi digolongkan ke dalam jenis produk lain
(Ansel, 1989).
BAB III

CARA KERJA

1. Alat dan Bahan


a. Alat yang digunakan :
 Gelas kimia 250 ml
 Gelas Erlenmeter
 Pipet tetes
 Batang pengaduk
 Cawan penguap
 Spektrofotometri UV-VIS
 Penagas air
b. Bahan yang digunakan :
 Manitol
 Propilen glikol
 Kertas saring
 Air es
 Aquadest
 Paracetamol
 Etanol
2. CARA KERJA
A. Penentuan Kelarutan Manitol
1. Timbang 0,3 gram manitol
2. Masukkan manithol yang telah ditimbang, kedalam gelas kimia 100 ml,kemudian
tambahkan air suling sebanyak 50 ml. aduk campuran trsebut selama 2 menit pada
suhu kamar.
3. Saring campuran tersebut menggunakan kertas saring. Letakkan kertas saring tersebut
kedalam cawan penguap, kemudian keringkan di dalam oven pada suhu 100° C selama
30 menit.
4. Timbang sisa manitol kering yang tertinggal dikertas saring.
5. Hitung kelarutan manitol.

B. Pengaruh Suhu Pada Kelarutan Manitol


1. Timbang 0,3 gram manitol
2. Masukkan manitol yang telah ditimbang, kedalam gelas kimia 100 ml,kemudian
tambahkan 50 ml air suling bersuhu 10℃ . Aduk campuran tersebut selama 2 menit
pada suhu 10℃ .
3. Saring campuran tersebut menggunakan kertas saring. Letakkan kertas saring tersebut
kedalam cawan penguap, kemudian keringkan kedalam oven pada suhu 100℃ selama
30 menit
4. Timbang sisa manitol kering yang tertinggal diatas kertas saring
5. Hitung kelarutan manitol
6. Ulangi prosedur tersebut dengan melarutkan manitol bersuhu 45℃ .
7. Bandingkan kelarutan manitol pada suhu kamar, 10℃ , dan 45℃

C. Penentuan Kadar Konstanta Dielektrik


1. Buatlah 5 formula sediaan cair paracetamol eliksir 25 ml, dimana tiap 5 ml masing-
masing formula mengandung,sbb:
Zat aktif/ Formula Formula Formula Formul Formula
tambahan A B C aD E

Acetaminophen 120 mg 120 mg 120 mg 120 mg 120 mg

Etanol 0 μL 0 μL 0 μL 500 μL 0 μL

Propilen glikol 0 μL 0 μL 500 μL 500 μL 1000


μL

Gliserol 0 Ml 2,5 ml 2,5 ml 2.5 ml 2.5 ml

Sorbitol 1,25 ml 1,25 ml 1,25 ml 1.25 ml 1.25 ml

Aquadest Add 25 Add 25 Add 25 Add 25 Add 25


ml ml ml ml ml

2. Amatilah dan bandingkan kelarutan acetaminophen pada formula-formula diatas,


mana kelarutan yang paling baik.
3. Saring larutan. Ambil sebanyak 5ml larutan dan tentukan kadar parasetamol yang
paling baik.
4. Bandingkan kelarutan paracetamol pada masing-masing campuran pelarut.
5. Hitung konstanta dielektrik campuran pelarut pada variasi formula diatas.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penentuan kelarutan manitol
Hasil manitol
Bahan Hasil
Manitol sebelum di oven 2,105 gram
Manitol sesudah di oven 0,7139 gram

Perhitungan kelarutan manitol


1.392
2.105 – 0,7139 = x 100 %
50
= 0.2784 x 100 % = 2,784 %

B. pengaruh suhu pada kelarutan manitol


manitol basah
bahan Bobot suhu
Manitol I 1,742 gram 45 C
Manitol II 1,849 gram 30 C
Manitol III 2,672 gram 10

Manitol kering
bahan Bobot suhu
Manitol I 0,535 gram 45 C
Manitol II 0,594 gram 30 C
Manitol III 0,898 gram 10 C

PERHITUNGAN
1,742−0,535
 45% = x 100% = 2,141%
50
1,849−0,594
 30% = x 100% = 2,51%
50
2,672−0,898
 10% = x 100% = 3,548%
50
4.1 Hasil
 Tabel percobaan 1

No Abs K Abs
Sampel
1 3,450 3,4498
2 3,262 3,2618
3 3,247 3,2466
4 3,321 3,3210
5 3,220 3,2200

 Tabel percobaan 2

No Abs K Abs
Sampel
1. 3,391 3,3909
2. 3,250 3.2503
3. 3,290 3,2903
4. 3,322 3,3220
5. 3,248 3,2480

4.1 Perhitungan
 Perhitungan tabel 1
1. Formula A
1.450 = 0.0794X + 0.0311

3.450 – 0.0311 = 0.0794X

3.4189 = 0,0794X

3.4189
X = =43.05914
0.0794

X = 43.0 mg (Kadar Paracetamol)


2. Formula B
3.262 = 0.0794X + 0.0311
3.262 - 0,0311 = 0.0794X
3.2309 = 0.0794X
3.2309
X = =40.69145
0.0794

X = 40.7 mg (Kadar Paracetamol)

3. Formula C
2.247 = 0.0794X + 0.0311
2.247 – 0.0311 = 0.0794X
3.215 = 0.0794X
3.215
X = =40.50251
0.0794

X = 40.50 mg (Kadar Paracetamol)

4. Formula D
3.321 = 0.0794X + 0.0311
3.321 - 0.0311 = 0.0794X
3.2899 = 0.0794X
3.2899
X = =41.43450
0.0794

X = 41.43 mg (Kadar Paracetamol)

5. Formula E
3.220 = 0.0794X + 0.0311
3.220 - 0.0311 = 0.0794X
3.1889 = 0.0794X
3.1889
X = =40.16247
0.0794

X = 40.7 mg (Kadar Paracetamol)

 Perhitungan tabel 2
1. Formula 1
3.391 = 0.0794X + 0.0311
3.391 – 0.0311 = 0.0794X
3.3599 = 0.0794X
3.3599
X = =42.31612
0.0794
X = 43.31 mg (Kadar Paracetamol)

2. Formula 2
3.250 = 0.0794X + 0.0311
3.250 - 0.0311 = 0.0794X
3.2189 = 0.0794X
3.2189
X = =40.54030
0.0794
X = 40.54 mg (Kadar Paracetamol)

3. Formula 3
3.290 = 0.0790X + 0.0311
3.290 – 0.0311 = 0.0790X
3.2589 = 0.0790X
3.2589
X = =41.04408
0.0790
X = 41.04 mg (Kadar Paracetamol)

4. Formula 4

3.322 = 0.0794X – 0.0311

3.322 - 0.0311 = 0.0794X

3.2909 = 0.0794X

3.2909
X = =41.44710
0.0794
X = 41.44 mg (Kadar Paracetamol)

5. Formula 5

3.220 = 0.0794X – 0.0311


3.220 – 0.0311 = 0.0794X

3.1889 = 0.0794X

3.1889
X = =40.16247
0.0794
X = 40.16 mg (Kadar Paracetamol)

4.2 Lampiran

4.3 Pembahasan
Obat merupakan bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia. Dalam proses pembuatan obat dibutuhkan bahan atau campuran
bahan zat aktif lain yang apabila digunakan dapat menciptakan khasiat farmakologi atau efek
langsung dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan atau pencegahan penyakit,
atau untuk memengaruhi struktur dan fungsi tubuh (Badan Pengawas Obat dan Makanan,
2011).
Parasetamol (asetaminofen) adalah obat analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri) dan
anti-piretik (penurun panas atau demam) yang aman, efektif, dapat ditoleransi dengan baik, dan
murah dengan efek samping yang relatif sedikit bila digunakan pada dosis terapeutik yang
dianjurkan. Parasetamol pertama kali diperkenalkan pada tahun 1955 untuk aplikasi klinisnya
dalam menyembuhkan demam, sakit kepala dan rasa nyeri, kemudian sejak saat itu mulai
banyak digunakan secara luas hampir di seluruh dunia (Ibrahim, dkk, 2013). Parasetamol
sering sekali di resepkan dalam bentuk campuran dengan obat lain. Obat ini dapat ditemukan
dalam berbagai macam sediaan seperti tablet, kaplet, kapsul, sirup, dan serbuk.
Metode yang digunakan untuk penetapan kadar parasetamol dalam penelitian ini yaitu
metode spektrofotometri UV-Visible. Spektrofotometri UV-Visible merupakan suatu metode
yang tidak baku. Oleh karena itu, sebelum metode yang digunakan untuk penetapan suatu
kadar diterapkan dalam suatu pengujian laboratorium, terlebih dahulu dilakukan validasi.
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu
berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa metode tersebut memenuhi
persyaratan untuk penggunaannya (Tetrasari, 2003). Metode analisis dapat memberikan data
yang dipercaya jika memenuhi beberapa parameter validasi yang telah disyaratkan, yaitu
ketelitian (presisi), kecermatan (akurasi), linieritas, batas deteksi (LOD), batas kuantitasi
(LOQ), selektivitas, dan ketangguhan metode.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan kami menggunakan sampel berupa
paracetamol, etanol, propilen glikol, gliserol, glukosa, dan aquadest. lalu membuat 5 formula
sediaan cair paracetamol 25 mL, dimana tiap 5 mL, masing-masing formula mengandung
etanol, propileng glikol, gliserol, glukosa, dan aquadest. Kemudian mengamati dan
bandingkan kelarutan acetaminophen pada formula-formula tersebut, mana kelarutan yang
paling baik, dan saring larutan. Ambil sebanyak 5 mL larutan dan tentukan kadar paracetamol
yang larut dengan alat spektofotometri-UV Vis kemudian membandingkan kelarutan
paracetamol pada masing-masing campuran pelarut. Dan mengitung konstanta dielektrik
campuran pelarut pada variasi formula tersebut.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa :

Hasi uji kelarutan manithol didapatkan 2,784% ,dan hasil uji kelarutan manitol
pada suhu 45 ℃ adalah 2,141% sedangkan pada suhu 30℃ adalah 2,51 dan pada suhu 10℃
adalah 3,548%. Maka hasil dari praktikum tersebut kelarutan manitol yang paling banyak
yaitu pada suhu 10℃ dan yang paling kecil pada suhu 30℃ .
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta : DEPKES RI, Ditjen POM.

Anonim .1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta : DEPKES RI, Ditjen POM

Martin , A, et.al. 1990. Farmasi Fisik. Jakarta : universitas indonesia press.

Moechtar . 1989. Farmasi fisik : Bagian Larutan dan Sistem Dispersi. Yogyakarta : Gadjah
Mada Univesity Press.
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

PRAKTIKUM II

PENENTUAN KONSENTRASI MISEL KRITIS (KMK) DARI SURFAKTAN


DENGAN PRINSIP TEGANGAN PERMUKAAN DAN TURBIDIMETRI

Dosen mata kuliah : Apt.Intan Purnamasari, M. Farm.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Kelas 6 C

Fadilatun Nahidah : 1948201100

Fiyan Fauzi Rohman : 1948201101

Hani Fadiah : 1948201102

Hanifah Dwi Safitri : 1948201103


Ine Faridayanti : 1948201104

Ireniza Ratu Amalia : 1948201105

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SALSABILA SERANG

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Percobaan kali ini berhubungan dengan penentuan konsentrasi yaitu konsentrasi
kritismisel (kkm). Konsentrasi kritis misel itu sendiri diproleh dari terbentuknya
misel. Misel merupakan suatu yang dihasilkan dari penggabungan (agregasi) dari ion-
ion surfaktan yang merupakan zat pengaktif permukaan.Banyak kehidupan sehari-hari
yang berhubungan denganfenomena permukaan-antarmuka. Misalnya proses
pembersihan kotoran pada pakaian, dan peralatan rumah tanggga, menulis pada kertas
dengan menggunakan tinta, air dijaga agar tidak penetrasi kedalam daun oleh suatu
senyala hidrofobik menyerupai lilin yang terdapat dipermukaan daun. "penomena
permukaan-antarmuka juga banyak dimanfaatkan pada proses- proses industri.

