Anda di halaman 1dari 9

MODUL PRAKTIKUM

FARMASI FISIK II
KELARUTAN OBAT

DISUSUN OLEH :
1. IMA DINI RAHMAWATI (F22024)
2. INUK HARYANI (F22025)
3. KHARISMA CHORI BUDIANTI (F22026)
4. LAILA WULANDARI (F22027)
5. MARIO FARMAN SYAH SIMAMORA (F22028)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2023
PRAKTIKUM I
KELARUTAN OBAT

A. Tujuan
1
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:
1. Menentukan kelarutan suatu zat secara kuantitatif
2. Menerangkan factor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat
3. Menjelaskan usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan zat aktif
dalam air untuk pembuatan sediaan cair

B. Dasar Teori
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut di dalam
larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. kelarutan sangat besar pengaruhnya
terhadap pembuatan obat dimana bahan-bahan dapat dicampurkan menjadi suatu larutan
sejati larutan koloid dan dispersi kasar. Kelarutan dinyatakan dalam satuan mililiter pelarut
yang dapat melarutkan suatu gram zat. Misalnya 1 g asam salisilat akan larut dalam 550 mL
air. Kelarutan dapat juga dunyatakan dalam satuan molalitas, molaritas dan persen. Istilah
kelarutan adalah sebagai berikut:
Jumlah bagian pelarut diperlukan
Istilah kelarutan
untuk melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 – 10
Larut 10 – 30
Agak sukar larut 30 – 100
Sukar larut 100 – 1000
Sangat sukar larut 1000 - 10000
Praktis tidak larut Lebih dari 10000

Data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui dalam pembuatan sediaan
farmasi. Sediaan farmasi cairan seperti sirup, eliksir, obat tetes mata, injeksi dan lain-lain
dibuat dengan menggunakan pembawa air. Bahkan untuk bentuk sediaan obat lainnya seperti
suspense, tablet atau kapsul yang diberikan secara oral, data ini tetap diperlukan karena di
dalam saluran cerna obat harus dapat melarut dalam cairan saluran cerna yang komponen
utamanya adalah air agar dapat diabsorpsi.

Pada umumnya obat baru dapat diabsorpsi dari saluran cerna dalam keadaan terlarut kecuali
kalua transport obat melalui mekanisme pinositosis. Oleh karena itu salah satu cara
meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan adalah dengan menaikan kelarutan zat
2
aktifnya di dalam air. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu za tantara lain
adalah:
a. pH
Zat aktif yang sering digunakan dalam dunia pengobatan umumnya adalah senyawa
organic yang bersifat asam atau basa lemah. Kelarutan senyawa semacam ini sangat
dipengaruhi oleh pH pelarutnya. Kelarutan asam-asam organic lemah seperti
sulfonamida dalam air akan bertambah dengan meningkatnya pH, karena terbentuk
garam yang mudah larut dalam air. Basa-basa organic lemah seperti alkaloid dan
anastetik local pada umumnya sukar larut dalam air. Apabila pH larutan diturunkan
dengan penambahan asam kuat, maka akan terbentuk garam yang mudah larut dalam air.

b. Suhu
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada suhu, titik leleh zat padat dan
panas pelarutan molar zat tersebut. Pada suhu di atas titik leleh, zat akan berada dalam
keadaan cair sehingga dapat bercampur dengan pelarut dalam setiap perbandingan.

c. Jenis pelarut
Kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar akan melarutkan zat-
zat polar dan ionic. Sedangkan pelarut non polar akan emalrutkan zat non polar dan non
ionic.

d. Bentuk dan ukuran partikel zat


Kelarutan suatu zat akan meningkat dengan berkurangnya ukuran partikel zat tersebut.
Walaupun demikian pengaruh ukuran partikel terhadap kelarutan suatu obat tidak akan
terlihat jelas kecuali bila ukuran partikel obat direduksi menjadi ukuran mikro.

e. Konstanta dielektrik bahan pelarut


Konstanta dielektrik adalah suatu besaran tanpa dimensi yang merupakan rasio antara
kapasitas elektrik medium (Cx) terhadap vakum (Cv atau C 0). Dalam ilmu kimia,
konstanta dieletrik dapat dijadikan pengukur relatif dari kepolaran suatu pelarut. Tetapan
dielektrik suatu campuran pelarut berupa hasil penjumlahan KD masing-masing pelarut
yang sudah dikalikan dengan persentase (%) volum masing-masing komponen pelarut.
Sehingga, dari komposisi pelarut yang digunakan dalam pelarut campur, KD dari pelarut

3
campur dapat ditentukan. Kelarutan paling baik jika KD pelarut sama dengan KD zat
terlarut.

