PRAKTIKUM 1
KELARUTAN
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Kelas 6 C
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu sifat fisika yang dapat kita amati setiap saat adalah peristiwa larutnya
suatu zat padat dalam pelarut air. Konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada
temperatur tertentu disebut sebagai kelarutan.
Agar suatu obat diabsorpsi, maka obat tersebut mula-mula harus larut dalam media
cairan tempat absorpsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam
bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorpsi sampai partikel-partikel obat larut dalam
cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung usus.
Larutan merupakan suatu campuran homogen antara 2 zat dari molekul, atom
ataupun ion dimana zat yang dimaksud disini adalah zat padat, minyak larut dalam air.
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut di dalam
larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.
Kelarutan suatu senyawa dalam zat pelarut tergantung sifat fisik dan kimia dari zat
terlarut tersebut. Dalam bidang farmasi, kelarutan dapat didefinisikan sebagai berikut
kelarutan suatu obat adalah 1 gram zat terlarut yang akan dilarutkan dalam sejumlah ml
pelarut. Larutan adalah campuran homogen antara dua zat dari molekul, atom ataupun ion
dimana zat yang dimaksud di sini ialah zat padat, minyak larut dalam air.
Dalam bidang farmasi kita dapat mengetahui dan dapat memilih medium pelarut
yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan. Kelarutan sangat penting untuk
diketahui karena hal ini diperlukan untuk memilih pelarut yang paling baik dalam
melarutkan suatu jenis obat atau kombinasi obat. Selain itu, kelarutan juga dapat dijadikan
sebagai standar atau uji kemurnian suatu pelarut serta informasi tentang struktur obat.
Oleh karena itu, dilakukanlah percobaan ini untuk mengetahui kelarutan jenis obat tertentu
di dalam suatu jenis pelarut sehingga dapat ditentukan pelarut yang paling sesuai untuk
jenis bahan obat tertentu. Senyawa obat untuk dapat memberikan efek farmakologisnya,
obat harus larut dalam air. Kelarutan dari suatu senyawa kimia (obat) ini menentukan juga
lama kerja obat akan memberikan efek farmakologisnya. Setelah obat masuk dalam tubuh
baik melalui oral, secara bukal atau sublingual maka faktor yang paling menentukan
adalah faktor kelarutannya dalam pelarut yang dalam hal ini adalah air.
Pengetahuan mengenai larutan sangat penting sebab sebagian besar reaksi kimia dan
biologis terjadi dalam bentuk cairan, terutama dalam bentuk larutan dengan suatu pelarut
(air). Untuk seorang ahli farmasi teori dan penerapan dari gejala kelarutan penting, sebab
dapat membantu memilih medium pelarut yang baik untuk obat atau kombinasi obat,
membantu kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada pembuatan larutan farmasetis,
dan lebih jauh lagi dapat bertindak sebagai standart atau zat uji kemurnian. Pengetahuan
yang mendetail mengenai kelarutan dan sifat-sifat yang berhubungan dengan itu juga
memberi informasi mengenai struktur obat dan gaya antar molekul obat.
Dalam bidang farmasi kelarutan sangat penting, karena dapat mengetahui dapat
membantu dalam memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi
obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu
pembuatan larutan farmasetis (dibidang farmasi) dan lebih jauh lagi dapat bertindak
sebagai standar atau uji kelarutan.
2. Tujuan Percobaan
a. Menentukan kelarutan suatu zat secara kuantitatif
b. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat
c. Menjelaskan usaha-usaha yang digunakan untuk meningkatkan kelarutan suatu zat aktif
dalam air untuk pembuatan sediaan zat cair
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Dasar Teori
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan jenuh
pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang berlainan.
Untuk dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat dalam cairan. Disamping
itu terdapat larutan dalam keadaan padat (misalnya gelas, pembentukan kristal campuran)
(Voight, 1994).
Perubahan kelarutan dengan tekanan tak mempunyai artipenting yang praktis dalam
analisis anorganik kualitatif, karena semua pekerjaan dilakukan dalam bejana terbuka pada
tekanan atmosfer, perubahan yang sedikit daritekanan atmosfer tak mempunyai pengaruh
yang berarti atas kelarutan. Terlebih penting adalah perubahan kelarutan dengan suhu
(Svehla, 1979).
Kelarutan yang pada angka adalah kelarutan pada suhu kamar.Istilah-istilah dalam
kelarutan sebagai berikut (Anief, 2003):
Larut 10 – 30
Hasil kali kelarutan adalah suatu tetapan yang menggambarkan kelarutan suatu
ion zat padat dan memberikan harga hasil kali konsentrasi ionnya (aktivitas ion) dalam
larutan jenuh. Jika hasil kelarutan dicapai, maka senyawa yang terbentuk dari ion-ion
ini akan mengendap. Rumus umum hasil kali kelarutan (Roth, 1988):
K = C a + Cb
Keterangan : K = Hasil kali kelarutan
Ca = Konsentrasi jumlah kation A
Cb = Konsentrasi jumlah anion B
Suhu merupakan faktor yang penting dalam menentukan kelarutan suatu obat dan
dalam mempersiapkan larutannya. Kebanyakan bahan kimia menyerap panas bila
dilarutkan dan dikatakan mempunyai panas larutan negative, yang menyebabkan
meningkatnya kelarutan dengan menaikkan suhu. Segolongan kecil bahan kimia
mempunyai panas larutan positif dan menunjukkan berkurangnya kelarutan dengan suatu
kenaikan suhu. Disamping suhu, faktor-faktor lain juga mempengaruhi kelarutan. Ini
meliputi bermacam-macam bahan kimia dan sifat-sifat fisika lainnya dari zat terlarut dan
pelarut, faktor tekanan, keasaman atau kebasaan dari larutan, keadaan bagian dari zat
terlarut, dan pengadukan secara fisik yang dilakukan terhadap larutan selama
berlangsungnya proses melarut. Kelarutan suatu zat kimia murni pada suhu dan tekanan
tertentu adalah tetap; tetapi, laju larutnya yaitu kecepatan zat itu melarut, tergantung pada
ukuran partikel dari zat dan tingkat pengadukan. Makin halus bubuk makin luas
permukaan kontak dengan pelarut, makin cepat proses melarut. Juga makin kuat
pengadukan, makin banyak pelarut yang tidak jenuh bersentuhan dengan obat, makin
cepat terbentuknya larutan (Ansel, 1989).
Kelarutan suatu senyawa dinyatakan dalam gr/lt. Besarnya kelarutan suatu senyawa
adalah jumlah maksimal senyawa bersangkutan yang larut dalam sejumlah pelarut tertentu
pada suatu suhu tertentu dan merupakan larutan jenuh yang ada dalam kesetimbangan
dengan bentuk padatnya (Roth, 1988).
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan konsentrasi
maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut. Bila suatu pelarut
pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas daya melarutnya, larutan ini
disebut larutan jenuh. Agar supaya diperhatikan berbagai kemungkinan kelarutan diantara
dua macam bahan kimia yang menentukan jumlah masing-masing yang diperlukan untuk
membuat larutan jenuh, disebutkan dua contoh sediaan resmi larutan jenuh dalam air,
yaitu larutan Topical Kalsium HIdroksida, USP (Calcium Hydroxide Topical Solution,
USP), dan larutan oral Kalium Iodida, USP (Potassium Iodida Oral Solution, USP).
Larutan yang pertama dibuat dengan mencampur kalisihidroksida dalam jumlah yang tepat
dengan air murni, mengandung hanya 140 mg zat terlarut yang larut per 100 ml. Lrutan
pada suhu 250 C, sedangkan larutan yang berikutnya mengandung kira-kira 100 g zat
terlarut per 100 ml larutan, lebih dari 700 kali sebanyak zat terlarut yang terdapat dalam
larutan topikal kalsium hidroksida (Ansel, 1989).
Larutan Jenuh adalah suatu larutan di mana zat terlarut berada dalam kesetimbangan
dengan fase padat (zat terlarut). Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu
larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi di bawah konsentrasi yang
dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu. Suatu larutan lewat
jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi lebih banyak
daripada yang seharusnya ada pada temperatur tertentu, terdapat juga zat terlarut yang
tidak larut. Keadaan lewat jenuh mungkin terjadi apabila inti kecil zat terlarut yang
dibutuhkan untuk pembentukan kristal permulaan adalah lebih mudah larut daripada
kristal besar sehingga menyebabkan sulitnya inti terbentuk (Martin, 1990).
Dalam istilah fisika kimia, larutan dipersiapkan dari campuran yang mana saja dari
tiga keadaaan zat yaitu padat, cair, dan gas. Dalam istilah farmasi, larutan yang
didefinisikan sebagai sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat
larut, biasanya dilarutkan dalam air yang karena bahannya, cara peracikan atau
penggunaannya dalam golongan produk lainnya. Sesungguhnya banyak produk farmasi
melarut prinsip kimia fisika merupakan campuran homogen dari zat terlarut yang
dilarutkan dalam pelarut, menurut prinsip farmasi digolongkan ke dalam jenis produk lain
(Ansel, 1989).
BAB III
CARA KERJA
Etanol 0 μL 0 μL 0 μL 500 μL 0 μL
Manitol kering
bahan Bobot suhu
Manitol I 0,535 gram 45 C
Manitol II 0,594 gram 30 C
Manitol III 0,898 gram 10 C
PERHITUNGAN
1,742−0,535
45% = x 100% = 2,141%
50
1,849−0,594
30% = x 100% = 2,51%
50
2,672−0,898
10% = x 100% = 3,548%
50
4.1 Hasil
Tabel percobaan 1
No Abs K Abs
Sampel
1 3,450 3,4498
2 3,262 3,2618
3 3,247 3,2466
4 3,321 3,3210
5 3,220 3,2200
Tabel percobaan 2
No Abs K Abs
Sampel
1. 3,391 3,3909
2. 3,250 3.2503
3. 3,290 3,2903
4. 3,322 3,3220
5. 3,248 3,2480
4.1 Perhitungan
Perhitungan tabel 1
1. Formula A
1.450 = 0.0794X + 0.0311
3.4189 = 0,0794X
3.4189
X = =43.05914
0.0794
3. Formula C
2.247 = 0.0794X + 0.0311
2.247 – 0.0311 = 0.0794X
3.215 = 0.0794X
3.215
X = =40.50251
0.0794
4. Formula D
3.321 = 0.0794X + 0.0311
3.321 - 0.0311 = 0.0794X
3.2899 = 0.0794X
3.2899
X = =41.43450
0.0794
5. Formula E
3.220 = 0.0794X + 0.0311
3.220 - 0.0311 = 0.0794X
3.1889 = 0.0794X
3.1889
X = =40.16247
0.0794
Perhitungan tabel 2
1. Formula 1
3.391 = 0.0794X + 0.0311
3.391 – 0.0311 = 0.0794X
3.3599 = 0.0794X
3.3599
X = =42.31612
0.0794
X = 43.31 mg (Kadar Paracetamol)
2. Formula 2
3.250 = 0.0794X + 0.0311
3.250 - 0.0311 = 0.0794X
3.2189 = 0.0794X
3.2189
X = =40.54030
0.0794
X = 40.54 mg (Kadar Paracetamol)
3. Formula 3
3.290 = 0.0790X + 0.0311
3.290 – 0.0311 = 0.0790X
3.2589 = 0.0790X
3.2589
X = =41.04408
0.0790
X = 41.04 mg (Kadar Paracetamol)
4. Formula 4
3.2909 = 0.0794X
3.2909
X = =41.44710
0.0794
X = 41.44 mg (Kadar Paracetamol)
5. Formula 5
3.1889 = 0.0794X
3.1889
X = =40.16247
0.0794
X = 40.16 mg (Kadar Paracetamol)
4.2 Lampiran
4.3 Pembahasan
Obat merupakan bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia. Dalam proses pembuatan obat dibutuhkan bahan atau campuran
bahan zat aktif lain yang apabila digunakan dapat menciptakan khasiat farmakologi atau efek
langsung dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan atau pencegahan penyakit,
atau untuk memengaruhi struktur dan fungsi tubuh (Badan Pengawas Obat dan Makanan,
2011).
Parasetamol (asetaminofen) adalah obat analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri) dan
anti-piretik (penurun panas atau demam) yang aman, efektif, dapat ditoleransi dengan baik, dan
murah dengan efek samping yang relatif sedikit bila digunakan pada dosis terapeutik yang
dianjurkan. Parasetamol pertama kali diperkenalkan pada tahun 1955 untuk aplikasi klinisnya
dalam menyembuhkan demam, sakit kepala dan rasa nyeri, kemudian sejak saat itu mulai
banyak digunakan secara luas hampir di seluruh dunia (Ibrahim, dkk, 2013). Parasetamol
sering sekali di resepkan dalam bentuk campuran dengan obat lain. Obat ini dapat ditemukan
dalam berbagai macam sediaan seperti tablet, kaplet, kapsul, sirup, dan serbuk.
Metode yang digunakan untuk penetapan kadar parasetamol dalam penelitian ini yaitu
metode spektrofotometri UV-Visible. Spektrofotometri UV-Visible merupakan suatu metode
yang tidak baku. Oleh karena itu, sebelum metode yang digunakan untuk penetapan suatu
kadar diterapkan dalam suatu pengujian laboratorium, terlebih dahulu dilakukan validasi.
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu
berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa metode tersebut memenuhi
persyaratan untuk penggunaannya (Tetrasari, 2003). Metode analisis dapat memberikan data
yang dipercaya jika memenuhi beberapa parameter validasi yang telah disyaratkan, yaitu
ketelitian (presisi), kecermatan (akurasi), linieritas, batas deteksi (LOD), batas kuantitasi
(LOQ), selektivitas, dan ketangguhan metode.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan kami menggunakan sampel berupa
paracetamol, etanol, propilen glikol, gliserol, glukosa, dan aquadest. lalu membuat 5 formula
sediaan cair paracetamol 25 mL, dimana tiap 5 mL, masing-masing formula mengandung
etanol, propileng glikol, gliserol, glukosa, dan aquadest. Kemudian mengamati dan
bandingkan kelarutan acetaminophen pada formula-formula tersebut, mana kelarutan yang
paling baik, dan saring larutan. Ambil sebanyak 5 mL larutan dan tentukan kadar paracetamol
yang larut dengan alat spektofotometri-UV Vis kemudian membandingkan kelarutan
paracetamol pada masing-masing campuran pelarut. Dan mengitung konstanta dielektrik
campuran pelarut pada variasi formula tersebut.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hasi uji kelarutan manithol didapatkan 2,784% ,dan hasil uji kelarutan manitol
pada suhu 45 ℃ adalah 2,141% sedangkan pada suhu 30℃ adalah 2,51 dan pada suhu 10℃
adalah 3,548%. Maka hasil dari praktikum tersebut kelarutan manitol yang paling banyak
yaitu pada suhu 10℃ dan yang paling kecil pada suhu 30℃ .
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta : DEPKES RI, Ditjen POM.
Anonim .1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta : DEPKES RI, Ditjen POM
Moechtar . 1989. Farmasi fisik : Bagian Larutan dan Sistem Dispersi. Yogyakarta : Gadjah
Mada Univesity Press.
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA
PRAKTIKUM II
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Kelas 6 C
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Alat
Pipa kapiler
Gelas kimia
Erlenmeyer
Timbangan
Batang pengaduk
Alat turbidimetri
Termometer
Milimeter block
Kompor
2. Bahan
Sodium lauril sulfat
Aquadest
1) Timbang sodium lauril sulfat yang akan diencerkan dalam labu ukur 250 ml dengan
konsentrasi 2 g/L,konsentrasi 2,1 g/L, konsentrasi 2,2 g/L; konsentrasi 2,3 g/L;
konsentrasi 2,4g/L; dan konsentrasi 2,5 g/L, kemudian dihomogenkan.
2) Masukkan sejumlah surfaktan tersebut kedalam gelas kimia yang sudah sitempel
dengan kertas milimeter blok.
3) Ambil pipet kapiler kering. Celupkan pipa kapiler kegelas kimia berisi cairan tersebut
dan ukur kenaikan cairan dalam pipa kapiler.
4) Lakukan pengukuran sebanyak 2 kali (duplo). Catat tinggi masing-masing larutan
surfaktan dalam tabel dibawah ini.
5) Hitung tegangan permukaan dari permukaan surfaktan tersebut dan buat grafik
konsentrasi larutan survaktan vs tegangan permukaan
6) Tentukan konsentrasi misel kritis dari sampel
B. Pengaruh Suhu pada Tegangan Permukaan
Perhitungan A
Dik.
γ = 72
h air = 20.
Perhitungan rumus :
72 1.20
SLS 2 g/L = =
x 1,067 . g
20X= 72.1,067.g
20X=691,4
691,4
X=
20
X= 34,5 dyne/cm
72 1.15
SLS 2,1 g/L = =
x 1,067 .13,3
13 X= 72.1,067.13.3
13 X= 1,023
1,023
X=
15
X= 68 dyne/cm
72 1.17
SLS 2,2 g/L = =
x 1,067 .15,1
17 X= 72.1,067.15,1
1.160
17 X=
17
X= 68,23 dyne/cm
72 1.20
SLS 2,3 g/L = =
x 1,067 .18
20 X= 72.1,067.18
20 X= 1382
1382
X=
20
X= 69,1 dyne/cm
72 1.13
SLS 2,4 g/L = =
x 1,067 .11,8
13 X= 72.1,067.11,8
13 X= 906.5
906.5
X=
13
X= 69,73 dyne/cm
72 1.25
SLS 2,5 g/L = =
x 1,067 .22,5
13 X= 72.1,067.22,5
X= 69,12 dyne/cm
Perhitungan B
Percobaan 1 dan 2
18+20
Suhu 28℃=¿ = 19 (rata-rata)
30/2
13+22
40℃ = = 17,5 (rata-rata)
35/ 2
14+12
60℃ = = 13 (rata-rata)
26/2
11+23
80℃= = 16,5 (rata-rata)
33 /2
4.2 Pembahasan
Berdasarkan percobaan yang telah kita lakukan ini bertujuan untuk mengukur nilai
konsentrasi misel kritis sebagai surfaktan dengan menggunakan metode pipa kapiler untuk
mengukur tegangan permukaannya prinsip tegangan permukaan itu sendiri yaitu gaya tarik
menarik antar molekul di permukaan larutan, tempatkan hasil yang telah dilakukan dengan
mengukur tegangan permukaan dengan menggunakan bahan sodium Lauri sulfat sebagai
surfaktannya.
Sodium Lauri sulfat kita encerkan terlebih dahulu dengan konsentrasi 2g/L ;2,1g/L;
2.2 g/L ;2,3 g/L ;2,4 g/L ; dan 2,5 g/L. Dan masing2 di masukan ke dalam gelas kimia lalu di
beri milimeterblok. Setelah itu celupkan pipa kapiler, dan ukur kenaikan dalam pipa kapiler
tersebut dengan cara di hitung di milimeterblok tersebut, lakukan hal ini 2x / duplo. Setelah
semuanya selesai hitung konsentrasi miselnya, yang di dapatkan pada konsentrasi misel yakni
pada SLS 2 g/l di dapat nilai tegangan permukaan ya 34,5, pada 2,1 g// didapat tegangan
permukaan nya 68, dua dan SLS 2,2 g/ldidapat tegangan permukaan nya 68, 23 dan SLS 2,3
g/l didapat tegangan permukaan nya 69, 1 sedangkan SLS 2,4 g/l didapat tegangan
permukaan nya 69, 73 dan yang terakhir dengan konsentrasi 2,5 g/ l didapat tegangan
permukaan nya 69, 2 sedangkan pada tegangan permukaan aquades yaitu didapat dan nilai
tegangan permukaan nya yaitu 72.
Diukur juga pengaruh suhu pada tegangan permukaan yaitu yang pertama-tama kita
siapkan aquades dengan suhu kamar utama terus suhu 40 60 dan 80 derajat Celcius yang
aquades dimasukkan ke dalam gelas beker lalu kita panaskan di hot plate dan kita ukur
derajatnya menggunakan termometer yang didapatkan pada percobaan pengukuran suhu pada
tegangan permukaan yaitu pada suhu kamar didapatkan rata-ratanya yaitu 19 sedangkan pada
suhu 40 derajat Celcius didapatkan nilai rata-ratanya 17,5 dan 60 derajat Celcius didapatkan
nilai rata-rata 13 dan pada 80 derajat Celcius didapatkan nilai rata-ratanya 16,5 semuanya
diukur dengan menggunakan pipa kapiler dengan cara mencelupkan pipa kapiler tersebut
pada aquades yang telah dipanaskan tersebut lalu diukur di milimeterblok.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Bahwa nilai yang di dapatkan pada konsentrasi misel yakni pada SLS 2 g/l di
dapat nilai tegangan permukaanya 34,5; pada 2,1 g/L didapat tegangan permukaan nya 68,2
dan SLS 2,2 g/l didapat tegangan permukaan nya 68, 23 dan SLS 2,3 g/l didapat tegangan
permukaan nya 69, 1 sedangkan SLS 2,4 g/l didapat tegangan permukaan nya 69, 73 dan
yang terakhir dengan konsentrasi 2,5 g/ l didapat tegangan permukaan nya 69, 2 sedangkan
pada tegangan permukaan aquades yaitu didapat dan nilai tegangan permukaan nya yaitu 72.
DAFTAR PUSTAKA
Duncan, 1980 , Introduction to Colloid and Surface Chemystry, Buffer Worts : Canada
Kordi K.M. Ghufran, H., 1997, Parameter Kualitas Air, Karya Anda: Surabaya
Khopkar, S.M., 2003 ., Konsep Dasar Kimia Analik ,( Terjemaahan A. Sapto Rahardjo).
Jakarta :UI- Press : Jakarta
Holmberg , K.,2004, Surfactants and Polymers an Aqueous Solution, 2nd Edition, John Wiley
& Sons Inc : USA
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA
PRAKTIKUM III
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Kelas 6 C
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk obat atau kosmetik untuk
bertahan dalam batas spesifikasi yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian produk tersebut
(Joshita, 2008). Kestabilan umumnya adalah sesuatu yang menyebabkan ketidakaktifan obat
melalui penguraian obat atau melalui hilangnya khasiat obat karena perubahan bentuk fisik
dan kimia yang kurang diinginkan dari obat tersebut (Martin et al, 2008). Sediaan yang stabil
adalah suatu sediaan yang masih berada dalam batas yang dapat diterima selama periode
penyimpanan dan penggunaan, dimana sifat dan karakteristiknya sama dengan yang
dimilikinya pada saat dibuat (Joshita, 2008). Adapun beberapa kriteria stabilitas sebagai
berikut:
Untuk menjaga kestabilan obat perlu diperhatikan pula faktor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan suatu zat, yaitu panas, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme dan
bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam formula sediaan obat.Kestabilan suatu obat
dapat dipercepat dengan meningkatkan suhunya. Setiap kenaikan suhu 100C akan
mempercepat laju reaksi 2-3 kali, dimana laju reaksi adalah pengurangan konsentrasi reaktan
atau penambahan konsentrasi produk per satuan waktu (Joshita, 2008). Penguraian bahan
atau sediaan farmasi dapat digolongkan sebagai hidrolisis dan oksidasi. Obat yang
mengandung lebih dari satu gugus fungsional kemungkinan dapat terhidrolisis dan teroksidasi
secara bersamaan. Reaksi lainnya seperti isomerasi, empimerisasi dan fotolisis juga dapat
mempengaruhi kestabilan obat dalam berbagai produk cairan, padatan dan semisolid.
Hidrolisis merupakan reaksi air dengan ester seperti etil asetat dan dengan amida seperti
prokamida. Akan tetapi reaksi antara air dan ion-ion garam dari asam lemah dan baha lemah
disebut juga hidrolisis (Martin et al, 1983). Dalam ilmu kimia organik oksidasi diartikan
sebagai lepasnya hidrogen (dehidrogenasi). Bila suatu reaksi melibatkan molekul oksigen,
biasanya disebut otooksidasi atau otoksidasi, karena biasanya terjadi secara spontan dalam
keadaan normal. Salah satu penelitian kinetika yang pertama tentang otooksidasi asam
askorbat menjadi asam dehidroaskorbat dilakukan pada tahun 1963 oleh (Barron et al.) Obat-
obat yang mudah teroksidasi seperti asam askorbat dapat distabilkan dengan menghindari
oksigen, mendapar larutan pada pH yang sesuai, menggunakan pelarut bebas logam,
menambah inhibitor, menghindari cahaya, menyimpan produk pada temperatur rendah dan
mencegah sistem oksidasi-reduksi dengan potensial tertentu (Martin et al., 1983). Cahaya
bisa menyebabkan suatu sediaan obat mengalami oksidasi. Reaksi oksidasi merupakan reaksi
pelepasan elektron oleh suatu zat dan menyebabkan bertambahnya bilangan oksidasi dari zat
tersebut.Reaksi ini berperan penting dalam penguraian obat.Gugus fungsi yang mudah
mengalami reaksi oksidasi adalah fenol, eter, thiol, thioleter, asam karboksilat, aldehid, dan
nitrit.Kelembaban suatu sediaan obat dapat mengalami terjadinya hidrolisis.Hidrolisis
merupakan suatu proses solvolisis dimana molekul obat obat bereaksi dengan molekul air
menghasikan produk pecahan dari konstitusi kimia yang berbeda. Obatobatan dengan gugus
ester dan amida merupakan yang paling rentan mengalami reaksi hidrolisis (Lachman, 1994).
Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana reaksi penguraian dari
larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H+) atau basa (OH-) dengan
menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak
mempengaruhi hasil dari reaksi (Ansel, 1989). Suatu obat dalam bentuk kristalnya mungkin
akan lebih stabil dari polimorfisanya, atau bahkan sebaliknya. Hal ini penting untuk
mengetahui kemurnian obat yang dibuat sebelum dilakukan percobaan uji stabilitasnya, sebab
ketidakmurnian suatu obat merupakan salah satu katalisator penyebab kerusakan obat
sehingga menyebabkan sediaan obat menjadi tidak stabil dan mengubah penampilan fisik
bahan obat. Stabilitas fisik dan kimia baik bahan obat berupa zat aktif maupun komponen lain
dalam formulasi merupakan kriteria yang paling penting untuk menentukan suatu stabilitas
kimia dan farmasi serta mempersatukannya sebelum memformulasikan menjadi bentuk-
bentuk sediaan. (Ansel, 1989). Uji stabilitas biasanya dilakukan secara kimia. Tujuan utama
uji stabilitas obat antara lain untuk memilih formulasi dan sistem penutupan wadah yang
sesuai (berdasarkan stabilitas), untuk menentukan masa edar dan kondisi penyimpanan, untuk
menegaskan masa edar yang telah ditetapkan, dan untuk membuktikan bahwa tidak ada
perubahan yang terjadi dalam formulasi atau proses pembuatan yang dapat memberikan efek
merugikan pada stabilitas obat (Manurung, 2007). Ada beberapa kriteria yang digunakan
sebagai rancangan studi stabilitas, yaitu :
1. Wadah dan penutup Dalam stabilitas harus dikembangkan setiap jenis hubungan antara
wadah dan penutup yang diusulkan untuk pemasaran obat yang berbedabeda dalam
komposisi atau desainnya (misalnya ketebalan dinding, jumlah uliran dalam penutup),
termasuk penutup yang sifatnya tahan terhadap gangguan anak dan tahan terhadap
perubahan sekitar tanpa memperhatikan kemiripan tutup.Perhatian khusus harus
diberikan kepada semua ukuran wadah sediaan dosis ganda, seperti aerosol dan preparat
parenteral. Apabila integritas penutupan wadah kemasan perlu diuji, maka kelembaban
relatif yang lebih tinggi dari 75% masih dimungkinkan dan masih cukup memadai untuk
memastikan kelekatannya pada suhu 37°C (misalnya pada unit blister dan kemasan
strip).
2. Fluktuasi suhu yang ekstrim Studi tentang efek fluktuasi suhu yang sesuai dengan
kondisi pengangkutan dan penyimpanan suatu produk harus dipertimbangkan dalam hal
ini, obat yang dikemas harus diperlakukan pada semua kondisi suhu yang menyerupai
fluktuasi yang mungkin dihadapi pada saat berada di jalur distribusi.
3. Suhu penyimpanan yang benar digunakan selama penentuan studi stabilitas harus
dicantumkan.
4. Efek pembukaan dan penutupan wadah Efek stabilitas yang diakibatkan oleh pembukaan
dan penutupan wadah harus dinilai dan diperbandingkan dengan stabilitas yang
dikembangkan dari studi yang telah dilakukan pada kemasan tak dibuka. Efek penutupan
dan pembukaan wadah disimulasikan dengan sampling menggunakan wadah yang sama
pada seluruh periode uji yang dijadwalkan sepanjang isinya memungkinkan dan
bukannya dilakukan dengan hanya sekedar pengambilan sampling kemasan tertutup
pada masing-masing periode uji.
5. Kualitas microbial Produk obat yang mengandung pengawet harus dipantau kandungan
pengawetnya dalam interval waktu tertentu selama periode tanggal kadaluarsa produk
yang diproyeksikan. Ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan microbial challenge
test (misalnya, uji efektivitas pengawet antimikrobia dari USP, ini berlaku untuk wadah
tak dibuka) dan dengan penyelenggaraan penetapan kadar secara kimiawi untuk
pengawet. Apabila kuantitas minimal dari pengawet yang dipakai untuk mencapai
pengendalian efektivitas mikroba telah ditentukan, maka penetapan secara kimiawi
mungkin cukup memadai sebagai penampil uji pencegahan secara periodik. Hal ini
terutama penting untuk mempertimbangkan cukup tidaknya suatu sistem pengawet pada
kondisi penggunaan vial dosis ganda.
6. Degradasi produk Jika degradasi produk diidentifikasi, informasi yang harus
dicantumkan meliputi:
a. Struktur kimia
b. Referensi silang terhadap setiap informasi yang ada tentang efek biologis dan efek
lain yang bermakna, pada konsentrasi berapa perlu diperhitungkan,
c. Prosedur isolasi dan pemurnian,
d. Mekanisme pembentukan, termasuk orde reaksi,
e. Sifat-sifat fisika dan kimia,
f. Spesifikasi dan petunjuk uji keberadaan pada tingkat konsentasi yang disyaratkan
harus ada,
g. Indikasi ada tidaknya aksi farmakologi (Connors, 1992). Terdapat beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjaga kestabilan dari preparat-preparat
farmasi yang mengandung obat, dimana sediaan farmasi berupa obat umumnya
terurai melalui reaksi hidrolisis ataupun reduksi.
Bentuk-bentuk sediaan padat yang mengandung zat aktif yang tidak stabil dalam air harus
dilindungi dari kelembaban atmosfer. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan suatu
penyalutan pelindung tahan air menyelimuti tablet atau dengan menutup dan menjaga obat
dalam wadah yang tertutup rapat. Kestabilan suatu obat juga dapat dipengaruhi oleh pH,
dimana reaksi penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H+)
atau basa (OH-) dengan menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut
bereaksi dan tidak mempengaruhi hasil dari reaksi (Lachman, et al., 1986). Untuk mendeteksi
perbandingan stabilitas maka dapat digunakan dua metode yaitu dengan tes daya tahan-waktu
panjang dan tes daya tahan dipercepat.
a) Tes daya tahan-waktu panjang pada tes ini obat selama waktu tertentu disimpan
dibawah persyaratan penyimpanan (suhu, cahaya,udara dan kelembaban) yang
diharapkan di simpan dalam lemari pendingin atau ruang pendingin. Dalam jarak
waktu tertentu pada akhir percobaan dikontrol/dianalisis kandungan bahan obat, sifat
mikrobiologis, sifat sensoris dan keadaan galentik yang dapat dideteksi dengan
metode kimia fisika (Volgh, 1994).
b) Tes daya tahan dipercepat Cara ini dapat digunakan untuk penetapan kinetika reaksi
dan penguraian yang dipelajari dengan menggunakan suhu tinggi (suhu diatas suhu
ruangan) yang kemudian diekstrapolasi pada suhu penyimpanan. Metode ini di awali
dengan tes tekanan dibawah persyartan isothermikyaitu obat disimpan pada suhu
tinggi yang bervariasi dalam interval waktu tertentu dan ditentukan konsentrasi dari
kecepatan penguraian serta pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksinya. Selanjutnya
dilakukan tes tekanan dibawah persyaratan tidak isothermik yaitu obat disimpan pada
suhu yang secara teratur suhunya ditinggikan. Obat yang di ujikan harus dalam bentuk
larutan (Volgh, 1994).
BAB III
METODOLOGI
Labu erlenmeyer
Gelas kimia
Batang Pengaduk
Aquadest
Timbangan Analitik
Friability Tester
Spektrofotometri UV-Vis
Suspensi Ibuprofen
Viskometer Brookfield
Tablet Natrium Diklofenak
Termometer
pH meter
Oven
Hardness Tester
Alat Uji Disolusi
Lemari Pendingin dan Termometer kulkas
HCl 1N
f. Uji pH
1. Bilas elektroda dengan air bebas mineral, selanjutnya keringkan dengan tisu halus.
2. Celupkan elektroda ke dalam contoh uji sampai pH meter menunjukkan
pembacaan yang stabil
3. Catat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan dari pH meter.
4. Catat suhu pada saat pengukuran pH dan laporkan hasilnya
5. Bilas kembali elektroda dengan air bebas mineral setelah pengukuran .
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tablet Natrium diklofenak adalah derivate sederhana dari asam fenilasetat yang
menyerupai meklofenamat. Obat-obat ini cepat diserap sesudah pemberian secara
oral, tetapi bioavailabilitas sistemiknya antara 30-70 %. Absorpsi Natrium diklofenak
melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap, waktu paruh singkat yakni 1-3
jam (Ganiswara, 1995). Untuk mendapatkan konsentrasi efektif obat maka dapat
dibuat dalam bentuk sediaan lepas lambat. Banyak matriks yang dapat digunakan
untuk pembuatan sediaan lepas lambat. Salah satu matriks yang dapat digunakan
untuk pembuatan sediaan lepas lambat adalah matriks turunan selulosa. HPMC
merupakan polimer glukosa yang tersubtitusi dengan hidroksipropil dan metil pada
gugus hidroksinya, sehingga HPMC dapat berinteraksi dengan air membentuk gel
sehingga dapat menghalangi lepasnya obat dari sediaan secara cepat (Martodiharjo,
1996).
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa MC dapat digunakan sebagai
matriks untuk memformulasi sediaan lepas lambat. Penggunaan metilselulosa sebagai
matriks dapat menurunkan kecepatan pelepasan obat (Wahyuningsih, 2006).
Ibuprofen merupakan obat antiradang nonsteroid yang praktis tidak larut dalamair
sehingga dapat diformulasikan ke dalam bentuk sediaan suspensi. Suatu suspensi
memerlukan bahan pensuspensi seperti natrosol HBR untuk meningkatkan viskositas
dan memperlambat sedimentasi sehingga dapat menghasilkan suspensi yang stabil.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan natrosol HBR
sebagaibahan pensuspensi terhadap stabilitas fisik suspensi ibuprofen. Metode yang
digunakandalam pembuatan suspensi ibuprofen ini adalah metode dispersi. Suspensi
ibuprofendibuat dengan penambahan natrosol HBR dengan konsentrasi 1% ; 1,5%;
dan 2%.
Untuk mengetahui stabilitas fisik, maka dilakukan evaluasi yaitu: uji
organoleptis, massa jenis,distribusi ukuran partikel, viskositas, volume sedimentasi,
redispersibilitas dan pH. Data uji stabilitas fisik dibandingkan dengan persyaratan-
persyaratan yang terdapat dalam literatur serta dianalisis menggunakan software R
versi 2.15.2 dengan uji Kruskal-Wallispada modul R-Comander. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berdasarkan lama waktu penyimpanan selama 28 hari, terjadi
Perubahan stabilitas fisik organoleptis, viskositas,distribusi ukuran partikel dan pH.
Hal ini didukung dengan hasil uji statistik dimana nilaip<0,05 menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan pada stabilitas suspensiibuprofen. Pada penelitian ini
formula dengan kadar Natrosol Hbr 1% menunjukkan stabilitas fisik yang paling baik
dari ketiga formula dengan hasil dari uji massa jenis,volume sedimentasi dan
redispersi yang memenuhi syarat, serta hasil uji distribusi ukuran partikel dan
viskositas yang paling baik dari ketiga formula suspensi ibuprofen.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain faktor utama
lingkungan dapat menurunkan stabilitas diantaranya temperatur yang tidak sesuai ,
semakin tinggi suhu maka stabilitas obat semakin menurun , cahaya , kelembapan ,
oksigen dan faktor lain yang mempengaruhi stabilitas adalah ukuran partikel , pH ,
kelarutan , mikroorganisme dan bahan tambahan lain nya . Orde reaksi penguraian
adalah orde 0.
Daftar Pustaka
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Joshita. 2008. Kestabilan Obat. Jakarta : Program S2 Ilmu Kefarmasian Departemen Farmasi
Universitas Indonesia.
Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisika, edisi III, diterjemahkan oleh Yoshita,
Jakarta: Universitas Indonesia.
PRAKTIKUM IV
Kelompok 2
Kelas 6 C
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor koreksi
Nilai Mr hasil perhitungan akan mendekati nilai sebenarnya, tetapi masih
mengandung kesalahan. Ketika labu erlenmeyer kosong ditimbang, labu ini penuh
dengan udara. Setelah pemanasan dan pendinginan dalam desikator tidak semua uap
cairan kembali kebentuk cairnya. Oleh karena itu massa sebenarnya X harus
ditambahkan dengan massa udara yang tidak dapat masuk kembali ke dalam labu
erlenmeyer karena adanya uap cairan yang tidak mengembun. Massa tersebut dapat
dihitung dengan mengasumsikan bahwa tekanan parsial udara yang tidak dapat masuk
tadi sama dengan tekanan uap cairan X pada suhu kamar. Nilai ini dapat diketahui
dari tabel, misalnya dalam The Handbook of Physic Chemistry. Sebagai contoh untuk
menghitung tekanan uap kloroform pada suhu tertentu dapat digunakan rumus :
Log P = 6.9023 – 1163.03/ (227.4 + T)
T = suhu senyawa dalam ° C dan P = tekanan
BAB III
METODOLOGI
BAB IV
4.1 Hasil
Dik.
Massa erlenmeyer = 55,3111 gram.
Suhu = 67 ℃
Penyelesaian
0,306 gram
Mr = m/v x R.T
250
P = m. v = 1.54,111 = 54,111
4.2 Pembahasan
Kali ini dilakukan uji penentuan massa molekul relatif senyawa volatil, dengan tujuan
untuk menentukan massa molekul relatif senyawa yang mudah menguap dengan cara
mengukur massa jenis uap senyawa tersebut.
Pada praktikum kali ini pertama-tama siapkan alat dan bahan yang akan digunakan,
lalu timbang elemen kosong yang didapatkan hasil yaitu 54, 111 gram, kemudian timbang
lagi Ellen Meyer plus aluminium foil plus karet gelang yang didapatkan hasil yakni 54,607 g.
Kemudian panaskan air hingga mendidih masukkan erlenmeyer yang telah di tambahakan
kloroform 5m di tutup dengan aluminium foil dan karet gelang, lalu berilah lubang pada
aluminium foil tersebut agar pada saat dipanaskan dapat kloroform dapat menguap dan
biarkan uapnya sampai habis lalu timbang dan ukur suhunya pada saat penguapan itu terjadi
yang didapatkan yaitu pada suhu 67 derajat Celcius.
Selanjutnya kita hitung Mr pada percobaan ini didapatkan Mr dari percobaan ini yaitu
119 sedangkan pada Mr air yaitu 119,5 artinya Mr pada percobaan ini sesuai dengan Mr air.
Selanjutnya kita hitung massa jenis air yaitu didapatkan massa jenis airnya dapatkan hasil
yaitu 54,11 yang artinya massa jenis air tersebut atau aquades tersebut yaitu 54, 111.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1) Massa jenis yang didapat dari perhitungan (massa erlenmeyer+ aluminium foil +
karet gelang + uap cairan + massa erlenmeyer + aluminium foil + karet gelang ) yaitu
1,52
2) Nilai mr yang didapat yaitu 119
3) Massa jenis dari perhittungan ( ρ = m.v ) didapat hasil yaitu 54,111
DAFTAR PUSTAKA
Martin, A., dkk, 2010, Farmasi Fisik II, Penerbit UI Press, Jakarta.
Osol A. et.al, 1980, Remington’s Pharmaceutical Sciences, 16 th ed, Mack Publishing
Company. Easton-Pensivania.
Ansel , H. C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi 4, UI Press, Jakarta
PRAKTIKUM V
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Kelas 6 C
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suhu di mana cairan mendidih dinamakan titik didih. Titik Didih adalah
temperatur di mana tekanan uap sama dengan tekanan atmosfer. Suhu (temperatur)
dimana tekanan uap sebuah zat cair sama dengan tekanan eksternal yang dialami oleh
cairan. Berdasarkan nilai titik Didih zat terlarut, larutan dapat dibagi dua yaitu titik
didih zat terlarut lebih kecil dari pelarutnya sehingga zat terlarut lebih mudah
menguap, dan yang kedua zat terlarut lebih besar daripada pelarutnya sehingga
apabila dipanaskan Pelarut yang lebih dulu menguap. Konsentrasi larutan , Serta
elektrolit atau non elektrolit zat terlarut.
Termokimia adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari energi yang
menyertai perubahan fisika atau reaksi kimia. Tujuan utama termokimia ialah
pembentukan kriteria untuk ketentuan penentuan kemungkinan terjadi atau
spontanitas dari transformasi yang diperlukan. Dengan cara ini, termokimia digunakan
memperkirakan perubahan energi yang terjadi dalam reaksi kimia, perubahan fase,
dan pembentukan larutan.
B. Tujuan
setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu
1. Mengidentifikasi pengaruh jenis zat terlarut terhadap kenaikan titik didih larutan
2. Mengidentifikasi hubungan antara konsentrasi larutan dengan kenaikan titik didih
larutan
3. Mengidentifikasi pengaruh larutan elektrolit dan non elektrolit terhadap titik didih
larutan
4. Menentukan panas Pelarut (termokimia) suatu zat dan nilai tetapan kalorimetri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar teori
Suhu di mana cairan mendidih dinamakan titik didih. Jadi, titik didih iyalah
temperatuur di mana tekanan uap sama dengan tekanan atmosfer. Selama gelembung
terbentuk dalam cairan, berarti selama cairan mendidih, tekanan uap kanan atmosfer,
karena tekanan uap iyalah konstan maka suhu dan cairan yang mendidih akan tetap
sama. Penambahan kecepatan panas yang diberikan pada cairan yang mendidih hanya
menyebabkan terbentuknya gelembung uap air lebih cepat. Cairan akan lebih cepat
mendidih, tapi suhu Didih tidak naik. Jelas bahwa titik didih cairan tergantung dari
besarnya atmosfer.
Titik didih merupakan satu sifat yang dapat digunakan untuk memperkirakan
secara tak langsung berapa kuatnya gaya tarik antara molekul dalam cairan. Cairan
gaya tarik antara molekul nya kuat, titik didih nya tinggi dan sebaliknya bila gaya
tarik lemah, titik didih nya rendah.
Bila dalam larutan Biner, suatu komponen mudah menguap (volatil) Dan
komponen lain sukar menguap (non Volatil), Makin rendah. Dengan adanya zat
terlarut tekanan uap Pelarut akan berkurang dan ini mengakibatkan kenaikan titik
didih, penurunan titik beku dan tekanan uap Osmosa. Ke empat sifat ini hanya
ditentukan oleh banyaknya zat terlarut dan. Ditentukan oleh jenis zat terlarut. Seperti
telah disebutkan, sifat sifat ini disebut sifat koligatif larutan. Adanya zat terlarut yang
sukar menguap, tekanan uap dari larutan turun dan ini akan menyebabkan. Didih
larutan lebih tinggi daripada titik didih pelarutnya. Ini disebabkan karena untuk
mendidih, tekanan uap larutan sama dengan tekanan udara dan untuk temperatuur
harus lebih tinggi.
a. Hukum Roult
Hasil eksperimen roult Menjukkan bahwa kenaikan titik Didih larutan akan
semakin besar apabila konsentrasi (molal)dari zat terlarut semakin besar. Titik didih
larutan akan lebih tinggi dari titik didih Pelarut murni. Hasil ini juga diikuti dengan
penurunan titik Beku Pelarut murni, atau. Larutan lebih kecil dibandingkan. Buccu
pelarutnya.
Roult menyederhanakan ke dalam persamaan:
∆Tb = Kb.m
dimana:
∆Tb = Kenaikan titik didih larutan
Kb = Tetapan kenaikan titik didih molal pelarut (kenaikan titik didih untuk Imol
zat dalam 1000 gram pelarut)
M = molal larutan (mol/100 gram pelarut)
Perubahan titik didih atau ATb merupakan selisih dari titik didih larutan dengan titik
didih pelarutnya, seperti persamaan:
∆Tb=Tb-Tb"
Hal yang berpengaruh pada kenaikan titik didih ialah harga Kb dari zat pelarut.
Kenaikan tidak dipengaruhi oleh t yang terlarut, tapi oleh jumlah partikel/mol terlarut
khususnya yang terkait dengan proses ionisasinya.
b.Termokimia
Termokimia adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara energi panas dan energi
kimia. Energi kimia didefinisikan sebagai energi yang dikandung setiap zat. Energi kimia
yang terkandung dalam suatu zat sama halnya dengan energi potensial zat tersebut. Energi
potensial kimia yang terkandung dalam suatu zat disebut panas dalam atau entalpi dan
dinyatakan dengan simbol H. Selisih antara entalpi reaktan dan entalpi hasil pada suatu reaksi
disebut perubahan entalpi reaksi. Perubahan entalpi reaksi diberi simbol AH. Termokimia
merupakan penerapan hukum pertama termodinamika terhadap peristiwa kimia yang
membahas tentang kalor yang menyertai reaksi kimia. Penerapan hukum termodinamika
pertama dalam bidang kimia merupakan bahan kajian dari termokimia. "Energi tidak dapat
diciptakan atau dimusnahkan, tetapi dapat diubah dari bentuk ke bentuk yang lain, atau
energi alam semesta adalah konstan. ". Perubahan kalor pada tekanan konstan:
dH = dE+ P dV
W = P dV
Kalori merupakan banyaknya panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu satu
gram air satu skala (dalam satuan derajat Celcius atau Kelvin). Alat yang digunakan untuk
mengukur kalor disebut kalorimeter. Satu set kalorimeter terdiri atas wadah, batang pengaduk
dan termometer. Untuk mengurangi radiasi panas, wadah atau bejana di isolasi dengan
perekat seperti pada termos. Kalorimetri digunakan untuk mengetahui kapasitas panas suatu
zat (kalor yang dilepas maupun yang diterima). Kalor merupakan kuantitas energi yang
dipindahkan dari satu benda kepada benda lain akibat adanya perbedaan suhu diantara kedua
benda tersebut. Satuan Kalor (Q) dalam SI dinyatakan dalam satuan energi dalam Joule (J).
Namun secara umum, kalor dinyatakan dalam satuan kalori (kal), dimana 1 kal = 4,2 J.
Kapasitas kalor merupakan kuantitas energi kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu
sejumlah zat tertentu sebesar 1 K atau 10C. Jumlah kalor (Q) yang diperlukan dapat
ditentukan melalui pemahaman persamaan:
Q = m.c. ∆T
Qkalorimeter = C. ∆T
Oleh karena tidak ada kalor yang terbuang ke lingkungan, maka kalor reaksi = kalor yang
diserap / dibebaskan oleh larutan dan kalorimeter, tetapi tandanya berbeda.
qreaksi = -(qlarutan + qkalorimeter)
dimana:
Q = jumlah kalor (J)
m = Massa zat (gr)
∆T = Perubahan suhu (1 K atau 10C)
c = kalor jenis (J/g.oC) atau (J/g.K)
C = kapasitas kalor atau kapasitas kalor spesifik (J/oC) atau (J/K)
C adalah koefisien perbandingan antara energi yang diberikan sebagai kalor dari
kenaikan temperatur yang disebabkannya. Untuk mengukur C dialirkan arus listrik melalui
pemanas dalam kalorimeter dan ditentukan kerja listrik yang dilakukan padanya.
BAB III
METODOLOGI
D. Panas Pelarutan
1. Masukkan 100 mL air kedalam kalorimeter sambil diaduk. Catat suhu setiap 30
detik.
2. Masukkan 4 gram NaOH/NaOCI kedalam kalorimeter sambil terus diaduk. Catat
suhu dan waktu ketika serbuk dimasukkan.
3. Lanjutkan pembacaan temperature setiap 30 detik hingga menit kedelapan.
E. Panas Reaksi
1. Masukkan 25 ml aseton/alcohol kedalam calorimeter
2. Catat suhu masukkan 75 ml bayklin dan aduk. Catat suhu dan waktu ketika
bayklin dimasukkan
3. Lanjutkan pembacaan suhu setiap 30 detik sampai menit ke 6.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
A. Hasil Perhitungan Kenaikan Titik Didih (Nacl)
No. Waktu Air 50 ml Suhu (T±1) °C Air 50 ml + NaCl
(menit) Air 50 ml + NaCl 1 g 5g
1. 0 30°C 30°C 30°C
4.2 Pembahasan
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pelarut atau zat cair yang dicampurkan dengan suatu zat terlarut, maka larutan
tersebut akan mengalami kenaikan titik didih;
Faktor yang mempengaruhi kenaikan titik didih antara lain jenis dan konsentrasi
zat terlarut. Adapun jenis yang dimaksud adalah zat volatile ataupun non volatile
dan zat elektrolit ataupun non elektrolit;
Zat terlarut yang bersifat volatile atau susah menguap akan memberikan pengaruh
pada naiknya titik didih dibanding zat yang bersifat non volatile;
Zat terlarut yang bersifat elektrolit berdampak pada kenaikan titik didih suatu
larutan sedangkan zat non elektrolit tidak;
Semakin tinggi konsentrasi suatu larutan maka kenaikan titik didih pun semakin
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Bandung: Binarupa Aksara.
Petrucci, R.H. 1992. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Rosenberg, JI. 1992. Teori dan Soal Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga
KINETIKA REAKSI
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Kelas 6 C
BAB I
PENDAHULUAN
Kinetika reaksi adalah cabang ilmu yang mempelajari berlangsungnya suatu reaksi,
kinetika reaksi menerangkan dua hal yaitu mekanisme reaksi dan laju reaksi .pengertian
mekanisme reaksi adalah dipakai untuk menerangkan langkah-langkah dimana suatu reaktan
yang menjadi produk laju reaksi adalah perubahan konsentrasi bereaksi ataupun suatu
produk dalam suatu satuan waktu kinetika reaksi menggambarkan suatu studi secara
kuantitatif tentang perubahan- perubahan kadar terhadap waktu oleh reaksi kimia kecepatan
reaksi ditentukan oleh kecepatan terbentuknya zat hasil dan kecepatan pengurangan relakan.
tetapan kecepatan (k) adalah faktor pembanding yang menunjukkan hubungan antara
kecepatan reaksi dengan konsentrasi reaktan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat reaksi-reaksi kimia dengan kecepatan
yang berbeda-beda. ada reaksi yang berlangsung sangat cepat seperti petasan yang meledak,
ada juga reaksi yang berlangsung sangat lambat seperti perkaratan besi, dan pengetahuan
tentang laju reaksi sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari dan industri baju reaksi
perlu dipelajari agar dampaknya dapat membantu dan bermakna bagi kehidupan manusia.
Laju didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi persatuan waktu satuan yang umum
adalah mol dm³-1. Laju reaksi adalah kecepatan(laju) berkurangnya pereaksi atau
terbentuknya produk kreasi dapat dinyatakan dalam satuan mol/L atau atom/s . istilah laju
reaksi adalah persamaan yang meningkatkan laju reaksi dengan konsentrasi molar atau
tekanan parsial bereaksi dengan peningkat yang sesuai.( Agustar,2009).
1.2 Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
∆[ A] ∆[ A]
A → B, maka 𝑉𝑎 = − dan 𝑉𝑏 = −
dt dt
Dalam kinetika reaksi, pengelompokan reaksi meliputi reaksi elementer dan reaksi
kompleks. Reaksi elementer merupakan langkah reaksi tunggal. Ketika hanya satu molekul
yang terlibat (A → P) reaksi elementer merupakan unimolekular dengan hukum laju satu
orde atau tingkat (laju = k [A]x dalam hal ini x adalah orde terhadap A). Jika dua molekul
reaktan yang terlibat (A + B → P) reaksi elementer adalah bimolekular dengan hukum laju
dua orde atau tingkat (laju = k [A]x [B]y dalam hal ini x adalah orde terhadap A dan y adalah
orde terhadap B). Sedangkan reaksi kompleks merupakan reaksi yang berlangsung melalui
lebih dari satu langkah reaksi elementer konstituen. Reaksi Unimolecular, reaksi berantai,
reaksi katalitik dan enzim merupakan contoh reaksi yang kompleks.
Laju reaki dapat disusun dalam sebuah persamaan laju. Pada persamaan laju reaksi,
konsentrasi digunakan adalah konsentrasi reaktan pada sebuah reaksi. Untuk reaksi
penguraian A menjadi B misanya, maka reaksinya adalah A → B, persamaan lajunya adalah
V= k [A]x. Untuk reaksi yang berlangsung 2 atau beberapa tahap, maka laju reaksi yang
dapat ditentukan adalah reaksi yang berlangsung lambat. Sebagai contoh pada tahap
penguraian ozon (O3):
Maka reaksi yang menetukan persamaan laju adalah reaksi (2), dengan persamaan laju
sebagai berikut: V= k [O3]x[O]y. Secara umum, persamaan laju dirumuskan:
V = k [Reaktan]orde
dimana:
Harga tetapan laju reaksi (k) merupakan sifat dari reaksi, yang tergantung pada suhu bukan
pada konsentrasi. Satuan k bergantung orde reaksinya. Orde reaksi secara umum
dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu orde nol, satu dan dua. Namun tidak menutup
kemungkinan ada reaksi selain 0, 1, 2. Secara umum, orde reaksi digambarkan sebagai
berikut:
BAB III
METODOLOGI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
a. Perhitungan
HCL 0,5 M
0,5 = gr /36,5 × 100 / 50 ml
18,25 = gr × 20
62/10 = gr
gr = 6,2
Waktu yang diperlukan sampai tanda silang hitam ( 63 detik, 73 detik dan 81 detik)
b. Hasil percobaan
50 ml 2 ml 30 26
60 26
90 26
120 26
150 26
180 26
75 ml 2 ml 30 25
60 25
90 25
120 25
150 25
180 25
100 ml 2 ml 30 24
60 25
90 25
120 25
150 25
180 25
4.2. PEMBAHASAN
Laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan konsentrasi pereaksi ataupun produk dalam
satu satuan waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi,yaitu : konsentrasi, suhu,
terkanan, volume, luas permukaan bidang sentuh dankatalis. Sedangkan mekanise reaksi
digunakan untuk menerangkan langkah-langkah suatu reaktan berubah menjadi suatu produk.
Pada praktikum kali ini membahas tentang pengaruh konsentrasi dan suhu terhadap laju
reaksi dengan menggunkan bahan Na2S2O3 0,25 M, HCl 0,5 M, serta akuades.
Adapun hasil yang didapat dari ukuran suhu untuk volume Na2S2O3 50 ml memiliki
nilai suhu rata-rata 26 °C , dan untuk volume Na2S2O3 75 ml memiliki nilai-nilai suhu rata-
rata 25 °C dan untuk volume Na2S2O3 100 ml memiliki nilai suhu rata-rata 25°C , tetapi
untuk waktu 30s memiliki nilai suhu 24°C.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada percobaan pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi dapat di simpulkan bahwa
jika semakin tinggi konsentrasi suatu zat maka semakin cepat terjadinya reaksi. Pada
percobaan pengaruh suhu terhadap laju reaksi dapat dinyatakan, jika semakin tinggi suhu
maka semakin cepat terjadinya reaksi. Adapun hasil nilai suhu yang didapat dari volume
Na2S2O3 50 ml adalah 26°C , untuk 75 ml 25°C dan untuk 100 ml yaitu 25°C.
DAFTAR PUSTAKA