1.2 Tujuan praktikum


1. Mengetahui cara kerja surfaktan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
2. Mampu melakukan pengukuran tegangan muka cairan/larutan dan surfaktan
dengan metode kapiler dan turbidimetri
3. Mengetahui cara pengukuran tegangan antar muka 2 cairan tak bercampur.
4. Mampu menentukan nilai konsentrasi misel kritis (cmc) dari surfaktan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori

Surfaktan atau surface active agent adalah molekul-molekul yang


mengandung gugus hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak/lemak) pada molekul
yang sama (Sheat dan Foster, 1997). Surfaktan terbagi menjadi dua bagian yaitu kepala dan
ekor. Gugus hidrofilik berada di bagian kepala (polar) dan lipofilik di bagia ekor (non polar).
Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Umumnya
bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian
yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil Surfaktan memiliki aplikasi sangat
luas.
Beberapa contoh aplikasi surfaktan antara lain bahan utama untuk industri
deterjen dan pembersih lainnya, bahan emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi,
bahan emulsifier untuk sanitasi industri pangan. Selain itu surfaktan juga digunakan untuk
Enchance Oil Recovery (EOR). EOR adalah metode yang digunakan untuk meningkatkan
recovery minyak bumi dengan melibatkan penginjeksian material biasanya menggunakan
injeksi gas tercampur, bahan kimia (chemical) ataupun thermal energy untuk
mengubah karakteristik reservoir sehingga minyak yang diperoleh lebih besar
dibandingkan sebelumnya (Supriningsih, 2010).
lainnya, bahan emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi, bahanemulsifier
untuk sanitasi industri pangan. Selain itu surfaktan juga digunakanuntuk Enchance Oil
Recovery (EOR). EOR adalah metode yang digunakanuntuk meningkatkan recovery minyak
bumi dengan melibatkan penginjeksianmaterial biasanya menggunakan injeksi gas
tercampur, bahan kimia(chemical) ataupun thermal energy untuk mengubah karakteristik
reservoirsehingga minyak yang diperoleh lebih besar dibandingkan
sebelumnya(Supriningsih, 2010).
 Klasifikasi Surfaktan
Berdasarkan muatannya surfaktan dibagi menjadi empat golongan yaitu:
a) Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup
besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat. Contohnya surfaktan anionik
diantaranya linier alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol ester sulfat
(AES), alfa olein sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonat, SAS) dan metil
ester sulfonat(MES).
b) Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikatpada suatu kation.
Surfaktan jenis ini memecah dalam mediacair, dengan bagian kepala surfaktan
kationik bertindak sebagaipembawa sifat aktif permukaan. Contohnya garam alkil
trimethilammonium, garam dialkildimethil ammonium dan garam alkildimethil benzil
ammonium.
c) Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan. Contohnya
ester gliserol asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam lemak,
polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol
amina dan alkil amina oksida.
d) Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan positif
dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain, fosfobetain.
 Karakterisasi Surfaktana.
a) Struktur amphipatik
Molekul-molekul surfaktan tersusun oleh grup-grup yang melawankecenderungan
suatu daya larut.
b) Daya larut Surfaktan dapat larut paling tidak menjadi satu fase pada sistemliquid.
c) Adsorpsi pada permukaan
Pada kesetimbangan, konsentrasi dari larutan surfaktan pada fasepermukaan lebih
besar daripada konsentrasi pada keseluruhanlarutan.
d) Orientasi pada permukaanMolekul-molekul dan ion-ion surfaktan membentuk
monolayerpada fase permukaan.
e) Formasi miselSurfaktan membentuk agregat molekul atau ion yang disebut
miselketika konsentrasi larutan surfaktan pada keseluruhan larutan mencapai
nilai tertentu yang biasa disebut CMC (Critical MiselleConcentration).
f) Kegunaan Larutan surfaktan digunakan sebagai komponen bahan adhesif,
bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier, dan bahan penitrasi
Misel
Sejumlah konsentrasi surfaktan yang terlarut dalam air, akan membentuk
monomer dan terkonsentrasi pada permukaan air membentuk lapisan tunggal
dimana grup yang bersifat hidrofil (menyukai air) akan berikatan kebawah
permukaan air, sedangkan ekor hidrokarbon yang bersifat hidrofob akan menjauh dari
permukaan air. Konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi menyebabkan terbentuknya agregasi
atau asosiasi dari ion-ion surfaktan berupa sperikal yang merupakan zat aktif permukaan,
yang dikenal dengan misel. Miselisasi terjadi akibat interaksi hidrofobik. Interaksi hidrofobik
akan menolak atau menjauhkan ekor hidrokarbon dari surfaktan terhadap air, dan akan
menghasilkan agregasi, sedangkan grup kepala yang hidrofilik akan tetap berkontak
langsung dengan air. Konsentrasi setimbang dimana monomer surfaktan membentuk misel
disebut konsentrasi kritis misel. Satu misel umumnya akan berisi 50-100 monomer.
Terbentuknya misel membuat larutan akan berubah secara mendadak seperti tegangan
permukaan-antarmukanya, viskositasnya, daya hantar listriknya dan lain-lain (Reeves, 1977).
Kesetimbangan diantara molekul-molekul atau ion-ion dari misel yang tidak berikatan
berlaku hukum aksi massa. Dimana C merupakan konsentrasi stoikiometri larutan, x
merupakan fraksi satuan monomer, merupakan jumlah satuan monomer per misel. X
menjadi semakin kecil pada nilai C tertentu dan sesudah itu naik dengan tepat.
Penentuan entalpinya didapat dengan cara membuat grafik in (kkm) lawan 1/T, sehingga
diperoleh harga ∆ H° /R sebagai slopenya (Bird, 1993).
Pengertian CMC
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan
permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan
konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan
melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi
terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Tegangan
permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Setelah CMC tercapai, tegangan
permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antar muka menjadi jenuh dan
terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya
(Hui, 1996).
Turbidimetri
Turbidimetri adalah analisis kimia berdasarkan permukaan intensitas yang melemah,
ketika seberkas sinar dilewatkan pada larutan yang mengandung larutan terdispersi.
Berkurangnya intensitas sinar disebabkan oleh absorpsi lain dan hampuran sinar
(khopkar,1984).
Turbidimetri merupakan sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat dikatakan sebagai
perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang datang. Intensitas cahaya yang
dipantulkan oleh suspensi adalah fungsi konsentrasi jika kondisi lainnya konstan. Metode
pengukuran turbidimetri dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu pengukuran
perbandingan intensitas cahaya yang dihamburkan terhadap yang datang, pengukuran
terhadap efek ekstingsi, yaitu kedalam dimana cahaya yang mulai tidak tampak didalam
lapisan medium keruh. Instrumen pengukuran perbandingan tyndall disebut tyndallmeter,
intensitas diukur secara langsung.
Alat tubidrimeter adalah alat untuk menghitung dalam suspensi untuk menentukan
konsentrasi substansi jumlah cahaya yang diteruskan dan mengkalkulasi jumlah cahaya yang
diabsorpsi oleh partikel yang ingin dicari. (kordi,1997). Prinsip turbidimetri yaitu
berdasarkan absorpsi dan penghamburan cahaya oleh molekul koloid. Analisis secara
turbidimeter merupakan analisis berdasarkan pengukuran turbiditas (s) atau kekeruhan dari
suatu suspensi. Kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan tersuspensi yang bervariasi dari
ukuran koloidal sampai dispersi kasar tergantung dari derajat turbulensinya.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

1. Alat
 Pipa kapiler
 Gelas kimia
 Erlenmeyer
 Timbangan
 Batang pengaduk
 Alat turbidimetri
 Termometer
 Milimeter block
 Kompor
2. Bahan
 Sodium lauril sulfat
 Aquadest

3.2 CARA KERJA

A. Pengukuran Tegangan Permukaan dengan Metode Kapiler

1) Timbang sodium lauril sulfat yang akan diencerkan dalam labu ukur 250 ml dengan
konsentrasi 2 g/L,konsentrasi 2,1 g/L, konsentrasi 2,2 g/L; konsentrasi 2,3 g/L;
konsentrasi 2,4g/L; dan konsentrasi 2,5 g/L, kemudian dihomogenkan.
2) Masukkan sejumlah surfaktan tersebut kedalam gelas kimia yang sudah sitempel
dengan kertas milimeter blok.
3) Ambil pipet kapiler kering. Celupkan pipa kapiler kegelas kimia berisi cairan tersebut
dan ukur kenaikan cairan dalam pipa kapiler.
4) Lakukan pengukuran sebanyak 2 kali (duplo). Catat tinggi masing-masing larutan
surfaktan dalam tabel dibawah ini.
5) Hitung tegangan permukaan dari permukaan surfaktan tersebut dan buat grafik
konsentrasi larutan survaktan vs tegangan permukaan
6) Tentukan konsentrasi misel kritis dari sampel
B. Pengaruh Suhu pada Tegangan Permukaan

1) Siapkan aquades bersuhu 40,60, dan 80℃


2) Ambil pipa kapiler kering. Celupkan pipa kapiler kedalam gelas berisi aquadest
dengan volume tertentu.
3) Lakukan pengukuran sebanyak 2 kali. Catat kenaikan cairan dalam pipa kapiler dalam
masing-masing suhu yang sudah dikondisikan
4) Bandingkan dengan suhu kamar.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil pengukuran permukaan dengan metode kapiler
Konsentrasi H kapiler H cairan ∆h T (℃ ¿ dyene
∝( )
cm
(g/L) (mm) (cm)
Aquadest 20 2 18 28,8 72
SLS 2 g/L 10 1 17 28,8 39,5
SLS 2,1 g/L 15 1,7 13,3 28,8 68,2
SLS 2,2 g/L 17 1,9 15,1 28,8 68,32
SLS 2,3 g/L 20 2 18 28,8 69,1
SLS 2,4 g/L 13 1,2 11,8 28,8 69,73
SLS 2,5 g/L 25 2,5 22,5 28,8 69,12

Perhitungan A

Dik.

SLS 2 g/L = 1 gram

SLS 2,1 g/L= 1,5 gram

SLS 2,2 g/L =1,1 gram

SLS 2,3 g/L =1,15 gram

SLS 2,4 g/L =1,2 gram


SLS 2,5 g/L =1.25 gram

γ = 72

ρ air = 997 kg/cm2. 1

ρ surfaktan = 1.067 g/cm

h air = 20.

Perhitungan rumus :

72 1.20
 SLS 2 g/L = =
x 1,067 . g
20X= 72.1,067.g

20X=691,4

691,4
X=
20

X= 34,5 dyne/cm

72 1.15
 SLS 2,1 g/L = =
x 1,067 .13,3
13 X= 72.1,067.13.3

13 X= 1,023

1,023
X=
15

X= 68 dyne/cm

72 1.17
 SLS 2,2 g/L = =
x 1,067 .15,1
17 X= 72.1,067.15,1

1.160
17 X=
17

X= 68,23 dyne/cm
72 1.20
 SLS 2,3 g/L = =
x 1,067 .18
20 X= 72.1,067.18
20 X= 1382

1382
X=
20

X= 69,1 dyne/cm

72 1.13
 SLS 2,4 g/L = =
x 1,067 .11,8
13 X= 72.1,067.11,8

13 X= 906.5

906.5
X=
13

X= 69,73 dyne/cm

72 1.25
 SLS 2,5 g/L = =
x 1,067 .22,5
13 X= 72.1,067.22,5
X= 69,12 dyne/cm

Tabel 2. Hasil pengaruh suhu pada tegangan permukaan


Suhu Air (℃ ¿ h kapiler
1 2 3
Suhu kamar 18 20 19
40 13 22 17,5
60 14 12 13
80 11 23 16,5

Perhitungan B
Percobaan 1 dan 2
18+20
Suhu 28℃=¿ = 19 (rata-rata)
30/2
13+22
40℃ = = 17,5 (rata-rata)
35/ 2
14+12
60℃ = = 13 (rata-rata)
26/2
11+23
80℃= = 16,5 (rata-rata)
33 /2

4.2 Pembahasan

Berdasarkan percobaan yang telah kita lakukan ini bertujuan untuk mengukur nilai
konsentrasi misel kritis sebagai surfaktan dengan menggunakan metode pipa kapiler untuk
mengukur tegangan permukaannya prinsip tegangan permukaan itu sendiri yaitu gaya tarik
menarik antar molekul di permukaan larutan, tempatkan hasil yang telah dilakukan dengan
mengukur tegangan permukaan dengan menggunakan bahan sodium Lauri sulfat sebagai
surfaktannya.