Adakalanya suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut campuran dibandingkan pelarut
tunggalnya. Pelarut campur (kosolven) yang umum digunakan dalam pembuatan eliksir
antara lain etanol, gliserin, dan propilen glikol. Kepolaran pelarut campur mendekati
kepolaran zat terlarut. Cara perhitunagn konstanta dielektrik adalah sebagai berikut:
1. Konstanta Dielektrik suatu campuran bahan pelarut merupakan hasil penjumlahan
KD masing-masing sesudah dikalikan dengan persentase volume setiap komponen
pelarut.
KD pelarut campur = KD pelarut 1 x % v/v pelarut 1 + KD pelarut 2 x % v/v pelarut
2 dst.
2. Jumlah dari hasil perkalian masing-masing KD pelarut dengan fraksi (%) dari
masing-masing pelarut. Contoh:

Pelarut Jumlah Kontanta Dielektrik


Etanol A% 25,7
Gliserol B% 42,5
Propilen Glikol C% 33,0
Air D% 78,5

Maka konstanta dielektrik campuran pelarut adalah: 25,7A + 42,5B + 33C + 78,5D
100

f. Adanya zat-zat lain seperti surfaktan, pembentuk kompleks, ion sejenis, dll
Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikan kelarutan zat. Molekul
surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu bagian polar dan non polar. Apabila diidspersikan
dalam air pada konsentrasi rendah, akan berkumpul pada permukaan dengan
mengorientasikan bagian polar ke arah air dan bagian polar ke arah udara. Kumpulan
surfaktan tersebut akan membentuk lapisan monomolekulear. Bila permukaan cairan
telah jenuh dengan molekul-molekul surfaktan maka molekul-molekul yang berada di
dalam cairan akan membentuk agregat yang disebut misel. Konsentrasi pada saat misel
mulai terbentuk disebut Konsentrasi Misel Kritik (KMK).

4
Sifat penting misel adalah kemampuannya dalam emanikan kelarutan zat-zat yang sukar
larut dalam air. Proses ini dikenal dengan solubilisasi miselar. Solubilisasi terjadi karena
molekul zat yang sukar larut berasosiasi dengan misel membentuk suatu larutan jernih
dan stabil secara termodinamika. Lokasi molekul zat terlarut dalam misel tergantung
pada polaritas zat tersebut. Molekul-molekul non plar akan masuk ke bagian non polar
dari misel tergantung polaritas zat tersebut. Molekul-molekul non polar akan masuk ke
bagian non polar dari miselm sedangkan molekul-molekul polar akan teradsorpsi pada
permukaan misel.

C. ALAT DAN BAHAN


a. Alat
 Pipet tetes
 Gelas ukur
 Tabung reaksi
 Beaker glass
 Rak tabung reaksi
 Buret
 Statif

b. Bahan
 NaOH 1N
 NaOH 0,1N
 Asam salisilat
 Kertas saring
 Akuades
 Etanol 96%
 Propilen glikol
 Tween 80

D. CARA KERJA
Perhatian :
Pada percobaan ini yang diamati adalah pengaruh masing-masing factor terhadap jumlah
zat yang dapat larut, tidak diamati sampai terbentuk larutan jenuhnya.
5
i. Pengaruh Pelarut Campur terhadap Kelarutan Suatu Zat
1. Buatlah 50 mL campuran bahan pelarut yang tertera pada tabel di bawah ini
Larutan Pelarut Campur (mL)
Akuades Etanol 96% Propilen Glikol
A1 30 0 20
A2 30 7,5 12,5
A3 30 15 5

