BAB 1 PENDAHULUAN
ion-ion elektrolit kuat dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang
rendah. Pelarut juga tidak dapat memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit
yang berionisasi lemah karena pelarut nonpolar termasuk dalam golongan
pelarut aprotik, dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen dengan
nonelektrolit. Oleh karena itu zat terlarut ionic dan polar tidak larut atau hanya
dapat larut sedikit dalam pelarut nonpolar. Tetapi, senyawa nonpolar dapat
melarutkan zat terlarut nonpolar dengan tekanan dalam yang sama melalui
interaksi dipol induksi (Martin, 1993).
Pelarut semipolar seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu
derajat polaritas tertentu dalam molekul pelarut nonpolar, sehingga menjadi
dapat larut dalam alkohol. Senyawa semipolar dapat bertindak sebagai pelarut
perantara yang dapat menyebabkan bercampurnya cairan polar dan nonpolar.
Propilen glikol telah terbukti menaikkan kelarutan timbal-balik dari air dan
minyak permen, serta air dan benzyl benzoat (Martin, 1993).
Interaksi pelarut dalam zat terlarut dikenal sebagai solvasi. Seringkali
zat terlarut lebih larut dalam campuran pelarut daripada satu pelarut saja.
Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (cosolvency), dan pelarut yang
dalam kombinasi menaikkan kelarutan zat disebut cosolvent (Martin, 1993).
Jika C1 dan C2 adalah konsentrasi kesetimbangan zat dalam pelarut 1
dan pelarut2 , persamaan kesetimbangan menjadi
C͐͐ ₁
K=
C₂
Tetapan kesetimbangan K dikenal sebagai perbandingan distribusi,
koefisien distribusi, atau koefisien partisi. Pengetahuan tentang partisi penting
untuk ahli farmasi, karena prinsip ini melibatkan beberapa bidang ilmu
farmasetik. Termasuk disini pengawetan system minyak-air, kerja obat pada
tempat yang tidak spesifik, absorpsi, dan distribusi obat ke seluruh tubuh
(Martin, 1993).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain
adalah pH, suhu, jenis pelarut, bentuk dan ukuran partikel, konstanta
dielektrik bahan pelarut, dan adanya zat-zat lain seperti surfaktan, pembentuk
kompleks, ion sejenis, dll (Anonim, 2016).
4.1 Hasil
4.1.1 Tabel hasil praktikum menentukan kelarutan suatu zat secara
kuantitatif
Konsentrasi
Absorban C1 /
(ppm) C2 / air
Replikasi minyak
Minya (mg/ml)
Air Air Minyak (mg/ml)
k
= 1,638 g
Replikasi 3 :
y−a
x= . Vp
b
0 , 37−0,007
x= . 350 kali
0 , 06
= 6,06 . 350 kali
= 2117,5 ppm
2117, 5
¿ g
1000
= 2,1175 g
Replikasi 4 :
y−a
x= . Vp
b
0 , 34−0,007
x= . 350 kali
0 , 06
= 5,55 . 350 kali
= 1942,5 ppm
1942, 5
¿ g
1000
= 1,9425 g
Replikasi 5 :
y−a
x= . Vp
b
0,278−0,007
x= . 350 kali
0 , 06
= 4,51 . 350 kali
= 1578,5 ppm
1578 ,5
¿ g
1000
= 1,5785 g
2. Menentukan kelarutan suatu zat dalam dua cairan yang tidak saling
campur
KELOMPOK 3.B ITA WARDANI
KELARUTAN 1
Dik : a = 0,007
b = 0,06
y−a
x=
b
KD = % air . KD air + % alkohol . KD alkohol + % PG . KD PG
Pelarut A = 0,6 . 80,4 + 0 . 24,3 + 0,4 . 32
= 48,24 + 0 + 12,8
= 61,04
y−a 0,288−0,007
x= = =4 , 68 ppm
b 0 , 06
4 , 68
¿ g=0,00468 g
1000
Pelarut B = 0,6 . 80,4 + 0,1 . 24,3 + 0,3 . 32
= 48,24 + 2,43 + 0,6
= 60, 27
y−a 0,301−0,007
x= = =4 , 9 ppm
b 0 , 06
4,9
¿ g=0,0049 g
1000
Pelarut C = 0,6 . 80,4 + 0,2 . 24,3 + 0,2 . 32
= 48,24 + 4,86 + 6,4
= 59,5
y−a 0,389−0,007
x= = =6 ,3 ppm
b 0 , 06
6,3
¿ g=0,0063 g
1000
Pelarut D = 0,6 . 80,4 + 0,35 . 24,3 + 0,05 . 32
= 48,24 + 8,505 + 1,6
= 58,345
y−a 0,490−0,007
x= = =8 , 05 ppm
b 0 , 06
8 , 05
¿ g=0,00805 g
1000
KELOMPOK 3.B ITA WARDANI
KELARUTAN 1
5.1 Kesimpulan
Menurut Farmakope Indonesia, paracetamol agak sukar larut dalam air
(30-100) sedangkan menurut hasil praktikum diperoleh paracetamol sukar
larut dalam bagian air (100-1000).
Pada pelarut campur, semakin polar absorban, maka kelarutan
paracetamol semakin rendah.
Metil paraben bersifat lipofilik, sehingga mudah melewati membran.
Sedangkan menurut hasil praktikum, metil paraben bersifat hydrofilik
sehingga sulit melewati membrane.
5.2 Saran
Sebaiknya laboratorium mempernanyak alat-alat yang akan digunakan
dalam praktikum agar praktikum dapat berjalan lebih efisien.
Dan kepada praktikan agar lebih berhati-hati dalam melakukan
praktikum agar tidak terjadi halhal yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI. (hal. XXX – XXXI, XXXII)
Martin, Alfred. dkk. 1993. Farmasi Fisik : Dasar-Dasar Kimia Fisik Dalam Ilmu
Farmasetik Jilid 2. Jakarta: UI Press. (hal. 287, 558, 559, 561, 562, 563, 564,
568, 613, 622, 623)