Sodium Lauri sulfat kita encerkan terlebih dahulu dengan konsentrasi 2g/L ;2,1g/L;
2.2 g/L ;2,3 g/L ;2,4 g/L ; dan 2,5 g/L. Dan masing2 di masukan ke dalam gelas kimia lalu di
beri milimeterblok. Setelah itu celupkan pipa kapiler, dan ukur kenaikan dalam pipa kapiler
tersebut dengan cara di hitung di milimeterblok tersebut, lakukan hal ini 2x / duplo. Setelah
semuanya selesai hitung konsentrasi miselnya, yang di dapatkan pada konsentrasi misel yakni
pada SLS 2 g/l di dapat nilai tegangan permukaan ya 34,5, pada 2,1 g// didapat tegangan
permukaan nya 68, dua dan SLS 2,2 g/ldidapat tegangan permukaan nya 68, 23 dan SLS 2,3
g/l didapat tegangan permukaan nya 69, 1 sedangkan SLS 2,4 g/l didapat tegangan
permukaan nya 69, 73 dan yang terakhir dengan konsentrasi 2,5 g/ l didapat tegangan
permukaan nya 69, 2 sedangkan pada tegangan permukaan aquades yaitu didapat dan nilai
tegangan permukaan nya yaitu 72.

Diukur juga pengaruh suhu pada tegangan permukaan yaitu yang pertama-tama kita
siapkan aquades dengan suhu kamar utama terus suhu 40 60 dan 80 derajat Celcius yang
aquades dimasukkan ke dalam gelas beker lalu kita panaskan di hot plate dan kita ukur
derajatnya menggunakan termometer yang didapatkan pada percobaan pengukuran suhu pada
tegangan permukaan yaitu pada suhu kamar didapatkan rata-ratanya yaitu 19 sedangkan pada
suhu 40 derajat Celcius didapatkan nilai rata-ratanya 17,5 dan 60 derajat Celcius didapatkan
nilai rata-rata 13 dan pada 80 derajat Celcius didapatkan nilai rata-ratanya 16,5 semuanya
diukur dengan menggunakan pipa kapiler dengan cara mencelupkan pipa kapiler tersebut
pada aquades yang telah dipanaskan tersebut lalu diukur di milimeterblok.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari praktikum ini dapat disimpulkan :

Bahwa nilai yang di dapatkan pada konsentrasi misel yakni pada SLS 2 g/l di
dapat nilai tegangan permukaanya 34,5; pada 2,1 g/L didapat tegangan permukaan nya 68,2
dan SLS 2,2 g/l didapat tegangan permukaan nya 68, 23 dan SLS 2,3 g/l didapat tegangan
permukaan nya 69, 1 sedangkan SLS 2,4 g/l didapat tegangan permukaan nya 69, 73 dan
yang terakhir dengan konsentrasi 2,5 g/ l didapat tegangan permukaan nya 69, 2 sedangkan
pada tegangan permukaan aquades yaitu didapat dan nilai tegangan permukaan nya yaitu 72.
DAFTAR PUSTAKA

Duncan, 1980 , Introduction to Colloid and Surface Chemystry, Buffer Worts : Canada

Kordi K.M. Ghufran, H., 1997, Parameter Kualitas Air, Karya Anda: Surabaya

Khopkar, S.M., 2003 ., Konsep Dasar Kimia Analik ,( Terjemaahan A. Sapto Rahardjo).
Jakarta :UI- Press : Jakarta

Laurier, 2000, Surfactant Fundamental and Analysis, RSC Paperbacks : Cambridge

Holmberg , K.,2004, Surfactants and Polymers an Aqueous Solution, 2nd Edition, John Wiley
& Sons Inc : USA
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

PRAKTIKUM III

STABILITAS SEDIAAN PADAT DAN SEDIAAN CAIR

Dosen mata kuliah : Apt.Intan Purnamasari, M. Farm.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Kelas 6 C

Fadilatun Nahidah : 1948201100


Fiyan Fauzi Rohman : 1948201101

Hani Fadiah : 1948201102

Hanifah Dwi Safitri : 1948201103

Ine Faridayanti : 1948201104

Ireniza Ratu Amalia : 1948201105

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SALSABILA SERANG

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu produk sesuai
dengan batas-batas tertentu selama penyimpanan dan penggunaanya atau umur simpan
suatu produk, dimana produk tersebut masih mempunyai sifat dan karakteristik yang
sama seperti pada waktu pembuatan. Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas dari
sediaan farmasi, antara lain stabilitas bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dengan
bahan tambahan, proses pembuatan bentuk sediaan, kemasan, cara pengemasan dan
kondisi lingkungan yang dialami selama pengiriman, penyimpanan, penanganan dan
jarak waktu antara pembuatan dan penggunaan. Faktor lingkungan seperti temperatur,
radiasi cahaya dan udara ( khususnya oksigen, karbondioksida dan uap air ) juga
mempengaruhi stabilitas. Demikian pula faktor formulasi seperti ukuran partikel, pH,
sifat dari air dan sifat pelarutnya dapat mempengaruhi stabilitas (Osol et al, 1980; USP,
1990). Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat
formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu sediaan biasanya
diproduksi dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke
tangan pasien yang membutuhkan. Obat yang disimpan dalam jangka waktu yang lama
dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan dosis yang diterima pasien berkurang.
Ada kalanya hasil urai zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahayakan jiwa
pasien. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan
suatu zat sehingga dapat dipilih kondisi yang tepat untuk untuk pembuatan sediaan
sehingga kestabilan dari suatu obat dapat terjaga (Ansel, 1989).
Ukuran stabilitas sangat penting untuk membangun keamanan obat, khasiat obat dan
bioavailabilitas obat. Pengujian stabilitas penting untuk memastikan bahwa obat akan
tetap efektif dan aman selama penyimpanan maupun penggunaannya (Budiman, 2008).
Pengujian stabilitas merupakan pengujian yang dirancang untuk mendapatkan informasi
mengenai stabilitas farmasi dalam rangka menetapkan masa edar dan periode
penggunaan dalam kondisi penyimpanan tertentu (Manurung, 2007). Ketidakstabilan
suatu sediaan farmasi dapat dideteksi melalui perubahan sifat fisika, kimia serta
penampilan dari suatu sediaan farmasi. Besarnya perubahan kimia sediaan farmasi
ditentukan dari laju penguraian obat melalui hubungan antara kadar obat dengan waktu,
atau berdasarkan derajat degradasi dari suatu obat yang jika dipandang dari segi kimia,
stabilitas obat dapat diketahui dari ada atau tidaknya penurunan kadar selama
penyimpanan. Secara fisiologis, larutan obat harus diformulasikan sedekat mungkin ke
pH stabilitas optimumnya karena besarnya laju reaksi hidrolitik dipengaruhi atau
dikatalisis oleh gugus hidroksi (Ansel, 1989; Lachman et al.,1994).

1.2 Tujuan Praktikum


a. Mengetahui prinsip uji stabilitas dipercepat ( accelerated study ) dan uji stabilitas
jangka panjang ( real-time study )
b. Mampu menjelaskan interpretasi data studi stabilitas obat jadi

c. Memahami faktor yang mempengaruhi stabilitas suatu produk obat jadi


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk obat atau kosmetik untuk
bertahan dalam batas spesifikasi yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian produk tersebut
(Joshita, 2008). Kestabilan umumnya adalah sesuatu yang menyebabkan ketidakaktifan obat
melalui penguraian obat atau melalui hilangnya khasiat obat karena perubahan bentuk fisik
dan kimia yang kurang diinginkan dari obat tersebut (Martin et al, 2008). Sediaan yang stabil
adalah suatu sediaan yang masih berada dalam batas yang dapat diterima selama periode
penyimpanan dan penggunaan, dimana sifat dan karakteristiknya sama dengan yang
dimilikinya pada saat dibuat (Joshita, 2008). Adapun beberapa kriteria stabilitas sebagai
berikut:

1. Stabilitas Kimia Stabilitas kimia adalah kemampuan mempertahankan keutuhan


kimiawi dan potensi zat aktif yang tertera pada etiket dalam batasan spesifikasi. Hal-
hal yang dapat mempengaruhi stabilitas kimia diantaranya: pengaruh pelarut,
pengaruh cahaya, pengaruh kelembapan, pengaruh suhu, pengaruh kekuatan ion,
pengaruh tetapan dielektrik, pengaruh katalisis, dan pengaruh zona iklim dunia.
2. Stabilitas Fisika Stabilitas fisika adalah kemampuan mempertahankan sifat fisika awal
dari suatu sediaan termasuk penampilan, kesesuaian, keseragaman, disolusi,
disintegrasi, kekerasan, dan kemampuan disuspensikan.
3. Stabilitas Mikrobiologi Sterilitas atau resistensi terhadap pertumbuhan mikroba
dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang dinyatakan. Zat antimikroba yang ada
harus dapat mempertahankan efektivitas sediaan dalam batas yang ditetapkan.
4. Stabilitas Terapi Stabilitas terapi adalah tidak adanya perubahan terhadap efek terapi
dari sediaan selama masa penyimpanan (shelf life).
5. Stabilitas Toksikologi adalah tidak terjadinya peningkatan toksisitas yang bermakna
selama waktu simpan, misalnya tidak terbentuk senyawa epi dan anhidro dalam
suspensi tetrasiklin yang menyebabkan toksisitas pada ginjal (Joshita, 2008).

Untuk menjaga kestabilan obat perlu diperhatikan pula faktor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan suatu zat, yaitu panas, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme dan
bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam formula sediaan obat.Kestabilan suatu obat
dapat dipercepat dengan meningkatkan suhunya. Setiap kenaikan suhu 100C akan
mempercepat laju reaksi 2-3 kali, dimana laju reaksi adalah pengurangan konsentrasi reaktan
atau penambahan konsentrasi produk per satuan waktu (Joshita, 2008). Penguraian bahan
atau sediaan farmasi dapat digolongkan sebagai hidrolisis dan oksidasi. Obat yang
mengandung lebih dari satu gugus fungsional kemungkinan dapat terhidrolisis dan teroksidasi
secara bersamaan. Reaksi lainnya seperti isomerasi, empimerisasi dan fotolisis juga dapat
mempengaruhi kestabilan obat dalam berbagai produk cairan, padatan dan semisolid.
Hidrolisis merupakan reaksi air dengan ester seperti etil asetat dan dengan amida seperti
prokamida. Akan tetapi reaksi antara air dan ion-ion garam dari asam lemah dan baha lemah
disebut juga hidrolisis (Martin et al, 1983). Dalam ilmu kimia organik oksidasi diartikan
sebagai lepasnya hidrogen (dehidrogenasi). Bila suatu reaksi melibatkan molekul oksigen,
biasanya disebut otooksidasi atau otoksidasi, karena biasanya terjadi secara spontan dalam
keadaan normal. Salah satu penelitian kinetika yang pertama tentang otooksidasi asam
askorbat menjadi asam dehidroaskorbat dilakukan pada tahun 1963 oleh (Barron et al.) Obat-
obat yang mudah teroksidasi seperti asam askorbat dapat distabilkan dengan menghindari
oksigen, mendapar larutan pada pH yang sesuai, menggunakan pelarut bebas logam,
menambah inhibitor, menghindari cahaya, menyimpan produk pada temperatur rendah dan
mencegah sistem oksidasi-reduksi dengan potensial tertentu (Martin et al., 1983). Cahaya
bisa menyebabkan suatu sediaan obat mengalami oksidasi. Reaksi oksidasi merupakan reaksi
pelepasan elektron oleh suatu zat dan menyebabkan bertambahnya bilangan oksidasi dari zat
tersebut.Reaksi ini berperan penting dalam penguraian obat.Gugus fungsi yang mudah
mengalami reaksi oksidasi adalah fenol, eter, thiol, thioleter, asam karboksilat, aldehid, dan
nitrit.Kelembaban suatu sediaan obat dapat mengalami terjadinya hidrolisis.Hidrolisis
merupakan suatu proses solvolisis dimana molekul obat obat bereaksi dengan molekul air
menghasikan produk pecahan dari konstitusi kimia yang berbeda. Obatobatan dengan gugus
ester dan amida merupakan yang paling rentan mengalami reaksi hidrolisis (Lachman, 1994).
Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana reaksi penguraian dari
larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H+) atau basa (OH-) dengan
menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak
mempengaruhi hasil dari reaksi (Ansel, 1989). Suatu obat dalam bentuk kristalnya mungkin
akan lebih stabil dari polimorfisanya, atau bahkan sebaliknya. Hal ini penting untuk
mengetahui kemurnian obat yang dibuat sebelum dilakukan percobaan uji stabilitasnya, sebab
ketidakmurnian suatu obat merupakan salah satu katalisator penyebab kerusakan obat
sehingga menyebabkan sediaan obat menjadi tidak stabil dan mengubah penampilan fisik
bahan obat. Stabilitas fisik dan kimia baik bahan obat berupa zat aktif maupun komponen lain
dalam formulasi merupakan kriteria yang paling penting untuk menentukan suatu stabilitas
kimia dan farmasi serta mempersatukannya sebelum memformulasikan menjadi bentuk-
bentuk sediaan. (Ansel, 1989). Uji stabilitas biasanya dilakukan secara kimia. Tujuan utama
uji stabilitas obat antara lain untuk memilih formulasi dan sistem penutupan wadah yang
sesuai (berdasarkan stabilitas), untuk menentukan masa edar dan kondisi penyimpanan, untuk
menegaskan masa edar yang telah ditetapkan, dan untuk membuktikan bahwa tidak ada
perubahan yang terjadi dalam formulasi atau proses pembuatan yang dapat memberikan efek
merugikan pada stabilitas obat (Manurung, 2007). Ada beberapa kriteria yang digunakan
sebagai rancangan studi stabilitas, yaitu :

1. Wadah dan penutup Dalam stabilitas harus dikembangkan setiap jenis hubungan antara
wadah dan penutup yang diusulkan untuk pemasaran obat yang berbedabeda dalam
komposisi atau desainnya (misalnya ketebalan dinding, jumlah uliran dalam penutup),
termasuk penutup yang sifatnya tahan terhadap gangguan anak dan tahan terhadap
perubahan sekitar tanpa memperhatikan kemiripan tutup.Perhatian khusus harus
diberikan kepada semua ukuran wadah sediaan dosis ganda, seperti aerosol dan preparat
parenteral. Apabila integritas penutupan wadah kemasan perlu diuji, maka kelembaban
relatif yang lebih tinggi dari 75% masih dimungkinkan dan masih cukup memadai untuk
memastikan kelekatannya pada suhu 37°C (misalnya pada unit blister dan kemasan
strip).
2. Fluktuasi suhu yang ekstrim Studi tentang efek fluktuasi suhu yang sesuai dengan
kondisi pengangkutan dan penyimpanan suatu produk harus dipertimbangkan dalam hal
ini, obat yang dikemas harus diperlakukan pada semua kondisi suhu yang menyerupai
fluktuasi yang mungkin dihadapi pada saat berada di jalur distribusi.
3. Suhu penyimpanan yang benar digunakan selama penentuan studi stabilitas harus
dicantumkan.
4. Efek pembukaan dan penutupan wadah Efek stabilitas yang diakibatkan oleh pembukaan
dan penutupan wadah harus dinilai dan diperbandingkan dengan stabilitas yang
dikembangkan dari studi yang telah dilakukan pada kemasan tak dibuka. Efek penutupan
dan pembukaan wadah disimulasikan dengan sampling menggunakan wadah yang sama
pada seluruh periode uji yang dijadwalkan sepanjang isinya memungkinkan dan
bukannya dilakukan dengan hanya sekedar pengambilan sampling kemasan tertutup
pada masing-masing periode uji.
5. Kualitas microbial Produk obat yang mengandung pengawet harus dipantau kandungan
pengawetnya dalam interval waktu tertentu selama periode tanggal kadaluarsa produk
yang diproyeksikan. Ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan microbial challenge
test (misalnya, uji efektivitas pengawet antimikrobia dari USP, ini berlaku untuk wadah
tak dibuka) dan dengan penyelenggaraan penetapan kadar secara kimiawi untuk
pengawet. Apabila kuantitas minimal dari pengawet yang dipakai untuk mencapai
pengendalian efektivitas mikroba telah ditentukan, maka penetapan secara kimiawi
mungkin cukup memadai sebagai penampil uji pencegahan secara periodik. Hal ini
terutama penting untuk mempertimbangkan cukup tidaknya suatu sistem pengawet pada
kondisi penggunaan vial dosis ganda.
6. Degradasi produk Jika degradasi produk diidentifikasi, informasi yang harus
dicantumkan meliputi:
a. Struktur kimia
b. Referensi silang terhadap setiap informasi yang ada tentang efek biologis dan efek
lain yang bermakna, pada konsentrasi berapa perlu diperhitungkan,
c. Prosedur isolasi dan pemurnian,
d. Mekanisme pembentukan, termasuk orde reaksi,
e. Sifat-sifat fisika dan kimia,
f. Spesifikasi dan petunjuk uji keberadaan pada tingkat konsentasi yang disyaratkan
harus ada,
g. Indikasi ada tidaknya aksi farmakologi (Connors, 1992). Terdapat beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjaga kestabilan dari preparat-preparat
farmasi yang mengandung obat, dimana sediaan farmasi berupa obat umumnya
terurai melalui reaksi hidrolisis ataupun reduksi.

Bentuk-bentuk sediaan padat yang mengandung zat aktif yang tidak stabil dalam air harus
dilindungi dari kelembaban atmosfer. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan suatu
penyalutan pelindung tahan air menyelimuti tablet atau dengan menutup dan menjaga obat
dalam wadah yang tertutup rapat. Kestabilan suatu obat juga dapat dipengaruhi oleh pH,
dimana reaksi penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H+)
atau basa (OH-) dengan menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut
bereaksi dan tidak mempengaruhi hasil dari reaksi (Lachman, et al., 1986). Untuk mendeteksi
perbandingan stabilitas maka dapat digunakan dua metode yaitu dengan tes daya tahan-waktu
panjang dan tes daya tahan dipercepat.

a) Tes daya tahan-waktu panjang pada tes ini obat selama waktu tertentu disimpan
dibawah persyaratan penyimpanan (suhu, cahaya,udara dan kelembaban) yang
diharapkan di simpan dalam lemari pendingin atau ruang pendingin. Dalam jarak
waktu tertentu pada akhir percobaan dikontrol/dianalisis kandungan bahan obat, sifat
mikrobiologis, sifat sensoris dan keadaan galentik yang dapat dideteksi dengan
metode kimia fisika (Volgh, 1994).
b) Tes daya tahan dipercepat Cara ini dapat digunakan untuk penetapan kinetika reaksi
dan penguraian yang dipelajari dengan menggunakan suhu tinggi (suhu diatas suhu
ruangan) yang kemudian diekstrapolasi pada suhu penyimpanan. Metode ini di awali
dengan tes tekanan dibawah persyartan isothermikyaitu obat disimpan pada suhu
tinggi yang bervariasi dalam interval waktu tertentu dan ditentukan konsentrasi dari
kecepatan penguraian serta pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksinya. Selanjutnya
dilakukan tes tekanan dibawah persyaratan tidak isothermik yaitu obat disimpan pada
suhu yang secara teratur suhunya ditinggikan. Obat yang di ujikan harus dalam bentuk
larutan (Volgh, 1994).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

 Labu erlenmeyer
 Gelas kimia
 Batang Pengaduk
 Aquadest
 Timbangan Analitik
 Friability Tester
 Spektrofotometri UV-Vis
 Suspensi Ibuprofen
 Viskometer Brookfield
 Tablet Natrium Diklofenak
 Termometer
 pH meter
 Oven
 Hardness Tester
 Alat Uji Disolusi
 Lemari Pendingin dan Termometer kulkas
 HCl 1N

3.2 Cara Kerja


 Pengujian stabilitas :
a) Cycling test
Sediaan sebanyak 2g disimpan pada suhu 40C selama 24 jam , Kemudian dimpan
kembali pada suhu 400C selama 24 jam. Perlakuan tersebut disebut satu siklus . Uji
diulang sebanyak 6 siklus , kemudian kondisi fisik sediaan dibandingkan sebelum dan
sesudah cycling test dengan pengamatan organoleptis dan pH.
b) Realtime stability testing
Kondisi simpa suhu kamar atau sesuai persyaratan simpan yang tercantum pada etiket.
Periksa suhu dan % RH pada lemari simpan ( as a real-time chamber ) .

 Uji stabilitas fisika :


a. Perubahan Organoleptis
Sediaan tablet dievaluasi sifat fisiknya, pada suhu 280 kurang lebih 20C dan suhu
400c kurang lebih 20C selama waktu penyimpanan 28 hari berdasarkan penampilan
warna, bau, rasa dan tekstur . Evaluasi dilakukan pada hari ke 0, 14 dan 28.
b. Keseragaman bobot
Uji keseragaman bobot dilakukan untuk melihat keseragaman dosis obat yang masuk
kedalam tubuh sehingga dosis setiap tablet diharapkan sama dan sesuai dengan
keamanan terapi dari sediaan tersebut. Pengujian keseragaman bobot dilakukan untuk
megetahui bobot tiap tablet dan formula dalam penyimpanan pada suhu 280 kurang
lebih 20C , dan suhu 400 kuranglebih 20C selama 28 hari . Evaluasi dilakukan pada
hari ke 0, 14, dan 28 .
c. Uji keseragaman ukuran
Menggunakan alat Jangka Sorong dengan cara menggunakan 10 tablet
ukur diameter dan ketebalannya menggunakanjangka sorong. Hitung rata-rata dan SD
nya Persyaratan : Menurut F I edisi III, kecuali dinyatakan lain, tidak lebih dari 3x
diameter tablet dan tidak kurang dari 1 1/3 x tebal tablet.
d. Uji kekerasan
Ambil 10 tablet ukur kekerasan menggunakan alat ukur kekerasan. Hitung ratarata
dan SD Persyaratan : Ukuran yang didapat per tablet minimal 4 kg/cm2 , maksimal 10
kg/ cm2 .
e. Uji kerapuhan
Friabilator / Friability tester Ambil 20 tablet, bersihkan dari serbuk halus, timbang.
Masukkan ke dalam alat uji (Friabilator), putar sebanyak 100 putaran. Keluarkan
tablet bersihkan dari serbuk yang terlepas dan timbang kembali.

f. Uji pH
1. Bilas elektroda dengan air bebas mineral, selanjutnya keringkan dengan tisu halus.
2. Celupkan elektroda ke dalam contoh uji sampai pH meter menunjukkan
pembacaan yang stabil
3. Catat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan dari pH meter.
4. Catat suhu pada saat pengukuran pH dan laporkan hasilnya
5. Bilas kembali elektroda dengan air bebas mineral setelah pengukuran .

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tablet Natrium diklofenak adalah derivate sederhana dari asam fenilasetat yang
menyerupai meklofenamat. Obat-obat ini cepat diserap sesudah pemberian secara
oral, tetapi bioavailabilitas sistemiknya antara 30-70 %. Absorpsi Natrium diklofenak
melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap, waktu paruh singkat yakni 1-3
jam (Ganiswara, 1995). Untuk mendapatkan konsentrasi efektif obat maka dapat
dibuat dalam bentuk sediaan lepas lambat. Banyak matriks yang dapat digunakan
untuk pembuatan sediaan lepas lambat. Salah satu matriks yang dapat digunakan
untuk pembuatan sediaan lepas lambat adalah matriks turunan selulosa. HPMC
merupakan polimer glukosa yang tersubtitusi dengan hidroksipropil dan metil pada
gugus hidroksinya, sehingga HPMC dapat berinteraksi dengan air membentuk gel
sehingga dapat menghalangi lepasnya obat dari sediaan secara cepat (Martodiharjo,
1996).
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa MC dapat digunakan sebagai
matriks untuk memformulasi sediaan lepas lambat. Penggunaan metilselulosa sebagai
matriks dapat menurunkan kecepatan pelepasan obat (Wahyuningsih, 2006).
Ibuprofen merupakan obat antiradang nonsteroid yang praktis tidak larut dalamair
sehingga dapat diformulasikan ke dalam bentuk sediaan suspensi. Suatu suspensi
memerlukan bahan pensuspensi seperti natrosol HBR untuk meningkatkan viskositas
dan memperlambat sedimentasi sehingga dapat menghasilkan suspensi yang stabil.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan natrosol HBR
sebagaibahan pensuspensi terhadap stabilitas fisik suspensi ibuprofen. Metode yang
digunakandalam pembuatan suspensi ibuprofen ini adalah metode dispersi. Suspensi
ibuprofendibuat dengan penambahan natrosol HBR dengan konsentrasi 1% ; 1,5%;
dan 2%.
Untuk mengetahui stabilitas fisik, maka dilakukan evaluasi yaitu: uji
organoleptis, massa jenis,distribusi ukuran partikel, viskositas, volume sedimentasi,
redispersibilitas dan pH. Data uji stabilitas fisik dibandingkan dengan persyaratan-
persyaratan yang terdapat dalam literatur serta dianalisis menggunakan software R
versi 2.15.2 dengan uji Kruskal-Wallispada modul R-Comander. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berdasarkan lama waktu penyimpanan selama 28 hari, terjadi
Perubahan stabilitas fisik organoleptis, viskositas,distribusi ukuran partikel dan pH.
Hal ini didukung dengan hasil uji statistik dimana nilaip<0,05 menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan pada stabilitas suspensiibuprofen. Pada penelitian ini
formula dengan kadar Natrosol Hbr 1% menunjukkan stabilitas fisik yang paling baik
dari ketiga formula dengan hasil dari uji massa jenis,volume sedimentasi dan
redispersi yang memenuhi syarat, serta hasil uji distribusi ukuran partikel dan
viskositas yang paling baik dari ketiga formula suspensi ibuprofen.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain faktor utama
lingkungan dapat menurunkan stabilitas diantaranya temperatur yang tidak sesuai ,
semakin tinggi suhu maka stabilitas obat semakin menurun , cahaya , kelembapan ,
oksigen dan faktor lain yang mempengaruhi stabilitas adalah ukuran partikel , pH ,
kelarutan , mikroorganisme dan bahan tambahan lain nya . Orde reaksi penguraian
adalah orde 0.
Daftar Pustaka

Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.

Joshita. 2008. Kestabilan Obat. Jakarta : Program S2 Ilmu Kefarmasian Departemen Farmasi
Universitas Indonesia.

Lachman, et al. 1986.Pharmaceutical Dosage Form Dispersion System, Vol. 1. Marcel


Dekker Inc. Martin, A.J.S.,

Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisika, edisi III, diterjemahkan oleh Yoshita,
Jakarta: Universitas Indonesia.

Attwood D dan Florence, 2011, Physicochemical Principles of Pharmacy,ed 5, Chapman and


Hall Inc.
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

PRAKTIKUM IV

PENENTUAN MASSA MOLEKUL RELATIF SENYAWA VOLATIL

Dosen mata kuliah : Apt.Intan Purnamasari, M. Farm.


Disusun Oleh :

Kelompok 2

Kelas 6 C

Fadilatun Nahidah : 1948201100

Fiyan Fauzi Rohman : 1948201101

Hani Fadiah : 1948201102

Hanifah Dwi Safitri : 1948201103

Ine Faridayanti : 1948201104

Ireniza Ratu Amalia : 1948201105

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SALSABILA SERANG

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Senyawa volatil adalah senyawa yang mudah menguap, terutama jika terjadi
kenaikan suhu (Aziz, dkk, 2009).
Gas mempunyai sifat bahwa molekul-molekulnya sangat berjauhan satu sama
lain sehingga hampir tidak ada gaya tarik menarik atau tolak menolak diantara
molekul-molekulnya sehingga gas akan mengembang dan mengisi seluruh ruang yang
ditempatinya, bagaimana pun besar dan bentuknya. Densitas dari gas dipergunakan
untuk menghitung berat molekul suatu gas, ialah dengan cara membendungkan suatu
volume gas yang akan dihitung berat molekulnya dengan berat gas yang telah
diketahui berat molekulnya (sebagai standar) pada temperatur atau suhu dan tekanan
yang sama. Densitas gas diidenfinisikan sebagai berat gas dalam gram per liter.
Persamaan gas ideal bersama-sama dengan massa jenis gas dapat digunakan untuk
menentukan berat molekul senyawa volatil. Dalam hal ini menyarankan konsep gas
ideal, yakni gasyang akan mempunyai sifat sederhana yang sama dibawah kondisi
yang sama (Baihaqi, 2009).
Pada percobaan ini, persamaan gas ideal digunakan untuk menentukan berat
molekul dari senyawa volatil berdasarkan pengukuran densitas gas. Percobaan
dilakukan karena pengukuran berat molekul cairan volatil tidak akan akurat bila
dihitung berdasarkan viskositas atau konsentrasinya karena cairan dapat menguap
pada suhu kamar sehingga sebagian zat cair akan menguap dan menyebabkan analisa
tidak tepat. Metode yang paling sesuai untuk menghitung berat molekul cairan volatil
adalah metode limiting density yaitu berdasarkan persamaan gas ideal.

1.2 Tujuan praktikum


Menentukan massa molekul relatif suatu senyawa yang mudah menguap dengan cara
mengukur massa jenis uap senyawa tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar teori


1. Pengertian Massa Atom Relatif
Pada tahun 1807 lahir teori atom Dalton yang menyatakan bahwa materi terdiri
atas partikel terkecil yang tidak dapat dibelah, dicipta dan dimusnahkan. Atom suatu
unsur mempunyai sifat (ukuran, bentuk, massa) yang sama tetapi berbeda dengan sifat
unsur lain.
Sejak itu para ahli berupaya menentukan massa atom unsur yang telah
ditemukan waktu itu, contohnya: hidrogen, oksigen, nitrogen, besi dsb. Yang mejadi
masalah adalah atom itu adalah sangat kecil sehingga tak akan dapat diambil dan
dihitung satu demi satu untuk ditimbang. Dengan demikian tidak mungkin massa
atom dinyatakan dalam satuan gram dan kg. Menurut perjanjian para ahli bahwa 1 kg
massa adalah sama dengan massa logam iridim-platinum yang disimpan di kota
Serves dekat kota Paris. Sebagai jalan keluarnya para ahli menentukan massa dengan
perjanjian, yaitu membandingkan massa atom terhadap massa atom juga yang disebut
massa atom standard bukan dibandingkan dengan massa logam iridium-platinum di
kota Serves tersebut. Mula-mula para ahli memilih atom hidrogen (H) sebagai atom
standar diberi nilai satu Parbandingan massa ini disebut massa atom relatif yang tidak
punya satuan karena hanyalah nilai perbandingan. Massa atom relatif X adalah
perbandingan massa 1 atom X dengan massa 1 atom H. Tetapi kemudian ternyata
hydrogen yang terdapat di alam terdiri dari 3 isotop (H-1, H-2 dan H-3) sehingga
tidak stabil karena H-2 dan H-3 bersifat radioaktif. Kemudian diganti dengan 1/16
massa atom oksigen (O) sebagai standar. Akhirnya ditetapkan 1/12 isotop C-12
sebagai standar karena dianggap sangat stabil.
Masalah berikutnya adalah bagaiman cara menentukan massa atom relatif
tersebut karena kita tidak dapat mengambil dan menghitung serta menimbangnya
sebanyak yang kita inginkan. Yang dapat dilakukan hanyalah menimbang sejumlah
unsur sehingga diketahui massanya, misalkan 2 gram besi, 5 gram belerang, tetapi
kita tidak tahu berapa jumlah atomnya. Jumlah atom dalam 2 besi itu adalah tak
hingga dan tidak bias ditentukan. Para ahli telah dapat membuat timbangan yang
cukup akurat baik untuk zat padat dan cair maupun gas. Menimbang gas jauh lebih
sulit dibandingkan padat dan cair karena gas sangat ringan dan harus dalam ruang
tertutup.
Setelah ahli dapat menimbang gas dengan teliti dilakukan penelitian terhadap gas dan
reaksi-reaksi gas dan akhirnya didapat hukum-hukum tentang reaksi gas, salah
satunya adalah hukum Avogadro yang menyatakan:
“Pada suhu dan tekanan yang sama, semua gas yang volumenya sama mempunyai
jumlah molekul yang sama”.
2. Penentuan Massa Molekul Relatif
Senyawa Berwujud Gas Zat yang berwujud gas berbeda dari cair dan padat. Gas
mempunyai tekanan (P), volume (V), suhu (T) dan mol (n) tertentu yang terkait satu
sama lainnya. Jika gas bersifat ideal berlaku hukum gas ideal yaitu:
PV = nRT.
Dengan hukum ini, kita dapat menentukan satu besaran jika tiga yang lain diketahui
atau dapat diukur. Suatu gas murni dalam wadah dapat diukur volume, suhu dan
tekanannya, maka akhirnya dapat ditentukan jumlah mol (n)-nya. Jumlah mol ada
hubungan dengan Mr,
𝑛 = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑠𝑒𝑛𝑦𝑎𝑤𝑎 𝑀𝑟 = 𝑚 𝑀𝑟 Jika dimasukan kedalam persamaan gas dihasilkan
PV = m Mr RT atau P (Mr) = m 𝑣 RT Nilai m 𝑣 adalah massa dibagi volume yang
disebut kerapatan atau massa jenis gas (ρ) sehingga Mr = ρ 𝑅𝑇 P . Massa jenis gas
dapat ditentukan dengan alat yang disebut piknometer.

3. Penentuan massa molekul relatif suatu senyawa (Mr) volatil


Senyawa volatil adalah senyawa yang titik didihnya lebih rendah dari titik
didih air. Contohnya CHCl3 dan CCl4. Penentuan massa molekul relatif
(Mr) suatu senyawa volatil dilakukan dengan mengukur massa jenis
gasnya. Oleh sebab itu senyawa ini harus dipanaskan sampai jadi gas
terlebih dulu.
a. Cairan senyawa volatile dimasukan dalam labu erlenmeyer bertutup dan
mempunyai lubang kecil pada penutupnya.
b. Dipanaskan dalam penangas air pada suhu 100° C maka cairan tadi akan
menguap dan uap tersebut akan mendorong semua molekul udara dalam
erlenmeyer keluar melalui lubang kecil tadi.
c. Setelah semua udara keluar, maka uap senyawa volatile ada mengisi
semua erlenmeyer dan ada sebagian yang ikut keluar. Pada akhirnya akan
dicapai keadaan kesetimbangan yaitu bila tekanan uap cairan sama
dengan tekanan udara luar.
d. Pada kesetimbangan ini labu Erlenmeyer hanya berisi uap cairan dengan
tekanan yang sama dengan atmosfer. Volume uap dalam bejana akan
sama dengan volume labu erlenmeyer dan suhunya sama dengan suhu
titik didih air, 100° C.
e. Keluarkan erlenmeyer dari penangas air, didinginkan dan ditimbang,
untuk menentukan massa gas.
f. Tentukan massa jenis gas dan kemudian Mr-nya.

Faktor koreksi
Nilai Mr hasil perhitungan akan mendekati nilai sebenarnya, tetapi masih
mengandung kesalahan. Ketika labu erlenmeyer kosong ditimbang, labu ini penuh
dengan udara. Setelah pemanasan dan pendinginan dalam desikator tidak semua uap
cairan kembali kebentuk cairnya. Oleh karena itu massa sebenarnya X harus
ditambahkan dengan massa udara yang tidak dapat masuk kembali ke dalam labu
erlenmeyer karena adanya uap cairan yang tidak mengembun. Massa tersebut dapat
dihitung dengan mengasumsikan bahwa tekanan parsial udara yang tidak dapat masuk
tadi sama dengan tekanan uap cairan X pada suhu kamar. Nilai ini dapat diketahui
dari tabel, misalnya dalam The Handbook of Physic Chemistry. Sebagai contoh untuk
menghitung tekanan uap kloroform pada suhu tertentu dapat digunakan rumus :
Log P = 6.9023 – 1163.03/ (227.4 + T)
T = suhu senyawa dalam ° C dan P = tekanan

BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


 Labu Erlenmeyer (150 ml)
 Jarum
 Gelas kimia (600 ml)
 Timbangan analitik
 Aluminium Foil
 Desikator
 Karet gelang
 Barometer
 Cairan volatil (CHCl3 atau CCl4)

3.2 CARA KERJA


1. Ambil sebuah labu erlenmeyer berleher kecil yang bersih dan kering dan timbang.
Massa erlenmeyer =………g
2. Erlenmeyer ditutup dengan menggunakan karet gelang.
3. Timbang labu Erlenmeyer tadi beserta aluminium foil dan karet gelang. Massa
erlenmeyer + aluminium foil + karet gelang = ………. g
4. Masukkan 5 ml cairan volatil ke dalam erlenmeyer, tutup kembali dengan
menggunakan karet gelang erat-erat sehingga tutup ini bersifat kedap udara. Dengan
menggunakan jarum buatlah lobang kecil pada aluminium foil agar uap dapat keluar.
5. Rendam Erlenmeyer dalam penangas air bersuhu kurang lebih 100C sedemikian
sehingga air kurang lebih 1 cm di bawah aluminium foil. Biarkan labu Erlenmeyer
tersebut dalam penangas air sampai semua cairan volatil menguap. Catat suhu
penangas air. Suhu penangas air = ………
6. Setelah semua cairan volatil dalam labu menguap, angkatlah labu Erlenmeyer dari
penangas, keringkan air yang terdapat pada bagian luar labu Erlenmeyer dengan lap,
lalu tempatkan labu Erlenmeyer dalam desikator. Timbang Erlenmeyer kembali
setelah semua uap yang terdapat dalam Erlenmeyer kembali menjadi cair. Massa
erlenmeyer + aluminium foil + karet gelang + uap cairan = …………g
7. Tentukan volume erlenmeyer dengan cara mengisinya dengan air sampai penuh dan
mengukur massa air yang terdapat dalam erlenmeyer. Volume air yang terdapat dalam
erlenmeyer diketahui dengan rumus ρ = mV . Massa air =………g
Volume erlenmeyer = ……..ml
8. Ukur tekanan atmosfer dengan barometer.
Tekanan udara =…………atm
9. Tentukan nilai ρ
10. Tentukan nilai Mr

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dik.
Massa erlenmeyer = 55,3111 gram.

Massa erlenmeyer + aluminium foil + karet =55,827 gram

Suhu = 67 ℃

Massa erlenmeyer + aluminium + karet + uap = 56,127 gram

Bobot erlenmeyer + aquadest =157,766

Penyelesaian

Massa erlenmeyer + aluminium + karet gelang = 55,821 gram

Massa erlenmeyer + aluminium foil +karet + uap = 56,127 gram_-

0,306 gram

Massa erlenmeyer + aquadest – massa jenis

154,766 gram -54,111 = 100,655 gram

Mr = m/v x R.T

= 54,111 . 821. 67 = 119

250

P = m. v = 1.54,111 = 54,111

4.2 Pembahasan
Kali ini dilakukan uji penentuan massa molekul relatif senyawa volatil, dengan tujuan
untuk menentukan massa molekul relatif senyawa yang mudah menguap dengan cara
mengukur massa jenis uap senyawa tersebut.
Pada praktikum kali ini pertama-tama siapkan alat dan bahan yang akan digunakan,
lalu timbang elemen kosong yang didapatkan hasil yaitu 54, 111 gram, kemudian timbang
lagi Ellen Meyer plus aluminium foil plus karet gelang yang didapatkan hasil yakni 54,607 g.
Kemudian panaskan air hingga mendidih masukkan erlenmeyer yang telah di tambahakan
kloroform 5m di tutup dengan aluminium foil dan karet gelang, lalu berilah lubang pada
aluminium foil tersebut agar pada saat dipanaskan dapat kloroform dapat menguap dan
biarkan uapnya sampai habis lalu timbang dan ukur suhunya pada saat penguapan itu terjadi
yang didapatkan yaitu pada suhu 67 derajat Celcius.

Selanjutnya kita hitung Mr pada percobaan ini didapatkan Mr dari percobaan ini yaitu
119 sedangkan pada Mr air yaitu 119,5 artinya Mr pada percobaan ini sesuai dengan Mr air.
Selanjutnya kita hitung massa jenis air yaitu didapatkan massa jenis airnya dapatkan hasil
yaitu 54,11 yang artinya massa jenis air tersebut atau aquades tersebut yaitu 54, 111.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1) Massa jenis yang didapat dari perhitungan (massa erlenmeyer+ aluminium foil +
karet gelang + uap cairan + massa erlenmeyer + aluminium foil + karet gelang ) yaitu
1,52
2) Nilai mr yang didapat yaitu 119
3) Massa jenis dari perhittungan ( ρ = m.v ) didapat hasil yaitu 54,111

DAFTAR PUSTAKA

Martin, A., dkk, 2010, Farmasi Fisik II, Penerbit UI Press, Jakarta.
Osol A. et.al, 1980, Remington’s Pharmaceutical Sciences, 16 th ed, Mack Publishing
Company. Easton-Pensivania.

Ansel , H. C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi 4, UI Press, Jakarta

Departemen Kesehatan RI, 2014, Farmakope Indonesia Edisi V, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia , Jakarta

Attwood D dan Florence, 2011, Physicochemical Principles of Pharmacy,ed 5, Chapman and


Hall Inc.

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

PRAKTIKUM V

KENAIKAN TITIK DIDIH LARUTAN DAN TERMOKIMIA


Dosen mata kuliah : Apt.Intan Purnamasari, M. Farm.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Kelas 6 C

Fadilatun Nahidah : 1948201100

Fiyan Fauzi Rohman : 1948201101

Hani Fadiah : 1948201102

Hanifah Dwi Safitri : 1948201103

Ine Faridayanti : 1948201104

Ireniza Ratu Amalia : 1948201105

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SALSABILA SERANG

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suhu di mana cairan mendidih dinamakan titik didih. Titik Didih adalah
temperatur di mana tekanan uap sama dengan tekanan atmosfer. Suhu (temperatur)
dimana tekanan uap sebuah zat cair sama dengan tekanan eksternal yang dialami oleh
cairan. Berdasarkan nilai titik Didih zat terlarut, larutan dapat dibagi dua yaitu titik
didih zat terlarut lebih kecil dari pelarutnya sehingga zat terlarut lebih mudah
menguap, dan yang kedua zat terlarut lebih besar daripada pelarutnya sehingga
apabila dipanaskan Pelarut yang lebih dulu menguap. Konsentrasi larutan , Serta
elektrolit atau non elektrolit zat terlarut.
Termokimia adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari energi yang
menyertai perubahan fisika atau reaksi kimia. Tujuan utama termokimia ialah
pembentukan kriteria untuk ketentuan penentuan kemungkinan terjadi atau
spontanitas dari transformasi yang diperlukan. Dengan cara ini, termokimia digunakan
memperkirakan perubahan energi yang terjadi dalam reaksi kimia, perubahan fase,
dan pembentukan larutan. 

B. Tujuan
setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu
1. Mengidentifikasi pengaruh jenis zat terlarut terhadap kenaikan titik didih larutan
2. Mengidentifikasi hubungan antara konsentrasi larutan dengan kenaikan titik didih
larutan
3. Mengidentifikasi pengaruh larutan elektrolit dan non elektrolit terhadap titik didih
larutan
4. Menentukan panas Pelarut (termokimia) suatu zat dan nilai tetapan kalorimetri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar teori
Suhu di mana cairan mendidih dinamakan titik didih. Jadi, titik didih iyalah
temperatuur di mana tekanan uap sama dengan tekanan atmosfer. Selama gelembung
terbentuk dalam cairan, berarti selama cairan mendidih, tekanan uap kanan atmosfer,
karena tekanan uap iyalah konstan maka suhu dan cairan yang mendidih akan tetap
sama. Penambahan kecepatan panas yang diberikan pada cairan yang mendidih hanya
menyebabkan terbentuknya gelembung uap air lebih cepat. Cairan akan lebih cepat
mendidih, tapi suhu Didih tidak naik. Jelas bahwa titik didih cairan tergantung dari
besarnya atmosfer.
Titik didih merupakan satu sifat yang dapat digunakan untuk memperkirakan
secara tak langsung berapa kuatnya gaya tarik antara molekul dalam cairan. Cairan
gaya tarik antara molekul nya kuat, titik didih nya tinggi dan sebaliknya bila gaya
tarik lemah, titik didih nya rendah.
Bila dalam larutan Biner, suatu komponen mudah menguap (volatil) Dan
komponen lain sukar menguap (non Volatil), Makin rendah. Dengan adanya zat
terlarut tekanan uap Pelarut akan berkurang dan ini mengakibatkan kenaikan titik
didih, penurunan titik beku dan tekanan uap Osmosa. Ke empat sifat ini hanya
ditentukan oleh banyaknya zat terlarut dan. Ditentukan oleh jenis zat terlarut. Seperti
telah disebutkan, sifat sifat ini disebut sifat koligatif larutan. Adanya zat terlarut yang
sukar menguap, tekanan uap dari larutan turun dan ini akan menyebabkan. Didih
larutan lebih tinggi daripada titik didih pelarutnya. Ini disebabkan karena untuk
mendidih, tekanan uap larutan sama dengan tekanan udara dan untuk temperatuur
harus lebih tinggi.
a. Hukum Roult
Hasil eksperimen roult Menjukkan bahwa kenaikan titik Didih larutan akan
semakin besar apabila konsentrasi (molal)dari zat terlarut semakin besar. Titik didih
larutan akan lebih tinggi dari titik didih Pelarut murni. Hasil ini juga diikuti dengan
penurunan titik Beku Pelarut murni, atau. Larutan lebih kecil dibandingkan. Buccu
pelarutnya.
Roult menyederhanakan ke dalam persamaan:
∆Tb = Kb.m

dimana:
∆Tb = Kenaikan titik didih larutan
Kb = Tetapan kenaikan titik didih molal pelarut (kenaikan titik didih untuk Imol
zat dalam 1000 gram pelarut)
M = molal larutan (mol/100 gram pelarut)
Perubahan titik didih atau ATb merupakan selisih dari titik didih larutan dengan titik
didih pelarutnya, seperti persamaan:

∆Tb=Tb-Tb"

Hal yang berpengaruh pada kenaikan titik didih ialah harga Kb dari zat pelarut.
Kenaikan tidak dipengaruhi oleh t yang terlarut, tapi oleh jumlah partikel/mol terlarut
khususnya yang terkait dengan proses ionisasinya.

b.Termokimia

Termokimia adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara energi panas dan energi
kimia. Energi kimia didefinisikan sebagai energi yang dikandung setiap zat. Energi kimia
yang terkandung dalam suatu zat sama halnya dengan energi potensial zat tersebut. Energi
potensial kimia yang terkandung dalam suatu zat disebut panas dalam atau entalpi dan
dinyatakan dengan simbol H. Selisih antara entalpi reaktan dan entalpi hasil pada suatu reaksi
disebut perubahan entalpi reaksi. Perubahan entalpi reaksi diberi simbol AH. Termokimia
merupakan penerapan hukum pertama termodinamika terhadap peristiwa kimia yang
membahas tentang kalor yang menyertai reaksi kimia. Penerapan hukum termodinamika
pertama dalam bidang kimia merupakan bahan kajian dari termokimia. "Energi tidak dapat
diciptakan atau dimusnahkan, tetapi dapat diubah dari bentuk ke bentuk yang lain, atau
energi alam semesta adalah konstan. ". Perubahan kalor pada tekanan konstan:

dH = dE+ P dV

W = P dV

dimana: dE = energi dalam


P = Tekanan
W = Usaha atau kerja
dH = Entalpi
dV = Volume
Pada proses keadaan akhir identik dengan kedaan awal UI = U2 →U2-U1=0, karena
U adalah fungsi keadaan dan dalam keadaan sama nilai U juga sama. Hukum pertama
termodinamika dapat dirumuskan:
∆U=Q-W
Dimana:
AU = perubahan tenaga dakhil sistem
Q = panas yang masuk/keluar dari sistem
W = Usaha yang dilakukan thp system

Kalori merupakan banyaknya panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu satu
gram air satu skala (dalam satuan derajat Celcius atau Kelvin). Alat yang digunakan untuk
mengukur kalor disebut kalorimeter. Satu set kalorimeter terdiri atas wadah, batang pengaduk
dan termometer. Untuk mengurangi radiasi panas, wadah atau bejana di isolasi dengan
perekat seperti pada termos. Kalorimetri digunakan untuk mengetahui kapasitas panas suatu
zat (kalor yang dilepas maupun yang diterima). Kalor merupakan kuantitas energi yang
dipindahkan dari satu benda kepada benda lain akibat adanya perbedaan suhu diantara kedua
benda tersebut. Satuan Kalor (Q) dalam SI dinyatakan dalam satuan energi dalam Joule (J).
Namun secara umum, kalor dinyatakan dalam satuan kalori (kal), dimana 1 kal = 4,2 J.
Kapasitas kalor merupakan kuantitas energi kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu
sejumlah zat tertentu sebesar 1 K atau 10C. Jumlah kalor (Q) yang diperlukan dapat
ditentukan melalui pemahaman persamaan:

Q = m.c. ∆T
Qkalorimeter = C. ∆T

Oleh karena tidak ada kalor yang terbuang ke lingkungan, maka kalor reaksi = kalor yang
diserap / dibebaskan oleh larutan dan kalorimeter, tetapi tandanya berbeda.
qreaksi = -(qlarutan + qkalorimeter)

dimana:
Q = jumlah kalor (J)
m = Massa zat (gr)
∆T = Perubahan suhu (1 K atau 10C)
c = kalor jenis (J/g.oC) atau (J/g.K)
C = kapasitas kalor atau kapasitas kalor spesifik (J/oC) atau (J/K)

C adalah koefisien perbandingan antara energi yang diberikan sebagai kalor dari
kenaikan temperatur yang disebabkannya. Untuk mengukur C dialirkan arus listrik melalui
pemanas dalam kalorimeter dan ditentukan kerja listrik yang dilakukan padanya.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


a. Alat yang digunakan
1. Gelas Kimia 7. Termometer
2. Kaki tiga 8. Timbangan digital
3. Kasa 9. Gelas ukur
4. Spatula 10. Stopwatch
5. Korek api 11. Kalorimeter
6. Cawan porselen 12. Batang pengaduk
b. Bahan yang digunakan
1. NaCl (secukupnya) 6. Alkohol
2. Gula Pasir (secukupnya) 7. Pemutih pakaian
3. Air (secukupnya) 8. Aquades
4. NaCIO 9. NaOH
5. Aseton

3.2 Cara Kerja


A. Pengaruh jenis zat terlarut terhadap kenaikan titik didih
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Menyalakan pembakar spiritus sekaligus mengukur suhu dengan menggunakan
termometer.
3. Menghitung suhu air yang dipanaskan 2 menit, sampai suhu ditunjukkan oleh
termometer konstan.
4. Mengulang percobaan dengan memanaskan larutan NaCl (air 50 ml+NaCl 1 gr) dan
larutan NaCL (air 50 ml+NaCL 5 g).
5. Mencatat hasil kenaikan suhu dari ssetiap percobaan dan dibandingkan.

B. Hubungan konsentrasi larutan dengan kenaikan titik didih


1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Menyalakan pembakar spiritus, menaruh gelas kimia yang berisi larutan gula (air 50
ml + gula pasir 0,5 gr) diatas pembakar spiritus sekaligus mengukur suhu dengan
menggunakan termometer.
3. Menghitung suhu larutan yang dipanaskan selang 2 menit, sampai suhu yang
ditunjukkan oleh thermometer konstan.
4. Mengulang percobaan dengan memanaskan larutan gula (air 50 ml +gula 1,0 gr) dan
larutan gula (air 50 ml+ gula 1,5 g)
5. Mencatat hasil kenaikan suhu dari setiap percobaan dan dibandingkan

C. Penentuan nilai tetapan kalorimetri


1. Masukkan aquadest 100 mL kedalam calorimeter, lalu aduk dan catat suhu air 30
detik sampai menit ke 5.
2. Tepat menit kelima, masukkan air panas yang suhunya telah diketahui (minimum
35°C dan tidak boleh lebih dari 45°C) sebanya 100 mL.
3. Catat suhu air dalam kalorimeter (tiap 30 detik dengan mengaduk sampai menit
kesepuluh)
4. Buat kurva antara suhu dan waktu untuk memperoleh suhu maksimum yang tepat

D. Panas Pelarutan
1. Masukkan 100 mL air kedalam kalorimeter sambil diaduk. Catat suhu setiap 30
detik.
2. Masukkan 4 gram NaOH/NaOCI kedalam kalorimeter sambil terus diaduk. Catat
suhu dan waktu ketika serbuk dimasukkan.
3. Lanjutkan pembacaan temperature setiap 30 detik hingga menit kedelapan.

E. Panas Reaksi
1. Masukkan 25 ml aseton/alcohol kedalam calorimeter
2. Catat suhu masukkan 75 ml bayklin dan aduk. Catat suhu dan waktu ketika
bayklin dimasukkan
3. Lanjutkan pembacaan suhu setiap 30 detik sampai menit ke 6.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
A. Hasil Perhitungan Kenaikan Titik Didih (Nacl)
No. Waktu Air 50 ml Suhu (T±1) °C Air 50 ml + NaCl
(menit) Air 50 ml + NaCl 1 g 5g
1. 0 30°C 30°C 30°C

2. 2 42°C 45°C 67°C


3. 4 58°C 63°C 70°C
4. 6 70°C 72°C 77°C
5. 8 73°C 79°C 78°C
6. 10 86°C 87°C 80°C
7. 12 92°C 94°C 96°C

B. Hasil Perhitungan Kenaikan Titik Didih (Gula)


No. Waktu Air 50 ml + Suhu (T±1) °C Air 50 ml + gula
(menit) gula 0,5 g Air 50 ml + gula 1,0 g 1,5 g
1. 0 30°C 30°C 30°C

2. 2 44°C 60°C 50°C


3. 4 63°C 72°C 67°C
4. 6 75°C 78°C 77°C
5. 8 76°C 82°C 78°C
6. 10 86°C 83°C 84°C
7. 12 91°C 93°C 94°C

C. Perbandingan Hasil Percobaan Dan Perhitungan Kenaikan Titik Didih

No. Larutan Tb (°C)


Percobaan Perhitungan
1. Air 50 ml 92 92,020
2. Air 50 ml + NaCl 1 g 94 92,348
3. Air 50 ml + NaCl 5 g 96 92,680
4. Air 50 ml + gula 0,5 91 92,015
g
5. Air 50 ml + gula 1,0 93 92,030
g
6. Air 50 ml + gula 1,5 94 92,348
g

D. Penentuan Nilai Tetapan Kalorimetri

No. Suhu Air (°C) Waktu (detik)


1. 30°C 30 detik
2. 30°C 60 detik (menit ke-1)
3. 30°C 90 detik
4. 30°C 120 detik (menit ke-2)
5. 30°C 150 detik
6. 30°C 180 detik (menit ke-3)
7. 30°C 210 detik
8. 30°C 240 detik (menit ke-4)
9. 30°C 270 detik
10. 30°C 300 detik (menit ke-5)

4.2 Pembahasan

Pada percobaan pemanasan larutan NaCl yang ditambahkan ke air menunjukkan


adanya perbedaan pada titik didih. Pemanasan pada air tanpa campuran zat terlarut
menunjukkan suhu 920 C. Suhu tersebut didapat pada menit ke-12 setelah dinyatakan nilainya
konstan. Sedangkan pada menit yang sama, larutan NaCl + air menunjukkan titik didih yang
berbeda yaitu 940 C. Adanya kenaikan titik didih tersebut membuktikan bahwa NaCl sebagai
zat terlarut memiliki pengaruh dalam perubahan suhu yang dibutuhkan air untuk mendidih.
Selanjutnya, pada percobaan kedua dilarutkan air dan gula pasir. Uji coba tersebut dilakukan
selama tiga kali dengan kadar gula yang bervariasi yakni 0,5 gram, 1 gram dan 1,5 gram.
Data dari pengamatan termometer menunjukkan adanya perbedaan untuk tiap titik didih.
Titik didih untuk campuran air 50 ml dengan 0,5 gram gula menunjuk pada angka 91 0 C.
Kenaikan titik didih terjadi pada setiap penambahan kadar gula pasir. Pada kadar 1 gram, titik
didihnya menjadi 930 C sedangkan pada kadar 1,5 gram titik didihnya sebesar 940 C.
Semakin banyak gula pasir yang ditambahkan, semakin tinggi temperatur yang
dicapai. Dengan kata lain, kembali terbukti bahwa zat terlarut memiliki andil besar dalam
kenaikan titik didih suatu larutan. Perbedaan kadar gula pasir juga membuktikan ada faktor
lain yang mempengaruhi kenaikan titik didih. Faktor tersebut adalah konsentrasi dari larutan.
Semakin besar konsentrasi yang dimiliki oleh gula, maka berdampak pada tingginya titik
didih larutan.
Kemudian, beralih ke perbandingan antara titik didih NaCl dengan gula pasir. Berdasarkan
pengamatan, didapat bahwa campuran air 50 ml dengan NaCl 1 gram menunjuk pada suhu
940 C. Sedangkan saat dicampur dengan gula pasir 1 gram, suhunya sebesar 93 0 C. Perbedaan
titik didih tersebut membuktikan bahwa kenaikan titik didih juga dipengaruhi oleh kandungan
elektrolit pada larutan. NaCl tentu bersifat elektrolit sehingga titik didihnya lebih tinggi
dibandingkan gula.
Dengan demikian, telah diperoleh beberapa faktor yang berpengaruh pada naiknya
titik didih. Hal tersebut ditunjukkan oleh perbedaan temperatur yang terukur oleh
termometer.
Dari table perbandingan diatas dapat diketahui bahwa hasil percobaan dan perhitungan
kenaikan titik digih menunjukan perbedaan. Kenaikan titik didih larutan air 50 ml + NaCl 1 g
pada percobaan didapat 940 C, sedangkan pada perhitungan didapat 92,3480 C. Kenaikan titik
didih larutan air 50 ml + gula 0,5 g pada percobaan diatas didapat
910 C, sedangkan pada perhitungan didapat 92,0150 C. Kenaikan titik didih larutan air 50 ml
+ gula 1 g pada percobaan diatas didapat 930 C, sedangkan pada perhitungan didapat
92,0300 C. Kenaikan titik didih larutan air 50 ml + gula 1,5 g pada percobaan diatas didapat
940 C, sedangkan pada perhitungan didapat 92,0450 C.
Dari data yang ada pada table da analisis dapat dilihat bahwa nilai dari titik didih dari
larutan garam dan larutan gula memiliki nilai yang berbeda yakni 940 C dan 930 C. Hal
tersebut dikarenakan larutan NaCl merupakan larutan elektrolit yang dipengaruhi dengan
faktor van't hoff sehingga titik didih larutan elektrolit lebih besar daripada larutan non
elektrolit. Selain itu, semakin banyak massa gula yang dilarutkan seharusnya semakin tinggi
pula titik didihnya. Namun pada percobaan yang kami lakukan terjadi beberapa percobaan
mengalami penurunan nilai kenaikan titik didih. Ketidaksesuaian hasil dengan teori ini
disebabkan karena ketidaktelitian dan kelalaian yang dilakukan saat pelaksanaan percobaan
misalnya kesalahan dalam membaca skala yang ditunjukan oleh thermometer, api dari
spiritus yang tidak konstan dikarenakan spiritusnya akan habis, pemegang thermometer yang
tidak konstan, serta dipengaruhi oleh lingkungan seperti AC.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
 Pelarut atau zat cair yang dicampurkan dengan suatu zat terlarut, maka larutan
tersebut akan mengalami kenaikan titik didih;
 Faktor yang mempengaruhi kenaikan titik didih antara lain jenis dan konsentrasi
zat terlarut. Adapun jenis yang dimaksud adalah zat volatile ataupun non volatile
dan zat elektrolit ataupun non elektrolit;
 Zat terlarut yang bersifat volatile atau susah menguap akan memberikan pengaruh
pada naiknya titik didih dibanding zat yang bersifat non volatile;
 Zat terlarut yang bersifat elektrolit berdampak pada kenaikan titik didih suatu
larutan sedangkan zat non elektrolit tidak;
 Semakin tinggi konsentrasi suatu larutan maka kenaikan titik didih pun semakin
tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Bandung: Binarupa Aksara.
Petrucci, R.H. 1992. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Rosenberg, JI. 1992. Teori dan Soal Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga

Attwood D dan Florence, 2011, Physicochemical Principles of Pharmacy,ed 5, Chapman and


Hall Inc.

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA


PRAKTIKUM VI

KINETIKA REAKSI

Dosen mata kuliah : Apt.Intan Purnamasari, M. Farm.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Kelas 6 C

Fadilatun Nahidah : 1948201100

Fiyan Fauzi Rohman : 1948201101

Hani Fadiah : 1948201102

Hanifah Dwi Safitri : 1948201103

Ine Faridayanti : 1948201104

Ireniza Ratu Amalia : 1948201105

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SALSABILA SERANG

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang

Kinetika reaksi adalah cabang ilmu yang mempelajari berlangsungnya suatu reaksi,
kinetika reaksi menerangkan dua hal yaitu mekanisme reaksi dan laju reaksi .pengertian
mekanisme reaksi adalah dipakai untuk menerangkan langkah-langkah dimana suatu reaktan
yang menjadi produk laju reaksi adalah perubahan konsentrasi bereaksi ataupun suatu
produk dalam suatu satuan waktu kinetika reaksi menggambarkan suatu studi secara
kuantitatif tentang perubahan- perubahan kadar terhadap waktu oleh reaksi kimia kecepatan
reaksi ditentukan oleh kecepatan terbentuknya zat hasil dan kecepatan pengurangan relakan.
tetapan kecepatan (k) adalah faktor pembanding yang menunjukkan hubungan antara
kecepatan reaksi dengan konsentrasi reaktan.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat reaksi-reaksi kimia dengan kecepatan
yang berbeda-beda. ada reaksi yang berlangsung sangat cepat seperti petasan yang meledak,
ada juga reaksi yang berlangsung sangat lambat seperti perkaratan besi, dan pengetahuan
tentang laju reaksi sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari dan industri baju reaksi
perlu dipelajari agar dampaknya dapat membantu dan bermakna bagi kehidupan manusia.

Laju didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi persatuan waktu satuan yang umum
adalah mol dm³-1. Laju reaksi adalah kecepatan(laju) berkurangnya pereaksi atau
terbentuknya produk kreasi dapat dinyatakan dalam satuan mol/L atau atom/s . istilah laju
reaksi adalah persamaan yang meningkatkan laju reaksi dengan konsentrasi molar atau
tekanan parsial bereaksi dengan peningkat yang sesuai.( Agustar,2009).

1.2 Tujuan

1. Menentukan pengaruh perubahan konsentrasi terhadap Laju reaksi


2. menentukan pengaruh perubahan pengaruh suhu terhadap Laju reaksi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


Kinetika reaksi disebut juga sebagai laju reaksi. Laju reaksi merupakan laju
bertambahnya konsentrasi produk dan berkurangnya konsentrasi reaktan tiap satuan waktu.
Bila suatu reaksi dinyatakan:

∆[ A] ∆[ A]
A → B, maka 𝑉𝑎 = − dan 𝑉𝑏 = −
dt dt

Dalam kinetika reaksi, pengelompokan reaksi meliputi reaksi elementer dan reaksi
kompleks. Reaksi elementer merupakan langkah reaksi tunggal. Ketika hanya satu molekul
yang terlibat (A → P) reaksi elementer merupakan unimolekular dengan hukum laju satu
orde atau tingkat (laju = k [A]x dalam hal ini x adalah orde terhadap A). Jika dua molekul
reaktan yang terlibat (A + B → P) reaksi elementer adalah bimolekular dengan hukum laju
dua orde atau tingkat (laju = k [A]x [B]y dalam hal ini x adalah orde terhadap A dan y adalah
orde terhadap B). Sedangkan reaksi kompleks merupakan reaksi yang berlangsung melalui
lebih dari satu langkah reaksi elementer konstituen. Reaksi Unimolecular, reaksi berantai,
reaksi katalitik dan enzim merupakan contoh reaksi yang kompleks.

Laju reaki dapat disusun dalam sebuah persamaan laju. Pada persamaan laju reaksi,
konsentrasi digunakan adalah konsentrasi reaktan pada sebuah reaksi. Untuk reaksi
penguraian A menjadi B misanya, maka reaksinya adalah A → B, persamaan lajunya adalah
V= k [A]x. Untuk reaksi yang berlangsung 2 atau beberapa tahap, maka laju reaksi yang
dapat ditentukan adalah reaksi yang berlangsung lambat. Sebagai contoh pada tahap
penguraian ozon (O3):

(1) O3 → O2 + O (Reaksi Cepat)

(2) O3 + O → 2O2 (Reaksi Lambat)

Maka reaksi yang menetukan persamaan laju adalah reaksi (2), dengan persamaan laju
sebagai berikut: V= k [O3]x[O]y. Secara umum, persamaan laju dirumuskan:

V = k [Reaktan]orde

dimana:

V = Laju reaksi (M/s)


k = Tetapan laju reaksi

[Reaktan] = Konsentrasi reaktan (M)

Orde = Tingkat Reaksi

Harga tetapan laju reaksi (k) merupakan sifat dari reaksi, yang tergantung pada suhu bukan
pada konsentrasi. Satuan k bergantung orde reaksinya. Orde reaksi secara umum
dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu orde nol, satu dan dua. Namun tidak menutup
kemungkinan ada reaksi selain 0, 1, 2. Secara umum, orde reaksi digambarkan sebagai
berikut:

BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

 Gelas Ukur 250 ml


 Stopwatch
 Aquades
 Na₂S₂O₁
 Erlenmeyer
 HCI
 Penangas
 Termometer
 Pipet volum

3.2 CARA KERJA


1. Ambil 50 ml natrium tiosulfat 0,25 M, lalu masukkan kedalam gelas ukur (alas
gelas ukur harus kertas putih yang diberi tanda "X", dengan permukaan yang
rata).
2. Ambil 2 ml HCL 0,5 M lalu masukkan kedalam gelas ukur berisi natrium
tiosulfat tersebut (tepat ketika penambahan dinyalakan stopwatch).
3. Aduk larutan agar pencampuaran menjadi merata (amati apa yangterjadi).
4. Catat waktu yang diperlukan sampai tanda silang hitam tidak dapat diamati
dari atas.
5. Ukur dan catat suhu larutan setiap 30 detik hingga detik ke180.
6. Ulangi langkah 1-5 dengan mengubah volume larutan tiosulfat (untuk 75 ml,
100 mL, 125 mL)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

a. Perhitungan

 HCL 0,5 M
0,5 = gr /36,5 × 100 / 50 ml

18,25 = gr × 20

Gr = 18,25 /20 = 0,9 gr

 248 × 0,25 = gr× 1000/100


62 = gr × 10

62/10 = gr

gr = 6,2

 Waktu yang diperlukan sampai tanda silang hitam ( 63 detik, 73 detik dan 81 detik)
b. Hasil percobaan

Volume Na2S2O3 Volume HCL (0,5 M ) Waktu (s) Suhu (°c)

50 ml 2 ml 30 26

60 26

90 26

120 26

150 26

180 26

75 ml 2 ml 30 25

60 25

90 25
120 25

150 25

180 25

100 ml 2 ml 30 24

60 25

90 25

120 25

150 25

180 25

4.2. PEMBAHASAN

Laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan konsentrasi pereaksi ataupun produk dalam
satu satuan waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi,yaitu : konsentrasi, suhu,
terkanan, volume, luas permukaan bidang sentuh dankatalis. Sedangkan mekanise reaksi
digunakan untuk menerangkan langkah-langkah suatu reaktan berubah menjadi suatu produk.
Pada praktikum kali ini membahas tentang pengaruh konsentrasi dan suhu terhadap laju
reaksi dengan menggunkan bahan Na2S2O3 0,25 M, HCl 0,5 M, serta akuades.

Percobaan pertama yaitu pengaruh perubahan konsentrasi terrhadap laju reaksi.,


dilakukan dengan menyiapkan 1 buah gelas ukur 100 ml dan satu buahgelas ukur 10 ml.
Larutan Na2S2O3 0,25 M sebanyak 50 ml dimasukkan kedalam gelas ukur 100 ml.
Sebelumnya, gambarlah tanda silang diatas kertas putih mernggunakan tinta hitam. Gelas
ukur tadi diletakkan tepat diatas tanda silangyang ada pada kertas putih. Hal terrsebut
dilakukan agar kertika dilihat dari atas melalui larutan tiosulfat, tanda silang tadi terlihat
jelas. Kemudian, tambahkan 2ml HCl 0,5 M ke dalam larutan tiosulfat, dan tepat kertika
penambahan dilakukan, stopwatch dinyalakan. Larutan kemudian diaduk, sementara
pengamatan dari atas tetap dilakukan. Tujuan pengadukan yaitu agar pencampuran jadi nyata.
Lalu,catat waktu yang diperlukan sampai tanda silang hitam tidak dapat lagi diamati dari atas.
Hal ini menandakan reaksi sudah terjadi, yaitu reaksi pengendapan sehingga kertika dilihat
dari atas, tanda silang hitam tidak dapat terlihat karena terhalang endapan-endapan sulfur.
Waktu yang diperlukan yaitu 63 detik,73 detik dan 81 detik,dengan konsentrasi relatif
tiosulfat sebesar 0,25 M. Setelah itu suhu larutan di catatan dan ukur dan percobaan diulang
dengan volume Na2S2O3 75 dan 100 ml dengan waktu 30 s ,60s,90s,120s,150s,dan 180s.

Adapun hasil yang didapat dari ukuran suhu untuk volume Na2S2O3 50 ml memiliki
nilai suhu rata-rata 26 °C , dan untuk volume Na2S2O3 75 ml memiliki nilai-nilai suhu rata-
rata 25 °C dan untuk volume Na2S2O3 100 ml memiliki nilai suhu rata-rata 25°C , tetapi
untuk waktu 30s memiliki nilai suhu 24°C.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pada percobaan pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi dapat di simpulkan bahwa
jika semakin tinggi konsentrasi suatu zat maka semakin cepat terjadinya reaksi. Pada
percobaan pengaruh suhu terhadap laju reaksi dapat dinyatakan, jika semakin tinggi suhu
maka semakin cepat terjadinya reaksi. Adapun hasil nilai suhu yang didapat dari volume
Na2S2O3 50 ml adalah 26°C , untuk 75 ml 25°C dan untuk 100 ml yaitu 25°C.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi 4, UI Press,


Jakarta.Attwood D dan Florence, 2011, Physicochemical Principles of Pharmacy,ed 5,
Chapman and Hall Inc.
Duncan, 1980, Introduction to Colloid and Surface Chemistry. BufferbWorths:
Canada
Departemen Kesehatan RI, 2014, Farmakope Indonesia, Edisi V. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Hiemenz. P.C. and R. Rajagopalan, 1997, Principles of Colloid and Surface
Chemistry, 3d ed. New York: Marcel Dekker Inc.
Holmberg, K., 2004, Surfactants and Polymers an Aqueous Solution,2nd Edition,
John Wiley & Sons Inc: USA
Khopkar, S. M., 1984, Konsep Dasar Kimia Analitik. (Terjemahan A.Sapto
Rahardjo). Jakarta: UI-Press: Jakarta
Khopkar, S. M., 2003., Konsep Dasar Kimia Analitik. (Terjemahan A.Sapto
Rahardjo). Jakarta: UI-Press: Jakarta
Kordi, K. M. Ghufran, H., 1997, Parameter Kualitas Air, Karya Anda : Surabaya

Anda mungkin juga menyukai