Ambil 15 ml campuran pelarut, larutkan asam salisilat sebanyak 300 mg ke dalam masing-
masing campuran pelarut
2. Kocok larutan dengan alat pengocok orbital selama 1 jam. Jika ada endapan yang larut
selama pengocokan (terbentuk larutan jernih), ditambahkan kembali asam salisilat
sebanyak 100 mg ke dalam larutan tersebut sampai terbentuk larutan yang jenuh Kembali
3. Saring larutan, ambil sebanyak 10 ml larutan dan tentukan kadar asam salisilat yang larut
dengan cara titrasi asam basa dengan pentiter NaOH 1N dan indikator fenoftalein
sebanyak 3 tetes.
4. Amati perubahan warna sampai timbul warna merah muda.
5. Buatlah kurva antara kelarutan asam salisilat dengan harga konstanta dielektrik bahan
pelarut campur yang ditambahkan

ii. Pengaruh Penambahan Surfaktan terhadap Kelarutan Suatu Zat


1. Buatlah 50 mL larutan Tween 80 berikut ini:
Larutan Konsentrasi (mg/mL) Volume Tween 80 (mg) Volume Air (mL)
A1 0 0 50
A2 50 25 25

2. Ambil 15 ml campuran pelarut, larutkan asam salisilat sebanyak 300 mg ke dalam masing-
masing campuran pelarut
3. Kocok larutan dengan alat pengocok orbital selama 1 jam. Jika ada endapan yang larut
selama pengocokan (terbentuk larutan jernih), ditambahkan Kembali asam salisilat
sebanyak 100 mg ke dalam larutan tersebut sampai terbentuk larutan yang jenuh Kembali
4. Saring larutan dan tentukan kadar asam salisilat yang terlarut dalam amsing-masing larutan
dengan titrasi sebagai berikut: pipet 10 mL larutan zat, tambahkan ke dalamnya 3 tetes
indicator fenoftalein lalu dititrasi dengan NaOH 0,1N sampai timbul warna merah muda.
5. Buatlah kurva antara kelarutan asam salisilat dengan konsentrasi Tween 80 yang
digunakan.
6
E. Hasil Percobaan Pengaruh Pelarut Campur terhadap Kelarutan Zat
a. Hasil penentuan kadar asam salisilat menggunakan metode titrasi

No Larutan Volume Peniter (NaOH) yang digunakan (mL)


1 A1
2 A2
3 A3

Rumus kadar asam salisilat : Vasam salisilat x Nasam salisilat = VNaOH x NNaOH

b. Perhitungan konstanta dielektrik pelarut campur


Larutan Pelarut Campur Volume Pelarut Nilai Kd Konstanta Dielektrik
Campur (mL) Pelarut Pelarut Campur
A1 Akuades 30 78,5
Etanol 96% 0 25,7
Propilen glikol 20 33
A2 Akuades 30 78,5
Etanol 96% 7,5 25,7
Propilen glikol 12,5 33
A3 Akuades 30 78,5
Etanol 96% 15 25,7
Propilen glikol 5 33
A4 Akuades 30 78,5
Etanol 96% 20 25,7
Propilen glikol 0 33

KD=

c. Kurva antara Kelarutan Asam Salisiat dengan Konstanta Dielektrik Pelarut Campur

F. Hasil Percobaan Pengaruh Penambahan Surfaktan terhadap Kelarutan Zat


a. Hasil penentuan kadar asam salisilat menggunakan metode titrasi

No Larutan Volume Peniter (NaOH) yang digunakan (mL)


1 A1
3 A3

Rumus kadar asam salisilat : Vasam salisilat x Nasam salisilat = VNaOH x NNaOH

b. Konsentrasi asam salisilat terhadap berbagai konsentrasi Tween 80

Larutan Konsentrasi (mg/mL) Konsentrasi Asam Salisilat


A1 0
A3 50
7
c. Kurva antara Kelarutan Asam Salisiat dengan Konsentrasi Tween 80

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia

Lachman, L., H.A. Liebermann, J.L. Kanig. 1986. The Theory and Practice of Industrial
Pharmacy 3th Ed. Philadelphia: Lea&Febiger.

Savva, Michalakis. 2019. Pharmaceutical calcitaltions: a conceptual approach. Switzerland:


Springer

8
Sinko, P.J. 2006. Martin.s Physycal Pharmacy and Pharmaceuticals Sciences, 5 th Ed. Baltimore:
Lippincott Wiliams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai