Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.1. Latar Belakang
Ilmu farmasi merupakan ilmu yang mempelajari cara meracik pembuatan
obat hingga penyediaan obat. Dalam ilmu farmasi kita dapat menentukan berbagai
macam penemuan-penemuan tentang obat terutama bentuk-bentuk sediaan obat
baik dalam bentuk padat, semi padat dan cairan.
Salah satunya yang dipelajari dalam farmasi yaitu farmasi fisika. Farmasi
fisika merupakan ilmu yang mempelajari tentang analisis kualitatif serta
kuantitatif senyawa organik dan anorganik yang berhubungan dengan sifat
fisiknya, misalnya spektrometri massa, spektrofotometri, dan kromatografi. Ilmu
farmasi sangat berhubungan erat dengan ilmu farmasi fisika dimana dalam
membuat suatu bahan obat harus mengetahui bobot jenis suatu zat, kompleksasi
obat, kadar dan konsentrasi suatu larutan untuk dijadikan obat, dan salah satunya
yaitu kelarutan dan koefisien distribusi obat.
Kelarutan merupakan kemampuan suatu zat untuk dapat melarut dalam
medium pelarut. Dengan adanya pengetahuan tentang kelarutan memudahkan
seseorang farmasis dalam meracik sediaan berupa larutan atau cairan. Dengan
adanya beberapa ilmu tentang kelarutan makan dapat memudahkan seorang
farmasis dalam memilih medium yang cocok untuk pelarutan, suatu kombinasi
bahan obat sehingga tidak terjadi kerusakan pada sediaan yang akan dibuat serta
dapat mengetahui kelarutan suatu obat dalam tubuh.
Selain itu kelarutan dapat digunakan sebagai standar uji kemurnian yakni
pengetahuan yang mendasar tentang kelarutan dan sifat-sifat yang berhubungan
ini, dengan kelarutan yang memberikan informasi tentang stuktur obat dan gaya
molekul antar obat (R. Voight, 1995).
Koefisien distribusi merupakan suatu perbandingan kelarutan suatu zat
(sampel) didalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, yaitu air
dan minyak serta merupakan suatu harga tetap pada suhu tertentu.

1
Koefisien distribusi obat pun sangat diperlukan dalam membuat suatu
sediaan obat karena memiliki hubungan dengan ilmu farmasetik dimana koefisien
distribusi merupakan salah satu hal yang penting bagi seorang farmasis, lebih
khusus pengaruhnya terhadap distribusi obat di dalam tubuh manusia. Hal-hal
yang termasuk didalam koefisien partisi, yaitu kerja obat serta distribusi dan
absorbsi nya keseluruh bagian tubuh sampai memberikan efek terapeutik.
Oleh karena itu pada praktikum kali ini dilakukan percobaan kelarutan dan
koefisien distribusi obat untuk mengetahui kelarutan dari Asam Salisilat pada dua
suhu yang berbeda dan penentuan koefisien distribusi Asam Salisilat pada dua
pelarut yang berbeda yaitu air dan minyak.
I.2. Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan dan koefesien
distribusi zat padat dalam pelarut pada berbagai suhu dan dua pelarut yang tidak
saling bercampuran.
I.3. Tujuan Percobaan
Menentukan perbandingan kelarutan dan koefisien distribusi dari Asam
Salisilat dalam pelarut air pada suhu ruangana dana suhu panas serta pelarut
minyak yang tidak saling bercampur.
I.4 Prinsip percobaan
Penentuan kelarutan dari Asam Salisilat pada suhu ruangan dan suhu panas
dengan cara melarutkan, menyaring, mengeringkan, dan menimbang residu zat
yang tidak larut dan penentuan koefisien distribusi Asam Salisilat dalam pelarut
air berdasarkan perbandingan kelarutan suatu zat dalam dua pelarut yang tidak
saling bercampur yang dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,1 N yang ditandai
dengan perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah muda dengan
bantuan indikator fenolftalein.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori
2.1.1. Definisi Kelarutan
Secara kuantitatif kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai   konsentrasi zat
terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu, kelarutan
dinyatakan dalam mililiter pelarut yang dapat melarutkan suatu gram zat,
pelepasan zat dari bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisika dan
kimia zat-zat tersebut serta formulasinya. Pada prinsipnya obat diabsorbsi setelah
zat aktifnya larut dalam cairan tubuh sehingga salah satu usaha mempertinggi efek
farmakologinya dari sediaan adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya
(Martin, 1990).
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan
jenuh pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang
berlainan. Untuk dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat dalam
cairan. Disamping itu terdapat larutan dalam keadaan padat (misalnya gelas,
pembentukan kristal campuran) (Voight, 1994).
Dalam istilah farmasi, larutan didefinisikan sebagai sediaan “cair yang
mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam
air, yang karena bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaanya, tidak
dimasukkan kedalam golongan produk lainnya” (Effendi, 2003).
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan
konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut.
Bila suatu pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas
daya melarutkannya, larutan ini disebut larutan jenuh. (Effendi, 2003).

3
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas pelarut yaitu oleh
momen dipolnya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionic dan zat polar lainnya.
Sesuai dengan itu, air bercampur dengan alcohol dalam segala perbandingan
dengan melarutkan gula dan senyawa polihidroksi lain (Voight,1994).
Kelarutan suatu zat didefinisikan sebagai jumah solute yang dibutuhkan
untuk menghasilkan suatu larutan jenuh dalam sejumlah tertentu solven
(Moechtar, 1989).
2.1.2 Istilah Kelarutan
Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya dapat
ditunjukkan dengan istilah berikut (Dirjen POM, 1979) :
Istilah Kelarutan Jumlah bagian pelarut yang
diperlukan untuk melarutkan 1
bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 sampai 10
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampai 1000
Sangat sukar larut 1000 sampai 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000

2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain
(Martin, 1990 ) :
1. Pengaruh pH
Zat aktif yang sering digunakan di dalam dunia pengobatan umumnya
adalah Zat organik yang bersifat asam lemah, dimana kelarutannya sangat
dipengaruhi oleh pH pelarutnya. Sedangkan basa-basa organik lemah seperti
alkoholida dan anastetika lokal pada umumnya sukar larut dalam air. Bila

4
pH larutan diturunkan dengan  penambahan asam kuat maka akan terbentuk
garam yang mudah larut dalam air.
2. Pengaruh temperatur (suhu)
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung kepada
temperatur. Kelarutan suatu zat padat dalam air akan semakin tinggi bila
suhunya dinaikan. Adanya panas (kalor) mengakibatkan semakin
renggangnya jarak antar molekul zat padat tersebut. Merenggangnya jarak
antar molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar molekul tersebut
menjadi lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-molekul
air. Berbeda dengan zat padat, adannya pengaruh kenaikan suhu akan
menyebabkan kelarutan gas dalam air berkurang. Hal ini disebabkan karena
gas yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air bila suhu
meningkat.
3. Pengaruh jenis pelarut
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut
polar akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu pula
sebaliknya. Kelarutan juga bergantung pada struktur zat, seperti
perbandingan gugus polar dan non polar dari suatu molekul. Makin panjang
rantai gugus non polar suatu zat, makin sukar zat tersebut larut dalam air.
Pelarut polar bertindak sebagai pelarut dengan mekanisme sebagai berikut :
- Mengurangi gaya tarik antara ion yang berlawanan dalam Kristal
- Memecah ikatan kovalen elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini
bersifat amfiprotik.
- Membentuk ikatan hidrogen dengan zat terlarut.
Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik-menarik antara
ion-ion karena konstanta dielektiknya yang rendah. Iapun tidak dapat
memecahkan ikatan kovalen dan tidak dapat membentuk jembatan
hidrogen.
4. Pengaruh bentuk dan ukuran partikel
Kelarutan suatu zat akan naik dengan berkurangnya ukuran partikel

5
suatu zat.Konfigurasi molekul dan bentuk susunan kristal juga berpengaruh
terhadap kelarutan zat. Partikel yang bentuknya tidak simetris lebih mudah
larut bila dibandingkan dengan partikel yang bentuknya simetris.
5. Pengaruh konstanta dielektrik
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut
polar mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat
non polar sukar larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Besarnya tetapan
dielektrik ini menurut moore dapat diatur dengan penambahan pelarut lain.
2.1.4 Definisi Koefisien Distribusi Obat
Fenomena distribusi merupakan salah satu hal yang penting bagi
farmasis, ditambah berbagai faktor yang mempengaruhi cabang ilmu
tersebut. Lebih khusus pengaruhnya terhadap distribusi obat didalam tubuh
manusia. Hal-hal yang termasuk didalam koefisien partisi  ialah kerja obat
pada tempat organ target serta distribusi dan absorbsinya ke seluruh bagian
tubuh sampai memberikan efek terapeutik (Martin,1993).
Koefisien distribusi didefenisikan sebagai suatu perbandingan
kelarutan suatu zat (sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak
saling bercampur, serta merupakan suatu harga tetap pada suhu tertentu
(Martin,1993).
Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat
kedalam pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul
semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi
trans membran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa
organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi
sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut merupakan hambatan
pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Untuk memproduksi suatu respon  biologis, molekul obat pertama-
tama harus menyeberangi suatu membran biologis beraksi sebagai suatu
pembatas lemak untuk kebanyakan obat-obat dan mengizinkan absorbsi zat-
zat yang larut dalam lemak dengan difusi pasif sedangkan zat-zat yang tidak

6
larut dalam lemak dapat mendifusi menyeberangi pembatasan hanya dengan
kesulitan yang besar, jika tidak sama sekali. Hubungan antara konstanta
disolusi, kelarutan dalam lemak, dan pH pada tempat absorbsi serta
karakteristik absorbsi dari berbagai obat merupakan dasar dari teori pH-
partisi. Penentuan derajat disosiasi atau harga pKa dari zat obat merupakan
suatu karakteristik fisika-kimia yang relatif penting terhadap evaluasi dari
efek-efek yang mungkin pada absorbsi dari berbagai tempat pemberian
(Ansel,2005).
Pengetahuan tentang koefisien partisi atau koefisien distribusi sangat
penting diketahui oleh seorang farmasis. Prinsip dari koefisien ini sangat
banyak berhubungan dengan ilmu farmasetik, termasuk disini adalah
pengawetan system minyak-air, kerja obat di tempat yang tidak spesifik,
absorbsi dan distribusi obat ke seluruh tubuh (Martin,1993).
Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase
tersebut. Hukum distribusi digunakan hanya untuk yang umum
konsentrasinya pada kedua fase, yaitu monomer atau molekul sederhana
dari zat tersebut (Martin,1993).
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan
interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan
baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1993).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah
pengaruh sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara
lain bahwa senyawa yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi
dalam jaringan yang mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zat
hidrofil hampir tidak diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan
terutama dalam ekstrasel (Ernest, 1999).
Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa
bahan obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik
kita mengharapkan distribusi dapat diatur artinya konsentrasi obat pada

7
tempat kerja lebih besar dari pada konsentrasi di tempat lain pada
organisme, walaupun demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada
distribusi dalam bentuk hal kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian
dicoba melalui penyuntikan atau infus sitostatika ke dalam arteri memasok
tumor untuk memperoleh kerja yang terarah (Ernest, 1999). 
Jika kelebihan caran atau zat padat ditambahkan kedalam campuran
dari dua cairan yang tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri
diantara kedua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu
ditambahkan kedalam pelarut tidak bercampur dalam jumlah yang tidak
cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut tetap berdistribusi
diantara kedua lapisan dengan perbandingan konsentasi tertentu.
Jika C1 dan C2 adalah konsentrasi kesetimbangan zat dalam pelarut 1
dan pelarut 2, persamaan kesetimbangan menjadi

Tetapan kesetimbangan K dikenal sebagai perbandingan distribusi,


koefisien distribusi atau koefisien partisi. Persamaan diatas dikenal dengan
hukum distribusi, jelas hanya dapat dipakai dalam larutan encer dimana
koefisien keaktifan dapat diabaikan (Martin,1990).
Distribusi obat adalah proses suatu obat yang reversibel meninggalkan
aliran darah dan masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan atau ke sel-sel
jaringan. Pengiriman obat dari plasma ke interstisium terutama tergantung
pada alairan darah, permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut dengan
protein plasma atau jaringan, dan hidrofibisitas dari obat tersebut
(Mary,1997).
Jika suatu obat memiliki berat molekul yang sangat besar atau terikat
kuat pada protein plasma, obat tersebut terlalu besar untuk keluar melalui
celah sempit endotel kapiler-kapiler dan dengan dengan demikian

8
terperangkap didalam kompartemen plasma (vaskuler) sebagai akibatnya
obat tersebut terdistribusi didalam suatu volume (plasma) yang kira-kira 6%
dari berta badan atau pada seorang individu yang beranya 70% kira-kira 4L
cairan tubuh (Mary,1997).
 Untuk memperoleh suatu respon biologis, molekul obat pertama-tama
harus menyeberangi suatu membran biologis beraksi sebagai suatu
pembatas lemak untuk kebanyakan obat-obat dan mengizinkan absorpsi zat-
zat yang larut dalam lemak dapat mendifusi menyeberangi pembatasan
hanya dengan kesulitan yang besar, jika tidak sama sekali. Hubungan antara
konstanta disolusi, kelarutan dalam lemak, dan pH pada tempat absorpsi
serta karakteristik absorbsi dari berbagai obat merupakan dasar dari teori
pH-partisi. Penentuan derajat disosiasi atau harga pKa dari zat obat
merupakan suatu karakteristik fisika-kimia yang relatif penting terhadap
evaluasi dari efek-efek yang mungkin pada absorbsi dari berbagai tempat
pemberian (Ansel,2005).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1. Acid Salicyl (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : ACIDUM SALICYLUM
Nama Latin : Asam salisitat
Rumus Molekul : C7H6O3
Berat Molekul : 138,12 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk


Kelarutan : Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian
etanol (95 %) P (pelarut) = mudah larut dalam
kloroform P (pelarut) dan dalam eter P, larut dalam
larutan amonium asetat P, dinatrium hidrogen
fosfat P, kalium sitrat P dan natrium sitrat P.

9
Khasiat : Keratolitikum dan Antifungi.
Kegunaan : Sebagai sampel
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.2. Alkohol (FI III, 1979)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Latin : Alkohol, etanol, ethyl alkohol
Rumus Molekul : C2H6O
Berat Molekul : 46,07 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguapdan
mudah bergerak; bau khas rasa panas,mudah
terbakar dan memberikan nyala biruyang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan dalam eter P
Kegunaan : Sebagai zat tambahan, juga dapat membunuh
kuman
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terhindar dari cahaya,
ditempat sejuk jauh dari nyala api
2.2.3. Aquadest (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AQUA DESTILATA
Nama Lain : Air suling, Aquadest
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02 g/mol

Stuktur Molekul :

10
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa.
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2.2.4. Fenolftalein (Dirjen POM, 1995)
Nama Resmi : Phenolphthaleinum
Sinonim : Fenolftalein
Rumus Molekul : C20H14O4
Rumus Molekul : 318,33 g/mol
Stuktur Molekul :

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan lemah;


tidak berbau; stabil di udara.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; larut dalam etanol;
agak sukar larut dalam eter.
Kegunaan : Sebagai larutan indikator
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

2.2.5. Minyak Kelapa (F1 Edisi III hal. 456)


Nama resmi : OLEUM COCOS
Sinonim : Minyak Kelapa
Berat Jenis : 0,940-0,950 g / Ml
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, atau kuning Pucat,
bau khas tidak tengik
Kelarutan : Larut dalam 2 bagian etanol (95%) p, pada suhu
600C, sangat mudah larut dalam kloroform P dan
eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya, di tempat sejuk.
Penggunaan : zat tambahan

11
2.2.6. NaOH (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : Natrii Hydroxydum
Sinonim : Natrium Hidroksida, NaOH
Rumus Molekkul : NaOH
Berat Molekul : 40,00 g/mol
Stuktur Molekul :
Pemerian : BentukNabatang,
OHbutiran, massa hablur atau keping,
kering, keras, rapuh dan menunjukkan susunan
hablur; putih, mudah meleleh basah. Sangat
alkalis dan korosif. Segera menyerap
karbondioksida.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol
(95%) P.
Kegunaan : Sebagai larutan baku.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.7. Parasetamol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : ACETAMINOPHENUM
Sinonim : Asetamiofen/Parasetamol
RM / BM : C8H9NO2 / 151,16
Stuktur Molekul :

Pemerian : Hablur
pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
bagian propilenglikol P, larut dalam larutan alkali
hidroksida
Kegunaan : Sebagai larutan baku.

12
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya

BAB III
METODE KERJA
3.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum.Farmasi Fisika mengenai Kelarutan dan Koefisien Distribusi
Obat di laksanakan di Laboratorium Teknologi Farmasi, Fakultas Olahraga dan
Kesehatan, Universitas Negeri Goronatalo pada hari Rabu tanggal 21 pukul
09.00 – 12 WITA
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat-Alat Yang Digunakan
Alat yang di gunakan dalam praktikum ini adalah Lumpang dan alu,
Neraca analitik, Oven, Corong, Corong pemisah, Batang pengaduk, Gelas kimia,
Penangas dan Kertas saring.
3.2.2 Bahan-Bahan Yang Digunakan
Bahan yang di gunakan dalam praktikum ini adalah Alkohol 70%, Asam
salisilat, Aquadest, Indikator PP, Minyak kelapa, NaOH 0,1N, Parasetamol dan
Tissu.
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Penentuan Kelarutan
1. Penentuan kelarutan dengan air dalam suhu normal

13
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alcohol 70%
3. Ditimbang asam salisilat sebanyak 2 gram
4. Diukur air 25ml, kemudian dimasukkan pada gelas kimia
5. Dimasukkan asam salisilat kedalam 25ml air tadi, diaduk hingga
homogen
6. Ditimbang kertas saring kosong, kemudian jenuhkan
7. Disaring asam salisilat pada kertas saring dengan menggunakan corong
8. Diambli residu
9. Dimasukkan kedalam oven sampai kering agar tidak ada kadar air
10. Ditimbang kertas saring yang berisi residu asam salisilat tersebut.

2. Penentuan kelarutan dengan air dengan suhu panas


1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Dipanaskan air dengan menggunakan penangas air
4. Ditimbang asam salisilat sebanyak 2 gram
5. Diukur air yang telah dipanaskan sebanyak 25ml air panas tersebut,
kemudian dimasukkan kedalam gelaskan kimia
6. Dimasukkan asal salisilat kedalam 25ml air panas tersebut, kemudian
diaduk hingga homogen
7. Ditimbang kertas saring kosong, kemudian digunakan
8. Disaring asam salisilat pada kertas saring dengan menggunakan corong
9. Diambil residu
10. Dimasukkan kedalam oven sampai kering, agar tidak ada lagi kadar air
11. Ditimbang kertas saring yang berisi residu asam salisilat tersebut.

3.3.2. Penentuan Koefisien Distribusi


1. Penentuan koefisien distribusi tanpa minyak
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%

14
3. Ditimbang paracetamol 0,1 gram, kemudian dilarutkan dalam 100 ml
aquadest diaduk hingga homogen
4. Diambil larutan paracetamol tersebut sebanyak 25 ml untuk dititrasi
5. Ditambahkan indicator fenoftalein sebanyak 2 tetes
6. Dititrasi dengan NaOH sebanyak 0,1 mL
7. Dicatat hasilnya
8. Dihitung koefisien distribusi

2. Penentuan koefisien distribusi dengan minyak


1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang paracetamol 0,1 gram, kemudian dilarutkan dalam 100 ml
aquadest, diaduk hingga homogeny
4. Diambil larutan paracetamol tersebut sebanyak 25 ml, dimasukkan
kedalam corong terpisah
5. Ditambahkan dengan minyak kelapa sebanyak 25 ml
6. Dicampurkan larutan paracetamol dan miyak kelapa dengan cara
dikocok
7. Didiamkan selama beberapa menit sampai larutan paracetamol dan
minyak terpisah atau terlihat batas antara keduanya
8. Dipisahkan larutan air yang mengandung paracetamol tersebut untuk
dititrasi
9. Ditambahkan indicator fenoftalein sebanyak 2 tetes
10. Dititrasi dengan NaOH sebanyak 0,1 sampai terjadi perubahan warna
menjadi warna ungu
11. Dicatat hasilnya
12. Dihitung koefisien distribusinya

15
BAB IV
HASIL PENGAMATA

4.1. Tabel Pengamatan

4.1.1. Kelarutan
Sampel Suhu Kertas Saring Kertas Saring +
Kosong Residu
Asam Salisilat Suhu Ruangan 1,27 gram 2,0739 gram
Suhu Panas (45oC) 1,27 gram 1,35 gram

4.1.2. Koefisien Distribusi


Sampel Volume Titrasi
Asam Salisat Dengan Minyak Tanpa Minyak
2,6 ml 4 ml

16
4.2. Perhitungan
A. Penentun kelarutan menggunakan asam salisilat
Dik : kertas saring kosong = 1,27 gram
kertas saring berisi residu = 2,0739 gram
volume laritan = 25 mL
massa asam borat = 2 gram
Dit : a. Kelarutan asam borat pada suhu normal?
b. Kelarutan asam borat pada suhu panas?
Peny :
1. Suhu normal
1). Berat residu = kertas saring berisi residu - kertas saring kosong
= 2,0739 gram - 1,27 gram
= 0,8039 gram
2). Zat terlarut = Berat sampel residu
= 2 gram - 0,8039 gram
= 1,1961 gram
zat terlarut
3). Konsentrasi =
volume
1,1961 gr
=
25 mL
= 0,0478 g/ml
2. Suhu panas
1). Berat residu = kertas saring berisi residu - kertas saring kosong
= 1,35 gram - 1,27 gram
= 0,08 gram
2). Zat terlarut = berat sampel – residu
= 2 gram - 0,08 gram
= 1,92 gram
zat terlarut
3). Konsentrasi =
volume

17
1,92 gr
=
25 mL
= 0,0768 g/ml
B. Penentuan koefisien distribusi parasetamol
Dik : Volume titran tanpa minyak : 2,6 ml
Volume titran dengan minyak : 4 ml
Normalitas titran : 0,1
Berat ekuivalen : 40
Berat sampel : 0,1 gram
Dit : Nilai koefisien distribusi?
V titran . N titran . BE
1). % kadar tanpa minyak = × 100%
berat sampel
2,6 mL ×0,1 N ×40
= × 100%
0,1 gram
10,4
= × 100%
0,1
= 104%
V titran . N titran . BE
2). % kadar dengan minyak = × 100%
Berat sampel
4 mL ×8,1 N × 40
= × 100%
0,1 gram
16
= × 100%
0,1
= 160%
C. Koefisien fasa minyak = % kadar minyak - % kadar tanpa minyak
= 160% - 140%
= 56%
D. Koefisien distribusi = fasa minyak/% kadar tanpa minyak
56 %
=
104 %
= 0,538

18
= < 1 ( lebih cenderung ke air)

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penentuan Kelarutn
Kelarutan suatu zat didefinisikan sebagai jumlah solute yang
dibutuhkan untuk menghasilakan suatu larutan jenuh dalam sejumlah tertentu
solven. (Martin, 1989)
Faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat yakni sifat fisika dan
kimia zat terlarut dan pelarut, selain itu pula bergantung pada faktor suhu,
dimana semakin tinggi suhu makan keregangan partikel semakin banyak
terjadi sehingga menyebabkan partikel zat menjadi kecil dan terpisah. Hal

19
tersebutlah yang akan mempercepat kelarutan zat. Dan juga bergantung pada
faktor tekanan, pH larutan. Suatu zat disebut asam lemah apabila pH
dinaikkan dan kelarutannya meningkat sedangkan suatu zat disebut basa
lemah apabila pH diturunkan makan kelarutannya juga meningkat.
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam larutan yaitu larutan
jenuh, larutan tidak jenuh dan larutan lewat jenuh. Larutan jenuh adalah suatu
larutan di mana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat
(zat terlarut), larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang
mengandung zat terlarut dalam konsentrasi yang dibutuhkan untuk
penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu, sedangkan larutan lewat
jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah zat terlarut dalam konsentrasi
yang lebih banyak daripada yang seharusnya pada temperatur tertentu.
Pada percobaan ini dilakukan percobaan untuk melihat kelarutan dari
asam salisilat menggunakan pelarut aquades dengan melihat faktor yang
mempengaruhi kelarutan yaitu temperatur. Hal pertama yang dilakukan pada
penentuan kelarutan suatu zat yaitu menyiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan, kemudian dibersihkan alat menggunakan alkohol 70% tujuannya
agar mikroba yang ada di alat mati. Ditimbang asam Salisilat 2 gram
sebanyak 2 kali penimbangan, kemudian disiapkan aquadest pada gelas ukur
sebanyak 25 ml pada 2 wadah gelas kimia.
Lalu, masukkan asam Salisilat 2 gram ke dalam gelas kimia kemudian
aduk hingga homogen. Kemudian ditimbang kertas saring kosong yang
mempunyai berat (1, 27gram), setelah itu disaring dengan menggunakan
kertas saring yang telah dijenuhkan dengan air menggunakan pipet tetes
kemudian dimasukkan kertas saring kedalam corong pisah lalu disaring
larutan asam Salisilat. Selanjutnya untuk suhu panas, setelah air pada
penangas mendidih masukkan asam Salisilat kemudian dia suka hingga
homogen. Ditimbang kertas saring kosong, selanjutnya dijenuhkan kertas
saring, tujuan dari dijenuhkan kertas saring yaitu untuk mempercepat proses

20
penyaringan sehingga larutan yang akan disaring akan mudah mengalir
(Utami, 2012).
Kemudian dimasukkan kedalam corong pisah lalu di saring larutan
asam Salisilat kedua. Kedua kertas saring yang digunakan diberi tanda agar
meminimalisir kesalahan yang akan terjadi yakni tertukarnya kertas saring
untuk sampel pada masing-masing suhu. Setelah mendapatkan residu asam
salisilat, kedua kertas saring yang terdapat residu tersebut diletakkan diatas
kaca arloji dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 100°C. Lalu ditimbang
residu nya di neraca analitik. Bobot residu sesungguhnya didapatkan dengan
mengurangi berat kertas saring berisi residu dengan berat kertas saring
kosong lalu dihitung kelarutannya. Bobot residu pada kertas saring dengan
kelarutan suhu ruangan dan suhu panas masing masing 2,0739 gram dan 1,35
gram. Jadi, berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
konsentrasi asam Salisilat pada suhu panas lebih kecil dibandingkan
konsentrasi sama Salisilat pada suhu ruangan.
Hal ini menandakan bahwa kelarutan suatu zat padat dalam air akan
semakin tinggi bila suhunya dinaikan. Adanya panas (kalor) mengakibatkan
semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat tersebut. Merenggangnya
jarak antar molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar molekul
tersebut menjadi lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-
molekul air. Berbeda dengan zat padat, adannya pengaruh kenaikan suhu
akan menyebabkan kelarutan gas dalam air berkurang. Hal ini disebabkan
karena gas yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air bila suhu
meningkat (Martin,1993).
5.2 Penentuan Koefisien Distribusi
Koefisien distribusi atau koefisien partisi adalah suatu petunjuk sifat
lifofilik atau hidrofobik dari molehul obat. Lewatnya obat melalui membran
lemak dan interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang
berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, dk,
1990)

21
Pada percobaan ini dilakukan untuk penentuan koefisien distribusi asam
Salisilat dalam 2 pelarut yang tidak la singgah bercampur berdasarkan
perbandingan kelarutan suatu zat yang di titrasi dengan larutan baku NaOH
0.1 N dengan di tandai perubahan warna, dari yang tidak berwarna hingga
menjadi warna merah muda dengan bantuan indikator fenoftalein.
Alasan penggunaan air dan minyak kelapa dalam percobaan dengan
menggunakan partisi, karena kedua pelarut ini tak dapat larut satu sama lain
tetapi sampel paracetamol dapat larut dalam minyak dan air . Hal ini
disebabkan karena air merupakan pelarut polar sedangkan minyak kelapa
merupakan pelarut non polar dan karena pada minyak terdapat karbon
sehingga menyebabkan bentuk streokimianya simetris sehingga tidak
memiliki momen dipol. Alasan dimana paracetamol ditambahkan ke dalam
minyak kelapa dan air kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah
kemudian setelah itu dilakukan pengocokan, karena zat dapat mengadakan
keseimbangan antara yang larut dalam air dan yang larut dalam minyak
kelapa.
Pada percobaan ini hal pertama yang dilakukan disiapkan alat dan bahan
yang akan digunakan. Lalu ditimbang asam Salisilat sebanyak 0.1 gram,
diukur air sebanyak 100 ml lalu diletakkan pada gelas kimia setelah itu
dimasukkan asam Salisilat kedalam gelas kimia kemudian diaduk sampai
homogen, kemudian diukur 25 ml larutan, lalu dimasukkan dalam erlenmeyer
(sebagai larutan awal), kemudian ditambahkan 2-3 tetes indikator fenoftalein
kedalam larutan lalu dititrasi. Tujuan ditambahkan indikator PP yaitu untuk
mengetahui terjadinya perubahan warna pada larutan (Underwood, 1989).
Tujuan dari titrasi ini dengan larutan NaOH 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna ungu. Tujuan titrasi yaitu menentukan konsentrasi suatu zat
yang belum diketahui (Khopkar 1990).
Kemudian dicatat volume titrasi awal sebanyak 6 ml. Kemudian dari
larutan stok, diukur 25 ml larutan dengan gelas ukur dan dimasukkan
kedalam corong pisah, lalu ditambahkan 25 ml paraffin cair dan dimasukkan

22
kedalam corong pisah kemudian dikocok sampai tercampur rata, lalu
didiamkan selama beberapa menit hal ini bertujuan agar pemisahan antara
kedua pelarut tersebut bisa sempurna. Setelah itu lapisan air yang berada
dibawa diambil dikarenakan lapisan air dari pengocokanlah yang akan
dititrasi, bila lapisan minyak yang dititrasi makan akan terjadi reaksi
saponifikasi atau penyabunan (Gholib, 2007).
Kemudian hasil dari titrasi ditampung dalam erlenmeyer. Selanjutnya
ditetesi indikator PP sebanyak 2-3 tetes kedalam lapisan air lalu dititrasi
dengan larutan NaOH 0,1N setelah itu di catat volume titrasi sebanyak 4 ml.
Dari hasil percobaan koefisien distribusi obat ini dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan nilai log P yang didapatkan yaitu 0,538, menurut oekar dkk
(2010) besarnya senyawa yang bercampur atau larut dalam oktanol
tergantung pada koefisien partisi oktanol/air (O/A) dari senyawa tersebut.
Makin tinggi koefisien partisinya menunjukan bahwa senyawa tersebut
semakin bersifat lipofil artinya semakin mudah larut lemak.
Sebaiknya apabila koefisien O/A nya semakin rendah senyawa tersebut
lebih muda larut dalam fade air atau di sebut bersifat hidrofil. Sehingga dari
percobaan ini dapat disimpulkan bahwa asam Salisilat lebih mudah larut air
dibandingkan larut minyak.

BAB VI

23
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa:
Konsentrasi asam Salisilat pada suhu ruangan lebih besar dibandingkan
konsentrasi asam Salisilat pada suhu panas. Hal ini membuktikan bahwa suhu
mempengaruhi kelarutan suatu zat.
Berdasarkan nilai log P yang didapkan, asam Salisilat lebih mudah larut di air
dibandingkan larut minyak. Suatu zat dikatakan lebih mudah larut air jika nilai log
P nya kurang dari 1. Begitu pun sebaliknya, suatu zat dikatakan lebih larut minyak
jika nilai log P nya besar dari 1.
6.2 Saran
6.2.1 Laboratorium
Praktikan mengharapkan agar alat-alat praktikum dalam laboratorium
diperlengkap dan lebih.
6.2.2 Asisten
Diharapkan agar dapat membimbing dan memberikan arahan pada praktikan
dalam melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan prosedur kerja percobaan
yang dilakukan.
6.2.3 Praktikan
Diharapkan bisa lebih memahami dan menguasai teori teknik percobaan yang
dilakukan dalam laboratorium.

24
25

Anda mungkin juga menyukai